Indonesia merupakan negara hukum yang demokratis dan konstitusional, yang tercermin dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945). Guna menjamin tegaknya konstitusi, Indonesia membentuk Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan yang berfungsi mengawal konstitusi (the guardian of constitution). Pada tahun 2004, diundangkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) yang pernah pula diuji konstitusionalitasnya oleh Mahkamah Konstitusi. Pembentukan sistem jaminan sosial nasional merupakan amanat ketentuan Pasal 34 ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menyatakan “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan” sekaligus sebagai upaya memenuhi hak konstitusional warga negara Indonesia yang diatur dalam ketentuan Pasal 28H ayat (3) UUD Tahun 1945 yang mengatur bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. UU SJSN setidaknya telah diuji sebanyak 7 (tujuh) kali, yakni pada perkara nomor 007/PUU-III/2005, perkara nomor 50/PUU-VIII/2010, perkara nomor 51/PUU-IX/2011, perkara nomor 71/PUU-IX/2011, perkara nomor 9/PUU-X/2012, perkara nomor 90/PUU-X/2012 dan perkara nomor 101/PUU-XI/2013. 2 (dua) perkara dinyatakan dikabulkan sebagian, yaitu: Perkara Nomor 007/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 70/PUU-IX/2011.
Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal, ayat suatu undang-undang yang dinyatakan MK sebagai konstitusionalitas/inkonstitusional bersyarat?
3. Apakah terdapat disharmoni norma dengan adanya putusan MK yang menyatakan suatu pasal dan/atau ayat dinyatakan tidak berkekuatan hukum mengikat baik terhadap pasal dan/atau ayat lain dalam Undang-Undang yang sama maupun ketentuan dalam Undang-Undang yang lain?
Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal, yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD Tahun 1945.
Secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frasa “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dalam rangkaian pemeriksaan” sedangkan frasa mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harfiah ini maka frasa final dan frasa mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya dari suatu proses pemeriksaan telah memiliki kekuatan mengeratkkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum.
Sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu final yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Konsep ini mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni secara sederhana dan cepat sebagaimana diuraikan dalam penjelasan UU MK. Menurut Maruarar Siahaan Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan dihadapan sidang terbuka umum mempunyai 3 kekuatan yaitu: kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutoarial.
1. Putusan MK Perkara Nomor 007/PUU-III/2005
Dalam perkara ini, ketentuan yang dimohonkan pengujian adalah ketentuan Pasal 5 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) dan Pasal 52 UU SJSN terhadap ketentuan Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (5) dan ayat (7), Pasal 18A ayat (1) dan ayat (2), Pasal 34 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) UUD Tahun 1945.
Bahwa dengan adanya pertimbangan hukum majelis hakim Mahkamah Konstitusi yang menyatakan “Mahkamah tidak sependapat dengan pendirian Pemerintah maupun Dewan Perwakilan Rakyat yang menyatakan bahwa kewenangan untuk menyelenggarakan sistem jaminan sosial tersebut secara eksklusif merupakan kewenangan Pemerintah (Pusat), sebagaimana tercermin dari ketentuan dalam Pasal 5, khususnya ayat (4), UU SJSN. Sebab, jika diartikan demikian, hal itu akan bertentangan dengan makna pengertian negara yang di dalamnya mencakup Pemerintah (Pusat) maupun Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat (5) UUD 1945, yang kemudian dijabarkan dalam UU Pemda” maka jelas dalam pembentukan sistem jaminan sosial nasional harus terdapat peran-peran pemda dan kewenangan-kewenangan tertentu. Dengan digantinya UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dengan UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan dengan diubahnya pengaturan mengenai kewenangan Pemerintah Daerah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat maka perlu dilihat kembali, apakah pendapat hukum majelis hakim Mahkamah Konstitusi masih relevan untuk diterapkan? Dan apabila diterapkan sesuai dengan pertimbangan hukum tersebut, apakah tidak menimbulkan permasalahan hukum yang berupa disharmoni pengaturan dalam undang-undang? Apabila dilihat kembali, Mahkamah Konstitusi tidak semata-mata memperhatikan ketentuan dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam memutus ketentuan Pasal 5 UU SJSN, namun lebih mempertimbangkan ketentuan Pasal 18 UUD Tahun 