Bahwa pada hari Rabu tanggal 15 Desember 2021, pukul 11.27 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UU 37/2004) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 23/PUU-XIX/2021. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 23/PUU-XIX/2021, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian UU 37/2004 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.8] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan Pemohon, Mahkamah terlebih dahulu mempertimbangkan apakah permohonan a quo memenuhi kriteria sebagaimana ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), sehingga terhadap norma a quo dapat dilakukan pengujian kembali. Terhadap persoalan tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.8.1] Bahwa Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004 pernah diajukan pengujiannya kepada Mahkamah dalam Perkara Nomor 17/PUU-XVIII/2020 dan telah diputus pada 23 Juni 2020, dengan amar putusan, “Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya”;
[3.8.2] Bahwa dalam perkara Nomor 17/PUU-XVIII/2020 Pemohon pada pokoknya mendalilkan Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004 tidak mencerminkan asas keadilan dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena adanya pembatasan upaya hukum, sehingga tidak tertutup kemungkinan celah tersebut dimanfaatkan untuk merekayasa persaingan bisnis yang tidak sehat dengan tujuan menjatuhkan dan menghentikan bisnis kompetitornya melalui pengadilan niaga;
[3.8.3] Bahwa adapun dalam perkara a quo, Pemohon sebagaimana terurai dalam Paragraf [3.7] pada pokoknya mendalilkan adanya kesempatan yang diberikan kepada kreditor untuk mengajukan permohonan PKPU dapat digunakan untuk mempailitkan perusahaan atau badan usaha yang masih solven, padahal tidak ada upaya hukum apapun. Sementara itu, dalam undang-undang yang sama, perkara permohonan pailit yang juga berujung dijatuhkannya putusan pailit diberikan akses keadilan untuk mendapatkan upaya hukum, baik kasasi maupun peninjauan kembali. Hal ini tentu menunjukkan adanya ketidakadilan dan ketidakpastian serta diskriminasi upaya hukum yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Berdasarkan hal tersebut Pemohon memohon agar Pasal 235 ayat (1), Pasal 293 ayat (1), dan Pasal 295 ayat (1) UU 37/2004 dinyatakan inkonstitusional bersyarat.
[3.8.4] Bahwa meskipun dalam Perkara Nomor 17/PUU-XVIII/2020 dan permohonan a quo menggunakan dasar pengujian yang sama yakni Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, akan tetapi dalam uraiannya Pemohon a quo menguraikan pertentangan pasal-pasal yang diuji tidak hanya dengan ketidakadilan namun juga ketidakpastian dan diskriminasi upaya hukum yang juga merupakan nilai atau asas yang terdapat dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Selain itu, terdapat perbedaan alasan permohonan Pemohon a quo dengan Perkara Nomor 17/PUU-XVIII/2020 yakni Pemohon a quo secara spesifik telah menguraikan alasan tidak adanya upaya hukum apapun terhadap putusan PKPU yang permohonannya diajukan oleh kreditor sebagaimana dialami oleh Pemohon. Oleh karena itu, dalam petitum permohonan Pemohon a quo memohon menyatakan pasal-pasal yang diuji tidak sekadar inkonstitusional sebagaimana yang dimohonkan dalam Perkara Nomor 17/PUU-XVIII/2020, namun inkonstitusional bersyarat. Terlebih lagi, dalam permohonan a quo pasal yang diuji tidak hanya Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004 sebagaimana Perkara Nomor 17/PUU-XVIII/2020, akan tetapi juga terdapat pengujian terhadap Pasal 295 ayat (1) UU 37/2004 yang menentukan ketiadaan upaya hukum peninjauan kembali terhadap persoalan konstitusional yang dihadapi Pemohon;
[3.9] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah terlepas secara substansial permohonan a quo beralasan atau tidak, secara formal permohonan a quo memenuhi ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021, sehingga permohonan a quo dapat diajukan kembali.
[3.10] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon memenuhi Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021, maka Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon lebih lanjut.
