Info Judicial Review Putusan MK - Menyatakan Mengabulkan


Deprecated: explode(): Passing null to parameter #2 ($string) of type string is deprecated in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-info-judicial-review.phtml on line 61

Warning: Undefined array key 1 in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-info-judicial-review.phtml on line 64

Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-info-judicial-review.phtml on line 66

Warning: Undefined property: stdClass::$penutupan in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-info-judicial-review.phtml on line 91

Deprecated: nl2br(): Passing null to parameter #1 ($string) of type string is deprecated in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-info-judicial-review.phtml on line 91
INFO JUDICIAL REVIEW PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 59/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2023 TENTANG PENGEMBANGAN DAN PENGUATAN SEKTOR KEUANGAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA / 21-12-2023

Bahwa pada hari Kamis tanggal 21 Desember 2023, pukul 14.00 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (selanjutnya disebut UU P2SK) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 59/PUU-XXI/2023. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 59/PUU-XXI/2023, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

[3.16.1] Bahwa proses penegakan hukum di Indonesia dalam hal penanganan tindak pidana umum, termasuk di dalamnya tindak pidana tertentu, merupakan suatu mekanisme yang dikenal dengan konsep sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system). Adapun yang dimaksudkan dengan sistem peradilan pidana terpadu adalah sistem yang menempatkan proses penyelesaian perkara pidana sebagai satu rangkaian kesatuan sejak di tingkat penyidikan, penuntutan, pemutusan perkara hingga pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap pada lembaga pemasyarakatan. Berkaitan dengan sistem peradilan pidana terpadu di atas, tidak dapat dilepaskan dari keberadaan KUHAP, khususnya berkenaan dengan fungsi penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa “Penyidik adalah: a. pejabat polisi negara Republik Indonesia; b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang”. Oleh karena itu, Pasal a quo menjadi pijakan utama dalam menegaskan bahwa Kepolisian dalam hal ini Polri merupakan pengemban fungsi penyidikan yang utama. Penegasan mengenai fungsi utama Polri dalam penyidikan juga dinyatakan dalam Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU 2/2022) yang menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas penegakan hukum pidana, Polri bertugas untuk “melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan perundang-undangan lainnya”. Dengan demikian, peran dan tugas Polri dalam penegakan hukum pidana dengan melakukan penyelidikan dan penyidikan untuk semua tindak pidana adalah menjadi kewenangan utama dari Kepolisian. Terlebih, kewenangan Kepolisian dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan merupakan bagian yang fundamental dalam proses pengejawantahan amanat Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum”.
[3.16.2] Bahwa lebih lanjut OJK adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UU 21/2011. Pembentukan OJK sebagai lembaga yang independen merupakan perintah dari Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang yang menyatakan, “Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang”. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU 21/2011, OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan. Selanjutnya, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XII/2014 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 4 Agustus 2015, Mahkamah menegaskan “Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini”. Pembentukan OJK bertujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, akuntabel dan mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, serta mampu melindungi kepentingan konsumen maupun masyarakat. Bahwa berkenaan dengan kewenangan penyidikan OJK, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XVI/2018 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 18 Desember 2019 telah mempertimbangkan yang pada pokoknya sebagai berikut:
