1. Bahwa pada hari Kamis, tanggal 26 April 2018, Pukul 14.46 WIB, Mahkamah Konstitusi telah selesai menggelar Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran) dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 Tentang Pendidikan Kedokteran (UU Pendidikan Kedokteran) dalam Perkara Nomor 10/PUU-XV/2017. Dalam sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 10/PUU-XV/2017, perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.
2. Bahwa permohonan pengujian materiil UU Praktik Kedokteran Dan UU Pendidikan Kedokteran dalam Perkara Nomor 10/PUU-XV/2017 diajukan oleh 32 orang dokter spesialis yaitu Dr. dr. Judilherry Justam, MM, ME, PKK dan kawan-kawan (dkk), yang dikuasakan kepada Dr. A. Muhammad Asrun, S.H., M.H., dkk.
3. Bahwa Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian materiil atas Pasal 1 angka 4, angka 12, angka 13, Pasal 14 ayat (1) huruf (a), Pasal 29 ayat (3) huruf d dan Pasal 38 ayat (1) huruf (c) UU Praktik Kedokteran dan Pasal 1 angka 20, Pasal 5 ayat (2), Pasal 7 ayat (8), Pasal 8 ayat (4), Pasal 11 ayat (1), Pasal 24 ayat (1), Pasal 36 ayat (2), Pasal 36 ayat (3), dan Pasal 39 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran yang berketentuan sebagai berikut:
Pasal 1 angka (4) UU Praktik Kedokteran
“Sertifikat kompetensi adalah surat tanda pengakuan terhadap kemampuan seorang dokter atau dokter gigi untuk menjalankan praktik kedokteran di seluruh Indonesia setelah lulus uji kompetensi.”
Pasal 1 angka (12) UU Praktik Kedokteran
“Organisasi profesi adalah Ikatan Dokter Indonesia untuk dokter dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia untuk dokter gigi.”
Pasal 1 angka (13) UU Praktik Kedokteran
“Kolegium kedokteran Indonesia dan kolegium kedokteran gigi Indonesia adalah badan yang dibentuk oleh organisasi profesi untuk masing-masing cabang disiplin ilmu yang bertugas mengampu cabang disiplin ilmu tersebut.”
Pasal 14 ayat (1) huruf a UU Praktik Kedokteran
Jumlah anggota Konsil Kedokteran Indonesia 17 (tujuh belas) orang yang terdiri atas unsur-unsur yang berasal dari : “organisasi profesi kedokteran 2 (dua) orang”
Pasal 29 ayat (3) huruf d UU Praktik Kedokteran
“Untuk memperoleh data registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi harus memenuhi persyaratan: d. memiliki sertifikat kompetensi.”
Pasal 38 ayat (1) huruf c UU Praktik Kedokteran
Untuk mendapatkan surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, dokter atau dokter gigi harus :“memiliki rekomendasi dari organisasi profesi.”
Pasal 1 angka 20 UU Pendidikan Kedokteran
“Organisasi profesi adalah organisasi yang memiliki kompetensi di bidang kedokteran atau kedokteran gigi yang diakui oleh Pemerintah.”
Pasal 5 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran
“Perguruan Tinggi dalam menyelenggarakan Pendidikan Kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkerja sama dengan Rumah Sakit Pendidikan dan Wahana Pendidikan Kedokteran serta berkoordinasi dengan Organisasi Profesi.”
Pasal 7 ayat (8) UU Pendidikan Kedokteran
“Program internsip sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diselenggarakan secara nasional bersama oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, asosiasi institusi pendidikan kedokteran, asosiasi rumah sakit pendidikan, Organisasi Profesi, dan konsil kedokteran Indonesia.”
Pasal 8 ayat (4) UU Pendidikan Kedokteran
“Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi dalam menyelenggarakan program dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis, dan dokter gigi spesialis-subspesialis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan Organisasi Profesi”
Pasal 11 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran
“Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi atas nama perguruan tinggi dalam mewujudkan tujuan Pendidikan Kedokteran bekerja sama dengan Rumah Sakit Pendidikan, Wahana Pendidikan Kedokteran, dan/atau lembaga lain, serta berkoordinasi dengan Organisasi Profesi.”
