Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) bahwa kekuasaan untuk menyelenggarakan peradilan dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan tata usaha negara serta oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman, dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 jo Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004, ditegaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) merupakan lingkungan peradilan yang terakhir dibentuk, yang ditandai dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. UU PTUN selama ini telah diajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi, akan tetapi yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi sampai dengan saat ini ada 3 putusan yaitu Putusan Perkara Nomor 17/PUU-IX/2011, Putusan Perkara Nomor 37/PUU-X/2012 dan Putusan Perkara Nomor 43/PUU-XIII/2015.
1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi khususnya terhadap UU Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN)?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal atau ayat suatu undang-undang yang dinyatakan Mahkamah Konstitusi sebagai konstitusionalitas/inkonstitusional bersyarat khususnya dalam UU Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN)?
3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu undang-undang jika suatu pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi berimplikasi terhadap norma pasal atau ayat lain yang tidak diujikan khususnya dalam UU Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN)?
Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal, yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD Tahun 1945.
Secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frasa “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dalam rangkaian pemeriksaan” sedangkan frasa mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harfiah ini maka frasa final dan frasa mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya dari suatu proses pemeriksaan telah memiliki kekuatan mengeratkkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum.
Sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu final yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Konsep ini mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni secara sederhana dan cepat sebagaimana diuraikan dalam penjelasan UU MK. Menurut Maruarar Siahaan Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan dihadapan sidang terbuka umum mempunyai 3 kekuatan yaitu: kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutoarial.
1. Putusan Perkara Nomor 17/PUU-XII/2011
Menurut Mahkamah, Pemohon telah merujuk pada pasal yang tidak lagi berlaku dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, dimana UU PTUN telah diubah dua kali. Pengertian “Keputusan Tata Usaha Negara” sebagaimana diatur pada Pasal 1 angka 3 UU PTUN mengalami perubahan menjadi Pasal 1 angka 9 UU 51 Tahun 2009, sehingga dalil Pemohon yang meminta Mahkamah untuk membatalkan Pasal 1 angka 3 UU PTUN yang mengatur mengenai pengertian “Keputusan Tata Usaha Negara” adalah tidak tepat karena adanya kesalahan mengenai objek permohonan. Bahwa Pemohon juga mendalilkan Pasal 77 ayat (1) UU PTUN telah merugikan hak konstitusional Pemohon karena tidak merumuskan secara pasti mengenai waktu bagi pengadilan untuk memutus eksepsi tentang kewenangan absolut. Secara umum, huum acara PTUN tidak menyinggung mengenai batas waktu untuk menjatuhkan putusan eksepsi tentang kompetensi absolut. Menurut Mahkamah, dalil Pemohon pada Pasal 226 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD Tahun 1945, kekuasaan kehakiman memiliki asas untuk menyelenggarakan peradilan cepat, sederhana dan berbiaya ringan yang diadopsi dalam UU Kekuasaan Kehakiman, namun dalam praktiknya penerapan prinsip peradilan tersebut tidaklah sama. Oleh sebab itu, norma dalam Pasal 226 ayat (1) KUHAP merupakan kebijakan hukum yang bersifat terbuka (opened legal policy) dari pembentuk UU berdasarkan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan, serta kepentingan para pencari keadilan. Dengan demikian permohonan Pemohon tidak beralasan hukum.
Dalam Pasal 109 ayat (3) UU PTUN, menurut Mahkamah, untuk menghindari ketidakpastian hukum maka diberlakukan asas lex posteriori derogate lex priori, artinya Pasal 109 ayat (3) UU PTUN sebagai lex posteriori yang telah ada lebih dahulu dinyatakan tidak berlaku dengan adanya ketentuan Pasal 51A ayat (2) UU 51 Tahun 2009. Dan tidak ada kaitannya terhadap Pasal 28H ayat (2) UUD Tahun 1945. Dengan demikian, dalil Pemohon sepanjang pengujian Pasal 109 ayat (3) UU PTUN terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 beralasan menurut hukum.
