Info Judicial Review Putusan MK - Menyatakan Mengabulkan


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-info-judicial-review.phtml on line 66

Warning: Undefined property: stdClass::$penutupan in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-info-judicial-review.phtml on line 91

Deprecated: nl2br(): Passing null to parameter #1 ($string) of type string is deprecated in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-info-judicial-review.phtml on line 91
INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dikabulkan Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 21/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 15-12-2021

Bahwa pada hari Rabu, tanggal 15 Desember 2021, pukul 10.58 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 21/PUU-XIX/2021. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 21/PUU-XIX/2021, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian KUHP dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.12] Menimbang bahwa berkaitan dengan isu konstitusionalitas yang dipersoalkan oleh para Pemohon pada esensinya adalah berkenaan dengan inkonstitusionalitas Pasal 288 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) dan ayat (2) KUHP sebagaimana inti petitum para Pemohon yang dapat dipahami Mahkamah pada Paragraf [3.7] angka 4. Terhadap hal tersebut penting bagi Mahkamah untuk menegaskan hal-hal sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa berkenaan dengan norma Pasal 288 KUHP (dikutip dari buku KUHP terbitan Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Tahun 2010) yang selengkapnya berbunyi:
(1) Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila perbuatan mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Sedangkan norma Pasal 293 KUHP (dikutip dari buku KUHP terbitan Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Tahun 2010) selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
(1) Barang siapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan perbawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan penyesatan sengaja menggerakkan seorang belum dewasa dan baik tingkah-lakunya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum kedewasaannya, diketahui atau selayaknya harus diduganya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu.
(3) Tenggang waktu tersebut dalam pasal 74 bagi pengaduan ini adalah masing-masing sembilan bulan dan dua belas bulan.
Selanjutnya berkenaan dengan norma di atas, para Pemohon pada pokoknya memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 288 ayat (1) KUHP sepanjang frasa “belum waktunya untuk dikawin” dan Pasal 293 ayat (1) KUHP sepanjang frasa “belum dewasa” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “batas umur 19 Tahun". Begitu pula, dengan Pasal 293 ayat (2) KUHP, para Pemohon memohon agar norma a quo dimaknai secara bersyarat sepanjang frasa “penuntutan dilakukan hanya atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu” (delik aduan absolut) diubah menjadi delik biasa.
Terhadap permohonan para Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan berkaitan “batas umur” sebagai usia minimal untuk dapat melangsungkan perkawinan, Mahkamah telah menegaskan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017 tanggal 13 Desember 2018 yang dalam Paragraf [3.17] antara lain, menyatakan sebagai berikut:
“… Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974 sepanjang frasa “umur 16 (enam belas) tahun” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dibaca “umur 19 (sembilan belas) tahun” sebagaimana dimohonkan para Pemohon dalam petitumnya.
Bahwa sebagaimana telah ditegaskan sebelumnya, penentuan batas usia minimal perkawinan merupakan kebijakan hukum (legal policy) pembentuk undang-undang. Apabila Mahkamah memutuskan batas minimal usia perkawinan, hal tersebut justru akan menutup ruang bagi pembentuk undang-undang di kemudian hari untuk mempertimbangkan lebih fleksibel batas usia minimal perkawinan sesuai dengan perkembangan hukum dan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, Mahkamah memberikan waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun kepada pembentuk undang-undang untuk sesegera mungkin melakukan perubahan kebijakan hukum terkait batas minimal usia perkawinan, khususnya sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974. Sebelum dilakukan perubahan dimaksud, ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974 masih tetap berlaku.
Bahwa apabila dalam tenggang waktu tersebut pembentuk undangundang masih belum melakukan perubahan terhadap batas minimal usia perkawinan yang berlaku saat ini, demi untuk memberikan kepastian hukum dan mengeliminasi diskriminasi yang ditimbulkan oleh ketentuan tersebut, maka batas minimal usia perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974 diharmonisasikan dengan usia anak sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak dan diberlakukan sama bagi laki-laki dan perempuan.”
