Dalam perkara No. 001/PUU-I/2003, Pemohon juga mengajukan
permohonan uji formil kepada Mahkamah Konstitusi, dalam
pertimbangannya Mahkamah berpendapat bahwa pada saat UU
Ketenagalistrikan diundangkan pada tahun 2002, undang-undang tentang
tata cara pembentukan undang-undang yang diamanatkan oleh Pasal 22A
UUD Tahun 1945 belum ada, sehingga belum ada tolok ukur yang jelas
tentang prosedur pembentukan undang-undang yang sesuai dengan
UUD. Oleh karena itu, UU Susduk yang merupakan amanat Pasal 19 ayat
(1) UUD Tahun 1945 jo Peraturan Tata Tertib DPR yang diamanatkan
oleh UU Susduk tersebut dijadikan kriteria penilaian prosedur
pembentukan undang-undang.
Bahwa apa yang didalilkan oleh Pemohon Perkara No. 001/PUU-I/2003
tersebut telah dibantah oleh DPR dalam keterangan tertulis yang
disampaikan dalam persidangan Mahkamah yang dilampiri Risalah Sidang
Paripurna DPR tanggal 4 September 2002 yang ternyata Pemohon
Perkara No. 001/PUU-I/2003 tidak dapat memberikan bukti sebaliknya,
sehingga menurut Mahkamah permohonan pengujian formil UU
Ketenagalistrikan yang diajukan oleh Pemohon Perkara No. 001/PUU-
I/2003 tidak beralasan dan oleh karena itu harus ditolak.
Secara materiil, dalam perkara tersebut, Mahkamah memberikan
pertimbangan bahwa untuk melakukan pengujian undang-undang
terhadap Pasal 33 ayat (2) UUD Tahun 1945, Mahkamah perlu terlebih
dahulu memberi pengertian atau makna “dikuasai oleh negara“
sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 33 ayat (2) UUD Tahun 1945.
Pasal 33 ayat (2) UUD Tahun 1945 mempunyai daya berlaku normatif
sebagai berikut:
1) Konstitusi memberikan kewenangan kepada negara untuk
menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak.
2) Kewenangan tersebut ditujukan kepada mereka baik yang akan
maupun yang telah mengusahakan produksi yang penting bagi negara
dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Pada cabang produksi
yang jenis produksinya belum ada atau baru akan diusahakan, yang jenis
produksi tersebut penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang
banyak negara mempunyai hak diutamakan/didahulukan yaitu negara
mengusahakan sendiri dan menguasai cabang produksi tersebut serta
pada saat yang bersamaan melarang perorangan atau swasta untuk
mengusahakan cabang produksi tersebut.
3) Pada cabang produksi yang telah diusahakan oleh perorangan atau
swasta dan ternyata produksinya penting bagi negara dan menguasai
hajat hidup orang banyak, atas kewenangan yang diberikan oleh Pasal 33
ayat (2) UUD Tahun 1945, negara dapat mengambil alih cabang produksi
tersebut dengan cara yang sesuai dengan aturan hukum yang adil.
Bahwa kewenangan negara yang diberikan oleh UUD Tahun 1945 dapat
digunakan sewaktu-waktu apabila unsur-unsur persyaratan penting bagi
negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak sebagaimana
tercantum dalam Pasal 33 ayat (2) terpenuhi. Bahwa ketentuan UUD
Tahun 1945 yang memberikan kewenangan kepada negara untuk
menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan
menguasai hajat hidup orang banyak tidaklah dimaksudkan demi
kekuasaan semata dari negara, tetapi mempunyai maksud agar negara
dapat memenuhi kewajibannya sebagaimana disebutkan dalam
Pembukaan UUD Tahun 1945, “.… melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum …” dan juga “mewujudkan suatu keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Misi yang terkandung dalam penguasaan negara tersebut dimaksudkan
bahwa negara harus menjadikan penguasaan terhadap cabang produksi
yang dikuasainya itu untuk memenuhi tiga hal yang menjadi kepentingan
masyarakat, yaitu: (1) ketersediaan yang cukup, (2) distribusi yang
merata, dan (3) terjangkaunya harga bagi orang banyak. Hubungan
antara penguasaan negara atas cabang produksi yang penting bagi
negara dan hajat hidup orang banyak, serta misi yang terkandung dalam
penguasaan negara merupakan keutuhan paradigma yang dianut oleh
UUD Tahun 1945, bahkan dapat dikatakan sebagai cita hukum
(rechtsidee) dari UUD Tahun 1945. Dengan demikian jelas bahwa UUD
Tahun 1945 telah menentukan pilihannya. Pertanyaannya, bukankah
ketiga hal tersebut di atas dapat dipenuhi oleh sistem ekonomi pasar, dan
oleh karenanya mengapa tidak diserahkan saja kepada mekanisme pasar,
tentu haruslah dijawab secara normatif bahwa UUD Tahun 1945 tidak
memilih sistem tersebut sebagaimana tercermin dalam Pasal 33 ayat (4).
Dasar pilihan tersebut tidak berarti tanpa alasan sama sekali.
Asumsi bahwa mekanisme pasar dapat secara otomatis memenuhi ketiga
hal tersebut di atas adalah penyederhanaan logika yang jauh dari
kenyataan, yaitu adanya mekanisme (sistem) pasar yang sempurna.
Kenyataan tidak adanya mekanisme pasar yang sempurna ini dapat
disimak dari apa yang dinyatakan oleh Joseph E. Stiglitz: ”… presumption
that markets, by themselves, lead to efficient outcomes, failed to allow for
desirable government interventions in the market and make everyone
better off.“ (Globalization and Its Discontents, Joseph E. Stiglitz, hal. XII).
Bahwa berdasarkan penafsiran historis, seperti yang tercantum dalam
Penjelasan UUD Tahun 1945 sebelum perubahan, makna ketentuan
tersebut adalah “Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi,
kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus
dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan
orang-seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasinya.
Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh
di tangan orang-seorang”. Uraian di atas masih menyisakan pertanyaan,
apa saja yang termasuk cabang produksi yang penting bagi negara dan
yang menguasai hajat hidup orang banyak, serta apa pula makna
dikuasai oleh negara itu?
Bahwa Mohammad Hatta sebagai salah satu pendiri negara (founding
fathers) menyatakan tentang pengertian dikuasai oleh negara sebagai
berikut, “Cita-cita yang tertanam dalam Pasal 33 UUD Tahun 1945 ialah
produksi yang besar-besar sedapat-dapatnya dilaksanakan oleh
Pemerintah dengan bantuan kapital pinjaman luar negeri. Apabila siasat
ini tidak berhasil, perlu juga diberi kesempatan kepada pengusaha asing
menanamkan modalnya di Indonesia dengan syarat yang ditentukan
Pemerintah. Cara begitulah dahulu kita memikirkan betapa melaksanakan
pembangunan ekonomi dengan dasar Pasal 33 UUD Tahun 1945 …
Apabila tenaga nasional dan kapital nasional tidak mencukupi, pinjam
tenaga asing dan kapital asing untuk melancarkan produksi.
Apabila bangsa asing tidak bersedia meminjamkan kapitalnya maka
diberikan kesempatan kepada mereka untuk menanamkan modalnya di
tanah air kita dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh Pemerintah
Indonesia sendiri. (Mohammad Hatta, Kumpulan Pidato II Hal. 231.
Disusun oleh I. Wangsa Widjaja, Mutia F. Swasono, PT. Toko Gunung
Agung Tbk. Jakarta 2002). Penafsiran Dr. Mohammad Hatta tersebut
diadopsi oleh Seminar Penjabaran Pasal 33 UUD Tahun 1945 pada tahun
1977 di Jakarta yang menyatakan bahwa sektor usaha negara adalah
untuk mengelola ayat (2) dan ayat (3) Pasal 33 UUD Tahun 1945 dan di
bidang pembiayaan, perusahaan negara dibiayai oleh Pemerintah, apabila
Pemerintah tidak mempunyai cukup dana untuk membiayai, dapat
melakukan pinjaman dari dalam dan luar negeri, dan apabila masih belum
mencukupi bisa diselenggarakan bersama-sama dengan modal asing atas
dasar production sharing.
