Bahwa pada hari Selasa tanggal 29 Juni 2021, pukul 12.30 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam sidang virtual Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (selanjutnya disebut UU TPPU) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 15/PUU-XIX/2021. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 15/PUU-XIX/2021, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RI.
Bahwa terhadap Penjelasan Pasal 74 UU TPPU dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.12] Menimbang bahwa terhadap dalil permohonan para Pemohon tersebut,
Mahkamah mempertimbangkan, pokok permasalahan dalam pengujian
konstitusionalitas Penjelasan Pasal 74 UU 8/2010 adalah adanya
ketidakkonsistenan antara frasa “penyidik tindak pidana asal” yang termuat dalam norma Pasal 74 UU 8/2010 yang esensinya tanpa adanya pembatasan mengenai kriteria subjek hukum yang dikatakan sebagai penyidik tindak pidana asal, sementara itu esensi penyidik tindak pidana asal yang dimaksudkan dalam Penjelasan Pasal 74 UU 8/2010 ada pembatasan dengan telah ditentukan subjek hukum yang disebut penyidik tindak pidana asal yaitu hanya ada 6 (enam) penyidik tindak pidana asal
Bahwa terhadap dalil para Pemohon tersebut, menurut Mahkamah, frasa
“penyidik pidana asal” dalam Pasal 74 UU 8/2010 memberikan pengertian penyidik tindak pidana asal adalah pejabat dari instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan peraturan perundang-undangan dalam hal ini adalah semua Penyidik yang melakukan penyidikan tindak pidana asal atau tindak pidana yang kemudian melahirkan tindak pidana pencucian uang. Dengan kata lain, penyidik tindak pidana asal adalah siapa saja pejabat yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan tindak pidana yang kemudian dari tindak pidana yang dilakukan penyidikan tersebut melahirkan adanya tindak pidana pencucian uang sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU 8/2010. Dengan demikian, telah secara jelas dan tegas (expressis verbis), tidak ada pengecualian siapapun pejabat yang melakukan penyidikan tindak pidana karena perintah undang-undang yang kemudian melahirkan tindak pidana pencucian uang adalah penyidik tindak pidana
asal. Oleh karena itu, tidak ada alasan hukum apapun yang dapat dibenarkan
apabila kemudian penegasan norma Pasal 74 UU 8/2010 tersebut dapat dimaknai menjadi tidak semua pejabat yang diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan tindak pidana yang melahirkan tindak pidana pencucian uang tidak serta merta dapat melakukan penyidikan tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana asal, dalam hal ini tindak pidana pencucian uang.
Bahwa terdapat alasan yang sangat mendasar, tidak relevannya
dilakukan pemisahan antara penyidikan tindak pidana asal dengan penyidikan
tindak pidana pencucian uang yang dilahirkan, yaitu penyatuan kewenangan
tersebut akan memudahkan pembuktian dan mendapatkan efisiensi dalam
penanganan suatu perkara, sebab tidak diperlukan lagi adanya tahapan pelimpahan kepada penyidik lain (Kepolisian Negara Republik Indonesia) dengan dilakukan pemisahan (splitsing) yang tentunya akan melalui proses yang membutuhkan waktu dan bisa jadi harus dilakukan proses penyidikan dari awal terhadap tindak pidana pencucian uangnya, kecuali sekedar koordinasi ketika akan dilakukan pelimpahan berkas perkara kepada penuntut umum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP. Oleh karena itu, tahapan yang berulang tersebut akan tidak sejalan dengan asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan (vide Pasal 2 ayat (4) UU 48/2009). Terlebih penyidik tindak pidana asal sesungguhnya yang lebih memahami karakter dari perkara yang ditanganinya. Dengan pertimbangan hukum tersebut di atas maka Penjelasan Pasal 74 UU 8/2010, yang tidak dapat dibenarkannya adanya penyidik tindak pidana asal yang tidak serta merta melekat kewenangannya untuk melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang sepanjang tindak pidana asal tersebut termasuk tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU 8/2010 selain 6 (enam) institusi penyidik, sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Pasal 74 UU 8/2010 adalah pembatasan yang tidak dapat dibenarkan. Terlebih karena UU 8/2010 mengatur, apabila dalam tindakan penyidikan ditemukan adanya tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian uang, maka penyidik menggabungkan penyidikan tindak pidana asal tersebut dengan tindak pidana pencucian uang dengan memberitahukan kepada PPATK (vide Pasal 75 UU 8/2010). Hal ini sebenarnya sejalan dengan pesan dari esensi efisiensi sekaligus dalam rangka mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, sebagaimana telah dipertimbangkan sebelumnya.
