Bahwa pada hari Selasa tanggal 31 Mei 2022, pukul 10.21 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang terhadap (UU 10/2016) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 2/PUU-XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 2/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang- Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang- Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian frasa “serta perbuatan melanggar kesusilaan lainnya” dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.11] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan Pemohon beserta alat-alat bukti yang diajukan oleh Pemohon, persoalan konstitusional yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah apakah frasa “serta perbuatan melanggar kesusilaan lainnya” dalam Penjelasan Pasal 7 ayat
(2) huruf i UU 10/2016 menyebabkan mantan narapidana yang telah menjalani masa pidananya menjadi terhalangi hak konstitusionalnya untuk dipilih dalam kontestasi pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pemilihan gubernur/wakil gubernur, walikota/wakil walikota, dan bupati/wakil bupati) sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Terhadap persoalan tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa sebagai negara hukum yang demokratis atau negara demokrasi yang berdasarkan hukum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, Indonesia menempatkan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Jika kedaulatan berada di tangan rakyat maka tujuan dari kekuasaan tersebut adalah demi kepentingan rakyat. Di sinilah paham negara hukum tidak dapat dipisahkan dari paham kerakyatan, hukum akan mengatur dan membatasi kekuasaan, sedangkan kekuasaan atau pemerintah membuat hukum berdasarkan kehendak rakyat.
2
Bahwa untuk mewujudkan negara demokrasi yang berdasar pada hukum maka penyelenggaraan pemilihan umum dan juga pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang demokratis yang bersifat bebas, jujur, dan adil menjadi sebuah konsekuensi logis. Salah satu wujud dan mekanisme demokrasi di daerah adalah dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, sebagaimana amanat Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menegaskan bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. Pembentuk undang-undang melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 (Perppu 1/2014), telah memilih sistem pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota secara langsung (direct popular vote), pilihan ini diambil untuk menghormati kedaulatan rakyat serta demokrasi dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat (vide Konsideran Menimbang huruf a Perppu 1/2014 sebagaimana telah disahkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang- Undang, selanjutnya disebut UU 1/2015). Oleh karena itu, dengan sistem pemilihan secara langsung maka keterlibatan warga negara yang telah memenuhi syarat untuk dipilih dan memilih dalam proses pemilihan menjadi sangat terbuka.
Bahwa meskipun hak untuk memilih dan dipilih adalah hak konstitusional, namun negara dapat melakukan pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis (vide Pasal 28J ayat (2) UUD 1945). Pembatasan-pembatasan terhadap hak pilih juga dikenal dalam Pasal 25 Kovenan Hak Sipil dan Politik yang menyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai hak dan kesempatan, tanpa pembedaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan tanpa pembatasan yang tidak wajar, salah satunya untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum. Untuk menciptakan pemilihan yang berkualitas bukan hanya ditentukan dari penyelenggaraan yang berkualitas, namun juga calon yang akan dipilih menjadi pemimpin juga harus berkualitas. Salah satu cara menjaga kualitas dari pemilihan adalah dengan memberikan batasan-batasan sehingga yang akan menjadi peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah calon- calon berintegritas.
Bahwa baik dalam konteks hak untuk dipilih maupun hak untuk memilih, negara memberi batasan siapa saja yang dapat dikategorikan memenuhi syarat sebagai pemilih dan sebagai calon yang akan dipilih. Dalam hal
3
pembatasan hak konstitusional demikian bukan berarti hak konstitusional pemilih dan calon yang dipilih menjadi terlanggar. Pembatasan tetap perlu ada untuk membuat sistem pemilihan yang tertib dan akan menghasilkan pemerintahan yang dipimpin oleh calon terbaik yang dipilih oleh rakyatnya yang kemudian akan memberikan pelayanan kepada masyarakat serta mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Oleh karena itulah pemilih yang akan memiliki hak pilih juga dibatasi dengan persyaratan yaitu pemilih yang dapat mempertanggungjawabkan pilihannya, yang dalam sistem pemilihan dipersyaratkan pemilih adalah penduduk yang berusia paling rendah 17 tahun atau sudah/pernah kawin (vide Pasal 1 angka 6 UU 1/2015). Pemilih juga disyaratkan harus terdaftar dalam daftar pemilih atau merupakan penduduk setempat yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk. Demikian juga untuk orang yang hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah, terdapat syarat yang ditetapkan oleh undang-undang yang salah satunya yaitu syarat tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang menjadi pokok permohonan Pemohon. Persyaratan calon dalam Pasal 7 UU 10/2016 secara kumulatif ditentukan sejumlah 20 (dua puluh) syarat, kesemuanya bertujuan untuk menjadi penyaring awal untuk mendapatkan calon terbaik yang setelah memenuhi persyaratan akan dipilih oleh masyarakat untuk menjadi pemimpin daerah.
