Info Judicial Review Putusan MK - Menyatakan Mengabulkan


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-info-judicial-review.phtml on line 66

Warning: Undefined property: stdClass::$penutupan in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-info-judicial-review.phtml on line 91

Deprecated: nl2br(): Passing null to parameter #1 ($string) of type string is deprecated in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-info-judicial-review.phtml on line 91
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 85/PUU-XVIII/2020 PERIHAL UNDANG-UNDANG NOMOR 46 TAHUN 2009 TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 27-10-2021

Bahwa pada hari Rabu tanggal 27 Oktober 2021, pukul 15.04 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU 46/2009) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 85/PUU-XVIII/2020. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 85/PUU-XVIII/2020, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian formil UU 46/2009 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.12] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih jauh dalil-dalil pokok permohonan a quo, penting bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa ihwal kedudukan hakim ad hoc dalam sistem peradilan di Indonesia telah diputus beberapa kali oleh Mahkamah Konstitusi, antara lain Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-X/2012, bertanggal 15 Januari 2013, yang mempertimbangkan pengertian hakim ad hoc; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XII/2014, bertanggal 20 April 2015, yang berkaitan dengan persoalan pengecualian hakim ad hoc sebagai pejabat negara; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-XIV/2016, bertanggal 21 Februari 2017, yang mempersoalkan keberadaan dan kedudukan Hakim Ad hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial; dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-XIV/2016, bertanggal 4 Agustus 2016 yang berkaitan dengan persoalan masa jabatan hakim pengadilan pajak. Dalam kaitan dengan putusan-putusan tersebut, Mahkamah telah menegaskan bahwa dibentuknya hakim ad hoc pada prinsipnya untuk memenuhi tuntutan kebutuhan penegakan hukum dalam sistem peradilan di Indonesia yang pada dasarnya karena mempertimbangkan faktor kebutuhan akan keahlian dan efektivitas pemeriksaan perkara di pengadilan yang bersifat khusus maka diperlukan adanya hakim ad hoc. Jika dirunut dari sejarah pembentukannya hakim ad hoc pertama dibentuk pada lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (TUN) pada tahun 1986 (vide Pasal 135 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara) yang kemudian disusul dalam lingkungan peradilan umum yaitu pada pengadilan khusus seperti Pengadilan Hak Asasi Manusia (Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia), Pengadilan Pajak (Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak), Pengadilan Hubungan Industrial (Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial), Pengadilan Perikanan (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan), Pengadilan Niaga (Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi), dan pada Pengadilan Negeri untuk perkara perusak hutan (Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan);

[3.12.2] Bahwa selanjutnya dalam kaitan dengan status jabatan hakim ad hoc apakah sebagai pejabat negara atau bukan karena adanya ketentuan Pasal 122 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU 5/2014) yang memberikan pengecualian, telah diputus oleh Mahkamah yang dalam pertimbangan hukum Paragraf [3.20] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XII/2014, bertanggal 20 April 2015, Mahkamah telah mempertimbangkan mengenai pengecualian tersebut sebagai berikut:
[3.20] Menimbang bahwa menurut Mahkamah benar ada perbedaan antara hakim ad hoc dan hakim karir, tetapi perbedaan tersebut tidak serta merta menimbulkan perbedaan perlakuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Perbedaan dapat dibenarkan sepanjang sifat, karakter dan kebutuhan atas jabatan tersebut berbeda. Justru akan menimbulkan diskriminasi apabila memperlakukan sama terhadap suatu hal yang berbeda atau sebaliknya memperlakukan berbeda terhadap hal yang sama. Menurut Mahkamah, walaupun antara hakim ad hoc dan hakim karir sama-sama berstatus hakim, tetapi karakter dan kebutuhan atas jabatannya berbeda. Hal itu merupakan wilayah kebijakan pembentuk Undang-Undang;
Dengan demikian, menurut Mahkamah pembentuk undang-undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan dan perkembangan yang ada dengan mempertimbangkan jenis dan spesifikasi serta kualifikasi jabatan hakim ad hoc dapat dilakukan perubahan;