1945. Peran Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan tugas dan kewajiban negara mendapatkan perhatian dari Mahkamah Konstitusi dengan dijadikannya ketentuan Pasal 18 UUD Tahun 1945 sebagai salah satu dasar pertimbangan dalam memutus perkara 007/PUU-III/2005. Selain itu, hal ini ditujukan untuk menghargai kekhasan daerah yang beragam di wilayah Indonesia dan kemampuan daerah dalam pelaksanaan jaminan sosial dalam rangka meningkatkan kesejahteraan warga di daerahnya. Perlu adanya suatu mekanisme yang melibatkan negara dalam rangka pelaksanaan sistem jaminan sosial yang menyeluruh dan mencakup seluruh warga negara Indonesia mengingat kemampuan daerah yang beragam untuk menyelengarakan sistem jaminan sosial yang mencakup masyarakat di wilayahnya maupun masyarakat yang berada diluar wilayahnya. Dengan pertimbangan MK, maka kewenangan Pemerintah Daerah tidak hanya melaksanakan program pemerintah pusat ataupun BPJS di tingkat pusat melainkan daerah dapat mengatur bagaimana penerapan dan cakupan sistem jaminan sosial di daerah yang sesuai dengan pengaturan yang terdapat dalam UU SJSN maupun pengaturan dalam peraturan pelaksanaannya apabila daerah telah mampu. Menimbang, sejalan dengan pendapat Mahkamah bahwa pengembangan sistem jaminan sosial adalah bagian dari pelaksanaan fungsi pelayanan sosial negara yang kewenangan untuk menyelenggarakannya berada di tangan pemegang kekuasaan pemerintahan negara, di mana kewajiban pelaksanaan sistem jaminan sosial tersebut, sesuai dengan Pasal 18 ayat (5) UUD Tahun 1945 sebagaimana dijabarkan lebih lanjut dalam UU Pemda (UU Nomor 32 Tahun 2004) khususnya Pasal 22 huruf h, bukan hanya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat tetapi dapat juga menjadi kewenangan Pemerintahan Daerah, maka UU SJSN tidak boleh menutup peluang Pemerintahan Daerah untuk ikut juga mengembangkan sistem jaminan sosial. Pembentukan BPJS yang ketika ditetapkan melalui UU SJSN pada tahun 2004 masih mengacu pada PP sebagai dasar hukum pembentukannya sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 52 ayat (1) UU SJSN harus disesuaikan dengan ketentuan yang terdapat dalam UU SJSN sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 52 ayat (2).
Apabila mengikuti pertimbangan hukum dalam Putusan Nomor 007/PUU-III/2005 maka pembentukan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan dimuat dalam undang-undang yang berbeda. Setiap BPJS di tingkat pusat harus dibentuk dengan undang-undang, yang berarti setiap BPJS diatur pembentukannya dalam undang-undang yang berbeda dan terpisah satu sama lain dan bukan dalam satu naskah undang-undang. Hal ini harus diperhatikan oleh Pemerintah dan DPR RI selaku pembentuk undang-undang dalam menyusun naskah penetapan suatu lembaga tertentu menjadi BPJS maupun pembentukan BPJS baru.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 007/PUU-III/2005 ketentuan Pasal 5 UU SJSN sangat berpeluang menimbulkan multi-interpretasi yang bermuara pada ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) yang oleh karena itu bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 apabila tidak segera dilakukan perubahan.
2. Perkara Nomor 70/PUU-IX/2011
Dalam perkara ini, ketentuan yang dimohonkan pengujian adalah ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan Pasal 13 ayat (1) UU SJSN terhadap ketentuan Pasal 28H ayat (3) UUD Tahun 1945.
Pernyataan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya menyatakan “Menimbang bahwa demikian juga Pasal 13 ayat (1) UU SJSN yang menyatakan, “Pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti” bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh sebab itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat bila dimaknai meniadakan hak pekerja untuk mendaftarkan diri sebagai peserta jaminan sosial atas tanggungan pemberi kerja apabila pemberi kerja nyata-nyata tidak mendaftarkan pekerjanya pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Oleh sebab itu, pasal tersebut harus dinyatakan konstitusional bersyarat sehingga selengkapnya harus dibaca, “Pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti dan pekerja berhak untuk mendaftarkan diri sebagai peserta program jaminan sosial atas tanggungan pemberi kerja apabila pemberi kerja telah nyata-nyata tidak mendaftarkan pekerjanya pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial”;” telah mengubah penafsiran terhadap ketentuan Pasal 13 ayat (1) UU SJSN yang memberikan kemudahan dalam upaya perluasan cakupan jaminan sosial di bidang ketenagakerjaan dan kejelasan bagi setiap pekerja bahwa pekerja dapat menuntut haknya atas jaminan sosial ketenagakerjaan dengan mendaftarkan dirinya sendiri apabila pemberi kerja tidak mendaftarkannya dalam program jaminan sosial nasional.
