Analisis dan Evaluasi UU Berdasarkan Putusan MK


Deprecated: explode(): Passing null to parameter #2 ($string) of type string is deprecated in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-evaluasi.phtml on line 61

Warning: Undefined array key 1 in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-evaluasi.phtml on line 64

Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-evaluasi.phtml on line 66

Warning: Undefined property: stdClass::$resume in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-evaluasi.phtml on line 80

Deprecated: nl2br(): Passing null to parameter #1 ($string) of type string is deprecated in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-evaluasi.phtml on line 80

Deprecated: nl2br(): Passing null to parameter #1 ($string) of type string is deprecated in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-evaluasi.phtml on line 86

Deprecated: nl2br(): Passing null to parameter #1 ($string) of type string is deprecated in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-evaluasi.phtml on line 92

Deprecated: nl2br(): Passing null to parameter #1 ($string) of type string is deprecated in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-evaluasi.phtml on line 98

Deprecated: nl2br(): Passing null to parameter #1 ($string) of type string is deprecated in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-evaluasi.phtml on line 104

Deprecated: nl2br(): Passing null to parameter #1 ($string) of type string is deprecated in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-evaluasi.phtml on line 116
Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi : Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara / 01-05-2017

MK merujuk Putusan MK Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 bertanggal 15
Desember 2004 yang mempertimbangkan pengertian “dikuasai oleh
negara” dalam Pasal 33 UUD Tahun 1945, yaitu mengandung pengertian
yang lebih tinggi atau lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi
hukum perdata. Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi
hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang
dianut dalam UUD Tahun 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik)
maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat
itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik dan sekaligus
pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai
dengan doktrin “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Dalam
pengertian kekuasaan tertinggi tersebut, tercakup pula pengertian
kepemilikan publik oleh rakyat secara kolektif.
Jika pengertian kata “dikuasai oleh negara” hanya diartikan sebagai
pemilikan dalam arti perdata (privat), maka hal dimaksud tidak akan
mencukupi dalam menggunakan penguasaan itu untuk mencapai tujuan
“sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, yang dengan demikian berarti
amanat untuk “memajukan kesejahteraan umum” dan “mewujudkan
suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” dalam Pembukaan
UUD Tahun 1945 tidak mungkin diwujudkan. Namun demikian, konsepsi
kepemilikan perdata itu sendiri harus diakui sebagai salah satu
konsekuensi logis penguasaan oleh negara yang mencakup juga
pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-
sumber kekayaan dimaksud. Pengertian “dikuasai oleh negara” juga tidak
dapat diartikan hanya sebatas sebagai hak untuk mengatur, karena hal
dimaksud sudah dengan sendirinya melekat dalam fungsi-fungsi negara
tanpa harus disebut secara khusus dalam UUD Tahun 1945. Sekiranyapun
Pasal 33 tidak tercantum dalam UUD Tahun 1945, sebagaimana lazim di
banyak negara yang menganut paham ekonomi liberal yang tidak
mengatur norma-norma dasar perekonomian dalam konstitusinya, sudah
dengan sendirinya negara berwenang melakukan fungsi pengaturan.
Oleh karena itu, perkataan “dikuasai oleh negara” tidak mungkin direduksi
pengertiannya hanya berkaitan dengan kewenangan negara untuk
mengatur perekonomian. Maka, baik pandangan yang mengartikan