Bahwa Menteri Negara BUMN dalam keterangan tertulis di forum sidang
Mahkamah menafsirkan “dikuasai oleh negara” berarti negara sebagai
regulator, fasilitator, dan operator yang secara dinamis menuju negara
hanya sebagai regulator dan fasilitator, sedangkan Prof. Dr. Harun
Alrasid, S.H. menafsirkan dikuasai oleh negara berarti dimiliki oleh
negara. Bahwa Mahkamah juga memperhatikan pendapat para ahli yang
menyatakan dalam kenyataan sesungguhnya tidak ada sistem ekonomi
yang secara ekstrim liberal sepenuhnya, maupun sistem ekonomi yang
bersifat command atau planned economy sepenuhnya. Sehingga oleh
karenanya Pasal 33 UUD Tahun 1945 harus tetap menjadi acuan, karena
Pasal 33 tersebut sama sekali tidak diartikan anti terhadap ekonomi
pasar, dan ekonomi pasar juga tidak mengesampingkan sepenuhnya
peran negara untuk campur tangan manakala terjadi distorsi dan
ketidakadilan, oleh karena tafsiran dinamis atas Pasal 33 UUD Tahun
1945 oleh Mahkamah dilakukan dengan memperhatikan seoptimal
mungkin perubahan lingkungan strategis secara nasional maupun global.
Bahwa dengan memandang UUD Tahun 1945 sebagai sistem
sebagaimana dimaksud, maka pengertian “dikuasai oleh negara” dalam
Pasal 33 UUD Tahun 1945 mengandung pengertian yang lebih tinggi atau
lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata. Konsepsi
penguasaan olehnegara merupakan konsepsi hukum publik yang
berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD
Tahun 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi
(demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang
diakui sebagai sumber, pemilik dan sekaligus pemegang kekuasaan
tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin “dari rakyat,
oleh rakyat dan untuk rakyat”. Dalam pengertian kekuasaan tertinggi
tersebut, tercakup pula pengertian kepemilikan publik oleh rakyat secara
kolektif.
jikalau cabang produksi listrik sungguh-sungguh dinilai oleh Pemerintah
bersama DPR telah tidak lagi penting bagi negara dan/atau menguasai
hajat hidup orang banyak, maka dapat saja cabang itu diserahkan
pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasannya kepada
pasar. Namun, jikalau cabang produksi dimaksud masih penting bagi
negara dan/atau masih menguasai hajat hidup orang banyak, maka
negara c.q. Pemerintah tetap diharuskan menguasai cabang produksi
yang bersangkutan dengan cara mengatur, mengurus, mengelola, dan
mengawasinya agar sungguh-sungguh dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. Di dalam pengertian penguasaan itu
tercakup pula pengertian kepemilikan perdata sebagai instrumen untuk
mempertahankan tingkat penguasaan oleh negara c.q. Pemerintah dalam
pengelolaan cabang produksi listrik dimaksud. Dengan demikian, konsepsi
kepemilikan privat oleh negara atas saham dalam badan-badan usaha
yang menyangkut cabang-cabang produksi yang penting bagi negara
dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak tidak dapat didikotomikan
ataupun dialternatifkan dengan konsepsi pengaturan oleh negara.
Keduanya tercakup dalam pengertian penguasaan oleh negara. Oleh
sebab itu, negara tidak berwenang mengatur atau menentukan aturan
yang melarang dirinya sendiri untuk memiliki saham dalam suatu badan
usaha yang menyangkut cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak sebagai
instrumen atau cara negara mempertahankan penguasaannya atas
sumber-sumber kekayaan dimaksud untuk tujuan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Bahwa di samping itu, untuk menjamin prinsip efisiensi berkeadilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (4) UUD Tahun 1945, yang
menyatakan, “perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional“, maka
penguasaan dalam arti pemilikan privat itu juga harus dipahami bersifat
relatif dalam arti tidak mutlak selalu harus 100%, asalkan penguasaan
oleh negara c.q. Pemerintah atas pengelolaan sumber-sumber kekayaan
dimaksud tetap terpelihara sebagaimana mestinya. Meskipun Pemerintah
hanya memiliki saham mayoritas relatif, asalkan tetap menentukan dalam
proses pengambilan keputusan atas penentuan kebijakan dalam badan
usaha yang bersangkutan, maka divestasi ataupun privatisasi atas
kepemilikan saham Pemerintah dalam badan usaha milik negara yang
bersangkutan tidak dapat dianggap bertentangan dengan Pasal 33 UUD
Tahun 1945. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat, ketentuan Pasal
33 UUD Tahun 1945 tidaklah menolak privatisasi, sepanjang privatisasi itu
tidak meniadakan penguasaan negara c.q. Pemerintah untuk menjadi
penentu utama kebijakan usaha dalam cabang produksi yang penting
bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak. Pasal 33 UUD
Tahun 1945 juga tidak menolak ide kompetisi di antara para pelaku
usaha, sepanjang kompetisi itu tidak meniadakan penguasaan oleh
negara yang mencakup kekuasaan untuk mengatur (regelendaad),
mengurus (bestuursdaad), mengelola (beheersdaad), dan mengawasi
(toezichthoudensdaad) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara
dan/atau yang mengusai hajat hidup orang banyak untuk tujuan sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
Bahwa dalam menguji undang-undang a quo, Mahkamah juga
memperhatikan keterangan Pemerintah yang memuat faktor pendorong,
ruang lingkup, filosofi dan konsepsi Undang-undang No. 20 Tahun 2002,
secara singkat sebagai berikut:
1) Adanya keterbatasan dana Pemerintah dalam pembangunan sektor
tenaga listrik;
2) Penyediaan tenaga listrik secara lebih transparan, effisien dan
berkeadilan dengan partisipasi swasta yang diselenggarakan melalui
mekanisme kompetisi sehingga memberikan perlakuan yang sama kepada
semua pelaku usaha;
3) Perlunya antisipasi perubahan pada tataran nasional, regional
maupun global serta memperhatikan pembaruan atau pembangunan
hukum di sektor terkait;
4) Penguasaan negara di bidang ketenagalistrikan diwujudkan dengan
adanya kewenangan negara c.q. Pemerintah dalam penetapan kebijakan,
pengaturan dan pengawasan pelaksanaan usaha;
5) Usaha penyediaan tenaga listrik bertujuan untuk menjamin
tersedianya tenaga listrik dalam jumlah yang cukup, kualitas yang baik
dan harga yang wajar untuk meningkatkan kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat secara adil dan merata serta mendorong
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan
merata serta mendorong meningkatkan ekonomi yang berkelanjutan,
dengan penyediaan tenaga listrik secara efisien melalui regulasi yang
kuat, adanya kompetisi dan tranparansi usaha dalam iklim usaha yang
sehat, untuk terciptanya efisiensi
6) Struktur industri tenaga listrik dapat dibentuk secara terintegrasi
vertikal maupun dipisah atas fungsi-fungsinya, dan di daerah yang secara
teknis dan ekonomis memungkinkan kompetisi, usaha pembangkitan,
transmisi, distribusi dan retail merupakan usaha yang terpisah, kecuali
bidang usaha, yang secara alamiah harus dilakukan secara monopoli yaitu
tranmisi dan distribusi. Pada wilayah yang tidak/belum dapat menerapkan
kompetisi, usaha penyediaan tenaga listrik dilakukan secara monopoli;
7) Penetapan harga jual tenaga listrik diarahkan pada pendekatan
cost based/cost recovery dan pengawasan dalam pelaksanaan penetapan
tarif oleh pasar, dan harga jual tenaga listrik untuk daerah yang sudah
kompetitif ditetapkan melalui mekanisme pasar dan harga sewa transmisi
dan distribusi ditetapkan oleh Badan Pengawas Pasar Tenaga listrik;
8) Sistem ketatanegaraan sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD
Tahun 1945 mengatur bahwa Pemerintah mempunyai fungsi sebagai
penguasa (regulator) yang dilakukan oleh menteri-menteri teknis dan
fungsi selaku pengusaha (operator) yang dilakukan oleh kantor menteri
negara yang mengawasi dan membina jalannya kepengusahaan seperti
BUMN. Pada saatnya Pemerintah harus lebih memfokuskan fungsinya
sebagai regulator dan secara bertahap melepaskan fungsinya sebagai
operator dalam artian sebagai pelaksana langsung kegiatan, sesuai
prinsip “Government function is to Govern”;
9) Dikuasai oleh negara mengandung pengertian (1) Pemilikan (2)
Pengaturan, pembinaan, dan pengawasan dan (3) Penyelenggaraan
kegiatan usaha dilakukan sendiri oleh Pemerintah;
10) Filosofi “penguasaan negara” adalah terciptanya ketahanan nasional
di bidang energi (migas, listrik dan lainnya) di NKRI dengan sasaran
utama penyediaan dan pendistribusian energi di dalam negeri;
11) Deregulasi adalah efisiensi melalui kompetisi, efisiensi mana
memaksimalkan surplus total pemakai ditambah surplus supply, yang
dapat dikatakan adalah nilai terhadap pemakai dikurangi biaya produksi.
