Dalam sistem ketatanegaraan yang berlaku di Indonesia, aspek hukum implementasi putusan Mahkamah Konstitusi tercantum dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 194 (UUD Tahun 1945). Ketentuan tersebut relatif tegas mengatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menegaskan kembali, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya final untuk menguji UU terhadap UUD Tahun 1945, memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Tahun 1945, memutus pembubaran partai politik (Parpol) dan memutus sengketa hasil Pemilu.
Implementasi kaidah-kaidah utama UUD Tahun 1945 bukan semata-mata tugas Mahkamah Konstitusi, tetapi kewajiban yang harus diemban secara kolektif oleh lembaga-lembaga negara lain seperti MPR, DPR, DPD dan Presiden maupun aktor negara lainnya. Di samping itu semua harus pula ada partisipasi aktif dari aktor-aktor non-negara sehingga implementasi putusan final Mahkamah Konstitusi memerlukan tindakan kolaboratif dan kesadaran kolektif yang melibatkan seluruh lembaga negara, aktor negara dan aktor non-negara. Ini harus ditopang oleh keyakinan kuat untuk melahirkan negara demokrasi konstitusional di bawah UUD Tahun 1945.
Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD Tahun 1945 adalah sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 (judicial review) merupakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menyelidiki dan menilai apakah materi suatu undang-undang tersebut bertentangan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu, atau bahkan apakah peraturan perundang-undangan tersebut terdapat cacat formal dalam pembentukannya.
Pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merupakan pengujian yang cukup banyak diajukan di antara berbagai pengajuan permohonan pengujian Undang-undang yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Terdapat 9 (sembilan) Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah menguji KUHAP. Sebagian besar permohonan tersebut dikabulkan (kecuali permohonan pengujian atas Pasal 1 angka 2 KUHAP), dengan variasi amar putusan berupa: 3 (tiga) Putusan menyatakan bahwa pasal-pasal yang diajukan bertentangan dengan UUD TAHUN 1945 sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, 6 (enam) menyatakan bahwa pasal-pasal yang diajukan inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional), dan tidak ditemukan putusan yang menyatakan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional).
1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal dan ayat suatu UU yang dinyatakan MK sebagai konstitusionalitas/inkonstitusionalitas bersyarat?
3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu UU jika suatu pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan?
-
Dari 9 (sembilan) putusan Mahkamah Konstitusi yang menguji KUHAP, terdapat potensi kekosongan hukum, atau setidaknya ketidakjelasan pengaturan akibat perumusan norma baru yang oleh Mahkamah Konstitusi disebut sebagai “putusan bersyarat” baik conditionally constitutional maupun conditionally unconstitutional. Hal tersebut diantaranya adalah:
• Perubahan Pengertian Saksi
Akibat Putusan MK Pkr.No.65/PUU-VIII/2010 maka pengertian “saksi”dalam:
1. Pasal 1 angka 26 KUHAP menyebutkan bahwa ”Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”;
2. Pasal 1 angka 27 KUHAP menyebutkan bahwa ”Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu”;
3. Pasal 65 KUHAP menyebutkan bahwa “Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya”;
4. Pasal 116 ayat (3) KUHAP menyebutkan bahwa “Dalam pemeriksaan tersangka ditanya apakah ia menghendaki didengarnya saksi yang dapat menguntungkan baginya dan bilamana ada maka hal itu dicatat dalam berita acara’:
5. Pasal 116 ayat (4) KUHAP menyebutkan bahwa “Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) penyidik wajib memanggil dan memeriksa saksi tersebut;
6. Pasal 184 ayat (1) menyebutkan bahwa Alat bukti yang sah ialah: a. Keterangan saksi”. harus dimaknai termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”. Pemaknaan ini tidak bisa dilakukan dengan mudah jika tidak dirumuskan dalam sebuah norma yang lebih pasti. Oleh karena itu maka perlu ada Perubahan KUHAP yang merumuskan pengertian “saksi” sebagaimana dirumuskan MK No.65/PUU-VIII/2010.
