Perubahan mendasar terkait penyelenggaraan kekuasaan kehakiman terjadi pada Perubahan Ketiga UUD Tahun 1945 yang disahkan dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2001 tanggal 1-9 November 2001, dimana Pasal 24 UUD Tahun 1945 diubah menjadi dua ayat, dan satu ayat tambahan dilakukan pada amandemen keempat dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2002 tanggal 1-11 Agustus 2002. Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD Tahun 1945 bahwa kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan peradilan dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan tata usaha negara serta oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Sebelum Perubahan Ketiga UUD Tahun 1945, sejak tahun 1970 Peradilan Agama memiliki dualisme pembinaan yaitu pembinaan peradilan agama dalam aspek organisasi, administrasi dan finansial yang dilakukan oleh Departemen Agama, dan pembinaan dalam aspek yustisial dilakukan oleh Mahkamah Agung RI. Ketentuan tentang penyelenggaraan peradilan agama dituangkan pertama kali dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UU 7/1989). Sejak UUD Tahun 1945 perubahan ketiga, UU 7/1989 telah mengalami dua kali perubahan yaitu dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 (UU 3/2006) dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 (UU 50/2009) tentang Peradilan Agama (selanjutnya secara keseluruhan ketiga undang-undang tersebut disebut sebagai UU Peradilan Agama). UU Peradilan Agama selama ini telah beberapa kali diajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi, namun yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi sampai dengan saat ini tercatat ada 2 (dua) putusan yaitu Putusan Perkara Nomor 37/PUU-X/2012 dan Putusan Perkara Nomor 43/PUU-XIII/2015.
1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi khususnya terhadap UU Peradilan Agama?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal atau ayat suatu undang-undang yang dinyatakan Mahkamah Konstitusi sebagai konstitusionalitas/ inkonstitusional bersyarat khususnya dalam UU Peradilan Agama?
3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu undang-undang jika suatu pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi berimplikasi terhadap norma pasal atau ayat lain yang tidak diujikan khususnya dalam UU Peradilan Agama?
Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal, yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD Tahun 1945.
Secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frasa “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dalam rangkaian pemeriksaan” sedangkan frasa mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harfiah ini maka frasa final dan frasa mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya dari suatu proses pemeriksaan telah memiliki kekuatan mengeratkkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum.
Sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu final yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Konsep ini mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni secara sederhana dan cepat sebagaimana diuraikan dalam penjelasan UU MK. Menurut Maruarar Siahaan Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan dihadapan sidang terbuka umum mempunyai 3 kekuatan yaitu: kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutoarial.
1. Putusan Perkara Nomor 37/PUU-X/2012
Pemohon memohonkan pengujian Pasal 24 ayat (6) yang berketentuan “Ketentuan lebih lanjut mengenai gaji pokok, tunjangan dan hak-hak lainnya beserta jaminan keamanan bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan diatur dengan peraturan perundang-undangan.”. Ketentuan tersebut dianggap bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 25, dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945.
Mahkamah berpandangan bahwa frasa “diatur dengan peraturan perundang-undangan” dalam Pasal 25 ayat (6) UU 51/2009, Pasal 24 ayat (6) UU 50/2009, dan Pasal 25 ayat (6) UU 49/2009 merupakan bentuk dari delegasi kewenangan yang dibentuk dari Undang-Undang kepada peraturan perundang-undangan. Akan tetapi, sebuah bentuk delegasi harus memenuhi syarat-syarat kejelasan kewenangan apa saja yang didelegasikan dan kepada apa atau siapa delegasi kewenangan tersebut diberikan. Mengingat Pasal 25 ayat (6) UU 51/2009, Pasal 24 ayat (6) UU 50/2009, dan Pasal 25 ayat (6) UU 49/2009 mengatur agar ketentuan lebih lanjut mengenai gaji pokok, tunjangan dan hak-hak lainnya beserta jaminan keamanan bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan diatur dengan peraturan perundang-undangan tanpa menjelaskan jenis peraturan perundang- undangan dimaksud secara tegas untuk mengatur hal tersebut, padahal jenis-jenis peraturan perundang-undangan sudah ditentukan secara tegas, menurut Mahkamah, hal demikian merupakan pelanggaran terhadap prinsip kepastian hukum yang adil yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Bahwa dalam rangka meluruskan ketidakjelasan frasa “diatur dengan peraturan perundang-undangan” dalam Pasal 25 ayat (6) UU 51/2009, Pasal 24 ayat (6) UU 50/2009, dan Pasal 25 ayat (6) UU 49/2009, Mahkamah berpedoman pada Pasal 5 ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menyatakan, “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”. Dengan demikian, frasa “diatur dengan peraturan perundang-undangan” dalam Pasal 25 ayat (6) UU 51/2009, Pasal 24 ayat (6) UU 50/2009, dan Pasal 25 ayat (6) UU 49/2009 adalah bertentangan dengan UUD Tahun 1945 secara bersyarat. Atas Pendapat Hukum Mahkamah Konstitusi tersebut, telah ditegaskan kembali bahwa dalam pendelegasian kewenangan dalam sebuah undang-undang harus memenuhi kejelasan kewenangan apa saja yang didelegasikan dan kepada apa atau siapa delegasi kewenangan tersebut diberikan. Dikarenakan tidak disebutkan mandatory kewenangan secara jelas, maka Mahkamah Konstitusi menyelaraskan hierarkisitas peraturan perundang-undangan sebagaimana ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011 yaitu UUPA dilaksanakan melalui Peraturan Pemerintah.