2. Putusan Perkara Nomor 37/PUU-XII/2012
Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan frasa “diatur dengan peraturan perundang-undangan” dalam Pasal-Pasal a quo yang mengakibatkan tidak dapat dilaksanakannya hak-hak konstitusional hakim sebagai pejabat pelaksana kekuasaan kehakiman dalam Undang-Undang tersebut, untuk dapat menjalankan tugas dan kewajiban mengadili perkara, serta menjaga kemerdekaan dan independensi peradilan, Mahkamah telah berpendirian dalam Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006 bertanggal 23 Agustus 2006 yang pada intinya tidak dapat ditemukan kaitan secara langsung antara norma yang diuji dan adanya prinsip independensi peradilan dan independensi hakim, sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon, karena pengaturan gaji pokok, tunjangan dan hak-hak lainnya beserta jaminan keamanan bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan hanya dinyatakan akan diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan, sehingga substansi norma yang diuji tidak berarti akan mengurangi atau mempengaruhi independensi peradilan ataupun independensi hakim.
Mahkamah berpandangan bahwa frasa “diatur dengan peraturan perundang-undangan” dalam Pasal 25 ayat (6) UU PTUN, Pasal 24 ayat (6) UU Peradilan Agama, dan Pasal 25 ayat (6) UU Peradilan Umum merupakan bentuk dari delegasi kewenangan yang dibentuk dari Undang-Undang kepada peraturan perundang-undangan. Akan tetapi, sebuah bentuk delegasi harus memenuhi syarat-syarat kejelasan kewenangan apa saja yang didelegasikan dan kepada apa atau siapa delegasi kewenangan tersebut diberikan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (selanjutnya disebut UU 12/2011), terdapat berbagai jenis peraturan perundang-undangan sesuai dengan hierarkinya, yaitu: UUD Tahun 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provinsi; dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Mengingat Pasal 25 ayat (6) UU PTUN, Pasal 24 ayat (6) UU Peradilan Agama, dan Pasal 25 ayat (6) UU Peradilan Umum mengatur agar ketentuan lebih lanjut mengenai gaji pokok, tunjangan dan hak-hak lainnya beserta jaminan keamanan bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan diatur dengan peraturan perundang-undangan tanpa menjelaskan jenis peraturan perundang- undangan dimaksud secara tegas untuk mengatur hal tersebut, padahal jenis-jenis peraturan perundang-undangan sudah ditentukan secara tegas, menurut Mahkamah, hal demikian merupakan pelanggaran terhadap prinsip kepastian hukum yang adil yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Mahkamah menilai, belum jelasnya peraturan perundang-undangan yang akan dipergunakan untuk mengatur lebih lanjut mengenai gaji pokok, tunjangan dan hak-hak lainnya beserta jaminan keamanan bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan pada praktiknya menyebabkan terjadinya beraneka ragam peraturan perundang-undangan yang mengatur gaji pokok, tunjangan, dan hak-hak lainnya bagi para hakim dalam lingkungan peradilan tata usaha negara, peradilan agama.
dalam rangka meluruskan ketidakjelasan frasa “diatur dengan peraturan perundang-undangan” dalam Pasal 25 ayat (6) UU PTUN, Pasal 24 ayat (6) UU Peradilan Agama, dan Pasal 25 ayat (6) UU Peradilan Umum, Mahkamah berpedoman pada Pasal 5 ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menyatakan, “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”. Dengan demikian, frasa “diatur dengan peraturan perundang-undangan” dalam Pasal 25 ayat (6) UU PTUN, Pasal 24 ayat (6) UU Peradilan Agama, dan Pasal 25 ayat (6) UU Peradilan Umum adalah bertentangan dengan UUD Tahun 1945 secara bersyarat.
Atas Pendapat Hukum Mahkamah Konstitusi tersebut, telah ditegaskan kembali bahwa dalam pendelegasian kewenangan dalam sebuah undang-undang harus memenuhi kejelasan kewenangan apa saja yang didelegasikan dan kepada apa atau siapa delegasi kewenangan tersebut diberikan. Dikarenakan tidak disebutkan mandatory kewenangan secara jelas, maka Mahkamah Konstitusi menyelaraskan hierarkisitas peraturan perundang-undangan sebagaimana ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011 yaitu UUPA dilaksanakan melalui Peraturan Pemerintah.
