Info Judicial Review Putusan MK - Menyatakan Mengabulkan


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-info-judicial-review.phtml on line 66

Warning: Undefined property: stdClass::$penutupan in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-info-judicial-review.phtml on line 91

Deprecated: nl2br(): Passing null to parameter #1 ($string) of type string is deprecated in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-info-judicial-review.phtml on line 91
INFO JUDICIAL REVIEW (RESUME PUTUSAN PERKARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG YANG DITOLAK DAN DIKABULKAN SEBAGIAN OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 70/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN FORMIL DAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2019 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 04-05-2021

Bahwa pada hari Selasa tanggal 4 Mei 2021, pukul 16.22 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan yang dilaksanakan secara virtual yaitu pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU 19/2019) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 70/PUU- XVII/2019. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 59/PUU- XVII/2019, perwakilan DPR RI dihadiri oleh dihadiri secara virtual oleh Anggota DPR RI Taufik Basari, SH. M.Hum. LL.M (A-359) dan didampingi secara virtual oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 19/2019 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
Pengujian Formil
[3.17] Menimbang bahwa terhadap permohonan pengujian formil terkait UU 19/2019 telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Nomor 79/PUU-XVII/2019, bertanggal 4 Mei 2021, selesai diucapkan pukul 15.13 WIB dan telah dinyatakan tidak beralasan menurut hukum, sehingga pertimbangan hukum tersebut berlaku secara mutatis mutandis sebagai pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XVII/2019 a quo. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XVII/2019 tersebut Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion), yang pendapat berbeda tersebut berlaku juga untuk Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU- XVII/2019 a quo;
4

Berdasarkan pertimbangan hukum demikian, yang pada pokoknya menurut Mahkamah prosedur pembentukan UU 19/2019 telah bersesuaian denganUUD 1945, maka permohonan para Pemohon dalam perkara a quo mengenai pengujian formil konstitusionalitas UU 19/2019 harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum;

[3.18] Menimbang bahwa oleh karena permohonan pengujian formil dinyatakan tidak beralasan menurut hukum maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan permohonan pengujian materiil.

Pengujian Materiil
[3.20.1] Bahwa berkenaan dengan dalil para Pemohon mengenai norma Pasal 1 angka 3 UU 19/2019, penting bagi Mahkamah untuk menjelaskan terlebih dahulu kedudukan pasal a quo dalam kaitan dengan pasal-pasal lainnya. Pasal 1 angka 3 UU 19/2019 pada pokoknya merupakan bagian dari Ketentuan Umum yang mengatur mengenai definisi KPK yang selengkapnya menyatakan “Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan Undang- Undang ini”. Dalam UU sebelumnya [Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberatansan Tindak Pindana Korupsi (UU 30/2002)], definisi/pengertian KPK tidak ditempatkan dalam Pasal 1 tetapi terakomodasi dalam ketentuan Pasal 3 UU 30/2002. Sementara itu, oleh pembentuk undang-undang juga dirumuskan norma yang secara substansial merupakan pengertian KPK dalam Pasal 3 UU 19/2019, yang selengkapnya menyatakan, “Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun”. Dalam kaitan inilah, seolah-olah terdapat dua rumusan definisi/pengertian yakni sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 1 angka 3 dan Pasal 3 UU 19/2019. Jika memang benar hal demikian yang dimaksud oleh pembentuk undang-undang maka di antara keduanya tidak dibolehkan menimbulkan pengertian yang tidak sejalan, sebagaimana hal ini telah dinyatakan dalam Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011), angka 107 menyatakan, “Karena batasan pengertian atau definisi, singkatan,
5

