Bahwa permohonan pengujian UU PT diajukan oleh Ignatius Supriyadi, S.H.,LL.M, Sidik, S.H., M.H dan Janteri, S.H.
Bahwa Penjelasan Pasal 120 ayat (2) UU PT dianggap Para Pemohon bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 33 ayat (4), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 karena dinilai telah merugikan dan melanggar hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon.
Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan dalam Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4] di atas, selanjutnya 45 Mahkamah akan mempertimbangkan mengenai kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut:
1. Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon dalam permohonan a quo adalah norma Penjelasan Pasal 120 ayat (2) UU PT yang menyatakan sebagai berikut: Penjelasan Pasal 120 ayat (2) Komisaris Independen yang ada di dalam pedoman tata kelola Perseroan yang baik (code of good coorporate governance) adalah “Komisaris dari pihak luar”
2. Bahwa para Pemohon mendalilkan sebagai perorangan Warga Negara Indonesia yang berprofesi sebagai advokat dan selaku pembayar pajak. Para Pemohon menjelaskan memiliki hak-hak konstitusional sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5), serta Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 dan beranggapan bahwa hakhak konstitusional tersebut dirugikan oleh berlakunya norma yang dimohonkan pengujian;
3. Bahwa menurut para Pemohon, dalam kualifikasinya sebagai pembayar pajak, para Pemohon mempunyai hak konstitusional untuk mempersoalkan dan/atau mengajukan uji materiil kepada Mahkamah terhadap setiap undang-undang di segala bidang hukum yang memengaruhi kerja para Pemohon sebagai Advokat yang juga berstatus sebagai penegak hukum. Selain itu, materi muatan Penjelasan Pasal 120 ayat (2) UU PT berkaitan dengan kedudukan “Komisaris Independen”, yang di dalamnya mengandung makna pekerjaan atau jabatan yang baik langsung maupun tidak langsung berbicara penghasilan/pendapatan berikut perpajakannya sehingga relevan dengan kualifikasi sebagai pembayar pajak;
4. Bahwa menurut para Pemohon, Penjelasan Pasal 120 ayat (2) UU PT yang memuat frasa “Komisaris dari pihak luar” dalam tanda petik, telah menimbulkan multitafsir yang merugikan hak konstitusional para Pemohon dalam menjalankan profesi para Pemohon yang berhubungan erat dengan memberikan pendapat atau nasihat hukum termasuk dalam Hukum Perseroan serta hilang atau berkurangnya hak para Pemohon untuk memeroleh pekerjaan dan penghidupan yang layak akibat adanya kemungkinan terjadi penumpukan atau sentralisasi jabatan Komisaris Independen pada pejabat negara, aparatur sipil negara, dan penyelenggara negara;
5. Bahwa penulisan frasa “Komisaris dari pihak luar” dalam tanda petik menjadikan pengertian Komisaris dari pihak luar tidak memiliki makna yang sebenarnya atau memiliki arti khusus, namun tidak terdapat penjelasan lebih lanjut apa makna atau arti khusus dari “Komisaris dari pihak luar” tersebut. Frasa “Komisaris dari pihak luar” itu dapat diartikan sebagai tidak terafiliasi dari pemegang saham utama, anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris lainnya, atau dapat juga diartikan sebagai komisaris yang berasal dari pihak yang sama sekali tidak ada kaitannya atau hubungan dengan perseroan yang bersangkutan sehingga karyawan atau afiliasi dari pemegang saham minoritas tidak dapat menjadi Komisaris Independen;
6. Bahwa potensi kerugian hak konstitusional para Pemohon atas kepastian hukum dan untuk memeroleh pekerjaan dan penghidupan yang layak tidak akan terjadi apabila Mahkamah menyatakan norma Penjelasan Pasal 120 ayat (2) UU PT bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945;
Berdasarkan uraian tersebut di atas, menurut Mahkamah, Pemohon memiliki hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 dan hak konstitusional tersebut dianggap dirugikan oleh berlakunya ketentuan Pasal 60 ayat (1) UU MK. Kerugian konstitusional tersebut bersifat spesifik dan aktual serta memiliki hubungan sebab akibat antara anggapan kerugian dimaksud dengan berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian. Apabila permohonan Pemohon dikabulkan maka kerugian konstitusional seperti yang dijelaskan tidak lagi terjadi. Dengan demikian, terlepas dari terbukti atau tidaknya inkonstitusionalitas norma Pasal 60 ayat (1) UU MK yang dimohonkan pengujian, Mahkamah berpendapat Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.
