Bahwa pada hari Selasa tanggal 29 Maret 2022, pukul 11.17 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (UU 7/2017) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 32/PUU-XIX/2021. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 32/PUU-XIX/2021, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal 458 ayat (13) UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.6] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan.
…
[3.12] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan para Pemohon beserta alat-alat bukti yang diajukan oleh para Pemohon, inti permohonan a quo adalah frasa “final dan mengikat” dalam Pasal 458 ayat (13) UU 7/2017 yang dalam Penjelasannya dinyatakan “cukup jelas”, telah menyebabkan Putusan DKPP tidak dapat ditafsir lain oleh Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu, sehingga putusan DKPP a quo telah menimbulkan akibat hukum. Oleh karenanya DKPP menafsirkan bahwa putusan DKPP tidak dapat dilakukan upaya hukum apapun termasuk diuji ke peradilan TUN. Hal ini menurut para Pemohon tidak sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XI/2013 dan menyebabkan DKPP menjadi lembaga yang superior karena tidak memiliki mekanisme checks and balances. Terhadap dalil pokok permohonan para Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa terkait dengan permohonan a quo Mahkamah sebelumnya pernah memutus pengujian Pasal 112 ayat (12) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Pemilihan Umum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XI/2013, tanggal 3 April 2014. Pasal 112 ayat (12) UU 15/2011 mengatur bahwa putusan DKPP bersifat final dan mengikat. Terhadap frasa final dan mengikat ini, Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XI/2013 menjatuhkan putusan yang amarnya menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian, yaitu: 1.1. Frasa “bersifat final dan mengikat” dalam Pasal 112 ayat (12) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5246) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) bersifat final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu”;
1.2. Frasa “bersifat final dan mengikat” dalam Pasal 112 ayat (12) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5246) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) bersifat final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu”;
2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
3. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;
Bahwa kemudian pembentuk Undang-Undang menyatakan tidak berlaku UU 15/2012 dengan berlakunya UU 7/2017. Namun, norma yang mengatur Putusan DKPP bersifat final dan mengikat tetap dipertahankan oleh UU 7/2017 yang diatur dalam Pasal 458 ayat (13) UU 7/2017 yang dimohonkan pengujian dalam perkara a quo.
Bahwa meskipun Pasal 458 ayat (13) UU 7/2017 mengatur norma yang sama dengan Pasal 112 ayat (12) UU 15/2012, namun jika mendasarkan pada Pasal 60 UU MK juncto Pasal 78 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang yang menyatakan bahwa terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali, kecuali jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda, maka permohonan para Pemohon dapat diajukan kembali.
Bahwa terlepas dari permohonan para Pemohon a quo dapat diajukan kembali ataupun tidak, namun muatan norma yang terdapat dalam Pasal 458 ayat (13) UU 7/2017 yang dimohonkan pengujian adalah muatan norma yang sama yang diatur dalam Pasal 112 ayat (12) UU 15/2012 yaitu norma mengenai putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat. Oleh karena itu, isu konstitusional yang dipersoalkan oleh Pemohon Perkara Nomor 31/PUU-XI/2013 sama dengan yang dipersoalkan oleh para Pemohon perkara a quo. Dengan demikian, terhadap norma mengenai putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XI/2013, sehingga menurut Mahkamah pokok permohonan para Pemohon memiliki keterkaitan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XI/2013. Sementara itu, dalil para Pemohon selebihnya sepanjang masih relevan dengan substansi pertimbangan hukum yang akan diuraikan lebih lanjut oleh Mahkamah akan turut dipertimbangkan lebih lanjut pula.