atau akronim berfungsi untuk menjelaskan makna suatu kata atau istilah maka batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim tidak perlu diberi penjelasan, dan karena itu harus dirumuskan dengan lengkap dan jelas sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda”. Pertanyaannya adalah apakah definisi/pengertian tersebut telah lengkap dan tidak menimbulkan pengertian ganda.
Setelah mempelajari secara saksama rumusan definisi Pasal 1 angka 3 UU 19/2019 terdapat frasa “melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”. Sementara itu, jika dikaitkan dengan rumusan definisi Pasal 1 angka 4 UU 19/2019 yang selengkapnya menyatakan bahwa “Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah serangkaian kegiatan untuk mencegah dan memberantas terjadinya tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan”, hal tersebut menunjukkan bahwa dalam pengertian “Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” dengan sendirinya telah tercakup sekaligus pengertian pencegahan dan pemberantasan. Walaupun dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 UU 19/2019 kata “pemberantasan” tidak ditulis dengan huruf kapital, namun dalam batas penalaran yang wajar dimaksud yang terkandung adalah sebagaimana yang tersurat dalam Pasal 1 angka 4 UU 19/2019. Apalagi dalam Pasal 1 angka 3 UU 19/2019 menyebutkan secara eksplisit kata “pencegahan” yang dapat mereduksi makna pemberantasan tindak pidana korupsi seolah-olah hanya berupa pencegahan, padahal makna dalam pemberantasan tindak pidana korupsi juga meliputi “penindakan” dan hal-hal lain yang berkaitan dengan penyelamatan keuangan negara. Dengan demikian, kata “pencegahan” yang dimaktubkan dalam Pasal 1 angka 3 UU 19/2019 merupakan rumusan yang sesungguhnya mereduksi pengertian pemberantasan itu sendiri. Selain itu, jika Pasal 1 angka 3 UU 19/2019 tetap menjadi bagian dari Pasal 1 (Ketentuan Umum) maka substansinya seharusnya sejalan dengan Pasal 3 UU 19/2019 yang menegaskan bahwa KPK adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat “independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun”. Artinya, rumusan demikian mengandung kekurangan karena tidak sejalan dengan Pasal 3 UU 19/2019, terutama dengan tidak dinyatakannya tugas
6

dan wewenang pemberantasan tindak pidana korupsi dan penegasan sifat independen dan bebas dari kekuasaan manapun. Di mana, kekurangan substansi dimaksud merupakan unsur esensial dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dan apabila dibiarkan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Dalam batas penalaran yang wajar membiarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 UU 19/2019 tanpa membuatnya sejalan dengan ketentuan Pasal 3 UU 19/2019 menimbulkan ketidakpastian hukum dalam memahami secara utuh KPK sebagai lembaga penegak hukum dalam menjalankan fungsinya yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana ditentukan dalam Pasal 24 ayat (3) UUD 1945. Oleh karena itu, Mahkamah dalam amar putusan akan menyatakan terhadap Pasal 1 angka 3 UU 19/2019 harus dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun”.
Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 1 angka 3 UU 19/2019 bertentangan dengan UUD 1945 adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.20.2] Bahwa selanjutnya berkenaan dengan dalil para Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas frasa “dalam rumpun kekuasaan eksekutif” dalamketentuan Pasal 3 UU 19/2019 yang dikhawatirkan para Pemohon akan melemahkan independensi kelembagaan KPK. Berkenaan dengan dalil tersebut, selain Mahkamah telah mempertimbangkan keberadaan Pasal 3 UU 19/2019 dalam kaitannya dengan konstitusional bersyarat ketentuan Pasal 1 angka 3 UU 19/2019 dalam Sub-paragraf [3.20.1], Mahkamah juga telah menegaskan dalam putusan- putusan Mahkamah Konstitusi, di antaranya, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor012-016-019/PUU- IV/2006 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU- XV/2017 yang pada pokoknya menyatakan bahwa independensi dan bebasnya KPK dari pengaruh kekuasaan manapun adalah dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya yang tidak boleh didasarkan atas pengaruh, arahan ataupun tekanan dari pihak manapun. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut bersifat erga omnes yang

