Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) menegaskan, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum. Kaidah ini mengandung makna, bahwa hukum di negara Indonesia ditempatkan pada posisi yang strategis di dalam konstelasi ketatanegaraan. Berpijak pada sistem negara hukum, maka menurut Moh. Koesnardi dan Harmaily Ibrahim, bahwa peraturan ataupun ketentuan-ketentuan yang berlaku di dalam suatu negara hukum harus berdasarkan atau bersumberkan pada peraturan-peraturan yang lebih tinggi.
Suatu konsekuensi logis bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum adalah terjaminnya kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menjalankan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan UUD Tahun 1945. Berdasarkan perubahan tersebut konstruksi kekuasaan kehakiman tidak lagi menjadi otoritas Mahkamah Agung (selanjutnya disebut MA) dan badan peradilan dibawahnya, tetapi juga oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Disamping perubahan yang bersifat krusial tersebut, amandemen UUD Tahun 1945 juga mengintroduksi pula suatu lembaga negara baru yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang disebut Komisi Yudisial (KY). Pembentukan KY sebagai salah satu wujud nyata perlunya keseimbangan dan kontrol diantara lembaga-lembaga negara dan penegasan terhadap prinsip negara hukum serta perlindungan HAM.
UU KY muncul sebagai pelaksanaan amanah konstitusi yakni Pasal 24B UUD Tahun 1945. Pengaturan mengenai KY diatur secara khusus melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU KY). Dalam perkembangannya ada beberapa pengaturan pasal di dalam UU KY yang dinilai bertentangan dengan semangat Pasal 24B UUD Tahun 1945, khususnya terkait dengan independensi atau kemerdekaan KY dalam proses rekrutmen calon hakim agung dan calon anggota KY. Beberapa Pasal yang di uji materiil kan antara lain Pasal 18 ayat (4), Pasal 28 ayat (6), Pasal 28 ayat (3) huruf c, dan Pasal 37 ayat (1) UU KY.
1. Apa akibat hukum yang timbul terhadap Pasal 18 ayat (4), Pasal 28 ayat (6), Pasal 28 ayat (3) huruf c, dan Pasal 37 ayat (1) UU KY yang dinyatakan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai inkonstitusional bersyarat dengan rumusan norma baru?
2. Bagaimana mengisi kekosongan hukum yang timbul akibat putusan MK yang menyatakan Pasal 18 ayat (4), Pasal 28 ayat (6), Pasal 28 ayat (3) huruf c, dan Pasal 37 ayat (1) UU KY tidak memiliki kekuatan hukum mengikat?
Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal, yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD Tahun 1945.
Secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frasa “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dalam rangkaian pemeriksaan” sedangkan frasa mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harfiah ini maka frasa final dan frasa mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya dari suatu proses pemeriksaan telah memiliki kekuatan mengeratkkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum.
Sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu final yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Konsep ini mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni secara sederhana dan cepat sebagaimana diuraikan dalam penjelasan UU MK. Menurut Maruarar Siahaan Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan dihadapan sidang terbuka umum mempunyai 3 kekuatan yaitu: kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutoarial.
1. Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 27/PUU-XI/2013
Berdasarkan dalil-dalil yang disampaikan terkait pengujian Pasal 18 ayat (4) UU KY yang pada intinya mengatur ketentuan yang mengharuskan KY mengajukan 3 (tiga) nama calon hakim agung kepada DPR untuk setiap lowongan hakim agung, di mana pasal a quo dianggap para Pemohon telah bertentangan dengan Pasal 24A Ayat (3) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD Tahun 1945. Permasalahan konstitusional yang harus dinilai dan dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah apakah kewenangan DPR dalam proses pemilihan hakim agung hanya menyetujui atau menolak calon yang diajukan oleh KY atau DPR juga melakukan pemilihan atas beberapa calon hakim agung dari beberapa calon yang diajukan oleh KY sebagaimana diatur dalam kedua Undang-Undang a quo. Pasal 24 ayat (1) UUD Tahun 1945 menentukan, “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Norma konstitusi tersebut menegaskan dan memberi jaminan konstitusional kemerdekaan pelaku kekuasaan kehakiman dalam menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Adapun wewenang dan tugas yang ditentukan dalam Pasal 13 dan Pasal 14 UU KY sebagai berikut:
Pasal 13
Komisi Yudisial mempunyai wewenang:
a. mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan;
b. menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim;
c. menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim bersama-sama dengan Mahkamah Agung; dan
d. menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim.
Pasal 14
(1) Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a, Komisi Yudisial mempunyai tugas:
a. melakukan pendaftaran calon Hakim Agung;
b. melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung;
c. menetapkan calon Hakim Agung; dan
d. mengajukan calon Hakim Agung ke DPR.
Mahkamah juga berpandangan bahwa dalam hal menjaring calon hakim agung, KY melakukan serangkaian seleksi administrasi dan seleksi terhadap kualitas dan kepribadian seperti yang ditentukan dalam Pasal 15 sampai dengan Pasal 18 UU KY yang juga ikut melibatkan masyarakat. Bahwa penjaringan calon hakim agung melalui seleksi yang sangat ketat yang dilakukan oleh KY dalam mencari hakim agung yang berintegritas dan berkualitas, menurut Mahkamah telah sesuai dengan yang diamanatkan oleh UUD Tahun 1945 khususnya Pasal 24A ayat (2).
Bahwa pengusulan calon hakim agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 24A ayat (3) UUD Tahun 1945, yang menyatakan, “Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden”, merupakan pengusulan calon hakim agung yang sudah melalui proses penyeleksian yang sangat ketat sebagaimana yang telah diuraikan di atas, namun hal tersebut tidak sinkron ketika pengaturan lebih lanjut dari Pasal 24A ayat (3) UUD Tahun 1945 tersebut yaitu dalam Pasal 8 ayat (2) UU MA yang menyatakan, “Calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dari nama calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial”, karena DPR sebagai lembaga politik bukan lagi memberikan persetujuan kepada calon hakim agung yang diusulkan oleh KY, namun DPR memilih nama calon hakim agung yang diusulkan KY tersebut, yang kemudian melakukan fit and proper test seperti yang sudah dilakukan oleh KY, ditambah lagi dengan wawancara yang dilakukan oleh DPR terhadap calon hakim agung untuk menguji penguasaan ilmu hukumnya.
Catatan risalah perubahan UUD Tahun 1945, menjelaskan dengan sangat gamblang makna dan kandungan Pasal 24A ayat (3), posisi DPR dalam penentuan calon hakim agung sebatas memberi persetujuan atau tidak memberi persetujuan atas calon hakim agung yang diusulkan oleh KY, dan DPR tidak dalam posisi untuk memilih dari beberapa calon hakim agung yang diusulkan oleh KY. Adapun putusan mahkamah menyatakan bahwa:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
1.1 Kata “dipilih” dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “disetujui”;
1.2 Kata “dipilih” dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “disetujui”;
1.3 Kata “Pemilihan” dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “persetujuan”;
1.4 Kata “Pemilihan” dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “persetujuan”;
1.5 Frasa “3 (tiga) nama calon” dalam Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “1 (satu) nama calon”;
1.6 Frasa “3 (tiga) nama calon” dalam Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “1 (satu) nama calon”;
1.7 Pasal 8 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958) selengkapnya menjadi:
2) Calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat dari nama calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial.
(3) Calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat 1 (satu) orang dari 1 (satu) nama calon untuk setiap lowongan.
(4) Persetujuan calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari sidang terhitung sejak tanggal nama calon diterima Dewan Perwakilan Rakyat.