[3.12.2] Bahwa selanjutnya Mahkamah mempertimbangkan ketidakpastian hukum yang terjadi di tataran pelaksanaan norma, yang ternyata telah terjadi penafsiran berbeda yang tidak sejalan dengan maksud Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XI/2013. Berkenaan dengan hal tersebut setelah dicermati secara saksama terdapat varian persepsi dalam memahami Putusan Mahkamah Konstitusi. Sebab, dalam memahami amar putusan badan peradilan, termasuk putusan Mahkamah, tidak dapat dipisahkan antara amar putusan dengan pertimbangan hukum sebagai ratio decidendi. Demikian halnya dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XI/2013 bahwa yang dimaksudkan oleh Mahkamah adalah sebagaimana yang akan ditegaskan Mahkamah dalam pertimbangan hukum dan kemudian dinyatakan dalam amar putusan a quo;
Bahwa Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XI/2013 telah memberikan pertimbangan di antaranya sebagai berikut:
“Putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (12) UU 15/2011, dapat menimbulkan ketidakpastian hukum apakah final dan mengikat yang dimaksud dalam Undang-Undang tersebut adalah sama dengan final dan mengikatnya putusan lembaga peradilan. Untuk menghindari ketidakpastian hukum atas adanya ketentuan tersebut, Mahkamah perlu menegaskan bahwa putusan final dan mengikat DKPP tidak dapat disamakan dengan putusan final dan mengikat dari lembaga peradilan pada umumnya, oleh karena DKPP adalah perangkat internal Penyelenggara Pemilu yang diberi wewenang oleh Undang-Undang. Sifat final dan mengikat dari putusan DKPP haruslah dimaknai final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, maupun Bawaslu adalah merupakan keputusan pejabat TUN yang bersifat konkrit, individual dan final, yang dapat menjadi objek gugatan di peradilan TUN”
Bahwa dengan pertimbangan demikian, kemudian Mahkamah dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XI/2013 menyatakan frasa “bersifat final dan mengikat”, yaitu harus dimaknai bersifat final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu, yang seharusnya dibaca sebagai satu kesatuan dengan pertimbangan hukum yang menyatakan, “adalah merupakan keputusan pejabat TUN yang bersifat konkrit, individual dan final, yang dapat menjadi objek gugatan di Peradilan TUN”.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, dalam putusan perkara a quo, di samping Mahkamah kembali menegaskan pendiriannya bahwa DKPP bukanlah lembaga peradilan dan DKPP sebagaimana KPU dan Bawaslu merupakan penyelenggara Pemilu yang memiliki kedudukan setara. Mahkamah juga menegaskan ketiga lembaga penyelenggara Pemilu tersebut mempunyai kedudukan yang sederajat dan tidak ada satu di antaranya yang mempunyai kedudukan yang lebih superior. Dengan demikian, melalui putusan a quo Mahkamah menegaskan dan mengingatkan kepada semua pemangku kepentingan bahwa frasa ’’bersifat final dan mengikat” dalam Pasal 458 ayat (13) UU 7/2017 dimaksudkan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu adalah merupakan keputusan pejabat TUN yang bersifat konkret, individual dan final, yang dapat menjadi objek gugatan di Peradilan TUN.
Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum di atas, maka terhadap Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu harus melaksanakan Putusan DKPP tersebut dan keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga yang menindaklanjuti putusan DKPP tersebut dapat dijadikan objek gugatan oleh pihak yang tidak menerima putusan DKPP dimaksud, dengan mengajukan gugatan pada peradilan TUN. Oleh karena itu, terhadap putusan peradilan TUN yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap harus dipatuhi dan menjadi putusan badan peradilan yang mempunyai kekuatan eksekutorial. Dengan kata lain, yang dimaksud final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu adalah bahwa Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu hanya menindaklanjuti Putusan DKPP yang produknya dapat menjadi objek gugatan pada peradilan TUN. Sehingga dengan demikian dalam konteks ini Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu sebagai atasan langsung yang berwenang mengangkat dan memberhentikan penyelenggara Pemilu sesuai tingkatannya, tidak mempunyai kewenangan untuk berpendapat berbeda yang bertentangan dengan Putusan DKPP ataupun Putusan TUN yang mengkoreksi ataupun menguatkan Putusan DKPP.
[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon sepanjang berkaitan dengan dapat atau tidaknya putusan DKPP menjadi objek PTUN sepanjang sejalan dengan pertimbangan hukum Putusan a quo adalah beralasan menurut hukum. Sedangkan, bagi Mahkamah melalui putusan a quo menegaskan kembali dalam amar putusan perkara a quo, bahwa hakikat pertimbangan hukum putusan perkara Nomor 31/PUU-XI/2013 berkenaan dengan tafsir atas Pasal 458 ayat (13) UU 7/2017 yang selanjutnya harus menjadi tafsir tunggal yang tidak bisa dimaknai lain selain sebagaimana yang ditegaskan dalam amar putusan a quo.
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. Sedangkan, terhadap dalil dan hal-hal lain tidak dipertimbangkan karena dipandang tidak relevan dan oleh karena itu harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430