Info Judicial Review Putusan MK - Menyatakan Mengabulkan


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-info-judicial-review.phtml on line 66

Warning: Undefined property: stdClass::$penutupan in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-info-judicial-review.phtml on line 91

Deprecated: nl2br(): Passing null to parameter #1 ($string) of type string is deprecated in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-info-judicial-review.phtml on line 91
INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dikabulkan Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 72/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 30-09-2021

Bahwa pada hari Kamis tanggal 30 September 2021, pukul 09.59 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Virtual Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (selanjutnya disebut UU 24/2011) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 72/PUU-XVII/2019. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 72/PUU-XVII/2019, perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 65 ayat (2) UU 24/2011 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.7] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan Pasal 57 huruf f dan Pasal 65 ayat (2) UU 24/2011 bertentangan dengan Pasal 28H ayat (3) dan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 dengan argumentasi sebagaimana selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara yang pada pokoknya sebagai berikut:
1. Bahwa menurut para Pemohon, PT TASPEN (Persero) dengan BPJS Ketenagakerjaan memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lainnya baik dalam kerangka peserta maupun program yang dilaksanakan. Peserta program PT TASPEN (Persero) adalah Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Pejabat Negara (peserta yang bekerja pada Penyelenggara Negara), sedangkan peserta BPJS Ketenagakerjaan adalah pekerja yang bekerja pada pemberi kerja selain penyelenggara negara (privat sector). Pengaturan jaminan dan perlindungan bagi ASN diatur khusus, hal ini merupakan wujud dari politik hukum pembentuk undang-undang yang menghendaki agar ASN diberikan manfaat dan layanan program jaminan dan perlindungan yang lebih baik dan dikelola secara khusus oleh PT TASPEN (Persero);
2. Bahwa menurut para Pemohon, legalitas PT TASPEN (Persero) untuk menyelenggarakan jaminan dan perlindungan bagi ASN dan Pejabat Negara diperkuat melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 98/PUU-XV/2017 tertanggal 31 Januari 2018, juncto Putusan Mahkamah Agung Nomor 32 P/HUM/2016 tertanggal 8 Juni 2017 terkait Uji Materi Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2015 tentang Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian; Bahwa menurut para Pemohon, Program Tabungan Hari Tua dan Program Pembayaran Pensiun merupakan kesinambungan penghasilan hari tua sebagai hak dan penghargaan atas pengabdian ASN, serta pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya berkelanjutan serta jaminan atas kehidupan yang layak sesuai dengan tugas, tanggung jawab dan kewajiban;
3. Bahwa menurut para Pemohon, ASN dan Pejabat Negara dalam struktur Pemerintahan Indonesia memiliki karakteristik yang khusus bila disandingkan dengan pekerja swasta. Terdapat hal mendasar yang membedakan status ASN, Pejabat Negara dan Penerima Pensiun dengan pekerja swasta antara lain yakni bahwa ASN, Pejabat Negara dan Penerima Pensiun merupakan unsur aparatur negara serta memiliki fungsi/tugas antara lain: melaksanakan kebijakan yang ditetapkan oleh pimpinan instansi pemerintah, pelaksana kebijakan publik, pelayan publik, perekat kesatuan bangsa, setia dan mempertahankan Ideologi Pancasila dan UUD 1945 serta pemerintahan yang sah;
4. Bahwa menurut para Pemohon, kebijakan/politik hukum pemerintah menganut keterpisahan manajemen tata kelola jaminan sosial antara pekerja yang bekerja pada penyelenggara negara dengan pekerja yang bekerja selain pada penyelenggara negara dimaksudkan karena ASN, Pejabat Negara, dan Penerima Pensiun merupakan pegawai pemerintah yang memiliki special character serta untuk menghindari timbulnya risiko finansial yang sangat fundamental, yang akan mengganggu ketenangan, semangat, daya kreativitas dan loyalitas ASN dan Pejabat Negara dalam mengemban amanah sebagai abdi negara termasuk menjalankan peran sebagai perekat persatuan dan kesatuan dalam bingkai NKRI yang pada gilirannya akan menimbulkan penurunan peran negara dalam memberikan layanan dan kesejahteraan pada masyarakat;
5. Bahwa menurut para Pemohon, ketentuan Pasal 57 huruf f dan Pasal 65 ayat (2) UU 24/2011 bertentangan dengan doktrin hukum bahwa setiap perubahan undang-undang harus menguntungkan “subjek” yang diatur, yaitu dalam hal ini para Pemohon sebagai peserta “Program Tabungan Hari Tua dan Program Pembayaran Pensiun” yang diselenggarakan oleh PT TASPEN (Persero);
6. Bahwa menurut para Pemohon, ketentuan Pasal 57 huruf f dan Pasal 65 ayat (2) UU 24/2011 melanggar asas “keadilan, ketertiban dan kepastian hukum” dalam membentuk perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf g dan huruf i Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Hal ini karena Pasal 57 huruf f dan Pasal 65 ayat (2) UU 24/2011 memangkas “program tabungan hari tua dan program pembayaran pensiun” tanpa terlebih dahulu menghilangkan peraturan yang menjadi payung bagi “program” tersebut. Menurut para Pemohon, seharusnya peraturan baru yang akan menghilangkan suatu ketentuan dalam suatu peraturan yang telah terbit terlebih dahulu, harus secara ekspilisit menyatakan “aturan” dimaksud tidak berlaku atau dicabut daya berlakunya. Menurut para Pemohon, pembuatan suatu peraturan baru harus memperhatikan peraturan yang terbit lebih dahulu bilamana peraturan baru tersebut akan mengatur norma yang bersinggungan dengan norma yang juga diatur dalam peraturan sebelumnya;
7. Bahwa berdasarkan uraian dali-dalil tersebut di atas, para Pemohon memohon kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 57 huruf f dan Pasal 65 ayat (2) UU 24/2011 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