7

memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum (vide Pasal 47 UU MK), oleh karenanya keberlakuan putusan Mahkamah tidak dapat hanya dimaknai secara kontekstual atau tekstual sebagaimana dalil para Pemohon terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU- XV/2017 karena putusan a quo berlaku dan mengikat kepada siapapun. Bahkan, Mahkamah dalam mempertimbangkan ihwal yang terkait dengan permohonan a quo, in casu mengenai kelembagaan KPK pun harus memperhatikan putusan-putusan Mahkamah sebelumnya. Sehingga, berkenaan dengan berlakunya frasa “dalam rumpun kekuasaan eksekutif” dalam Pasal 3 UU 19/2019, menurut Mahkamah tidak menyebabkan pelaksanaan tugas dan wewenang KPK menjadi terganggu independensinya karena KPK tidak bertanggung jawab kepada pemegang kekuasaan eksekutif, in casu Presiden sebagaimana hal tersebut dinyatakan dalam ketentuan Pasal 20 UU 30/2002 yaitu, “KPK bertanggung jawab kepada publik atas pelaksanaan tugasnya dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden, DPR dan BPK”. Penyampaian laporan kepada Presiden dimaksud bukan berarti KPK bertanggung jawab kepada Presiden.
Hal ini yang menjadi salah satu karakter dari keberadaan lembaga negara yang independen, yang tidak memiliki relasi apapun dalam menjalankan tugas dan kewenangannya dengan pemegang kekuasaan manapun. Bahkan, terkait dengan “kekuasaan manapun” telah dijelaskan pula dalam Penjelasan Pasal 3 UU 19/2019 adalah kekuatan yang dapat memengaruhi tugas dan wewenang KPK atau anggota Komisi secara individual dari pihak eksekutif, yudikatif, legislatif, pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi, atau dalam keadaan dan situasi ataupun dengan alasan apapun.
Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 3 UU 19/2019 bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.21.2] Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 12B ayat (1) UU 19/2019 penyadapan yang dilakukan KPK harus mendapatkan izin tertulis dari Dewan Pengawas. Berkenaan dengan ketentuan tersebut, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan mengenai kedudukan Dewan Pengawas berdasarkan UU 19/2019. Dewan Pengawas secara inheren adalah bagian dari internal KPK yang
8

bertugas sebagai pengawas guna mencegah terjadinya penyalahgunaan kewenangan. Sebagai salah satu unsur dari KPK, Dewan Pengawas bertugas dan berwenang mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK. Dalam pengertian demikian, kedudukan Dewan Pengawas tidak bersifat hierarkis dengan Pimpinan KPK sehingga dalam desain besar pemberantasan korupsi keduanya tidak saling membawahi namun saling bersinergi dalam menjalankan fungsi masing-masing. Sebagaimana pertimbangan Mahkamah dalam Paragraf [3.19] di atas, KPK dalam melaksanakan tugas dan kewenangan yudisial bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, termasuk di dalamnya ketika KPK melakukan penyadapan sebagai bentuk perampasan kemerdekaan orang (hak privasi), yang merupakan bagian dari tindakan pro Justitia. Adanya ketentuan yang mengharuskan KPK untuk meminta izin kepada Dewan Pengawas sebelum dilakukan penyadapan tidak dapat dikatakan sebagai pelaksanaan checks and balances karena pada dasarnya Dewan Pengawas bukanlah aparat penegak hukum sebagaimana kewenangan yang dimiliki Pimpinan KPK dan karenanya tidak memiliki kewenangan yang terkait dengan pro Justitia.
Bahwa berkenaan dengan pertimbangan di atas, Mahkamah perlu untuk menegaskan, adanya kewajiban Pimpinan KPK untuk mendapatkan izin Dewan Pengawas dalam melakukan penyadapan, tidak saja merupakan bentuk campur tangan (intervensi) terhadap aparat penegak hukum oleh lembaga yang melaksanakan fungsi di luar penegakan hukum, akan tetapi lebih dari itu merupakan bentuk nyata tumpang tindih kewenangan dalam penegakan hukum, khususnya kewenangan pro Justitia yang seharusnya hanya dimiliki oleh lembaga atau aparat penegak hukum. Sebab, tindakan-tindakan penegakan hukum yang di dalamnya mengandung upaya-upaya paksa yang kerap kali beririsan dengan perampasan kemerdekaan orang/barang adalah tindakan yang hanya bisa dilakukan oleh lembaga penegak hukum yang secara kelembagaan telah tertata dalam pelembagaan criminal justice system.
Bahwa selanjutnya juga penting dipertimbangkan, oleh karena berkenaan dengan tindakan penyadapan sangat terkait dengan hak privasi seseorang maka penggunaannya harus dengan pengawasan yang cukup ketat. Artinya, terkait dengan tindakan penyadapan yang dilakukan KPK tidak boleh dipergunakan tanpaadanya kontrol atau pengawasan, meskipun bukan dalam bentuk izin yang berkonotasi
9

