Info Judicial Review Putusan MK - Menyatakan Mengabulkan


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-info-judicial-review.phtml on line 66

Warning: Undefined property: stdClass::$penutupan in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-info-judicial-review.phtml on line 91

Deprecated: nl2br(): Passing null to parameter #1 ($string) of type string is deprecated in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-info-judicial-review.phtml on line 91
INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dikabulkan Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 71/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DAN UNDANG- UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 24-02-2022

Bahwa pada hari Kamis tanggal 24 Februari 2022, pukul 10.31 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (selanjutnya disebut UU Jaminan Fidusia) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 71/PUU- XIX/2021. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 71/PUU-XIX/2021, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian KUHP dan UU Jaminan Fidusia dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.12.1] Bahwa para Pemohon mendalilkan norma Pasal 372 KUHP yang menyatakan “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”, bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “Barang siapa dengan sengaja memiliki dengan melawan hak suatu benda yang sama sekali atau sebahagiannya termasuk kepunyaan orang lain dan benda itu ada dalam tangannya bukan karena kejahatan, dihukum karena penggelapan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak sembilan ratus rupiah, kecuali terhadap objek jaminan fidusia yang tidak ditunjukkan oleh debitur karena tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debiturtidak secara sukarela menyerahkan objek jaminan fidusia”. Atau, sepanjang tidak mengandung makna debitur yang tidak menunjukkan objek jaminan fidusia dalam rangka melindungi dari penarikan secara sepihak oleh kreditur karena tidak adanya kesepakatan tentang cidera janji tidak dianggap sebagai tindak pidana penggelapan.
2

Terhadap dalil para Pemohon a quo penting bagi Mahkamah untuk menegaskan terlebih dahulu mengenai hukum pidana. Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik yang mengatur hubungan antara individu/masyarakat dengan negara berupa norma yang disertai dengan pengaturan dan ancaman sanksi bagi siapa pun yang melanggarnya. Hukum pidana meliputi atau terdiri dari hukum pidana umum dan hukum pidana khusus. Dalam hal ini, secara doktriner, hukum pidana umum adalah hukum pidana yang diberlakukan bagi setiap orang yang bersumber dari KUHP, sedangkan hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang diberlakukan bagi orang-orang tertentu yang bersumber/diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan di luar KUHP.
Bahwa para Pemohon mengajukan pengujian ketentuan Pasal 372 KUHP, di mana ketentuan ini termasuk dalam Bab XXIV tentang Penggelapan yang merupakan bagian ketentuan hukum pidana umum. Para Pemohon dalam permohonannya memohon agar ketentuan Pasal
372 KUHP diberikan pemaknaan pengecualian khusus untuk tindak pidana yang berkaitan dengan jaminan fidusia. Menurut Mahkamah, apa yang dimohonkan para Pemohon secara fundamental akan mengubah konstruksi norma hukum yang terdapat dalam Pasal 372 KUHP. Sebab, konstruksi norma hukum Pasal 372 KUHP tersebut bersifat universal, yang artinya, ruang lingkup bekerjanya ketentuan tersebut dapat ditujukan untuk objek apapun yang dilakukan setiap subjek hukum yang diduga melakukan tindak pidana yang memenuhi unsur-unsur delik tindak pidana penggelapan. Oleh karena itu, tindak pidana penggelapan tidak dapat hanya dikaitkan dengan jenis perbuatan hukum tertentu sebagaimana pengecualian yang diinginkan oleh para Pemohon. Dengan demikian, apabila penambahan frasa “kecuali terhadap objek jaminan fidusia yang tidak ditunjukkan oleh debitur karena tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur tidak secara sukarela menyerahkan objek jaminan fidusia”, atau, sepanjang tidak mengandung makna debitur yang tidak menunjukkan objek jaminan fidusia dalam rangka melindungi dari penarikan secara sepihak oleh kreditur karena tidak adanya kesepakatan tentang cidera janji tidak dianggap sebagai tindak pidana penggelapan” sebagaimana yang dimohonkan oleh para Pemohon diakomodir, maka hal tersebut justru akan mempersempit ruang lingkup dari sifat ketentuan norma Pasal 372 KUHP dan mengakibatkan timbulnya ketidakpastian hukum. Sementara, dalam ketentuan UU 42/1999 telah diatur beberapa ketentuan pidana yang berkaitan dengan penegakan norma primernya, sebagaimana dimaktubkan dalam ketentuan Pasal 35 UU 42/1999 yang mengatur mengenai perbuatan yang dengan sengaja memalsukan, mengubah, menghilangkan atau dengan cara apapun memberikan keterangan secara
3