Pasal 24 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran
”Standar Nasional Pendidikan Kedokteran yang mengacu pada Standar Nasional Pendidikan Tinggi disusun secara bersama oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi, asosasi rumah sakit pendidikan, dan Organisasi Profesi.”
Pasal 36 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran
“Mahasiswa yang lulus uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperoleh sertifikat profesi yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi.”
Pasal 36 ayat (3) UU Pendidikan Kedokteran
“Uji kompetensi Dokter atau Dokter Gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Fakultas Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi bekerja sama dengan asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi dan berkoordinasi dengan Organisasi Profesi.”
Pasal 39 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran
“Uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Fakultas Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi bekerja sama dengan asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi dan berkoordinasi dengan Organisasi Profesi.”
4. Bahwa Pasal-pasal a quo UU Praktek Kedokteran dan UU Pendidikan Kedokteran dianggap Para Pemohon bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 c ayat (2), Pasal 28d ayat (1), Pasal 28 e ayat (3), Pasal 31 ayat (1) UUD Tahun 1945 karena telah merugikan dan melanggar hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon.
1. Bahwa dalam Putusan Nomor 10/PUU-XV/2017, MK memberikan pertimbangan hukum terhadap pengujian Pasal-Pasal a quo UU Praktik Kedokteran dan UU Pendidikan Kedokteran sebagai berikut:
1) Sertifikat Kompetensi
a. Para Pemohon mendalilkan bahwa sertifikat kompetensi sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 1 angka 4 UU Praktik Kedokteran seharusnya tidak diberlakukan untuk lulusan baru Fakultas Kedokteran dan uji kompetensi dimaksud haruslah diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi dan berbentuk badan hukum pendidikan. Para Pemohon berpandangan bahwa setiap lulusan Fakultas kedokteran telah melalui uji kompetensi sesuai dengan Pasal 36 ayat (3) UU Pendidikan Kedokteran dan karena itu mendapatkan sertifikat profesi (ijazah dokter) sehingga tidak perlu lagi mendapat sertifikat kompetensi dari Kolegium Dokter Indonesia yang dibentuk IDI.
b. Terkait dengan dalil tersebut, mengingat pentingnya sertifikat Kompetensi dilihat dari perspektif peruntukan dan tujuannya, Mahkamah memandang perlu untuk menegaskan keberadaan sertifikat dimaksud. Secara normatif, menurut Pasal 36 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran, untuk menyelesaikan Program Profesi Dokter atau Dokter Gigi, mahasiswa harus lulus Uji Kompetensi yang bersifat nasional sebelum mengangkat sumpah sebagai Dokter atau Dokter Gigi; ayat (2) Mahasiswa yang lulus uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperoleh sertifikat profesi yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi; ayat (3) Uji kompetensi Dokter atau Dokter Gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Fakultas Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi bekerjasama dengan asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi dan berkoordinasi dengan Organisasi Profesi.
c. Sertifikat Kompetensi sebagai surat tanda pengakuan seorang dokter atau dokter gigi untuk menjalankan praktik kedokteran di seluruh Indonesia setelah lulus uji kompetensi dan untuk memperoleh surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi yang harus memenuhi persyaratan:
1. Memiliki ijazah dokter, dokter spesialis, dokter gigi atau dokter gigi spesialis;
2. Mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji dokter ataudokter gigi;
3. Memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental;
4. Memiliki sertifikat kompetensi; dan
5. Membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etikaprofesi.
d. Dengan demikian dalil para Pemohon yang menyamakan sertifikat profesidengan ijazah [vide Pasal 36 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran] sebagaimana diuraikan dalam perbaikan permohonan (halaman 26) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara sertifikat profesi (ijazah) dengan sertifikat kompetensi, Sertifikat Profesi (ijazah) dikeluarkan oleh Perguruan Tinggi, sebagai bukti bahwa seorang dokter telah memenuhi semua persyaratan dan telah teruji secara akademik. Sertifikat Kompentesi dikeluarkan oleh organisasi profesi, sebagai bukti bahwa seorang dokter bukan hanya telah teruji secara akademik tetapi juga telah teruji dalam menerapkan ilmu yang diperoleh guna melakukan pelayanan kesehatan setelah melalui uji kompetensi Dokter atau Dokter Gigi yang dilakukan oleh Fakultas Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi bekerja sama dengan asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi dan berkoordinasi dengan Organisasi Profesi [vide Pasal 36 ayat (3) UU Pendidikan Kedokteran]. Dengan demikian, sertifikat profesi (ijazah) sebagai salah satu syarat untuk memperoleh sertifikat kompetensi, sedangkan sertifikat kompentensi merupakan persyaratan untuk mendaftar ke KKI guna mendapatkan Surat Tanda Registrasi dokter (STR).Seorang dokter yang telah memperoleh STR, terlebih dahulu harus melakukan Program Internsip. Selanjutnya, untuk dapat melakukan praktik mandiri, seorang dokter harus memperoleh surat izin praktik (SIP) dari instansi yang berwenang.