perkataan penguasaan oleh negara identik dengan pemilikan dalam
konsepsi perdata maupun pandangan yang menafsirkan pengertian
penguasaan oleh negara itu hanya sebatas kewenangan pengaturan oleh
negara, kedua-duanya ditolak oleh MK.
Berdasarkan rangkaian pendapat dan uraian di atas, maka dengan
demikian, perkataan “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup
makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan
berasal dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber
kekayaan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik
oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat
secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD Tahun 1945 memberikan
mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan
tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad),
pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad)
untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh
pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut
fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (concessie).
Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui
kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan Pemerintah, dan regulasi
oleh Pemerintah (eksekutif). Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan
melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau melalui
keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau
Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan melalui
Pemerintah pendayagunaan penguasaannya atas sumber-sumber
kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan oleh negara
(toezichthoudensdaad) dilakukan Pemerintah dalam rangka mengawasi
dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas
cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasai hajat hidup
orang banyak dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran seluruh rakyat.
Berdasarkan Putusan MK Nomor 21-22/PUU-V/2007 tentang pengujian
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal,
bertanggal 25 Maret 2008, telah dinyatakan, “… dalam Pasal 33 UUD
Tahun 1945 tersebut terdapat hak-hak ekonomi dan sosial warga negara
sebagai kepentingan yang dilindungi oleh konstitusi melalui keterlibatan
atau peran negara tersebut. Dengan kata lain, Pasal 33 UUD Tahun 1945
adalah ketentuan mengatur tentang keterlibatan atau peran aktif negara
untuk melakukan tindakan dalam rangka penghormatan (respect),
perlindungan (protection), dan pemenuhan (fulfillment) hak-hak ekonomi
dan sosial warga Negara. Konsiderans huruf a UU Minerba menyatakan,
“bahwa mineral dan batubara yang terkandung dalam wilayah hukum
pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam tak terbarukan
sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai peranan penting
dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, karena itu pengelolaannya
harus dikuasai oleh Negara untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi
perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat secara berkeadilan”.
Berdasarkan rujukan pertimbangan hukum MK di atas dan konsiderans
UU Minerba telah nyata bahwa minerba termasuk dalam sumber
kekayaan alam yang mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat
hidup orang banyak yang pengelolaannya harus dikuasai oleh negara
sebagai wujud keterlibatan atau peran aktif negara untuk melakukan
tindakan dalam rangka penghormatan (respect), perlindungan
(protection), dan pemenuhan (fulfillment) hak-hak ekonomi dan sosial
warga Negara. Berdasarkan Putusan MK Nomor 001-021-022/PUUI/2003
bertanggal 15 Desember 2004 a quo dan Putusan MK Nomor 21-22/PUU-
V/2007 bertanggal 25 Maret 2008 a quo, MK pada pokoknya telah
menyatakan bahwa negara melaui Pemerintah menguasai dan
mempergunakan bumi, air, dan segala kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya, untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Oleh karena itu, untuk menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat
Indonesia, khususnya bagi masyarakat yang melakukan kegiatan
