Bahwa pada hari Kamis, tanggal 13 Desember 2018, Pukul 11.22 WIB, Mahkamah Konstitusi telah selesai menggelar Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah (selanjutnya disebut UU PDRD) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 80/PUU-XV/2017. Dalam sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 80/PUU-XV/2017, perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal 1 ayat (28), Pasal 52 ayat (1), Pasal 52 ayat (2), Pasal 55 ayat (2), Pasal 55 ayat (3) UU PDRD, dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.13.1] Bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut dalil-dalil permohonan Pemohon penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa hakikat pajak adalah iuran kepada negara yang pemberlakuannya dapat dipaksakan terhadap wajib pajak menurut peraturan perundang-undangan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk dan dipergunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas dan fungsi negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. Secara normatif ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana diubah terakhir dengan Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (UU KUP) menyatakan, “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Dari pengertian tersebut maka dapat diperoleh adanya unsur-unsur pajak antara lain: i) adanya unsur masyarakat yang berkaitan dengan kepentingan umum; ii) adanya unsur undang-undang atau peraturan lain yang merupakan bagian yang merepresentasikan kepentingan sekaligus persetujuan rakyat; iii) unsur pemungut pajak yang berkaitan dengan lembaga yang secara struktural menerima peralihan kekayaan dari satu pihak ke pihak yang lain yakni dari rakyat selaku wajib pajak kepada pemerintah sekaligus sebagai lembaga yang menyelenggarakan kepentingan umum; iv) unsur objek pajak yang berkaitan sasaran yang akan dikenakan pajak (tatbestand) yaitu keadaan, peristiwa atau perbuatan yang menurut ketentuan undang-undang dapat dikenakan pajak; serta v) unsur surat ketetapan pajak yang berkenaan dengan surat keputusan yang isinya penetapan utang pajak yang harus dibayar oleh seseorang atau badan.
Dari uraian unsur-unsur yang berkaitan dengan pajak tersebut dapat ditarik adanya ciri atau karakteristik dari pajak yang pada dasarnya antara lain:
a. Pajak dipungut berdasarkan atas undang-undang;
b. Terhadap pembayaran pajak tidak ada prestasi atau jasa yang bersifat timbal balik yang dapat ditunjukkan secara langsung;
c. Pemungutan dapat dilakukan oleh pemerintah baik pusat maupun daeraH (dikenal istilah pajak pusat dan pajak daerah);
d. Pajak tersebut dipergunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah baik rutin maupun pembangunan dan dimungkinkan untuk investasi (public investment).
[3.13.2] Lebih dari itu secara doktriner pajak juga mempunyai fungsi yang salah satunya adalah fungsi mengatur (regulerend) yang mengandung arti bahwa pajak juga dapat digunakan sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi dan sosial. Oleh karena itu tidak tertutup kemungkinan pajak dapat dipergunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang letaknya di luar bidang keuangan. Sehingga dengan memperhatikan cakupan fungsi pajak yang sedemikian luas, maka tidak ada alasan untuk menolak argumentasi pemungutan pajak oleh negara sebab pengenaan pajak yang seolah-olah seperti mesin penyedot uang rakyat, sejatinya adalah uang yang berasal dari rakyat akan kembali kepada masyarakat tanpa dikurangi yang tidak lain adalah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain pajak tidak akan merugikan rakyat dan hal inilah sebenarnya yang menjadikan sulit mencari argumentasi bahwa pungutan pajak adalah sesuatu yang tidak dapat dibenarkan.
Namun demikian terlepas dari berbagai argumentasi doktriner maupun legal yang menjadi alasan pembenar bagi pengenaan pajak, peraturan perundang- undangan yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan pajak haruslah mengandung kepastian hukum yang adil, sehingga bagi masyarakat terutama wajib pajak terbangun rasa tanggung jawab sesuai dengan hak dan kewajibannya secara seimbang. Dengan demikian konsekuensi pembebanan pajak terhadap masyarakat dapat diterima sebagai bentuk yang pada awalnya adalah sebuah kewajiban akan tetapi pada akhirnya hasilnya dinikmati oleh masyarakat itu sendiri.