2. Frasa “3 (tiga) calon” dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5250) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “1 (satu) calon”;
3. Frasa “3 (tiga) calon” Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5250) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “1 (satu) calon”;
4. Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5250) selengkapnya menjadi,
“Dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari terhitung sejak berakhirnya seleksi uji kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial menetapkan dan mengajukan 1 (satu) calon hakim agung kepada DPR untuk setiap 1 (satu) lowongan hakim agung dengan tembusan disampaikan kepada Presiden”.
2. Putusan Mahkamah Konstitusi Dalam Perkara Nomor 16/PUU-XII/2014.
Para Pemohon mengajukan permohonan uji materiil Pasal 28 ayat (6), Pasal 28 ayat (3) huruf c, dan Pasal 37 ayat (1) UU KY yang pada intinya mengatur kewenangan DPR untuk memilih anggota KY, dan kewenangan KY untuk mengajukan sebanyak 21 (dua puluh satu) nama calon anggota KY untuk setiap 1 (satu) lowongan kepada DPR serta kewenangan Presiden untuk mengajukan calon anggota pengganti sebanyak 3 (tiga) kali dari jumlah keanggotaan yang kosong kepada DPR yang dianggap para Pemohon telah bertentangan dengan Pasal 24B Ayat (3) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD Tahun 1945.
Terhadap mekanisme rekrutmen untuk pengisisan keanggotaan KY, menurut Mahkamah, memiliki kesamaan dengan mekanisme rekrutmen Hakim Agung yang telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang pengujian UU MA dan UU KY. Pasal 24B ayat (3) UUD Tahun 1945 menentukan bahwa “Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Dari ketentuan tersebut jelas bahwa antara proses pengisian hakim agung dan anggota Komisi Yudisial adalah sama yaitu harus dengan persetujuan DPR. Berdasarkan pertimbangan tersebut, oleh karena dalam permohonan pengujian konstitusionalitas pasal a quo adalah sama dengan substansi pertimbangan dalam putusan diatas, maka substansi pertimbangan hukum tersebut mutatis mutandis berlaku sebagai pertimbangan putusan dalam permohonan a quo. Bahwa khusus mengenai kata “memilih” dalam Pasal 28 ayat (6) undang-undang a quo, menurut Mahkamah, pemaknaannya harus meliputi kata “wajib” yang terdapat sebelumnya, kata “menetapkan” yang terdapat sesudahnya dan pemaknaan kata “memilih” harus pula tetap menyediakan ruang kebebasan DPR dalam menjalankan kewenangannya untuk mengambil keputusan untuk menyetujui atau tidak menyetujui calon yang diajukan oleh Presiden. Adapun frasa “dan menetapkan” harus dimaknai “untuk menetapkan”. Dengan demikian, dengan pemaknaan dimaksud pasal tersebut menjadi “DPR berwenang menyetujui atau tidak menyetujui untuk menetapkan 7 (tujuh) calon anggota dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterima usul Presiden”. Oleh karenanya, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon beralasan menurut hukum.
Adapun putusan mahkamah menyatakan bahwa:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
1.1 Frasa “sebanyak” 21 (dua puluh satu) calon” dalam Pasal 28 ayat (3) huruf c Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5250) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “sebanyak 7 (tujuh) calon”.