pertambangan rakyat, menurut MK ketentuan Pasal 24 UU Minerba telah
cukup untuk menjamin kepastian hukum dan sekaligus menjamin
diperolehnya penghormatan (respect), perlindungan (protection), dan
pemenuhan (fulfillment) hak-hak ekonomi dan sosial warga negara,
khususnya bagi para pelaku kegiatan pertambangan rakyat, baik yang
sudah memenuhi waktu pengerjaan sekurang-kurangnya 15 tahun dan
yang belum memenuhi waktu pengerjaan 15 tahun, sehingga tidak
diperlukan adanya pengaturan sebagaimana tercantum dalam Pasal 22
huruf f UU Minerba yang justru berpotensi merugikan hak-hak
konstitusional warga Negara. Berdasarkan pertimbangan hukum di atas,
MK berpendapat bahwa Pasal 22 huruf f UU Minerba beralasan menurut
hukum dan sekaligus frasa “dan/atau” yang tercantum dalam Pasal 22
huruf e UU Minerba menjadi tidak relevan dan harus dibatalkan.
MK sependapat dengan Ahli dari Pemerintah, Prof. Daud Silalahi, yang
pada pokoknya menyatakan bahwa WP ditetapkan dengan mendasarkan
pada tata ruang yang dalam kegiatannya juga harus selalu mendasarkan
pada upaya pelestarian lingkungan. Hal ini juga sesuai dengan Pasal 1
angka 29 UU Minerba yang menyatakan “Wilayah Pertambangan, yang
selanjutnya disebut WP, adalah wilayah yang memiliki potensi mineral
dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi
pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang nasional.” Oleh
karenanya, menurut MK, Pemerintah dalam menetapkan WP selain harus
menyesuaikan dengan tata ruang nasional dan berorientasi pada
pelestarian lingkungan hidup, juga harus memastikan bahwa pembagian
ketiga macam wilayah pertambangan (WUP, WPR, dan WPN) tersebut
tidak boleh saling tumpang tindih, baik dalam satu wilayah administrasi
pemerintahan yang sama maupun antar wilayah administrasi
pemerintahan yang berbeda. Dalam menetapkan suatu WP, Pemerintah
harus membedakan wilayah mana yang menjadi WUP, wilayah mana
yang menjadi WPR, dan wilayah mana yang menjadi WPN yang di dalam
WPN tersebut nantinya juga harus diperinci lebih lanjut mengenai WUPK.
Pengelolaan semacam ini bertujuan, selain untuk menghindari munculnya
tumpang tindih perihal perizinan kegiatan pertambangan dan peruntukan
suatu wilayah berdasarkan tata ruang nasional, juga untuk memastikan
dipenuhinya peran dan tanggung jawab negara khususnya pemerintah
dalam rangka menjamin terlaksananya perlindungan, pemajuan,
penegakan, dan pemenuhan hak-hak ekonomi dan sosial warga negara
dengan cara membagi WP dalam bentuk pemisahan wilayah secara tegas
dan jelas ke dalam bentuk WUP, WPR, dan/atau WPN. Hal tersebut
sejalan dengan Pasal 28I ayat (4) UUD Tahun 1945 dan Konvensi PBB
tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, Budaya yang telah diratifikasi dengan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International
Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional
Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya).
Selain itu, hal tersebut dapat pula menghindari terjadinya konflik antar
pelaku kegiatan pertambangan yang ada dalam WP, konflik antara para
pelaku kegiatan pertambangan dengan masyarakat yang berada di dalam
WP maupun yang terkena dampak, dan konflik antara para pelaku
kegiatan pertambangan dan/atau masyarakat yang berada di dalam WP
maupun yang terkena dampak dengan negara, dalam hal ini Pemerintah.
a. Pendapat hukum MK terhadap perkara Nomor 30/PUU-VIII/2010
MK mencermati permohonan para pemohon, mengenai pengujian Pasal
22 huruf f dan frasa “...dengan luas paling sedikit 5000 (lima ribu)
hektare dan...” dalam Pasal 52 ayat (1) UU Minerba telah diputus oleh MK
dengan putusan Nomor 25/PUU-VIII/2010 bertanggal 4 Juni 2012. Oleh
sebab itu, berdasarkan Pasal 60 ayat (1) UU MK yang menyatakan,
“Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam Undang-
Undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali”,
maka permohonan pengujian mengenai konstitusionalitas Pasal 22 huruf f
dan frasa “dengan luas paling sedikit 5000 (lima ribu) hektare dan” dalam
Pasal 52 ayat (1) UU Minerba adalah ne bis in idem sehingga tidak
dipertimbangkan.
Terhadap Pasal 22 huruf a dan huruf c, MK telah memberikan
pertimbangan hukum sebagaimana tercantum dalam Putusan Nomor
25/PUU-VIII/2010 bertanggal 4 Juni 2012, sebagai berikut: Pemerintah
dalam keterangannya, telah menyatakan bahwa ketentuan tentang WPR
dalam UU Minerba dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum bagi
masyarakat yang ingin melakukan pertambangan rakyat serta
memberikan kesempatan kepada rakyat untuk berpartisipasi dalam
pembangunan, khususnya dalam kegiatan pertambangan minerba.
Adanya frasa “dan/atau” pada Pasal 22 huruf e UU Minerba, menurut
Pemerintah diartikan bahwa kriteria untuk menetapkan WPR dapat
bersifat “kumulatif” ataupun “alternatif”. Bupati/walikota dapat
menentukan kriteria yang tercantum dalam Pasal 22 secara seluruhnya
atau sebagian saja, sesuai dengan kondisi daerahnya, yang akan
ditetapkan lebih lanjut dalam suatu Peraturan Daerah. Menurut MK,
ketentuan tentang WPR di dalam UU Minerba adalah sebagai wujud
pelaksanaan Pasal 33 UUD 1945 yang mengamanahkan kepada negara
untuk terlibat atau berperan aktif melakukan tindakan dalam rangka
penghormatan (respect), perlindungan (protection), dan pemenuhan
(fulfillment) hak-hak ekonomi dan sosial warga negara. Oleh karenanya,
terhadap penjelasan Pemerintah tersebut, menurut MK, sepanjang
menyangkut kriteria yang tercantum dalam Pasal 22 huruf a sampai
dengan huruf e, tidaklah mengandung pertentangan norma karena antara
satu kriteria dengan kriteria lainnya dapat diberlakukan berdasarkan
kondisi masing-masing wilayah yang berbeda-beda satu sama lain,
sehingga kriteria yang tercantum dalam huruf a sampai dengan huruf e
dapat diberlakukan secara alternatif maupun kumulatif. Proses untuk
menentukan kriteria mana saja dari huruf a sampai dengan huruf e yang
akan diterapkan di suatu daerah kabupaten/kota, ditetapkan oleh
bupati/walikota setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah kabupaten/kota dengan mendasarkan pada perencanaan dan
sinkronisasi data serta informasi melalui sistem informasi WP.
Bupati/walikota juga wajib melakukan pengumuman mengenai rencana
WPR kepada masyarakat secara terbuka yang dilakukan di kantor
desa/kelurahan dan kantor/instansi terkait, dilengkapi dengan peta situasi
yang menggambarkan lokasi, luas, batas, daftar koordinat dan daftar
pemegang hak atas tanah yang berada dalam WPR.
Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, menurut MK, ketentuan Pasal
22 huruf a sampai dengan huruf e UU Minerba dapat diberlakukan secara
kumulatif atau alternatif sesuai dengan kondisi daerah masing-masing
yang penetapannya mengacu pada mekanisme yang diatur dalam Pasal
21 dan Pasal 23 UU Minerba beserta penjelasannya.
Terhadap frasa “dengan cara lelang” yang tercantum dalam Pasal 51,
Pasal 60, dan Pasal 75 ayat (4) UU Minerba, menurut MK WIUP dan
WIUPK pada dasarnya diperuntukkan bagi eksplorasi dan operasi produksi
yang hanya dapat dilakukan oleh para pelaku usaha pertambangan
dengan syarat-syarat tertentu serta daya dukung alat yang mutakhir yang
memungkinkan untuk memproduksi hasil pertambangan secara optimal,
karena industri pertambangan minerba memang merupakan industri yang
padat modal (high capital), padat teknologi (high technology), dan padat
risik (high risk). Mengacu pada Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 yang
menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
di hadapan hukum” dan Pasal 28D ayat (2) UUD Tahun 1945 yang
menyatakan, “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan
dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Maka UU
Minerba, secara normatif telah memberi kepastian hukum dan peluang
berusaha yang sama baik kepada badan usaha, koperasi, dan
perseorangan yang di dalamnya juga terdapat perusahaan firma atau CV
untuk dapat mengikuti lelang WIUP dan WIUPK. Namun, UU Minerba
tidak membedakan peserta lelang antara badan usaha, koperasi, maupun
perseorangan tersebut yang tentunya memiliki kemampuan