Kompetisi tidak menjanjikan harga yang terendah pada sesuatu waktu,
kompetisi akan menggerakkan bahwa para pemakai akan dapat menutupi
dalam jangka panjangnya biaya produksi termasuk pengembalian modal
secara wajar, dan kompetisi akan meminimalkan biaya rata-rata untuk
produksi dan meminimalkan pula harga rata rata untuk pemakai;
Bahwa para ahli yang diajukan oleh Pemerintah telah memberikan
keterangan sebagaimana telah dikutip secara lengkap dalam bagian
duduk perkara putusan ini, yang pada pokoknya menerangkan hal hal
yang berikut ini:
1) Pasaran kelistrikan akan berdiri di bawah satu otoritas, yang
dinamakan Bapetal, berdasarkan aturan-aturan tertentu yang dinamakan
market rules. Ada pasar yang sukses dan ada yang tidak, masalahnya
adalah market rules, bagaimana aturan main itu harus dilakukan. Dengan
mempelajari market rules kita dapat membuat market rules yang cocok
dengan kepentingan kita, seperti yang diamanatkan oleh undang-undang
dasar dimana perekonomian nasional diselenggarakan dengan efisiensi
berkeadilan. Pengertian efisiensi berkeadilan dalam dunia listrik
mempunyai pengertian yang khusus. Efisiensi itu adalah tercapainya
economic equilibrium yaitu satu keseimbangan kompetisi bahwa harga
ditentukan atas dasar supply and demand. Efisiensi berkeadilan itu
dicapai dalam satu sistem kompetisi kalau harga rata-rata yang diambil
supplier adalah yang terbaik yang pada akhirnya dicapai dari segi
pemakai, dan supplier dan consumer surplus bertemu.
2) Parameter yang digunakan untuk menilai apakah UU yang diuji
menguntungkan atau merugikan adalah sebagai berikut:
a) Parameter pertama, efisiensi
Efisiensi teori ekonomi menunjukkan bahwa hanya kompetisi saja yang
memungkinkan efisiensi itu tercapai. Tetapi listrik karateristiknya unik,
mempunyai sifat monopoli alamiah, sehingga tidak sepenuhnya bisa
dilepas ke pasar. Unbundling merupakan cara untuk efisiensi, dan
meskipun kemudian ada gugatan terhadap kompetisi di listrik, tidak satu
negara pun yang kemudian kembali ke sistem single integrated
monopoly, yang ada hanya perubahan dalam market rules.
b) Parameter kedua, kontribusi pajak
Kontribusi pajak dari PLN, selama 3 tahun terus merugi, baru tahun ini
mendapat keuntungan yang kecil kalau dibanding asetnya yang besar.
c) Parameter ketiga, merugikan masyarakat atau tidak
Dua indikator yaitu aksesibilitas masyarakat dan harga. Kalau hanya
mengandalkan PLN untuk mencapai ratio elektrifikasi 100% sangat sukar,
sehingga harus memberikan kesempatan kepada siapa pun untuk
meningkatkan aksesibilitas, karena akses yang rendah tidak
menguntungkan masyarakat. Yang tidak memiliki akses listrik harus
membayar 4 atau 5 kali lebih mahal dibanding mereka yang punya akses.
Yang tidak punya akses listrik tersebut adalah orang yang miskin.
3) Listrik sebagai komoditi bisa dilihat perannya dalam 3 kelompok
besar, yaitu listrik sebagai pelayanan publik, sebagai infrastruktur dan
listrik sebagai bagian penerimaan negara. Dalam konteks pelayanan
publik, listrik hanya kalah oleh kebutuhan makanan, dan itu berarti tanpa
listrik setiap warganegara akan terlanggar haknya, sehingga listrik yang
mudah diakses dengan harga wajar menjadi kebutuhan suatu negara.
Upaya memenuhi hak akan listrik belum memadai kalau hanya diserahkan
pada PLN. Karenanya penyediaan listrik menjadi prioritas, dan Undang-
undang Ketenagalistrikan yang baru telah mendorong upaya tersebut,
tanpa harus mengandalkan PLN semata-mata tetapi juga investor swasta,
koperasi atau BUMD dengan tetap mengikuti aturan-aturan yang
dikeluarkan badan pengawas. Listrik sebagai infrastruktur merupakan
sumber pendorong perekonomian negara, yang tidak bisa hanya
mengandalkan PLN tapi juga mengikutkan BUMD, koperasi, dan lain-lain.
Bahwa lagi pula kompetisi dalam kegiatan usaha penyediaan tenaga listrik
di wilayah yang telah dapat menerapkan kompetisi dan secara
unbundling, menurut ahli hanya akan terjadi di daerah JAMALI (Jawa,
Madura dan Bali) sebagai pasar yang telah terbentuk yang akan
dimenangkan oleh usaha yang kuat secara teknologis dan finansial,
sedang di daerah yang pasarnya belum terbentuk di luar Jawa, Madura
dan Bali, menjadi kewajiban Pemerintah/BUMN yang boleh
melaksanakannya secara terintegrasi, hal mana tidak mampu dilakukan
tanpa melalui subsidi silang dari pasar yang telah menguntungkan di
JAMALI tersebut, sehingga kewajiban untuk mewujudkan kemakmuran
dan kesejahteraan rakyat yang sebesar-besarnya bagi seluruh rakyat
Indonesia tidak akan tercapai, karena pelaku usaha swasta akan
berorientasi kepada keuntungan yang hanya diperoleh di pasar yang
sudah terbentuk.
Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat
bahwa untuk menyelamatkan dan melindungi serta mengembangkan
lebih lanjut perusahaan negara (BUMN) sebagai aset negara dan bangsa
agar lebih sehat yang selama ini telah berjasa memberikan pelayanan
kelistrikan kepada masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia, baik yang
beraspek komersiil maupun non-komersiil sebagai wujud penguasaan
negara, sehingga ketentuan Pasal 16 UU No. 20 Tahun 2002 yang
memerintahkan sistem pemisahan/pemecahan usaha ketenagalistrikan
(unbundling system) dengan pelaku usaha yang berbeda akan semakin
membuat terpuruk BUMN yang akan bermuara kepada tidak terjaminnya
pasokan listrik kepada semua lapisan masyarakat, baik yang bersifat
komersial maupun non-komersial. Dengan demikian yang akan merugikan
masyarakat, bangsa dan negara. Keterangan ahli yang diajukan pemohon
telah menjelaskan pengalaman empiris yang terjadi di Eropa, Amerika
Latin, Korea, dan Meksiko, sistem unbundling dalam restrukturisasi usaha
listrik justru tidak menguntungkan dan tidak selalu efisien dan malah
menjadi beban berat bagi negara, sehingga oleh karenanya Mahkamah
berpendapat bahwa hal tersebut bertentangan dengan pasal 33 UUD
Tahun 1945.
Bahwa Mahkamah berpendapat pembuat undang-undang juga menilai
bahwa tenaga listrik hingga saat ini masih merupakan cabang produksi
yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak,
sehingga oleh karenanya menurut pasal 33 ayat (2) UUD Tahun 1945
harus tetap dikuasai oleh negara, dalam arti harus dikelola oleh negara
melalui perusahaan negara yang didanai oleh pemerintah (negara) atau
dengan kemitraan bersama swasta nasional atau asing yang menyertakan
dana pinjaman dari dalam dan luar negeri atau dengan melibatkan modal
swasta nasional/asing dengan sistem kemitraan yang baik dan saling
menguntungkan. Hal ini berarti bahwa hanya BUMN yang boleh
mengelola usaha tenaga listrik, sedangkan perusahaan swasta nasional
atau asing hanya ikut serta apabila diajak kerjasama oleh BUMN, baik
dengan kemitraan, penyertaan saham, pinjaman modal dan lain-lain.
Persoalannya adalah apakah yang dimaksud dengan perusahaan negara
pengelola tenaga listrik hanyalah BUMN, dalam hal ini PLN, ataukah bisa
dibagi dengan perusahaan negara yang lain, bahkan dengan perusahaan
daerah (BUMD) sesuai dengan semangat otonomi daerah? Mahkamah
berpendapat, jika PLN memang masih mampu dan bisa lebih efisien, tidak
ada salahnya jika tugas itu tetap diberikan kepada PLN, tetapi jika tidak,
dapat juga berbagi tugas dengan BUMN lainnya atau BUMD dengan PLN
sebagai “holding company”.
Bahwa adanya kenyataan inefisiensi BUMN yang timbul karena faktor-
faktor miss-management serta korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), tidak
dapat dijadikan alasan untuk mengabaikan Pasal 33 UUD 1945, bak
pepatah “buruk muka cermin dibelah”. Pembenahan yang dilakukan
haruslah memperkuat penguasaan negara untuk dapat melaksanakan
kewajiban konstitusionalnya sebagaimana disebut dalam Pasal 33 UUD
Tahun 1945.
Bahwa dengan pertimbangan-pertimbangan yang telah diuraikan di atas,
maka permohonan Para Pemohon harus dikabulkan sebagian dengan
menyatakan Pasal 16, 17 ayat (3), serta 68 UU No. 20 Tahun 2002
tentang Ketenagalistrikan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan
oleh karenanya harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.
Bahwa meskipun ketentuan yang dipandang bertentangan dengan
konstitusi pada dasarnya adalah Pasal 16, 17 ayat (3), serta 68,
khususnya yang menyangkut unbundling dan kompetisi, akan tetapi
karena pasal-pasal tersebut merupakan jantung dari UU No. 20 Tahun
2002 padahal seluruh paradigma yang mendasari UU Ketenagalistrikan
adalah kompetisi atau persaingan dalam pengelolaan dengan sistem
unbundling dalam ketenagalistrikan yang tercermin dalam konsideran
“Menimbang” huruf b dan c UU Ketenagalistrikan. Hal tersebut tidak
sesuai dengan jiwa dan semangat Pasal 33 ayat (2) UUD Tahun 1945
yang merupakan norma dasar perekonomian nasional Indonesia;
Bahwa Mahkamah berpendapat cabang produksi dalam Pasal 33 ayat (2)
UUD Tahun 1945 di bidang ketenagalistrikan harus ditafsirkan sebagai
satu kesatuan antara pembangkit, transmisi, dan distribusi sehingga
dengan demikian, meskipun hanya pasal, ayat, atau bagian dari ayat
tertentu saja dalam undang-undang a quo yang dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat akan tetapi hal tersebut
mengakibatkan UU No. 20 Tahun 2002 secara keseluruhan tidak dapat
dipertahankan, karena akan menyebabkan kekacauan yang menimbulkan
ketidakpastian hukum dalam penerapannya.
Bahwa oleh karena Pasal 16 dan 17 dinyatakan bertentangan dengan
UUD Tahun 1945 yang berakibat UU No. 20 Tahun 2002 secara
keseluruhan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat secara
hukum karena paradigma yang mendasarinya bertentangan dengan UUD
Tahun 1945. Oleh karena itu guna mencegah timbulnya kesalahpahaman
dan keragu-raguan yang mengakibatkan timbulnya kesan tidak adanya
kepastian hukum di bidang ketenagalistrikan di Indonesia, perlu
ditegaskan bahwa sesuai dengan Pasal 58 UU MK, Putusan Mahkamah
Konstitusi mempunyai akibat hukum sejak diucapkan dan berlaku ke
depan (prospective) sehingga tidak mempunyai daya laku yang bersifat
surut (retroactive). Dengan demikian, semua perjanjian atau kontrak dan
ijin usaha di bidang ketenagalistrikan yang telah ditandatangani dan
dikeluarkan berdasarkan UU No. 20 Tahun 2002 tetap berlaku sampai
perjanjian atau kontrak dan ijin usaha tersebut habis atau tidak berlaku
lagi.
Bahwa guna menghindari kekosongan hukum (rechtsvacuum), maka
undang-undang yang lama di bidang ketenagalistrikan, yaitu UU No. 15
Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1985 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3317) berlaku kembali karena Pasal 70 UU No. 20 Tahun 2002 yang
menyatakan tidak berlakunya UU No. 15 Tahun 1985 termasuk ketentuan
yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Bahwa dengan dinyatakannya keseluruhan UU No. 20 Tahun 2002 tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat, disarankan agar pembentuk
undang-undang menyiapkan RUU Ketenagalistrikan yang baru yang
sesuai dengan Pasal 33 UUD Tahun 1945.
Dengan adanya pembatalan atas UU 20 Tahun 2002 tentang
Ketenagalistrikan tersebut, perlu ada pengisian kekosongan/kevakuman
hukum (rechtsvacuum). Dalam amar Putusan Perkara 001/PUU-I/2003,
021/PUU-I/2003 dan 022/PUU-I/2003, Mahkamah Konstitusi menetapkan
undang-undang yang lama di bidang ketenagalistrikan, yaitu UU No. 15
Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1985 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3317) berlaku kembali karena Pasal 70 UU No. 20 Tahun 2002 yang
menyatakan tidak berlakunya UU No. 15 Tahun 1985 termasuk ketentuan
yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sekaligus
memberi saran kepada pembentuk undang-undang untuk menyiapkan
RUU Ketenagalistrikan yang baru yang sesuai dengan Pasal 33 UUD
Tahun 1945.
Sedangkan implikasi lain dengan adanya pembatalan undang-undangan
tentang ketenagalistrikan tersebut, adalah terkait dengan perjanjian atau
kontrak dan ijin usaha di bidang ketenagalistrikan yang telah
ditandatangani dan dikeluarkan berdasarkan UU 20 Tahun 2002. Dalam
hal ini, guna mencegah timbulnya kesalahpahaman dan keragu-raguan
yang mengakibatkan timbulnya kesan tidak adanya kepastian hukum di
bidang ketenagalistrikan di Indonesia, Mahkamah Konstitusi dalam
putusannya menegaskan bahwa sesuai dengan Pasal 58 UU MK, Putusan
Mahkamah Konstitusi mempunyai akibat hukum sejak diucapkan dan
berlaku ke depan (prospective) sehingga tidak mempunyai daya laku
yang bersifat surut (retroactive). Dengan demikian, semua perjanjian
atau kontrak dan ijin usaha di bidang ketenagalistrikan yang telah
ditandatangani dan dikeluarkan berdasarkan UU 20 Tahun 2002 tetap
berlaku sampai perjanjian atau kontrak dan ijin usaha tersebut habis atau
tidak berlaku lagi.
Pembatalan atas UU 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan juga
membawa berbagai implikasi bagi pembangunan sektor ketenagalistrikan
antara lain kewenangan pemberian izin yang telah didelegasikan kepada
daerah berdasarkan UU 20 Tahun 2002 menjadi batal demi hukum atau
kembali kepada semangat sentralisasi. Tentunya ini tidak sejalan dengan
semangat otonomi daerah yang sehingga tidak mengatur peran
pemerintah daerah dalam pengelolaan ketenagalistrikan yang ada di
daerahnya.
Implikasi lainnya adalah usaha penyediaan tenaga listrik untuk
kepentingan umum tidak dapat dilakukan oleh badan usaha (BUMN,
BUMD, Swasta dan Koperasi) secara setara (level playing field) karena
adanya BUMN selaku Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK)
yang kembali dipegang oleh PT PLN sesuai PP No 23/1994 tentang
Pengalihan Bentuk Perum PLN menjadi Perusahaan Perseroan. Dengan
pembatalan ini, maka peran serta BUMD, swasta dan koperasi dalam
penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum hanya dapat
dilakukan melalui skema kerjasama dengan PKUK atau pada wilayah
tertentu yang PKUKnya menyatakan ketidaksanggupannya. Selain itu,
BUMN selain BUMN di bidang ketenagalistrikan tidak dapat menjual
tenaga listrik untuk kepentingan umum.
Di sisi lain, pembatalan UU 20 Tahun 2002 juga menyebabkan berbagai
produk regulasi yang telah diterbitkan berdasarkan UU 20 Tahun 2002
batal demi hukum yaitu PP Nomor 53 Tahun 2003 tentang Pembentukan
Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik (Bapeptal) dan 18 Keputusan
Menteri ESDM termasuk Kepmen ESDM tentang Pedoman dan Pola Tetap
(Blueprint) Pengembangan Industri Ketenagalistrikan Nasional 2003-2020
dan Kepmen ESDM tentang Pedoman Penyusunan Rencana Umum
Ketenagalistrikan. Pembatalan ini juga menurunkan kepercayaan investor
dan dunia usaha terhadap kepastian hukum di sektor ketenagalistrikan di
Indonesia pada saat kita sangat memerlukan investasi untuk memenuhi
kebutuhan tenaga listrik yang terus meningkat dan sumber-sumber
pendanaan dalam negeri maupun bantuan asing tidak mencukupi untuk
memenuhi pasokan tersebut.
