Info Judicial Review Putusan MK - Menyatakan Mengabulkan


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-info-judicial-review.phtml on line 66

Warning: Undefined property: stdClass::$penutupan in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-info-judicial-review.phtml on line 91

Deprecated: nl2br(): Passing null to parameter #1 ($string) of type string is deprecated in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-info-judicial-review.phtml on line 91
INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dikabulkan Sebagian Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 30/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA DENGAN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-06-2022

Bahwa pada hari Rabu tanggal 20 Juni 2022, pukul 17.40 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU 39/1999) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 30/PUU-XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 30/PUU- XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 83 ayat (1), Pasal 85 ayat (1), Pasal 86, dan Pasal
87 ayat (2) UU 39/1999 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.11] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan para Pemohon beserta alat-alat bukti yang diajukan oleh para Pemohon, persoalan konstitusional yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah sebagai berikut:
1. apakah jumlah Anggota Komnas HAM yang mencapai 35 orang tidak memberikan kepastian hukum;
2. apakah pemilihan, pemberhentian Anggota Komnas HAM, oleh DPR dan tidak melibatkan Presiden menciderai sistem presidensial di Indonesia;
3. apakah tata cara pemilihan, pengangkatan serta pemberhentian keanggotaan dan pimpinan Komnas HAM yang ditetapkan dengan Peraturan Tata Tertib Komnas HAM serta pengaturan hak Anggota Komnas HAM untuk mengajukan bakal calon Anggota Komnas HAM dalam Sidang Paripurna akan melemahkan sistem checks and

balances sehingga menghalangi orang lain untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Terhadap persoalan-persoalan tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa jaminan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia (HAM) adalah salah satu elemen penting dalam sistem negara hukum. Dengan mengingat pentingnya pengaturan mengenai HAM dalam konstitusi, maka dalam proses pembahasan UUD untuk Indonesia merdeka, Mohammad Yamin dan Mohammad Hatta mengusulkan agar memasukan unsur HAM dalam UUD, namun saat itu terjadi pertentangan karena Supomo dan Soekarno yang menganggap HAM identik dengan ideologi liberal individual yang tidak cocok dengan sifat masyarakat Indonesia. Kemudian diambil jalan tengah dengan memasukan sedikit unsur HAM dalam Pasal 7 UUD 1945 [vide Risalah Sidang BPUPK].
Pengaturan HAM baru mendapatkan perhatian yang luar biasa bersamaan dengan terjadinya gerakan Reformasi 1998, yang salah satunya menuntut perlindungan HAM dan amandemen UUD 1945. Untuk merespon tuntutan tersebut, sebelum amandemen terhadap materi muatan HAM dalam UUD 1945 dilakukan, MPR segera menetapkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia (Tap MPR XVII/MPR/1998). Ketetapan ini merupakan Piagam HAM yang berisi sejumlah hak dan menjadi komplementer UUD 1945 sebelum dilakukan amandemen. Salah satu amanat Ketetapan ini adalah menegaskan kepada lembaga-lembaga tinggi negara dan seluruh aparatur pemerintah, untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai HAM kepada seluruh masyarakat, serta segera meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang HAM, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Tap MPR XVII/MPR/1998 kemudian menjadi dasar terbitnya UU 39/1999 yang mengatur lebih rinci tentang HAM bersamaan dengan dilakukannya proses amandemen muatan HAM dalam UUD 1945. Saat ini, Tap MPR XVII/MPR/1998 sudah tidak berlaku lagi karena dicabut oleh Tap MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002 (Tap MPR Nomor I/MPR/2003). Sementara itu, amandemen UUD 1945 telah menghasilkan pengaturan yang lebih komprehensif norma-norma konstitusi yang menjamin perlindungan hak-hak warga negara. Untuk memenuhi tuntutan atas perlindungan HAM, bukan hanya diaturnya secara rigid hak-hak warga negara dalam amandemen konstitusi, namun juga dihadirkannya lembaga yang bertugas mengawal HAM yang diatur dalam amandemen konstitusi tersebut agar tidak dilanggar oleh pembentuk undang-undang dengan ketentuan dan norma undang- undang yang diterbitkannya. Lembaga yang dimaksud adalah Mahkamah