administratif/manajemen, teknis, lingkungan, dan finansial yang berbeda-
beda yang dapat dimasukkan dalam kategori usaha pertambangan kecil,
usaha pertambangan menengah, dan usaha pertambangan besar. Hal
demikian mengakibatkan peserta lelang dari pengusaha kecil/menengah
tidak dapat bersaing untuk memenangkan lelang guna memperoleh suatu
WIUP dan/atau WIUPK. Pemerintah dalam penjelasannya, menyatakan
bahwa pada sistem lelang yang diatur dalam UU Minerba, harga lelang
didasarkan pada kompensasi data informasi, yakni kumpulan data dan
informasi yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat/Daerah mengenai wilayah
yang akan dilelang. Kumpulan data dan informasi tersebut diperoleh
berdasarkan hasil penyelidikan dan penelitian serta eksplorasi yang
dilakukan oleh Pemerintah Pusat/Daerah. Oleh karena data dan informasi
tersebut memiliki nilai secara ekonomis, maka sistem lelang terhadap
WIUP mineral logam dan batubara sangat wajar dilakukan.
Menurut MK, dalam rangka menjalankan fungsi pengaturan (regelendaad)
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, Pemerintah selain harus
menentukan kumpulan data dan informasi yang memiliki nilai ekonomis,
harus pula menentukan lebih lanjut klasifikasi WIUP dan WIUPK
berdasarkan kumpulan data dan informasi wilayah yang akan dilelang,
yaitu klasifikasi berdasarkan kemampuan untuk melakukan eksplorasi dan
operasi produksi. Klasifikasi tersebut dimaksudkan untuk membedakan
kemampuan eksplorasi dan operasi produksi yang dapat dipenuhi oleh
badan usaha, koperasi dan perseorangan yang termasuk dalam usaha
pertambangan kecil, usaha pertambangan menengah, dan usaha
pertambangan besar. Sehingga Pemerintah tidak akan menghadapkan
antar ketiga golongan usaha pertambangan tersebut dalam satu
kompetisi lelang yang sama. Berdasarkan pertimbangan hukum di atas,
untuk memberikan kepastian hukum dan peluang berusaha secara adil di
bidang pertambangan. Menurut MK, frasa “dengan cara lelang” dalam
Pasal 51, Pasal 60, dan Pasal 75 ayat (4) UU Minerba bertentangan
dengan UUD Tahun 1945 sepanjang dimaknai lelang dilakukan dengan
menyamakan antar peserta lelang WIUP dan WIUPK dalam hal
kemampuan administratif/manajemen, teknis, lingkungan, dan finansial
yang berbeda terhadap objek yang akan dilelang.
Terhadap Pasal 55 ayat (1) dan Pasal 61 ayat (1) UU Minerba, MK telah
memberikan pertimbangan hukum sebagaimana tercantum dalam
Putusan Nomor 25/PUUVIII/2010 bertanggal 4 Juni 2012. Berdasarkan
pertimbangan hukumnya, menurut MK, Pasal 55 ayat (1) frasa “dengan
luas paling sedikit 500 (lima ratus) hektare dan” serta Pasal 61 sepanjang
frasa “dengan luas paling sedikit 5.000 (lima ribu) hektare dan” UU
Minerba bertentangan dengan UUD Tahun 1945.
Terhadap Pasal 172 UU Minerba telah dimohonkan pengujian dan telah
diputus MK dalam Putusan Nomor 121/PUU-VII/2009 bertanggal 9 Maret
2011. Para Pemohon dalam Perkara Nomor 121/PUU-VII/2009 tersebut
pada pokoknya mempersoalkan perihal kepastian hukum terhadap
permohonan Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan Batubara (PKP2B) yang sudah atau sedang dalam proses
berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, yang pada bagian Petitumnya
memohon agar MK menyatakan frasa “kepada Menteri paling lambat 1
(satu) tahun” dan frasa “dan sudah mendapatkan surat persetujuan
prinsip atau surat izin penyelidikan pendahuluan” yang terdapat dalam
Pasal 172 UU Minerba dinyatakan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3)
juncto Pasal 22A juncto Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945. MK dalam
putusan tersebut menyatakan menolak permohonan para pemohon.
Meskipun permohonan menguji konstitusionalitas pasal yang sama
dengan permohonan Nomor 121/PUUVII/2009, namun substansi
permohonannya berbeda. Oleh karena itu, MK tetap mempertimbangkan
permohonan.
Menurut MK, Pasal 172 UU Minerba hanya mengatur tentang peralihan
mengenai KK dan PKP2B dan tidak mengatur peralihan mengenai Kuasa
Pertambangan dan Kuasa Pertambangan Rakyat.