Dalam Putusan Perkara 001/PUU-I/2003, 021/PUU-I/2003 dan 022/PUU-
I/2003 ini pula, Mahkamah Konstitusi menjalankan fungsinya sebagai
penafsir akhir konstitusi (the final interpreter of constitution)dengan
memberikan penafsiran atas frasa “dikuasai oleh negara”. Dalam
putusannya Mahkamah Konstitusi menyatakan sebagai berikut:
Perkataan “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna
penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan berasal dari
konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”, termasuk pula
di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas
sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu
dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara
untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan
(bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad)
dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara
dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan
dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan
konsesi (concessie). Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad)
dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan
Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah (eksekutif). Fungsi pengelolaan
(beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-
holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan
Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen
kelembagaan melalui mana negara c.q. Pemerintah mendayagunakan
penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan
oleh negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh negara c.q.
Pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar
pelaksanaan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting
dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud benar-
benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat.
Bahwa dalam kerangka pengertian yang demikian itu, penguasaan dalam
arti kepemilikan perdata (privat) yang bersumber dari konsepsi
kepemilikan publik berkenaan dengan cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak
yang menurut ketentuan Pasal 33 ayat (2) dikuasai oleh negara,
tergantung pada dinamika perkembangan kondisi masing-masing cabang
produksi. Yang harus dikuasai oleh negara adalah cabang-cabang
produksi yang dinilai penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat
hidup orang banyak, yaitu: (i) cabang produksi yang penting bagi negara
dan menguasai hajat hidup orang banyak, (ii) penting bagi negara tetapi
tidak menguasai hajat hidup orang banyak, atau (iii) tidak penting bagi
negara tetapi menguasai hajat hidup orang banyak. Ketiganya harus
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Namun, terpulang kepada Pemerintah bersama
lembaga perwakilan rakyat untuk menilainya apa dan kapan suatu cabang
produksi itu dinilai penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat
hidup orang banyak. Cabang produksi yang pada suatu waktu penting
bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, pada waktu yang
lain dapat berubah menjadi tidak penting lagi bagi negara dan tidak lagi
menguasai hajat hidup orang banyak. Akan tetapi Mahkamah berwenang
pula untuk melakukan penilaian dengan mengujinya terhadap UUD 1945
jika ternyata terdapat pihak yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya
karena penilaian pembuat undang-undang tersebut.
Pada intinya, dari putusan tersebut dapat dilihat tafsir penting Mahkamah
Konstitusi dalam menjelaskan kedudukan negara berdasarkan frasa
“dikuasai oleh negara” yang terdapat dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat
(3) tersebut. Hal itu adalah:
1) Dalam konsepsi kepemilikan perdata, “dikuasai oleh negara”
dipahami sebagai salah satu konsekuensi logis penguasaan oleh negara
yang mencakup juga pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas
rakyat atas sumber-sumber kekayaan alam.
2) Pengertian “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 UUD Tahun 1945
mengandung pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas daripada
pemilikan dalam konsepsi hukum perdata, karena kepemilikan tersebut
lahir dari konstruksi kedaulatan rakyat yang dinyatakan dalam hukum
tertinggi, yaitu UUD Tahun 1945.
3) Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh Undang Undang
Dasar Tahun 1945 memberikan mandat kepada negara untuk:
a. Mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan
(bestuursdaad) yang dilakukan oleh negara c.q pemerintah dengan
kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan
(vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (concessie).
b. Pengaturan (regelendaad), dilakukan melalui kewenangan legislasi
oleh DPR bersama dengan Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah
(eksekutif).
c. Pengelolaan (beheersdaad), dilakukan melalui mekanisme pemilikan
saham (share-holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam
manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara
sebagai instrumen kelembagaan melalui mana negara c.q. Pemerintah
mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu
untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
d. Pengawasan (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh negara c.q.
Pemerintah agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas sumber-
sumber kekayaan itu benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran seluruh rakyat.
4) Pengertian “dikuasai oleh negara” tidak dapat diartikan hanya
sebatas sebagai hak untuk mengatur, karena hal dimaksud sudah dengan
sendirinya melekat dalam fungsi-fungsi negara tanpa harus disebut
secara khusus dalam Undang Undang Dasar. Sekiranyapun Pasal 33 tidak
tercantum dalam UUD Tahun 1945, sebagaimana lazim di banyak negara
yang menganut paham ekonomi liberal yang tidak mengatur norma-
norma dasar perekonomian dalam konstitusinya, sudah dengan sendirinya
negara berwenang melakukan fungsi pengaturan.
5) Mengutip pendapat Bung Hatta, makna dikuasai oleh negara ialah
bahwa terhadap cabang produksi yang telah dimiliki oleh negara, maka
negara harus memperkuat posisi perusahaan tersebut agar kemudian
secara bertahap akhirnya dapat menyediakan sendiri kebutuhan yang
merupakan hajat hidup orang banyak dan menggantikan kedudukan
perusahaan swasta, baik nasional maupun asing.
Secara khusus, bila dikaitkan dengan UU 20 Tahun 2002 tentang
Ketenagalistrikan, maka dapat ditemukan beberapa hal penting yang
diturunkan dari penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap “penguasaan
negara” dalam Pasal 33 UUD Tahun 1945, hal tersebut adalah:
1) Peranan negara terhadap Ketenagalistrikan di dalam putusan
Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan sebagai kepemilikan atas
perusahaan negara (BUMN) yang melakukan penyediaan fasilitas
ketenagalistrikan.
2) Pasal 33 UUD Tahun 1945 tidak menolak ide kompetisi diantara
para pelaku usaha, sepanjang itu tidak meniadakan penguasaan oleh
negara
3) Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa cabang produksi dalam
Pasal 33 ayat (2) UUD Tahun 1945 di bidang ketenagalistrikan harus
ditafsirkan sebagai satu kesatuan antara pembangkit, transmisi, dan
distribusi. Sehingga tidak dapat dipisah-pisahkan (unbundling)
4) Pasal 16, 17 ayat (3), serta Pasal 68 yang mengatur persoalan
unbundling dan kompetisi merupakan jantung dari Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, sehingga ketika
Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal tersebut bertentangan dengan
konstitusi, maka secara keseluruhan Undang-undang Nomor 20 Tahun
2002 tentang Ketenagalistrikan tidak dapat dipertahankan, karena akan
menyebabkan kekacauan yang menimbulkan ketidakpastian hukum dalam
penerapannya.
1. Perkara Nomor 58/PUU-XII/2014
Bahwa untuk menunjang usaha penyediaan tenaga listrik, Pemerintah
dan pemerintah daerah menyelenggarakan usaha penyediaan tenaga
listrik yang pelaksanaannya dilakukan oleh badan usaha milik negara dan
badan usaha milik daerah.Selain bermanfaat,tenaga listrik juga dapat
membahayakan. Oleh karena itu, untuk lebih menjamin keselamatan
umum, keselamatan kerja, keamanan instalasi, dan kelestarian fungsi
lingkungan dalam penyediaan tenaga listrik dan pemanfaatan tenaga
listrik, instalasi tenaga listrik harus menggunakan peralatan dan
perlengkapan listrik yang memenuhi standar peralatan di bidang
ketenagalistrikan. Oleh karena itu, Pemerintah dan pemerintah daerah
melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan
ketenagalistrikan, termasuk pelaksanaan pengawasan di bidang
keteknikan. Dalam konteks itulah, perlu upaya penegakan hukum di
bidang ketenagalistrikan, khususnya menyangkut penerapan SLO.