Berdasarkan pertimbangan Mahkamah Konstitusi diatas, bahwa yang dimaksud dengan independensi hakim adalah jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan yang harus terbebas dari berbagai tekanan dan intervensi dari siapapun, terlebih dari pihak yang memiliki kekuasaan politik dan administrasi. Konsep independensi hakim yang demikian secara norma tidak ada kaitannya dengan dalil kerugian Pemohon. Pemohon sebagai perseorangan hakim tetap berhak atas hak keuangan dan hak administrasi yang melekat pada jabatan hakim sebagai pejabat negara, sementara yang memiliki kewenangan administrasi untuk mengatur hak keuangan dan hak administrasi hakim adalah Pemerintah. Sehingga dengan demikian, independensi hakim tidak akan terganggu ataupun terhalangi jika hak keuangan dan hak administrasinya dikelola oleh Pemerintah.
Yang menarik untuk diperhatikan dalam Putusan Perkara Nomor 37/PUU-X/2012 ini adalah Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon atas pengujian Pasal 25 ayat (6) UU 51/2009, Pasal 24 ayat (6) UU 50/2009, dan Pasal 25 ayat (6) UU 49/2009 terkait frasa “diatur dengan peraturan perundang-undangan” tidak dengan batu uji yang diajukan Pemohon yaitu Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 25, dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945. Mahkamah menyatakan Pasal 25 ayat (6) UU 51/2009, Pasal 24 ayat (6) UU 50/2009, dan Pasal 25 ayat (6) UU 49/2009 sepanjang frasa “diatur dengan peraturan perundang-undangan” adalah bertentangan dengan Pasal 5 ayat (2) UUD Tahun 1945 sebagai bentuk koreksi atas ketidaksinkronan dalam bentuk peraturan pelaksanaan turunan langsung dari Undang-Undang a quo. Namun demikian, isi amar putusan sudah sama dengan petitum Pemohon untuk mengartikan frasa “diatur dengan peraturan perundang-undangan” harus dimaknai dengan “diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi yang mengharuskan Pasal a quo dimaknai “diatur dengan Peraturan Pemerintah” ini berimplikasi menciptakan hukum baru (conditionally constitutional) dimana dalam norma sebelumnya hanya diperlukan pelaksanaan Pasal a quo dengan peraturan perundang-undangan, tetapi Mahkamah memerintahkan pengaturan Pasal a quo dengan Peraturan Pemerintah. Namun disaat yang bersamaan, Putusan tersebut juga meniadakan hukum sebelumnya yang pengaturan Pasal a quo melalui Kepres Nomor 89/2001 dan Perpres 19/2008 yang jika disesuaikan dengan amar Putusan tersebut, maka Kepres Nomor 89/2001 dan Perpres 19/2008 menjadi bertentangan dengan hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga hal ini berimplikasi pada adanya kekosongan hukum atas pelaksanaan Pasal a quo. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan sebuah pembentukan hukum baru, dimana Mahkamah Konstitusi sebagai negative legislator dalam putusannya akan menimbulkan akibat hukum yang mempengaruhi satu keadaan hukum atau hak dan/atau kewenangan. Akibat hukum yang timbul dari putusan tersebut sejak putusan tersebut diucapkan dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi yang dinyatakan terbuka untuk umum. Artinya akibat hukum yang timbul dari berlakunya suatu undang-undang, yaitu sejak diundangkannya undang-undang tersebut sampai dengan diucapkannya putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan pasal/ayat dari undang-undang tersebut dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
2. Putusan Perkara Nomor 43/PUU-XIII/2015
Para Pemohon mengajukan pengujian terhadap Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) UU 49/2009 juncto Pasal 13A ayat (2) dan ayat (3) UU 50/2009 juncto Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) UU 51/2009. Mahkamah berpandangan bahwa untuk menjamin terwujudnya independensi hakim memerlukan kelembagaan yang independen pula sebagaimana amanat Pasal 24 ayat (1) UUD Tahun 1945.