• Pra Peradilan sebagai Obyek Banding
Akibat Putusan MK No.65/PUU-IX/2011, maka Pasal 83 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP yang berbunyi: (1) "Terhadap putusan pra peradilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81 tidak dapat dimintakan banding"; (2) "Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah putusan pra peradilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, yang untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke Pengadilan Tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan" TIDAK menjadi bagian dari KUHAP. Dengan demikian maka perlu ada perubahan KUHAP yang menghapuskan Pasal 83 ayat (1) dan (2) dari KUHAP sebagaimana Putusan MK No.65/PUU-IX/2011.
• Perubahan Pengertian Pihak Ketiga
Akibat Putusan MK No.98/PUU-X/2012, maka pengertian “Pihak ketiga yang berkepentingan” dalam Pasal 80 KUHAP berbunyi: “Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada Ketua Pengadilan dengan menyebutkan alasannya”, harus dimaknai “termasuk saksi korban atau pelapor, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi kemasyarakatan”. Dengan demikian maka perlu ada perubahan Pasal 80 KUHAP yang merumuskan pengertian “Pihak ketiga yang berkepentingan” sebagaimana dirumuskan MK No.98/PUU-X/2012.
• Memperbolehkan Penuntut Umum mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung.
Akibat Putusan MK No. 114/PUU-X/2012, maka Pasal 244 KUHAPyang pada awalnya berbunyi: “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas” menjadi: “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung”. Oleh karena itu, perlu ada Perubahan KUHP yang merumuskan kembali Pasal 244 KUHAP sebagaimana dirumuskan MK No. 114/PUU-X/2012.
• Menghapuskan “perlakuan atau perbuatan tak menyenangkan” sebagai delik.
Akibat Putusan MK No. 114/PUU-X/2012, maka terjadi perubahan Pasal 335 ayat (1) KUHP yang pada awalnya berbunyi:”Barangsiapa secara hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan dan sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tidak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain” menjadi: “Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain”. Oleh karena itu, perlu ada Perubahan KUHP yang merumuskan kembali Pasal 244 KUHAP sebagaimana dirumuskan MK No. 114/PUU-X/2012 yang menghapuskan “perlakuan atau perbuatan tak menyenangkan” sebagai delik.
• Menambahkan frase tidak lebih dari 7 (tujuh) hari dalam menyampaikan tembusan surat perintah penangkapan
Akibat Putusan MK No.3/PUU-XI/2013, maka terjadi perubahan Pasal 18 KUHAP yang pada awalnya berbunyi: “(1) Pelaksanaan tugas penangkapan. dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa; (2) Dalam hal tertangkap tangan penangkapan-dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat; (3) Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan”, menjadi “(1) Pelaksanaan tugas penangkapan. dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa; (2) Dalam hal tertangkap tangan penangkapan-dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat; (3) Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera dan tidak lebih dari 7 (tujuh) hari setelah penangkapan dilakukan”. Oleh karena itu maka perlu ada Perubahan KUHAP yang merumuskan kembali Pasal 18 ayat (3) KUHAP sebagaimana dirumuskan MK No.3/PUU-XI/2013.
• Diperbolehkannya Permohonan peninjauan kembali lebih dari 1 (satu) kali.
Akibat Putusan MK No.34/PUU-XI/2013, maka Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang menyebutkan bahwa“Permintaan Peninjauan Kembali (PK) atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja”, TIDAK menjadi bagian dari KUHAP. Oleh karena itu maka perlu ada Perubahan KUHAP yang menghapuskan Pasal 83 ayat (1) dan (2) dari KUHAP sebagaimana Putusan MK. Selain itu, mengingat bahwa norma hukum pengaturan upaya hukum PK tidak hanya diatur dalam Pasal 268 ayat (3) UU No. 8 Tahun 1981 tetapi juga diatur dalam:
a. Pasal 24 ayat (2) UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: “Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali”;
b. Pasal 66 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan UU No. 3 Tahun 2009 yang berbunyi: “Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali.”
c. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana yang menyatakan bahwa permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana dibatasi hanya 1 (satu) kali.
Maka perlu juga ada perubahan terhadap Pasal 24 ayat (2) UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan UU No. 3 Tahun 2009, agar rumusannya sesuai dengan Putusan MK No.34/PUU-XI/2013. Di samping itu, perlu didorong agar Mahkamah Agung mencabut Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014 agar tidak menimbulkan kebingungan dalam praktek hukum.