…
[3.17] Menimbang bahwa setelah membaca dan mencermati secara saksama permohonan Permohon beserta alat-alat bukti yang diajukan, keterangan DPR, keterangan Presiden, keterangan Pihak Terkait Mahkamah Agung, keterangan Pihak Terkait IKAPI, dan keterangan Pihak Terkait AKPI, Mahkamah selanjutnya mempertimbangkan dalil-dalil permohonan Pemohon sebagai berikut:
[3.17.1] Bahwa berkenaan dengan permohonan PKPU tidak dapat dilepaskan dari keadaan keuangan seorang debitor yang mengalami kesulitan, sehingga berpotensi adanya ketidakmampuan membayar utang-utangnya dan oleh karenanya diperlukan beberapa upaya antara lain:
1. mengadakan perdamaian di luar pengadilan dengan para kreditornya atau di dalam pengadilan apabila debitor digugat secara perdata;
2. mengajukan permohonan PKPU termasuk mengajukan perdamaian dalam PKPU;
3. mengajukan permohonan agar debitor dinyatakan pailit oleh pengadilan termasuk mengajukan perdamaian dalam kepailitan.
Berkenaan dengan beberapa alternatif di atas, salah satu pilihan terbaik yang dapat dilakukan oleh debitor adalah dengan mengajukan permohonan PKPU kepada pengadilan niaga. Sebab, pilihan demikian sama halnya dengan debitor akan mendapatkan kesempatan untuk menata kembali kemampuan keuangannya dan pada akhirnya dapat dihindari akibat fatal yang dialami debitor pailit. Oleh karena itu, debitor mendapat kesempatan untuk menata kelangsungan usahanya serta memperoleh manfaat waktu, ekonomi, dan kepastian hukum. Dengan mendapatkan kesempatan untuk mengajukan permohonan PKPU, debitor dapat bermusyawarah dengan para kreditor tentang cara-cara pembayaran utangnya dengan memberikan rencana pembayaran seluruh atau sebagian utangnya, termasuk apabila diperlukan dan disepakati untuk melakukan restrukturisasi atas utang-utang debitor tersebut.
Bahwa berkenaan dengan permohonan PKPU dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang (UU 4/1998) yang menjadi “cikal bakal” UU 37/2004 pada dasarnya hanya memberikan hak kepada debitor untuk mengajukan permohonan PKPU dengan alasan debitor tidak dapat atau memperkirakan bahwa debitor tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih [vide Pasal 212 UU 4/1998]. Namun, dalam ketentuan Pasal 222 ayat (1) UU 37/2004 permohonan PKPU tidak hanya diajukan debitor, akan tetapi juga dapat diajukan oleh kreditor. Hal demikian yang kemudian menimbulkan persoalan yang disebabkan adanya ketidaksesuaian antara tujuan permohonan PKPU, yang semula adalah menjadi instrumen bagi debitor di dalam menghindari adanya kepailitan dengan mengajukan permohonan PKPU, namun pada kenyataannya akibat pailit tersebut tidak dapat dihindari apabila permohonan PKPU diajukan oleh kreditor dan tidak diperoleh adanya perdamaian.
[3.17.2] Bahwa perspektif perdamaian a quo merupakan instrumen fundamental yang menjadi parameter keberhasilan permohonan PKPU. Sebab, tujuan yang paling hakiki dimohonkannya permohonan PKPU adalah untuk mencapai kesepakatan antara debitor dan kreditor dalam rencana menyelesaikan utang debitor baik sebagian atau seluruhnya serta dilakukannya restrukturisasi utang-utang debitor tersebut. Oleh karena itu, kesepakatan adanya perdamaian atas rencana penyelesaian utang dan restrukturisasi utang debitor dimaksud meskipun berasal dari kedua belah pihak, debitor dan kreditor, akan tetapi debitorlah yang sesungguhnya mengetahui secara pasti tentang keadaan kemampuan keuangannya yang kemudian dijadikan bagian pada klausula-klausula dalam mengajukan skema pembayaran kepada kreditor. Dengan demikian, filosofi permohonan PKPU secara natural awalnya hanya menjadi hak dari debitor adalah berkenaan dengan argumentasi bahwa hanya debitorlah sesungguhnya yang mengetahui kemampuan pembayaran atas utang-utangnya. Oleh karena itu, persoalan mendasar yang harus diuraikan oleh Mahkamah selanjutnya adalah berkenaan dengan permohonan PKPU yang diajukan oleh kreditor.