[3.12.3] Bahwa lebih lanjut berkaitan dengan kedudukan hakim ad hoc pada Pengadilan Tipikor tidak dapat dilepaskan dari kedudukan Pengadilan Tipikor yang merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum, yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara: a. tindak pidana korupsi; b. tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi; dan/atau c. tindak pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain ditentukan sebagai tindak pidana korupsi (vide Pasal 6 UU 46/2009); Sementara, berkaitan dengan komposisi hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara Tipikor di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung terdiri atas Hakim Karier dan Hakim ad hoc [vide Pasal 10 ayat (1) UU 46/2009]. Adapun tujuan awal dibentuknya hakim ad hoc tersebut adalah untuk memperkuat peran dan fungsi kekuasaan kehakiman dalam menegakkan hukum dan keadilan yang sejalan dengan kompleksitas perkara Tipikor. Keberadaan Hakim ad hoc sebagai hakim non-karier diperlukan karena dipandang memiliki keahlian dan kemampuan untuk mengadili suatu perkara khusus dengan kompleksitas yang menyertainya baik yang menyangkut aspek modus operandi, pembuktian, maupun luasnya cakupan Tipikor, antara lain di bidang keuangan dan perbankan, perpajakan, pasar modal, pengadaan barang dan jasa pemerintah (vide Pasal 1 angka 9 dan Penjelasan Umum UU 46/2009). Oleh karena itu, komposisi hakim ad hoc dalam pengadilan Tipikor didesain untuk memberikan dampak positif ketika hakim ad hoc bersama hakim karier menangani perkara Tipikor. Hal ini relevan dengan ide dasar perlunya dibentuk pengadilan Tipikor sebagai pengadilan khusus karena akibat dari tindak pidana korupsi telah menimbulkan kerusakan dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara sehingga diperlukan cara penanganan yang luar biasa. Di samping itu, pencegahan dan pemberantasannya pun harus dilakukan secara terus-menerus dan berkesinambungan yang didukung salah satunya dengan sumber daya manusia yang memadai sehingga dapat ditumbuhkan kesadaran dan sikap anti korupsi (vide Penjelasan Umum UU 46/2009);

[3.12.4] Bahwa secara doktriner periodisasi masa jabatan hakim, termasuk hakim ad hoc berkorelasi erat dengan prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman sebagai prinsip pokok yang telah diatur dalam ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Dalam praktik pelaksanaan kekuasaan yudisial secara internasional, prinsip-prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman tersebut dapat ditemukan pula dalam The United Nations Human Rights, Basic Principles on the Independence of the Judiciary, Adopted by the Seventh United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders held at Milan from 26 August to 6 September 1985 and endorsed by General Assembly resolutions 40/32 of 29 November 1985 and 40/146 of 13 December 1985, Number 11 yang menyatakan “The term of office of judges, their independence, security, adequate remuneration, conditions of service, pensions and the age retirement shall be adequately secured by law (masa jabatan hakim, independensi, keamanan, remunerasi yang memadai, kondisi layanan, pensiun, dan usia pensiun harus dijamin secara hukum atau undang-undang)”. Selanjutnya, pada Angka 12 disebutkan juga, “Judges, whether appointed or elected, shall have guaranteed tenure until a mandatory retirement age or the expiry of their term of office, where such exists (Hakim, baik yang ditunjuk atau dipilih, harus memiliki jaminan masa jabatan sampai usia pensiun atau berakhirnya masa jabatan mereka)”. Selain itu, dalam The International Bar Association Minimum Standards of Judicial Independence (Adopted 1982) huruf C mengenai Terms and Nature of Judicial Appointments angka 22 menyatakan, “judicial appointments should generally be for life, subject to removal for cause and compulsory retirement at an age fixed by law at the date of appointment (Pengangkatan hakim pada umumnya untuk seumur hidup, dapat diberhentikan hanya karena mencapai usia pensiun yang telah ditentukan oleh hukum pada saat pengangkatan)”. Sementara pada angka 30 menyatakan, “A judge shall not be subject to removal unless by reason of a criminal act or through gross or repeated neglect or physical or mental incapacity he/she has shown himself/herself manifestly unfit to hold the position of judge (seorang hakim tidak boleh diberhentikan kecuali karena alasan melakukan tindak pidana atau karena mengabaikan tugasnya berulang kali atau karena ketidakmampuan dirinya secara nyata tidak layak untuk menjabat sebagai hakim)”.

