Info Judicial Review Putusan MK - Menyatakan Mengabulkan


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-info-judicial-review.phtml on line 66

Warning: Undefined property: stdClass::$penutupan in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-info-judicial-review.phtml on line 91

Deprecated: nl2br(): Passing null to parameter #1 ($string) of type string is deprecated in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-info-judicial-review.phtml on line 91
INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dikabulkan Sebagian Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 91/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-11-2021

Bahwa pada hari Kamis tanggal 25 November 2021, pukul 13.17 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut UU 11/2020) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 11/2020 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

Dalam Provisi
[3.11] Menimbang bahwa para Pemohon mengajukan permohonan provisi yang pada pokoknya memohon kepada Mahkamah untuk menjatuhkan Putusan Sela dengan menunda keberlakuan UU 11/2020 hingga adanya putusan akhir terhadap pokok permohonan a quo, dengan alasan menurut para Pemohon terdapat ketentuan-ketentuan norma yang tidak dapat dilaksanakan akibat adanya kesalahan rujukan dalam UU a quo. Selain itu, para Pemohon juga memohon agar Mahkamah memrioritaskan penyelesaian proses pemeriksaan perkara para Pemohon a quo dalam waktu 30 hari sehingga diputus sebelum penanganan Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah. Terhadap permohonan provisi para Pemohon, menurut Mahkamah, alasan permohonan provisi yang diajukan oleh para Pemohon adalah berkaitan erat dengan materi muatan UU 11/2020 sehingga tidak tepat dijadikan sebagai alasan permohonan pengujian formal. Adapun terhadap permohonan pemeriksaan prioritas, telah Mahkamah pertimbangkan pada bagian tenggang waktu penyelesaian perkara sebagaimana pada Paragraf [3.4]. Dengan demikian permohonan provisi para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Dalam Pokok Permohonan
[3.17] Menimbang bahwa sebelum menjawab dalil-dalil permohonan yang diajukan oleh para Pemohon, terlebih dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan hal-hal yang berkaitan dengan pembentukan undang-undang sebagai berikut:
[3.17.1] Bahwa setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 (UUD 1945), secara konstitusional, proses pembentukan undang-undang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD 1945. Selain itu, pembentukan undang- undang yang berkaitan dengan wewenang Dewan Perwakilan Daerah (DPD) diatur dalam Pasal 22D UUD 1945. Sementara itu, berkenaan dengan pengaturan lebih rendah (delegasi), hal demikian ditentukan dalam norma Pasal 22A UUD 1945. Pengaturan ihwal proses pembentukan undang-undang tersebut selengkapnya sebagai berikut:
Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 menyatakan:
Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 20 UUD 1945 menyatakan:
(1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
(2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
(3) Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
(4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.
(5) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
Pasal 22A UUD 1945 menyatakan:
Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang.
Pasal 22D ayat (1) dan (2) UUD 1945 menyatakan:
(1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang- undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
(2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang- undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
[3.17.2] Bahwa merujuk pengaturan dalam UUD 1945, pembentukan undang- undang (lawmaking process) adalah merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan secara berkesinambungan yang terdiri dari 5 (lima) tahapan, yaitu: (i) pengajuan rancangan undang-undang; (ii) pembahasan bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden, serta pembahasan bersama antara DPR, Presiden, dan DPD sepanjang terkait dengan Pasal 22D ayat (1) dan (2) UUD 1945; (iii) persetujuan bersama antara DPR dan presiden; (iv) pengesahan rancangan undang-undang menjadi undang-undang; dan (v) pengundangan;
[3.17.3] Bahwa berkenaan dengan tahapan pengajuan rancangan undang- undang, baik yang merupakan pengaturan baru maupun revisi atau perubahan atas undang-undang yang sedang berlaku, secara konstitusional, dapat diajukan atas usul inisiatif dari Presiden (pemerintah), atau atas usul inisiatif dari DPR atau usul inisiatif dari DPD. Perihal rancangan undang-undang dimaksud, pengusulannya harus disertai dengan Naskah Akademik (NA). Secara substanstif, NA minimal memuat, yaitu: dasar-dasar atau alasan-alasan (urgensi) diperlukannya usulan suatu undang-undang atau revisi suatu undang-undang. Dengan penjelasan dimaksud, masyarakat dapat mengetahui implikasinya dalam penyelenggaraan negara atau pemerintahan jika substansi rancangan undang-undang yang diusulkan tidak diakomodasi menjadi undang-undang. Selain penjelasan dimaksud, NA harus pula memuat atau disertai lampiran draf usulan rancangan undang-undang yang substansinya mencerminkan urgensi yang dikemukakan dalam NA.