Bahwa menurut Mahkamah, terdapat 4 (empat) permasalahan hukum
yang perlu dipecahkan, yaitu:
1) Pihak yang berhak mengeluarkan SLO;
2) Penentuan biaya SLO;
3) Sanksi pidana dan sanksi denda yang berkaitan dengan SLO;
4) Ketentuan transisi (transitional clause) menyangkut SLO
Terhadap keempat permasalahan hukum tersebut, menurut Mahkamah,
diperlukan pemecahan hukum yang tepat untuk mengimplementasikan
ketentuan yang mengatur SLO, karena instrumen tersebut merupakan
sertifikasi yang semestinya menjamin bahwa suatu intalasi listrik telah
terpasang dengan benar, sehingga aman untuk digunakan oleh pengguna
listrik. Dalam konteks itulah diperlukan hukum yang mengorganisasikan
kepentingan negara dan kepentingan masyarakat dengan cara
memberikan perlindungan di satu pihak dan melakukan pembatasan di
pihak lain, khususnya dalam hal pemanfaatan tenaga listrik. Pemecahan
permasalahan hukum dimaksud akan diuraikan oleh Mahkamah dalam
pendapat hukumnya di bawah ini.
BahwaPasal 11 ayat (1) Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral Nomor 05 Tahun 2014 tentang Tata Cara Akreditasi dan
Sertifikasi Ketenagalistrikan (selanjutnya disebut Permen ESDM 05/2014)
menyebutkan bahwa setiap instalasi penyediaan tenaga listrik dan
pemanfaatan tenaga listrik tegangan tinggi dan tegangan menengah
wajib memiliki SLO. Dalam konteks ini, kewajiban SLO harus dimiliki
instalasi pembangkit tenaga listrik, transmisi tenaga listrik, distribusi
tenaga listrik, pemanfaatan tenaga listrik tegangan tinggi, pemanfaatan
tenaga listrik tegangan menengah, dan pemanfaatan tenaga listrik
tegangan rendah melalui pemeriksaan dan pengujian pada saat instalasi
tenaga listrik selesai dibangun, direkondisi, relokasi, atau masa berlaku
sertifikat laik operasinya telah habis. Proses SLO dan penerbitan SLO
untuk instalasi penyediaan tenaga listrik serta instalasi pemanfaatan
tegangan tinggi dan tegangan menengah dilakukan oleh Lembaga
Inspeksi Teknik Terakreditasi, sedangkan untuk instalasi pemanfaatan
tegangan rendah proses sertifikasi laik operasi dan penerbitan SLO
dilakukan oleh Lembaga Inspeksi Teknik Tegangan Rendah yang
ditetapkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (vide Pasal 11
sampai dengan Pasal 24 Permen ESDM 05/2014).
Bahwa untuk menjamin keamanan pemasangan instalasi listrik, setiap
peralatan listrik dan instalasi listrik harus diuji terlebih dahulu sebelum
digunakan. Hal ini bertujuan agar pengguna peralatan listrik tidak
mengalami bahaya listrik yang diakibatkan oleh adanya kesalahan
instalasi. Dalam konteks itulah dikeluarkan SLO yang merupakan bukti
pengakuan formal bahwa suatu instalasi tenaga listrik telah berfungsi
dengan baik dan siap dioperasikan oleh pengguna listrik.
Mahkamah berpendapat bahwa dengan adanya SLO maka pelanggan
listrik dapat merasa aman dari bahaya listrik karena instalasi listrik yang
dipasang sudah memenuhi standar dan peraturan yang berlaku, sehingga
risiko yang terjadi akibat pemasangan listrik yang tidak sesuai prosedur
dapat diminimalisasi. Namun demikian, permasalahan hukum yang harus
dijawab oleh Mahkamah adalah siapakah subjek hukum (pihak) yang
dinilai berhak dan sah menerbitkan SLO?
Pembentuk Undang-Undang menentukan bahwa pemeriksaan dan
pengujian instalasi tenaga listrik merupakan usaha jasa penunjang tenaga
listrik. Hal itu diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c UU Listrik, yang
dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun
2012 tentang Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik.
Berkaitan dengan ketentuan tersebut di atas, menurut Mahkamah,
Konsuil dan PPILN dapat menerbitkan SLO, meskipun kedua institusi
tersebut sifatnya bukan organ negara, namun merupakan suatu badan
usaha walaupun kedudukannya tidak dapat disejajarkan dengan PLN.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral sebagai menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagalistrikan
dapat menunjuk Konsuil dan PPILN untuk menerbitkan SLO bagi
pengguna listrik sepanjang penunjukan tersebut tidak meniadakan
penguasaan oleh negara untuk mengatur (regelendaad), mengurus
(bestuursdaad), mengelola (beheersdaad), dan mengawasi
(toezichthoudensdaad) usaha kelistrikan yang merupakan salah satu
cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Dengan
demikian, maksud dan tujuan penerbitan SLO sesuai dengan pendirian
Mahkamah sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Nomor 001-
021-022/PUU-I/2003, bertanggal 15 Desember 2004, dan Putusan
Mahkamah Nomor 149/PUU-VII/2009, bertanggal 30 Desember 2010.
Oleh karena Konsuil dan PPILN memiliki tugas yang cukup strategis dalam
memberikan perlindungan kepada pengguna listrik maka Konsuil dan
PPILN memikul tanggung jawab apabila melakukan kesalahan dalam
penerbitan SLO. Melalui penerapan SLO ini diharapkan dapat terwujud
instalasi tenaga listrik yang andal, sehingga dapat beroperasi secara
kontinyu sesuai spesifikasi yang telah ditentukan, instalasi tenaga listrik
yang aman, sehingga bahaya yang mungkin timbul bagi manusia dan
makhluk hidup lainnya yang dapat berupa kecelakaan dan kebakaran
akibat listrik dapat diantisipasi, serta instalasi tenaga listrik yang ramah
lingkungan agar tidak menimbulkan kerusakan pada lingkungan hidup
saat instalasi tenaga listrik dioperasikan.
Bahwa selaku regulator, pemerintah juga menentukan biaya listrik.
Ketentuan mengenai tarif tenaga listrik diatur dalam UU Listrik. Bahwa
tarif listrik sebagaimana diatur dalam UU Listrik dijabarkan lebih lanjut
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012 tentang Kegiatan
Usaha Penyediaan Tenaga Listrik. Bahwa setelah memperhatikan
ketentuan tersebut di atas, menurut Mahkamah, biaya SLO tidak
ditentukan secara tegas dalam peraturan perundang-undangan. Bahkan
berdasarkan fakta persidangan, besaran biaya pemeriksaan instalasi listrik
dalam proses penerbitan SLO justru mendapat persetujuan Direktur
Jenderal Ketenagalistrikan.
Bahwa menurut Mahkamah, biaya SLO termasuk salah satu komponen
biaya tarif listrik karena SLO merupakan syarat agar instalasi listrik dapat
dialiri listrik oleh PLN. Sehubungan dengan hal tersebut, Mahkamah
mendasarkan pendiriannya pada Putusan Nomor 149/PUU-VII/2009,
bertanggal 30 Desember 2010, yang menyatakan:
“Selanjutnya terkait dengan harga jual tenaga listrik, harga sewa
jaringan, dan tarif tenaga listrik, berdasarkan UU 30/2009 bersifat
regulated, yaitu harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik
ditetapkan pelaku usaha setelah mendapat persetujuan pemerintah atau
pemerintah daerah. Tarif tenaga listrik untuk konsumen ditetapkan oleh
Pemerintah dengan persetujuan DPR, atau ditetapkan oleh pemerintah
daerah dengan persetujuan DPRD, dan Pemerintah juga mengatur subsidi
untuk konsumen tidak mampu (vide Putusan Nomor 149/PUU-VII/2009,
halaman 96);
Dengan mendasarkan pada pendiriannya tersebut, menurut Mahkamah,
tarif biaya SLO semestinya juga ditetapkan oleh Pemerintah dengan
persetujuan DPR, atau ditetapkan oleh pemerintah daerah dengan
persetujuan DPRD, oleh karena SLO merupakan syarat esensial agar
kebutuhan listrik masyarakat dapat terpenuhi. Penetapan tarif SLO juga
harus memperhatikan: (a) keseimbangan kepentingan nasional, daerah,
konsumen, dan pelaku usaha penyediaan tenaga listrik; (b) kepentingan
dan kemampuan masyarakat; dan (c) kaidah industri dan niaga yang
sehat. Dengan demikian, penetapan tarif SLO diatur dalam Peraturan
Pemerintah yang dapat diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden.
Bahwa apabila peraturan yang ada pada saat ini, yang telah mendapat
persetujuan Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral, dinilai tidak layak untuk memungut biaya SLO
maka pemeriksaan instalasi listrik menjadi terganggu atau terhambat
karena kehilangan dasar hukumnya. Oleh karena itu, Mahkamah harus
mempertimbangkan perlunya menyediakan waktu bagi proses peralihan
yang mulus (smooth transition) untuk terbentuknya aturan yang baru. Hal
demikian dimaksudkan agar pembentuk Undang-Undang secara
keseluruhan memperkuat dasar-dasar konstitusional yang diperlukan
guna mengimplementasikan SLO bagi kepentingan masyarakat.
Mahkamah berpendapat jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak
putusan Mahkamah ini diucapkan dinilai cukup bagi Pemerintah untuk
mempersiapkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden untuk
menerapkan SLO dengan memperhatikan kepentingan nasional secara
menyeluruh, sehingga tidak membebani masyarakat.
Bahwa Pasal 54 ayat (1) menyatakan, “Setiap orang yang
mengoperasikan instalasi tenaga listrik tanpa sertifikat laik operasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak
Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”. Menurut Mahkamah, norma
tersebut bersifat kumulatif karena selain dikenakan sanksi administratif
berupa denda, setiap orang yang mengoperasikan instalasi tenaga listrik
tanpa sertifikat laik operasi juga dikenakan sanksi pidana. Berkaitan
dengan norma tersebut, hal yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah
apakah ketiadaan SLO dalam pengoperasian instalasi listrik layak
dikenakan pidana penjara dan sanksi denda secara kumulatif
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 54 ayat (1) UU Listrik? Apakah
sanksi pidana penjara dan sanksi denda sebagaimana dirumuskan dalam
pasal a quo bertentangan dengan UUD Tahun 1945 atau tidak?
Bahwa oleh karena SLO merupakan syarat yang harus dipenuhi dalam
pengoperasian instalasi listrik maka PLN harus memeriksa melalui PPILN
dan/atau Konsuil apakah suatu instalasi listrik rumah tangga telah
memiliki SLO atau tidak. Apabila instalasi listrik yang bersangkutan tidak
memiliki SLO maka PLN tidak boleh mengaliri listrik. Dengan kata lain,
apabila PLN tetap memberikan aliran listrik terhadap instalasi listrik rumah
tangga yang tidak memiliki SLO, hal itu merupakan kesalahan PLN karena
masyarakat pengguna listrik rumah tangga tidak dapat mengoperasikan
instalasi listrik jika tidak ada aliran listrik. Dengan demikian, apabila PLN
tetap mengalirkan listrik untuk instalasi listrik rumah tangga dan terjadi
kebakaran akibat ketiadaan SLO maka PLN-lah yang bertanggung jawab
atas dampak kerugian yang timbul.
Pada dasarnya, Konsuil dan/atau PPILN yang menentukan apakah suatu
instalasi listrik yang terpasang sudah memenuhi persyaratan teknis.
Dalam konteks pemanfaatan tenaga listrik, khususnya untuk rumah
tangga, masyarakat tidaklah dalam posisi memutuskan dapat atau tidak
dapatnya aliran listrik disambung, melainkan penyambungan aliran listrik
sangat bergantung pada PLN. Dengan demikian, PLN-lah yang
menentukan apakah instalasi listrik rumah tangga masyarakat dapat dialiri
listrik atau tidak. Oleh karena itu, tidaklah tepat apabila sanksi denda dan
sanksi pidana penjara dibebankan kepada masyarakat. Bahwa keharusan
adanya SLO dalam pengoperasian instalasi listrik merupakan persyaratan
administrasi yang diwajibkan oleh negara bagi setiap orang yang
mengoperasikan instalasi listrik, baik berupa instalasi pembangkit,
transmisi dan distribusi, pemanfaatan tegangan tinggi, pemanfaatan
tegangan menengah, dan pemanfaatan tegangan rendah. Berkaitan
dengan konteks tersebut, menurut Mahkamah, apabila persyaratan
administrasi SLO tidak dipenuhi maka sanksi yang dikenakan dapat
berupa sanksi denda sebagai sanksi administrasi, yang termasuk dalam
ranah hukum pidana administratif. Penggunaan sanksi pidana dalam
hukum administrasi pada hakikatnya termasuk bagian dari kebijakan
hukum pidana (penal policy).
Hukum pidana administratif (administrative penal law; ordnungstrafrecht;
ordeningstrafrecht), yaitu hukum pidana di bidang pelanggaran hukum
administrasi, yang pada hakikatnya hukum pidana administrasi
merupakan perwujudan dari kebijakan menggunakan hukum pidana
sebagai sarana untuk menegakkan hukum administrasi. Dengan kata lain,
hukum pidana administrasi merupakan bentuk
fungsionalisasi/operasionalisasi/ instrumentalisasi hukum pidana di bidang
hukum administrasi. Dengan demikian, apabila sanksi administrasi akan
dioperasionalisasikan maka dapat disebut dengan istilah sanksi pidana
administratif.
Hukum Pidana Administrasi dapat dikatakan sebagai hukum pidana di
bidang pelanggaran hukum administrasi. Oleh karena itu, tindak pidana
administrasi (administrative crime) dinyatakan sebagai “An offence
consisting of a violation of an administrative rule or regulation and
carrying with it a criminal sanction” (Black’s 1990: 45). Di samping itu,
karena hukum administrasi pada dasarnya “hukum mengatur” atau
hukum pengaturan (regulatory rules), yaitu hukum yang dibuat dalam
melaksanakan kekuasaan mengatur/pengaturan (regulatory powers)
maka hukum pidana administrasi sering pula disebut “hukum pidana
(mengenai) pengaturan” atau “hukum pidana dari aturan-aturan”
(Ordnungstrafrecht/Ordeningstrafrecht).
Bahwa berdasarkan pendapat hukum di atas, menurut Mahkamah,
tidaklah tepat apabila ketiadaan SLO dalam instalasi listrik dikenakan
sanksi pidana penjara. Mahkamah tidak sependapat dengan ahli
Pemerintah Dr. Mudzakkir, S.H.,M.H. yang mengatakan bahwa ketentuan
pidana yang dimuat dalam Pasal 54 ayat (1) UU Listrik merupakan fungsi
ancaman sanksi pidana dalam lapangan hukum administrasi sebagai
senjata pamungkas atau ultimum remedium, yaitu tidak perlu
dipergunakan jika sanksi administrasi sudah efektif, sebaliknya sanksi
pidana tersebut baru dipergunakan jika sanksi administrasi tidak efektif
karena meskipun sanksi administrasi sudah ditegakkan, tetap saja terjadi
pelanggaran hukum dalam Pasal 44 ayat (4) dan Pasal 54 ayat (1) UU
Listrik. Menurut Mahkamah, jikalau sanksi pidana penjara sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 54 ayat (1) UU Listrik merupakan ultimum
remedium maka sanksi pidana penjara tersebut tidak dapat dijatuhkan
secara kumulatif bersamaan dengan sanksi denda. Di samping itu,
Mahkamah berpendapat bahwa pelanggaran administrasi karena tidak
adanya SLO dalam instalasi listrik bukanlah tindakan kejahatan
pembunuhan, pelanggaran HAM, atau pencurian yang menghilangkan hak
orang lain. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, sanksi pidana penjara
yang dijatuhkan kepada masyarakat sebagaimana ditentukan dalam Pasal
54 ayat (1) UU Listrik bertentangan dengan Pasal 28G ayat (1) UUD
Tahun 1945.
Bahwa ketentuan mengenai kewajiban kepemilikan SLO dalam instalasi
listrik sebagaimana ditentukan dalam Pasal 44 ayat (4) UU Listrik dan
sanksi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 54 ayat (1) UU Listrik berlaku
sejak 2009 sejak diundangkannya UU Listrik. Meskipun demikian, banyak
instalasi listrik yang telah terbangun sebelum berlakunya UU Listrik.
Menurut Mahkamah, ketentuan peralihan/transisi (transitional clause)
perlu diatur dalam hal penerapan kepemilikan SLO setiap instalasi listrik.
Terlebih lagi, ketentuan SLO juga menerapkan sanksi pidana, yakni sanksi
pidana administratif. Kebutuhan ketentuan transisi ini juga mendasarkan
pada Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) yang
menyatakan, “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan
kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”.
Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah,
untuk menjamin kepastian hukum yang adil maka kewajiban kepemilikan
SLO dalam instalasi listrik sebagaimana ditentukan dalam Pasal 44 ayat
(4) UU Listrik dan sanksi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 54 ayat (1)
UU Listrik berlaku sejak putusan Mahkamah ini diucapkan sebagaimana
dinyatakan dalam amar putusan ini. Mahkamah berpendapat bahwa
ketentuan peralihan ini diperlukan agar tidak ada pihak-pihak yang
dirugikan dengan adanya perubahan UU Listrik. Dengan demikian,
ketentuan peralihan/transisi (transitional clause) ini tidak dapat berlaku
surut.