[3.13.3] Bahwa dengan uraian ilustrasi berkaitan hakikat pajak tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan menilai persoalan konstitusionalitas norma yang didalilkan Pemohon berkaitan frasa “penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri“ dan frasa “meliputi seluruh pembangkit listrik” dalam Pasal 1 angka 28, Pasal 52 ayat (1), Pasal 52 ayat (2) dan frasa “sumber lain” dalam Pasal 55 ayat (2) dan Pasal 55 ayat (3) UU PDRD, yang menurut Pemohon tidak memberikan jaminan kepastian hukum (legal certainty) yang adil dan mengingkari ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Dalam kaitannya dengan dalil Pemohon a quo Mahkamah mencermati, Pasal 1 angka 28 UU PDRD mengenai definisi Pajak Penerangan Jalan (PPJ) yang selengkapnya menyatakan, “Pajak Penerangan Jalan adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain,” dan menemukan dua unsur dasar dari definisi tersebut. Pertama, bahwa hakikat PPJ adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik. Kedua, tenaga listrik yang dikenai PPJ adalah tenaga listrik yang diperoleh/dihasilkan sendiri oleh pengguna maupun tenaga listrik yang diperoleh dari sumber lain.
[3.13.4] Bahwa setelah mencermati UU PDRD terutama pada Bab I “Ketentuan Umum” Pasal 1 yang merupakan ketentuan pokok yang menjadi dasar atau rujukan bagian yang diatur dalam pasal-pasal yang ada pada undang-undang bersangkutan, sebagaimana prinsip-prinsip yang ada dalam undang-undang pada umumnya, Mahkamah tidak menemukan adanya ketentuan yang membatasi definisi Pasal 1 angka 28 yang Pasal tersebut menegaskan bahwa PPJ adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain. Bahkan ketentuan tersebut kemudian ditegaskan dalam Bagian Kesebelas mengenai “Pajak Penerangan Jalan” pada Pasal 52 ayat (1) yang menyatakan, “Objek Pajak Penerangan Jalan adalah penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun yang diperoleh dari sumber lain.”
Dengan merujuk pada ketentuan Pasal 1 angka 28 juncto Pasal 52 ayat (1) UU PDRD, serta keterangan Presiden (vide Keterangan Presiden, huruf f, halaman 12), Mahkamah menemukan penegasan bahwa makna yang dikehendaki pembentuk undang-undang adalah semua penggunaan tenaga listrik tanpa kecuali merupakan objek dari PPJ, tidak terbatas hanya pada penggunaan tenaga listrik untuk keperluan penerangan jalan saja. Permasalahan lebih lanjut yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah apakah benar materi muatan yang diatur dalam pasal-pasal pada undang-undang yang dipersoalkan konstitusionalitasnya oleh Pemohon menimbulkan ketidakpastian hukum (legal uncertainty). Terhadap hal tersebut Mahkamah berpendapat bahwa apabila ditinjau dari prinsip legalitas berlakunya sebuah undang-undang, sepanjang produk undang-undang dibentuk berdasarkan prinsip-prinsip dalam pembentukan undang-undang maka sulit mencari argumentasi untuk menegaskan bahwa pasal ataupun undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan konstitusional, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.
[3.13.5] Bahwa setelah mencermati Pasal 1 angka 28, Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) UU PDRD yang didalilkan Pemohon mengandung ketidakpastian hukum (legal uncertainty) yang adil, yang salah satunya adalah permasalahan dari sisi terminologi (vide Permohonan Pemohon, halaman 12), menurut Mahkamah materi muatan pasal yang mengatur PPJ seharusnya secara limitatif dan inherent terbatas hanya mengatur materi muatan tentang pengenaan pajak pada penggunaan tenaga listrik untuk penerangan jalan yang listriknya bersumber dari, atau disediakan oleh, pemerintah dan pembayarannya dapat dibebankan kepada masyarakat. Sepanjang berkenaan dengan permasalahan perihal adanya ketidaksinkronan antara jenis pajak yang dikenakan dengan objek pajak Mahkamah menemukan adanya ketidaktepatan penempatan objek pajak dengan jenis pajak yang berkaitan dengan Pasal 1 angka 28, Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) UU PDRD. Oleh karena itu menurut Mahkamah terdapat persoalan konstitusionalitas norma terhadap pasal-pasal a quo. Namun demikian, tidak serta-merta berarti bahwa sumber listrik yang dihasilkan sendiri dan sumber lainnya selain yang dihasilkan pemerintah in casu PT PLN tidak dapat menjadi objek pajak. Dengan kata lain PPJ seharusnya tidak menjadikan sumber listrik yang dihasilkan sendiri dan sumber lain sebagai objek sasarannya, namun objek tersebut tetap dapat dikenakan pajak akan tetapi materi muatan peraturan perundang-undangannya harus menyebutkan jenis pajak yang tepat. Untuk itu Mahkamah akan mempertimbangkannya lebih lanjut.