Bahwa sebagai bagian dari sistem perencanaan pembangunan nasional, pengajuan rancangan undang-undang harus didasarkan kepada Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang dapat memuat atau menentukan skala prioritas setiap tahunnya. Berkenaan dengan hal tersebut, proses penyusunan dan penentuan daftar rencana pembentukan undang-undang termasuk penentuan skala prioritas didasarkan pada undang-undang tentang pembentukan undang-undang, atau undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, atau peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam hal ini, Prolegnas pada hakikatnya tidak sekadar mencantumkan daftar judul RUU melainkan didesain secara terarah, terpadu, dan sistimatis yang harus diikuti dengan konsepsi yang jelas mengenai: a) latar belakang dan tujuan penyusunan; b) sasaran yang ingin diwujudkan; dan c) jangkauan dan arah pengaturan. Selanjutnya, diikuti pula dengan pengkajian dan penyelarasan konsepsi tersebut supaya dapat dicegah terjadinya tumpang tindih pengaturan dan kewenangan.
Meskipun demikian, untuk menampung kondisi atau kebutuhan tertentu, pengajuan rancangan undang-undang dapat dimungkinan di luar Prolegnas. Misalnya, mengatasi kekosongan hukum karena putusan Mahkamah Konstitusi. Sementara itu, perihal persiapan rancangan undang-undang dari masing-masing lembaga yang dapat mengusulkannya (Presiden, DPR, dan DPD) merupakan kebijakan internal masing-masing lembaga. Misalnya DPR, persiapan dapat dilakukan oleh komisi, gabungan komisi, atau badan legislasi. Sedangkan rancangan undang-undang yang diajukan Presiden dapat dipersiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non-kementerian sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya. Begitu pula yang berasal dari DPD, rancangan undang- undang dapat dipersiapkan oleh komite, gabungan komite, atau panitia perancang undang-undang.
Selain yang dipertimbangan tersebut, perihal kewenangan DPD sebagai salah satu lembaga yang dapat mengajukan rancangan undang-undang, Mahkamah perlu mengemukakan kembali Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012, bertanggal 27 Maret 2013, berkenaan dengan kewenangan konstitusional DPD dalam pengajuan rancangan undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945. Putusan a quo menyatakan:
“kata “dapat” dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945 tersebut merupakan pilihan subjektif DPD “untuk mengajukan” atau “tidak mengajukan” rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai dengan pilihan dan kepentingan DPD. Kata “dapat” tersebut bisa dimaknai juga sebagai sebuah hak dan/atau kewenangan, sehingga analog atau sama dengan hak dan/atau kewenangan konstitusional Presiden dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden berhak mengajukan rancangan undang- undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”.
Merujuk pertimbangan tersebut, posisi DPD dalam pengajuan rancangan undang-undang sama seperti halnya hak Presiden dalam mengajukan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 sepanjang rancangan undang-undang dimaksud berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah sebagaimana diatur Pasal 22D ayat (1) UUD 1945. Penegasan demikian diperlukan agar pengajuan rancangan undang-undang tidak menegasikan posisi dan kedudukan DPD dalam grand design pembentukan undang-undang;
[3.17.4] Bahwa berkenaan dengan tahapan pembahasan rancangan undang- undang, hal pertama yang harus dikemukakan Mahkamah adalah berkenaan dengan kata “pembahasan” dalam Pasal 20 ayat (2) UUD 1945. Setelah mendalami pendapat yang berkembang dalam pembahasan perubahan UUD 1945, doktrin, dan pengaturan dalam UU 10/2004 yang telah diganti oleh UU 12/2011, kata “dibahas” pada frasa “rancangan undang-undang dibahas” dalam Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 dimaknai sebagai “dibahas bersama” atau “pembahasan bersama”. Dengan demikian bilamana pembahasan rancangan undang-undang di luar substansi Pasal 22D ayat (1) UUD 1945, pembahasan bersama dilakukan antara Presiden dan DPR. Sementara itu, jika substansi rancangan undang-undang berkaitan dengan Pasal 22D ayat (1) UUD 1945 atau rancangan undang-undang diajukan oleh DPD, pembahasan bersama dilakukan antara Presiden, DPR, dan DPD;
Setelah penegasan ihwal makna kata “pembahasan” tersebut, untuk memenuhi proses formal tahapan ini, Mahkamah perlu menegaskan beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, karena tidak diatur secara detail dalam UUD 1945, pembahasan rancangan undang-undang dilakukan sesuai dengan undang-undang yang mengatur ihwal pembentukan undang-undang atau undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Selain itu, pembahasan dapat juga merujuk sumber-sumber lain yang memberikan makna konstitusional terhadap Pasal 20 ayat (2) UUD 1945, seperti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU- X/2012. Misalnya, jikalau merujuk UU 12/2011, pembahasan rancangan undang- undang dilakukan dengan dua tingkat pembicaraan, yaitu Tingkat Pertama yang dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat badan legislasi, rapat badan anggaran, atau rapat panitia khusus bersama dengan menteri yang mewakili presiden; dan Tingkat Kedua yang dilakukan dalam rapat paripurna DPR.