Mahkamah Konstitusi menegaskan peran dan posisi Komisi Yudisial melalui Putusan Nomor 43/PUU-XIII/2015 dan Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006 bahwa meskipun Komisi Yudisial masuk dalam kekuasaan kehakiman, sebagaimana ketentuan dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman UUD Tahun 1945, namun Komisi Yudisial bukanlah merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman, melainkan sebagai supporting element atau state auxiliary organ yang membantu atau mendukung pelaku kekuasaan kehakiman.
Mahkamah Konstitusi juga berpendapat bahwa kewenangan pengawasan etik oleh Komisi Yudisial, secara sadar atau tidak telah ditafsirkan dan dipraktikan sebagai pengawasan terkait justisial dengan cara memeriksa putusan. Atas pendapat Mahkamah Konstitusi tersebut dapat dikaitkan dengan Pasal 12F UU 50/2009 yang juga memberikan kewenangan Komisi Yudisial untuk dapat menganalisis putusan pengadilan yang selengkapnya sebagai berikut:
“Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, Komisi Yudisial dapat menganalisis putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagai dasar rekomendasi untuk melakukan mutasi hakim.”
Dalam hubungannya dengan ketentuan Pasal 12F UU 50/2009, pendapat Mahkamah Konstitusi tersebut yang mengkoreksi pengawasan Komisi Yudisial pada wilayah analisis putusan pengadilan sudah sepatutnya berimplikasi pula pada legal reasoning norma Pasal 12F UU 50/2009. Analisis putusan pengadilan yang diperiksa Komisi Yudisial sebagaimana dimaksu d Pasal 12F UU 50/2009 dimaksudkan sebagai dasar rekomendasi melakukan mutasi hakim meliputi promosi dan demosi hakim, hal ini yang dimaksudkan oleh Mahkamah Konstitusi seharusnya tidak menjadi dasar Komisi Yudisial melakukan pengawasan putusan pengadilan sebagai bentuk independensi kehakiman yang dipersempit dan disalahartikan menjadi objek penilaian dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Pasal 13 UU KY tidak memberikan wewenang kepada Komisi Yudisial untuk dapat memberikan rekomendasi pengangkatan hakim pada badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, dan dalam menegakkan kehormatan hakim dilakukan dengan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim (Pasal 20 UU KY). Kode etik jabatan hakim yang menjadi salah satu fokus Komisi Yudisial telah ditetapkan secara bersama-sama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor 047/KMA/SKB/IV/ 2009 dan 02/SKB/P.KY/IV.2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang harus dijadikan dasar perilaku dan tindakan profesi hakim. Kode etik tersebut dirumuskan dengan maksud untuk melakukan pembinaan dan pembentukan karakter serta untuk mengawasi tingkah laku hakim.
Mahkamah Konstitusi berpandangan bahwa norma pengawasan yang berlaku universal di semua sistem hukum yang dikenal di dunia terhadap putusan pengadilan adalah bahwa putusan pengadilan tidak boleh dinilai oleh lembaga lain kecuali melalui proses upaya hukum (rechtsmideller) sesuai dengan hukum acara. Sehingga dengan demikian, implikasi atas Putusan perkara nomor 43/PUU-XIII/2015 menyebabkan hilangnya kewenangan Komisi Yudisial untuk ikut serta dalam melakukan seleksi hakim badan peradilan dibawah Mahkamah Agung di lingkungan peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara. Selain itu, meskipun Putusan perkara nomor 43/PUU-XIII/2015 hanya membatalkan Pasal 13A ayat (2) dan ayat (3) UU 50/2009, tetapi penalaran hukum (legal reasoning) yang diambil oleh Mahkamah Konstitusi juga seharusnya berimplikasi pada Pasal 12F UU 50/2009 yang memiliki norma berkaitan dengan pasal/ayat yang telah dibatalkan. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut berimplikasi secara langsung meniadakan hukum atas kewenangan Komisi Yudisial dalam melakukan seleksi hakim badan peradilan dibawah Mahkamah Agung di lingkungan peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara. Khusus pada norma Pasal 12F UU 50/2009 meskipun memiliki legal reasoning yang terkait dengan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 43/PUU-XIII/2015, namun karena tidak masuk dalam amar putusan maka Pasal 12F UU 50/2009 masih dinyatakan berlaku dan memiliki kekuatan hukum mengikat. Berdasarkan amar dari kedua Putusan Nomor 37/PUU-X/2012 dan Putusan Nomor 43/PUU-XIII/2015 di atas, dapat dilihat bahwa sifat dari amar putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memiliki sifat declaratoir constitutief, artinya putusan Mahkamah Konstitusi meniadakan satu keadaan hukum lama atau membentuk hukum baru sebagai negative legislator.