menyesatkan, yang jika hal tersebut diketahui oleh salah satu pihak tidak melahirkan perjanjian Jaminan Fidusia, serta dalam Pasal 36 UU 42/1999 yang mengatur mengenai sanksi pidana bagi Pemberi Fidusia yang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia. Dengan demikian, jika dipandang masih terdapat persoalan dalam memberikan sanksi pidana atas pelanggaran perjanjian fidusia maka menjadi otorisasi pembentuk undang-undang untuk mengaturnya, kecuali jika persoalan pelanggaran tersebut berkaitan dengan konstitusionalitas norma maka Mahkamah berwenang untuk menilainya.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 372 KUHP adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.12.2] Bahwa selanjutnya para Pemohon mendalilkan inkonstitusionalitas norma Pasal 30 UU 42/1999 beserta Penjelasannya karena norma a quo tidak terlepas dari pengujian Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 yang telah diputus oleh Mahkamah Kontitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU- XVII/2019, bertanggal 6 Januari 2020 dan telah ditegaskan kembali di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-XIX/2021 bertanggal 31 Agustus2021.
....
Berkenaan dengan dalil para Pemohon a quo, menurut Mahkamah, pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU- XVII/2019 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU- XIX/2021 sesungguhnya telah terang benderang menjawab mengenai prosedur penyerahan objek fidusia sehingga kekhawatiran para Pemohon mengenai akan timbulnya eksekusi secara sepihak atau penarikan semena-mena yang dilakukan oleh kreditur, tidaklah akan terjadi. Sebab, Mahkamah juga telah mempertimbangkan mengenai tata cara eksekusi sertifikat jaminan fidusia yang diatur dalam ketentuan lain dalam UU 42/1999 agar disesuaikan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019. Artinya, putusan a quo berkenaan dengan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) tidaklah berdiri sendiri karena ketentuan pasal-pasal lain dalam UU 42/1999 yang berkaitan dengan tata cara eksekusi harus pula mengikuti dan menyesuaikan dengan putusan a quo, termasuk ketentuan Pasal 30 UU 42/1999 beserta Penjelasannya. Dengan demikian, pihak kreditur tidak dapat melakukan eksekusi sendiri secara paksa misalnya dengan meminta bantuan aparat kepolisian, apabila mengenai cidera janji (wanprestasi) oleh pemberi hak fidusia (debitur) terhadap kreditur yang masih belum diakui oleh debitur dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusia. Dalam hal ini, Mahkamah telah
4

menegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah KonstitusiNomor 2/PUU- XIX/2021 bahwa kreditur harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada Pengadilan Negeri.
Bahwa berkaitan dengan eksekusi jaminan objek fidusia, penting ditegaskan oleh Mahkamah, perjanjian fidusia adalah hubungan hukum yang bersifat keperdataan (privat) oleh karena itu kewenangan aparat kepolisian hanya terbatas mengamankan jalannya eksekusi bila diperlukan, bukan sebagai bagian dari pihak eksekutor, kecuali ada tindakan yang mengandung unsur- unsur pidana maka aparat kepolisian baru mempunyai kewenangan untukpenegakan hukum pidananya. Oleh karena itu, berkenaan dengan frasa “pihak yang berwenang” dalam Penjelasan Pasal 30 UU 42/1999 adalah dimaknai “pengadilan negeri” sebagai pihak yang diminta bantuan untuk melaksanakan eksekusi tersebut.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para Pemohon berkenaan dengan Pasal 30 UU 42/1999 telah menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan menghilangkan hak perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, dan martabat sebagaimana termaktub dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
Sedangkan, terhadap dalil para Pemohon berkenaan dengan Penjelasan Pasal 30 UU 42/1999 telah menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan menghilangkan hak perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, dan martabat sebagaimana termaktub dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian.