Analisis dan Evaluasi UU Berdasarkan Putusan MK

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi: Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Jo. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi / 02-11-2020

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UU Jabatan Notaris) telah beberapa kali diujikan ke Mahkamah Konstitusi, dan terdapat satu putusan yang telah dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-X/2012.

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal, ayat suatu undang-undang yang dinyatakan MK sebagai konstitusionalitas/inkonstitusional bersyarat?
3. Apakah terdapat disharmoni norma dengan adanya putusan MK yang menyatakan suatu pasal dan/atau ayat dinyatakan tidak berkekuatan hukum mengikat baik terhadap pasal dan/atau ayat lain dalam Undang-Undang yang sama maupun ketentuan dalam Undang-Undang yang lain?
4. Apakah putusan MK tersebut memiliki dampak atau akibat hukum terhadap peraturan perundang-undangan terkait?

Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal, yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD Tahun 1945.
Secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frasa “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dalam rangkaian pemeriksaan” sedangkan frasa mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harfiah ini maka frasa final dan frasa mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya dari suatu proses pemeriksaan telah memiliki kekuatan mengeratkkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum.
Sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu final yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Konsep ini mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni secara sederhana dan cepat sebagaimana diuraikan dalam penjelasan UU MK. Menurut Maruarar Siahaan Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan dihadapan sidang terbuka umum mempunyai 3 kekuatan yaitu: kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutoarial.

Dalam Putusan MK No. 49/PUU-X/2012, Pemohon mengajukan pengujian ketentuan Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris sepanjang frasa/kalimat “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah”. Pemohon beranggapan bahwa hak konstitusionalnya sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 berupa persamaan kedudukan dalam hukum dan perlindungan dan kepastian hukum yang adil telah dirugikan dengan berlakunya Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris. Hak konstitusional Pemohon jelas-jelas nyata telah dirugikan dikarenakan Penyidik Kepolisian (Kepolisian Daerah Metro Jaya) telah mengalami kendala dalam melakukan proses Penyidikan Laporan Polisi yang dibuat Pemohon sehubungan dengan dugaan tindak pidana membuat keterangan palsu ke dalam akta autentik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 266 KUHP dikarenakan Penyidik tidak mendapatkan ijin/persetujuan dari Majelis Pengawas Daerah Notaris Cianjur.

Bahwa terhadap notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris perlakuan yang berbeda dapat dibenarkan sepanjang perlakuan itu berkaitan dengan tindakan dalam lingkup kode etik yaitu yang berkaitan dengan sikap, tingkah laku, dan perbuatan notaris dalam melaksanakan tugas yang berhubungan dengan moralitas. Menurut Mahkamah perlakuan yang berbeda terhadap jabatan notaris tersebut diatur dan diberikan perlindungan dalam Kode Etik Notaris, sedangkan notaris selaku warga negara dalam proses penegakan hukum pada semua tahapan harus diberlakukan sama di hadapan hukum sebagaimana dimaksud dan dijamin oleh Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena itu, keharusan persetujuan Majelis Pengawas Daerah bertentangan dengan prinsip independensi dalam proses peradilan dan bertentangan dengan kewajiban seorang notaris sebagai warga negara yang memiliki kedudukan sama di hadapan hukum.
Pada sisi lain, Mahkamah juga memahami pentingnya menjaga wibawa seorang notaris selaku pejabat umum yang harus dijaga kehormatannya sehingga diperlukan perlakuan khusus dalam rangka menjaga harkat dan martabat notaris yang bersangkutan dalam proses peradilan, termasuk terhadap notaris, diperlukan sikap kehati-hatian dari penegak hukum dalam melakukan tindakan hukum, namun perlakuan demikian tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum yang antara lain adalah persamaan kedudukan di hadapan hukum dan prinsip independensi peradilan.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan atas dalil Pemohon tersebut, Mahkamah menilai bahwa pengujian konstitusionalitas Pasal 66 ayat (1) sepanjang frasa “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah” UU Jabatan Notaris terhadap UUD 1945 beralasan menurut hukum.

Putusan MK No. 49/PUU-X/2012 dalam amar putusannya mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Putusan tersebut menyatakan bahwa frasa “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah” dalam Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa adanya keharusan persetujuan Majelis Pengawas Daerah bertentangan dengan prinsip independensi dalam proses peradilan dan juga bertentangan dengan kewajiban seorang notaris sebagai warga negara yang memiliki kedudukan sama di hadapan hukum. Akibat hukum Putusan MK No. 49/PUU-X/2012 adalah telah menciptakan keadaan hukum baru berupa hilangnya kewenangan Majelis Pengawas Daerah dalam memberikan persetujuan terhadap penyidik, penuntut umum, atau hakim untuk kepentingan proses peradilan, terkait pengambilan fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris serta pemanggilan Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris. Selain itu, syarat dan tata cara yang diatur secara teknis dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Permenkumham RI) Nomor: M.03.HT.03.10 Tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris menjadi tidak berlaku lagi.

Berdasarkan implikasi dari Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, jika dilakukan perubahan terhadap UU Jabatan Notaris oleh pembentuk undang-undang, maka harus dilakukan sesuai dengan putusan Mahkamah yang bersifat final dan mengikat. Setelah dua tahun putusan MK tersebut, dalam perkembangannya pada tahun 2014 telah dilakukan perubahan UU Jabatan Notaris melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UU Perubahan Jabatan Notaris). Ketentuan Pasal 66 ayat (1) berubah dan dilengkapi dengan dua ayat lainnya, yaitu ayat (3) dan (4). UU Perubahan Jabatan Notaris mensyaratkan persetujuan majelis Kehormatan Notaris dalam pengambilan minuta akta dan pemanggilan notaris, dengan jangka waktu tertentu.

a. Terdapat 1 (satu) putusan MK, yaitu Putusan MK No. 49/PUU-X/2012 yang menyatakan frasa/kalimat “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah” dalam Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
b. Putusan MK No. 49/PUU-X/2012 telah menciptakan keadaan hukum baru, yaitu hilangnya kewenangan Majelis Pengawas Daerah dalam memberikan persetujuan terhadap penyidik, penuntut umum, atau hakim untuk kepentingan proses peradilan, terkait pengambilan fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris serta pemanggilan Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.
c. Putusan MK No. 49/PUU-X/2012 berdampak pada Permenkumham RI Nomor: M.03.HT.03.10 Tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris menjadi tidak berlaku lagi.
2. Berdasarkan implikasi dari Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, jika dilakukan perubahan terhadap UU Jabatan Notaris oleh pembentuk undang-undang, maka harus dilakukan sesuai dengan putusan Mahkamah yang bersifat final dan mengikat. Setelah dua tahun Putusan MK No. 49/PUU-X/2012, dalam perkembangannya pada tahun 2014 telah dilakukan perubahan UU Jabatan Notaris. UU Perubahan Jabatan Notaris memasukkan kembali perlindungan Notaris melalui frasa “dengan persetujuan majelis kehormatan Notaris”. Ketentuan Pasal 66 ayat (1) berubah dan dilengkapi dengan dua ayat lainnya, yaitu ayat (3) dan (4). Terkait ketentuan Pasal 66 UU Perubahan Jabatan Notaris, ternyata pasal a quo juga beberapa kali diuji kembali ke Mahkamah Kontitusi namun ditolak.
3. Melalui Putusan MK No. 22/PUU-XVII/2019 yang menjawab Permohonan Pemohon atas pengujian Pasal 66 UU Perubahan Jabatan Notaris, MK lebih mengedepankan prinsip perlindungan hukum bagi Notaris dan pembinaan Majelis Kehormatan Notaris, serta dengan memperhatikan adanya penambahan ketentuan Pasal 66 ayat (3) dan ayat (4) UU Perubahan Jabatan Notaris. Dengan demikian, MK berpendapat tidak ada pertentangan dengan maksud Putusan MK No. 49/PUU-X/2012.

1. Berdasarkan Putusan MK No. 22/PUU-XVII/2019, MK memiliki menggunakan pertimbangan hukum yang berbeda sehingga tetap mempertahankan dan memperkuat ketentuan Pasal 66 UU Perubahan Jabatan Notaris yang dibentuk oleh Pembentuk UU. Namun dalam praktiknya, terdapat hambatan yang dialami oleh beberapa pihak, khususnya oleh penegak hukum yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya dalam menjalankan tugas dan fungsi jabatannya untuk melakukan kepentingan proses peradilan. Hal ini juga terbukti bahwa hingga saat ini masih terdapat Permohonan Pengujian Materiil UU Perubahan Jabatan Notaris yang belum diputuskan oleh MK, yaitu Perkara Nomor: 16/PUU-XVIII/2020 yang kembali mengajukan permohonan terkait Pasal 66 ayat (1) UU Perubahan Jabatan Notaris. Oleh karena itu, perlu dilakukan sosialisasi oleh Pembentuk UU bahwa UU Perubahan Jabatan Notaris telah sesuai dengan Putusan MK No. 49/PUU-X/2012, dengan tetap memperhatikan adanya penambahan ketentuan Pasal 66 ayat (3) dan ayat (4) UU Perubahan Jabatan Notaris.
2. Bahwa diperlukan pemahaman utuh semua pihak, baik dari penyidik, penuntut umum, hakim, Notaris, dan masyarakat untuk melaksanakan masing-masing tugas dan wewenangnya, serta memenuhi hak dan kewajibannya dengan baik agar proses penegakan hukum tetap berjalan dengan adil.
3. Bahwa dalam pelaksanaanya Notaris harus bekerja sesuai kode etik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, dengan adanya perubahan Pasal 66 dan penambahan ayat (3) dan ayat (4) UU Perubahan Jabatan Notaris, maka proses peradilan berlarut diharapkan tidak akan terjadi lagi. Diperlukan objektivitas dan profesionalitas Majelis Kehormatan Notaris dalam menjalankan tugasnya.