ada intervensi dalam penegakan hukum oleh Dewan Pengawas kepada Pimpinan KPK atau seolah-olah Pimpinan KPK menjadi sub- ordinat dari Dewan Pengawas. Oleh karena itu, Mahkamah menyatakan tindakan penyadapan yang dilakukan Pimpinan KPK tidak memerlukan izin dari Dewan Pengawas namun cukup dengan memberitahukan kepada Dewan Pengawas yang mekanismenya akan dipertimbangkan bersama-sama dengan pertimbangan hukum berkaitan dengan izin atas tindakan penggeledahan dan/atau penyitaan oleh KPK pada pertimbangan hukum selanjutnya.
Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dengan tidak diperlukan lagi izin penyadapan oleh KPK dari Dewan Pengawas, sebagaimana ditentukan dalam norma Pasal 12B ayat (1) UU 19/2019 maka terhadap ketentuan tersebut harus dinyatakan inkonstitusional dan selanjutnya sebagai konsekuensi yuridisnya terhadap norma Pasal 12B ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU 19/2019 tidak relevan lagi untuk dipertahankan dan harus dinyatakan pula inkonstitusional. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat, dalil para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 12B UU 19/2019 adalah beralasan menurut hukum.
Bahwa sebagai konsekuensi yuridis Dewan Pengawas tidak dapat mencampuri kewenangan yudisial/pro Justitia dan terhadap Pasal 12B UU 19/2019telah dinyatakan inkonstitusional maka frasa “dipertanggungjawabkan kepada Dewan Pengawas” dalam Pasal 12C ayat (2) UU 19/2019 harus pula dinyatakan inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai menjadi “diberitahukan kepada Dewan Pengawas”.
[3.21.3] Bahwa selanjutnya terhadap dalil para Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas penggeledahan dan/atau penyitaan harus dengan izin Dewan Pengawas sebagaimana diatur dalam Pasal 47 ayat (1) UU 19/2019, menurut Mahkamah, dikarenakan tindakan penggeledahan dan/atau penyitaan oleh KPK adalah juga merupakan bagian dari tindakan pro Justitia sebagaimana telah dipertimbangkan pada Sub-paragraf [3.21.2] di atas maka izin dari Dewan Pengawas yang bukan merupakan unsur aparat penegak hukum menjadi tidak tepat karena kewenangan pemberian izin tersebut tersebut merupakan bagian dari tindakan yudisial/pro Justitia. Oleh karena tidak diperlukan lagi izin dimaksud maka pertimbangan Mahkamah terkait kewenangan
10