1.2 Frasa “sebanyak” 21 (dua puluh satu) calon” dalam Pasal 28 ayat (3) huruf c Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5250) tidak mempunyaki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “sebanyak 7 (tujuh) calon”;
1.3 Pasal 28 ayat (3) huruf c Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5250) slengkapnya menjadi, “Panitia seleksi mempunyai tugas… c. menentukan dan menyampaikan calon anggota Komisi Yudisial sebanyak 7 (tujuh) calon dengan memperhatikan komposisi anggota Komisi Yudisial sebagimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari.”;
1.4 Frasa “wajib memilih” dalam Pasal 28 ayat (6) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5250) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “berwenang menyetujui atau tidak menyetujui”;
1.5 Frasa “wajib memilih” dalam Pasal 28 ayat (6) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5250) tidak mempunyaik kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “berwenang menyetujui atau tidak menyetujui”;
1.6 Pasal 28 ayat (6) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5250) selengkapnya menjadi, “DPR berwenang menyetujui atau tidak menyetujui untuk menetapkan 7 (tujuh) calon anggota dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterima usul dari Presiden.”;
1.7 Frasa “sebanyak 3 (tiga) kali dari” dalam Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5250) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “sebanyak sama dengan”;
1.8 Frasa “sebanyak 3 (tiga) kali dari” dalam Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5250) tidak mempunyaik kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sepanjang tidak dimaknai “sebanyak sama dengan”;
1.9 Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5250) selengkapnya menjadi, “Dalam hal terjadi kekosongan keanggotaan Komisi Yudisial, Presiden mengajukan calon anggota pengganti sebanyak sama dengan jumlah keanggotaan yang kosong kepada DPR.”;
Berdasarkan pemaparan-pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa dikabulkannya permohonan uji materiil Pasal 18 ayat (4), Pasal 28 ayat (6), Pasal 28 ayat (3) huruf c, dan Pasal 37 ayat (1) UU KY terhadap UUD Tahun 1945 membawa implikasi dan akibat hukum terkait proses rekrutmen hakim agung dan anggota KY.
Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang bersifat declaratoir constitutief, yang artinya putusan tersebut menciptakan atau meniadakan satu keadaan hukum baru atau membentuk hukum.
Terhadap permohonan uji materiil perkara Nomor 27/PUU-XI/2013 adalah menguji konstitusionalitas Pasal 18 ayat (4) UU KY terhadap Pasal 24A ayat (3) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD Tahun 1945, MK memberikan putusan mengabulkan permohonan para Pemohon dan menafsirkan secara inkonstitusional bersyarat dengan perumusan norma baru. Akibat hukum atas penafsiran MK diatas, maka untuk kedepannya dalam proses rekrutmen hakim agung, KY hanya menetapkan dan mengajukan hanya 1 (satu) calon hakim agung kepada DPR untuk setiap 1 (satu) lowongan, hal ini untuk menegaskan bahwa kewenangan DPR dalam proses rekrutmen hakim agung adalah hanya memberikan persetujuan dan tidak lagi melakukan pemilihan atau fit and proper test sehingga independensi kekuasaan kehakiman dapat terjaga.
Sementara itu, Permohonan uji materiil dalam perkara Nomor 16/PUU-XII/2014 adalah menguji konstitusionalitas Pasal 28 ayat (6), Pasal 28 ayat (3) huruf c, dan Pasal 37 ayat (1) UU KY terhadap Pasal 24B Ayat (3) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD Tahun 1945. Terhadap permohonan uji materiil tersebut MK memberikan putusan mengabulkan permohonan para pemohon sebagian dan menafsirkan secara inkonstitusional bersyarat dengan perumusan norma baru, bahwa ketentuan Pasal 28 ayat (6), Pasal 28 ayat (3) huruf c, dan Pasal 37 ayat (1) UU KY bertentangan dengan UUD Tahun sepanjang tidak dimaknai sebagai berikut:
Penafsiran yang dilakukan mahkamah dengan mengubah ketentuan frasa “sebanyak 21 (dua puluh satu) calon” menjadi “7 (tujuh) calon” dalam Pasal 28 ayat (3) huruf c, kata “memilih” menjadi “berwenang menyetujui dan tidak menyetujui” dalam Pasal 28 ayat (6) dan frasa “sebanyak 3 (tiga) kali dari” menjadi “sebanyak sama dengan” dalam Pasal 37 ayat (1) UU KY.