[3.13] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil-dalil pokok permohonan para Pemohon yang pada intinya bermuara pada satu persoalan, yaitu apakah benar dengan adanya periodisasi masa jabatan hakim ad hoc dalam norma Pasal 10 ayat (5) UU 46/2009 bertentangan dengan independensi kekuasaan kehakiman, kesamaan kedudukan hakim, serta telah menimbulkan ketidakadilan yang dijamin oleh UUD 1945, sehingga para Pemohon memohon agar norma a quo dimaknai secara bersyarat bahwa masa tugas hakim ad hoc adalah untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan diusulkan untuk diangkat kembali setiap 5 (lima) tahun oleh Mahkamah Agung. Terhadap dalil para Pemohon a quo, pada prinsipnya memiliki kesamaan isu dengan Perkara Nomor 49/PUU-XIV/2016 yang telah diputus Mahkamah pada 21 Februari 2017. Dalam pertimbangan hukum Sub-paragraf [3.9.4] putusan a quo Mahkamah telah mempertimbangkan kedudukan dan periodisasi masa jabatan hakim ad hoc Pengadilan Hubungan Industrial, sebagai berikut:
[3.9.4] Bahwa keberadaan Hakim Ad-Hoc di Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan sistem peradilan di Indonesia. Di mana Hakim Ad-Hoc diadakan untuk memperkuat peran dan fungsi kekuasaan kehakiman di dalam menegakkan hukum dan keadilan, yang keberadaannya berada dalam peradilan yang bersifat khusus, misalnya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Niaga, Pengadilan Hubungan Industrial dan Pengadilan Perikanan. Hakim Ad-Hoc merupakan hakim yang diangkat dari luar hakim karier yang memenuhi persyaratan mempunyai keahlian dan pengalaman, profesional, berdedikasi dan berintegritas tinggi, menghayati cita-cita negara hukum dan negara kesejahteraan yang berintikan keadilan, serta memahami dan menghormati hak asasi manusia serta persyaratan lain yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Hal tersebut juga telah ditegaskan oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 32/PUU-XII/2014, bertanggal 20 April 2015, yang menyatakan“...Selain itu, tujuan awal dibentuknya hakim ad hoc adalah untuk memperkuat peran dan fungsi kekuasaan kehakiman dalam menegakkan hukum dan keadilan yang sejalan dengan kompleksitas perkara yang ada. Hakim ad hoc merupakan hakim non-karir yang mempunyai keahlian dan kemampuan untuk mengadili suatu perkara khusus sehingga hakim ad hoc dapat memberi dampak positif ketika hakim ad hoc bersama hakim karir menangani sebuah perkara” (paragraf [3.18]). Khusus pengaturan tentang Hakim Ad hoc Hubungan Industrial baik tata cara pengangkatan, tugas dan wewenangnya untuk memeriksa perkara hubungan industrial telah diatur dalam UU 2/2004.”