Dewan Pengawas dalam pemberian izin penyadapan sebagaimana dipertimbangkan pada Paragraf [3.21.2] di atas mutatis mutandis berlaku pula sebagai pertimbangan hukum untuk mempertimbangkan dalil para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 47 ayat (1) UU 19/2019. Selanjutnya, oleh karena berkenaan dengan penggeledahan dan/atau penyitaan tidak diperlukan lagi izin dari Dewan Pengawas dan hanya berupa pemberitahuan maka konsekuensi yuridisnya sepanjang frasa “atas izin tertulis dari Dewan Pengawas” dalam Pasal
47 ayat (1) UU 19/2019 harus dimaknai menjadi “dengan memberitahukan kepada Dewan Pengawas”. Begitu pula dengan ketentuan norma Pasal 47 ayat (2) UU 19/2019 meskipun tidak dimohonkan oleh para Pemohon, namun oleh karena tidak ada relevansinya lagi untuk dipertahankan, maka harus dinyatakan inkonstitusional. Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat, dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 47 ayat (1) UU 19/2019 adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.21.4] Bahwa oleh karena Dewan Pengawas tidak memiliki kewenangan untuk memberikan izin, baik terhadap penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan yang dilakukan oleh KPK sebagaimana dipertimbangkan pada Sub-paragraf [3.21.2] dan Sub-paragraf [3.21.3] di atas maka menurut Mahkamah, konsekuensi yuridis terhadap ketentuan norma Pasal 37B ayat (1) huruf b UU 19/2019 yang juga mengatur ketentuan tentang kewenangan Dewan Pengawas memberikan izin penyadapan, penggeledahan dan/atau penyitaan yang dilakukan oleh KPK harus pula dinyatakan inkonstitusional. Dengan demikian dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 37B ayat (1) huruf b UU 19/2019 beralasan menurut hukum.
[3.21.5] Bahwa untuk menghindari adanya penyalahgunaan wewenang terkait dengan tindakan penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan oleh KPK dikaitkan dengan fungsi pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Pengawas, menurut Mahkamah, terkait dengan penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan tersebut, KPK hanya memberitahukan kepada Dewan Pengawas paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak penyadapan dilakukan, sedangkan terhadap penggeledahan dan/atau penyitaan diberitahukan kepada Dewan Pengawas paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak selesainya dilakukan penggeledahan dan/atau penyitaan.
11

Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 38 UU 19/2019, terkait dengan penggeledahan, berlaku ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu diperlukan izin dari ketua pengadilan negeri setempat dan dalam keadaan mendesak dapat dilakukan penggeledahan terlebih dahulu baru kemudian segera melaporkan untuk mendapatkan persetujuan ketua pengadilan negeri setempat, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 33 dan Pasal 34 KUHAP. Maka dengan demikian, tindakan pengeledahan dan/atau penyitaan oleh KPK tidak diperlukan lagi izin dari Dewan Pengawas. Sedangkan terkait dengan penyitaan, atas dasar dugaan yang kuat adanya bukti permulaan yang cukup, KPK dapat melakukan penyitaan tanpa izin ketua pengadilan negeri.
[3.22] Menimbang bahwa para Pemohon selanjutnya mendalilkan yang pada pokoknya menyatakan norma Pasal 24 dan Pasal 45A ayat (3) huruf a UU 19/2019 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena sebagian pegawai KPK yang ada saat ini tidak mempunyai kesempatan yang samauntuk menjadi pegawai ASN, terutama bagi mereka yang telah berusia 35 tahun sehingga akan kehilangan pekerjaannya atau setidak-tidaknya tidak dapat lagi mengembangkan kariernya di KPK serta berpotensi terjadinya kekosongan jabatandalam KPK sehingga menghambat kinerja KPK.
Jka dipelajari secara saksama substansi Pasal 24 UU 19/2019 sama sekali tidak mengandung aspek pembatasan kesempatan yang sama untuk menjadi ASN bagi pegawai KPK, terlebih lagi dalam pelaksanaan proses peralihan pegawai KPK menjadi pegawai ASN masih harus didasarkan pada Ketentuan Peralihan UU 19/2019 yang muatannya berkenaan dengan penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan undang- undang yang lama terhadap undang-undang yang baru, di mana tujuan adanya Ketentuan Peralihan tersebut adalah untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum, menjamin kepastian hukum, memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan undang-undang, mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara (vide angka 127 Lampiran II UU 12/2011).
Oleh karena itu, Ketentuan Peralihan dalam Pasal 69B dan Pasal 69C UU 19/2019 telah menentukan bagaimana desain peralihan dimaksud supaya tidak terjadi persoalan bagi mereka yang terkena
12

