Bahwa pada hari Rabu, tanggal 27 Oktober 2021, pukul 12.50 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara (selanjutnya disebut UU 3/2020) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 64/PUU- XVIII/2020. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 64/PUU- XVIII/2020, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian UU 3/2020 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.15] …
[3.16] Menimbang bahwa setelah menguraikan hal-hal tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil-dalil yang dikemukakan Pemohon II, sebagai berikut:
Bahwa Pemohon II mendalilkan norma Pasal 169A UU 3/2020 menegaskan adanya perbedaan perlakuan antara pemegang KK dan PKP2B dengan badan usaha swasta untuk memperoleh IUPK. Padahal secara hukum pemegang KK dan PKP2B juga merupakan badan usaha swasta yang sama posisinya dengan badan usaha swasta yang diatur dalam Pasal 75 ayat (4) UU 3/2020. Penambahan Pasal 169A UU 3/2020 memberikan kesempatan kepada pemegang KK dan PKP2B memperoleh jaminan perpanjangan menjadi IUPK tidak memiliki politik hukum yang jelas, karena tidak ada alasan hukum (ratio legis) dari pembentuk undangundang dalam mengubah dan mengatur hak-hak pemegang KK dan PKP2B di mana 2 (dua) jenis kontrak tersebut adalah badan usaha swasta. Selain itu, keberadaan Pasal 169A UU 3/2020 telah memberikan kewenangan yang terlampau luas kepada Menteri untuk memberikan jaminan perpanjangan menjadi IUPK kepada pemegang KK dan PKP2B tanpa mengikutsertakan Pemerintah Daerah sebagai pihak yang secara langsung berdampak dari keberadaan kegiatan yang tertuang dalam KK dan PKP2B.
Terhadap dalil Pemohon II tersebut di atas, menurut Mahkamah konstruksi Pasal 75 ayat (3) UU 3/2020 yang ada relevansinya dengan ketentuan norma Pasal 169A UU 3/2020 sesungguhnya telah memberikan penegasan berkenaan dengan pemberian prioritas kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) untuk memperoleh IUPK. Hal ini sejak awal telah menjadi politik hukum yang dipilih oleh pembentuk undang-undang sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Filosofi yang terkandung dalam pemberian prioritas kepada BUMN dan BUMD tersebut tidak lain disebabkan karena negara ingin mengejawantahkan peran serta negara dalam mengaktualisasikan prinsip “penguasaan negara terhadap sumber daya alam”. Sebab, dengan melalui organ BUMN dan BUMD tersebutlah sesungguhnya penguasaan negara terhadap sumber daya alam dapat diwujudkan sebagaimana juga diamanatkan oleh Pasal 33 ayat
(3) UUD 1945. Oleh karenanya, menjadi hal sangat penting untuk memperlakukan
3
adanya perbedaan antara badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah dengan badan usaha swasta.
Bahwa lebih lanjut dapat dijelaskan, pembedaan sebagaimana tersebut di atas dimaksudkan untuk memberikan penguatan (justifikasi) agar terhadap sumber daya alam di Indonesia tidak dengan mudah dapat diserahkan pengelolaannya kepada pihak swasta, baik domestik maupun asing, kecuali telah terlebih dahulu memberikan prioritas kepada BUMN dan BUMD. Oleh karenanya, seleksi untuk diberikannya IUPK harus dilakukan secara ketat dan harus berpedoman pada ketentuan Pasal 75 UU 3/2020 yang menyatakan:
(1) Pemberian IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) dilakukan berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28.
(2) IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada BUMN, badan usaha milik daerah, atau Badan Usaha swasta.
(3) BUMN dan badan usaha milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mendapat prioritas dalam mendapatkan IUPK.
(4) Badan Usaha swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk mendapatkan IUPK dilaksanakan dengan cara lelang WIUPK.