Kedua, tahapan pembahasan merupakan fase yang berfokus utama untuk membahas rancangan undang-undang, yaitu membahas Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang diajukan lembaga yang terlibat dalam pembahasan bersama. Berkenaan dengan hal ini, DIM diajukan oleh Presiden jika rancangan undang- undang berasal dari DPR, dan DIM diajukan oleh DPR jika rancangan undang- undang berasal dari Presiden. Sementara itu, bilamana pembahasan rancangan undang-undang berkenaan dengan kewenangan DPD dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945, DIM diajukan oleh: a) DPR dan DPD jika rancangan undang-undang berasal dari Presiden sepanjang berkaitan dengan kewenangan DPD; b)
DPR dan Presiden jika rancangan undang-undang berasal dari DPD sepanjang terkait dengan kewenangan DPD; atau c)
DPD dan Presiden jika rancangan undang-undang berasal dari DPR.
Ketiga, dengan membaca Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 dan membaca secara saksama perdebatan perubahan ketentuan a quo, pembahasan bersama rancangan undang-undang dilakukan antar-institusi. Artinya, karena pembahasan bertumpu pada DIM, secara konstitusional dalam pembahasan rancangan undang-undang terdapat satu DIM (DIM Presiden atau DIM DPR) sepanjang pembahasan bukan menyangkut kewenangan DPD dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945. Namun, bilamana pembahasan menyangkut kewenangan DPD, DIM dapat berasal dari Presiden, DPR, atau DPD. Dalam konteks itu, pembahasan DIM adalah pembahasan yang dilakukan antar-lembaga, yaitu: antara Presiden dan DPR (bipartit); dan antara presiden, DPR, dan DPD (tripartit) bila rancangan undang- undang berkenanaan dengan kewenangan DPD dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945.
Dikarenakan pembahasan rancangan undang-undang dilakukan antar- institusi, selama proses pembahasan berlangsung peran kelompok atau bagian tertentu dalam masing-masing institusi menjadi urusan internal setiap institusi. Misalnya, penentuan siapa atau pihak yang akan mewakili Presiden dalam pembahasan rancangan undang-undang ditentukan Presiden dengan Surat Presiden. Begitu pula dengan DPR dan DPD, selama proses pembahasan rancangan undang-undang yang harus kelihatan adalah peran institusi DPR dan institusi DPD. Dalam hal ini, misalnya, peran fraksi dapat dioptimalkan dalam pembahasan-pembahasan dan pengambilan keputusan di internal DPR. Atau, DPD yang harus kelihatan adalah peran institusi DPD, dapat diwakili komite atau panitia perancang. Dengan demikian, selama pembahasan akan kelihatan pembahasan yang dilakukan antarinstitusi atau antarlembaga, yaitu antara Presiden-DPR; dan antara Presiden-DPR-DPD sepanjang rancangan undang-undang yang berkaitan dengan Pasal 22D ayat (1) UUD 1945. Artinya, prinsip mendasar pembahasan institusi merupakan pembahasan antarinstitusi. Dalam batas penalaran yang wajar, pembahasan antarinstitusi dimaksud menjadikan proses pembahasan rancangan undang-undang lebih sederhana.
Keempat, karena pembahasan akan berujung pada kesepakatan atau persetujuan, guna menghindari kemungkinan terjadinya perubahan terhadap hasil kesepakatan, atau manuver berupa penolakan di ujung proses, kesepakatan- kesepakatan terutama yang berkenaan dengan norma, pasal, atau substansi pasal harus dibubuhi paraf atau tandatangan masing-masing pihak yang mewakili institusi. Khusus untuk perumusan norma atau pasal, pembubuhan paraf atau tandatangan dimaksud penting dilakukan untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan terjadinya perubahan di luar kesepakatan selama pembahasan rancangan undang- undang.