Konstitusi. Secara doktriner norma HAM yang terdapat dalam UUD berfungsi sebagai arah bagi pembuatan undang-undang di bawahnya agar selaras dengan nilai-nilai HAM.
Dalam kaitan dengan penegakkan HAM, Pemerintah Orde Baru telah membentuk Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) melalui Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Keppres 50/1993). Komnas HAM sendiri dibentuk atas rekomendasi dari Lokakarya I HAM yang diselenggarakan Departemen Luar Negeri dengan sponsor dari PBB. Dalam Pasal 1 Keppres 50/1993 disebutkan bahwa Komnas HAM dibentuk dalam rangka meningkatkan pelaksanaan HAM di Indonesia. Sementara dalam Pasal 4 Keppres 50/1993 disebutkan tujuan Komnas HAM adalah: a) membantu pengembangan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia; b) meningkatkan perlindungan HAM guna mendukung terwujudnya tujuan pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya.
Selanjutnya, keberadaan Komnas HAM diperkuat oleh UU 39/1999, sebagaimana hal tersebut ditentukan dalam Ketentuan Peralihan Pasal 105 ayat
(2) UU 39/1999 bahwa Komnas HAM yang dibentuk berdasarkan Keppres 50/1993 dinyatakan sebagai Komnas HAM menurut undang-undang ini, serta Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komnas HAM masih tetap menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya, berdasarkan undang-undang ini sampai ditetapkannya keanggotaan Komnas HAM yang baru; dan semua permasalahan yang sedang ditangani oleh Komnas HAM tetap dinyatakan penyelesaiannya berdasarkan undang-undang ini. Kemudian Pasal 105 ayat (3) UU 39/1999 mengatur bahwa dalam waktu paling lama dua tahun sejak berlakunya undang-undang ini, susunan organisasi, keanggotaan, tugas dan wewenang serta tata tertib Komnas HAM harus disesuaikan dengan undang-undang ini.
[3.11.2] Bahwa Komnas HAM dalam UU 39/1999 disebut sebagai lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi HAM [vide Pasal 1 angka 7 UU 39/1999]. Secara doktriner lembaga negara dapat dibedakan menjadi dua, yaitu lembaga negara yang bersifat utama (main state organs) dan lembaga negara yang bersifat penunjang (auxiliary state organs). Pada perkembangannya di Indonesia, lembaga negara penunjang tidak hanya diperintahkan oleh konstitusi namun terdapat pula lembaga negara yang kewenangannya berdasarkan perintah undang-undang yang lebih rendah [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-I/2003, tanggal 28 Juli 2004 sebagaimana ditegaskan kembali di antaranya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017, tanggal 8 Februari 2018].
Bahwa terkait dengan tujuan munculnya lembaga-lembaga penunjang, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017

menyatakan bahwa lembaga-lembaga penunjang dihadirkan karena dorongan proses pencapaian tujuan-tujuan negara yang semakin kompleks yang merupakan konsekuensi logis sebuah negara demokrasi modern yang ingin secara lebih sempurna menjalankan fungsi dan perannya memberikan jaminan perlindungan dan pelayanan kepada warganya. Dalam putusan a quo Mahkamah berpendapat bahwa doktrin klasik tentang pemisahan cabang kekuasaan negara dalam tiga cabang kekuasaan: eksekutif, legislatif, dan yudikatif, dipandang tidak lagi memadai untuk mewujudkan tujuan bernegara dan tuntutan masyarakat yang kian kompleks. Dengan kata lain, tidak cukup memadai lagi tujuan dan tuntutan tersebut dicapai dan dipenuhi dengan keberadaan struktur lembaga utama sehingga diperlukan lembaga penunjang untuk menjalankan fungsi penunjang terhadap lembaga negara utama. Artinya, baik pada ranah eksekutif, legislatif, maupun yudikatif dimungkinkan muncul lembaga penunjang dalam rangka efektivitas pelaksanaan kekuasaan yang menjadi tanggung jawab lembaga-lembaga utama.
Bahwa walaupun keberadaan Komnas HAM tidak secara eksplisit disebutkan dalam UUD 1945 namun diatur dalam UU 39/1999, tetapi memiliki constitutional importance. Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa “badanbadan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”. Selain Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, serta Komisi Yudisial dan Kepolisian Negara yang disebut eksplisit dalam UUD 1945, masih ada badan-badan lain yang mempunyai fungsi terkait dengan kekuasaan kehakiman, di antaranya Kejaksaan Agung, Komnas HAM, dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Kewenangan Komnas HAM selain ditentukan dalam UU 39/1999 juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU 26/2000). Dalam kaitan ini, Komnas HAM diberi kewenangan tambahan untuk menjalankan fungsi penyelidikan khusus terhadap kasus dugaan pelanggaran HAM yang berat, kemudian hasilnya diserahkan kepada Jaksa Agung sebagai penyidik [vide Pasal 18 dan Pasal 20 UU 26/2000]. Inilah salah satu alasan mengapa Komnas HAM merupakan lembaga negara penunjang yang memiliki nilai constitutional importance. Hal lain yang membuat Komnas HAM memiliki constitutional importance adalah karena perlindungan HAM merupakan materi yang harus ada dalam konstitusi setiap negara hukum yang salah satunya dicirikan dengan negara yang menghormati HAM.
[3.11.3] Bahwa bertolak dari Sub-paragraf [3.11.1] dan Sub-paragraf [3.11.2] di atas, Mahkamah akan mempertimbangkan persoalan konstitusionalitas norma yang dimohonkan para Pemohon, sebagai berikut:
1. Bahwa terhadap persoalan konstitusional mengenai besarnya jumlah anggota Komnas HAM yang mencapai 35 orang dan cara pemilihan yang para Pemohon dalilkan tidak memberikan kepastian hukum, Mahkamah berpendapat bahwa sejak putusan-putusan Mahkamah terdahulu, Mahkamah telah berpendirian bahwa penentuan besarnya jumlah tertentu

