Bahwa pada hari Selasa tanggal 16 Januari 2024, pukul 18.38 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (selanjutnya disebut UU 7/2021) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 67/PUU-XXI/2023. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 67/PUU-XXI/2023, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh jajaran di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU 36/2008) sebagaimana dimuat dalam Pasal 3 angka 1 UU 7/2021 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.13]. Menimbang bahwa sebelum menjawab isu konstitusionalitas Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf a UU Pajak Penghasilan sebagaimana dimuat dalam Pasal 3 angka 1 UU 7/2021 yang dipersoalkan oleh Pemohon, Mahkamah terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
[3.13.1] Bahwa dengan mendasarkan pada Pasal 23A UUD 1945, pada pokoknya pajak dan pungutan lain merupakan penerimaan negara yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undangundang. Hal ini sejalan dengan prinsip no taxation without representation. Artinya, pengaturan terhadap pajak dan pungutan lain harus dengan undangundang sebagai wujud dari prinsip kedaulatan rakyat. Dalam konteks ini, peran serta rakyat dalam menentukan kebijakan pajak dan pungutan lain untuk keperluan negara tidak secara langsung (indirect participation) akan tetapi melalui wakil-wakil rakyat di DPR, yang telah dipilih melalui pemilihan umum yang demokratis. Artinya, berdasarkan prinsip “no taxation without representation” segala pungutan yang akan dikenakan pajak oleh negara, dibolehkan sepanjang hal tersebut telah disetujui oleh pembentuk undang-undang.
Dalam kaitan ini, pajak merupakan salah satu unsur penting dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (selanjutnya disebut APBN) untuk kepentingan pembangunan negara. Sampai saat ini pun pajak masih menjadi sektor andalan dalam pendapatan nasional. Pajak juga terkait dengan paradigma penganggaran dalam APBN di mana kepatuhan masyarakat untuk membayar pajak tentunya harus diimbangi dengan anggaran untuk kepentingan masyarakat. Artinya, proses alokasi anggaran dalam berbagai program pembangunan sebagaimana yang tertuang dalam pos alokasi dan belanja pembangunan dalam APBN adalah bentuk komitmen pemerintah untuk memberikan kompensasi atas pembayaran pajak dari masyarakat [vide Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945 Buku VII hlm. 1213].
[3.13.2] Bahwa pengaturan mengenai pajak penghasilan telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, yang dalam perkembangannya sebagai upaya meningkatkan penerimaan negara, mewujudkan sistem perpajakan yang netral, sederhana, stabil, lebih memberikan keadilan, dan lebih dapat menciptakan kepastian hukum serta transparansi, pengaturan tersebut telah beberapa kali mengalami perubahan. Perubahan keempat dilakukan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 yang telah mengatur mengenai kenikmatan dalam bentuk natura. Dalam perkembangannya pengaturan mengenai hal tersebut juga mengalami berbagai perubahan mulai dari natura ditentukan bukan merupakan objek pajak dan tidak dimasukkan dalam pengertian penghasilan bagi penerima hingga diberikannya insentif di bidang perpajakan yakni berupa perlakuan perpajakan atas imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan tertentu untuk dapat lebih menarik orang bekerja di daerah terpencil [vide Pasal 9 UU 36/2008].
[3.13.3] Bahwa sebelum berlaku UU 36/2008 tersebut, dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan (UU17/2000), juga telah ditegaskan terkait dengan pengertian imbalan dalam bentuk lainnya termasuk imbalan dalam bentuk natura yang pada hakikatnya merupakan penghasilan. Di mana ditegaskan penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang diterima, bukan dalam bentuk uang. Meskipun begitu, dalam UU tersebut juga ada penegasan terkait dengan penggantian atau imbalan dalam bentuk natura seperti beras, gula dan sebagainya, dan imbalan dalam bentuk kenikmatan seperti penggunaan mobil, rumah, fasilitas pengobatan dan lain sebagainya yang bukan merupakan Objek Pajak [vide Penjelasan Pasal 4 UU 17/2000].
[3.13.4] Bahwa sebelum berlaku UU 7/2021, natura dan/atau kenikmatan yang diberikan perusahaan kepada pegawai/karyawan selama ini bersifat bukan objek pajak (non-taxable) dan tidak dapat dikurangkan/dibiayakan (non-deductible) oleh perusahaan di mana hal tersebut dalam perkembangannya telah menciptakan adanya celah hukum (loophole) bagi penyalahgunaan perhitungan PPh 21 atas pegawai. Dalam praktik, imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dijadikan sebagai upaya untuk menekan pajak penghasilan pegawai, dengan cara memperbanyak pemberian imbalan natura dan/kenikmatan yang diberikan ke pegawai. Selain itu, secara faktual natura dan/atau kenikmatan yang selama ini non-taxable atau tidak dipajaki, ternyata lebih banyak dinikmati oleh high-level employee, di mana pegawai tersebut cenderung memiliki otoritas untuk mengatur agar imbalannya tidak seluruhnya dalam bentuk uang, tetapi dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dengan tujuan agar tidak dikenakan pajak, dan justru mengalihkan beban pajak pada perusahaan. Sedangkan bagi pegawai biasa, seluruh penghasilan yang diterima merupakan objek pajak penghasilan dan dipotong PPh 21 oleh perusahaan. Adanya fakta tersebut menggambarkan pengaturan terkait natura tersebut telah menimbulkan ketidakadilan bagi wajib pajak khususnya pegawai atau karyawan biasa. [vide Keterangan Presiden hlm.8-10]
[3.13.5] Bahwa dengan berlakunya UU 7/2021 terdapat perubahan paradigma pemajakan terhadap natura dan/atau kenikmatan yang berdampak pada komponen pengurang penghasilan bruto bagi pemberi natura dan/atau kenikmatan. Hal ini menunjukkan bahwa pembentukan UU 7/2021 berprinsip untuk menggeser titik pemajakan atas natura dan/atau kenikmatan dari pegawai selaku penerima penghasilan kepada pemberi kerja sehingga natura dan/atau kenikmatan dapat dikategorikan sebagai objek pajak penghasilan bagi penerima dan merupakan biaya pengurangan penghasilan bruto bagi pemberi kerja. Selain itu, pengaturan pengelompokan natura dan/atau kenikmatan sebagai objek pajak penghasilan lebih ditujukan kepada pekerja eksekutif dan bertujuan untuk memberikan keseimbangan dalam pembagian beban pajak di antara wajib pajak dengan adanya pengaturan mengenai natura dan/atau kenikmatan dalam jenis dan batasan tertentu yang dikecualikan dari objek pajak penghasilan [vide keterangan DPR hlm. 16-18].
[3.13.6] Bahwa meskipun dalam UU 7/2021 terkait imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan merupakan penghasilan dan menjadi objek pajak, namun tidak seluruh imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan menjadi objek pajak. Terkait dengan jenis natura dan/atau kenikmatan yang tidak dikenakan pajak dan ambang batas plafon nilai yang akan dibebaskan dari pengenaan pajak natura dan/atau kenikmatan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66 Tahun 2023 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Penggantian Atau Imbalan Sehubungan Dengan Pekerjaan Atau Jasa Yang Diterima Atau Diperoleh Dalam Bentuk Natura dan/atau Kenikmatan (Permenkeu 66/2023). Tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas Permenkeu tersebut, berkenaan dengan fasilitas pelayanan kesehatan dan pengobatan dalam penanganan kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja, kedaruratan, dan pengobatan lanjutannya ditentukan sebagai kenikmatan yang dibebaskan dari pengenaan pajak.