Kelima, sebagai bagian dari proses pembahasan, ihwal penyampaian pendapat mini sebagai sikap akhir, sesuai dengan pola pembahasan antar-institusi yang telah dipertimbangkan di atas, penyampaian pendapat mini dimaksud harus disampaikan oleh perwakilan masing-masing institusi. Artinya, sebelum menyampaikan pendapat mini, semua institusi telah selesai melakukan proses internal untuk menyepakati posisi atau pandangan yang akan disampaikan dalam pendapat mini. Dengan menggunakan pola pembahasan dua tingkat pembicaraan, penyampaian pendapat mini merupakan proses penting dan krusial karena merupakan gambaran posisi atau sikap setiap lembaga sebelum dilakukan pembahasan di tingkat kedua dalam rapat paripurna DPR.
[3.17.5] Bahwa berkenaan dengan tahap persetujuan rancangan undang- undang. Ihwal persetujuan bersama dalam Rapat Paripurna DPR merupakan kelanjutan dari tahap pembahasan. Dalam tahap ini, pendapat mini yang disampaikan oleh masing-masing institusi sebelum memasuki tahap persetujuan bersama dapat saja berubah. Jikalau terjadi perubahan, institusi yang berubah sikap tersebut terlebih dahulu harus menyelesaikan perubahan pendapatnya secara internal. Misalnya, jika terdapat satu fraksi atau lebih yang memiliki pendapat berbeda sebelum dilakukan persetujuan bersama, secara internal DPR menyelesaikannya dengan cara musyawarah. Jika musyawarah tidak mencapai mufakat, DPR memilih cara penentuan sikap dengan mekanisme pemungutan suara (voting). Secara konstitusional, soal terpenting dalam persetujuan bersama adalah pernayataan persetujuan dari masing-masing institusi, yaitu pernyataan persetujuan dari (pihak yang mewakili) presiden dan pernyataan persetujuan dari DPR. Dalam hal ini, sesuai dengan norma Pasal 20 ayat (2) UUD 1945, persetujuan bersama hanya dilakukan oleh Presiden dan DPR.
Masalah konstitusional lain yang perlu dikemukakan oleh Mahkamah berkenaan dengan persetujuan bersama adalah ketika suatu rancangan undang- undang tidak mendapatkan persetujuan bersama. Terhadap hal tersebut, Pasal 20 ayat (3) UUD 1945 menyatakan, “Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu”. Ketentuan a quo memiliki akibat atau konksekuensi terhadap rancangan undang-undang yang ditolak tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam masa persidangan ketika persetujuan tersebut dilakukan. Masalah lainnya, bagaimana kalau rancangan undang-undang belum mendapat persetujuan atau masih berada dalam tahap pembahasan, atau sama sekali belum memasuki pembahasan sementara masa jabatan DPR periode bersangkutan telah selesai. Bisakah rancangan undang-undang dimaksud dilanjutkan (carry over) kepada DPR periode berikutnya? Berkenaan dengan hal ini, ketentuan Pasal 20 ayat (3) UUD 1945 tidaklah eksplisit menyangkut RUU yang dapat dilanjutkan pembahasannya kepada DPR periode berikutya. Kemungkinan untuk dapat dilakukan carry over hanya dapat dibenarkan oleh maksud Pasal 22A UUD 1945. Dalam hal ini, dasar hukum dan status rancangan undang-undang carry over hanya dapat dibenarkan dalam kerangka “dengan peraturan lain yang dimaksudkan untuk melaksanakan pembentukan undang-undang sebagaimana termaktub dalam Pasal 22A UUD 1945” sebagaimana maksud Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009, tertanggal 16 Juni 2010. Jika menggunakan ketentuan Pasal 71A Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 15/2019) rancangan undang-undang carry over hanya dapat dibenarkan sepanjang memenuhi dua persyaratan secara kumulatif, yaitu (i) telah memasuki pembahasan DIM; dan (ii) dimasukkan kembali ke dalam Prolegnas berdasarkan kesepakatan DPR, Presiden dan/atau DPD.
[3.17.6] Bahwa selanjutnya berkenaan dengan pengesahan rancangan undang-undang, Mahkamah perlu menegaskan ketentuan Pasal 20 ayat (4) UUD 1945 yang merupakan pengesahan formil. Artinya, ketika persetujuan bersama antara Presiden dan DPR telah dicapai, secara doktriner persetujuan tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk pengesahan materiil. Pengesahan materiil tidak akan terjadi jika salah satu pihak, baik presiden atau DPR, menolak untuk menyetujui rancangan undang-undang dalam sidang Paripurna DPR. Oleh karena itu, rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden, tidak boleh lagi dilakukan perubahan yang sifatnya substansial. Jikapun terpaksa dilakukan perubahan, hanyalah bersifat format atau penulisan karena adanya kesalahan pengetikan (typo) dan perubahan tersebut tidak boleh mengubah makna norma pasal atau substansi rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama. Sementara itu, jikalau terdapat suatu keadaan, di mana Presiden menolak mengesahkan atau tidak mengesahkan suatu rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama, tindakan penolakan Presiden tersebut tidak menyebabkan suatu undang-undang menjadi cacat formil. Terlebih lagi, Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 telah mengantisipasi kemungkinan tersebut sehingga undang-undang yang tidak disahkan Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang- undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang- undang dan wajib diundangkan.