[3.11.2] Bahwa pembatasan hak asasi dengan persyaratan calon harus dipandang bukan hanya dilihat dari sisi perorangan bakal calon yang hendak mencalonkan diri, namun juga dari sisi persepsi masyarakat daerah yang sedang mencari pemimpin daerahnya, di mana dengan sistem pemilihan langsung masyarakatlah yang secara langsung memilih tanpa adanya panitia seleksi sebagaimana pemilihan jabatan-jabatan lainnya. Oleh karenanya keduapuluh persyaratan yang dipersyaratkan oleh Pasal 7 UU 10/2016 merupakan seleksi awal yang dapat menghasilkan bakal-bakal calon yang berkualitas untuk dipilih oleh pemilih. Dengan demikian, menurut Mahkamah persyaratan calon diperlukan dalam sistem pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah demi mewujudkan demokrasi yang esensial, yaitu demokrasi yang tidak hanya mendasarkan pada suara terbanyak tetapi yang memiliki esensi pada tujuan luhur untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera yang dipimpin oleh pemimpin yang berintegritas dan berkualitas yang dihasilkan dari proses pemilihan yang melibatkan rakyat yang dipimpinnya;
Bahwa meskipun Mahkamah menganggap persyaratan bagi bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah hal yang penting untuk menjadi seleksi awal, namun Mahkamah juga pernah memutus dalam putusannya bahwa syarat yang ditentukan UU tidak konstitusional dan harus diberikan pemaknaan. Sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009, tanggal 24 Maret 2009 yang memutus bahwa syarat tidak pernah dijatuhi pidana yang diancam pidana penjara 5 tahun atau lebih adalah inkonstitusional sepanjang
4
tidak memenuhi syarat sebagai berikut: (i) tidak berlaku untuk jabatan publik yang dipilih (elected official); (ii) berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama 5 (lima) tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya; (iii) dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana; (iv) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang. Sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU- VII/2009 a quo Mahkamah juga memaknai syarat tidak pernah dipidana ini beberapa kali dalam putusannya terakhir dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019, tanggal 11 Desember 2019 yaitu calon kepala daerah dan wakil kepala daerah harus memenuhi syarat (i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa; (ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan (iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang;
[3.11.3] Bahwa selanjutnya terhadap persyaratan tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan SKCK, sebagaimana diatur dalam Pasal
7 ayat (2) huruf i UU 10/2016, meskipun Mahkamah pernah mempertimbangkannya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 99/PUU- XVI/2018 sebagaimana disebutkan pada Paragraf [3.10] di atas, namun Mahkamah hanya mempertimbangkan frasa “pemakai narkotika” dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016, di mana terhadap frasa “pemakai narkotika” dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 Mahkamah menyatakan sebagai norma yang konstitusional, namun dalam pertimbangan hukumnya memberikan makna bahwa sifat tercela menjadi tidak tepat jika dilekatkan kepada:
a. pemakai narkotika yang karena alasan kesehatan yang dibuktikan dengan keterangan dokter yang merawat pemakai yang bersangkutan; atau
b. mantan pemakai narkotika yang karena kesadarannya sendiri melaporkan diri dan telah selesai menjalani proses rehabilitasi; atau
c. mantan pemakai narkotika yang terbukti sebagai korban yang berdasarkan penetapan/putusan pengadilan diperintahkan untuk menjalani rehabilitasi dan telah dinyatakan selesai menjalani proses rehabilitasi yang dibuktikan dengan surat keterangan dari instansi negara yang memiliki otoritas untuk
5
menyatakan seseorang telah selesai menjalani proses rehabilitasi.