Berdasarkan kutipan pertimbangan hukum tersebut di atas, berkenaan dengan batas usia termasuk dalam hal ini batas usia perkawinan sesungguhnya Mahkamah telah menegaskan batas dimaksud yang kemudian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah menyatakan batas usia dimaksud adalah 19 (sembilan belas) tahun. Dengan demikian, frasa “belum waktunya untuk dikawin” sebagaimana termaktub dalam norma Pasal 288 ayat (1) KUHP dan frasa “belum dewasa” dalam Pasal 293 ayat (1) KUHP telah terjawab dengan perubahan norma dimaksud. Namun demikian, perubahan yang berkaitan dengan penentuan batas usia bukanlah menjadi kewenangan Mahkamah untuk menentukannya. Oleh karena itu, melalui Putusan a quo Mahkamah menegaskan agar pembentuk undang-undang untuk menyesuaikan batas usia dalam frasa “belum waktunya untuk dikawin” dalam Pasal 288 ayat (1) KUHP dan frasa “belum dewasa” dalam Pasal 293 ayat (1) KUHP pada perubahan KUHP sesuai dengan semangat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017 tersebut.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas Pasal 288 ayat (1) KUHP, sepanjang frasa “belum waktunya untuk dikawin”, dan Pasal 293 ayat (1) KUHP sepanjang frasa “belum dewasa” adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.12.2] Bahwa selanjutnya berkenaan dengan dalil para Pemohon terkait dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 293 ayat (2) KUHP agar dimaknai secara bersyarat sepanjang frasa “penuntutan dilakukan hanya atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu” (delik aduan absolut) diubah menjadi delik biasa. Terhadap hal tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
Bahwa berkenaan dengan korban tindak pidana dalam perbuatan asusila termasuk dalam hal ini tindak pidana pencabulan yang menjadi korban tidak saja orang dewasa akan tetapi sangat dimungkinkan dialami oleh anak di bawah umur. Oleh karena itu, berkaitan dengan syarat untuk dapat diprosesnya tindak pidana tersebut diperlukan adanya laporan berkenaan dengan telah terjadinya peristiwa pidana yang hal tersebut dapat dilakukan oleh masyarakat maupun korban secara langsung.
Secara doktriner laporan adanya peristiwa pidana dapat dilakukan oleh masyarakat terutama terjadi pada tindak pidana biasa yang tidak dipersyaratkan adanya keharusan pengaduan dari pihak yang menjadi korban (delik biasa) [vide Pasal 108 ayat (1) KUHAP]. Namun demikian, terdapat peristiwa pidana yang diperlukan adanya persyaratan khusus untuk dapat ditindaklanjuti peristiwa pidana tersebut pada tingkat penyidikan dengan syarat secara khusus harus ada pelaporan atau pengaduan dari korban, sebagaimana yang dipersyaratkan dalam Pasal 293 ayat (2) KUHP. Berkenaan dengan persyaratan dimaksud penting bagi Mahkamah untuk menyatakan faktor usia atau kedewasaan memiliki peran berkenaan dengan ada tidaknya laporan tersebut sebagai syarat formal untuk dapat ditindaklanjutinya suatu peristiwa pidana. Dalam hal ini, dalam batas penalaran yang wajar, bilamana korban dari tindak pidana adalah anak di bawah umur, anak di bawah umur dimaksud memiliki banyak keterbatasan untuk melaporkan peristiwa pidana yang dialaminya. Sehingga, sulit bagi proses penegakan hukum yang hanya mengandalkan untuk dilakukannya penyidikan terhadap laporan korban, in casu yang korbannya adalah anak di bawah umur yang secara pengetahuan, psikologis, dan lain-lain memiliki banyak keterbatasan. Sementara itu, korban yang merupakan anak di bawah umur akan membawa dampak sangat serius berkaitan dengan kelangsungan masa depan korban anak di bawah umur yang bersangkutan. Namun demikian, berkenaan dengan laporan atau pengaduan sebagaimana yang dipersyaratkan dalam Pasal 293 ayat (2) KUHP acapkali menimbulkan dilema, di mana tidak setiap korban termasuk keluarga korban menghendaki adanya laporan atau pengaduan tersebut dengan pertimbangan akan terbukanya aib atas peristiwa pidana yang menimpa korban. Namun demikian, di sisi lain tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 293 ayat (2) KUHP adalah tindak pidana yang serius dan tidak dapat dibenarkan, baik dari sisi agama, kesusilaan, maupun ketertiban umum. Oleh karena itu, untuk menyeimbangkan antara perlindungan terhadap korban dan penegakan hukum atas tindak pidana yang telah dilakukan maka ketiadaan laporan atau pengaduan dari korban tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak mengungkap peristiwa pidana tersebut. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat untuk mengatasi keterbatasan yang dimiliki oleh korban anak di bawah umur, di samping dapat dilaporkan atau diadukan oleh anak dimaksud, laporan atau pengaduan terhadap peristiwa pidana yang terjadi dapat pula dilakukan oleh orang tua, wali, atau kuasanya.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, syarat pelaporan atau pengaduan berkenaan dengan korban anak di bawah umur dalam tindak pidana Pasal 293 ayat (2) KUHP menurut Mahkamah harus dilakukan penyesuaian agar dapat mengakomodir perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat sebagaimana telah dipertimbangkan tersebut di atas. Oleh karena itu, terhadap frasa “penuntutan dilakukan hanya atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu” sebagaimana termaktub dalam Pasal 293 ayat (2) KUHP harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “pengaduan dapat dilakukan tidak hanya oleh korban akan tetapi dapat pula dilakukan oleh orang tua, wali, atau kuasanya”. Dengan demikian, dalil para Pemohon selebihnya berkaitan dengan norma Pasal 293 ayat (2) KUHP a quo harus dimaknai dari “delik aduan absolut” menjadi “delik biasa” tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan. Sebab, dengan telah dimaknainya norma Pasal 293 ayat (2) KUHP berkaitan dengan pengaduan dapat dilakukan tidak hanya oleh korban akan tetapi dapat pula dilakukan oleh orang tua, wali, atau kuasanya. Oleh karena itu, delik aduan absolut yang termaktub dalam Pasal 293 ayat (2) KUHP dengan sendirinya menjadi delik aduan relatif.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para Pemohon berkenaan dengan Pasal 293 ayat (2) KUHP telah menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan telah menghilangkan hak perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, dan martabat sebagaimana termaktub dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil-dalil para Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.14] Menimbang bahwa terhadap dalil-dalil para Pemohon lainnya dan halhal lain yang tidak relevan tidak dipertimbangkan lebih lanjut, sehingga harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.