[3.17.7] Bahwa tahap terakhir dalam pembentukan undang-undang adalah pengundangan (afkondiging/promulgation) yang merupakan tindakan atau pemberitahuan secara formal suatu undang-undang dengan cara menempatkan dalam penerbitan resmi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam hal ini, pengundangan adalah penempatan undang-undang dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Penjelasan Undang-Undang dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia. 

[3.17.8] Bahwa selain keterpenuhan formalitas semua tahapan di atas, masalah lain yang harus menjadi perhatian dan dipenuhi dalam pembentukan undang-undang adalah partisipasi masyarakat. Kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembentukan undang-undang sebenarnya juga merupakan pemenuhan amanat konstitusi yang menempatkan prinsip kedaulatan rakyat sebagai salah satu pilar utama bernegara sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Lebih jauh lagi, partisipasi masyarakat juga dijamin sebagai hak-hak konstitusional berdasarkan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 yang memberikan kesempatan bagi warga negara untuk turut serta dalam pemerintahan dan membangun masyarakat, bangsa, dan negara. Apabila pembentukan undang- undang dengan proses dan mekanisme yang justru menutup atau menjauhkan keterlibatan partisipasi masyarakat untuk turut serta mendiskusikan dan memperdebatkan isinya maka dapat dikatakan pembentukan undang-undang tersebut melanggar prinsip kedaulatan rakyat (people sovereignty).
Secara doktriner, partisipasi masyarakat dalam suatu pembentukan undang- undang bertujuan, antara lain, untuk (i) menciptakan kecerdasan kolektif yang kuat (strong collective intelligence) yang dapat memberikan analisis lebih baik terhadap dampak potensial dan pertimbangan yang lebih luas dalam proses legislasi untuk kualitas hasil yang lebih tinggi secara keseluruhan, (ii) membangun lembaga legislatif yang lebih inklusif dan representatif (inclusive and representative) dalam pengambilan keputusan; (iii) meningkatnya kepercayaan dan keyakinan (trust and confidence) warga negara terhadap lembaga legislatif; (iv) memperkuat legitimasi dan tanggung jawab (legitimacy and responsibility) bersama untuk setiap keputusan dan tindakan; (v) meningkatan pemahaman (improved understanding) tentang peran parlemen dan anggota parlemen oleh warga negara; (vi) memberikan kesempatan bagi warga negara (opportunities for citizens) untuk mengomunikasikan kepentingan-kepentingan mereka; dan (vii) menciptakan parlemen yang lebih akuntabel dan transparan (accountable and transparent).
Oleh karena itu, selain menggunakan aturan legal formal berupa peraturan perundang-undangan, partisipasi masyarakat perlu dilakukan secara bermakna (meaningful participation) sehingga tercipta/terwujud partisipasi dan keterlibatan publik secara sungguh-sungguh. Partisipasi masyarakat yang lebih bermakna tersebut setidaknya memenuhi tiga prasyarat, yaitu: pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard); kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained). Partisipasi publik tersebut terutama diperuntukan bagi kelompok masyarakat yang terdampak langsung atau memiliki perhatian (concern) terhadap rancangan undang- undang yang sedang dibahas.
Apabila diletakkan dalam lima tahapan pembentukan undang-undang yang telah diuraikan pada pertimbangan hukum di atas, partisipasi masyarakat yang lebih bermakna (meaningful participation) harus dilakukan, paling tidak, dalam tahapan (i) pengajuan rancangan undang-undang; (ii) pembahasan bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan presiden, serta pembahasan bersama antara DPR, Presiden, dan DPD sepanjang terkait dengan Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945; dan (iii) persetujuan bersama antara DPR dan presiden.
[3.17.9] Bahwa semua tahapan dan partisipasi masyarakat yang dikemukakan di atas digunakan sebagai bagian dari standar penilaian pengujian formil, sehingga memperkuat syarat penilaian pengujian formil sebagaimana termaktub dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XVII/2019, yaitu:
1. pengujian atas pelaksanaan tata cara atau prosedur pembentukan undang- undang, baik dalam pembahasan maupun dalam pengambilan keputusan atas rancangan suatu undang-undang menjadi undang-undang;
2. pengujian atas bentuk (format) atau sistematika undang-undang;
3. pengujian berkenaan dengan wewenang lembaga yang mengambil keputusan dalam proses pembentukan undang-undang; dan
4. pengujian atas hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil.