dampak apalagi sampai menimbulkan kekosongan jabatan dalam KPK sebagaimana didalilkan para Pemohon.
Selanjutnya, berkaitan dengan persoalan usia pegawai KPK yang telah mencapai usia 35 tahun sehingga dikhawatirkan para Pemohon akan kehilangan kesempatan jika pegawai KPK nantinya menjadi pegawai ASN.
.....
Adanya ketentuan mekanisme pengalihan status pegawai KPK menjadi pegawai ASN dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepastian hukum sesuai dengan kondisi faktual pegawai KPK. Oleh karenanya, Mahkamah perlu menegaskan bahwa dengan adanya pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN sebagaimana telah ditentukan mekanismenya sesuai dengan maksud adanya Ketentuan Peralihan UU 19/2019 maka dalam pengalihan tersebut tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN dengan alasan apapun di luar desain yang telah ditentukan tersebut. Sebab, para pegawai KPK selama ini telah mengabdi di KPK dan dedikasinya dalam pemberantasan tindak pidanakorupsi tidak diragukan.
Selanjutnya, dalam kaitan dengan pengalihan status pegawai KPK sebagai pegawai ASN, para Pemohon tanpa memberikan argumentasi persoalan konstitusionalitas norma namun mengkhawatirkan akan terjadinya dualisme pengawasan, yaitu pengawasan oleh Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dan olehDewan Pengawas KPK sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan keadilan. ...Pembentukan KASN ini untuk monitoring dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan dan manajemen ASN agar dapat dijamin terwujudnya sistem merit serta pengawasan terhadap penerapan asas, kode etik, dan kode perilaku ASN.
Oleh karenanya tidak ada relevansinya mempersoalkan status pegawai ASN dengan pengawasan ASN oleh KASN dan pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Pengawas karena keduanya dapat saling melengkapi.
Selanjutnya, para Pemohon juga mempersoalkan norma Pasal 45A ayat (3) huruf a UU 19/2019 yang akan menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan karena mengatur syarat pemberhentian penyidik KPK disebabkan oleh diberhentikannya sebagai ASN. ... Sebagai konsekuensi beralihnya status pegawai KPK menjadi pegawai ASNmaka pengaturan pemberhentian ASN dalam UU
13