[3.12] Menimbang bahwa setelah menguraikan hal-hal sebagaimana tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan menjawab persoalan konstitusionalitas norma Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 yang dipermasalahkan oleh Pemohon, yaitu sepanjang terkait dengan frasa “serta perbuatan pelanggaran kesusilaan lainnya” bertentangan dengan UUD 1945 atau sepanjang frasa “serta perbuatan melanggar kesusilaan lainnya” dipersamakan dengan menyimpan psikotropika tanpa hak bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat (conditionally unconstitutional), sepanjang tidak dimaknai, “dikecualikan bagi Mantan Narapidana Psikotropika yang telah selesai menjalani Pidana Penjara dan Pidana Denda serta telah jeda lima tahun sejak putusan hakim berkekuatan hukum tetap”. Di mana Pemohon menganggap frasa dalam norma a quo menyebabkan Penjelasan a quo ditafsirkan bahwa Pemohon yang telah menjalani masa pidana penjara dan membayar denda karena menggunakan psikotropika tetap tidak dapat memenuhi syarat tidak pernah melakukan perbuatan tercela sebagaimana disyaratkan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016, sehingga terhalang untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Bahwa terhadap hal tersebut, sebagaimana juga telah diuraikan dalam pertimbangan hukum di atas, Mahkamah dalam putusan-putusan terdahulu terkait mantan terpidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih telah berpendirian bahwa mantan terpidana yang telah selesai menjalani masa pidana dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah sepanjang memenuhi syarat telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana, serta bukan pelaku tindak pidana yang berulang-ulang. Oleh karena itu, terhadap bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memiliki kualifikasi sebagai mantan terpidana dengan ancaman pidana 5 (lima) tahun atau lebih, Mahkamah telah menegaskan dengan memberi kesempatan kepada yang bersangkutan untuk dapat ikut serta dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sepanjang memenuhi syarat yang ditentukan dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 sebagaimana yang telah dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVIII/2019. Sebab, penilaian akhir terhadap calon mantan terpidana yang ikut kontestasi dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah menjadi pilihan masyarakat/pemilih untuk menentukannya.
[3.13] Menimbang bahwa selanjutnya berkenaan syarat calon kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 dan Penjelasannya, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 99/PUU-XVI/2018 juga telah mengecualikan pemberlakuan syarat tidak melakukan perbuatan tercela bagi pemakai narkotika yang karena
6
alasan kesehatan; atau mantan pemakai narkotika yang karena kesadarannya sendiri melaporkan diri dan telah selesai menjalani proses rehabilitasi; atau mantan pemakai narkotika yang terbukti sebagai korban dan yang telah dinyatakan selesai menjalani proses rehabilitasi. Oleh karena itu, yang bersangkutan jika memenuhi syarat-syarat lainnya dapat mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah tanpa dikategorikan telah melakukan perbuatan tercela sebagaimana yang dimaksud dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016. Dengan demikian, pertanyaan selanjutnya yang harus dijawab adalah bagaimana dengan mantan terpidana lain yang tidak tergolong ke dalam ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 sebagaimana yang telah dimaknai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU- XVIII/2019 dan mantan terpidana yang telah selesai menjalani masa pidana karena melakukan perbuatan tercela sebagaimana yang terdapat dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 seperti judi, mabuk, zina, dan pengedar narkotika, termasuk perbuatan melanggar kesusilaan lainnya. Apakah pelaku-pelaku tindak pidana ataupun perbuatan lain yang di antaranya termaktub dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 yang telah dijatuhi pidana karena perbuatannya tersebut oleh pengadilan dan telah selesai menjalani masa pidana dianggap tidak memenuhi syarat untuk mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Bahwa terhadap hal tersebut menurut Mahkamah syarat tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan SKCK sesungguhnya hanyalah bersifat administratif untuk membuktikan bahwa seseorang pernah atau tidak pernah melakukan perbuatan tercela. Namun, dalam hal ini apabila dikaitkan dengan semangat yang ada di dalam norma Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 dan Penjelasannya, SKCK tersebut bukanlah merupakan satu-satunya parameter bahwa seseorang yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah subjek hukum yang mempunyai rekam jejak yang serta merta dapat disimpulkan tidak memenuhi syarat sebagai seorang calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Sebab, bisa jadi seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang di antaranya termaktub dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 disebabkan karena adanya kelalaian atau kealpaan, di samping sifat dari perbuatannya yang sekalipun adalah tindak pidana akan tetapi bisa jadi adalah tergolong ringan/sedang dibandingkan dengan pelaku tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016. Oleh karena itu, hal demikian menurut Mahkamah akan terjadi disparitas dalam perspektif keadilan hukum dan keadilan hak konstitusional apabila terhadap pelaku tindak pidana yang diancam dengan pidana 5 (lima) tahun atau lebih diberi kesempatan untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah sebagaimana yang diatur dalam norma Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 yang telah dimaknai oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019, sementara terhadap pelaku perbuatan yang