Semua tahapan dan standar sebagaimana diuraikan dan dipertimbangkan di atas, akan digunakan untuk menilai keabsahan formalitas pembentukan undang- undang yang dilekatkan atau dikaitkan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Perlu Mahkamah tegaskan, penilaian terhadap tahapan dan standar dimaksud dilakukan secara akumulatif. Dalam hal ini, jikalau minimal satu tahapan atau satu standar saja tidak terpenuhi dari semua tahapan atau semua standar yang ada, maka sebuah undang-undang dapat dikatakan cacat formil dalam pembentukannya. Artinya, cacat formil undang-undang sudah cukup dibuktikan apabila terjadi kecacatan dari semua atau beberapa tahapan atau standar dari semua tahapan atau standar sepanjang kecacatan tersebut telah dapat dijelaskan dengan argumentasi dan bukti-bukti yang tidak diragukan untuk menilai dan menyatakan adanya cacat formil pembentukan undang-undang.
[3.18] Menimbang bahwa berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil-dalil para Pemohon, sebagai berikut:

[3.18.1] Bahwa para Pemohon mendalilkan pembentukan UU 11/2020 dengan metode omnibus law telah menimbulkan ketidakjelasan apakah UU 11/2020 tersebut merupakan UU baru, UU perubahan ataukah UU pencabutan, sehingga bertentangan dengan ketentuan teknik pembentukan peraturan perundang- undangan yang telah ditentukan dalam UU 12/2011. Terhadap dalil para Pemohon a quo Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.18.1.1] Bahwa UUD 1945 pada prinsipnya telah menentukan kerangka pembentukan undang-undang sebagaimana pertimbangan hukum pada Paragraf [3.17]. Bertolak pada ketentuan Pasal 22A UUD 1945 saat ini diberlakukan UU 12/2011 yang telah diubah dengan UU 15/2019 sebagai delegasi UUD 1945, sebagaimana hal tersebut dipertegas dalam konsideran “Mengingat” UU 12/2011 yang menyatakan UU a quo didasarkan pada Pasal 22A UUD 1945 serta dijelaskan pula bahwa Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan merupakan pelaksanaan dari perintah Pasal 22A UUD 1945 [vide Penjelasan Umum UU 12/2011]. Oleh karena UU 12/2011 merupakan pendelegasian UUD 1945 maka dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 51 ayat (3) UU MK, untuk pemeriksaan permohonan pengujian formil dan pengambilan putusannya harus pula mendasarkan pada tata cara pembentukan UU yang diatur dalam UU 12/2011. Hal ini sejalan dengan pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009, bertanggal 16 Juni 2010, pada Paragraf [3.19], yang menyatakan:
“...menurut Mahkamah jika tolok ukur pengujian formil harus selalu berdasarkan pasal-pasal UUD 1945 saja, maka hampir dapat dipastikan tidak akan pernah ada pengujian formil karena UUD 1945 hanya memuat hal-hal prinsip dan tidak mengatur secara jelas aspek formil proseduralnya. Padahal dari logika tertib tata hukum sesuai dengan konstitusi, pengujian secara formil itu harus dapat dilakukan. Oleh sebab itu, sepanjang Undang-Undang, tata tertib produk lembaga negara, dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mekanisme atau formil-prosedural itu mengalir dari delegasi kewenangan menurut konstitusi, maka peraturan perundang-undangan itu dapat dipergunakan atau dipertimbangkan sebagai tolok ukur atau batu uji dalam pengujian formil”.
[3.18.1.2] Bahwa dengan demikian, dalam mengadili perkara pengujian formil UU selain mendasarkan pada UUD 1945, Mahkamah juga mendasarkan antara lain pada UU 12/2011 sebagaimana telah diubah dengan UU 15/2019 sebagai UU yang mengatur tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan. Sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 10/2004), UU 12/2011 menyempurnakan segala kekurangan dari UU sebelumnya mengenai aspek teknik penyusunan peraturan perundang-undangan yang baik dengan sekaligus memberikan contoh- contoh dalam Lampiran UU 12/2011 sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari UU a quo agar dapat memberikan pedoman yang lebih jelas, pasti dan baku dalam penyusunannya yang merupakan bagian dari pembentukan peraturan perundang- undangan [vide Penjelasan Umum UU 12/2011]. Penjelasan ini pada prinsipnya merupakan elaborasi dari maksud dalam konsideran “Menimbang” huruf b UU a quo yang menyatakan:
“bahwa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas peraturan perundang- undangan yang baik, perlu dibuat peraturan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan”.