Terhadap putusan yang dijatuhkan menimbulkan akibat hukum bahwa DPR dalam proses seleksi anggota KY kedepannya hanya berwenang menyetujui dan tidak menyetujui 7 (tujuh) calon anggota yang merupakan hasil seleksi oleh panitia seleksi, dan DPR tidak memiliki kewenangan melakukan pemilihan atau fit and proper test calon anggota KY. Dan dalam hal terjadi kekosongan keanggotaan Komisi Yudisial, Presiden mengajukan calon anggota pengganti sebanyak sama dengan jumlah keanggotaan yang kosong kepada DPR.
Dapat dikatakan bahwa putusan MK atas pengujian Pasal 18 ayat (4), Pasal 28 ayat (6), Pasal 28 ayat (3) huruf c, dan Pasal 37 ayat (1) UU KY pada dasarnya merupakan putusan yang membatalkan norma tertentu yang tidak menganggu sistem norma yang ada sehingga tidak memerlukan pengaturan lebih lanjut karena sudah ditentukan rumusan baru oleh mahkamah dalam putusannya. Dalam artian, bahwa meski materi muatan pasal, ayat, atau bagian undang- undang telah dinyatakan batal dan tidak berlaku lagi, namun hal tersebut tidak menimbulkan kekosongan hukum sehingga umumnya putusan self executing tidak perlu ditindaklanjuti lembaga lain, dalam hal ini langsung berlaku. Selain itu, Putusan MK dalam perkara Nomor 27/PUU-XI/2013 dan Perkara Nomor 16/PUU-XII/2014 juga telah menimbulkan keadaan hukum baru.
Meskipun kedua putusan MK tersebut bersifat self-executing atau tidak menimbulkan kekosongan hukum karena dirumuskannya norma baru, namun aspek kepastian hukum atas berlakunya undang-undang menjadi hal yang utama. DPR sebagai pembentuk undang-undang diharapkan dapat lebih memberikan kepastian hukum atas berlakunya kedua putusan tersebut perlu dilakukan legislative review oleh DPR.
Pengujian Pasal 18 ayat (4), dalam perkara Nomor 27/PUU-XI/2013 dan Pasal 28 ayat (6), Pasal 28 ayat (3) huruf c, dan Pasal 37 ayat (1) UU KY dalam Perkara Nomor 16/PUU-XII/2014 terhadap UUD Tahun 1945 telah menciptakan keadaan hukum baru. Bahwa dalam putusannya, terhadap pengujian pasal-pasal a quo, MK memutuskan inkonstitusional bersyarat dengan perumusan norma baru. Keadaan hukum baru yang tercipta pada intinya terkait dengan proses seleksi hakim agung dan anggota KY, dimana dalam hal ini DPR yang semula dalam UU KY diberikan kewenangan “memilih” terhadap calon anggota KY, maka dalam putusannya mahkamah mengubah norma frasa “memilih” menjadi “berwenang menyetujui atau tidak menyetujui” hal ini agar sesuai dengan konstitusi yang mengatur bahwa dalam pengangkatan hakim agung maupun anggota KY, DPR hanya memberikan persetujuan dan bukan melakukan pemilihan atau fit and proper test. Kemudian, keadaan hukum baru yang tercipta adalah terkait jumlah calon untuk setiap lowongan dalam proses seleksi hakim agung dan anggota KY, baik untuk calon hakim agung maupun calon anggota KY yang semula berjumlah 3 (tiga) calon untuk setiap 1 (satu) lowongan, diubah normanya oleh MK menjadi 1 (satu) calon untuk setiap 1 (satu) lowongan.
Perlu dilakukan perubahan terhadap Pasal 18 ayat (4) 28D Pasal 28 ayat (6), Pasal 28 ayat (3) huruf c, dan Pasal 37 ayat (1) UU KY dengan menyesuaikan rumusan norma baru yang telah diputuskan oleh MK dalam pengujian pasal-pasal a quo. Perubahan tersebut hendaknya dituangkan dalam rencana perubahan UU KY, baik sebagai daftar kumulatif terbuka maupun dalam prolegnas prioritas tahunan.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430