[3.8] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalil permohonannya, para Pemohon telah mengajukan bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-15 (sebagaimana selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara), serta mengajukan tiga orang ahli bernama Dr. Maruarar Siahaan S.H., Dr. Dian Puji Simatupang S.H., M.H., dan Wawan Hafid Syaifudin M.Si., M.Act.Sc., ASAI., yang didengarkan keterangannya pada persidangan Mahkamah tanggal 27 Januari 2020 (keterangan selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara);

[3.9] Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat menyampaikan keterangan yang dibacakan dalam persidangan Mahkamah tanggal 27 Januari 2020 yang kemudian dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada 5 Februari 2020, pada pokoknya menerangkan bahwa konsep pengalihan program jaminan hari tua dan pensiun ASN yang diselenggarakan PT TASPEN (Persero) kepada BPJS Ketenagakerjaan berangkat dari prinsip kegotongroyongan sebagaimana diatur Pasal 4 UU SJSN. Pengalihan dari PT TASPEN (Persero) ke BPJS Ketenagakerjaan justru menjamin terpenuhinya hak atas jaminan sosial, namun memang perlu jangka waktu untuk transformasi dari PT TASPEN (Persero) kepada BPJS Ketenagakerjaan agar dapat memenuhi 7 prinsip yang pada pokoknya tidak boleh merugikan karyawan 4 (empat) BUMN yang dilebur dan tidak boleh merugikan peserta lama yang mengikuti program 4 (empat) BUMN yang dilebur;

[3.10] Menimbang bahwa Presiden telah memberikan keterangan tertulis yang diterima dan dibacakan dalam persidangan Mahkamah tanggal 16 Januari 2020, kemudian menyampaikan tambahan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah tanggal 18 Februari 2020, yang pada pokoknya menerangkan bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum karena tidak ada hubungan kausalitas antara kerugian yang didalilkan dengan berlakunya Pasal 57 huruf f dan Pasal 65 ayat (2) UU 24/2011 dan permohonan para Pemohon tidak jelas. Dalam pokok permohonan Presiden menerangkan bahwa transformasi PT TASPEN (Persero) dan PT ASABRI ke dalam BPJS Ketenagakerjaan merupakan pilihan kebijakan pembentuk undang-undang untuk melaksanakan jaminan penyelenggaraan sosial nasional secara menyeluruh dan terpadu sesuai dengan ketentuan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945. Menurut Presiden ketentuan yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon tetap menjamin hak-hak kepesertaan jaminan termasuk ASN, pensiunan Pejabat Negara/Pensiunan PNS/Pensiunan Janda/duda sebagaimana dijamin oleh ketentuan Pasal 28H ayat (3) UUD 1945. Untuk mendukung keterangannya, Presiden menyampaikan dokumen pendukung yang diberi tanda bukti T-1 sampai dengan bukti T-4 serta mengajukan seorang ahli bernama Dr. Indra Budi Sumantoro, S.Pd., M.M., yang didengarkan keterangannya dalam persidangan Mahkamah tanggal 17 Februari 2020 (keterangan selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara);

[3.11] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, PT Dana Tabungan Asuransi Pegawai Negeri [selanjutnya disebut PT TASPEN (Persero)] telah ditetapkan oleh Mahkamah sebagai Pihak Terkait. Selanjutnya Pihak Terkait memberikan keterangan tertulis yang dibacakan dalam persidangan tanggal 5 Februari 2020, serta tambahan keterangan tertulis bertanggal 12 Februari 2020 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 17 Februari 2020. Pihak Terkait PT TASPEN (Persero) pada pokoknya menerangkan bahwa tidak ada program yang sesuai yang dapat dialihkan karena jaminan yang diberikan bukan jaminan dasar sebagaimana diatur dalam UU SJSN. Selain itu, kedudukan PNS dan Pejabat Negara memiliki karakteristik khusus sebagai abdi negara yang pembayaran pensiunnya dibiayai oleh APBN, sehingga jaminan sosial bagi PNS dan Pejabat Negara tetap diselenggarakan oleh PT TASPEN (Persero) sebagaimana dijelaskan PT TASPEN (Persero) dalam roadmap yang disusun berdasarkan amanat Pasal 65 ayat (2) UU 24/2011. Pengalihan program PT TASPEN (Persero) kepada BPJS Ketenagakerjaan yang diamanatkan Pasal 57 huruf f dan Pasal 65 UU 24/2011 menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para Peserta, karena tidak dapat dipastikan dengan adanya pengalihan tersebut para Peserta tidak akan mengalami penurunan layanan dan manfaat dan tidak dapat dipastikan dengan adanya pengalihan itu para Peserta akan mendapatkan layanan dan manfaat yang lebih baik dari pelayanan prima yang selama ini diberikan PT TASPEN (Persero). Untuk mendukung keterangannya Pihak Terkait PT TASPEN (Persero) mengajukan keterangan tertulis dua orang ahli bernama Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra S.H., M.Sc. dan Prof. Dr. Zudan Arif Fakhrulloh S.H., M.H., namun keterangan tertulis diterima Kepaniteraan pada 12 Agustus 2020 di mana telah melewati batas waktu penyampaian kesimpulan para pihak yang ditentukan dalam persidangan Mahkamah, yaitu tanggal 25 Februari 2020, pukul 10.30 WIB sehingga keterangannya tidak dapat dipertimbangkan