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan sebagaimana dikemukakan dalam Paragraf [3.13] di atas, sebelum lebih jauh menilai konstitusionalitas kewenangan penyidikan yang dimiliki oleh OJK penting bagi Mahkamah mempertimbangkan apakah kewenangan penyidikan yang dimiliki OJK dapat dibenarkan ataukah sebaliknya. Bahwa kewenangan OJK yang diberikan undang-undang tidak dapat dilepaskan dari politik hukum untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil. Oleh karenanya diperlukan piranti hukum yang memberikan kewenangan tertentu sehingga kegiatan dalam sektor jasa keuangan mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, serta mampu pula melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Berkenaan dengan dasar pemikiran tersebut, menurut Mahkamah, kewenangan penyidikan yang dimiliki OJK adalah merupakan bagian dari upaya mewujudkan tujuan perekonomian nasional. Artinya, penyidikan yang diberikan kepada OJK tidak dapat dilepaskan dari pencapaian tujuan dimaksud. Bahwa namun demikian apabila kewenangan penyidikan yang diberikan kepada OJK dilaksanakan tanpa mempersyaratkan koordinasi dengan penyidik Kepolisian, apakah berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan sehingga bertentangan dengan prinsip integrated criminal justice system, Mahkamah akan mempertimbangkan lebih lanjut.
[3.15] Menimbang bahwa apabila diletakkan dalam perspektif kewenangan penyidikan yang dimiliki oleh OJK sebagai salah satu lembaga lain yang memiliki wewenang penyidikan selain penyidikan yang dimiliki oleh lembaga Kepolisian, kewenangan demikian dapat dibenarkan. Namun, jikalau kewenangan penyidikan yang dimiliki oleh OJK dilaksanakan tanpa koordinasi dengan penyidik Kepolisian sebagaimana dipersyaratkan terhadap penyidik lembaga lain selain Kepolisian berpotensi adanya kesewenang-wenangan dan tumpang-tindih dalam penegakan hukum pidana yang terpadu. Oleh karena itu, untuk menghindari potensi tersebut, kewajiban membangun koordinasi dengan penyidik Kepolisian juga merupakan kewajiban yang melekat pada penyidik OJK. Dasar pertimbangan demikian tidak terlepas dari semangat membangun sistem penegakan hukum yang terintegrasi sehingga tumpang-tindih kewenangan yang dapat berdampak adanya tindakan kesewenang-wenangan oleh aparat penegak hukum maupun pejabat penyidik di masing-masing lembaga dalam proses penegakan hukum dapat dihindari.
[3.16] Menimbang bahwa terhadap argumentasi para Pemohon bahwa kewenangan OJK dalam hal penyidikan dapat mengaburkan Integrated Criminal Justice System karena UU 21/2011 tidak mengatur jenis tindak Pidana dalam sektor Jasa Keuangan perbankan ataupun non-perbankan yang menjadi wewenang Penyidik lembaga OJK, Mahkamah berpendapat, tanpa dikaitkan dengan jenis tindak pidananya, kewenangan penyidikan OJK dapat dibenarkan dan adalah konstitusional sepanjang pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik Kepolisian. Dengan kata lain, terlepas dari jenis-jenis tindak pidana dalam sektor jasa keuangan yang sangat beragam, dengan mengingat tujuan dibentuknya OJK, Mahkamah memandang kewenangan penyidikan OJK adalah konstitusional. Artinya, telah ternyata bahwa kewenangan OJK bukanlah semata-mata dalam konteks penegakan hukum administratif semata tetapi dalam batas-batas dan syarat-syarat tertentu juga mencakup kewenangan penegakan hukum yang bersifat pro justitia, sebagaimana telah dipertimbangkan di atas. Tegasnya, demi kepastian hukum, koordinasi dengan penyidik kepolisian sebagaimana dimaksudkan di atas dilakukan sejak diterbitkannya surat pemberitahuan dimulainya penyidikan, pelaksanaan penyidikan, sampai dengan selesainya pemberkasan sebelum pelimpahan berkas perkara kepada jaksa penuntut umum.