e. Sertifikat Kompetensi tersebut menunjukkan pengakuan akan kemampuan dan kesiapan seorang dokter untuk melakukan tindakan medis dalam praktik mandiri yang akan dijalaninya dan hanya diberikan kepada mereka yang telah menjalani berbagai tahapan untuk menjadi seorang dokter yang profesional. Dengan demikian, memberikan sertifikat kompetensi kepada dokter yang tidak kompeten dapat membahayakan keselamatan pasien dan sekaligus mengancam kepercayaan masyarakat terhadap profesi dokter, yang pada akhirnya dapat mengancam jaminan hak konstitusional warga negara sebagaimana termaktub dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, sehingga negara dapat dianggap gagal menjalankan kewajiban konstitusionalnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) UUD 1945.
f. Oleh karena itu telah terang bagi Mahkamah bahwa sertifikat profesi (“ijazah dokter”) tidak dapat disamakan dengan sertifikat kompetensi sebagaimana yang didalilkan para Pemohon. Sertifikat Profesi dan Sertifikat Kompetensi adalah dua hal yang berbeda yang diperoleh pada tahap yang berbeda sebagai syarat yang harus dipenuhi seorang dokter yang akan melakukan praktik mandiri. Mahkamah telah mencermati fakta persidangan yang ada dan menilai bahwa baik sertifikat profesi maupun sertifikat kompetensi merupakan upaya untuk menjaga dan mendorong peningkatan kompetensi dan kualitas keilmuan dokter sebagai komponen utama pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Proses uji tersebut akan memberikan penajaman dan peningkatan kompetensi sekaligus pengakuan atas penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjadi landasan utama bagi dokter dalam melakukan tindakan medis. Melalui proses tersebut lulusan baru fakultas kedokteran akan teruji secara keilmuan sebelum melakukan praktik mandiri sebagai seorang dokter yang profesional. Kalaupun sertifikat profesi dan sertifikat kompetensi diberikan pada saat yang bersamaan dengan mekanisme yang ditentukan institusi pendidikan dan organisasi profesi kedokteran serta institusi terkait lainnya maka pengaturan demikian tidak dapat dianggap sebagai pengurangan atau pembatasan apalagi menghilangkan kesempatan atau pun hak para dokter lulusan baru untuk menjadi dokter yang akan melakukan praktik mandiri secara profesional sebab ketentuan demikian merupakan tuntutan profesi yang tak terhindarkan. Oleh karena itu tidak dapat dianggap merugikan hak konstitusional warga negara untuk mendapatkan pekerjaan sebagaimana dijamin oleh UUD 1945. Pertimbangan Mahkamah ini berlaku mutatis mutandis terhadap permohonan para Pemohon yang menguji konstitusionalitas ketentuan Pasal 29 ayat (3) UU Praktik Kedokteran dan Pasal 36 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran.