[3.13.6] Bahwa untuk memperkuat argumen Mahkamah sebagaimana termaktub pada Paragraf [3.13.4] dan Paragraf [3.13.5] di atas, perlu ditegaskan bahwa dalam penyusunan peraturan perundang-undangan sangatlah penting untuk menggunakan istilah yang tidak memunculkan makna ganda (ambigu). Secara hukum, menggunakan istilah yang sama untuk dua hal/konsep yang berbeda hanya akan memunculkan kekaburan norma yang pada akhirnya mengakibatkan ketidakpastian hukum, terutama mengenai konsep mana yang sebenarnya dimaksudkan dan ingin atau akan diberlakukan oleh pembentuk undang-undang.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011) telah memberikan pedoman dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, terutama dalam kaitannya dengan perkara a quo adalah Pasal 5 huruf f yang menyatakan, “Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi: ... f. kejelasan rumusan; dan ...”. Penjelasan Pasal 5 huruf f UU 12/2011 menyatakan, “Yang dimaksud dengan “asas kejelasan rumusan” adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya”.
Meskipun norma UU 12/2011 bukan merupakan norma konstitusi, yang karenanya jika terdapat norma dalam suatu undang-undang yang tidak sesuai dengan ketentuan UU 12/2011 tidak serta-merta menjadikannya inkonstitusional, namun karena keberadaan UU 12/2011 merupakan amanat langsung Pasal 22A UUD 1945 yang menyatakan, “Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang”, maka menurut Mahkamah adalah tepat dijadikan sebagai rujukan dalam melakukan pengujian undang-undang di Mahkamah, setidak-tidaknya sebagai petunjuk perihal adanya persoalan konstitusionalitas dalam suatu rumusan norma undang-undang.
[3.13.7] Bahwa setelah mencermati rumusan pasal-pasal yang dipersoalkan Pemohon, Mahkamah berpendapat frasa “penerangan jalan” pada istilah “pajak penerangan jalan” sebenarnya telah dengan jelas merujuk pada suatu tindakan/aktivitas yang membuat terang jalan. Secara harfiah pajak penerangan jalan berarti pajak yang dikenakan bagi peristiwa penerangan jalan, yang seiring perkembangan ilmu pengetahuan/teknologi maka penerangan jalan telah lazim menggunakan alat-alat elektronik bertenaga listrik. Sehingga jika dikaitkan dengan listrik yang dipergunakan sebagai energi untuk “menyalakan” alat-alat elektronik, maka pajak penerangan jalan diartikan sebagai pajak yang dikenakan atas penggunaan listrik bagi penerangan jalan.
Dari uraian penjelasan tersebut di atas, apabila dihubungkan dengan rumusan Pasal 1 angka 28 UU PDRD yang menyatakan, “Pajak Penerangan Jalan adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain”, dan Pasal 52 ayat (1) UU PDRD yang menyatakan “Objek Pajak Penerangan Jalan adalah penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun yang diperoleh dari sumber lain”, menurut Mahkamah telah ternyata pembentuk undang-undang mencampurkan pengaturan dua kategori yang berbeda ke dalam satu pasal, yaitu kategori peruntukan tenaga listrik disatukan dengan kategori sumber (penghasil) tenaga listrik. Induk kalimat pada rumusan ketentuan tersebut jelas menerangkan mengenai penggunaan tenaga listrik sebagai objek pajak berdasarkan klasifikasi peruntukannya.