7
melanggar kesusilaan sebagaimana di antaranya termaktub dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 dan telah dijatuhi pidana oleh pengadilan dan selesai menjalani masa pidana menjadi tertutup kesempatannya untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah sekalipun syarat-syarat lain terpenuhi oleh yang bersangkutan. Dengan demikian, untuk memenuhi adanya kepastian hukum dan rasa keadilan, tidak ada pilihan lain bagi Mahkamah selain memberi kesempatan yang sama bagi pelaku perbuatan tercela yang telah dijatuhi pidana oleh pengadilan dan telah selesai menjalani masa pidananya untuk dapat mencalonkan diri dalam kontestasi pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Sehingga, sekalipun syarat melampirkan SKCK sebagaimana yang dipersyaratkan dalam norma Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 tetap diberlakukan kepada setiap calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, namun apapun model ataupun format SKCK dimaksud, hal tersebut tidak boleh menjadi penghalang bagi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang bersangkutan untuk dapat ikut kontestasi pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sekalipun yang bersangkutan telah melakukan perbuatan tercela sepanjang yang bersangkutan telah memperoleh putusan pengadilan dan telah selesai menjalani masa pidana, serta sepanjang syarat-syarat lainnya terpenuhi. Dengan kata lain, bagi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang telah melakukan perbuatan yang melanggar Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 dan telah dijatuhi pidana oleh pengadilan serta telah selesai menjalani masa pidana, maka harus dikecualikan untuk tidak dikenakan syarat SKCK yang masih dikaitkan dengan perbuatannya tersebut.
[3.14] Menimbang bahwa di samping pertimbangan hukum tersebut di atas, oleh karena syarat-syarat untuk menjadi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dibuat secara ketat adalah untuk mendapatkan calon pemimpin daerah yang berintegritas, maka meskipun terhadap calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang telah dijatuhi pidana oleh pengadilan dan telah selesai menjalani masa pidana dikarenakan melakukan perbuatan yang diatur dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 diberi kesempatan untuk dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah dan pertimbangan pilihan diserahkan kepada para pemilihnya/masyarakat, namun hal tersebut tidak boleh menghilangkan informasi tentang jati diri masing- masing calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Oleh karena itu, sebagaimana juga diberlakukan untuk ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016, untuk mencapai tujuan yang sama, yaitu untuk memberikan informasi tentang jati diri secara lengkap terhadap masing-masing calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, maka dalam memaknai Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 ini pun juga diwajibkan kepada calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang pernah melakukan perbuatan tercela yang telah memperoleh putusan pengadilan dan telah selesai menjalani masa pidana, untuk secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai
8
mantan terpidana, sebagaimana juga telah dipersyaratkan dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016, yang telah dimaknai oleh Putusan Mahakamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 tersebut.
[3.15] Menimbang bahwa dengan adanya penegasan dari Mahkamah di atas maka kepada penyelenggara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah termasuk dalam hal ini pihak Kepolisian yang berwenang mengeluarkan SKCK, untuk segera memformulasikan bentuk/format SKCK sebagaimana yang dikehendaki dalam norma Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 dengan menyesuaikan semangat yang ada dalam putusan a quo.
[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas Mahkamah berpendapat dapat menerima dalil Pemohon sepanjang yang menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan, serta Petitum Pemohon yang meminta untuk menyatakan inkonstitusional secara bersyarat. Namun, dalam merumuskan syarat konstitusionalnya Mahkamah memiliki kesimpulan sendiri, sebagaimana tertuang dalam amar putusan di bawah ini. Dengan demikian, Mahkamah berkesimpulan permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.17] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. Sedangkan, terhadap dalil dan hal-hal lain tidak dipertimbangkan karena dipandang tidak relevan dan oleh karena itu harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430