Oleh karena itu, Mahkamah menimbang bahwa Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) UU UU 49/2009, Pasal 13A ayat (2) dan ayat (3) UU 50/2009, Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) UU 51/2009 sepanjang kata "bersama" dan frasa "dan Komisi Yudisial" adalah bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1) UUD Tahun 1945.
Bahwa atas Putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa Komisi Yudisial bukanlah pelaku kekuasaan kehakiman, namun perannya sebagai pengawas pelaksanaan kekuasaan kehakiman dari sisi etik perorangan hakim tanpa melakukan intervensi terhadap kemerdekaan hakim dalam membuat sebuah putusan.
....
Dissenting Opinion
Dalam Putusan 43/PUU-XIII/2015, terdapat satu hakim yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) atas Putusan a quo yaitu Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna. Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna berpendapat, keterlibatan Komisi Yudisial dalam proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri, hakim pengadilan agama, dan hakim pengadilan tata usaha negara yang dilakukan bersama-sama dengan Mahkamah Agung tidaklah mengganggu administrasi, organisasi, maupun finansial pengadilan sepanjang dipahami (dan terbatas pada) bahwa keterlibatan Komisi Yudisial itu konteksnya adalah keterlibatan dalam memberikan pemahaman kode etik dan pedoman perilaku hakim bagi para calon hakim yang telah dinyatakan lulus dalam proses seleksi sebagai calon pegawai negeri sipil. Sesungguhnya, mekanisme yang sudah dipraktikkan selama ini, sebelum adanya permohonan a quo dimana Komisi Yudisial dilibatkan dalam pemberian materi ajar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, melakukan pengawasan pelaksanaan pendidikan dan latihan calon hakim, serta melakukan monitoring pelaksanaan proses magang para calon hakim hingga turut serta dalam rapat penentuan kelulusan para peserta pendidikan dan latihan calon hakim adalah penafsiran sekaligus implementasi yang tepat terhadap pengertian “wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim” yang diberikan oleh UUD Tahun 1945 kepada Komisi Yudisial.
Penafsiran demikian dipandang konstitusional di samping karena tidak mengganggu kemerdekaan kekuasaan kehakiman (baik secara organisasi, administrasi, maupun finansial) juga kontekstual dengan tujuan utama pembentukan Komisi Yudisial yaitu mengusulkan pengangkatan hakim agung. Sayangnya, buruknya hubungan antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung dalam mengimplementasikan gagasan mulia konstitusi itu, sebagaimana tampak nyata dari fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan maupun melalui sebaran berita di media massa, telah menyebabkan penafsiran dan implementasi yang sungguh memberi harapan besar bukan hanya bagi tegaknya kemerdekaan kekuasaan kehakiman tetapi juga bagi terjaganya kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim itu menjadi sirna.
Berdasarkan uraian di atas menurut Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna Mahkamah seharusnya memutus dan menyatakan norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo konstitusional bersyarat (conditionally constitutional), yaitu sepanjang frasa “bersama Komisi Yudisial” dalam proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri, hakim pengadilan agama, dan hakim pengadilan tata usaha negara sebagaimana diatur dalam ketiga Undang-Undang a quo dimaknai sebagai diikutsertakannya Komisi Yudisial dalam proses pemberian materi kode etik dan pedoman perilaku hakim bagi para calon hakim pengadilan negeri, calon hakim pengadilan agama, dan calon hakim pengadilan tata usaha negara dalam proses seleksi tersebut.