Dari istilah atau nomenklatur Objek Pajak Penerangan Jalan terlihat bahwa penggunaan tenaga listrik yang dijadikan objek PPJ adalah yang peruntukannya untuk penerangan jalan. Namun rumusan anak kalimat Pasal 52 ayat (1), yaitu “baik yang dihasilkan sendiri maupun yang diperoleh dari sumber lain”, tidak menjelaskan mengenai cakupan atau ruang lingkup penggunaan tenaga listrik yang dapat disebut/dikategorikan sebagai penerangan jalan, melainkan justru mengatur sumber tenaga listrik. Hal demikian mengakibatkan kerancuan atau kebingungan memahami maksud dalam pengertian yang terkandung pada rumusan tersebut. Dalam hal ini, apakah maksud sebenarnya dari ketentuan Pasal 52 ayat (1) ini akan mengatur mengenai objek pajak penerangan jalan dari sisi peruntukan/penggunaan tenaga listrik atau dari sisi sumber yang menghasilkan tenaga listrik itu sendiri;
[3.13.8] Bahwa dalam keterangan tertulisnya Presiden/Pemerintah juga menerangkan bahwa PPJ akan dialokasikan untuk menyediakan penerangan jalan (vide Keterangan Presiden, huruf b, halaman 14). Hal demikian menunjukkan adanya ketidaktegasan dari pembentuk undang-undang, setidaknya Presiden/Pemerintah, apakah frasa “penerangan jalan” pada istilah PPJ merujuk pada objek pajak atau merujuk pada alokasi pembelanjaan dana yang diperoleh dari kegiatan pengenaan pajak. Seandainya frasa “penerangan jalan” merujuk pada alokasi dana yang dipungut dari pajak, hal demikian telah terbantah oleh ketentuan Pasal 56 ayat (3) UU PDRD yang menyatakan bahwa dana hasil penerimaan PPJ hanya sebagian saja yang dialokasikan untuk penyediaan penerangan jalan.
Lebih lanjut dijelaskan, bahwa seandainya frasa “penerangan jalan” pada istilah PPJ memang merujuk pada alokasi dana yang diperoleh dari pengenaan pajak, quod non, pola pembentukan istilah demikian akan bertentangan dengan pola pembentukan istilah jenis pajak lain dalam undang- undang yang sama. Jenis pajak yang diatur dalam UU PDRD adalah Pajak Kendaraan Bermotor; Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor; Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; Pajak Air Permukaan; Pajak Rokok; Pajak Hotel; Pajak Restoran; Pajak Hiburan; Pajak Reklame; Pajak Penerangan Jalan; Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan; Pajak Parkir; Pajak Air Tanah; Pajak Sarang Burung Walet; Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; serta Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, yang semua istilah tersebut merujuk pada objek pajak dan bukan merujuk pada alokasi dana yang diperoleh dari kegiatan pengenaan pajak.
[3.14] Menimbang bahwa seandainya pembentuk undang-undang melalui Pasal 1 angka 28 UU PDRD bermaksud menciptakan rezim hukum baru dengan mendekonstruksi, mengubah, atau memberi makna baru terhadap istilah “Pajak Penerangan Jalan”, menurut Mahkamah akan lebih tepat dipergunakan istilah baru atau istilah lain agar dapat diketahui jelas perbedaannya dengan ketentuan yang lama. Hal demikian selain karena istilah PPJ secara harfiah telah jelas sebagaimana diuraikan Mahkamah dalam pertimbangan hukum Paragraf [3.13] sampai dengan Paragraf [3.13.8] di atas, istilah “pajak penerangan jalan” juga telah dipergunakan secara meluas sejak tahun 1997 yang ditandai dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, serta perubahannya, yang masing-masing memaknai “pajak penerangan jalan” sebagai berikut:
a. UU 18/1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pada Penjelasan Pasal 2 ayat (2) huruf d menyatakan, “Pajak Penerangan Jalan adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik, dengan ketentuan bahwa di daerah tersebut tersedia penerangan jalan, yang rekeningnya dibayar oleh Pemerintah Daerah”.
b. UU 34/2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah pada bagian Penjelasan Pasal 2 ayat (2) huruf e menyatakan, “Pajak Penerangan Jalan adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik, dengan ketentuan bahwa di wilayah Daerah tersebut tersedia penerangan jalan, yang rekeningnya dibayar oleh Pemerintah Daerah”.
[3.14.1] Bahwa jika pembentuk undang-undang memang bermaksud mengatur kedua kategori tersebut sekaligus dalam satu rumusan, yaitu kategori peruntukkan tenaga listrik sekaligus kategori sumber (penghasil) tenaga listrik, hal demikian memang tidak keliru dari perspektif konstitusi. Namun membuka kemungkinan terjadinya ketidakpastian hukum manakala rumusan yang demikian menimbulkan ketidakjelasan makna, apalagi ketika makna ketentuan demikian akhirnya menempatkan semua penggunaan tenaga listrik sebagai objek penerangan jalan, meskipun sebenarnya tenaga listrik tersebut tidak dipergunakan untuk menerangi jalan.