Bahwa di samping alasan tersebut, Mahkamah juga berpendapat pada
hakikatnya dalam sistem pembentukan peraturan perundang-undangan, penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk peraturan perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Namun demikian, rumusan penjelasan tidak boleh bertentangan dengan pasal-pasal yang diatur dalam batang tubuh; tidak memperluas, mempersempit atau menambah pengertian norma yang ada dalam batang tubuh; tidak melakukan pengulangan atas materi pokok yang diatur dalam batang tubuh; tidak mengulangi uraian kata, istilah, frasa, atau pengertian yang telah dimuat di dalam ketentuan umum; dan/atau tidak memuat rumusan pendelegasian [vide Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Nomor 176 dan 186]
[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut
di atas, oleh karena secara substansial maupun prosedural tidak terdapat relevansi untuk dilakukan pemisahan kewenangan penyidikan oleh penyidik tindak pidana asal dengan penyidik tindak pidana yang dilahirkan atau yang mengikuti, yaitu tindak pidana pencucian uang, maka sebagai konsekuensi yuridisnya keberadaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang diakui dan diatur di dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 juncto Pasal 6 ayat (1) KUHAP adalah tidak dapat dikecualikan dan termasuk bagian dari penyidik yang melekat kewenangan untuk melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang.
Bahwa lebih lanjut penting ditegaskan pula oleh karena keberadaan
penyidik pegawai negeri sipil tersebut terdapat di beberapa kementerian, yang
lingkup tugasnya dan tanggung jawabnya sesuai dengan wewenang yang diberikan oleh instansi masing-masing untuk melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Maka, terhadap penyidik pegawai negeri sipil di kementerian yang tidak termasuk sebagaimana termaktub dalam Penjelasan Pasal 74 UU 8/2010 dan tidak dapat melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang apabila menemukan bukti permulaan yang cukup telah terjadinya tindak pidana pencucian uang saat melakukan penyidikan tindak pidana asal, tidak dapat dikecualikan dan harus diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang sepanjang tindak pidana asalnya termasuk dalam tindak pidana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU 8/2010.
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum
tersebut di atas, Penjelasan Pasal 74 UU 8/2010 telah jelas mempersempit definisi “penyidik tindak pidana asal” sebagaimana yang tercantum dalam ketentuan Pasal 74 UU 8/2010 dengan memberikan batasan subjek hukum yang berhak menjadi penyidik tindak pidana asal. Selain mempersempit definisi “penyidik tindak pidana asal”, Penjelasan Pasal 74 UU 8/2010 menunjukkan adanya diskriminasi penanganan tindak pidana pencucian uang, khususnya bagi pegawai negeri sipil. Sebab, sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, secara teknis maupun substansial jika penyidikan tindak pidana pencucian uang dilakukan oleh Penyidik tindak pidana asal, hal ini akan mempercepat penanganan dugaan tindak pidana pencucian uang sekaligus tindak pidana asalnya. Oleh karena itu, penyidik tindak pidana asal yang menemukan tindak pidana pencucian uang harus diberikan kewenangan dan oleh karenanya terhadap Penjelasan Pasal 74 UU 8/2010 haruslah dinyatakan inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai sebagaimana selengkapnya termuat dalam amar putusan perkara a quo.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430