g. Demikian juga untuk menjamin kompetensi seorang dokter agar tetap memenuhi standar dan perkembangan dunia kedokteran dan ilmu kedokteran termutakhir, maka resertifikasi secara periodik terhadap setiap dokter yang telah mempunyai Sertifikat Kompetensi menjadi kebutuhan yang tidak dapat dihindarkan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 29 ayat (4) UU Praktik Kedokteran yang menyatakan, “Surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi berlaku selama 5 (lima) tahun dan diregistrasi ulang setiap 5 (lima) tahun sekali dengan tetap memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dan huruf d” juncto Pasal 14 ayat (1) Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 6 Tahun 2011 yang menyatakan, “Surat Keterangan Sehat Fisik dan Mental diterbitkan oleh Dokter yang memiliki SIP yang masih berlaku dan Dokter yang menerbitkan tersebut sehat fisik dan mental”. Resertifikasi tersebut dapat dilakukan dengan menilaiulang kompetensi atau dapat juga mengikuti program pengembangan dan pendidikan kedokteran berkelanjutan (P2KB) dengan perolehan satuan kredit khusus.Tanpa mengurangi kualitas tujuan dilakukannya resertifikasi, mekanismenya harus dilaksanakan secara sederhana sehingga memungkinkan setiap dokter dapat memenuhinya. Di samping itu, untuk menghindari kemungkinan adanya penyalahgunaan kewenangan, proses resertifikasi dilakukan secara transparan dan akuntabel. Oleh karena itu Pemerintah perlu mendorong dilakukan penyederhanaan proses resertifikasi dan sekaligus melakukan pengawasan terhadap proses dimaksud.
h. Dengan demikian, baik keberadaan sertifikat profesi maupun sertifikat kompetensi serta persyaratan untuk resertifikasi karena dimaksudkan untuk menjaga kompetensi dan kualitas keilmuan seorang dokter yang tujuan akhirnya adalah untuk melindungi masyarakat maka dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 1 angka 4, Pasal 29 ayat (3) UU Praktik Kedokteran, serta Pasal 36 ayat (2) dan ayat (3) UU Pendidikan Kedokteran bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
2) Organisasi Profesi
a. Berkenaan dengan dalil mengenai organisasi profesi, para Pemohon meminta agar frasa organisasi profesi dalam ketentuan Pasal 1 angka 12 dan Pasal 38 ayat (1) huruf c UU Praktik Kedokteran dimaknai sebagai “meliputi juga” Perhimpunan Dokter Spesialis” yang berada dalam lingkungan IDI guna menjamin hak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat yang diatur dalam ketentuan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 serta hak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya sebagaimana diatur dalam Pasal 28C ayat (2) UUD 1945. Terhadap permohonan tersebut, menurut Mahkamah, tidak terdapat persoalan inkonstitusionalitas dalam ketentuan a quo.Perhimpunan Dokter Spesialis dengan sendirinya merupakan bagian dari IDI. IDI sebagai rumah besar profesi kedokteran diisi berbagai bidang keahlian kedokteran yang di dalamnya juga meliputi Perhimpunan Dokter Spesialis sebagai salah satu unsur yang menyatu dan tidak terpisah dari IDI.Justru apabila logika permohonan para Pemohon diikuti akan timbul ketidakpastian hukum karena dalam praktik menjadi tidak jelas pada saat bagaimana atau kapan organisasi profesi dimaksud dimaknai sebagai IDI dan pada saat bagaimana atau kapan organisasi profesi dimaknai sebagai Perhimpunan Dokter Spesialis.
b. Pertimbangan Mahkamah tersebut juga berlaku mutatis mutandis terhadap permohonan para Pemohon terkait pengujian ketentuan Pasal 38 ayat (1) huruf c UU Praktik Kedokteran.