5/2014 dan peraturan pelaksananya berlaku sepenuhnya bagi penyelidik atau penyidik KPK dan pegawai KPK tanpa ada yang dikecualikan. Pasal 45A UU 19/2019 pada pokoknya mengatur mengenai syarat yang harus dipenuhi untuk pengangkatan penyidik KPK yang statusnya dalam Pasal 69B ayat (1) UU 19/2019 sebagai ASN. Dengan sendirinya apabila penyidik diberhentikan sebagai ASN maka diberhentikan pula dari jabatannya sebagai penyidik KPK. Pemberhentian PNS tersebut dapat karena diberhentikan dengan hormat atau diberhentikan tidak dengan hormat (vide Pasal 87 UU 5/2014). Dengan demikian jika terpenuhi penyebab diberhentikannya PNS baik dengan hormat atau tidak dengan hormat maka jabatan apapun yang melekat pada diri PNS tersebut ikut berhenti, in casu jabatan sebagai penyidik KPK.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 24 dan Pasal 45A ayat (3) huruf a UU 19/2019 bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.23.2] Bahwa berdasarkan dalil para Pemohon di atas, sekalipun petitum para Pemohon menghendaki Mahkamah menyatakan Pasal 40 UU 19/2019 bertentangan dengan UUD 1945, namun setelah mencermati esensi alasan-alasan mengajukan permohonan (posita/fundamentum petendi), inti yang dipersoalkan oleh para Pemohon adalah konstitusionalitas frasa “yang penyidikan dan penuntutannyatidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun” karena menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab, menurut para Pemohon tidak jelas sejak kapan penghitungan waktu 2 (dua) tahun tersebut, apakah sejak penyidikan atau sejak penuntutan.
Menurut Mahkamah, adanya ketentuan tenggang waktu 2 (dua) tahun untuk melakukan penyidikan dan penuntutan sebagaimana diatur dalam Pasal 40 ayat (1) UU 19/2019 adalah suatu kekhususan yang diberikan kepada KPK sebagai suatu lembaga yang extra ordinary yang berwenang menangani tindak pidana korupsi sebagai salah satu kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Kewenangan menghentikan penyidikan dan/atau penuntutan dapat dijadikan sebagai salah satu alasan bagi KPK dalam menentukan seorang tersangka yang harus mempunyai bukti yang kuat sehingga dalam batas penalaran yang wajar tenggang waktu 2 (dua) tahun tersebut terhitung sejak diterbitkannya Surat Pemberitahuan Dimulainya
14

Penyidikan (SPDP) dan penghitungan 2 (dua) tahun demikian merupakan bentuk akumulasi sejak proses penyidikan, penuntutan hingga dilimpahkan ke pengadilan. Sehingga, apabila telah melewati jangka waktu 2 (dua) tahun perkara tersebut tidak dilimpahkan ke pengadilan dan KPK tidak menerbitkan SP3 maka tersangka dapat mengajukan praperadilan.
Menurut para Pemohon norma yang memberikan kewenangan kepada KPK untuk menghentikan penyidikan dan/atau penuntutan terhadap perkara yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun menimbulkan ketidakpastian hukum mengenai sejak kapan penghitungan waktu akan dimulai, sejak penyidikan atau sejak penuntutan. Ketidakpastian hukumtersebut dapat melanggar hak konstitusional tersangka. Lebih lagi norma Pasal 40 ayat (1) UU 19/2019 bertolak belakang atau setidaknya tidak bersesuaian dengan maksud Pasal 40 ayat (4) UU 19/2019, bahwa penghentian penyidikan dan/atau penuntutan dapat dicabut oleh pimpinan KPK apabila ditemukan bukti baru yang dapat membatalkan alasan penghentian penyidikan dan/atau penuntutan atau berdasarkan putusan praperadilan. Menurut Mahkamah, adanya ketentuan tenggang waktu 2 (dua) tahun untuk melakukan penyidikan dan penuntutan sebagaimana diatur dalam Pasal 40 ayat (1) UU 19/2019 adalah suatu kekhususan yang diberikan kepada KPK sebagai suatu lembaga yang extra ordinary yang berwenang menangani tindak pidana korupsi sebagai salah satu kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Kewenangan menghentikan penyidikan dan/atau penuntutan dapat dijadikan sebagai salah satu alasan bagi KPK dalam menentukan seorang tersangka yang harus mempunyai bukti yang kuat sehingga dalam batas penalaran yang wajar tenggang waktu 2 (dua) tahun tersebut terhitung sejak diterbitkannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dan penghitungan 2 (dua) tahun demikian merupakan bentuk akumulasi sejak proses penyidikan, penuntutan hingga dilimpahkan ke pengadilan. Sehingga, apabila telah melewati jangka waktu 2 (dua) tahun perkara tersebut tidak dilimpahkan ke pengadilan dan KPK tidak menerbitkan SP3 maka tersangka dapat mengajukan praperadilan.
Selanjutnya, berkenaan dengan SP3 ini, Mahkamah dalam putusan- putusan sebelumnya telah berpendirian bahwa KPK tidak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan/menerbitkan SP3