Pendapat hukum MK terhadap perkara Nomor 32/PUU-VIII/2010
Terhadap Pasal 6 ayat (1) huruf e juncto Pasal 9 ayat (2) juncto Pasal 10
huruf b UU Minerba, persoalan konstitusional yang harus dijawab oleh MK
adalah apakah penguasaan oleh negara terhadap bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat melalui kewenangan Pemerintah untuk
menetapkan WP setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan
berkonsultasi dengan DPR RI bertentangan dengan hak-hak
konstitusional warga negara untuk mendapat jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum untuk bertempat tinggal, memiliki harta benda, dan
mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat. Untuk memberikan
pertimbangan, MK merujuk Putusan MK Nomor 001-021- 022/PUU-I/2003
bertanggal 15 Desember 2004 dan Putusan MK Nomor 21-22/PUU-V/2007
tentang pengujian Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal, bertanggal 25 Maret 2008 yang telah menjadi
pertimbangan hukum MK dalam Putusan MK Nomor 25/PUU-VIII/2010.
MK dalam Putusan Nomor 25/PUU-VIII/2010 bertanggal 4 Juni 2012,
menyatakan bahwa Pemerintah, dalam menetapkan WP, selain harus
menyesuaikan dengan tata ruang nasional dan berorientasi pada
pelestarian lingkungan hidup, juga harus memastikan bahwa pembagian
ketiga bentuk wilayah pertambangan (WPR, WPN, dan WUP) tersebut
tidak boleh saling tumpang tindih, baik dalam satu wilayah administrasi
pemerintahan yang sama maupun antar-wilayah administrasi
pemerintahan yang berbeda, serta memprioritaskan pembagian WP
dengan terlebih dahulu menentukan dan menetapkan WPR, setelah itu
WPN, kemudian WUP.
Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, telah ternyata bahwa rakyat
secara kolektif dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat
kepada negara melalui Pemerintah untuk mengadakan kebijakan (beleid),
tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad),
pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad)
untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selain itu, UUD
Tahun 1945 juga mengkonstruksikan supaya Pemerintah terlibat atau
berperan aktif untuk melakukan tindakan dalam rangka penghormatan
(respect), perlindungan (protection), dan pemenuhan (fulfillment) hak-
hak ekonomi dan sosial warga negara. Oleh karenanya, dalam rangka
menjalankan amanah UUD Tahun 1945 tersebut, dalam menetapkan WP,
Pemerintah tidak dapat bertindak sewenang-wenang sehingga harus
terlebih dahulu melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah dan
berkonsultasi dengan DPR RI, serta memperhatikan pendapat dari
masyarakat.
Oleh karena itu, untuk lebih memperkuat fungsi kontrol masyarakat
terhadap Pemerintah dan sekaligus untuk menjamin kepastian hukum
yang adil baik bagi masyarakat secara umum maupun masyarakat yang
secara khusus berada dalam WP dan masyarakat yang terkena dampak,
termasuk para pelaku usaha pertambangan, serta demi tercapainya
amanah UUD Tahun 1945. Menurut MK, fungsi kontrol tersebut tidak
cukup hanya dilakukan melalui forum konsultasi dengan DPR RI, namun
juga harus diperkuat melalui fungsi kontrol yang dilakukan langsung oleh
masyarakat, khususnya masyarakat yang wilayah maupun tanah miliknya
akan dimasukkan ke dalam WP dan masyarakat yang akan terkena
dampak.