Dengan demikian, berarti setiap pembentuk peraturan perundang- undangan, in casu pembentuk UU, harus menggunakan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang sudah ditentukan, baik yang terkait dengan penyusunan naskah akademik maupun rancangan undang-undang, sebagaimana hal tersebut dimaktubkan dalam Pasal 44 dan Pasal 64 UU 12/2011 yang selengkapnya menyatakan:
Pasal 44 menyatakan:
(1) Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang- Undang dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Naskah Akademik.
(2) KetentuanmengenaiteknikpenyusunanNaskahAkademiksebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Pasal 64 menyatakan:
(1) Penyusunan Rancangan Peraturan Perundang-undangan dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan.
(2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Peraturan Perundang- undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang- Undang ini.
(3) ........
[3.18.1.3] Bahwa adanya ketentuan Pasal 44 dan Pasal 64 UU 12/2011 yang menghendaki baik penyusunan naskah akademik maupun rancangan undang- undang dilakukan sesuai dengan teknik yang telah ditentukan adalah untuk menciptakan tertib dalam pembentukan peraturan perundang-undangan sehingga produk hukum yang nantinya akan dibentuk menjadi mudah untuk dipahami dan dilaksanakan sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang- undangan [vide Pasal 5 UU 12/2011]. Oleh karena itu, diperlukan tata cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan, sebagaimana maksud konsideran “Menimbang” huruf b UU 12/2011. Lembaga yang dimaksud yaitu Presiden, DPR, dan DPD. Sedangkan, mengenai cara dan metode yang pasti, baku, dan standar tersebut telah dituangkan dalam Lampiran UU 12/2011 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari UU a quo.
[3.18.1.4] Bahwa berkenaan dengan pertimbangan hukum tersebut di atas, Lampiran I UU 12/2011 telah menentukan standar baku perumusan judul suatu peraturan perundang-undangan yang di dalamnya berisi nama peraturan perundang–undangan yang dibuat secara singkat dengan hanya menggunakan 1 (satu) kata atau frasa tetapi secara esensial maknanya mencerminkan isi peraturan perundang-undangan [vide Lampiran II Bab I Kerangka Peraturan Perundang- undangan huruf A angka 2 dan angka 3]. Jika peraturan tersebut merupakan perubahan maka pada nama peraturan perundang–undangan perubahan ditambahkan frasa perubahan atas di depan judul peraturan perundang-undangan yang hendak diubah [vide Lampiran II Bab I Kerangka Peraturan Perundang- undangan huruf A angka 6], contoh:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 2011
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK
Dalam perkara a quo, setelah dibaca dan dicermati muatan UU 11/2020 telah ternyata berkaitan dengan 78 (tujuh puluh delapan) undang-undang di mana 77 (tujuh puluh tujuh) undang-undang merupakan perubahan undang-undang dan 1 (satu) undang-undang berupa pencabutan undang-undang. Sementara itu, berkaitan dengan pencabutan UU sebagai suatu UU pencabutan yang berdiri sendiri, maka harus merujuk pada huruf E Lampiran II UU 12/2011 mengenai “Bentuk Rancangan Undang–Undang Pencabutan Undang-Undang” yang telah menentukan format bakunya bahwa pada nama peraturan perundang-undangan pencabutan ditambahkan kata “pencabutan” di depan judul peraturan perundang- undangan yang dicabut. Kecuali, jika pencabutan suatu UU dilakukan karena berkaitan dengan UU baru yang dibentuk maka penempatan pencabutannya adalah pada bagian “Ketentuan Penutup” dari sistematika UU baru. Pada umumnya Ketentuan Penutup memuat mengenai: a. penunjukan organ atau alat kelengkapan yang melaksanakan Peraturan Perundang-undangan; b. nama singkat Peraturan Perundang-undangan; c. status Peraturan Perundang-undangan yang sudah ada; dan d. saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan [vide butir 137 Lampiran II UU 12/2011]. Lebih lanjut, dalam bagian sistematika Ketentuan Penutup telah ditentukan pula standar baku dalam merumuskan norma pencabutan suatu UU yaitu:
143. Jika materi muatan dalam Peraturan Perundang-undangan yang baru menyebabkan perubahan atau penggantian seluruh atau sebagian materi muatan dalam Peraturan Perundang-undangan yang lama, dalam Peraturan Perundang-undangan yang baru harus secara tegas
144. Rumusan pencabutan Peraturan Perundang-undangan diawali dengan frasa Pada saat ...(jenis Peraturan Perundang-undangan) ini mulai berlaku, kecuali untuk pencabutan yang dilakukan dengan Peraturan Perundang-undangan pencabutan tersendiri.