dalam norma suatu undang-undang merupakan ranah pembentuk undang- undang. Pembentuk undang-undang dapat membuat pilihan kebijakan, sepanjang pilihan yang diambil tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembuat undang-undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945. Mahkamah juga berpendirian bahwa penentuan besarnya jumlah tidak boleh bertentangan dengan rasionalitas, sehingga pembentuk undang- undang seharusnya memiliki perhitungan dan ukuran rasional dalam menentukan besarnya jumlah, in casu dalam permohonan a quo adalah jumlah anggota Komnas HAM.
Bahwa dalam konteks permohonan a quo, Mahkamah dapat memahami kekhawatiran para Pemohon, karena jumlah 35 (tiga puluh lima) orang anggota Komnas HAM sangat jauh berbeda dengan jumlah anggota dalam komisi-komisi negara lainnya yang jumlahnya masih di bawah 15 (lima belas) orang anggota. Seperti Komisi Pemilihan Umum yang anggotanya berjumlah 7 (tujuh) orang, Otoritas Jasa Keuangan yang anggotanya berjumlah 7 (tujuh) orang, Komisi Pemberantasan Korupsi yang anggotanya berjumlah 5 (lima) orang, Badan Pengawas Pemilihan Umum yang anggotanya berjumlah 5 (lima) orang, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban anggotanya berjumlah 7 (tujuh) orang, Komisi Perlindungan Anak Indonesia anggotanya berjumlah 9 (sembilan) orang, Komisi Pengawas Persaingan Usaha anggotanya berjumlah 9 (sembilan) orang. Demikian pula jika dibandingkan dengan badan-badan lain yang memiliki constitutional importance, seperti Komisi Yudisial anggotanya hanya 7 (tujuh) orang.
Bahwa rasionalitas dalam penentuan besarnya jumlah anggota ini menjadi sangat penting dalam rangka mengefektifkan kerja Komnas HAM itu sendiri dalam kaitannya sebagai sebuah lembaga yang memiliki constitutional importance. Jika diikuti perkembangan awal dibentuknya, jumlah anggota Komnas HAM pada awal pembentukannya memang termasuk banyak. Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) Keppres 50/1993 pada intinya menyatakan Komisi Paripurna yang diisi oleh tokoh-tokoh nasional sebagai unsur Komnas HAM terdiri dari 25 (dua puluh lima) anggota. Kemudian pengaturan mengenai jumlah anggota Komnas HAM justru semakin bertambah saat diatur dalam UU 39/1999.
Bahwa pengaturan jumlah anggota Komnas HAM yang ditambah dalam UU 39/1999 merupakan refleksi dari upaya menghadapi berbagai tuntutan perlindungan HAM yang semakin meningkat di era reformasi yang semula 25 (dua puluh lima) menjadi 35 (tiga puluh lima). Ditambahkannya jumlah anggota Komnas HAM seringkali dikaitkan dengan luas wilayah dan jumlah penduduk Indonesia yang dinilai membutuhkan banyak anggota untuk menyelesaikan berbagai masalah HAM. Namun demikian, yang menjadi pertanyaan adalah adanya pengaturan jumlah anggota Komnas HAM yang