Pendapat Hukum MK terhadap Perkara Nomor 10/PUU-X/2012
Terhadap Pasal 1 angka 29 UU Minerba sepanjang frasa “tidak terikat
dengan batasan administrasi pemerintahan” dalam mempertimbangkan
apakah dalam menetapkan WP dan WUP, harus mengikuti atau tidak
mengikuti batas administrasi pemerintahan, MK telah memiliki
pertimbangan hukum berdasarkan Putusan MK Nomor 25/PUU-VIII/2010,
bertanggal 4 Juni 2012. Berdasarkan pertimbangan MK dalam putusan
tersebut, penetapan WP dan WUP di samping harus memperhatikan tata
ruang nasional yang tentunya tidak selalu dapat dibatasi oleh batasan
administratif pemerintahan daerah otonom, juga harus memperhatikan
kelestarian lingkungan hidup, menghindari tumpang tindih kawasan atau
wilayah pertambangan serta menghindari konflik antar wilayah. Peran
sinkronisasi dan keterpaduan yang demikian akan sangat efektif dilakukan
oleh Pemerintah, sehingga batasan administrasi pemerintahan daerah
otonomi dalam penetapan WP dan WUP tidak bisa dipertahankan. Selain
itu, menurut MK wilayah pertambangan yang keberadaannya memiliki
sifat-sifat yang tersebar, tidak merata, keberadaannya tidak kasat mata,
terbentuk dalam kurun jutaan tahun yang lalu, alamiah, dan tidak bisa
dipindah-pindahkan, tidak dapat dibatasi oleh batas-batas administrasi
pemerintahan dan tidak terbarukan. Pada dasarnya wilayah
pertambangan secara potensial ada di dalam bumi, air, dan tidak terbatas
pada wilayah administratif namun tetap harus dikuasai oleh negara.
Untuk itu potensi bahan tambang yang ada di seluruh wilayah NKRI
adalah wilayah hukum pertambangan Indonesia.
Terhadap Pasal 6 ayat (1) huruf e, Pasal 9 ayat (2), Pasal 14 ayat (1) dan
ayat (2), Pasal 17 UU Minerba, sebelum mempertimbangkan persoalan
konstitusionalnya, MK merujuk Putusan MK Nomor 3/SKLN-IX/2011,
bertanggal 17 Januari 2012 yang juga diajukan oleh Pemohon yang sama,
yang dalam pertimbangan hukumnya antara lain menyatakan
kewenangan konstitusional Pemerintahan Daerah yang diatur pada Pasal
18 ayat (5) UUD Tahun 1945 hanya memberikan arahan dan penegasan
kepada pembentuk undang-undang agar otonomi yang dijalankan oleh
pemerintahan daerah itu, baik pemerintahan daerah provinsi maupun
kabupaten/kota, adalah otonomi yang seluas-luasnya, kecuali urusan
yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
Minerba sebagai sumber daya alam yang tak terbarukan merupakan
kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar
kesejahteraan rakyat. Jika dikaitkan dengan pembagian urusan atau
kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah maka
berdasar Pasal 18 ayat (5) UUD Tahun 1945 kewenangan pemerintah
pusat dalam menangani urusan minerba sudah ditentukan secara jelas di
dalam UU Minerba, artinya sudah diberikan kepada Pemerintah Pusat
berdasarkan undang-undang. Dengan demikian, menurut MK, tidak ada
kewenangan konstitusional yang dipersengketakan sebagaimana
dimaksud Pasal 24C ayat (1) UUD Tahun 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf b
UU MK, Pasal 3 ayat (2) PMK 08/2006.
Berdasarkan Putusan MK Nomor 25/PUU-VIII/2010, Putusan MK Nomor
30/PUU-VIII/2010, Putusan MK Nomor 32/PUU-VIII/2010, dan Putusan
MK Nomor 10/PUU-X/2012, terhadap Pasal 6 ayat (1) huruf e, Pasal 9
ayat (2), Pasal 14 ayat (1), dan Pasal 17 UU Minerba perlu mengganti
frasa “setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah” menjadi “setelah
ditentukan oleh pemerintah daerah”. Hal itu mendorong agar dibentuk
pengaturan mengenai mekanisme dan tata cara penentuan oleh
pemerintah daerah tersebut, agar tidak terjadi kekosongan hukum untuk
pengaturan mengenai penetapan WP, WUP, dan WIUP.
Selanjutnya, evaluasi terhadap Pasal 52 ayat (1), 55 ayat (1), dan Pasal
61 ayat (1) yang bertentangan dengan UUD Tahun 1945 berdasarkan
Putusan MK. Hal itu menimbulkan ketidakpastian hukum mengenai
besaran luasannya. Sehingga perlu direformulasi kembali besaran luasan
agar pelaku usaha pertambangan mendapatkan kepastian hukum dalam
melakukan pengusahaan pertambangan minerba.
Untuk Pasal 10 huruf b UU Minerba frasa dengan memperhatikan aspirasi
masyarakat oleh MK diputuskan bertentangan secara bersyarat terhadap
UUD Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “wajib melindungi,
menghormati, dan memenuhi kepentingan masyarakat yang wilayah
maupun tanah miliknya akan dimasukkan ke dalam wilayah
pertambangan dan masyarakat yang akan terkena dampak”. Hal ini
mengandung dua pengertian terhadap norma Pasal 10 huruf b karena
dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK. Sehingga perlu penegasan
dalam penjelasan norma apa yang dimaksud dengan memeperhatikan
aspirasi masyarakat. Begitu juga untuk frasa “dengan cara lelang” dalam
Pasal 51, Pasal 60, Pasal 75 ayat (4) UU Minerba bertentangan secara
bersyarat dengan UUD Tahun 1945 sepanjang dimaknai, “lelang dilakukan
dengan menyamakan antar peserta lelang WIUP dan WIUPK dalam hal
kemampuan administratif/manajemen, teknis, lingkungan, dan finansial
yang berbeda terhadap objek yang akan dilelang”. Hal itu juga
mengandung dua pengertian terhadap norma Pasal 51, Pasal 60, Pasal 75
ayat (4) UU Minerba karena dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh
MK. Sehingga perlu penegasan dalam penjelasan norma apa yang
dimaksud dengan cara lelang.
Tentunya dengan Putusan MK dan implikasinya tersebut perlu dilakukan
reformulasi materi muatan atas beberapa hal yang telah diputus MK agar
penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan minerba sesuai dengan
amanah UUD Tahun 1945.