c. Pasal 1 angka 13 UU Praktik Kedokteran yang menyatakan, “Kolegium Kedokteran Indonesia dan Kolegium Kedokteran Gigi Indonesia adalah badan yang dibentuk oleh organisasi profesi untuk masing-masing cabang disiplin ilmu yang bertugas mengampu cabang disiplin ilmu tersebut” menurut para Pemohon bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Para Pemohon meminta agar frasa “organisasi profesi” dihilangkan atau dihapuskan dari ketentuan tersebut sehingga Pasal 1 angka 13 UU Praktik Kedokteran menjadi berbunyi, “Kolegium Kedokteran Indonesia dan Kolegium Kedokteran Gigi Indonesia adalah badan yang dibentuk untuk masing-masing cabang disiplin ilmu yang bertugas mengampu cabang disiplin ilmu tersebut”. Terhadap dalil tersebut Mahkamah berpendapat bahwa undang-undang memungkinkan masing-masing kelompok tenaga kesehatan membentuk kolegium berdasarkan disiplin ilmu masing-masing. Dalam struktur IDI pun berdasarkan AD/ART IDI kolegium-kolegium yang berhimpun dalam Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia merupakan salah satu unsur dalam struktur kepengurusan IDI ditingkat Pusat yang bertugas untuk melakukan pembinaan dan pengaturan pelaksanaan sistem pendidikan profesi kedokteran. Dengan demikian maka Kolegium Kedokteran Indonesia dan Kolegium Kedokteran Gigi Indonesia merupakan unsur dalam IDI sebagai organisasi profesi kedokteran yang bertugas mengampu cabang disiplin ilmu masing-masing.Oleh karena itu, IDI dalam hal ini berfungsi sebagai rumah besar profesi kedokteran yang di dalamnya dapat membentuk kolegium-kolegium untuk melaksanakan kewenangan tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan dan AD/ART IDI.Penghapusan frasa “organisasi profesi” dalam ketentuan a quo menghilangkan unsur pembentuk kolegium yang adalah para dokter sendiri berdasarkan disiplin masing-masing yang pada akhirnya juga berhimpun dalam MKKI sebagai salah satu unsur pimpinan pusat IDI.Atas dasar pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
d. Para Pemohon juga mengajukan pengujian atas frasa “organisasi profesi” yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 1 angka 20, Pasal 5 ayat (2), Pasal 7 ayat (8), Pasal 8 ayat (4), Pasal 11 ayat (1), Pasal 24 ayat (1), Pasal 36 ayat (3) dan Pasal 39 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran. Para Pemohon meminta agar frasa “organisasi profesi” dimaknai juga meliputi “Perhimpunan Dokter Spesialis” (Pasal 38 ayat (1) huruf c UU Praktik Kedokteran) dan dimaknai Kolegium Kedokteran/Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia [Pasal 1 angka 20, Pasal 5 ayat (2), Pasal 7 ayat (8), Pasal 8 ayat (4), Pasal 11 ayat (1), Pasal 24 ayat (1), Pasal 36 ayat (3) dan Pasal 39 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran]. Terhadap dalil para Pemohon tersebut Mahkamah berpendapat bahwa Kolegium Kedokteran/Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia merupakan unsur yang terdapat dalam IDI dan bukan merupakan organisasi yang terpisah dari IDI.Sebagai rumah besar dokter Indonesia, IDI mewadahi profesi kedokteran dari berbagai disiplin ilmu.Dengan demikian, setiap unsur dalam IDI memiliki fungsi masing-masing sesuai dengan AD/ART IDI.Kolegium Kedokteran Indonesia/Majelis Kolegium kedokteran Indonesia merupakan unsur dalam IDI yang bertugas untuk melakukan pengaturan dan pembinaan pelaksanaan sistem pendidikan profesi kedokteran. Dalam melakukan fungsi ini, Kolegium/Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia tetap berkoordinasi dengan berbagai unsur terkait baik di dalam maupun di luar IDI untuk mewujudkan cita-cita nasional dalam meningkatkan derajat kesehatan rakyat Indonesia yang juga menjadi tujuan pembentukan IDI melalui penyelenggaraan pendidikan kedokteran. Dengan demikian, terkait penyelenggaraan pendidikan kedokteran, sebagaimana juga disebutkan dalam AD/ART IDI, merupakan fungsi Kolegium Kedokteran/Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia sebagai salah satu unsur dari IDI yang memiliki kompetensi di bidang pendidikan kedokteran. Tidaklah berlebihan bila menempatkan Kolegium/Majelis Kolegium sebagai academic body profesi kedokteran. Berkenaan dengan adanya disharmoni perihal kolegium sebagaimana dimaksudkan dalam UU Praktik Kedokteran yang hanya melibatkan Kolegium Kedokteran Indonesia dan Kolegium Kedokteran Gigi Indonesia, sementara itu dalam UU Pendidikan Kedokteran hanya menyebutkan organisasi profesi, hal demikian tidaklah dimaknai bahwa terjadi inkonstitusionalitas norma karena pada hakikatnya kolegium adalah bagian dari organisasi profesi dalam hal ini IDI. Dalam hal ini organisasi profesi (IDI) harus memberdayakan keberadaan unsur-unsur dalam struktur organisasi termasuk kolegium sesuai dengan fungsinya masing- masing.
e. Dengan demikian, dalil para Pemohon sepanjang berkenaan dengan inkonstitusionalitas frasa “organisasi profesi” dalam Pasal 1 angka 12, Pasal 1 angka 13, dan Pasal 38 ayat (1) huruf c UU Praktik Kedokteran dan dalam Pasal 1 angka 20, Pasal 5 ayat (2), Pasal 7 ayat (8), Pasal 8 ayat (4), Pasal 11 ayat (1), Pasal 24 ayat (1), Pasal 36 ayat (3), dan Pasal 39 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran tidak beralasan menurut hukum.