menggunakan diksi atau kata “berjumlah” 35 (tiga puluh lima) orang, tetapi secara faktual jumlah anggota Komnas HAM tidak pernah penuh terisi hingga 35 (tiga puluh lima) orang. Sebagai contoh, pada periode 2002-2007 berjumlah 23 orang anggota, pada periode 2007-2012 hanya berjumlah 11 orang.
Bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, terutama fakta selama ini jumlah anggota Komnas HAM yang tidak pernah terisi penuh 35 (tiga puluh lima) orang, maka menurut Mahkamah pengaturan mengenai kata “berjumlah” 35 (tiga puluh lima) orang tersebut menjadi tidak berkepastian hukum, sebab secara harfiah makna kata “berjumlah” mempunyai sifat imperatif yang harus dipenuhi, sementara fakta bahwa selama ini anggota Komnas HAM berjumlah 35 orang tersebut tidak pernah dipenuhi dan hal tersebut dianggap pembenaran, maka hal ini justru semakin menimbulkan ketidakpastian hukum. Padahal norma Pasal 83 ayat (1) UU 39/1999 mengatur secara imperatif anggota Komnas HAM karena menggunakan kata “berjumlah” bukan frasa “paling tinggi” 35 (tiga puluh lima) orang [vide angka 256 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan], karena faktanya ketentuan kata “berjumlah” yang menunjukkan sifat imperatif tidak pernah terpenuhi.
Terlepas dari, apakah norma imperatif ini tidak dipenuhi karena tidak banyak calon yang memenuhi syarat, atau memang menjadi kebijakan Komnas HAM yang mengusulkannya, menurut Mahkamah untuk dapat memberi kepastian hukum yang adil, maka norma Pasal 83 ayat (1) UU 39/1999 seharusnya tidak bersifat imperatif, namun bersifat fakultatif, sehingga ketika tidak dapat terpenuhi tidak melanggar norma imperatif tersebut. Meskipun demikian, penentuan besaran jumlah dalam norma undang-undang merupakan kebijakan hukum terbuka pembentuk undang- undang, namun dalam penentuannya harus memberikan kepastian hukum.
Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah untuk memberi kepastian hukum maka kata “berjumlah” dalam Pasal 83 ayat (1) UU 39/1999 dimaknai sebagai “berjumlah paling tinggi”. Dengan demikian, jika dalam pelaksanaannya Komnas HAM hanya beranggotakan 7 (tujuh) orang atau 9 (sembilan) orang sebagaimana yang dimohonkan para Pemohon, tidaklah melanggar norma undang-undang. Oleh karena itu, menurut Mahkamah dalil permohonan para Pemohon sepanjang mengenai kata “berjumlah” beralasan menurut hukum untuk sebagian.
2. Bahwa terhadap persoalan konstitusional mengenai pemilihan, pemberhentian Anggota Komnas HAM, oleh DPR dengan tidak melibatkan Presiden yang para Pemohon dalilkan telah menciderai sistem presidensial di Indonesia, menurut Mahkamah pengaturan yang tampak sangat DPR