[3.6] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara saksama uraian para Pemohon dalam menjelaskan kerugian hak konstitusionalnya, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.5] di atas, menurut Mahkamah, para Pemohon tidak mampu menguraikan secara spesifik, aktual, maupun potensial hak konstitusionalnya yang menurut anggapan para Pemohon dirugikan oleh berlakunya ketentuan Penjelasan Pasal 120 ayat (2) UU PT khususnya dengan adanya frasa “Komisaris dari pihak luar” yang ditulis dalam tanda petik. Menurut Mahkamah, para Pemohon tidak memberikan bukti yang cukup sehingga dapat meyakinkan Mahkamah bahwa terdapat kecenderungan para Pemohon untuk dipilih menjadi Komisaris Independen dari suatu perusahaan terbuka/publik yang kemudian menjadi terhalang hak atas pekerjaan para Pemohon tersebut akibat adanya keikutsertaan pejabat negara, aparatur sipil negara (ASN), maupun penyelenggara negara;
Dengan mendasarkan kepada prinsip-prinsip good corporate governance (GCG) yang merupakan rujukan mengenai langkah-langkah yang perlu ditempuh untuk menciptakan situasi checks and balances, transparan dan akuntabel serta merealisasikan tanggung jawab sosial bagi keberlangsungan hidup perusahaan, pemilihan Komisaris Independen dalam suatu Emiten maupun Perusahaan Publik adalah berdasarkan integritas dan kualitas pribadi calon Komisaris Independen itu 47 sendiri sebagaimana yang disyaratkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 33/POJK.04/2014 tentang Direksi dan Dewan Komisaris Emiten atau Perusahaan Publik. Seorang Komisaris Independen pada perusahaan terbuka/publik selain telah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK a quo selanjutnya yang menjadi bagian penting adalah diangkat berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Terhadap persyaratan untuk menjadi Komisaris Independen berdasarkan Peraturan OJK a quo, para Pemohon dalam Permohonannya telah menyatakan tidak terdapat halangan pada diri para Pemohon untuk menduduki jabatan Komisaris Independen di perusahaan terbuka/publik [vide Perbaikan Permohonan para Pemohon bertanggal 7 September 2021, hlm. 7]. Menurut Mahkamah, pembatasan terhadap pejabat negara, ASN, maupun penyelenggara negara untuk dapat menjadi Komisaris Independen tidak serta merta menjadikan para Pemohon atas dasar pekerjaannya dapat menjadi Komisaris Independen, tetapi para Pemohon ataupun Advokat lainnya harus memenuhi kriteria dan persyaratan sebagaimana diuraikan di atas, sehingga para Pemohon sebagai perseorangan warga negara Indonesia dan berprofesi sebagai advokat tidak mengalami kerugian baik secara langsung maupun tidak langsung dengan berlakunya norma a quo serta tidak terdapat pula hubungan sebab akibat antara anggapan kerugian konstitusional dengan berlakunya norma yang dimohonkan pengujian;
Selain itu, terkait dalil para Pemohon untuk memberikan penguatan terhadap kedudukan hukumnya dengan menggunakan kualifikasi sebagai pembayar pajak yang dihubungkan dengan Komisaris Independen sebagai suatu pekerjaan yang berkenaan dengan penghasilan dan perpajakan, hal demikian tidak dapat diterima oleh Mahkamah sebagaimana telah menjadi pendirian Mahkamah, bahwa Pemohon sebagai pembayar pajak dapat diberikan kedudukan hukumnya bilamana perkara pengujian undang-undang yang diajukan berkaitan erat dengan keuangan negara, pajak, atau anggaran negara serta mampu menguraikan kerugian konstitusional yang disebabkan dari keberlakuan suatu norma yang dimohonkan pengujiannya [vide misalnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUUXVII/2019]. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo;
[3.7] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan para Pemohon.