Menimbang bahwa, menurut Mahkamah, ketentuan mengenai kewajiban
kepemilikan SLO dalam instalasi listrik perlu dibedakan antara pembangkit
tenaga listrik, transmisi tenaga listrik, distribusi tenaga listrik,
pemanfaatan tenaga listrik tegangan tinggi, dan pemanfaatan tenaga
listrik tegangan menengah, termasuk pula rumah tangga masyarakat.
Pembedaan ini diperlukan karena masing-masing instalasi listrik memiliki
fungsi, manfaat, pengoperasian, dan risiko yang berbeda. Pembedaan
tersebut diatur oleh pembentuk Undang-Undang sebagai positive
legislator sepanjang pengaturan pembedaan instalasi listrik tidak
bertentangan dengan UUD Tahun 1945.
Terhadap pengujian atas pasal-pasal dalam UU Ketenagalistrikan,
Mahkamah Konstitusi membuat putusan yang memberikan implikasi
beberapa hal yaitu:
3.1. Frasa “pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan” dalam Pasal
54 ayat (1) UU Ketenagalistrikan bertentangan dengan UUD Tahun 1945
sepanjang tidak dimaknai, “Setiap orang yang mengoperasikan instalasi
tenaga listrik tanpa sertifikat laik operasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 44 ayat (4) dipidana dengan denda paling banyak
Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
3.2. Frasa “pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan” dalam Pasal
54 ayat (1) UU Ketenagalistrikan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Setiap orang yang mengoperasikan
instalasi tenaga listrik tanpa sertifikat laik operasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 44 ayat (4) dipidana dengan denda paling banyak
Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
3.3. Kewajiban pemilikan sertifikat laik operasi untuk setiap instalasi
tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) UU
Ketenagalistrikan dapat diberlakukan sejak putusan Mahkamah ini
diucapkan;
3.4. Sanksi pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat
(1) UU Ketenagalistrikan dapat diberlakukan sejak putusan Mahkamah ini,
namun tidak berlaku untuk instalasi listrik rumah tangga masyarakat;
Dengan memperhatikan tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi yang
tercantum dalam UUD Tahun 1945, secara tidak langsung sebenarnya
negara Indonesia telah menerapkan evaluasi dan monitoring terhadap
undang-undang yang sudah dihasilkan oleh pembentuk undang-undang
yaitu DPR. Tolok ukur yang digunakan oleh Mahkamah Konstitusi untuk
mengevaluasi undang-undang sudah ditentukan yaitu UUD Tahun 1945
itu sendiri. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor
001/PUU-I/2003, 021/PUU-I/2003 dan 022/PUU-I/2003, Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan dinilai bertentangan UUD
Tahun 1945 sehingga secara keseluruhan dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat dan berlaku lagi.
Dengan adanya pembatalan atas UU 20 Tahun 2002 tentang
Ketenagalistrikan tersebut, perlu ada pengisian kekosongan/kevakuman
hukum (rechtsvacuum). Dalam amar Putusan Perkara 001/PUU-I/2003,
021/PUU-I/2003 dan 022/PUU-I/2003, Mahkamah Konstitusi menetapkan
undang-undang yang lama di bidang ketenagalistrikan, yaitu UU No. 15
Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1985 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3317) berlaku kembali karena Pasal 70 UU No. 20 Tahun 2002 yang
menyatakan tidak berlakunya UU No. 15 Tahun 1985 termasuk ketentuan
yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sekaligus
memberi saran kepada pembentuk undang-undang untuk menyiapkan
RUU Ketenagalistrikan yang baru yang sesuai dengan Pasal 33 UUD
Tahun 1945.
Menindaklanjuti pembatalan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Ketenagalistrikan tersebut, pembentuk undang-undang
selanjutnya mengesahkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009
tentang Ketenagalistrikan sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 15
Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1985 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3317) yang dinilai tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan
keadaan dan perubahan dalam kehidupan masyarakat.
Dengan memperhatikan arti penting tenaga listrik bagi negara dalam
mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam segala bidang dan sejalan
dengan ketentuan dalam Pasal 33 ayat (2) UUD Tahun 1945, UU
Ketenagalistrikan menyatakan bahwa usaha penyediaan tenaga listrik
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat yang penyelenggaraannya dilakukan oleh Pemerintah dan
pemerintah daerah. Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan
kewenangannya menetapkan kebijakan, pengaturan, pengawasan, dan
melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik.
Pemerintah dan pemerintah daerah menyelenggarakan usaha penyediaan
tenaga listrik yang pelaksanaannya dilakukan oleh badan usaha milik
negara dan badan usaha milik daerah. Untuk lebih meningkatkan
kemampuan negara dalam penyediaan tenaga listrik, UU
Ketenagalistrikan memberi kesempatan kepada badan usaha swasta,
koperasi, dan swadaya masyarakat untuk berpartisipasi dalam usaha
penyediaan tenaga listrik. Sesuai dengan prinsip otonomi daerah,
Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya
menetapkan izin usaha penyediaan tenaga listrik.
Namun dalam perkambangannya, UU Ketenagalistrikan juga diuji
konstitusionalitas normanya dalam perkara Nomor 58/PUU-XII/2014.
Terhadap pengujian atas pasal-pasal dalam UU Nomor 30 Tahun 2009
tentang Ketenagalistrikan tersebut, Mahkamah Konstitusi membuat
menyatakan beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2009 bersifat inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional).
Keputusan inkonstituional bersyarat (conditionally unconstitutional) ini
merupakan terobosan dari Mahkamah Konstitusi harus menguji undang-
undang yang rumusan normanya masih umum sehingga tidak dapat
dipastikan konstitusionalitas normanya. Pada keputusan ini, undang-
undang yang diuji pada dasarnya bertentangan dengan UUD Tahun 1945
tetapi kemudian menjadi konstitusional setelah diberi syarat oleh
Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan putusan tersebut, Frasa “pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan” dalam Pasal 54 ayat (1) UU Ketenagalistrikan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 133, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5052) bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak
dimaknai, “Setiap orang yang mengoperasikan instalasi tenaga listrik
tanpa sertifikat laik operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat
(4) dipidana dengan denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah);
Begitupun pada frasa “pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan”
dalam Pasal 54 ayat (1) UU Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5052) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang tidak dimaknai, “Setiap orang yang mengoperasikan instalasi
tenaga listrik tanpa sertifikat laik operasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 44 ayat (4) dipidana dengan denda paling banyak
Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
Sedangkan terkait dengan kewajiban pemilikan sertifikat laik operasi
untuk setiap instalasi tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal
44 ayat (4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang
Ketenagalistrikan, Menurut Mahkamah Konstitusi dapat diberlakukan sejak
putusan Mahkamah Konstitusi diucapkan. Terkait dengan sanksi pidana
denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) UU
Ketenagalistrikan dapat diberlakukan sejak putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut, namun tidak berlaku untuk instalasi listrik rumah tangga
masyarakat. Adanya beberapa pasal yang dinilai Mahkamah Konstitusi
bersifat umum sehingga kesulitan dalam pengujian konstitusionalitas
normanya, agar tidak terjadi kerancuan dan ketidakpastian hukum dalam
penerapan pasal-pasal dalam UU Ketenagalistrikan perlu adanya
perubahan atas UU Ketenagalistrikan.
Dalam rangka mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap
pasal atau ayat dalam Undang-Undang tentang Ketenagalistrikan yang
dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah
Konstitusi. Akibat hukum terhadap pasal atau ayat dalam Undang-Undang
tentang Ketenagalistrikan yang dinyatakan Mahkamah Konstitusi sebagai
konstitusionalitas/ inkonstitusional bersyarat. Terjadi disharmoni norma
dalam UU Ketenagalistrikan jika suatu pasal atau ayat yang dinyatakan
tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi
berimplikasi terhadap norma pasal atau ayat lain yang tidak diujikan
Rekomendasi yang dapat diberikan dari hasil evaluasi ini berupa
perbaikan substansi UU Ketenagalistrikan. Perbaikan ini hendaknya
dituangkan dalam rencana perubahan atau penggantian UU
Ketenagalistrikan dalam Program Legislasi Nasional untuk kumulatif
terbuka maupun menjadi skala prioritas tahunan.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430