heavy dan meninggalkan peran kekuasaan eksekutif ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah berdirinya Komnas HAM. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya di atas, Komnas HAM yang didirikan berdasarkan Keppres 50/1993, menyebabkan Komnas HAM dianggap awalnya hanya sebagai perpanjangan tangan Presiden, sehingga tidak akan menjangkau pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Presiden yang berkuasa saat itu. Sejalan dengan semangat reformasi 1998 yang menjadi latar belakang lahirnya UU 39/1999 justru berkehendak untuk membatasi kekuasaan Presiden yang sangat besar pada masa pemerintahan Orde Baru. Dengan kekuasaan yang besar tersebut telah banyak terjadi pelanggaran HAM sebagaimana hal tersebut dinyatakan pula dalam Penjelasan UU 39/1999 bahwa:
“Pada kenyataannya selama lebih lima puluh tahun usia Republik Indonesia, pelaksanaan penghormatan, perlindungan, atau penegakan hak asasi manusia masih jauh dari memuaskan. Hal tersebut tercermin dari kejadian berupa penangkapan yang tidak sah, penculikan, penganiayaan, perkosaan, penghilangan paksa, bahkan pembunuhan, pembakaran rumah tinggal dan tempat ibadah, penyerangan pemuka agama beserta keluarganya. Selain itu, terjadi pula penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik dan aparat negara yang seharusnya menjadi penegak hukum, pemelihara keamanan, dan pelindung rakyat, tetapi justru mengintimidasi, menganiaya, menghilangkan paksa dan/atau menghilangkan nyawa”.
Fakta-fakta yang melatarbelakangi terbitnya UU 39/1999 menyebabkan norma-norma yang berkaitan dengan keanggotaan Komnas HAM dijauhkan dari campur tangan Presiden, sehingga peran Presiden hanya meresmikan anggota Komnas HAM sebagaimana diatur dalam Pasal 83 ayat (1) UU 39/1999 dan Penjelasannya. Demikian pula halnya dalam proses pemilihan, pengangkatan dan pemberhentian anggota dan pimpinan Komnas HAM yang diatur dalam Pasal 85 ayat (1) dan Pasal 86 UU 39/1999, Presiden juga hanya menetapkan dengan Keputusan Presiden, atau hanya melaksanakan fungsi administratif.
Bahwa lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 83 ayat (1) UU 39/1999 dijelaskan peresmian oleh Presiden tersebut dimaksudkan untuk tetap menjaga kemandirian Komnas HAM. Mahkamah dapat memahami pilihan pembuat kebijakan untuk memberikan kewenangan kepada DPR untuk memilih anggota Komnas HAM adalah karena DPR sebagai perwakilan rakyat yang merepresentasikan suara rakyat, sehingga untuk pemilihan anggota Komnas HAM dikembalikan kepada lembaga representasi rakyat.
Bahwa namun demikian, terlepas dari dalil para Pemohon mengenai pilihan sistem pemilihan anggota Komnas HAM yang tidak dapat menyeimbangkan kekuasaan DPR dan Presiden, menurut Mahkamah

bagaimana cara pemilihan anggota Komnas HAM merupakan kebijakan hukum terbuka dari pembentuk UU. Konstitusi tidak mengatur sistem dan tata cara pemilihan anggota komisi negara, sehingga konstitusi memberi keleluasaan kepada pembentuk UU untuk mengaturnya, menyesuaikan dengan dinamika perkembangan ketatanegaraan serta kehidupan sosial masyarakat. Keleluasaan ini yang disadari akan mengalami perubahan dari waktu ke waktu sehingga pembentuk UU dapat membuat pilihan kebijakan yang efektif dan efisien. Pilihan kebijakan tersebut menjadi kebijakan hukum terbuka yang merupakan ranah pembentuk undang-undang sepanjang pilihan yang diambil tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk UU, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, dan tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945, serta memiliki rasionalitas yang dapat dipertanggungjawabkan.
3. Terhadap persoalan konstitusional mengenai tata cara pemilihan, pengangkatan serta pemberhentian keanggotaan dan pimpinan Komnas HAM yang ditetapkan dengan Peraturan Tata Tertib Komnas HAM serta pengaturan hak Anggota Komnas HAM untuk mengajukan bakal calon Anggota Komnas HAM dalam Sidang Paripurna yang para Pemohon dalilkan akan melemahkan sistem checks and balances sehingga menghalangi orang lain untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, menurut Mahkamah dalil para Pemohon ini pada pokoknya bermuara pada persoalan tatacara pemilihan yang tidak dapat dilepaskan dari kesejarahan pembentukan Komnas HAM sebagaimana telah dipertimbangkan di atas. Oleh karena hal ini berkaitan dengan pengaturan tatacara yang menurut Mahkamah merupakan pilihan kebijakan yang dapat diambil oleh pembentuk undang-undang, tentunya dengan mempertimbangkan secara saksama risiko-risiko dari pilihan kebijakan yang diambil, serta mendasarkan pada rasionalitas dengan memperhatikan syarat yang ditentukan oleh Mahkamah yaitu sepanjang pilihan yang diambil tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembuat undang-undang dan tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945.
Bahwa dalam pelaksanaannya Mahkamah menyadari kekhawatiran yang para Pemohon dalilkan mungkin saja dapat terjadi, seperti kemungkinan ada oknum anggota Komnas HAM yang memanfaatkan celah kebijakan ini untuk melanggengkan kekuasaannya, melakukan praktik nepotisme dengan memasukkan orang-orang yang memiliki kedekatan padahal yang dicalonkan belum tentu calon terbaik, sedangkan warga negara lain yang ingin menjadi anggota Komnas HAM menjadi tertutup kesempatannya. Demikian juga dengan pengaturan pemilihan, pengangkatan dan pemberhentian anggota Komnas HAM yang diatur sendiri dalam tata tertib Komnas HAM, juga dimungkinkan terjadi pengaturan-