PENDAPAT BERBEDA (DISSENTING OPINION)
Terhadap putusan Mahkamah Konstitusi a quo, 2 (dua) orang Hakim Konstitusi, yaitu Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Hakim Konstitusi Suhartoyo mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion) perihal kedudukan hukum para Pemohon, dengan alasan-alasan sebagai berikut:
- Bahwa argumentasi para Pemohon dalam uraian kedudukan hukumnya menjelaskan para Pemohon adalah warga negara Indonesia, tax payer, advokat dan profesional yang hak konstitusionalnya dilindungi oleh konstitusi, menurut para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.
- Bahwa selain alasan tersebut di atas para Pemohon juga menjelaskan bahwa para Pemohon juga bukan sebagai subjek hukum yang menjabat sebagai direksi atau komisaris. Dengan demikian, menurut para Pemohon memiliki hak yang sama dengan warga negara Indonesia lain pada umumnya yang memiliki kualifikasi untuk mengikuti seleksi jabatan komisaris independen sebagaimana ketentuan dalam UU PT pada perkara a quo dan peraturan perundang-undangan lainnya;
- Bahwa lebih lanjut, penjelasan Pasal 120 ayat (2) UU Perseroan Terbatas yang diuji dalam perkara a quo selengkapnya berbunyi : “Komisaris Independen yang ada di dalam pedoman tata kelola perseroan yang baik (code of good corporate governance) adalah ‘komisaris dari pihak luar’”; oleh karena itu terhadap norma penjelasan a quo apabila dicermati terdapat syarat agar tata kelola perseroan yang baik (code of good corporate governance) diperlukan adanya “komisaris dari pihak luar”. Oleh karena itu esensi keberadaan komisaris independen adalah untuk memberikan kontribusi pengawasan terhadap perusahaan publik dari unsur masyarakat. Hal ini sangat relevan apabila dikaitkan dengan peran serta masyarakat dalam turut serta mengawasi jalannya sebuah perseroan, terlebih yang terkait dengan keuangan negara, meskipun telah masuk pada kategori prinsip-prinsip perseroan.
- Bahwa apabila ditinjau dengan menggunakan penafsiran grammatical bagi kami jelas sulit untuk mencari alasan dengan tidak memberikan tempat bagi para Pemohon untuk tidak dikategorikan sebagai subjek hukum yang mempunyai kedudukan sama untuk menjadi kandidat ‘komisaris dari pihak luar’. Sebab profesi para Pemohon sebagai advokat/penasehat hukum/profesional juga memenuhi kualifikasi yang dipandang cakap untuk melakukan perbuatan hukum [Vide Pasal ayat (1) huruf b Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 33/POJK.04/2014 tentang Direksi dan Dewan Komisaris Emiten atau Perusahaan Publik (selanjutnya disebut POJK 33/2014)] sehingga memungkinkan untuk mengikuti seleksi jabatan komisaris independen sebagai bentuk peran serta masyarakat dalam turut serta mengawasi jalannya perseroan khususnya perseroan publik melalui perwujudan good corporate governance. Sementara syarat-syarat lain tidak ada satupun yang membatasi akan profesi para Pemohon.
