Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Ototritas Jasa Keuangan dalam kurun waktu 9 (sembilan) tahun (2011-2020) keberlakuannya telah beberapa kali dilakukan uji materiil terhadap beberapa pasal/ayat dalam UU OJK ke Mahkamah Konstitusi. Dalam kurun waktu keberlakuannya tersebut, terdapat 1 (satu) putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan sebagian dari beberapa pasal yang diuji, yaitu Putusan Nomor 25/PUU-XII/2014. Adapun pasal-pasal yang diuji diantaranya Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34 dan Pasal 37 ayat (1) sampai dengan ayat (4) serta frasa “tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan” sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 6 huruf a, Pasal 7, Pasal 55 ayat (2), Pasal 64 ayat (1) huruf b, Pasal 65 ayat (1) huruf a dan Pasal 66 ayat (1) huruf a dan ayat (3) huruf a UU OJK yang dianggap bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 23A, Pasal 23D, Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945. Namun dari beberapa pasal tersebut hanya terdapat 1 (satu) pasal yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi yaitu pada frasa “dan bebas dari campur tangan pihak lain” pada Pasal 1 angka 1 UU OJK.
1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi tehadap pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal atau ayat suatu undang-undang yang dinyatakan Mahkamah Konstitusi sebagai konstitusional/inkonstitusional bersyarat?
3. Apakah terdapat disharmoni norma dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan suatu pasal dan/atau ayat dinyatakan tidak berkekuatan hukum mengikat baik terhadap pasal dan/atau ayat lain dalam Undang-Undang yang sama maupun ketentuan dalam Undang-Undang yang lain?
4. Apakah putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memiliki dampak atau akibat hukum terhadap peraturan perundang-undangan terkait?
Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal, yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD Tahun 1945.
Secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frasa “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dalam rangkaian pemeriksaan” sedangkan frasa mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harfiah ini maka frasa final dan frasa mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya dari suatu proses pemeriksaan telah memiliki kekuatan mengeratkkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum.
Sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu final yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Konsep ini mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni secara sederhana dan cepat sebagaimana diuraikan dalam penjelasan UU MK. Menurut Maruarar Siahaan Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan dihadapan sidang terbuka umum mempunyai 3 kekuatan yaitu: kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutoarial.
Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 25/PUU-XII/2014
1. Pendapat Hukum Mahkamah Konstitusi
Dalam perkara ini, Para Pemohon mengajukan pengujian konstitusionalitas Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, dan Pasal 37 ayat (1) sampai dengan ayat (4) serta frasa “tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan” sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 6 huruf a, Pasal 7, Pasal 55 ayat (2), Pasal 64 ayat (1) huruf b, Pasal 65 ayat (1) huruf a dan Pasal 66 ayat (1) huruf a dan ayat (3) huruf a UU OJK yang dianggap Para Pemohon bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 23A, Pasal 23D, Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945.
Majelis Hakim dalam pertimbangannya menyebutkan bahwa isu utama permohonan Para Pemohon secara umum berkaitan dengan pengaturan, wewenang, independensi OJK, koordinasi OJK dan BI, serta sumber pendanaan dan pungutan OJK.