pengaturan yang menguntungkan pihak tertentu, sehingga pencalonan orang-orang yang dikehendaki oleh oknum Anggota Komnas HAM yang masih menjabat bisa berjalan dengan mulus. Namun, terhadap kekhawatiran para Pemohon a quo menurut Mahkamah bukanlah merupakan persoalan konstitusionalitas norma, jikapun terjadi persoalan demikian, quod non, hal ini merupakan persoalan implementasi norma undang-undang. Persoalan efektivitas norma undang-undang harus dibedakan dengan persoalan konstitusionalitas norma undang-undang, karena tidak efektifnya suatu norma undang-undang tidak serta-merta berarti norma undang-undang itu bertentangan dengan konstitusi.
[3.12] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas menurut Mahkamah dalil permohonan para Pemohon sepanjang terkait dengan kata “berjumlah” yang diatur dalam Pasal 83 ayat (1) UU 39/1999 menimbulkan ketidakpastian hukum. Oleh karenanya Mahkamah akan memberi pemaknaan yang tertuang dalam amar putusan di bawah ini. Sedangkan terhadap dalil-dalil permohonan para Pemohon lainnya terkait Pasal 85 ayat (1), Pasal 86 dan Pasal 87 ayat (2) huruf d UU 39/1999 bertentangan Pasal 4 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3), serta Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 adalah merupakan kebijakan hukum terbuka yang menjadi ranah pembentuk undangundang untuk menentukannya, sehingga harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.
[3.13] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah menyatakan Pasal 85 ayat (1), Pasal 86, dan Pasal 87 ayat (2) huruf d UU 39/1999 konstitusional, namun Mahkamah mempertimbangkan pentingnya untuk dilakukan pemantauan dan peninjauan terhadap UU 39/1999 sebagaimana ditentukan dalam Pasal 95A Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang pada pokoknya menyatakan pemantauan dan peninjauan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dilaksanakan oleh DPR, Pemerintah, dan DPD yang hasilnya dapat menjadi usulan dalam penyusunan Prolegnas. Terlepas dari apakah UU 39/1999 telah dilakukan pemantauan dan peninjauan, namun posisi UU a quo sejak tahun 2015 telah dimasukkan dalam daftar Prolegnas 2015-2019 dan saat inipun UU a quo dimasukkan kembali dalam Prolegnas 2020-2024 [vide Keputusan DPR Nomor 19/DPR.RI/I/2018-2019 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan UndangUndang Prioritas Tahun 2019 dan Perubahan Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Tahun 2015-2019 juncto Keputusan DPR Nomor 8/DPR.RI/II/2021-2022 tentang Prolegnas Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2022 dan Prolegnas Rancangan Undang-Undang Perubahan Ketiga Tahun 2020-2024]. Oleh karena itu, pembentuk undang-undang dapat memprioritaskan

proses perubahan atas UU 39/1999. Dengan demikian, materi yang terkait dengan seberapa besar anggota Komnas HAM yang rasional serta tata cara pemilihan, pengangkatan dan pemberhentian keanggotaan Komnas HAM yang merupakan kebijakan hukum terbuka ranah pembentuk undang-undang dapat dituangkan dalam materi muatan perubahan dimaksud. Namun demikian, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa dalam menentukan pilihan kebijakan mengubah UU 39/1999 perlu pula memperhatikan tata cara seleksi/rekrutmen anggota Komnas HAM dengan nilai-nilai demokrasi berkeadilan yang berkembang di masyarakat, perkembangan dinamika politik ketatanegaraan dan menyesuaikan dengan model/proses pengisian anggota komisi negara lainnya dengan memperhatikan kekhasan Komnas HAM yang memiliki perbedaan dari komisi negara lain. Pilihan kebijakan yang diambil perlu mempertimbangkan risiko terjadinya pelanggaran ataupun penyalahgunaan pada tataran implementasi, sehingga tujuan untuk meningkatkan perlindungan HAM bagi warga negara Indonesia dapat tercapai dan institusi Komnas HAM dapat menjalankan tugas dan fungsinya dengan efektif dan efisien.
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, dalil para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. Sedangkan, terhadap dalil dan hal-hal lain tidak dipertimbangkan karena dipandang tidak relevan dan oleh karena itu harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.