(5) Lelang WIUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh Menteri dan dilaksanakan dengan mempertimbangkan:
a. luas WIUPK yang akan dilelang;
b. kemampuan administratif/manajemen;
c. kemampuan teknis dan pengelolaan lingkungan; dan
d. kemampuan finansial.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai lelang sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Bahwa dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 75 UU 3/2020 tersebut di atas maka sesungguhnya telah jelas berkenaan dengan pemberian IUPK pada badan swasta harus dilaksanakan dengan cara lelang WIUPK dan tidak dibedakan baik terhadap badan usaha swasta dalam negeri maupun luar negeri (vide Pasal 75 ayat (4) UU 3/2020) dan dengan harus memenuhi pertimbangan sebagaimana yang dipersyaratkan dalam ketentuan Pasal 75 ayat (5) UU 3/2020. Oleh karena itu, berkaitan dengan hal tersebut maka terhadap ketentuan Pasal 169A UU 3/2020 menimbulkan adanya ketidaksesuaian dengan semangat yang terdapat dalam Pasal 75 UU 3/2020. Terlebih, ketentuan yang membenarkan terhadap diberikan jaminan perpanjangan menjadi IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian. Artinya, terhadap badan usaha yang melakukan Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) secara otomatis mendapatkan jaminan perpanjangan menjadi IUPK, padahal sesungguhnya KK maupun PKP2B adalah hubungan hukum yang bersifat privat yang sebenarnya harus sudah selesai pada saat jangka waktu perjanjian tersebut berakhir. Oleh karenanya tidak ada lagi hubungan hukum antara Pemerintah dengan badan usaha swasta yang terdapat dalam KK maupun PKP2B untuk
4
diberikan prioritas berupa jaminan perpanjangan menjadi IUPK sekalipun memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 169A ayat (1) UU 3/2020. Sehingga, dengan demikian Pemerintah seharusnya mulai melakukan penataan kembali dengan mengejawantahkan penguasaan negara terhadap sumber daya alam, khususnya dalam pemberian izin, untuk mulai dilakukan penertiban dengan skala prioritas sebagaimana yang diamanatkan dalam UU 3/2020 a quo.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan tersebut di atas, terlepas dari esensi adanya jaminan terhadap KK dan PKP2B diberikan perpanjangan IUPK setelah memenuhi persyaratan disebabkan karena faktor historis berkenaan dengan sejarah investasi yang memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, namun pemberian jaminan yang demikian akan menutup dan menjauhkan implementasi penguasaan sumber daya alam oleh negara. Di samping pertimbangan hukum tersebut jaminan pemberian IUPK tersebut juga menutup peluang badan usaha dalam negeri berperan memajukan perekonomian sesuai dengan semangat dalam Pasal 33 UUD 1945. Oleh karena itu, Mahkamah berpendirian terhadap frasa “diberikan jaminan” dalam Pasal 169A ayat (1) UU 3/2020 serta kata “dijamin” dalam Pasal 169A ayat (1) huruf a dan huruf b UU 3/2020 bertentangan dengan semangat penguasaan oleh negara dan memberikan peluang kepada badan usaha dalam negeri sebagaimana diamanatkan oleh UU 3/2020 a quo. Dengan demikian, tanpa bermaksud mengurangi pemberian kesempatan kepada badan usaha swasta untuk turut berkompetisi dalam mendapatkan IUPK dan ditambah dengan pertimbangan agar pemerintah mendapatkan badan usaha swasta yang benar-benar mempunyai kapabilitas dan integritas serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang memenuhi prinsip-prinsip good corporate governance, maka frasa “diberikan jaminan” dalam Pasal 169A ayat (1) UU 3/2020 haruslah dimaknai dengan frasa “dapat diberikan” serta kata “dijamin” dalam Pasal 169A ayat (1) huruf a dan huruf b UU 3/2020 haruslah dimaknai dengan kata “dapat”;
[3.17] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas telah ternyata ketentuan dalam Pasal 169A ayat (1) UU 3/2020 sepanjang frasa “diberikan jaminan” serta Pasal 169A ayat (1) huruf a dan huruf b UU 3/2020 sepanjang kata “dijamin” bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), serta Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Dengan demikian, permohonan Pemohon II beralasan menurut hukum untuk sebagian;
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430