Selanjutnya, berkenaan dengan tata cara pengangkatan Hakim Ad hoc Hubungan Industrial, termasuk jangka waktu masa jabatannya juga telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Sub-paragraf [3.9.5] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-XIV/2016 sebagai berikut:
[3.9.5] Bahwa dalam permohonan a quo Pemohon memohonkan Pasal 67 ayat (2) UU 2/2004 agar dimaknai konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) menjadi “masa jabatan Hakim Ad-Hoc adalah untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali setiap 5 (lima) tahun oleh Ketua Mahkamah Agung hingga mencapai batas usia pensiun hakim yakni 62 tahun untuk Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Negeri dan 67 tahun untuk Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung Republik Indonesia”. Bahwa terhadap Permohonan a quo, menurut Mahkamah, kedudukan Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dan sebagaimana Hakim Ad-Hoc yang ada pada pengadilan khusus lainnya adalah sebagai Hakim Anggota dalam suatu susunan Majelis Hakim yang memiliki tugas untuk memeriksa dan memutuskan perkara perburuhan atau perkara hubungan industrial. Tata cara pengangkatan Hakim Ad hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dilakukan atas usul organisasi serikat pekerja atau serikat buruh dan organisasi pengusaha, dimana yang bersangkutan harus menguasai pengetahuan hukum khususnya di bidang perburuhan atau ketenagakerjaan serta mempunyai pengalaman di dalam penanganan permasalahan yang berkaitan dengan ketenagakerjaan maupun di bidang kepengusahaan. Susunan majelis hakim yang memeriksa perkara hubungan industrial komposisinya selalu hakim Karir sebagai Ketua Majelis dan 2 (dua) orang Hakim Ad-Hoc sebagai hakim anggota yang masingmasing satu Hakim Ad-Hoc anggota dari unsur serikat pekerja/atau serikat buruh dan satu Hakim Ad-Hoc anggota dari unsur organisasi pengusaha. Hal ini sangat berbeda dengan komposisi susunan majelis hakim yang ada pada pengadilan khusus lainnya yang memiliki Hakim Ad-Hoc, hal tersebut dikarenakan ada sifat kekhususan terhadap Pengadilan Hubungan Industrial yang tidak dapat dilepaskan adanya kebutuhan bahwa Pengadilan Hubungan Industrial adalah merupakan implementasi dari pengembangan lembaga tripartit di dalam penyelesaian sengketa hubungan industrial. Bahwa sebagai konsekuensi adanya keterikatan Pengadilan Hubungan Industrial yang merupakan representasi unsur-unsur dari lembaga pengusul maka hal ini tidak dapat dilepaskannya keberadaan Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial yang dalam proses perekrutannya meninggalkan keterlibatan dari masing-masing lembaga pengusul tersebut, sehingga meskipun masa jabatan Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial yang telah habis masa jabatannya maka untuk pengusulannya kembali haruslah mendapatkan persetujuan atau rekomendasi dari lembaga pengusul, mengingat lembaga tersebut adalah yang dipandang paling tahu tentang calon Hakim Ad-Hoc yang akan duduk pada Pengadilan Hubungan Industrial, baik dari kemampuan, integritas dan rekam jejak serta dipandang dapat memahami suasana kebatinan masalah ketenagakerjaan maupun bidang kepengusahaan, yang kemudian diusulkan kepada menteri yang membidangi ketenagakerjaan dan proses selanjutnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku hingga diusulkan oleh Ketua Mahkamah Agung untuk diangkat oleh Presiden. Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dibutuhkan untuk mendapatkan keseimbangan dan juga karena kemampuan dalam memeriksa dan memutus perkara yang masalahnya sedemikian kompleks baik yang menyangkut ketenagakerjaan maupun bidang kepengusahaan. Hal tersebut sejalan dengan Putusan Mahkamah Nomor 56/PUU-X/2012, bertanggal 15 Januari 2013, yang menyatakan, “…, sehingga Hakim Ad hoc diperlukan hanya untuk mengadili kasus-kasus tertentu. Oleh karena itu seharusnya Hakim Ad hoc hanya berstatus hakim selama menangani perkara yang diperiksa dan diadilinya”. Kemudian dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XII/2014, bertanggal 20 April 2015, menegaskan, “…bahwa dibentuknya hakim ad hoc pada dasarnya karena adanya faktor kebutuhan akan keahlian dan efektivitas pemeriksaan perkara di Pengadilan yang bersifat khusus… Pengangkatan hakim ad hoc dilakukan melalui serangkaian proses seleksi yang tidak sama dengan proses rekruitmen dan pengangkatan hakim sebagai pejabat negara pada umumnya” (Paragraf [3.18]). Maka oleh karena itu menurut Mahkamah pengusulan kembali Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial yang telah habis masa jabatannya baik yang pertama maupun yang kedua adalah tidak menyimpang dari semangat akan putusan Mahkamah tersebut, terlebih terhadap Hakim AdHoc pada Pengadilan Hubungan Industrial yang telah menjalankan tugas selama dua periode dan telah mempunyai kompetensi, kapasitas, profesionalisme yang telah teruji adalah cukup dipandang memenuhi syarat untuk dicalonkan kembali sebagai Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial. Namun demikian, terhadap hal tersebut penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa pengusulan kembali calon Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial yang pernah menjabat tersebut tidak boleh menghilangkan kesempatan calon Hakim Ad-Hoc lainnya yang juga memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang dan yang juga diusulkan oleh lembaga pengusul serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha untuk mengikuti seleksi pencalonan sebagai calon Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial. Dengan kata lain bahwa antara calon Hakim Ad-Hoc yang telah pernah menjabat maupun yang belum pernah menjabat mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri dan diusulkan oleh lembaga pengusul baik serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha sepanjang memenuhi syarat perundang-undangan hingga proses terakhir diusulkan oleh Ketua Mahkamah Agung untuk diangkat oleh Presiden.