Selanjutnya, Mahkamah juga telah mempertimbangkan kembali tentang syarat pembatasan kewenangan penyidikan OJK dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIX/2021 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 29 September 2021 yang pada pokoknya sebagai berikut:
[3. 11]…….
Berdasarkan pertimbangan Mahkamah sebagaimana telah dikutip di atas, kewenangan OJK dalam melakukan proses penyidikan harus berkoordinasi dengan penyidik Kepolisian sejak diterbitkannya surat pemberitahuan dimulainya penyidikan, pelaksanaan penyidikan, sampai dengan selesainya pemberkasan sebelum pelimpahan berkas perkara kepada jaksa penuntut umum. Hal demikian selain untuk menghindari potensi timbulnya kesewenang-wenangan dan tumpangtindih dalam penegakan hukum pidana yang terpadu, yang lebih penting menurut Mahkamah adalah terwujudnya perlindungan dan jaminan atas hak-hak yang dimiliki oleh setiap warga negara, sekalipun ia dalam posisi sebagai tersangka.
Berdasarkan kutipan pertimbangan hukum kedua Putusan di atas, Mahkamah telah menegaskan bahwa kewenangan penyidikan OJK dapat dibenarkan dan adalah konstitusional sepanjang pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik Polri. Namun demikian, oleh karena kedudukan OJK secara kelembagaan dibentuk berdasarkan undang-undang yang kewenangannya tidak secara langsung dinyatakan dalam UUD 1945 maka sesungguhnya OJK merupakan lembaga negara yang fungsinya sebagai lembaga penunjang (auxiliary agencies) terhadap organ negara lainnya, khususnya yang memiliki kewenangan sejenis atau saling mempunyai relevansi. Dengan demikian, berkenaan dengan kewenangan OJK dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana yang dalam hal ini penyidikan pada sektor jasa keuangan yang merupakan bagian dari jenis tindak pidana umum, OJK bukan merupakan penyidik utama, namun sebagai penyidik penunjang (supporting system) dari penyidik utama yang kewenangannya berada pada Kepolisian.
[3.16.3] Bahwa UU P2SK merupakan upaya pembentuk undang-undang yang bertujuan untuk melakukan pengaturan baru dan penyesuaian berbagai peraturan di sektor keuangan dengan mengubah undang-undang di sektor keuangan dengan menggunakan metode omnibus guna menyelaraskan berbagai pengaturan yang terdapat dalam berbagai undang-undang ke dalam 1 (satu) undang-undang secara komprehensif. Berdasarkan Penjelasan UU P2SK , salah satu tujuan disusunnya UU P2SK antara lain yaitu mempertegas mandat OJK untuk melakukan pengaturan dan pengawasan terintegrasi dan konglomerasi keuangan. Dalam hal ini, penguatan mandat atas pemberian kewenangan penyidikan dalam tindak pidana pada sektor jasa keuangan secara absolut kepada OJK, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 angka 21 UU 4/2023 yang memuat perubahan dalam Pasal 49 ayat (5) UU 21/2011. Namun demikian, penguatan mandat atas kewenangan penyidikan terhadap tindak pidana pada sektor jasa keuangan kepada OJK secara tunggal tersebut telah mengakibatkan tidak berwenangnya lagi penyidik Polri untuk melakukan penyidikan atas tindak pidana pada sektor jasa keuangan.
Lebih lanjut apabila dicermati, berkaitan dengan kewenangan penyidikan oleh OJK, UU 4/2023 telah mendelegasikan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2023 tentang Penyidikan Tindak Pidana Di Sektor Jasa Keuangan (PP 5/2023) yang secara a contrario memiliki pengaturan yang berbeda mengenai ketentuan penyidikan sebagaimana diatur dalam UU 4/2023. Dalam Pasal 2 ayat (1) PP 5/2023 dinyatakan,
“Penyidik Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan terdiri atas:
a. pejabat penyidik pada Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
b. Penyidik Otoritas Jasa Keuangan.”


Kemudian Pasal 2 ayat (3) PP 5/2023 menyatakan,

“Pejabat penyidik pada Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berwenang dan bertanggung jawab melakukan Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.”

Dengan demikian, tanpa bermaksud menilai legalitas PP 5/2023 dimaksud, pemberian payung hukum terhadap penyidikan dalam sektor jasa keuangan kepada penyidik Polri melalui PP 5/2023 yang mengatur adanya mekanisme koordinasi penyidik OJK dengan penyidik Polri jelas menimbulkan ketidakpastian hukum, karena adanya perbedaan kewenangan penyidikan terhadap tindak pidana pada sektor jasa keuangan antara ketentuan yang terdapat dalam PP 5/2023 dengan UU P2SK. Terlebih jika hal tersebut dikaitkan dengan kewenangan penyidikan oleh penyidik Polri dalam tindak pidana umum yang terdapat dalam KUHAP yang merupakan implementasi dari kewenangan Kepolisian dalam bidang penegakan hukum, sebagaimana amanat dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945.
Bahwa berkenaan dengan hal di atas, salah satu asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik menurut Pasal 5 huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah ..“kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan”, artinya dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, jika hal ini dikaitkan dengan keterangan Presiden dalam persidangan Mahkamah pada tanggal 28 Agustus 2023, yang disampaikan oleh Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang pada pokoknya menyatakan bahwa PP 5/2023 a quo disusun sebagai “pintu darurat” bagi perkara di Bareskrim yang tertunda penanganannya akibat keberlakuan pasal yang dimohonkan pengujian [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 59/PUU-XXI/2023, Senin, 28 Agustus 2023, hlm. 28 dan Keterangan Tambahan Presiden Tanggal 25 September 2023, hlm. 4]. Sehingga dengan adanya fakta hukum a quo semakin menegaskan pertentangan antara norma yang mengatur tentang kewenangan penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 angka 21 UU 4/2023 yang memuat perubahan Pasal 49 ayat (5) UU 21/2011 dengan yang ada dalam PP 5/2023. Dengan demikian, fakta hukum adanya pertentangan antara norma-norma tersebut di atas, sudah selayaknya Mahkamah Konstitusi menegaskan dengan memberikan pemaknaan terhadap norma yang terdapat dalam Pasal 8 angka 21 UU 4/2023 yang memuat perubahan Pasal 49 ayat (5) UU 21/2011.
Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah kewenangan penyidikan OJK pada tindak pidana di sektor jasa keuangan yang diatur dalam Pasal 8 angka 21 UU P2SK yang memuat perubahan Pasal 49 ayat (5) UU 21/2011 telah memberikan batasan terhadap keberadaan penyidik Polri, sehingga hal ini dapat menimbulkan pengingkaran terhadap kewenangan Kepolisian selaku lembaga penegak hukum yang berfungsi sebagai penyidik utama sekaligus tidak sejalan dengan substansi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XVI/2018 yang pada pokoknya memberikan kewenangan penyidikan kepada OJK sepanjang berkoordinasi dengan penyidik Polri. Selain itu, hal tersebut berpotensi bahkan berakibat menghilangkan kewenangan penyidikan oleh Kepolisian dalam tindak pidana umum dan/atau tindak pidana tertentu termasuk tindak pidana pada sektor jasa keuangan.
[3.17] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, telah ternyata ketentuan Pasal 8 angka 21 UU 4/2023 yang memuat perubahan atas frasa “hanya dapat dilakukan oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan” dalam Pasal 49 ayat (5) UU 21/2011 bertentangan dengan prinsip negara hukum dan menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 30 ayat (4) UUD 1945. Oleh karena itu, Mahkamah akan menyatakan frasa “hanya dapat dilakukan oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan” dalam Pasal 8 angka 21 UU P2SK yang memuat perubahan atas Pasal 49 ayat (5) UU 21/2011 adalah inkonstitusional secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “dapat dilakukan oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan”. Oleh karena itu, disebabkan dalil permohonan para Pemohon berkaitan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 8 angka 21 UU P2SK yang memuat perubahan atas Pasal 49 ayat (5) UU 21/2011 telah dapat dibuktikan meskipun tidak sebagaimana yang dimohonkan oleh para Pemohon seperti tertuang dalam Petitum permohonan. Dengan demikian, permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.18] Menimbang bahwa dengan telah dinyatakannya frasa “hanya dapat dilakukan oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan” sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan Pasal 8 angka 21 UU 4/2023 yang memuat perubahan dalam Pasal 49 ayat (5) UU 21/2011 inkonstitusional secara bersyarat maka terhadap pasal-pasal lain yang berkaitan dengan kewenangan penyidikan dalam tindak pidana sektor jasa keuangan yang diatur dalam UU 4/2023, pemberlakuannya menyesuaikan dengan putusan a quo.
[3.19] Menimbang bahwa berkenaan dalil para Pemohon mengenai isu konstitusionalitas dalam Pasal 8 angka 21 UU 4/2023 yang memuat perubahan frasa “pegawai tertentu” dalam Pasal 49 ayat (1) huruf c UU 21/2011, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.19.1] Bahwa penyidik dalam proses penegakan hukum memilki peran sentral dan strategis. Dalam Pasal 6 ayat (1) KUHAP menyatakan “Penyidik adalah; a. pejabat polisi Negara Republik Indonesia; b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang”. Hal ini ditegaskan lebih lanjut dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP yang menyatakan, “Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a”. Menurut Mahkamah kewenangan untuk melakukan penyidikan tidak hanya dimiliki oleh lembaga penegak hukum saja tetapi juga dibuka kemungkinan dilakukan oleh lembaga lain di luar lembaga penegak hukum sepanjang tidak bertentangan dengan kewenangan lembaga penegak hukum. Bahwa dalam konteks demikian, setiap lembaga baik itu Kepolisian dan lembaga lain yang mempunyai kewenangan penyidikan, masing-masing memiliki tugas dan wewenang yang berbeda sesuai dengan bidang kekhususan yang diberikan oleh undang-undang. Artinya, sekalipun undang-undang dapat memberikan kewenangan penyidikan kepada lembaga negara lain, kewenangan dimaksud tidak boleh mengabaikan penerapan sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system). Prinsip demikian dilakukan dengan kewajiban selalu membangun koordinasi antara penyidik yang bukan penegak hukum dari lembaga negara yang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan sesuai dengan tugas dan wewenang masing-masing dengan penyidik Polri.
[3.19.2] Bahwa berdasarkan Pasal 27 ayat (1) UU 21/2011, pegawai OJK diangkat dan diberhentikan oleh Dewan Komisioner. Sekalipun pegawai OJK bukan pegawai negeri sipil namun pengaturan dalam Pasal 27 ayat (2) UU 21/2011 memberikan payung hukum untuk memperkerjakan pegawai negeri sipil. Pegawai negeri yang bekerja pada OJK tersebut dalam rangka menunjang kewenangan OJK di bidang pemeriksaan, penyidikan, atau tugas-tugas yang bersifat khusus.
Bahwa kewenangan OJK dalam melakukan penyidikan penting dilakukan dalam mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil. Dalam rangka memperkuat kewenangan dan kompetensi penyidik OJK untuk melakukan penyelesaian tindak pidana di sektor jasa keuangan yang memiliki kompleksitas dan karakteristik tersendiri dikaitkan dengan pelaksanaan fungsi microprudential perbankan yang dilakukan, OJK telah memiliki beberapa kantor perwakilan yang ditempatkan di hampir seluruh wilayah di Indonesia. Berdasarkan fakta hukum yang terungkap dalam persidangan, terdapat 16 penyidik OJK yang terdiri dari 11 penyidik penugasan dari Polri dan 5 penyidik penugasan dari Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPKP) [vide Keterangan Saksi Pihak Terkait OJK Jus Marfinnoor]. Dengan melihat kondisi faktual penanganan penyidikan saat ini, adanya keterbatasan kemampuan untuk melakukan penyidikan hanya sampai tingkat provinsi dan keterbatasan jumlah penyidik maka OJK masih harus tetap bersinergi dengan Kepolisian yang memiliki jumlah penyidik dan infrastruktur yang lebih memadai dan dapat menjangkau seluruh provinsi, kabupaten, dan desa di seluruh Indonesia.
Sementara itu, terhadap kekhawatiran para Pemohon mengenai adanya penambahan “pegawai tertentu” yang dianggap menimbulkan persoalan hukum dalam praktik penegakan hukum pidana, menurut Mahkamah, kekhawatiran demikian adalah berlebihan karena dalam memenuhi tujuan penegakan hukum tindak pidana di sektor jasa keuangan yang efektif dan optimal dalam melindungi masyarakat/konsumen sektor jasa keuangan serta perkembangan industri jasa keuangan yang semakin kompleks, OJK dapat meningkatkan profesionalitas pegawainya dengan memberikan pengetahuan/kompetensi khusus untuk lebih memahami teknik-teknik penyidikan/investigasi khusus di sektor jasa keuangan. Dengan demikian, menurut Mahkamah, pemberian kewenangan penyidikan kepada penyidik pada instansi lain yang memperoleh kewenangan untuk melakukan penyidikan berdasarkan suatu undang-undang secara khusus dalam pelaksanaan tugasnya sepanjang tetap berkoordinasi dengan Penyidik Polri adalah hal yang dapat dibenarkan.
[3.20] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, telah ternyata ketentuan Pasal 8 angka 21 UU P2SK yang memuat perubahan atas frasa “pegawai tertentu” dalam Pasal 49 ayat (1) huruf c UU 21/2011 tidak bertentangan dengan prinsip negara hukum dan tidak menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon. Oleh karena itu, dalil permohonan para Pemohon a quo adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.21] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berkesimpulan terhadap permohonan para Pemohon sepanjang pengujian norma Pasal 8 angka 21 UU P2SK yang memuat perubahan atas frasa “hanya dapat dilakukan oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan“ dalam Pasal 49 ayat (5) UU 21/2011 adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian, sedangkan permohonan para Pemohon sepanjang pengujian norma Pasal 8 angka 21 UU P2SK yang memuat perubahan frasa “pegawai tertentu” dalam Pasal 49 ayat (1) huruf c UU 21/2011 adalah tidak beralasan menurut hukum.