Mahkamah berpendapat bahwa pembentukan OJK sebagai lembaga yang independen merupakan perintah dari Pasal 34 UU BI yang menyatakan bahwa, Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang”. Meski tidak diperintahkan oleh UUD 1945 hal tersebut tidak serta merta pembentukan OJK adalah inkonstitusional, karena pembentukan OJK atas perintah Undang-Undang yang dibentuk oleh lembaga yang berwenang. Dalam Pasal 10 ayat (1) UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dinyatakan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang. Mahkamah berpendapat bahwa persoalan pengaturan dan pengawasan di bidang perekenomian dan sektor keuangan baik yang bersifat macroprudential maupun microprudential dengan tujuan untuk menjaga kestabilan dan pertumbuhan ekonomi yang semula disatukan dalam kewenangan bank sentral dan saat ini dilaksanakan oleh dua lembaga, in casu BI dan OJK, merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk Undang-Undang. Dengan demikian pemisahan ataupun penggabungan kewenangan lembaga yang menyangkut macroprudential dan microprudential tersebut bukanlah merupakan persoalan konstitusionalitas. Dengan demikian menurut Mahkamah, dalil Para Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum. Terhadap dalil Para Pemohon yang mendalilkan kata “independen” dalam Pasal 1 angka 1 UU OJK yang tidak ditemukan pembenarannya secara konstitusional karena hanya bank sentral yang dilekatkan oleh Pasal 23D UUD 1945 yang memiliki independensi, sedangkan konsiderans UU OJK yang mendasarkan pada Pasal 33 UUD 1945 yang mengharuskan terintegrasi dengan sistem perekonomian menjadikan OJK tidak mungkin independen, Mahkamah berpendapat bahwa kata “independen” yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 UU OJK merupakan amanat Pasal 34 ayat (1) UU BI yang merupakan penjabaran dari Pasal 23 UUD 1945 sehingga tidak menyalahi apabila pembentuk Undang-Undang melekatkan kata “independen” kepada OJK. Selan itu, kata “independen” yang terdapat dalam Pasal 23D UUD 1945 pada dasarnya memiliki makna dan tujuan yang sama dengan kata “mandiri” sebagaimana yang diberikan kepada suatu komisi pemilihan umum [Pasal 22E ayat (5) UUD 1945]. Lagi pula pada hierarki Undang-Undang, juga terdapat lembaga yang diberikan kata “independen” tanpa dikaitkan dengan pasal dalam UUD 1945, seperti Komisi Persaingan Usaha [Pasal 30 ayat (2) UU5/1999], Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi [Pasal 3 UU 30/2002], dan Komisi Penyiaran Indonesia [Pasal 7 ayat (2) UU 32/2002. Oleh karena independensi OJK merupakan penjabaran dari UU BI, sedangkan independensi bank sentral berasal dari Pasal 23D UUD 1945 maka untuk memahami independensi OJK harus dikaitkan dengan independensi Bank Indonesia sebagai bank sentral.
pemaknaan “independen” bagi OJK sudah secara jelas dan tegas dinyatakan dalam UU OJK sehingga menurut Mahkamah, frasa “dan bebas dari campur tangan pihak lain” yang mengikuti kata “independen” dalam Pasal 1 angka 1 UU OJK tidak diperlukan lagi karena maknanya sudah tercakup dalam kata “independen” sebagaimana dijelaskan di atas.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XII/2014 yang telah membatalkan frasa “dan bebas dari campur tangan pihak lain” yang mengikuti kata “independen” dalam Pasal 1 angka 1 UU OJK tentunya membawa implikasi pada pengaturan UU OJK kedepan. Menurut Mahkamah dalam pertimbangannya menguraikan bahwa kata “independen” yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 UU OJK merupakan amanat dari Pasal 34 ayat (1) UU BI yang merupakan penjabaran dari Pasal 23D UUD NRI Tahun 1945 sehingga tidak menyalahi apabila pembentuk Undang-Undang melekatkan kata “independen” kepada OJK. Sehingga pemaknaan “independen” bagi OJK sudah secara jelas dan tegas dinyatakan dalam UU OJK. Dengan demikian menurut Mahkamah, frasa “dan bebas dari campur tangan pihak lain” yang mengikuti kata “independen” dalam Pasal 1 angka 1 UU OJK tidak diperlukan lagi dikarenakan maknanya sudah tercakup dalam kata “independen”. Terhadap permohonan Para Pemohon tersebut, Majelis Hakim memberikan putusan dengan mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk sebagian atau dengan kata lain bahwa frasa “dan bebas dari campur tangan pihak lain” yang mengikuti kata “independen” dalam Pasal 1 angka 1 UU OJK dianggap bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan mengikat. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut telah menimbulkan implikasi yuridis (akibat hukum) atau dengan kata lain putusan ini telah meniadakan keadaan hukum dan sekaligus menciptakan keadaan hukum baru. Implikasi yuridis dengan dibatalkannya frasa “dan bebas dari campur tangan pihak lain” yang mengikuti kata “independen” dalam Pasal 1 angka1 UU OJK tersebut yaitu frasa “dan bebas dari campur tangan pihak lain” tidak diperlukan lagi karena sudah tercakup dalam kata “independen” dan independensi yang diberikan kepada OJK bukan merupakan suatu hal yang menyalahi karena merupakan pengejawantahan amanat dari Pasal 34 ayat (1) UU BI.
