Analisis dan Evaluasi UU Berdasarkan Putusan MK


Deprecated: explode(): Passing null to parameter #2 ($string) of type string is deprecated in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-evaluasi.phtml on line 61

Warning: Undefined array key 1 in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-evaluasi.phtml on line 64

Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-evaluasi.phtml on line 66

Warning: Undefined property: stdClass::$resume in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-evaluasi.phtml on line 80

Deprecated: nl2br(): Passing null to parameter #1 ($string) of type string is deprecated in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-evaluasi.phtml on line 80
Analisis Dan Evaluasi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi / 01-11-2019

Hubungan industrial merupakan hubungan kerja yang didasarkan pada kepentingan antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Hubungan industrial erat kaitannya dengan hak warga Negara untuk memperoleh pekerjaan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD Tahun 1945) yang menyatakan “Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Selain itu hubungan industrial juga merupakan bentuk pelaksanaan kebebasan warga Negara dalam menetukan pekerjaan yang telah dijamin dalam Pasal 28D ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menyatakan “setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” Dalam perkembangannya timbul perubahan yang bersifat fundamental dalam permasalahan kerja yang berkaitan dengan penetapan dan pengaturan hubungan industrial. Pelaksanaan hubungan industrial berpotensi menimbulkan perbedaan pendapat, bahkan perselisihan antara kedua belah pihak. Perselisihan hubungan industrial yang terjadi disebabkan, pertama adanya perbedaan pendapat atau kepentingan keadaan ketenagakerjaan yang belum diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama atau peraturan perundang-undangan. Kedua, kelalaian atau ketidakpatuhan salah satu atau para pihak dalam melaksanakan ketentuan normatif yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama atau peraturan perundang-undangan. Ketiga, pengakhiran hubungan kerja. Keempat, perbedaan pendapat antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan mengenai pelaksanaan hak dan kewajiban keserikatpekerjaan.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan IndustriaI (UUPPHI) berupaya menyediakan alternatif penyelesaian sengketa yang terbaik bagi para pihak untuk menentukan bentuk penyelesaian. Sebagai peraturan perundang-undangan yang menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, UUPPHI seringkali menjadi objek gugatan uji materil, baik oleh pekerja, pengusaha, maupun hakim PHI.

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK?

2. Apa akibat hukum terhadap pasal dan ayat suatu UU yang dinyatakan MK sebagai inkonstitusionalitas/inkonstitusionalitas bersyarat?

3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu UU jika suatu pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan?

Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal, yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD Tahun 1945.
Secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frasa “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dalam rangkaian pemeriksaan” sedangkan frasa mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harfiah ini maka frasa final dan frasa mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya dari suatu proses pemeriksaan telah memiliki kekuatan mengeratkkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum.
Sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu final yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Konsep ini mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni secara sederhana dan cepat sebagaimana diuraikan dalam penjelasan UU MK. Menurut Maruarar Siahaan Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan dihadapan sidang terbuka umum mempunyai 3 kekuatan yaitu: kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutoarial.

1. Putusan Perkara Nomor 68/PUU-XIII/2015
MK berpendapat bahwa perlu ditinjau lebih lanjut tentang apa yang dimaksud dengan anjuran tertulis dan tentang apa yang dimaksud dengan risalah penyelesaian mediasi atau konsiliasi dihubungkan dengan utilitas penyelesaian sengketa di Pengadilan Hubungan Industrial. Anjuran tertulis ini sendiri diatur dalam Pasal 13 ayat (2), Pasal 14 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), Pasal 24 ayat (1), dan Pasal 117 ayat (1) UUPPHI.
Dari beberapa pengaturan tersebut, MK berpendapat anjuran tertulis bukan syarat formil dalam pengajuan gugatan di Pengadilan hubungan Industrial, sedangkan risalah penyelesaian mediasi atau konsiliasi merupakan syarat formil dalam pengajuan gugatan di Pengadilan Hubungan Industrial, oleh karena itu menurut Mahkamah petitum permohonan para pemohon yang memohonkan pemaknaan Pasal 13 ayat (2) huruf a UU PPHI setelah frasa “anjuran tertulis” ditambahkan frasa “sebagai bentuk risalah penyelesaian melalui mediasi” dan pemaknaan Pasal 23 ayat (2) huruf a UU PPHI sehingga setelah frasa “anjuran tertulis” ditambahkan frasa “ sebagai bentuk risalah penyelesaian melalui konsiliasi” dipandang beralasan. Namun oleh karena format dan substansi risalah penyelesaian dalam mediasi atau konsiliasi tidak diatur dalam Undang-Undang a quo, maka Mahkamah perlu mempertimbangkan lebih lanjut mengenai format dan substansi risalah tersebut. Oleh karena format dan substansi risalah dalam penyelesaian mediasi atau konsiliasi tidak diatur, Mahkamah berpendapat format dan substansi yang dapat digunakan sebagai pedoman adalah ketentuan yang mengatur tata cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui bipartit yang terdapat dalam Pasal 6 UUPPHI.

2. Putusan Perkara Nomor 114/PUU-XIII/2015
Bahwa oleh karena ketentuan Pasal 171 UU Ketenagakerjaan telah dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, serta keberadaan Pasal 82 UU PPHI mempunyai makna dan muatan materi yang sama dengan ketentuan Pasal 171 UU Ketenagakerjaan, maka alasan-alasan permohonan yang diajukan dalam pengujian Pasal 171 UU Ketenagakerjaan secara mutatis mutandis menjadi alasan-alasan permohonan dalam pengujian Pasal 82 UU PPHI. Dalam judicial review berkenaan Pasal 82 UUPPHI tersebut Mahkamah juga telah menyatakan pendiriannya sebagaimana tertuang dalam dalam Putusan Mahkamah Nomor 012/PUU-I/2003 bertanggal 28 Oktober 2004. Dalam Putusan Mahkamah Nomor 012/PUU-I/2003 yang membatalkan dan menyatakan Pasal 159 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, Mahkamah Konstitusi menilai bahwa Pasal 82 UUPPHI yang juga mengatur tentang keberadaan Pasal 159 UU Ketenagakerjaan maka pertimbangan hukum dalam pengujian Pasal 159 UU Ketenagakerjaan berlaku pula terhadap pengujian Pasal 82 UUPPHI. Sehingga dengan demikian dalam amar putusan Nomor 114/PUU-XIII/2015 Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 82 UUPPHI bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang anak kalimat “Pasal 159”.

3. Putusan Perkara Nomor 49/PUU-XIV/2016
Mahkamah berpendapat bahwa keberdaan hakim ad hoc tidak dapat dipisahkan dengan sistem peradilan di Indonesia. Hakim ad hoc diadakan untuk memperkuat peran dan fungsi kekuasaan kehakiman di dalam menegakkan hukum dan keadilan yang keberadaannya berada dalam peradilan yang bersifat khusus. Hakim ad hoc merupakan hakim yang diangkat dari luar hakim karir yang memenuhi persyaratan mempunyai keahlian dan pengalaman, profesional, berdedikasi, dan berintegrasi tinggi, menghayati cita-cita Negara hukum dan Negara kesejahteraan yang berintikan keadilan, serta memahami dan menghormati hak asasi manusia serta persyaratan lain yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
Mahkamah Konstitusi juga menimbang dan mendasarkan putusannya pada putusan Mahkamah sebelumnya mengenai keberadaan hakim ad hoc, yakni putusan MK Nomor 56/PUU-X/2012 dan putusan MK Nomor 32/PUU-XII/2014. Putusan MK Nomor 56/PUU-X/2012 menyatakan “..., sehingga hakim ad hoc diperlukan hanya untuk mengadili kasus-kasus tertentu. Oleh karena itu seharusnya hakim ad hoc hanya berstatus hakim selama menangani perkara yang diperiksa dan diadilinya.”. Selanjutnya putusan MK Nomor 32/PUU-XII/2014 menyatakan “bahwa dibentuknya hakim ad hoc pada dasarnya karena adanya faktor kebutuhan akan keahlian dan efektivitas pemeriksaan perkara di pengadilan yang bersifat khusus. Pengangkatan hakim ad hoc dilakukan melalui serangkaian proses seleksi yang tidak sama dengan proses rekrutmen dan pengangkatan hakim sebagai pejabat negara pada umumnya.” Atas dasar putusan tersebut, menurut Mahkamah Konstitusi pengangkatan kembali hakim ad hoc yang telah habis masa jabatannya namun masih memiliki kompetensi, kapasitas, dan profesionalisme dipandang memenuhi syarat untuk dicalonkan kembali sebagai hakim ad hoc pada pengadilan hubungan industrial.
Namun demikian, sebagai pengadilan yang bersifat khusus, tata cara pengangkatan hakim ad hoc sesuai dengan UU PPHI didasarkan atas usul organisasi serikat pekerja atau serikat buruh dan organisasi pengusaha dimana yang bersangkutan harus menguasai pengetahuan hukum dan pengalaman khususnya penanganan di bidang perburuhan atau ketenagakerjaan dan kepengusahaan. Sebagai konsekuensi adanya keterikatan Pengadilan Hubungan Industrial yang merupakan representasi dari unsur lembaga pengusul maka hal ini tidak dapat dilepaskan dari keberadaan hakim ad hoc yang dalam proses perekrutannya meninggalkan keterlibatan dari masing-masing lembaga pengusul, sehingga meskipun jabatan hakim ad hoc Pengadilan Hubungan Industrial yang telah habis masa jabatannya maka pengusulannya kembali haruslah mendapat persetujuan atau rekomendasi dari lembaga pengusul.

