Info Judicial Review Putusan MK - Menyatakan Mengabulkan

INFO JUDICIAL REVIEW PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 93/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI / 20-03-2018

1. Bahwa permohonan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK) dalam Perkara Nomor 93/PUU-XV/2017 diajukan oleh Abda Khair Mufti, Muhammad Hafidz, Abdul Hakim, yang dikuasakan kepada Eep Ependi, S.H

2. Bahwa Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian materiil atas Pasal 55 UU MK, yang berketentuan: “Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi”.

3. Bahwa Pasal 55 UU MK dianggap Para Pemohon bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 karena telah merugikan dan melanggar hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon.

4. Bahwa dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 93/PUU- XV/2017, perwakilan DPR dihadiri oleh
Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

1. Bahwa dalam Putusan Nomor 93/PUU-XV/2017, MK memberikan pertimbangan hukum terhadap pengujian Pasal 55 UU MK sebagai berikut:

a. Pertama, bahwa mengajukan permohonan pengujian peraturan perundang-undangan merupakan hak setiap warga negara atau badan hukum atau kesatuan masyarakat hukum adat yang merasa hak konstitusionalnya dan hak hukumnya terlanggar oleh berlakunya suatu norma. Secara konstitusional, permohonan pengujian tersebut dapat dilakukan melalui Mahkamah Konstitusi terhadap undang-undang, dan melalui Mahkamah Agung terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Dalam konteks ini, mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan merupakan sarana bagi rakyat melalui pelaku kekuasaan kehakiman untuk mengontrol produk hukum yang dibentuk oleh pembentuk undang-undang atau peraturan perundang undangan di bawah undang-undang;

Bahwa oleh karena mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan merupakan sebuah mekanisme kontrol untuk menjamin bahwa produk hukum yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan tidak melanggar hak asasi manusia atau hak konstitusional warga negara, maka keberadaan mekanisme judicial review haruslah dinilai dari sisi kepentingan warga negara sebagai pencari keadilan. Dalam hal ini, kepentingan orang atau badan hukum yang merasa hak konstitusional atau hak hukumnya terlanggar akibat keberlakuan sebuah norma yang harus menjadi prioritas ketika menentukan kepastian hukum mana yang harus didahulukan di antara beberapa dalil kepastian hukum yang muncul;

b. Kedua, bahwa keberadaan Pasal 55 UU MK sebagaimana telah disinggung sebelumnya adalah untuk memberikan kepastian hukum terhadap proses pengujian peraturan perundang-undangan, khususnya peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang undang-undang yang menjadi dasar pengujiannya sedang diuji di Mahkamah Konstitusi Kepastian hukum yang diinginkan dari penghentian pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang tidaklah perlu dipertentangkan dengan kepastian hukum bagi pencari keadilan ketika mengajukan permohonan uji materiil. Para pencari keadilan haruslah mendapatkan kepastian hukum atas permohonan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Kepastian tersebut dapat diperoleh dengan menghentikan sementara proses pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang hingga adanya putusan Mahkamah Konstitusi;

Bahwa dengan demikian, apabila Pasal 55 UU MK dilaksanakan dalam bentuk menghentikan sementara proses pengujian peraturan perundang- undangan di bawah undang-undang yang undang-undang sebagai dasar pengujianya sedang diuji Mahkamah Konstitusi, maka kepastian hukum proses pengujian dan juga kepastian hukum bagi pencari keadilan sesuai asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan juga dapat dipenuhi. Hanya saja, sebagaimana diterangkan Mahkamah Agung, Pasal 55 UU MK diterapkan dalam bentuk menghentikan proses pengujian peraturan perundang-undangan di mana undang-undang yang menjadi dasar pengujianya sedang diuji di Mahkamah Konstitusi dengan menjatuhkan putusan akhir dengan menyatakan bahwa permohonan pengujian materiil tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard, NO)

Bahwa secara tekstual, maksud rumusan Pasal 55 UU MK sesungguhnya adalah untuk menghentikan sementara. Hal itu dapat dipahami dari penggunaan kata “dihentikan” dan frasa “sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi”. Kedua rumusan dalam norma tersebut sesungguhnya bermakna bahwa penghentian proses pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang oleh Mahkamah Agung adalah untuk sementara waktu. Dengan konstruksi demikian, tidak ada putusan akhir bagi permohonan pengujian peraturan perundang-undang di bawah undang-undang yang undang-undang sebagai dasar pengujiannya sedang diuji di Mahkamah Konstitusi hingga adanya putusan Mahkamah Konstitusi. Hanya saja, kata “dihentikan” membuka peluang ditafsirkan untuk dijatuhkannya putusan akhir berupa permohonan tidak dapat diterima. Sehubungan dengan hal demikian, keberadaan kata “dihentikan” telah menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum. Ketidakpastian hukum tersebut baik terkait substansi norma Pasal 55 UU MK sendiri maupun ketidakpastian hukum bagi pencari keadilan untuk dapat mengikuti proses peradilan uji materiil sesuai dengan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan;

Bahwa ketidakpastian hukum terhadap substansi norma a quo terjadi karena maksud yang terkandung dalam Pasal 55 UU MK hanya sebagai penghentian sementara sebagaimana dijelaskan Pemerintah dan Mahkamah Agung sebagai Pihak Terkait, ternyata tidak saja dapat dimaknai demikian. Norma tersebut juga mengandung pengertian bahwa permohonan dihentikan dengan putusan akhir dengan amar menyatakan permohonan uji materiil tidak dapat diterima oleh Mahkamah Agung. Putusan akhir dengan amar tidak dapat diterima yang demikian tentunya tidak lagi dapat dimaknai sebagai penghentian sementara, melainkan menghentikan proses pengujian secara tetap. Dengan demikian, apabila pengujian materiil hendak diajukan lagi, maka harus dengan cara mengajukan permohonan baru, di mana hal tersebut harus disertai dengan membayar biaya permohonan lagi, sebagaimana diterangkan oleh Pemohon yang dibenarkan oleh Pihak Terkait Mahkamah Agung dalam persidangan. Oleh karena itu, norma Pasal 55 UU MK, khususnya kata “dihentikan” telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak sejalan dengan prinsip peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan sebagaimana yang menjadi amanat UU Kekuasaan Kehakiman;

Bahwa dalam konteks pemaknaan yang menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pencari keadilan sebagaimana telah diuraikan di atas adalah terjadi karena apabila permohonan uji materiil terhadap peraturan perundang-undangan yang undang-undang sebagai dasar pengujiannya sedang diuji Mahkamah Konstitusi dihentikan dengan putusan akhir yang menyatakan tidak dapat diterima Putusan tidak dapat diterima dapat dimaknai bahwa terdapat syarat formil semata yang tidak terpenuhi yang bukan disebabkan oleh kesalahan Pemohon. Dalam hal ini, pengujian terhadap undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang tidak berhubungan dengan kepentingan hukum pencari keadilan yang dijadikan sebagai penyebab terhadap dinyatakannya permohonan uji materiil peraturan perundang-undang di bawah undang-undang tersebut tidak dapat diterima. Artinya, pencari keadilan yang mengajukan permohonan uji materiil telah dirugikan oleh sesuatu yang bukan merupakan kesalahannya. Dengan demikian, Pemohon uji materiil harus menanggung risiko berupa permohonannya diputus dengan dinyatakan tidak dapat diterima hanya karena undang-undang yang menjadi dasar pengujian sedang diuji pula oleh Mahkamah Konstitusi;

Bahwa oleh karena sumber ketidakpastian hukum tersebut adalah keberadaan kata “dihentikan”, maka beralasan hukum untuk menyatakan kata tersebut inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai menjadi “ditunda pemeriksaannya”. Pemaknaan demikian juga sejalan dengan maksud awal perumusan norma Pasal 55 UU MK sebagaimana juga diterangkan Pemerintah. Bahkan, makna demikian jauh lebih memberikan kepastian hukum terhadap teks norma maupun kepastian hukum bagi proses uji materiil oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dan juga kepastian hukum bagi pencari keadilan yang mengajukan permohonan uji materiil peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang;

c. Ketiga, bahwa terkait kekhawatiran akan akibat hukum dimaknainya kata “dihentikan” sebagai “ditunda pemeriksaannya” terhadap terlampauinya tenggang waktu pemeriksaan permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, Mahkamah berpendapat kekhawatiran demikian tidak perlu terjadi sebab waktu selama berlangsungnya penundaan tersebut tidak turut diperhitungkan;

Bahwa dengan menegaskan makna kata “dihentikan” adalah “ditunda pemeriksaan”, maka hal demikian sama sekali tidak akan bertentangan dan menyebabkan tidak pastinya jangka waktu proses uji materiil yang dilakukan oleh Mahkamah Agung. Dengan adanya norma undang-undang, dalam hal ini Pasal 55 UU MK, yang menyatakan bahwa proses pemeriksaan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang undang-undang sebagai dasar pengujiannya sedang diuji di Mahkamah Konstitusi, maka penghitungan jangka waktu proses pengujian permohonan oleh Mahkamah Agung disesuaikan dengan penundaan itu. Dalam arti, ketika penundaan dilakukan, makapenghitungan waktu uji materiil oleh Mahkamah Agung juga dihentikan sementara waktu hingga dimulai kembali proses pemeriksaan setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi;

