1. Bahwa pada hari Rabu, tanggal 23 Mei 2018, Pukul 09.44 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutuskan Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU 11/2012) dalam Perkara Nomor 68/PUU-XV/2017. Dalam sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 68/PUU-XV/2017, perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.
2. Bahwa permohonan pengujian materiil UU 11/2012 dalam Perkara Nomor 68/PUU-XV/2017 diajukan oleh 6 orang jaksa yaitu Dr. Noor Rochmad, S.H., M.H., Setia Untung Arimuladi, S.H., M.H., Febrie Ardiansyah, S.H., M.H., Narendra Jatna, S.H., LL.M., Dr. Reda Manthovani, S.H., M.H., LL.M, S.Kom., Dr. Yudi Kristiana S.H., M.H., yang dikuasakan kepada Ichsan Zikry, S.H. dan kawan-kawan.
3. Bahwa Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian materiil atas Pasal 99 UU 11/2012, yang berketentuan sebagai berikut:
“Penuntut Umum yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun”.
4. Bahwa Pasal 99 UU 11/2012 dianggap Para Pemohon bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 karena telah merugikan dan melanggar hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon.
1. Bahwa pokok permasalahan konstitusional yang dipersoalkan oleh Para Pemohon adalah apakah Pasal 99 UU 11/2012 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
a. Bahwa Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana [vide Pasal 1 angka 1 UU SPPA]. Dalam SPPA, penuntut umum merupakan salah satu pejabat khusus dalam proses SPPA. Pasal 99 UU 11/2012 mengatur mengenai ancaman pidana bagi penuntut umum apabila dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban mengeluarkan anak dari tahapan setelah dilakukan perpanjangan waktu penahanan. Terhadap ancaman pidana tersebut, Mahkamah, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110/PUU-X/2012, bertanggal 28 Maret 2013, memberikan pertimbangan sebagai berikut:
[3.18] Menimbang bahwa Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU 11/2012 yang menentukan ancaman pidana kepada pejabat khusus dalam penyelenggaraan SPPA, yaitu hakim, pejabat pengadilan, penyidik, dan penuntut umum, menurut Mahkamah, bukan saja tidak merumuskan ketentuan-ketentuan konstitusional mengenai kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan independensi pejabat khusus yang terkait (hakim, penuntut umum, dan penyidik anak), yakni memberikan jaminan hukum bagi penyelenggaraan peradilan yang merdeka, tetapi lebih dari itu juga telah melakukan kriminalisasi terhadap pelanggaran administratif dalam penyelenggaraan SPPA yang tentu memberikan dampak negatif terhadap pejabat-pejabat khusus yang menyelenggarakan SPPA. Dampak negatif tersebut adalah dampak psikologis yang tidak perlu, yakni berupa ketakutan dan kekhawatiran dalam penyelenggaraan tugas dalam mengadili suatu perkara. Hal demikian menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang berarti bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan kontra produktif dengan maksud untuk menyelenggarakan SPPA dengan diversinya secara efektif dan efisien dalam rangka keadilan restoratif;
b. Bahwa setelah memeriksa secara cermat norma undang- undang yang dimohonkan para Pemohon a quo ternyata merupakan satu kesatuan yang saling berkorelasi yang tidak dapat dipisahkan dengan norma undang- undang yang telah diputuskan oleh Mahkamah sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110/PUU-X/2012, bertanggal 28 Maret 2013, yang merupakan satu kesatuan dalam SPPA yang di dalamnya mengandung adanya sifat khusus dari keseluruhan proses dalam penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai tahap pembimbingan setelah menjalani pindana [vide Pasal 1 angka 1 UU SPPA]. Oleh karena itu dengan pertimbangan sebagaimana tersebut di atas tidaklah tepat bagi Mahkamah apabila memperlakukan pejabat yang terlibat dalam proses SPPA tersebut, termasuk dalam tindakan yang berkaitan dengan penahanan dalam perkara anak dalam hal ini jaksa/penuntut umum, dibedakan perlakuannya dengan hakim. Pertimbangan Mahkamah tersebut tidak terlepas dari pertimbangan yang didasarkan pada keharusan adanya sinergitas seluruh komponen penegak hukum yang tergabung dalam SPPA yang mempunyai sifat khusus, akan tetapi bukan berarti Mahkamah membenarkan alasan independensi dalam pengertian yang universal di dalam menerima dalil-dalil para Pemohon a quo. Dengan demikian penting ditegaskan bahwa sekalipun Mahkamah telah menyatakan pasal yang dimohonkan para Pemohon a quo inkonstitusional, hal itu tidak berarti memperbolehkan pejabat yang melakukan tugas untuk mengeluarkan tahanan anak dari RUTAN melanggar batas waktu yang telah ditentukan, sebab hal demikian sama halnya dengan sengaja merampas kemerdekaan seseorang. Dengan kata lain, kesengajaan tidak mengeluarkan tahanan anak pada waktunya tidak menghilangkan hak setiap orang yang dirugikan atas adanya tindakan yang disengaja oleh setiap pejabat termasuk di dalamnya penegak hukum atas adanya perampasan kemerdekaan untuk dapat mempersoalkan secara hukum tindakan tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 333 ayat (1) KUHP yang menyatakan, “Barang siapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang, atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun”;
c. Keempat, bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum;
2. Bahwa dalam Amar Putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan sebagai berikut:
1) Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.
2) Menyatakan Pasal 99 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5332) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
3) Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia.
3. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 68/PUU-XV/2017 sebagaimana diuraikan di atas, berdasarkan Pasal 10 ayat (1) huruf d, Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 23 ayat (1) huruf b UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
1) Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 68/PUU-XV/2017 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
2) Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 68/PUU-XV/2017 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU 11/2012.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430