[3.12] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Mahkamah telah menetapkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS Ketenagakerjaan) sebagai Pihak Terkait, yang telah menyampaikan keterangan tertulis dan didengarkan keterangannya dalam persidangan Mahkamah tanggal 5 Februari 2020, serta tambahan keterangan tertulis bertanggal 17 Februari 2020 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 13 Februari 2020, yang pada pokoknya menerangkan bahwa sistem jaminan sosial nasional merupakan program negara yang bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Pengaturan kelembagaan dan mekanisme BPJS sebagai lembaga pengelola jaminan sosial nasional merupakan open legal policy pembentuk undang-undang. SJSN disepakati dalam suatu badan hukum publik dalam hal ini adalah BPJS Ketenagakerjaan yang diharapkan menyempurnakan sistem dan mampu memberikan perbaikan layanan dibandingkan penyelenggara terdahulu;

[3.13] Menimbang bahwa setelah memeriksa dengan saksama dalil-dalil permohonan para Pemohon dan bukti-bukti serta ahli-ahli yang diajukan para Pemohon; keterangan DPR; keterangan dan tambahan keterangan Presiden serta bukti-bukti pendukung keterangan Presiden, serta ahli yang diajukan oleh Presiden; keterangan dan tambahan keterangan Pihak Terkait PT TASPEN (Persero), serta dokumen pendukung keterangan Pihak Terkait PT TASPEN (Persero); keterangan dan tambahan keterangan Pihak Terkait BPJS Ketenagakerjaan, pokok permasalahan dan sekaligus pertanyaan utama yang harus dipertimbangkan Mahkamah, yaitu: benarkah pengalihan PT TASPEN (Persero) sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 57 huruf f dan Pasal 65 ayat (2) UU 24/2011 bertentangan dengan UUD 1945.

[3.14] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permasalahan dan sekaligus pertanyaan utama tersebut, Mahkamah terlebih dahulu mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
Bahwa Alenia ke-4 Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan salah satu tujuan negara Indonesia adalah memajukan kesejahteraan umum. Amanat tersebut mencerminkan Indonesia sebagai sebuah negara kesejahteraan. Tidak hanya dalam Pembukaan, posisi Indonesia sebagai negara kesejahteraan kian diperjelas dalam Bab XIV yang berjudul “Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial”. Perwujudan dan konsekuensi menganut paham negara kesejahteraan dimaksud, negara bertanggungjawab dalam urusan kesejahteraan seluruh rakyatnya, termasuk mengembangkan jaminan sosial bagi rakyatnya. Dalam hal ini, ketentuan Pasal 28H ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. Lebih lanjut, terhadap jaminan sosial dimaksud, Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”. Secara lebih konkret, amanat UUD 1945 tersebut diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosisial Nasional (UU 40/2004);
Bahwa secara substansial, UU 40/2004 memaknai jaminan sosial sebagai salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak [Pasal 1 angka 1 UU 40/2004]. Sebagaimana dikemukakan dalam Penjelasan Umum UU 40/2004, Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) pada dasarnya merupakan program negara yang bertujuan untuk memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Melalui program SJSN, setiap penduduk diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak apabila terjadi hal- hal yang dapat mengakibatkan hilang/berkurangnya pendapatan, karena menderita sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut, atau pensiun. Dalam mewujudkan hal ini, penyelenggaraannya harus mendasarkan pada prinsip kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat, dan hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta [vide Pasal 4 UU 40/2004]. Salah satu prinsip yang menonjol dalam penyelenggaraan jaminan sosial adalah prinsip kegotongroyongan yang dimaknai sebagai prinsip kebersaamaan antar peserta dalam menanggung beban biaya jaminan sosial, yang diwujudkan dengan kewajiban setiap peserta membayar iuran sesuai dengan tingkat gaji, upah, atau penghasilannya;
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU 40/2004, konsep dan prinsip jaminan sosial ini diwujudkan ke dalam bentuk Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS). Selanjutnya, Pasal 5 ayat (3) UU 40/2004 merinci BPJS terdiri dari: a) Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja; b) Perusahaan Perseroan (Persero) Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN); c) Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI); dan d) Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES). Jika diperlukan, sesuai dengan Pasal 5 ayat (4) UU 40/2004, dapat dibentuk lembaga baru dengan undang-undang. Namun demikian, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 007/PUU-III/2005, bertanggal 31 Agustus 2005, dalam putusan a quo Mahkamah menyatakan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) UU 40/2004 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dengan alasan bahwa pembentukan BPJS harus dilakukan dengan undang-undang, sehingga Mahkamah menegaskan pentingnya dibentuk undang-undang yang mengatur Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) secara rinci;
Bahwa terlepas dari fakta norma Pasal 5 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU 40/2004 telah dinyatakan Mahkamah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, konstruksi pilihan kebijakan pembentuk undang-undang terkait desain kelembagaan penyelenggara sistem jaminan sosial dalam undang-undang a quo sama sekali tidak berubah, yaitu tetap menggunakan format lembaga majemuk, bukan lembaga tunggal. Terlebih lagi, BPJS dimaksud tidak hanya dapat dibentuk di tingkat pusat, melainkan juga dapat dibentuk di daerah. Khusus BPJS tingkat pusat, pembentukannya dilakukan dengan undang-undang. Kesempatan untuk membentuk banyak lembaga dalam penyelenggaraan sistem jaminan sosial juga secara tegas dapat dipahami dari Penjelasan Umum UU 40/2004 yang menyatakan:
Dalam Undang-Undang ini diatur penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional yang meliputi jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan pensiun, jaminan hari tua, dan jaminan kematian bagi seluruh penduduk melalui iuran wajib pekerja. Program-program jaminan sosial tersebut diselenggarakan oleh beberapa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dalam Undang-Undang ini adalah transformasi dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang sekarang telah berjalan dan dimungkinkan membentuk badan penyelenggara baru sesuai dengan dinamika perkembangan jaminan sosial.
Bahwa berdasarkan Penjelasan Umum tersebut dapat dipahami BPJS yang dimaksud dalam UU 40/2004 merupakan transformasi dari BPJS yang ada dan sedang berjalan. Transformasi dimaksud adalah perubahan status perusahaan (Persero) menjadi badan hukum penyelenggara program jaminan sosial. Dalam hal ini, transformasi tersebut sama sekali tidak menghendaki semua lembaga yang telah eksis dilebur menjadi satu badan hukum, melainkan masing-masing badan tetap menjalankan tugas dan fungsinya seperti biasa sesuai dengan amanat Ketentuan Peralihan yang termaktub dalam Pasal 52 UU 40/2004. Bahkan, apabila dibaca dan didalami lebih saksama, inkonstitusionalitas Pasal 5 ayat (3) UU 40/2004 tidaklah sepenuhnya karena substansinya bertentangan dengan UUD 1945, namun karena substansi Pasal 5 ayat (3) UU 40/2004 telah terkandung dan tertampung di dalam norma Pasal 52 UU 40/2004. Bagi Mahkamah, apabila kedua norma tersebut [yaitu Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 52 UU 40/2004] dipertahankan keberadaannya akan menimbulkan multitafsir dan ketidakpastian hukum (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 007/PUU-III/2005, hlm. 270-271).
Bahwa perkembangan berikutnya, perintah Pasal 5 ayat (1) UU 40/2004 untuk membentuk undang-undang yang mengatur tentang BPJS diejawantahkan ke dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU 24/2011), namun konsep BPJS yang diatur dalam UU 24/2011 berbeda dengan konsep BPJS yang diatur dalam UU 40/2004 sebelum dibatalkan oleh Mahkamah. Dalam hal ini, jika Pasal 5 ayat (3) UU SJSN sebelum dibatalkan Mahkamah membagi BPJS ke dalam empat bentuk BPJS dan bahkan terbuka untuk menambah lainnya, namun UU 24/2011 hanya membagi BPJS ke dalam dua badan saja, yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan [vide Pasal 5 ayat (2) UU 24/2011].
Bahwa dalam pembahasan yang dilakukan antara pemerintah dengan DPR sangat mungkin terjadi pergeseran yang berujung pada perubahan konsep sebagaimana konsep kelembagaan BPJS a quo. Namun demikian, yang menjadi persoalan utama yang dipermasalahkan oleh para Pemohon adalah konstitusionalitas pengalihan penyelenggaraan program jaminan hari tua dan program pensiun yang selama ini diselenggarakan oleh PT TASPEN (Persero) kepada BPJS Ketenagakerjaan di mana pengalihan demikian tidak terlepas dari pembentukan BPJS yang hanya terdiri dari dua badan saja yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan;