15

adalah konstitusional, namun demikian dengan mempertimbangkan adanya fakta-fakta empirik yang terjadi di KPK telah ternyata banyak perkara yang pelakunya telah ditetapkan sebagai tersangka namun perkaranya tidak kunjung dilimpahkan ke pengadilan sehingga hal tersebut menyebabkan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, Mahkamah dalam putusan a quo, dapat memahami ketentuan adanya diskresi dalam norma Pasal 40 UU 19/2019 yang memberikan diskresi kepada KPK untuk menerbitkan SP3. Namun demikian Mahkamah perlu menegaskan apabila ditemukan bukti yang cukup KPK harus membatalkan alasan penghentian penyidikan dan penuntutan sehingga terhadap tersangka yang bersangkutan harus diajukan ke pengadilan [vide Pasal 40 ayat (4) UU 19/2019]. Dalam hal ini, ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU 19/2019 haruslah dipandang sebagai dorongan bagi KPK untuk bekerja secara optimal dalam mendapatkan bukti sehingga seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka pada dasarnya harus dilimpahkan ke pengadilan. Oleh karena itu diskresi penerbitan SP3 tidak menjadi pilihan yang menyulitkan KPK dalam desain besar agenda pemberantasan korupsi.
Bahwa sebagai konsekuensi yuridis Dewan Pengawas tidak dapat mencampuri kewenangan judisial (pro Justitia) yang dimiliki oleh Pimpinan KPK sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, maka frasa “harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas paling lambat 1 (satu) minggu” sebagaimana termaktub dalam Pasal 40 ayat (2) UU 19/2019 harus pula dinyatakan inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai menjadi “diberitahukan kepada Dewan Pengawas paling lambat 14 (empat belas) hari kerja”.
[3.24] Menimbang bahwa dengan dinyatakan inkonstitusional norma Pasal 1 angka 3, Pasal 12B, frasa “dipertanggungjawabkan kepada Dewan Pengawas" dalam Pasal 12C ayat (2), Pasal 37B ayat (1) huruf b, frasa “tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun” dalam Pasal 40 ayat (1), frasa “harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas paling lambat 1 (satu) minggu” dalam Pasal 40 ayat (2), frasa “atas izin tertulis dari Dewan Pengawas” dalam Pasal 47 ayat (1), dan Pasal 47 ayat (2) UU 19/2019 tersebut di atas, menurut Mahkamah, sebagai konsekuensi yuridisnya maka dalam hal terdapat “Penjelasan” terhadap pasal-pasal a quo harus pula dinyatakan inkonstitusional sepanjang tidak disesuaikan dengan putusan a quo.
[3.25] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di

16

atas, Mahkamah berpendapat dalil-dalil para Pemohon berkenaan dengan Pasal 1 angka 3, Pasal 40 ayat (1), Pasal 40 ayat (2), dan Pasal 47 ayat (1) UU 19/2019 beralasanmenurut hukum secara bersyarat. Sedangkan, dalil-dalil para Pemohon berkenaandengan Pasal 12B dan Pasal 37B ayat (1) huruf b UU 19/2019 beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Sementara itu, Pasal 12C ayat (2) UU 19/2019 harus pula dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat sebagai konsekuensi dengan dinyatakannya Pasal 12B UU 19/2019 inkonstitusional. Begitu pula dengan Pasal 47 ayat (2) UU 19/2019 harus pula dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat sebagai konsekuensi dengan dinyatakannya Pasal 47 ayat (1) UU 19/2019 inkonstitusional. Selanjutnya, berkaitan dengan dalil para Pemohon selain danselebihnya tidak beralasan menurut hukum.