Penyelenggaraan pertambangan minerba selain harus mengandung
prinsip “dikuasai negara” dan prinsip “sebesar-besar kemakmuran rakyat”,
juga harus dapat terjamin kepastian hukum melalui peraturan perundang-
undangan yakni UU Minerba. Dalam dinamika perkembangan hukum dan
penerapannya, UU Minerba secara empiris telah 7 (tujuh) kali diajukan
pengujian materiil di MK dan hanya 4 (empat) yang diterima
permohonannya dengan putusan mengabulkan seluruhnya dan
mengabulkan sebagian, yakni Putusan MK Nomor 25/PUU-VIII/2010,
Putusan MK Nomor 30/PUU-VIII/2010, Putusan MK Nomor 32/PUU-
VIII/2010, dan Putusan MK Nomor 10/PUU-X/2012.
Berdasarkan Putusan MK tersebut, terjadi kekosongan hukum atas
ketentuan yang inkonstitusional, keosongan hukum terhadap pengaturan
mengenai penetapan WP, WUP, dan WIUP karena frasa “berkoordinasi
menjadi frasa “ditentukan” oleh pemerintah daerah, menimbulkan
ketidakpastian hukum mengenai besaran luasan WIUP, perlu penegasan
terhadap putusan inkonstitusional bersyarat seperti apa yang dimaksud
memperhatikan aspirasi masyarakat serta pengaturan mengenai
pengertian mekanisme cara lelang.


1. Sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan (UU P3) bahwa materi muatan yang harus diatur
dengan UU berisi materi muatan mengenai tindak lanjut Putusan MK.
Oleh karena itu, perlu direformulasi kembali materi muatan atas beberapa
hal yang telah diputus MK dalam UU Minerba dengan status
perubahan/penggantian.
2. Berdasarkan Putusan MK dan penggantian UU 32 Tahun 2004
menjadi UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, maka DPR RI
bersama Pemerintah harus menetapkan perubahan/penggantian UU
Minerba ini ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan
menjadikan prioritas tahunan untuk dibahas bersama-sama agar tidak
terjadi kekosongan hukum, terjamin kepastian hukum, dan
penyelenggaraan pertambangan minerba yang tidak bertentangan
dengan UUD Tahun 1945.