Berdasarkan putusan MK atas perkara Nomor 68/PUU-XIII/2015, 114/PUU-XIII/2016, dan 49/PUU-XIV/2016 yang kesemuanya bersifat declatoir contitutief dimana MK telah meniadakan suatu keadaan hukum dan/atau menciptakan suatu keadaan hukum yang baru yang bersyarat (conditionally constitusional atau conditionally inconstitutional), maka pasal-pasal dalam UUPPHI yang dinyatakan batal (null and void) dan tidak berlaku lagi ataupun amarnya terdapat perumusan norma, keberlakuannya tidak dapat langsung dieksekusi (nonself executing/implementing).
Sehubungan dengan ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf d dan ayat (2), pasal-pasal UUPPHI yang diuji dan diputuskan oleh MK dalam perkara Nomor 68/PUU-XIII/2015, 114/PUU-XIII/2016, dan 49/PUU-XIV/2016 termasuk pasal-pasal yang memerlukan tindak lanjut melalui perubahan undang-undang yang memuat norma pasal yang diuji dan dinegasikan tersebut. Perubahan undang-undang yang memuat norma pasal-pasal UUPPHI yang telah diputus tersebut dapat dilakukan baik melalui legislatif review atau eksekutif review.

1. Bahwa dalam putusan perkara nomor 68/PUU-XIII/2015 frasa “anjuran tertulis” dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a dan Pasal 23 ayat (2) huruf a UUPPHI bertentangan dengan UUD tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, maka mediator mengeluarkan anjuran tertulis dalam bentuk risalah penyelesaian melalui mediasi.” (Pasal 13 ayat (2) huruf a) dan “dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi, maka konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis dalam bentuk risalah penyelesaian melalui konsiliasi.” (Pasal 23 ayat (2) huruf a).

2. Bahwa dalam putusan perkara nomor 114/PUU-XIII/2015 mahkamah memutus Pasal 82 UUPPHI sepanjang anak kalimat “Pasal 159” bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

3. Bahwa dalam putusan perkara 49/PUU-XIV/2016 mahkamah memtuskan Pasal 67 ayat (2) UUPPHI bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Masa tugas Hakim Ad-Hoc adalah untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali setiap 5 (lima) tahun yang diusulkan oleh Ketua Mahkamah Agung dengan terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari lembaga pengusul yang prosesnya sesuai dengan undang-undang yang berlaku.”

4. Amar putusan MK dari ketiga perkara tersebut bersifat declatoir constitutief, artinya MK dengan putusan tersebut telah meniadakan hukum dan mengubah makna pasal-pasal dalam UUPPHI yang diuji sehingga menciptakan hukum baru. Meskipun dalam amar putusannya MK membatalkan dan merumuskan norma baru namun pembatalan dan perumusan norma baru tersebut bersifat bersyarat (conditionally constitusional atau conditionally inconstitusional). Dengan demikian putusan MK dalam ketiga perkara tersebut merupakan putusan yang tidak dapat langsung dieksekusi (non-self executing/implementing) dan memerlukan tindak lanjut perubahan undang-undang melalui legislatif review atau eksekutif review yang memuat norma rumusan putusan MK.

1. Bahwa pembentuk undang-undang perlu untuk segera melakukan perubahan dan reformulasi terhadap pasal-pasal dalam UU PPHI berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi yakni perubahan dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a dan Pasal 23 ayat (2) huruf a) mengenai format dan substansi risalah, Perubahan Pasal 82 mengenai penghapusan anak kalimat “Pasal 159”, perubahan Pasal 67 ayat (2) mengenai masa tugas hakim ad hoc dan pengangkatannya kembali.

2. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pembentuk undang-undang perlu untuk segera menindaklanjuti hasil putusan Mahkamah Konsitusi tersebut dengan segera melakukan penyesuaian atau perubahan UU PPHI dan segera menetapkan dalam Program Legislasi Nasional Kumulatif Terbuka.