Penting bagi Mahkamah untuk menggarisbawahi bahwa kepastian hukum tercipta salah satunya dengan ketepatan penggunaan istilah-istilah dengan makna yang dirujuknya. Salah satunya adalah istilah “penerangan jalan” sudah jelas dan mapan maknanya baik secara harfiah maupun dalam penggunaan sehari-hari, yaitu kegiatan membuat terang jalan dengan bantuan pencahayaan buatan. Ketika “penerangan jalan” dimaknai meluas meliputi juga semua penggunaan listrik untuk keperluan selain penerangan jalan, maka hal demikian membingungkan bagi pengguna tenaga listrik karena dikenai pajak untuk suatu tindakan penggunaan tenaga listrik yang secara faktual tidak mereka lakukan.
[3.14.2] Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, terlepas dari belum dipertimbangkannya oleh Mahkamah mengenai konstitusionalitas pengenaan pajak terhadap penggunaan tenaga listrik untuk peruntukkan/keperluan selain penerangan jalan, apalagi jika tenaga listrik tersebut dihasilkan/dibangkitkan sendiri oleh pengguna, Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 1 angka 28 dan Pasal 52 ayat (1) UU PDRD bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena penggunaan istilah di dalam Pasal 1 angka 28 dan Pasal 52 ayat (1) UU a quo telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pengguna tenaga listrik.
[3.15] Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon yang pada pokoknya menyatakan bahwa seharusnya tenaga listrik yang dihasilkan sendiri oleh pengguna tidak dikenai pajak, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut.
Pasal 23A UUD 1945 menyatakan bahwa “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Ketentuan demikian dengan jelas menunjukkan bahwa pajak dan pungutan lain yang dilakukan oleh negara untuk keperluan negara adalah hal yang diperbolehkan, selama diatur dengan undang-undang. Makna frasa “diatur dengan undang-undang” merujuk pada kondisi bahwa semua ketentuan apalagi yang bersifat mengikat dan membebani atau menimbulkan kewajiban kepada rakyat (penduduk) harus diketahui dan dibuat oleh rakyat melalui mekanisme perwakilan yaitu oleh anggota lembaga perwakilan rakyat bersama-sama dengan Presiden. Bahkan dalam konsep negara demokrasi modern, negara bukan hanya harus menyediakan sarana bagi rakyat untuk terlibat dalam proses perancangan/penyusunan suatu peraturan perundang-undangan, melainkan harus memastikan bahwa rakyat mengetahui adanya proses penyusunan peraturan perundang-undangan tersebut. Hal demikian tidak lain untuk mencegah kesewenang-wenangan negara dalam melakukan pungutan dan pengenaan pajak kepada rakyat.
[3.15.1] Bahwa Pasal 23A UUD 1945 tidak menyatakan bidang apa saja yang dapat dikenai pajak dan pungutan. Begitu pula dalam UUD 1945 secara umum tidak ada pernyataan lebih lanjut mengenai bidang-bidang yang tidak boleh dikenai pajak dan pungutan. Dari ketentuan demikian diartikan bahwa pada dasarnya pungutan dan pajak dapat dikenakan/dibebankan kepada semua objek hukum dan dibebankan pula kepada semua subjek hukum, tentu saja setelah melalui penalaran dan rasionalisasi yang matang melalui pembentukan undang-undang.
Pungutan negara kepada rakyat secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu retribusi dan pajak. Retribusi adalah pungutan oleh negara kepada rakyat yang tegen prestatie atas pungutan tersebut langsung dinikmati oleh rakyat yang membayar retribusi. Sementara pajak adalah pungutan oleh negara kepada rakyat yang manfaatnya tidak diterima/dirasakan seketika melainkan oleh negara (melalui Pemerintah) dialokasikan untuk membiayai berbagai kegiatan penyelenggaraan negara, yang bisa saja tidak langsung berkaitan dengan kategori objek yang dikenai pajak.