Ketentuan tentang penyelenggaraan peradilan agama dituangkan dalam 3 undang-undang yaitu UU 7/1989 yang telah mengalami dua kali perubahan yaitu dengan UU 3/2006 dan UU 50/2009. Putusan perkara nomor 37/PUU-X/2012 dan Putusan perkara nomor 43/PUU-XIII/2015 hanya membatalkan pasal/ayat dalam UU Peradilan Agama perubahan ketiga yaitu UU 50/2009. DPR RI sebagai pembentuk undang-undang perlu melihat keseluruhan norma yang ada dalam UU Peradilan Agama baik dari UU 7/1989, hingga ke undang-undang perubahannya UU 3/2006 dan UU 50/2009. Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 menentukan bahwa, “Pengujian materiil adalah pengujian Undang-Undang yang berkenaan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-Undang yang dianggap bertentangan dengan UUD NRI 1945”, pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 tidak hanya dilakukan terhadap pasal/ayat tertentu dalam UUD Tahun 1945, tetapi juga melihat pada UUD Tahun 1945 sebagai satu kesatuan utuh yang terdiri dari pembukaan dan batang tubuh. Begitupun dalam melihat suatu undang-undang tidak boleh hanya terpaku pada pasal/ayat tertentu yang dibatalkan saja, namun harus melihat juga pada bagian Konsideran, pasal/ayat lain, dan bagian Penjelasan sebagai satu kesatuan utuh undang-undang yang dibentuk oleh pembentuk undang-undang dengan maksud tertentu yang saling berhubungan satu dengan yang lain.
Perlu juga dipertimbangkan bahwa hukum merupakan produk politik sebagai formalisasi atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bersaingan. Hukum harus juga dilihat berdasarkan proses pembentukan hukum tersebut, sehingga dapat dipahami kehendak politik yang ingin dicapai oleh pembentuk undang-undang.
Sebagaimana amanat Pasal 20 UUD Tahun 1945 yang memberikan kewenangan kepada DPR RI sebagai pemegang kekuasaan membentuk undang-undang, maka segala perubahan undang-undang harus dilakukan oleh DPR RI sebagai legislator. Adapun Mahkamah Konstitusi sebagai negative legislator menurut Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, Mahkamah Konstitusi hanya bisa memutus sebuah norma dalam undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi, tanpa boleh memasukkan norma baru ke dalam undang-undang itu. Dengan demikian, maka Putusan Perkara Nomor 37/PUU-X/2012 dan Putusan Perkara Nomor 43/PUU-XIII/2015 perlu ditindaklanjuti oleh DPR RI dalam sebuah undang-undang.
1. Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 37/PUU-X/2012, Pasal 24 ayat (6) UU Peradilan Agama sepanjang frasa “diatur dengan peraturan perundang-undangan” adalah bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “diatur dengan Peraturan Pemerintah”;
2. Bahwa berdasarkan Putusan Perkara Nomor 43/PUU-XIII/2015, Pasal 13A ayat (2) UU Peradilan Agama selengkapnya berbunyi, “Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan agama dilakukan oleh Mahkamah Agung”, dan Pasal 13A ayat (3) UU Peradilan Agama selengkapnya berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur oleh Mahkamah Agung”;
3. Bahwa dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 37/PUU-X/2012 yang menyatakan bahwa Pasal 24 ayat (6) UU Peradilan Agama sepanjang frasa “diatur dengan peraturan perundang-undangan” adalah bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “diatur dengan Peraturan Pemerintah; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015 yang menyatakan Pasal 13A ayat (2) UU Peradilan Agama selengkapnya berbunyi “Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan agama dilakukan oleh Mahkamah Agung”; dan menyatakan Pasal 13A ayat (3) UU Peradilan Agama selengkapnya berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur oleh Mahkamah Agung” telah menciptakan keadaan hukum baru.
1. Bahwa pembentuk undang-undang perlu untuk segera menindaklanjuti dengan mengubah khususnya ketentuan Pasal 13A ayat (2), Pasal 13A ayat (3), dan Pasal 24 ayat (6) UU Peradilan Agama.
2. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pembentuk undang-undang perlu untuk segera menindaklanjuti hasil putusan Mahkamah Konsitusi tersebut dengan segera melakukan penyesuaian atau perubahan UU Peradilan Agama dan segera menetapkan dalam Program Legislasi Nasional Kumulatif Terbuka.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430