Bahwa oleh karena itu, sekalipun kata “dihentikan” dimaknai menjadi “ditunda pemeriksaaannya”, hal itu sama sekali tidak akan menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum mengenai tenggang waktu pemeriksaan permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang oleh Mahkamah Agung. Sehingga hal ini tidak dapat dijadikan dasar untuk memaknai bahwa kata “ditunda” harus dimaknai dengan menjatuhkan putusan akhir dengan menyatakan tidak dapat diterima terhadap permohonan uji materiil peraturan perundang-undangan yang undang-undang sebagai dasar pengujiannya sedang diuji oleh Mahkamah Konstitusi dengan alasan terlampauinya waktu;

d. Keempat, bahwa mengenai akibat hukum munculnya ketidakpastian hukum apabila kata “dihentikan” dimaknai “ditunda pemeriksaan”, sejalan dengan apa yang telah diuraikan sebelumnya, sekalipun kata “dihentikan” dimaknai dengan “ditunda pemeriksaannya”, sama sekali tidak akan terjadi pertentangan antara putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang dengan putusan Mahkamah Agung dalam pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Dalam hal putusan pengujian undang-undang, misalnya ditolak oleh Mahkamah Konstitusi, maka Mahkamah Agung tinggal melanjutkan proses pengujian peraturan perundang-undangan di bahwa undang-undang berdasarkan undang-undang yang pengujiannya telah dinyatakan ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam konteks ini, tidak ada persoalan dan tidak ada peluang terjadinya pertentangan putusan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung dalam pengujian peraturan dalam satu jenjang hierarki norma. Seandainya putusan pengujian UU dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, maka Mahkamah Agung juga tinggal melanjutkan proses pemeriksaan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi sepanjang norma yang diuji ada kaitannya dengan norma peraturan perundang-undangan yang diuji oleh Mahkamah Agung. Apabila ternyata putusan Mahkamah Konstitusi menyebabkan batal atau hilangnya norma yang menjadi dasar pengujian, atas dasar itulah Mahkamah Agung menyatakan permohonan tidak dapat diterima atau ditolak. Dengan demikian, sama sekali tidak terdapat potensi pertentangan antara putusan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung ketika kata “dihentikan” dimaknai “ditunda pemeriksaannya”;

e. Kelima, bahwa mengenai akibat hukum memaknai kata “dihentikan” dengan “ditunda pemeriksaannya” terhadap penumpukan perkara di Mahkamah Agung. Ketidapastian hukum substansi norma maupun kepastian hukum bagi pencari keadilan dalam proses pengujian peraturan perundang-undangan tidak dapat dibandingkan atau ditukarkan dengan masalah administratif penumpukan perkara. Dalam arti, penumpukan perkara tidak dapat dijadikan alasan untuk membiarkan ketidakpastian hukum yang terjadi akibat kata “dihentikan” dalam Pasal 55 UU MK terus dibiarkan tanpa kepastian penafsiran;

Bahwa sekalipun seandainya terjadi penumpukan perkara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang akibat undang-undang yang menjadi dasar pengujiannya sedang diuji oleh Mahkamah Konstitusi, quod non, masalah tersebut memiliki kemudaratan yang lebih sedikit dibandingkan bila membiarkan ketidakpastian hukum yang ditimbulkan norma Pasal 55 UU MK terus dipertahankan. Penumpukan hanya akan berdampak pada bertambahnya beban kerja lembaga, sementara ketidakpastian yang terkandung dalam norma akan menyebabkan hak-hak konstitusional dan hak hukum warga negara akan terlanggar;

2. Bahwa dalam Amar Putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan sebagai berikut:
1) Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
2) Menyatakan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Kontitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) yang menyatakan, “Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi”, sepanjang mengenai kata “dihentikan” dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung ditunda pemeriksaannya apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi”;
3) Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

3. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 93/PUU-XV/2017 sebagaimana diuraikan diatas, untuk mengisi kekosongan hukum berdasarkan Pasal 10 ayat (1) huruf d, Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 23 ayat (1) huruf b UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
1) Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 93/PUU-XV/2017 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
2) Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 93/PUU-XV/2017 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU MK.