Merujuk pada semangat pembentukan UU OJK sebagaimana tergambar dalam Konsiderans Menimbang dan Penjelasan Umum UU OJK dapat terlihat bahwa pada prinsipnya UU OJK lahir dengan pertimbangan bahwa terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi serta inovasi finansial telah menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis, dan saling terkait antar-subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Di samping itu, adanya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan (konglomerasi) telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antarlembaga jasa keuangan di dalam sistem keuangan.
Banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard, belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan semakin mendorong diperlukannya pembentukan lembaga pengawasan di sektor jasa keuangan yang terintegrasi.
Selain pertimbangan-pertimbangan tersebut, dalam UU BI, juga mengamanatkan pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang mencakup perbankan, asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat.
Pengujian beberapa pasal di dalam UU OJK telah menimbulkan implikasi yuridis khususnya terhadap frasa “dan bebas campur tangan pihak lain” pada Pasal 1 angka 1 UU OJK yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi atau dengan kata lain pada saat yang bersamaan putusan tersebut telah meniadakan keadaan hukum dan menciptakan keadaan hukum yang baru.
1. Terdapat ketidakcermatan dalam perumusan Pasal 1 angka 1 UU OJK yang kemudian menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya dikarenakan frasa “dan bebas dari campur tangan pihak lain” yang mengikuti kata “independen” dalam Pasal 1 angka 1 UU OJK memiliki pemaknaan yang sama sehingga tidak diperlukan lagi. Dasar tersebut yang menjadi landasan pemikiran yang kuat bagi Majelis Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan ketentuan a quo inkonstitusional.
2. Dibatalkannya ketentuan a quo dalam Putusan Nomor 25/PUU-XII/2014 menimbulkan implikasi yuridis bahwa frasa “bebas dari campur tangan pihak lain” tidak diperlukan lagi dan independensi OJK bukan merupakan suatu hal yang menyalahi karena merupakan pengejawantahan amanat Pasal 34 ayat (1) UU BI yang merupakan penjabaran dari Pasal 23D UUD NRI Tahun 1945.
3. Dibatalkannya frasa “dan bebas dari campur tangan pihak lain” pada Pasal 1 angka 1 UU OJK juga membawa dampak pada materi muatan UU OJK lainnya yakni Pasal 2 ayat (2) UU OJK yang dalam rumusannya juga terdapat kata “independen” yang kemudian diikuti juga dengan “frasa “bebas campur tangan pihak lain”.
1. Terhadap Pasal 1 angka 1 UU OJK perlu dilakukan reformasi ulang akibat dari adanya Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 25/PUU-XII/2014. Reformasi ulang tersebut juga dilakukan terhadap Pasal 2 ayat (2) UU OJK yang juga merumuskan kata “independen” yang diikuti dengan frasa “bebas dari campur tangan pihak lain”
2. Keharusan pembentuk undang-undang untuk segera menindaklanjuti hasil putusan Mahkamah Konstitusi sesuai dengan amanat dari ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf d UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
3. Perubahan terhadap UU OJK dituangkan dalam rencana perubahan UU OJK baik sebagai daftar kumulatif terbuka maupun dalam prolegnas prioritas tahunan.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430