[3.14] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil Pemohon berkenaan dengan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf a UU Pajak Penghasilan sebagaimana dimuat dalam Pasal 3 angka 1 UU 7/2021 yang menurut Pemohon telah menimbulkan ketidakadilan karena mengelompokkan fasilitas pelayanan kesehatan dan berobat yang diberikan oleh pemberi kerja sebagai objek pajak penghasilan, sebagai berikut:
[3.14.1] Bahwa berkenaan dalil Pemohon a quo, menurut Mahkamah penting untuk dipahami terlebih dahulu materi muatan Pasal 4 ayat (1) huruf a UU Pajak Penghasilan sebagaimana dimuat dalam Pasal 3 angka 1 UU 7/2021 dan Penjelasannya yang selengkapnya menyatakan:
Pasal 4
(1) Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk:
a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya termasuk natura dan/atau kenikmatan, kecuali ditentukan lain dalam UndangUndang ini;
Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf a:
Huruf a
Semua pembayaran atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan, seperti upah, gaji, premi asuransi jiwa, dan asuransi kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja, atau imbalan dalam bentuk lainnya adalah objek pajak. Pengertian imbalan dalam bentuk lainnya termasuk imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang pada hakikatnya merupakan penghasilan.
Selain itu termasuk dalam pengertian penghasilan meliputi gratifikasi yang merupakan pemberian yang wajar karena layanan dan manfaat yang diterima oleh pemberi gratifikasi sehubungan dengan pelaksanaan pekerjaan atau pemberian jasa.
Yang dimaksud dengan "imbalan dalam bentuk natura" adalah imbalan dalam bentuk barang selain uang, sedangkan "imbalan dalam bentuk kenikmatan" adalah imbalan dalam bentuk hak atas pemanfaatan suatu fasilitas dan/atau pelayanan.
Norma Pasal 4 ayat (1) huruf a UU Pajak Penghasilan sebagaimana dimuat dalam Pasal 3 angka 1 UU 7/2021 pada prinsipnya menyetarakan perlakuan pengenaan pajak atas penghasilan berupa penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan dalam bentuk uang maupun dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan. Norma Pasal a quo harus dipahami secara komprehensif dalam kaitan dengan norma lainnya. Meskipun norma Pasal 4 ayat (1) huruf a menentukan imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan merupakan penghasilan dan menjadi objek pajak, namun tidak seluruh imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan menjadi objek pajak sebagaimana didalilkan Pemohon. Dalam kaitan ini, Pasal 4 ayat (3) huruf d angka 5 UU Pajak Penghasilan sebagaimana dimuat dalam Pasal 3 angka 1 UU 7/2021 telah menentukan pula bahwa natura dan/atau kenikmatan dengan jenis dan/atau batasan tertentu dikecualikan sebagai objek pajak. Hal tersebut termaktub dalam norma Pasal 4 ayat (3) huruf d UU Pajak Penghasilan sebagaimana dimuat dalam Pasal 3 angka 1 UU 7/2021 yang pada pokoknya menentukan objek pajak yang dikecualikan, termasuk juga penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan, meliputi:
1. makanan, bahan makanan, bahan minuman, dan/atau minuman bagi seluruh pegawai;
2. natura dan/atau kenikmatan yang disediakan di daerah tertentu;
3. natura dan/atau kenikmatan yang harus disediakan oleh pemberi kerja dalam pelaksanaan pekerjaan;
4. natura dan/atau kenikmatan yang bersumber atau dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa; atau
5. natura dan/atau kenikmatan dengan jenis dan/atau batasan tertentu.
Dengan demikian, permohonan Pemohon yang meminta pengecualian fasilitas kesehatan dan pengobatan tersebut telah terakomodasi dalam ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf d angka 5 UU Pajak Penghasilan sebagaimana dimuat dalam Pasal 3 angka 1 UU 7/2021. Dengan adanya pengaturan pengecualian objek natura dan/atau kenikmatan yang dapat dikenakan pajak pada pokoknya memiliki tujuan agar pengenaan pajak atas penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lebih adil dan tepat sasaran.
[3.14.2] Bahwa Pemohon mendalilkan penarikan pajak natura merupakan upaya Pemerintah untuk menertibkan perusahaan yang berusaha menghindari pajak dengan memberikan fasilitas kepada karyawannya. Artinya, pemberian fasilitas kepada karyawan berupa kenikmatan (natura) bisa menambah nilai ekonomi perusahaan. Menurut Pemohon, Pemerintah tidak semestinya berpandangan bahwa fasilitas kesehatan sebagai natura dan/atau kenikmatan menambah nilai ekonomi perusahaan atau alasan lainnya, oleh karena dasar apapun pengelompokan fasilitas kesehatan sebagai natura dan/atau kenikmatan sebagai objek pajak tidak dapat dibenarkan dan tidak beralasan. Berkenaan dengan dalil Pemohon tersebut, menurut Mahkamah, pembentukan UU 7/2021 merupakan usaha Pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan percepatan pemulihan perekonomian dengan tetap mengedepankan prinsip keadilan dan kepastian hukum. Perubahan ini juga dilakukan sebagai bentuk optimalisasi pendapatan negara yang berdampak pada perekonomian, kesejahteraan, dan keberlangsungan hidup masyarakat Indonesia. Hal utama yang menjadi perhatian Mahkamah terkait isu konstitusionalitas norma Pasal a quo adalah terkait ada tidaknya ketidakadilan atau ketidaksetaraan yang timbul sebagai akibat dari pengaturan natura dan/atau kenikmatan tersebut. Dengan melihat adanya fakta bahwa natura dan/atau kenikmatan yang tidak dikecualikan yang justru diberikan kepada pegawai pada level manajemen tinggi namun dalam pelaksanaannya tidak dianggap sebagai objek pajak sehingga tidak dapat dipungut pajak penghasilan, sedangkan pada kenyataannya justru natura dan/atau kenikmatan tersebut dapat menambah kesejahteraan bagi penerimanya, in casu para pegawai pada level manajemen tinggi. Hal tersebut tentunya akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para pekerja biasa yang bukan termasuk level manajemen tinggi yang pada akhirnya justru akan menyebabkan terlanggarnya Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Menurut Mahkamah, keadilan bukanlah selalu berarti memperlakukan sama terhadap setiap orang, keadilan juga dapat berarti memperlakukan sama terhadap hal yang memang sama dan memperlakukan berbeda terhadap hal-hal yang memang berbeda. Sehingga, justru menjadi tidak adil apabila terhadap hal-hal yang berbeda diperlakukan sama, in casu antara para pegawai level manajemen tinggi dan para pegawai biasa.
[3.14.3] Bahwa terkait dengan pertimbangan hukum di atas dan tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas Permenkeu 66/2023 yang mengatur lebih lanjut UU 7/2021 telah ditentukan bahwa atas natura dan/atau kenikmatan dengan jenis dan/atau batasan tertentu yang dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan diperinci jenis dan batasannya, antara lain kenikmatan berupa fasilitas kesehatan dan pengobatan dari pemberi kerja sepanjang diterima atau diperoleh pegawai dan dalam rangka penanganan kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja, kedaruratan penyelamatan jiwa, atau perawatan dan pengobatan lanjutan sebagai akibat dari kecelakaan kerja dan/atau penyakit akibat kerja, dikecualikan dari objek PPh (non-taxable). Hal ini sekaligus untuk menjawab perihal adanya kekhawatiran Pemohon, bahwa fasilitas pelayanan kesehatan dan biaya berobat yang diberikan oleh pemberi kerja sebagai objek pajak penghasilan adalah tidak tepat dikarenakan fasilitas pelayanan kesehatan tidaklah menambah nilai ekonomi wajib pajak. Artinya, kekhawatiran Pemohon mengenai tidak adanya pengecualian pengaturan objek PPh telah terjawab. Termasuk dalam hal ini adalah adanya kekhawatiran Pemohon yang berkaitan dengan keinginan agar pegawai atau karyawan tidak dibebankan PPh terhadap fasilitas kesehatan dan biaya berobat yang seharusnya hal tersebut dibebankan kepada pemberi kerja atau pengusaha. Dengan demikian, dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf a UU Pajak Penghasilan sebagaimana dimuat dalam Pasal 3 angka 1 UU 7/2021 telah ternyata tidak menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon. Dengan demikian, dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.16] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430