- Bahwa Mahkamah tidak boleh melihat terlalu sempit akan profesi seorang advokat yang hanya sekedar memberikan bantuan hukum, pendampingan hukum saja, akan tetapi ada sisi lain sebagai seorang advokat yang juga sebagai warga negara serta anggota masyarakat yang peran sertanya dibutuhkan untuk mengawasi bekerjanya organ negara yang antara lain melalui instrumen tertentu di dalam mencapai kesejahteraan rakyat. Adapun instrumen yang dimaksud antara lain berupa terwujudnya perseroan-perseroan yang harus mencapai predikat good corporate governance, dengan prinsip-prinsip antara lain: keterbukaan atau transparansi (transparancy, disclosure), akuntanbiltas (accountability), keadilan (fairness), dan pertanggungjawaban (responsibility)
- Bahwa urgensi ditunjuknya komisaris independen dalam tata kelola perseroan, khususnya perseoran bertujuan untuk mendorong terciptanya iklim dan lingkungan kerja yang lebih objektif dan mengedepankan kewajaran (fairness) dan kesetaraan diantara berbagai kepentingan termasuk kepentingan pemegang saham minoritas dan stakeholder lainnya.
- Bahwa ketentuan mengenai syarat komisaris independen diatur secara teknis dalam Pasal 21 ayat (2) POJK 33/2014 yang berbunyi: selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisaris Independen wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Bukan merupakan orang yang bekerja atau mempunyai wewenang dan tanggung jawab untuk merencanakan, memimpin, menegendalikan, atau mengawasi kegiatan eemiten atau perusahaan publik tersebeut dalam waktu 6 (enam) bulan terakhir, kecuali untuk pengangkatan kembali sebagai komisaris independen emiten atau perusahaan publik pada periode berikutnya;
b. Tidak memiliki saham baik langsung maupun tidak langsung pada emiten atau perusahaan publik tersebut;
c. Tidak memiliki hubungan afiliasi dengan emiten atau perusahaan publik, anggota dewan komisaris, anggota direksi, atau pemegang saham utama emiten atau perusahaan publik tersebut;
d. Tidak mempunyai hubungan usaha baik langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan usaha emiten atau perusahaan publik tersebut.
- Dalam Pasal 20 POJK 33/2014 diatur pula ketentuan bahwa bilamana jumlah dewan komisaris lebih dari 2 (dua), maka setidaknya jumlah komisaris independen adalah 30% dari keseluruhan anggota Dewan Komisaris. Namun dalam perkembangannya POJK Nomor 55/POJK.03/2016 tentang Penerapan Tata Kelola Bagi Bank Umum menetapkan jumlah komisaris independen pada bank umum paling sedikit berjumlah 50% (lima puluh persen) dari jumlah anggota dewan komisaris.
- Komisaris independen yang dapat diangkat kembali setelah dua periode masa menjabat sepanjang komisaris independen tersebut menyatakan dirinya tetap independen kepada RUPS.
- Bahwa tata kelola perusahaan yang baik merupakan suatu perpaduan antara hukum, peraturan perundang-undangan dan praktik yang dilakukan oleh sektor privat atas dasar sukarela yang memungkinkan perusahaan untuk menarik modal keuangan dan tenaga kerja, berkinerja secara efisien, dan dengan semua itu dapat secara berkesinambungan menghasilkan nilai-nilai ekonomi jangka panjang bagi para pemegang sahamnya, dan pada saat yang bersamaan memperhatikan kepentingan para pemangku kepentingan dan masyarakat secara keseluruhan. Efisiensi kinerja serta terjaganya kepentingan para pemangku kepentingan sudah barang tentu menjadi salah satu tugas esensial dari komisaris independen.
- Bahwa apabila ditinjau dari perspektif human capital, adanya komisaris independen dalam sebuah perusahaan dapat mengurangi benturan kepentingan antara pemegang saham dalam manajemen perusahaan, karena fungsi pengawasan dari komisaris independen dapat dilakukan dengan menyuarakan pendapat yang independen dalam rapat.
- Bahwa dengan demikian, mencermati kompleksitasnya tugas dan peran jabatan komisaris independen, maka hal ini membuktikan bahwa profesi apapun termasuk ahli hukum, profesi advokat, dapat menjadi bagian dari perbaikan proses nominasi dan seleksi dewan komisaris pada perusahaan yang diperluas kualifikasinya melalui adanya peningkatan keberagaman. Hal ini bertujuan untuk memberikan diversifikasi kualifikasi akademik, keahlian, usia, gender dari kandidat yang akan menduduki jabatan komisaris termasuk komisaris independen.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430