• Mengubah pengertian “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”
Akibat Putusan MK No.21/PUU-XII/2014, maka pengertian “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam:
a. Pasal 1 angka 14,
b. Pasal 17, dan
c. Pasal 21 ayat (1) KUHAP
harus dimaknai minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP.
Oleh karena itu, perlu ada Perubahan KUHAP yang merumuskan kembali Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sebagaimana dirumuskan MK No.21/PUU-XII/2014.
Selain itu,perlu perubahan rumusan Pasal 77 KUHAP yang pada awalnya menyebutkan “Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan”, menjadi “Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan; b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan”. Oleh karena itu maka perlu ada Perubahan KUHAP yang merumuskan kembali Pasal 77 KUHAP sebagaimana dirumuskan MK No.21/PUU-XII/2014.
• Menghilangkan hak Jaksa/Penuntut Umum untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung
Akibat Putusan MK No.33/PUU-XIV/2016, maka perlu penambahan norma dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang menyatakan, “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”, agar tidak dimaknai lain selain apa yang tercantum dalam Pasal ini, mengingat dalam praktik MA juga menerima permohonan PK dari Jaksa/Penuntut Umum, padahal permohonan Peninjauan Kembali adalah hak terpidana atau ahli warisnya, bukan hak Jaksa/Penuntut Umum. Oleh karena itu perlu Perubahan Pasal 263 ayat (1) KUHAP dengan penambahan rumusan bahwa: “Jaksa/Penuntut Umum tidak dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung” sebagaimana dirumuskan MK No.33/PUU-XIV/2016.
-
Putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan beberapa norma KUHAP dengan menyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat yaitu putusan dalam perkara nomor 65/PUU-IX/2011, 114/PUU-X/2012, dan perkara nomor 34/PUU-XI/2013. Sedangkan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap materi KUHAP yaitu putusan dalam perkara nomor 65/PUU-VIII/2010, perkara nomor 98/PUU-X/2012, perkara nomor 1/PUU-XI/2013, perkara nomor 3/PUU-XI/2013, perkara nomor 21/PUU-XII/2014, dan perkara nomor 33/PUU-XIV/2016.
Implementasi dari putusan yang bersifat conditionally pada tataran pelaksanaannya masih ada yang sulit dilaksanakan karena masih terdapat perbedaan pandangan dalam memaknai putusan tersebut dan ada pula materi undang-undang yang telah dibatalkan tetapi masih tetap digunakan sebagai kaidah hukum.
Oleh karena itu, penyempurnaan terhadap KUHAP perlu dilakukan agar materi dan substansinya sesuai dan tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945 serta dapat memberikan pemahaman yang utuh. Pembentuk undang-undang (DPR RI atau Presiden) perlu segera berinisiatif melakukan legislative review untuk menindaklanjuti substansi atau norma undang-undang yang telah dibatalkan tersebut. Selain itu, pendapat hukum yang tercermin dalam beberapa putusan Mahkamah Konstitusi perlu dicermati dan menjadi dasar dalam perubahan KUHAP agar tidak terjadi kekosongan hukum dan penafsiran yang berbeda dalam implementasinya. Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap KUHAP juga ada yang berimplikasi terhadap norma pasal dalam undang-undang lain, sehingga terjadi berpotensi mengalami disharmoni pengaturan jika tidak sekaligus dilakukan
Memperhatikan beberapa simpulan di atas maka terdapat beberapa hal yang direkomendasikan, yaitu: Presiden dan DPR RI sebagai pembentuk undang-undang perlu segera berinisiatif untuk melakukan penyempurnaan terhadap materi KUHAP, baik melalui revisi atau penggantian undang-undang. Hal ini perlu dilakukan sebagai tindak lanjut atas berbagai putusan Mahkamah Kontitusi dan juga agar substansi KUHAP sesuai dengan jiwa UUD Tahun 1945. Selain itu, banyaknya materi KUHAP yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat juga telah menyulitkan warga negara untuk memahami KUHAP secara utuh.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430