3) Rangkap Jabatan anggota KKI yang berasal dari IDI
a. Berkenaan dengan dalil mengenai rangkap jabatan anggota KKI yang berasal dari IDI, para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 14 ayat (1) huruf a UU Praktik Kedokteran, yang menyatakan “Jumlah anggota Konsil Kedokteran Indonesia 17 (tujuh belas) orang yang terdiri atas unsur-unsur yang berasal dari (a) organisasi profesi kedokteran 2 (dua) orang” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang frasa “organisasi profesi kedokteran” tidak dimaknai sebagai “yang tidak menjadi pengurus organisasi profesi kedokteran”. Terkait permohonan tersebut Mahkamah berpendapat bahwa pengisian anggota KKI harus mempertimbangkan tugas KKI yang berpotensi bersinggungan dengan kepentingan institusi asal anggota KKI.Berdasarkan ketentuan perundang-undangan, KKI memiliki tugas melakukan registrasi dokter sebagai dasar untuk menerbitkan STR, melakukan fungsi regulasi serta melaksanakan pembinaan terhadap penyelenggaraan praktik kedokteran. Organisasi profesi dokter, dalam hal ini IDI, sebagai salah satu institusi asal anggota KKI memiliki keterkaitan erat dengan tugas-tugas yang diemban KKI khususnya dalam fungsi regulasi karena para dokter yang merupakan anggota IDI merupakan objek dari regulasi yang dibuat oleh KKI. Di sisi lain, IDI, sebagai organisasi profesi dokter juga merupakan salah satu institusi asal anggota KKI. Keadaan ini menimbulkan potensi benturan kepentingan (conflict of interest) dari sisi IDI sebab IDI bertindak sebagai regulator dalam menjalankan fungsi sebagai anggota KKI, pada saat yang sama juga menjadi objek regulasi yang dibuat oleh KKI tersebut. Oleh karena itu, untuk mencegah potensi benturan kepentingan tersebut maka seyogianya anggota IDI yang duduk dalam KKI seharusnya adalah mereka yang bukan merupakan pengurus IDI untuk mencegah konflik kepentingan karena tugas KKI ada tiga yaitu fungsi registrasi dokter sebagai dasar menerbitkan STR, fungsi regulasi yang terkait dengan profesi dokter, dan fungsi pembinaan. Pada sisi lain organisasi profesi dokter adalah IDI dan oleh karena itu keberadaan pengurus IDI pada KKI potensial menimbulkan konflik kepentingan terutama dalam perumusan regulasi. Hal ini tidak sesuai dengan prinsip kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
b. Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, dalil para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas keanggotaan KKI dari unsur pengurus organisasi profesi kedokteran, dalam hal ini IDI, dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a UU Praktik Kedokteran adalah beralasan menurut hukum, sepanjang unsur “organisasi profesi kedokteran” tersebut tidak dimaknai tidak merangkap jabatan sebagai pengurus IDI.
2. Bahwa dalam Amar Putusan MK dalam Perkara Nomor 10/PUU-XV/2017, Mahkamah Konstitusi menyatakan:
1) Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
2) Menyatakan Pasal 14 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431) yang menyatakan, “Jumlah anggota Konsil Kedokteran Indonesia 17 (tujuh belas) orang yang terdiri atas unsur-unsur yang berasal dari : (a) organisasi profesi kedokteran 2 (dua) orang…”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang unsur “organisasi profesi kedokteran” tidak dimaknai sebagai tidak menjadi pengurus organisasi profesi kedokteran;
3) Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.
4) Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
3. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 10/PUU-XV/2017 sebagaimana diuraikan diatas, untuk mengisi kekosongan hukum berdasarkan Pasal 10 ayat (1) huruf d, Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 23 ayat (1) huruf b UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
1) Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 10/PUU-XV/2017 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
2) Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 10/PUU-XV/2017 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU MK.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430