Putusan Mahkamah Konstitusi ini telah memunculkan akibat hukum baru yang memberikan kewenangan kepada individu yang seorang pekerja untuk mendaftarkan dirinya pada program jaminan sosial ketenagakerjaan apabila pemberi kerja tidak mendaftarkan pekerjanya tersebut, yang mana hukum baru ini berpotensi bertentangan dengan pengaturan yang terdapat dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Berdasarkan Pasal 167 UU Ketenagakerjaan, mengenai pemutusan hubungan kerja, diatur mengenai kompensasi yang harus diberikan oleh pengusaha terhadap pekerja/buruh yang didaftarkan dalam program jaminan pensiun maupun yang tidak didaftarkan dalam jaminan pensiun. Hal ini membuka peluang bagi pemberi kerja untuk tidak mendaftarkan pekerjanya sehingga pelaksanaan kepesertaan wajib jaminan sosial nasional tidak dapat berjalan secara optimal. Tidak hanya itu, kepesertaan jaminan sosial ketenagakerjaan bagi pekerja yang ditanggung oleh pemberi kerja tentunya harus memperhatikan kondisi dan kemampuan pemberi kerja/pengusaha.
Ketentuan Pasal 5 UU SJSN dan Pasal 13 ayat (1) UU SJSN telah mengalami perubahan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 007/PUU-III/2005 dan 70/PUU-IX/2011. Namun sejauh ini, belum ada tindakan pembuat undang-undang untuk melakukan perubahan UU SJSN sesuai dengan pertimbangan hukum dan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 007/PUU-III/2005 menunjukkan adanya penguatan kepastian hukum dalam pengaturan Pasal 5 ayat (1) bahwa BPJS harus dibentuk dengan Undang-Undang. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-IX/2011 telah membentuk hukum baru dengan adanya hak pekerja untuk mendaftarkan dirinya dalam program jaminan sosial apabila pemberi kerja tidak mendaftarkannya dalam program tersebut.
Bahwa setelah dilakukan evaluasi terhadap putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan pengujian UU SJSN tersebut, maka selanjutnya pembentuk Undang-Undang segera melakukan perubahan atau penyesuaian materi muatan UU SJSN berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi.
1. Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 007/PUU-III/2005 menyatakan bahwa ketentuan Pasal 5 ayat (2), (3), dan (4) UU SJSN bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
2. Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-IX/2011 menyatakan bahwa Pasal 13 ayat (1) UU SJSN yang menyatakan “Pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti” bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat jika dimaknai meniadakan hak pekerja untuk mendaftarkan diri sebagai peserta program jaminan sosial atas tanggungan pemberi kerja apabila pemberi kerja telah nyata-nyata tidak mendaftarkan pekerjanya pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
3. Bahwa dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 007/PUU-III/2005 yang menyatakan Pasal 5 ayat (2), (3), dan (4) UU SJSN bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat serta putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-IX/2011 dalam Pasal 13 ayat (1) UU SJSN yang menyatakan Pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti” bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat jika dimaknai meniadakan hak pekerja untuk mendaftarkan diri sebagai peserta program jaminan sosial atas tanggungan pemberi kerja apabila pemberi kerja telah nyata-nyata tidak mendaftarkan pekerjanya pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial telah menciptakan keadaan hukum baru.
1. Bahwa pembentuk undang-undang perlu untuk segera menindaklanjuti dengan mengubah ketentuan Pasal 5 ayat (2), (3), dan (4), dan Pasal 13 ayat (1) UU SJSN.
2. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pembentuk undang-undang perlu untuk segera menindaklanjuti hasil putusan Mahkamah Konsitusi tersebut dengan segera melakukan penyesuaian atau perubahan UU SJSN dan segera menetapkan dalam Program Legislasi Nasional Kumulatif Terbuka.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430