[3.14] Menimbang bahwa dengan mengutip beberapa pertimbangan hukum di atas, maka ketentuan yang berkaitan dengan periodisasi dan masa jabatan hakim ad hoc Tipikor yang termaktub dalam Pasal 10 ayat (5) UU 46/2009 yang menentukan hakim ad hoc diangkat untuk masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan, menurut Mahkamah telah membatasi atau menutup peluang bagi seseorang yang sedang menjabat sebagai hakim ad hoc untuk ikut mencalonkan kembali untuk periode masa jabatan berikutnya. Padahal esensi pokok adanya hakim ad hoc adalah karena pertimbangan keahlian atau kemampuan tertentu yang dimiliki dan independensi serta integritas sebagai hakim ad hoc sehingga dapat bersinergi dengan hakim karier dalam memutus berbagai jenis perkara yang dihadapi. Sementara, hakim ad hoc Tipikor yang telah menjalani masa jabatan pertama dan kedua setidak-tidaknya telah memenuhi syarat sebagaimana dipertimbangkan tersebut di atas dengan kompetensi, kapasitas, dan/atau profesionalisme yang telah teruji sehingga dipandang memenuhi syarat untuk dicalonkan kembali sebagai Hakim Ad hoc pada Pengadilan Tipikor pada periode masa jabatan berikutnya sebagaimana kesempatan yang sama terhadap hakim ad hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial. Lebih lanjut, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-XIV/2016 yang menegaskan dalam pertimbangannya bahwa pengusulan kembali calon Hakim Ad hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial yang pernah menjabat tersebut tidak boleh menghilangkan kesempatan calon hakim ad hoc lainnya yang juga memenuhi persyaratan, oleh karena itu, pencalonan kembali hakim ad hoc Tipikor juga tidak boleh menyebabkan tertutupnya peluang bagi warga negara lainnya yang memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 12 UU 46/2009. Artinya, untuk dapat mencalonkan diri kembali sebagai hakim ad hoc pada Pengadilan Tipikor bagi hakim ad hoc yang telah menjabat untuk jabatan yang pertama dan kedua dapat mencalonkan kembali untuk jabatan berikutnya dengan cara mengikuti seluruh persyaratan dan proses pencalonan dari awal sebagai calon hakim ad hoc Tipikor bersama-sama dengan warga negara lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

[3.15] Menimbang bahwa dengan dibukanya peluang bagi hakim ad hoc pada Pengadilan Tipikor yang telah menjabat pada jabatan atau periode pertama dan kedua serta dibukanya peluang untuk mencalonkan kembali pada periode berikutnya sebagaimana pertimbangan hukum Paragraf [3.14] di atas tidaklah bertentangan dengan sifat kesementaraan hakim ad hoc yang diperlukan hanya untuk mengadili kasus-kasus tertentu dan telah dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-X/2012. Pentingnya dibuka peluang bagi hakim ad hoc untuk mencalonkan kembali setelah jabatan keduanya berkorelasi dengan upaya memperoleh hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang memenuhi kebutuhan akan keahlian dan efektivitas pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi. Dengan demikian, norma periodisasi masa jabatan hakim ad hoc pada Pengadilan Tipikor dalam Pasal 10 ayat (5) UU 46/2009 yang tidak membuka peluang bagi hakim ad hoc pada Pengadilan Tipikor untuk mencalonkan kembali pada jabatan berikutnya tidak sejalan dengan keinginan untuk menciptakan konsistensi dalam putusan-putusan pengadilan termasuk dalam pengadilan Tipikor serta prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman. Oleh karenanya, norma Pasal 10 ayat (5) UU 46/2009, dalam perkara a quo harus dimaknai “Hakim ad hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diangkat untuk masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan tanpa seleksi ulang sepanjang masih memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan, serta dapat diangkat untuk masa jabatan 5 (lima) tahun berikutnya dengan terlebih dahulu mengikuti proses seleksi kembali sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon berkenaan dengan Pasal 10 ayat (5) UU 46/2009 telah ternyata menimbulkan ketidaksamaan kedudukan hukum dan ketidakpastian hukum yang adil sehingga bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, oleh karenanya dalil para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.