[3.15.2] Bahwa pajak menjadi instrumen keuangan yang berfungsi mengisi kas (pendapatan) negara. Bahkan saat ini pendapatan dari sektor pajak menjadi sumber pendapatan yang dominan. Namun pajak bukan semata-mata instrumen negara untuk memungut sejumlah uang kepada rakyat, sehingga dalam pengujian konstitusionalitas pengenaan pajak, hal yang menjadi pertimbangan Mahkamah bukan sekadar beban yang harus ditanggung oleh rakyat. Bagi Mahkamah, terutama dalam hal pengenaan pajak tenaga listrik, fungsi pengaturan (regulerend) justru lebih mendominasi karena pembangkitan listrik dengan sumber energi tertentu dapat membawa dampak negatif kepada lingkungan dan masyarakat, terutama dalam hal pembangkitan listrik dilakukan secara konvensional menggunakan bahan bakar fosil. Namun karena di sisi lain listrik memiliki banyak manfaat, sehingga negara harus mengendalikan atau memulihkan dampak dimaksud. Salah satu upaya pengendalian tersebut adalah dengan pengenaan pajak kepada penggunaan listrik, serta mengalokasikan sebagian dana yang bersumber dari pajak penggunaan listrik untuk memulihkan kerugian yang diderita lingkungan hidup dan masyarakat. Kewajiban pemulihan tersebut sesuai dengan amanat Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan, “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.
[3.15.3] Bahwa dengan demikian inkonstitusionalitas Pasal 1 angka 28 dan Pasal 52 ayat (1) UU PDRD sebagaimana telah Mahkamah nyatakan pada pertimbangan hukum di atas, tidak lantas mengakibatkan penggunaan tenaga listrik tidak dapat dikenai pajak. Mahkamah menegaskan pendapatnya bahwa penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun yang diperoleh dari sumber lain, tetap dapat dikenai pajak atau dengan kata lain tetap dapat dijadikan sebagai objek pajak, namun pengenaan pajaknya harus diatur dalam undang- undang dengan nomenklatur atau istilah yang lebih tepat agar tidak menimbulkan kerancuan maupun kebingungan bagi masyarakat terutama subjek pajak dan wajib pajak. Sehingga terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa seharusnya tenaga listrik yang dihasilkan/dibangkitkan sendiri oleh pengguna tidak dikenai pajak, Mahkamah berpendapat sebaliknya, yaitu bahwa semua penggunaan tenaga listrik dapat dikenai pajak tanpa membedakan asal atau sumber pasokan tenaga listrik tersebut, apakah dibangkitkan sendiri oleh pengguna atau dibangkitkan oleh pihak selain pengguna.
[3.16] Menimbang bahwa selain itu terhadap dalil Pemohon mengenai Pasal 52 ayat (2) serta Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) UU PDRD yang menurut Pemohon seharusnya tenaga listrik yang dihasilkan sendiri oleh pengguna tidak dikenai pajak, Mahkamah berpendapat pemahaman ketentuan dimaksud tidak dapat dilepaskan dari Pasal 52 ayat (1) juncto Pasal 1 angka 28 sebagaimana telah dipertimbangkan sebelumnya. Bahkan keberadaan ketiga ketentuan tersebut tergantung pada ketentuan Pasal 1 angka 28 dan Pasal 52 ayat (1) UU PDRD terutama pada istilah “pajak penerangan jalan”. Dikarenakan ketentuan Pasal 52 ayat (2) serta Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) UU PDRD keberadaannya berkaitan dengan Pasal 1 angka 28 dan Pasal 52 ayat (1) UU PDRD sehingga Mahkamah juga harus menyatakan Pasal 52 ayat (2) serta Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) UU PDRD bertentangan dengan UUD 1945.
[3.17] Menimbang bahwa Pasal 1 angka 28, Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) UU PDRD adalah bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat. Posisi demikian menghilangkan landasan hukum bagi pengenaan pajak terhadap penggunaan listrik. Padahal sebagaimana telah diuraikan Mahkamah dalam pertimbangan hukum di atas, pengenaan pajak terhadap penggunaan listrik bukanlah hal yang melanggar UUD 1945.
Bahwa untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum dalam hal pengenaan pajak, Mahkamah memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk membentuk ketentuan baru sebagai dasar bagi pengenaan pajak terhadap penggunaan listrik, khususnya penerangan jalan, baik yang dihasilkan sendiri maupun dari sumber lain selain yang dihasilkan oleh pemerintah (PT PLN), dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak diucapkannya putusan ini. Artinya, dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak diucapkannya putusan ini UU PDRD masih berlaku sebagai dasar pengenaan PPJ.
[3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430