[3.15] Menimbang bahwa lebih lanjut sebelum menjawab pokok permasalahan dan sekaligus pertanyaan utama, Mahkamah pun terlebih dahulu perlu mengaitkannya dengan putusan-putusan Mahkamah terdahulu yang relevan dengan SJSN, yaitu: dalam Putusan Mahkamah Konstiusi Nomor 007/PUU- III/2005, bertanggal 31 Agustus 2005; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-XII2014, bertanggal 7 Desember 2015; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PUU-XIV/2016, bertanggal 23 Mei 2017; dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 98/ PUU-XV/2017, bertanggal 31 Januari 2018.
Bahwa Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 007/PUU-III/2005, pada intinya menegaskan, peluang pemerintah daerah untuk membentuk BPJS daerah tidak boleh ditutup dan pengaturan ihwal pembentukan BPJS di tingkat pusat harus dilakukan dengan undang-undang. Artinya, berkenaan dengan BPJS di tingkat pusat harus dibentuk undang-undang tersendiri yang mengatur pembentukan BPJS. Dalam putusan a quo, meskipun Mahkamah membatalkan ketentuan Pasal 5 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU 40/2004, namun Mahkamah tidak menilai salah substansi yang diatur dalam pasal-pasal yang dibatalkan tersebut. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, terkait dengan konsep BPJS yang terdiri dari empat badan, yaitu Persero Jamsostek; Persero TASPEN, Persero ASABRI, dan Persero ASKES, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
“Sementara itu, dikatakan terdapat rumusan yang saling bertentangan serta berpeluang menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) karena pada ayat (1) dinyatakan bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial harus dibentuk dengan undang-undang, sementara pada ayat (3) dikatakan bahwa Persero JAMSOSTEK, Persero TASPEN, Persero ASABRI, dan Persero ASKES adalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1), padahal tidak semua badan-badan tersebut dibentuk dengan undang-undang. Seandainya pembentuk undang-undang bermaksud menyatakan bahwa selama belum terbentuknya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1), badan-badan sebagaimana disebutkan pada ayat (3) di atas diberi hak untuk bertindak sebagai badan penyelenggara jaminan sosial, maka hal itu sudah cukup tertampung dalam Ketentuan Peralihan pada Pasal 52 UU SJSN. Atau, jika dengan rumusan dalam Pasal 5 ayat (1) UU SJSN di atas pembentuk undang- undang bermaksud menyatakan bahwa badan penyelenggara jaminan sosial harus memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam undang-undang – yang maksudnya adalah UU SJSN a quo – maka penggunaan kata “dengan” dalam ayat (1) tersebut tidak memungkinkan untuk diberi tafsir demikian. Karena makna frasa “dengan undang-undang” berbeda dengan frasa “dalam undang- undang”. Frasa “dengan undang-undang” menunjuk pada pengertian bahwa pembentukan setiap badan penyelenggara jaminan sosial harus dengan undang-undang, sedangkan frasa “dalam undang-undang” menunjuk pada pengertian bahwa pembentukan badan penyelenggara jaminan sosial harus memenuhi ketentuan undang-undang. Ketentuan dalam Pasal 5 ayat (4), makin memperkuat kesimpulan bahwa pembentuk undang-undang memang bermaksud menyatakan, badan penyelenggara jaminan sosial harus dibentuk dengan undang-undang tersendiri.”

Bahwa selanjutnya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VIII/2010, Mahkamah mempertimbangkan, UUD 1945 tidak mewajibkan kepada negara untuk menganut atau memilih sistem tertentu dalam pengembangan sistem jaminan sosial dimaksud, namun harus memenuhi kriteria konstitusional, yaitu harus mencakup seluruh rakyat dengan maksud untuk memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Berkenaan dengan hal ini, Mahkamah lebih jauh mempertimbangkan:
“[3.14.3] Bahwa kendatipun UUD 1945 telah secara tegas mewajibkan negara untuk mengembangkan sistem jaminan sosial, tetapi UUD 1945 tidak mewajibkan kepada negara untuk menganut atau memilih sistem tertentu dalam pengembangan sistem jaminan sosial dimaksud. UUD 1945, dalam hal ini Pasal 34 ayat (2), hanya menentukan kriteria konstitusional -yang sekaligus merupakan tujuan dari sistem jaminan sosial yang harus dikembangkan oleh negara, yaitu bahwa sistem dimaksud harus mencakup seluruh rakyat dengan maksud untuk memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Dengan demikian, sistem apa pun yang dipilih dalam pengembangan jaminan sosial tersebut harus dianggap konstitusional, dalam arti sesuai dengan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945, sepanjang sistem tersebut mencakup seluruh rakyat dan dimaksudkan untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.”

Bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-XII/2014 juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PUU-XIV/2016, terkait dengan anggapan terjadi monopoli penyelenggaraan jaminan sosial oleh BPJS dan adanya perlakuan diskriminatif berupa sanksi administratif bagi pemberi kerja selain penyelenggara negara, serta anggapan bahwa negara sewenang-wenang memungut upah dari pekerja sebagai iuran BPJS, Mahkamah pada pokoknya berpendapat bahwa baik UU 40/2004 maupun UU 24/2011 juga memberikan kesempatan bagi pihak swasta yang bergerak dalam usaha penyelenggaraan jaminan sosial untuk memberikan pelayanan kesehatan. Selain itu, Putusan a quo juga menegaskan sifat nirlaba bukan komersial dari BPJS sebagai berikut:
“bahwa baik UU SJSN maupun UU BPJS juga memberikan kesempatan yang sama bagi pihak swasta yang bergerak dalam usaha penyelenggaraan jaminan sosial untuk memberikan pelayanan kesehatan baik untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) yang layak maupun lebih bagi masyarakat yang membutuhkannya. Menurut Mahkamah, kata “negara” dalam Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 juga mencakup peran serta pemerintah, pemerintah daerah (Pemda) dan pihak swasta untuk turut serta mengambangkan sistem jaminan sosial dengan cara menyediakan fasilitas kesehatan untuk masyarakat, ...”

Bahwa setelah dua putusan di atas, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 98/PUU-XV/2017, yang pada pokoknya mempersoalkan mengenai pendelegasian pengaturan mengenai BPJS pada Peraturan Pemerintah. Dalam putusan a quo Mahkamah menegaskan, berdasarkan UU 12/2011, pendelegasian kewenangan dari suatu undang-undang kepada Peraturan Pemerintah bukan sesuatu yang bertentangan dengan UUD 1945. Dalam Putusan a quo Mahkamah juga menegaskan, iuran yang dipungut dari ASN tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena UUD 1945 telah mengatur pungutan yang bersifat memaksa harus diatur dengan undang-undang [vide Pasal 23A UUD 1945], sehingga pengaturan iuran yang memaksa ASN untuk membayar yang diatur dalam UU 24/2011 tidak bertentangan dengan UUD 1945. Meskipun demikian, dalam putusan tersebut Mahkamah sama sekali tidak menegaskan pendiriannya perihal konstitusionalitas ketentuan peralihan, khususnya mengenai pengalihan program jaminan hari tua dan program pensiun dari PT TASPEN (Persero) ke BPJS Ketenagakerjaan.
Bahwa berdasarkan putusan-putusan Mahkamah terdahulu terkait jaminan sosial, Mahkamah belum menilai mengenai pengalihan program jaminan hari tua dan program pensiun dari PT TASPEN (Persero) kepada BPJS Ketenagakerjaan. Putusan-putusan terdahulu hanya menegaskan amanat konstitusi bahwa jaminan sosial harus bisa dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. Semangat ini yang oleh UU 24/2011 diusung melalui asas kegotongroyongan dalam program jaminan sosial yang menaungi sehingga seluruh masyarakat diharapkan dapat menerima manfaat dari realisasi amanat UUD 1945.

[3.16] Menimbang bahwa berkenaan dengan desain kelembagaan BPJS, sesuai dengan Pasal 1 angka 6 UU 40/2004, “Badan Penyelenggara Jaminan Sosial adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial”. Definisi demikian menghendaki lembaga yang menyelenggarakan program jaminan sosial bukanlah satu badan hukum saja, melainkan bisa dua, tiga, empat atau lebih. Hanya saja, badan-badan dimaksud mesti dibentuk dengan undang-undang sesuai ketentuan Pasal 5 UU 40/2004. Adapun badan-badan (persero) yang telah ada dan berjalan dalam melaksanakan program jaminan sosial, mesti menyesuaikan dengan ketentuan Pasal 52 ayat (1) UU 40/2004, baik dari bentuk hukum pembentukannya maupun kedudukan, tugas dan fungsinya masing-masing dalam menyelenggarakan jaminan sosial tanpa kehilangan entitasnya sebagai badan hukum. Kebijakan terkait desain kelembagaan penyelenggara jaminan sosial dimaksud juga sejalan dengan realitas beragamnya pekerjaan atau profesi yang dapat dipilih oleh setiap orang sesuai dengan kebebasannya untuk memilih pekerjaan. Setiap jenis pekerjaan memiliki karakteristik tersendiri baik dari aspek latar belakang, tujuan atau orientasi maupun risiko yang akan ditanggung. Oleh karena itu, jaminan sosial terhadap pekerjaan atau profesi dimaksud juga harus disesuaikan dengan kelompok profesi/pekerjaan yang dimiliki setiap warga negara. Dalam kerangka inilah sesungguhnya UU 40/2004 memilih badan hukum penyelenggara jaminan sosial bukan merupakan lembaga/badan tunggal, melainkan jamak, bisa: dua, tiga, empat atau lebih.

[3.17] Menimbang bahwa secara faktual pada saat dibentuknya UU 24/2011, seluruh persero yang bergerak dalam penyelenggaraan jaminan sosial dilebur menjadi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Dalam konteks ini, PT. TASPEN (Persero) yang bergerak di bidang tabungan hari tua dan dana pensiun juga diamanatkan untuk dilebur atau dialihkan ke BPJS Ketenagakerjaan sesuai Pasal 57 dan Pasal 65 UU 24/2011. Dalam batas penalaran yang wajar, pengalihan dimaksud dipastikan menyebabkan hilangnya entitas PT TASPEN (Persero) dan berganti menjadi BPJS Ketenagakerjaan. Dalam hal ini, kebijakan mengalihkan dengan cara meleburnya dengan persero lainnya menjadi satu BJPS Ketenagakerjaan justru berlawanan atau tidak sejalan dengan pilihan kebijakan pembentuk undang-undang saat membentuk UU 40/2004. Sebab, peralihan tersebut justru berimplikasi pada penerapan konsep lembaga tunggal dalam penyelenggaraan sistem jaminan sosial ketenagakerjaan. Padahal, sesuai putusan Mahkamah Konstitusi dan UU 40/2004 bukan memilih model lembaga atau desain kelembagaan tunggal, tetapi mengikuti konsep banyak lembaga atau lembaga majemuk. Pilihan kebijakan dengan lembaga tunggal tidak sejalan dengan konsep transformasi badan penyelenggara jaminan sosial sebagaimana termaktub dalam UU 40/2004. Oleh karena itu, konsep peralihan kelembagaan PT TASPEN (Persero) menjadi BPJS Ketenagakerjaan yang menyebabkan hilangnya entitas persero menyebabkan ketidakpastian hukum dalam transformasi beberapa badan penyelenggara jaminan sosial yang telah ada sebelumnya sesuai dengan karakter dan kekhususannya masing-masing.

[3.18] Menimbang bahwa terkait dengan pertimbangan hukum di atas, Mahkamah perlu mempertimbangkan ihwal hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak merupakan bagian dari hak konstitusional warga negara yang dijamin secara tegas dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945. Begitu pula, memilih pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan dan sesuai dengan usaha pengembangan diri setiap orang merupakan hak yang dijamin dan dilindungi oleh konstitusi, in casu Pasal 28C ayat (1) UUD 1945. Dalam hal ini, pada saat seseorang telah memilih untuk bekerja pada pekerjaan atau profesi tertentu, maka segala hak, kewajiban dan risiko dari pilihan pekerjaan tersebut akan ditanggung sepenuhnya oleh orang yang menjalankan pekerjaan dimaksud. Dikaitkan dengan mandat negara untuk mengembangkan sistem jaminan sosial (Pasal 34 ayat (2) UUD 1945), maka sistem dimaksud juga harus mempertimbangkan keberagaman pekerjaan dan profesi yang dijalankan oleh rakyat dalam memilih pekerjaan. Dalam arti, sistem jaminan sosial harus dijalankan dengan mengakomodasi seluruh bentuk realitas sosial dan pekerjaan yang dimiliki seluruh rakyat. Berdasarkan pengalaman penyelenggaraan sistem jaminan sosial yang telah berjalan sejauh ini, kelembagaan yang beragam sesuai dengan karakter masing-masing pekerjaan yang dipilih warga negara lebih memberikan jaminan bagi pemenuhan hak pensiun dan hari tua dari orang yang bekerja. Dalam hal, desain kelembagaan penyelenggara jaminan sosial yang berjalan telah memenuhi standar jaminan sosial bagi orang-orang yang memilih pekerjaan, lalu mengubahnya dengan melikuidasi dan menggabungkan lembaga- lembaga menjadi satu badan justru akan menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum bagi orang-orang yang telah memilih untuk mengikuti program jaminan hari tua dan dana pensiun pada lembaga/badan yang telah berjalan.
Bahwa sejalan dengan pertimbangan di atas, Mahkamah perlu menegaskan, sekalipun UU 40/2004 mengharuskan badan/lembaga yang bergerak di bidang penyelenggaraan jaminan sosial bertransformasi menjadi badan penyelenggara jaminan sosial, namun tidak berarti badan tersebut dihapuskan dengan model atau cara menggabungkannya dengan persero lainnya yang memiliki karakter berbeda. Transformasi cukup hanya dengan melakukan perubahan terhadap bentuk hukum badan hukum dimaksud serta melakukan penyesuaian terhadap kedudukan badan hukum tersebut, yang semula sebagai persero menjadi badan hukum penyelenggara jaminan sosial, dengan memperkuat regulasi yang mengamanatkan kewajiban penyelenggara jaminan sosial untuk diatur dengan undang-undang [vide Pasal 5 ayat (1) UU 40/2004].
Pada saat pembentuk undang-undang mengalihkan persero dengan cara menggabungkannya dengan persero lain yang berbeda karakter, hal demikian potensial merugikan hak-hak peserta program tabungan hari tua dan pembayaran pensiun yang telah dilakukan oleh persero sebelum dialihkan. Kerugian atau potensi kerugian dimaksud disebabkan karena ketika dilakukan penggabungan, akan sangat mungkin terjadi penyeragaman standar layanan dan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian bagi semua peserta. Penyeragaman dimaksud akan menempatkan semua peserta dalam posisi yang sama padahal masing-masing mereka berangkat dari pekerjaan dengan karakter dan risiko kerja yang berbeda-beda.
Dengan demikian, sekalipun pilihan melakukan transformasi dari PT TASPEN (Persero) menjadi BPJS Ketenagakerjaan dimaksud merupakan kebijakan pembentuk undang-undang, namun transformasi harus dilakukan secara konsisten dengan konsep banyak lembaga sehingga mampu memberikan jaminan kepastian hukum terhadap hak atas jaminan sosial warga negara yang tergabung dalam PT TASPEN (Persero) sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (3), dan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945.

[3.19] Menimbang bahwa berkenaan prinsip kegotongroyongan, menurut Mahkamah prinsip dimaksud merupakan nilai luhur bangsa Indonesia yang menjadi salah satu esensi jiwa Pancasila terutama sila kelima “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dalam menjalankan prinsip kegotongroyongan setiap orang atau individu berpartisipasi aktif untuk terlibat dalam memberi nilai tambah kepada individu lain di lingkungannya. Apabila diletakkan dalam konteks jaminan sosial, UU 24/2011 mendefinisikan prinsip kegotongroyongan sebagai prinsip kebersamaan antar peserta dalam menanggung beban biaya jaminan sosial, yang diwujudkan dengan kewajiban setiap peserta membayar iuran sesuai dengan tingkat gaji, upah, atau penghasilannya [vide Penjelasan Pasal 4 huruf a UU 24/2011]. Sejauh yang bisa dipahami Mahkamah, prinsip kegotongroyongan inilah yang menjadi salah satu latar belakang pengalihan program jaminan hari tua dan program pensiun yang diselenggarakan oleh PT TASPEN (Persero) kepada BPJS Ketenagakerjaan. Dalam hal ini, pembentuk undang-undang menghendaki jaminan sosial dapat dinikmati secara merata bagi seluruh rakyat Indonesia, baik yang tidak mampu -- yang menerima bantuan iuran-- maupun yang mampu dengan iuran yang terjangkau, sehingga semua pihak bergotongroyong dan berkontribusi dalam BPJS;
Bahwa berkenaan dengan hal tersebut, Mahkamah perlu mempertimbangkan, apakah penerapan prinsip gotong royong dengan mengalihkan program jaminan hari tua dan program pembayaran pensiun ASN yang selama ini diselenggarakan oleh PT TASPEN (Persero) menjadi dialihkan kepada BPJS Ketenagakerjaan, untuk selanjutnya dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan dengan prinsip kegotongroyongan ini dapat memenuhi nilai keadilan yang merupakan inti dari kegotongroyongan itu sendiri.
Bahwa untuk menjawab hal di atas, Mahkamah perlu mempertimbangkan program jaminan hari tua dan program pembayaran pensiun sebagai sebuah konsep yang selama ini telah berjalan untuk menjamin kesejahteraan hari tua PNS. Dalam hal ini, Pasal 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda Pegawai (UU 11/1969) menyatakan, pensiun pegawai dan pensiun janda/duda diberikan jaminan hari tua dan sebagai penghargaan atas jasa-jasa pegawai negeri selama bertahun-tahun bekerja dalam dinas pemerintah. Jadi untuk memeroleh hak atas dana pensiun dan jaminan hari tua maka ASN harus memenuhi syarat, yaitu telah mencapai usia pensiun, masa kerja yang cukup untuk pensiun dan diberhentikan dengan hormat.
Bahwa tanpa bermaksud menilai legalitasnya, perihal jaminan sosial bagi Pegawai Negeri secara khusus diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1981 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 20/2013 tentang Asuransi Sosial Pegawai Negeri dan Peraturan Pemerintah Nomor 70/2015 tentang Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian Bagi ASN. Dalam hal ini, Pasal 1 angka 1 PP 20/2013 menyatakan asuransi sosial Pegawai Negeri Sipil terdiri atas program pensiun dan tabungan hari tua. Semua PNS, kecuali PNS di lingkungan Departemen Pertahanan-Keamanan, adalah peserta Asuransi Sosial PNS [vide Pasal 2 ayat (1) PP 25/1981]. Kepesertaan PNS dalam asuransi sosial dimulai pada tanggal pengangkatannya sebagai calon PNS, dan peserta wajib membayar iuran setiap bulan sebesar 8 (delapan) persen dari penghasilan sebulan tanpa tunjangan pangan, di mana 4¾ (empat tiga perempat) persen untuk pensiun dan 3¼ (tiga seperempat) persen untuk tabungan hari tua. Setelah ditambahkan dengan iuran dari pemerintah, akumulasi iuran inilah yang kemudian digunakan oleh pemerintah untuk membiayai penyelenggaraan pensiun PNS. Dengan demikian, program jaminan hari tua dan pembayaran pensiun merupakan akumulasi dari iuran ASN selama masa kerjanya ditambah dengan iuran pemerintah, yang dinikmati pada masa pensiun setelah sekian lama mengabdi sebagai PNS. Selama ini dalam pembayaran pensiun dan jaminan hari tua PNS diselenggarakan secara segmented oleh PT TASPEN (Persero). Pelayanan secara segmented dilakukan karena PNS memiliki karakteristik yang berbeda cukup mendasar, misalnya dengan anggota TNI dan Polri, meski keduanya merupakan abdi negara;
Bahwa apabila diletakkan dalam konteks permohonan a quo dan tanpa bermaksud menilai kasus konkret yang dialami oleh para Pemohon, desain BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program dana pensiun dan program jaminan hari tua dari seluruh lapisan masyarakat sebagai perwujudan prinsip kegotongroyongan tidaklah bisa dijadikan sebagai dasar pembenar. Ihwal ini, meski BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan sama-sama memungut iuran kepada pesertanya untuk pendanaan yang akan dinikmati oleh pesertanya, namun tidaklah bisa dipandang sebagai konsep yang sama dengan iuran PNS. Untuk itulah menurut Mahkamah, menjadi tidak adil jika pensiunan PNS yang selalu mengiur tiap bulan dengan harapan dapat menikmati tabungan yang sudah dikumpulkannya pada masa tuanya nanti harus berbagi kepada orang lain atas nama kegotongroyongan. Meskipun Mahkamah sangat mendukung prinsip kegotongroyongan dalam mencapai kesejahteraan masyarakat, namun dalam konteks program jaminan hari tua dan pembayaran pensiun, tidak tepat bilamana prinsip kegotongroyongan yang dilakukan dengan cara membagi tabungan yang telah dipersiapkan PNS untuk masa tuanya.