145. Demi kepastian hukum, pencabutan Peraturan Perundang-undangan tidak dirumuskan secara umum tetapi menyebutkan dengan tegas Peraturan Perundang-undangan yang dicabut.
146. Untuk mencabut Peraturan Perundang-undangan yang telah diundangkan dan telah mulai berlaku, gunakan frasa dicabut dan dinyatakan tidak berlaku [vide Lampiran II UU 12/2011].
Sementara itu, dalam UU 11/2020 ketentuan mengenai pencabutan UU secara utuh tidak dirumuskan sesuai dengan sistematika yang telah ditentukan dalam Lampiran II UU 12/2011 tetapi diletakkan pada bagian pasal-pasal dari ketentuan UU yang mengalami perubahan sebagaimana termaktub dalam Bagian Keenam UU 11/2020 mengenai Undang-Undang Gangguan yang dalam Pasal 110 UU a quo dinyatakan bahwa:
Staatsblad Tahun 1926 Nomor 226 yuncto staatsblad Tahun 1940 Nomor 450 tentang Undang-Undang Gangguan (Hinderordonantie) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
[3.18.1.5] Bahwa lebih lanjut, berkenaan dengan penamaan UU yang dimohonkan pengujian dalam perkara a quo telah ternyata menggunakan nama baru yaitu UU tentang Cipta Kerja, oleh karenanya Mahkamah dapat memahami apa yang menjadi persoalan inti para Pemohon yakni adanya ketidakjelasan apakah UU a quo merupakan UU baru atau UU perubahan. Terlebih, dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 UU 11/2020 dirumuskan pula nomenklatur Cipta Kerja adalah upaya penciptaan kerja melalui usaha kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha, dan investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional. Dengan adanya penamanan baru suatu undang-undang yaitu UU tentang Cipta Kerja yang kemudian dalam Bab Ketentuan Umum diikuti dengan perumusan norma asas, tujuan dan ruang lingkup yang selanjutnya dijabarkan dalam bab dan pasal-pasal terkait dengan ruang lingkup tersebut [vide Pasal 6 sampai dengan Pasal 15 UU 11/2020], maka UU 11/2020 tidaklah sejalan dengan rumusan baku atau standar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan karena hal demikian sesungguhnya menunjukkan norma yang dibentuk tersebut seolah-olah sebagai undang-undang baru. Namun, substansi terbesar dalam UU 11/2020 telah ternyata adalah merupakan perubahan terhadap sejumlah undang- undang.
[3.18.1.6] Bahwa jika yang dilakukan adalah perubahan suatu UU, tidak perlu dibuat ketentuan umum yang berisi nomenklatur baru, yang kemudian diikuti dengan rumusan asas, tujuan, serta ruang lingkup, kecuali jika hal-hal yang akan diubah dari suatu undang-undang mencakup materi tersebut. Sebab, dari sejumlah UU yang telah diubah oleh UU 11/2020, UU asli/asalnya masing-masing masih tetap berlaku - walaupun tidak ditegaskan mengenai keberlakuan UU lama tersebut dalam UU 11/2020 -, sementara, dalam UU yang lama telah ditentukan pula asas-asas dan tujuan dari masing-masing UU yang kemudian dijabarkan dalam norma pasal-pasal yang diatur dalam masing-masing UU tersebut [vide Penjelasan Umum UU 12/2011].
Oleh karena itu, dengan dirumuskannya asas-asas dan tujuan dalam UU 11/2020 yang dimaksudkan untuk dijabarkan dalam sejumlah UU yang dilakukan perubahan akan menimbulkan ketidakpastian atas asas-asas dan tujuan UU mana yang pada akhirnya harus diberlakukan karena asas-asas dan tujuan dari UU yang lama pada kenyataanya masih berlaku. Berkenaan dengan hal ini, UU 12/2011 telah menentukan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan (asas formil) sebagai keharusan untuk digunakan dalam membentuk peraturan perundang- undangan. Namun, ternyata tidak digunakan sebagaimana mestinya sehingga menimbulkan ketidakjelasan cara atau metode yang digunakan oleh UU 11/2020. Hal ini tentu tidak sejalan dengan maksud “asas kejelasan rumusan” dalam UU 12/2011 yang menghendaki agar setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya [vide Pasal 5 huruf f UU 12/2011 dan Penjelasannya].
[3.18.1.7] Bahwa lebih lanjut, apabila merujuk pada Lampiran II UU 12/2011 telah ditentukan pula mengenai format perubahan peraturan perundang-undangan [vide Lampiran II huruf D] di antaranya: