Bahwa pada hari Selasa tanggal 16 Januari 2024, pukul 17.28 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (selanjutnya disebut UU Kejaksaan), Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU Tipikor), dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU KPK) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 28/PUU-XXI/2023. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 28/PUU-XXI/2023, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap Pasal 39 UU Tipikor, Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) serta Pasal 50 UU KPK, Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.15] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut
dalil permohonan Pemohon a quo, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan permohonan Pemohon berkaitan dengan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), sehingga terhadap norma a quo dapat dimohonkan kembali.
Pasal 60 UU MK menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.
Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda.
Bahwa setelah Mahkamah mencermati secara saksama, telah ternyata ketentuan norma Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan, Pasal 39 UU Tipikor, Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) khusus frasa ‘atau Kejaksaan”, Pasal 50 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) khusus frasa “atau Kejaksaan” serta Pasal 50 ayat (4) khusus frasa “dan/atau Kejaksaan” UU KPK pernah diajukan pengujiannya dan telah diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-V/2007 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 27 Maret 2008 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-X/2012 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 23 Oktober 2012.
Bahwa dalam permohonan Perkara Nomor 28/PUU-V/2007, Pemohon mengajukan pengujian terhadap ketentuan norma Pasal 30 UU Kejaksaan dengan menggunakan dasar pengujian Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 dengan alasan keberadaan pasal a quo telah memberikan “kewenangan yang berlebihan” dan “kewenangan tanpa kontrol” kepada Kejaksaan sehingga menimbulkan kerancuan hukum dan ketidakpastian hukum. Sedangkan dalam permohonan Perkara Nomor 16/PUU-X/2012, Pemohon mengajukan pengujian terhadap Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan, Pasal 39 UU Tipikor, dan Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 50 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU KPK dengan menggunakan dasar pengujian Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dengan alasan bertentangan dengan asas negara hukum dan menimbulkan ketidakpastian hukum, karena ketentuan tersebut tumpang tindih antara institusi yang berwenang mengoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dengan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang-orang yang diadili pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer.
Bahwa sementara itu dalam permohonan a quo, Pemohon melakukan pengujian ketentuan norma Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan, Pasal 39 UU Tipikor, Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) khusus frasa ‘atau Kejaksaan”, Pasal 50 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) khusus frasa “atau Kejaksaan” serta Pasal 50 ayat (4) khusus frasa “dan/atau Kejaksaan” UU KPK dengan menggunakan dasar pengujian Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan alasan pemberian kewenangan untuk melakukan penyidikan kepada Jaksa/Kejaksaan telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan keadilan bagi pencari keadilan, selain itu kewenangan Jaksa/Kejaksaan sebagai penyidik juga telah menghilangkan fungsi checks and balances dalam proses penyidikan hingga menimbulkan kesewenang-wenangan dalam hal ini tersangka/terdakwa dalam kasus tindak pidana korupsi.
Berdasarkan uraian di atas, maka terdapat adanya perbedaan antara alasan-alasan permohonan dalam Perkara Nomor 28/PUU-V/2007 dan Perkara Nomor 16/PUU-X/2012 dengan perkara a quo. Dengan demikian, terlepas secara substansi permohonan a quo beralasan menurut hukum atau tidak maka secara formal permohonan a quo, berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021 dapat diajukan kembali;
[3.16] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon a quo berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021 dapat diajukan kembali, maka Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon lebih lanjut;
[3.17] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama permohonan Pemohon, Keterangan DPR, Keterangan Presiden, Keterangan Pihak Terkait Persatuan Jaksa Indonesia (PJI), Keterangan Pihak Terkait Kejaksaan RI, Keterangan Pihak Terkait Kepolisian RI, Keterangan Pihak Terkait Komisi Pemberantasan Korupsi, Keterangan Ahli Pemohon, Keterangan Ahli DPR, Keterangan Ahli Presiden, Keterangan Ahli Pihak Terkait PJI, Keterangan Pihak Terkait Kejaksaan RI, Keterangan Saksi Pemohon, bukti-bukti surat/tulisan yang diajukan oleh Pemohon, Pihak Terkait PJI dan Kejaksaan RI, serta kesimpulan Pemohon, Presiden, Pihak Terkait Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Pihak T erkait Kepolisian Republik Indonesia dan Pihak T erkait Komisi Pemberantasan Korupsi, sebagaimana dimuat dalam bagian Duduk Perkara, Mahkamah selanjutnya mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon;
[3.18] Menimbang bahwa norma yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon yaitu ketentuan norma Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan, Pasal 39 UU Tipikor, Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) khusus frasa ‘atau Kejaksaan”, Pasal 50 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) khusus frasa “atau Kejaksaan” serta Pasal 50 ayat (4) khusus frasa “dan/atau Kejaksaan” UU KPK yang berkaitan dengan kewenangan Kejaksaan untuk melakukan penyidikan dalam tindak pidana korupsi yang menurut Pemohon bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pemohon berpendapat norma a quo telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pencari keadilan dalam hal ini tersangka/terdakwa dalam kasus tindak pidana korupsi dan kewenangan jaksa sebagai penyidik telah menghilangkan checks and balances dalam proses penyidikan sehingga menimbulkan kesewenang-wenangan. Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.18.1] Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujiannya oleh Pemohon merupakan norma yang berkaitan dengan kewenangan penyidikan yang termasuk dalam ruang lingkup hukum formil (hukum acara pidana), di mana hal ini tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan lembaga-lembaga penegak hukum, khususnya Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK yang secara faktual diberikan kewenangan untuk melakukan penyidikan dalam tindak pidana khusus dan/atau tertentu. Oleh karena itu, apakah pemberian kewenangan penyidikan kepada lembaga penegak hukum dimaksud telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pencari keadilan dalam hal ini tersangka/terdakwa dalam kasus tindak pidana korupsi, telah menghilangkan fungsi checks and balances dalam proses penyidikan sehingga menimbulkan kesewenang-wenangan, maka terhadap hal tersebut tidak dapat dilepaskan dengan pendirian Mahkamah dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 28/PUU-V/2007, Sub-paragraf [3.13.1] sampai dengan Sub- paragraf [3.13.6], hlm. 96 sampai dengan hlm. 98, yang pada pokoknya antara lain, sebagai berikut:
[3.13.1] Norma undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo adalah norma undang-undang yang berkenaan dengan hukum acara pidana. Oleh karena itu, terdapat kaitan langsung dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana selaku ketentuan induk dari seluruh hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia. Berbeda dengan ketentuan tentang hukum acara pidana yang berlaku sebelumnya, yang termuat dalam HIR, dalam KUHAP telah dianut sistem penyelesaian pidana secara terpadu atau integrated criminal justice systems atau integrated criminal juctice process. Sebagai suatu sistem, proses penegakan hukum pidana, ditandai dengan adanya diferensiasi (pembedaan) wewenang di antara setiap komponen atau aparat penegak hukum, yaitu Polisi sebagai penyidik, Kejaksaan sebagai penuntut, dan Hakim sebagai aparat yang berwenang mengadili;
[3.13.2] Diferensiasi wewenang itu dimaksudkan agar setiap aparat penegak hukum memahami ruang lingkup serta batas-batas wewenangnya. Dengan demikian, diharapkan di satu sisi tidak terjadi pelaksanaan wewenang yang tumpang tindih, di sisi lain tidak akan ada suatu perkara yang tidak tertangani oleh semua aparat penegak hukum. Selain itu, diferensiasi fungsi demikian dimaksudkan untuk menciptakan mekanisme saling mengawasi secara horizontal di antara aparat penegak hukum, sehingga pelaksanaan wewenang secara terpadu dapat terlaksana dengan efektif dan serasi (harmonis). Mekanisme pengawasan horizontal tersebut bertujuan pula agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum, yang berpotensi melanggar hak asasi manusia seseorang (tersangka);
[3.13.3] Diferensiasi fungsi dalam hal ini juga mengandung pengertian pembagian peran (sharing of power) antara kewenangan penyidikan yang dilakukan oleh Polisi dan kewenangan penuntutan yang dilakukan oleh Kejaksaan. Diferensiasi yang demikian bersifat internal, yaitu pembedaan wewenang di antara aparat penegak hukum dalam ranah eksekutif;
[3.13.4] Sementara itu, dalam suatu sistem, walaupun setiap komponen diberikan wewenang tertentu yang berbeda dengan wewenang komponen lainnya, tetapi untuk mewujudkan tujuan sistem secara terpadu, setiap komponen harus melakukan koordinasi dengan komponen lainnya. Namun, karena alasan-alasan tertentu, tidak tertutup kemungkinan adanya pemberian wewenang khusus kepada komponen tertentu, sebagai pengecualian sehingga ada kemungkinan terjadinya pelaksanaan wewenang yang tumpang tindih antara aparat penegak hukum, apabila tidak terdapat koordinasi yang baik dan/atau ketentuan yang jelas dan tegas mengenai pengecualian tersebut;
[3.13.5] Dalam UUD 1945 kewenangan Polri diatur dalam Pasal 30 Ayat (4) yang berbunyi, “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat yang bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum”. Dari ketentuan Pasal 30 Ayat (4) UUD 1945 tidak terdapat ketentuan yang secara eksplisit menyatakan bahwa Polisi merupakan satu-satunya penyidik atau penyidik tunggal. Dalam Pasal 30 Ayat (5) UUD 1945 dinyatakan bahwa; “Susunan dan Kedudukan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia 98 Masyarakat Hukum MHI) di dalam menjalankan tugasnya, syarat-syarat keikutsertaan warga negara dalam usaha pertahanan dan keamanan negara, serta hal-hal yang terkait dengan pertahanan dan keamanan diatur dengan undang- undang”. Pengaturan lebih lanjut bagi Polri tertuang dalam Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2002, yang dalam Pasal 14 undang-undang a quo dinyatakan, “Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas: .. g. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya”; dan Pasal 16 Ayat (1) huruf a yang menyatakan, ”Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan”;
[3.13.6] Dengan demikian, kewenangan Polisi sebagai penyidik tunggal bukan lahir dari UUD 1945 tetapi dari undang-undang. Kata “sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya” memungkinkan alat penegak hukum lainnya, seperti Kejaksaan, diberi wewenang untuk melakukan penyidikan. Sementara itu, Pasal 24 Ayat (3) UUD 1945 menyatakan, “Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”. Undang- undang yang diturunkan dari amanat Pasal 24 Ayat (3) UUD 1945 itu antara lain adalah UU Kejaksaaan. Pasal 30 Ayat (1) huruf d UU Kejaksaan berbunyi, “Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang”;
[3.13.7] Perincian tentang diferensiasi fungsi (kewenangan) diserahkan kepada pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden) untuk mengaturnya lebih lanjut dengan undang-undang. Bahkan, sebelum adanya perubahan UUD 1945, diferensiasi fungsi dimaksud pada pokoknya telah diatur dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Meskipun demikian, terdapat pula undang-undang yang memberikan kewenangan khusus kepada lembaga- lembaga tertentu untuk melakukan fungsi-fungsi yang terkait dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24 Ayat (3) UUD 1945, antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan;
2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia;
3. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi;
4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan beberapa undang-undang lainnya.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, jika dikaitkan dengan sistem penyelesaian tindak pidana secara terpadu atau integrated criminal justice system yang dianut oleh KUHAP tidak dapat dipisahkan dengan adanya prinsip diferensiasi fungsional. Berkenaan dengan hal ini, prinsip tersebut memberikan penegasan berkaitan dengan pembagian tugas dan wewenang di antara jajaran aparat penegak hukum secara institusional. Dengan adanya pembedaan tersebut, diharapkan tidak terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaan tugas dan wewenang sehingga menciptakan mekanisme saling mengawasi antara aparat penegak hukum, serta tidak terjadi penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum, yang berpotensi melanggar hak asasi manusia. Namun demikian, berdasarkan pendirian Mahkamah dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-V/2007 tersebut, pemberian kewenangan melakukan penyidikan kepada lembaga penegak hukum lain, selain lembaga Kepolisian adalah dimungkinkan. Sepanjang pemberian kewenangan tersebut diatur secara jelas dan tegas, termasuk di dalamnya dilakukan secara terkoordinasi antar aparat penegak hukum sehingga tidak terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaan kewenangan. Lebih lanjut, berkaitan dengan pemberian kewenangan penyidikan kepada penegak hukum lain selain Kepolisian, secara eksplisit tidak diamanatkan oleh UUD 1945. Artinya, berkenaan dengan kewenangan penyidikan tidak dibatasi atau ditentukan hanya menjadi kewenangan tunggal Kepolisian. Oleh karena itu, sepanjang badan- badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang sebagaimana diamanatkan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945, termasuk dalam hal ini Kejaksaan sebagai salah satu institusi yang berkaitan dengan pelaku kekuasaan kehakiman dapat diberikan kewenangan penyidikan tindak pidana khusus dan/atau tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang [vide Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan].
[3.18.2] Bahwa di samping pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah juga berpendirian bahwa pemberian kewenangan Kejaksaan untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana khusus dan/atau tertentu yang dilakukan berdasarkan undang-undang merupakan kebijakan hukum pembentuk undang-undang sebagaimana ketika pembentuk undang-undang memberikan kewenangan kepada lembaga penegak hukum lain selain Kepolisian. Dalam kaitan ini, pembentuk undang-undang memiliki kebebasan dan keleluasaan yang terukur dalam menentukan norma-norma yang sesuai dengan kebutuhan, tentunya dikaitkan dengan perkembangan modus kriminal akibat kemajuan teknologi informasi dan lain-lain yang sangat memengaruhi kebutuhan akan perkembangan penyidikan yang harus mampu mengakselerasikan dalam proses penanganan perkara yang tidak mungkin hanya dapat ditangani oleh lembaga penegak hukum Kepolisian.
Bahwa lebih lanjut, berkenaan dengan kewenangan penyidikan kepada Kejaksaan dalam tindak pidana khusus dan/atau tertentu, sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan merupakan sebuah respon dari beberapa ketentuan undang-undang yang memberikan kewenangan penyidikan kepada Kejaksaan, antara lain Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001, dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi [vide Penjelasan Umum UU 16/2004].
Bahwa pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-V/2007, Paragraf [3.15], hlm. 99, yang pada pokoknya menyatakan Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan, pembentuk undang-undang hanya memberikan peluang terhadap kejaksaan berupa kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana khusus dan/atau tertentu, hal tersebut dimaksudkan karena tindak pidana dari masa ke masa semakin berkembang dan beragam macam/modusnya. Fakta hukum tersebut, sesungguhnya dalam perspektif yang lebih luas juga dimaksudkan untuk mengantisipasi semakin berkembang dan beragamnya macam/modus tindak pidana khusus dan/atau tertentu tersebut. Dengan demikian, menurut Mahkamah, kewenangan Kejaksaan dalam melakukan penyidikan sebagaimana tercantum dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan yang berpotensi tumpang tindih dengan kewenangan penyidikan oleh Kepolisian sekalipun kewenangan penyidikan yang dimiliki Kejaksaan hanya untuk tindak pidana tertentu saja, bertentangan dengan UUD 1945 sebagaimana yang dikhawatirkan oleh Pemohon adalah kekhawatiran yang tidak beralasan. Sebab, sepanjang kewenangan penyidikan oleh Kejaksaan tersebut dilakukan dengan koordinasi yang baik dan diatur oleh ketentuan yang jelas dan tegas sebagaimana telah dipertimbangkan pada pertimbangan hukum di atas serta didasarkan pada pertimbangan kebutuhan akan lembaga penegak hukum lain selain Kepolisian akibat semakin berkembangnya macam/modus jenis tindak pidana khusus dan/atau tertentu, maka kewenangan penyidikan oleh Kejaksaan adalah hal yang dapat dibenarkan.
[3.18.3] Bahwa berkenaan dengan penyidikan yang dilakukan oleh Kejaksaan, dalam praktik di dunia Internasional, juga dilakukan terhadap tindak pidana khusus dan/atau tertentu, misalnya dalam pelanggaran hak asasi manusia berat yang diatur dalam United Nations Rome Statute of the International Criminal Court 1998 (statuta Roma), article 53 paragraph 1, menyatakan:
“The Prosecutor shall, having evaluated the information made available to him or her, initiate an investigation unless he or she determines that there is no reasonable basis to proceed under this Statute. In deciding whether to initiate an investigation, the Prosecutor shall consider whether: (a) The information available to the Prosecutor provides a reasonable basis to believe that a crime within the jurisdiction of the Court has been or is being committed; (b) The case is or would be admissible under article 17; and (c) Taking into account the gravity of the crime and the interests of victims, there are nonetheless substantial reasons to believe that an investigation would not serve the interests of justice. If the Prosecutor determines that there is no reasonable basis to proceed and his or her determination is based solely on subparagraph (c) above, he or she shall inform the Pre-Trial Chamber”,
Ketentuan tersebut pada pokoknya menyatakan bahwa penyidik perkara pelanggaran hak asasi manusia berat adalah Jaksa sehingga apabila kewenangan tersebut dilakukan oleh lembaga lain maka pengadilan berhak untuk menolak kasus tersebut.
Selain itu, di beberapa negara dalam undang-undang hukum acaranya juga memberi wewenang kepada Jaksa sebagai penyidik, misalnya:
1. Korea Selatan melalui Criminal Procedure Act, Article 195:
A public prosecutor shall, where there is a suspicion that an offense has been committed, investigate the offender, the facts of the offense, and the evidence;
2. Belanda melalui Code of Criminal Procedure, Article 10:
(1) The public prosecutor, authorized to conduct any investigation, can make a certain investigative act also within the jurisdiction of a court other than that in which he is placed to perform or have performed. In that case he brings his counterpart informed of this in a timely manner.
(2) In case of urgent necessity, the public prosecutor can take a certain investigative action transfer to the public prosecutor assigned to the court within which area jurisdiction the investigative act must take place.
(3) The public prosecutor, authorized to attend any investigation by a judicial officer authority, may as such also be within the jurisdiction of a court other than those where he is posted, if this investigation takes place there.
3. Jerman melalui German Code of Criminal Procedure Section 161 Sub Judul Public prosecution office’s general investigatory powers (1):
For the purpose indicated in section 160 (1) to (3), the public prosecution office is entitled to request information from all the authorities and to make investigations of any kind, either itself or through the police authorities and police officers, provided there are no other statutory provisions specifically regulating their powers. The police authorities and police officers are obliged to comply with the request or order of the public prosecution office and are entitled, in such cases, to request information from all the authorities.
Dengan demikian, setelah mencermati praktik-praktik pemberian kewenangan penyidikan kepada Kejaksaaan terhadap tindak pidana khusus dan/atau tertentu sebagaimana diuraikan dan dicontohkan di atas, kewenangan Kejaksaan dalam melakukan penyidikan merupakan praktik yang lazim, khususnya jika menyangkut tindak pidana khusus dan/atau tertentu yang sifatnya merupakan extra ordinary crime yang secara universal membutuhkan lebih dari satu lembaga penegak hukum untuk menanganinya, khususnya dalam hal kewenangan penyidikan.
[3.18.4] Bahwa alasan fundamental dibentuknya UU Tipikor adalah semakin berkembangnya salah satu tindak pidana khusus dan/atau tertentu yang merupakan extra ordinary crime yaitu tindak pidana korupsi yang berdampak pada akibat timbulnya kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional. Salah satu hal yang diatur dalam UU Tipikor adalah adanya tim gabungan yang dikoordinasikan oleh Jaksa Agung untuk tindak pidana yang sulit pembuktiannya [vide Pasal 27 juncto Pasal 39 UU Tipikor]. Selain itu, UU Tipikor juga mengamanatkan pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang kemudian dibentuk dengan UU KPK yang memiliki tugas untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi [vide Pasal 6 UU KPK].
Bahwa berkenaan dengan dalil Pemohon yang mempersoalkan ketentuan norma Pasal 39 UU Tipikor, Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) khusus frasa ‘atau Kejaksaan”, Pasal 50 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) khusus frasa “atau Kejaksaan” serta Pasal 50 ayat (4) khusus frasa “dan/atau Kejaksaan” UU KPK, menurut Mahkamah hal tersebut sesungguhnya merupakan pasal-pasal atau norma yang mengatur hal-hal berkaitan dengan kewajiban untuk dilakukannya kolaborasi diantara lembaga penegak hukum yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan KPK dalam penanganan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, pembentuk undang-undang memandang tindak pidana korupsi sebagai extra ordinary crime yang mempunyai dimensi persoalan yang krusial dan tidak mungkin hanya dapat ditangani oleh satu lembaga penegak hukum sebagai penyidik. Artinya, penyidikan dalam tindak pidana korupsi selain dilakukan lembaga penegak hukum Kepolisian diperlukan lembaga penegak hukum lain seperti Kejaksaan dan KPK, sepanjang ketiga lembaga penegak hukum dimaksud saling berkoordinasi agar terdapat kesatuan sikap dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi sehingga diharapkan lebih efektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi.
Bahwa dalam rangka mengoptimalkan pemberantasan tindak pidana korupsi, ketiga lembaga tersebut kemudian membuat kesepakatan bersama yang dituangkan dalam Kesepakatan Bersama Antara Kejaksaan Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia Nomor: KEP-049 /A/J.A/03/2012; Nomor: B/23/III/2012; Nomor: Spj- 39/01/03/2012 tentang Optimalisasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian diperbaharui terakhir dengan Nota Kesepahaman Antara Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Nomor: 107 Tahun 2021; Nomor: 6 Tahun 2021; Nomor: NK/17/V/2021 tentang Kerja Sama Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, di mana salah satu bentuk kerja sama adalah (a) sinergi penanganan perkara tindak pidana korupsi termasuk dalam kegiatan hal pelaporan dan/atau pengaduan masyarakat, dan koordinasi dan/atau supervisi; (b) dalam pelaksanaan koordinasi dan/atau supervisi atas kegiatan penanganan perkara tindak pidana korupsi, berdasarkan dukungan data pelaksanaan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan secara elektronik (SPDP Online).
Bahwa dengan pengaturan terkait dengan fungsi serta koordinasi antara ketiga lembaga dalam penanganan tindak pidana korupsi, dan tanpa bermaksud menilai legalitas nota kesepakatan/kesepahaman dimaksud, tentunya menjadikan penanganan tindak pidana korupsi menjadi lebih efektif dan efisien. Selain itu, adanya kesepakatan dalam koordinasi dan juga supervisi menjadikan aspek pengawasan tidak hilang dalam penanganan tindak pidana korupsi antara Kepolisian, Kejaksaan dan KPK.
[3.18.5] Bahwa tanpa bermaksud menilai kasus konkret yang dialami Pemohon, menurut Mahkamah peristiwa yang terjadi pada klien Pemohon tidak dapat serta merta menjadikan pasal-pasal yang dimohonkan pengujian tidak memberi kepastian hukum, karena sebagaimana telah diuraikan pada Sub-paragraf [3.18.2] di atas, Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan hanya merupakan pintu masuk bagi pembuat undang-undang untuk memberikan kewenangan kepada Kejaksaan melakukan penyidikan terhadap tindak pidana khusus dan/atau tertentu saja. Sementara itu, untuk tindak pidana umum kewenangan penyidikan tetap berada pada Kepolisian. Oleh karena itu, menurut Mahkamah kewenangan Kejaksaan melakukan penyidikan masih tetap diperlukan untuk menangani tindak pidana khusus dan/atau tertentu yang secara faktual jenis maupun modusnya semakin beragam. Di samping itu, secara riil adanya pemberian kewenangan penyidikan kepada kejaksaan hal tersebut semakin mempercepat penyelesaian penanganan tindak pidana khusus dan/atau tertentu yang dapat lebih memberikan kepastian hukum bagi pelaku tindak pidana khusus dan/atau tertentu, serta memenuhi rasa keadilan kepada masyarakat.
[3.19] Menimbang bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-V/2007, Mahkamah telah menyatakan bahwa Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, Mahkamah tetap dengan pendiriannya bahwa kewenangan Kejaksaan untuk melakukan penyidikan pada tindak pidana khusus dan/atau tertentu merupakan kewenangan yang konstitusional dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, terhadap Pasal 39 UU Tipikor, Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) khusus frasa ‘atau Kejaksaan”, Pasal 50 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) khusus frasa “atau Kejaksaan” serta Pasal 50 ayat (4) khusus frasa “dan/atau Kejaksaan” UU KPK, yang secara yuridis kekuatan keberlakuannya memilliki keterkaitan erat dan tidak dapat dipisahkan dengan ketentuan norma Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan, maka dengan sendirinya juga memiliki landasan konstitusional. Dengan demikian, dalil Pemohon yang menyatakan pasal-pasal a quo telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pencari keadilan dalam hal ini tersangka/terdakwa dalam kasus tindak pidana korupsi adalah tidak beralasan menurut hukum;
[3.20] Menimbang bahwa selanjutnya berkenaan dengan kekhawatiran Pemohon yang mendalilkan ketentuan norma Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan, Pasal 39 UU Tipikor, Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) khusus frasa ‘atau Kejaksaan”, Pasal 50 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) khusus frasa “atau Kejaksaan” serta Pasal 50 ayat (4) khusus frasa “dan/atau Kejaksaan” UU KPK yang memberikan kewenangan Kejaksaan melakukan penyidikan telah menghilangkan checks and balances dalam proses penanganan tindak pidana korupsi sehingga menimbulkan kesewenang-wenangan. Terhadap hal tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
Bahwa sebagaimana telah diuraikan dan dijelaskan pada pertimbangan hukum Putusan Makamah Konstitusi Nomor 28/PUU-V/2007 sebagaimana dikutip dalam Sub-paragraf [3.18.1], integrated criminal justice system yang dibentuk oleh KUHAP ditandai dengan adanya prinsip diferensiasi fungsional di antara lembaga penegak hukum yang salah satu tujuannya adalah menciptakan mekanisme saling mengawasi (checks and balances). Hal demikian, meskipun secara universal berlaku dalam penanganan tindak pidana umum, namun pembentuk undang-undang memilih untuk memberikan kewenangan untuk melakukan penyidikan dalam penanganan tindak pidana korupsi yang merupakan bagian dari jenis tindak pidana khusus dan/atau tertentu kepada Kepolisian, Kejaksaan dan KPK. Hal tersebut dilakukan karena menurut pembentuk undang-undang penanganan tindak pidana korupsi yang merupakan extra ordinary crime tidak dapat dilakukan oleh satu lembaga/badan saja, oleh karena itu dalam hal ini prinsip diferensiasi fungsional yang dianut oleh KUHAP secara faktual dan realita kebutuhan serta kemanfaatan belumlah dapat dilaksanakan secara utuh.
Bahwa belum dapat diberlakukannya prinsip diferensiasi fungsional secara utuh tersebut bukanlah berarti menjadikan prinsip checks and balances tidak dapat diterapkan, karena ketentuan norma Pasal 39 UU Tipikor, Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 50 ayat (1), ayat (2), ayat (3) serta Pasal 50 ayat (4) UU KPK jika dibaca secara cermat merupakan norma yang mewajibkan adanya koordinasi antara Kepolisian, Kejaksaan dan KPK dalam menangani tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, hal ini menunjukkan pemberian kewenangan kepada Kejaksaan terhadap tindak pidana khusus dan/atau tertentu selain memberi jaminan kepastian hukum yang adil juga memberi perlindungan hak asasi sekalipun terhadap tersangka. Dalam kaitan ini, apabila ternyata dari hasil penyidikan tersangka tidak terdapat bukti dan fakta melakukan tindak pidana khusus dan/atau tertentu yang disangkakan, maka Kejaksaan langsung menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Demikian pula sebaliknya, apabila ternyata terdapat alat bukti yang cukup maka Kejaksaan melimpahkan perkara ke Pengadilan. Artinya, adanya potensi yang dapat menghilangkan fungsi checks and balances sebagaimana yang dikhawatirkan oleh Pemohon menjadi tidak relevan sebagai dalil yang dapat dibenarkan. Terlebih, jika kekhawatiran Pemohon terhadap tidak berfungsinya prinsip deferensiasi fungsional dapat menghilangkan fungsi checks and balances dan berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan, hal tersebut justru kekhawatiran yang berlebihan dan tidak beralasan, mengingat jika benar seandainya hal tersebut berdampak pada terlanggarnya hak-hak tersangka/terdakwa sebagaimana juga yang dialami oleh Pemohon, maka telah tersedia mekanisme kontrol yang dapat dipergunakan sebagai upaya hukum, misalnya melalui permohonan praperadilan. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat dalil Pemohon a quo adalah tidak beralasan menurut hukum;
[3.21] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, telah ternyata ketentuan norma Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan, Pasal 39 UU Tipikor, Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) khusus frasa ‘atau Kejaksaan”, Pasal 50 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) khusus frasa “atau Kejaksaan” serta Pasal 50 ayat (4) khusus frasa “dan/atau Kejaksaan” UU KPK telah memberikan kepastian hukum dan tidak menimbulkan kesewenang-wenangan, serta tidak berpotensi menghilangkan fungsi checks and balances sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, dalil-dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.22] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430