[3.17.3] Bahwa berkaitan dengan permohonan PKPU yang diajukan oleh kreditor secara terminologi adalah hak yang diberikan kepada kreditor untuk mengajukan permohonan dengan alasan kreditor memperkirakan bahwa debitor tidak dapat melanjutkan pembayaran utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dengan memohon agar debitor diberi penundaan kewajiban pembayaran utang, untuk memungkinkan debitor mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditornya [vide Pasal 222 ayat (3) UU 37/2004]. Lebih lanjut, secara doktriner dapat dijelaskan, hak untuk mengajukan permohonan PKPU oleh kreditor didasarkan pada pertimbangan salah satunya penerapan asas keseimbangan dan asas keadilan. Artinya, apabila debitor benar-benar mengalami kesulitan untuk melakukan rencana pembayaran atas utangnya terhadap kreditor maka kepada kreditor diberi hak untuk mengajukan permohonan PKPU agar debitor tidak dalam keadaan yang semakin sulit di dalam menyelesaikan utang-utangnya, sehingga dapat dihindari adanya kepailitan. Oleh karena itu, “niat baik” dari kreditor seharusnya tidak boleh tercederai oleh tujuan lain yang justru akan menghadapkan debitor dalam posisi dapat kehilangan kesempatan untuk melanjutkan kelangsungan usahanya dan “terjebak” dalam keadaan pailit.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, menjadi sangat penting untuk memberikan penegasan bahwa sepanjang permohonan PKPU masih dapat diajukan oleh kreditor perlu dilakukan kontrol atas itikad baik dari kreditor agar benar-benar tidak mencederai “niat baik” tersebut, sehingga eksistensi debitor yang menjadi bagian dari pelaku usaha yang turut berperan dalam menjaga stabilitas ekonomi tetap terjaga kelangsungan usahanya dan justru tidak disalahgunakan. Dengan demikian, kepastian hukum instrumen PKPU benar-benar dapat diwujudkan sesuai dengan semangat dari UU 37/2004 yaitu memberikan perlindungan hukum terhadap para pelaku usaha agar tidak mudah dipailitkan.
[3.18] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah menguraikan lebih jauh berkenaan dengan permohonan Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah untuk mengaitkan permohonan a quo dengan Perkara Nomor 17/PUU-XVIII/2020 yang dalam amar putusannya pada pokoknya menyatakan Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004 adalah konstitusional. Namun demikian, setelah Mahkamah mencermati permohonan maupun amar putusan dalam Perkara Nomor 17/PUU-XVIII/2020 tersebut, telah ternyata isu pokok yang dijadikan alasan dalam permohonannya tidak terkait dengan “agar dapat dilakukannya upaya hukum terhadap putusan PKPU yang diajukan oleh kreditor”. Dengan demikian, berkaitan dengan putusan dalam permohonan a quo Mahkamah berpendapat dimungkinkan adanya perubahan pendirian oleh Mahkamah yang disebabkan karena adanya persoalan fundamental yang berkenaan dengan upaya hukum terhadap permohonan PKPU yang diajukan kreditor sebagaimana mengemuka dalam pemeriksaan persidangan perkara a quo. Khususnya, keterangan dari Pihak Terkait baik Mahkamah Agung maupun IKAPI. Oleh karena itu, perubahan pendirian demikian adalah hal yang dapat dibenarkan dan konstitusional sepanjang mempunyai ratio legis yang dapat dipertanggungjawabkan, sebagaimana telah Mahkamah uraikan pada pertimbangan hukum di atas.
Bahwa berdasarkan alasan-alasan pertimbangan hukum tersebut di atas, sesungguhnya yang paling mengetahui secara konkret berkenaan dengan kemampuan keuangan atau finansial adalah debitor dan agar putusan pengadilan atas permohonan PKPU yang diajukan kreditor dapat dilakukan koreksi sebagai bagian dari mekanisme kontrol atas putusan pengadilan pada tingkat di bawah. Terlebih, terhadap permohonan PKPU yang diajukan oleh kreditor dan tawaran perdamaian yang diajukan oleh debitor ditolak oleh kreditor, hal demikian tidak tertutup kemungkinan terdapat adanya “sengketa” kepentingan para pihak yang bernuansa contentiosa dan bahkan terhadap putusan hakim pada tingkat di bawah dapat berpotensi adanya keberpihakan atau setidak-tidaknya terdapat kemungkinan adanya kesalahan dalam penerapan hukum oleh hakim, maka Mahkamah berpendapat terhadap permohonan PKPU yang diajukan oleh kreditor dan tawaran perdamaian dari debitor ditolak oleh kreditor diperlukan adanya upaya hukum.