[3.20] Menimbang bahwa bilamana dikaitkan dengan desain kelembagaan, apakah untuk memenuhi prinsip gotong royong dimaksud, semua persero penyelenggaraan jaminan sosial di bidang ketenagakerjaan mesti digabung menjadi satu badan atau lembaga. Apabila tidak digabung, apakah prinsip gotong royong tidak bisa dipenuhi. Ihwal ini, menurut Mahkamah, desain kelembagaan, apakah kelembagaan tunggal ataupun kelembagaan majemuk, tidak selalu berkaitan dengan terpenuhi atau tidak terpenuhinya prinsip gotong royong. Prinsip ini mungkin saja tidak akan terlaksana sekalipun pilihan desain kelembagaannya adalah kelembagaan tunggal. Sebaliknya, prinsip ini pun juga sangat mungkin dipenuhi jika pilihannya adalah kelembagaan majemuk. Pelaksanaan prinsip tersebut sangat bergantung pada desain sistem jaminan sosial nasional. Dalam hal ini, pembentuk undang-undang dapat mengatur badan-badan yang melaksanakan jaminan sosial terkoneksi secara baik, sehingga prinsip gotong royong tetap bisa dilaksanakan. Misalnya, undang-undang dapat mengatur bagi badan-badan yang melaksanakan jaminan sosial yang dalam pengelolaan aset memiliki keuntungan, dapat saja diwajibkan untuk menyumbangkan sejumlah tertentu kepada badan pelaksana lainnya. Atau, oleh karena pengelolaan badan yang melaksanakan jaminan sosial berada di bawah BUMN, deviden yang diserahkan pada negara setiap tahunnya dapat diserahkan kepada badan pengelola jaminan sosial lainnya. Oleh karena itu, untuk memenuhi prinsip gotong royong, pembentuk undang- undang sesungguhnya tidak harus menjadikan semua persero penyelenggara jaminan sosial bidang ketenagakerjaan ditransformasi menjadi satu badan. Bagaimanapun, dengan tetap mempertahankan eksistensi masing-masing persero dan mentransformasikan menjadi badan-badan penyelenggara jaminan sosial, prinsip gotong-royong tetap dapat dipenuhi secara baik. Oleh karena itu, desain transformasi PT TASPEN (Persero) ke BPJS Ketenagakerjaan mengandung ketidakpastian baik karena tidak konsistennya pilihan desain kelembagaan yang diambil ataupun karena tidak adanya kepastian terkait nasib peserta yang ada di dalamnya, khususnya skema yang seharusnya mencerminkan adanya jaminan dan potensi terkuranginya nilai manfaat bagi para Pesertanya.

[3.21] Menimbang bahwa dengan demikian, dalil para Pemohon mengenai pengalihan PT TASPEN (Persero) sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 57 huruf f dan Pasal 65 ayat (2) UU 24/2011 bertentangan dengan hak setiap orang atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat, sebagaimana termaktub dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dan amanat bagi negara untuk mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan sebagaimana termaktub dalam Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 adalah beralasan menurut hukum.

[3.22] Menimbang bahwa oleh karena terdapat sejumlah pasal lain dalam UU 24/2011 yang berhubungan erat dengan norma Pasal 57 huruf f dan Pasal 65 ayat (2) UU 24/2011 yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah, maka sebagai konsekuensi yuridisnya pemberlakuannya harus menyesuaikan dengan putusan Mahkamah a quo.

[3.23] Menimbang bahwa dengan telah ditegaskannya pendirian Mahkamah bahwa ketentuan norma Pasal 57 huruf f dan Pasal 65 ayat (2) UU 24/2011 inkonstitusional sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, maka terhadap hal- hal lain dari permohonan para Pemohon yang dipandang tidak relevan tidak dipertimbangkan lebih lanjut.