Bahwa lebih lanjut berkaitan dengan upaya hukum a quo Mahkamah mempertimbangkan, esensi permohonan PKPU adalah perkara yang berdimensi diperlukan adanya kepastian hukum yang cepat dalam lapangan usaha dan terkait dengan stabilitas perekonomian suatu negara, sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Umum UU 37/2004 yang antara lain menjelaskan, “Untuk kepentingan dunia usaha dalam menyelesaikan masalah utang-piutang secara adil, cepat, terbuka, dan efektif, sangat diperlukan perangkat hukum yang mendukungnya.” Oleh karena itu, berkenaan dengan upaya hukum tersebut cukup dibuka untuk satu kesempatan (satu tingkat) dan terkait dengan upaya hukum dengan alasan karena adanya kemungkinan kesalahan dalam penerapan hukum oleh hakim di tingkat bawah, Mahkamah berkesimpulan jenis upaya hukum yang tepat adalah kasasi (tanpa dibuka hak mengajukan upaya hukum peninjauan kembali). Sementara itu, untuk permohonan PKPU yang diajukan oleh kreditor dan tawaran perdamaian dari debitor diterima oleh kreditor maka hal tersebut tidak ada relevansinya lagi untuk dilakukan upaya hukum.
[3.19] Menimbang bahwa oleh karena terhadap permohonan PKPU yang diajukan oleh kreditor dan tidak diterimanya tawaran perdamaian yang diajukan oleh debitor dapat diajukan upaya hukum kasasi, oleh karena itu sebagai konsekuensi yuridisnya terhadap pasal-pasal lain yang terdapat dalam UU 37/2004 yang tidak dilakukan pengujian dan terdampak dengan putusan a quo maka pemberlakuannya harus menyesuaikan dengan putusan perkara ini. Demikian halnya, guna mengatur lebih lanjut berkenaan dengan mekanisme pengajuan upaya hukum kasasi sebagaimana dipertimbangkan tersebut di atas, maka Mahkamah Agung secepatnya membuat regulasi berkaitan dengan tatacara pengajuan upaya hukum kasasi terhadap putusan PKPU yang diajukan oleh kreditor di mana tawaran perdamaian dari debitor telah ditolak oleh kreditor.
[3.20] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat norma Pasal 235 ayat (1) yang menyatakan “Terhadap putusan penundaan kewajiban pembayaran utang tidak dapat diajukan upaya hukum apapun” dan Pasal 293 ayat (1) yang menyatakan “Terhadap putusan Pengadilan berdasarkan ketentuan dalam Bab III ini tidak terbuka upaya hukum, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini” UU 37/2004 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat apabila tidak dikecualikan diperbolehkannya upaya hukum kasasi terhadap putusan PKPU yang diajukan oleh kreditor dan ditolaknya tawaran perdamaian dari debitor. Sementara itu, terhadap norma Pasal 295 ayat (1) UU 37/2004 yang menyatakan, “Terhadap putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat diajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini” oleh karena hal ini berkaitan dengan upaya hukum peninjauan kembali dan sebagaimana telah dipertimbangkan dalam pertimbangan hukum sebelumnya terhadap upaya hukum peninjauan kembali a quo tidak dibenarkan dengan alasan untuk menghindari pembengkakan jumlah perkara di Mahkamah Agung dan demi kepastian hukum dalam kelangsungan dunia usaha. Di samping itu, oleh karena sifat perkara kepailitan dan PKPU adalah perkara yang berdimensi “cepat” (“speedy trial”) dengan demikian dalil Pemohon berkaitan dengan inkonstitusionalitas Pasal 295 ayat (1) UU 37/2004 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.21] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, telah ternyata Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004 telah terbukti menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sedangkan Pasal 295 ayat (1) UU 37/2004 telah ternyata tidak menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, dalil Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.22] Menimbang bahwa terhadap dalil dan hal-hal lain dari permohonan dipandang tidak relevan, oleh karenanya tidak dipertimbangkan lebih lanjut.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430