3. Putusan Perkara Nomor 43/PUU-XII/2015
Mahkamah berpandangan bahwa untuk menjamin terwujudnya independensi hakim memerlukan kelembagaan yang independen pula sebagaimana amanat Pasal 24 ayat (1) UUD Tahun 1945 yaitu, “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.
Bahwa menurut Mahkamah seleksi dan pengangkatan calon hakim pengadilan tingkat pertama menjadi kewenangan Mahkamah Agung karena Pasal 24 UUD Tahun 1945 tidak menyebutkan secara tersurat mengenai kewenangan Mahkamah Agung dalam proses seleksi dan pengangkatan calon hakim dari lingkungan peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara, akan tetapi dalam ayat (2) dari Pasal 24 UUD Tahun 1945 telah secara tegas menyatakan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara berada dalam lingkungan kekuasaan kehakiman dengan sistem peradilan “satu atap” di bawah Mahkamah Agung.
Oleh karena itu, Mahkamah menimbang bahwa Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) UU UU Peradilan Umum, Pasal 13A ayat (2) dan ayat (3) UU Peradilan Agama, Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) UU PTUN sepanjang kata "bersama" dan frasa "dan Komisi Yudisial" adalah bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1) UUD Tahun 1945.
Bahwa atas Putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa Komisi Yudisial bukanlah pelaku kekuasaan kehakiman, namun perannya sebagai pengawas pelaksanaan kekuasaan kehakiman dari sisi etik perorangan hakim tanpa melakukan intervensi terhadap kemerdekaan hakim dalam membuat sebuah putusan.
b. Dissenting Opinion
Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna berpendapat, keterlibatan Komisi Yudisial dalam proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri, hakim pengadilan agama, dan hakim pengadilan tata usaha negara yang dilakukan bersama-sama dengan Mahkamah Agung tidaklah mengganggu administrasi, organisasi, maupun finansial pengadilan sepanjang dipahami (dan terbatas pada) bahwa keterlibatan Komisi Yudisial itu konteksnya adalah keterlibatan dalam memberikan pemahaman kode etik dan pedoman perilaku hakim bagi para calon hakim yang telah dinyatakan lulus dalam proses seleksi sebagai calon pegawai negeri sipil. Sesungguhnya, mekanisme yang sudah dipraktikkan selama ini, sebelum adanya permohonan a quo dimana Komisi Yudisial dilibatkan dalam pemberian materi ajar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, melakukan pengawasan pelaksanaan pendidikan dan latihan calon hakim, serta melakukan monitoring pelaksanaan proses magang para calon hakim hingga turut serta dalam rapat penentuan kelulusan para peserta pendidikan dan latihan calon hakim adalah penafsiran sekaligus implementasi yang tepat terhadap pengertian “wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim” yang diberikan oleh UUD Tahun 1945 kepada Komisi Yudisial.
menurut Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna Mahkamah seharusnya memutus dan menyatakan norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo konstitusional bersyarat (conditionally constitutional), yaitu sepanjang frasa “bersama Komisi Yudisial” dalam proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri, hakim pengadilan agama, dan hakim pengadilan tata usaha negara sebagaimana diatur dalam ketiga Undang-Undang a quo dimaknai sebagai diikutsertakannya Komisi Yudisial dalam proses pemberian materi kode etik dan pedoman perilaku hakim bagi para calon hakim pengadilan negeri, calon hakim pengadilan agama, dan calon hakim pengadilan tata usaha negara dalam proses seleksi tersebut.
Bahwa UU PTUN telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Perkara Nomor 17/PUU-IX/2011, Putusan Perkara Nomor 37/PUU-X/2012, Putusan Perkara Nomor 43/PUU-XIII/2015, dan Putusan Perkara Nomor 43/PUU-XIII/2015. Dalam Putusan Perkara Nomor 17/PUU-IX/2011 Mahkamah Konstitusi memutus bahwa:
“Menyatakan Pasal 109 ayat (3) UU PTUN bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.”
Kemudian dalam putusan Perkara Nomor 37/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi memutus bahwa
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
2. Menyatakan Pasal 25 ayat (6) sepanjang frasa “diatur dengan peraturan peraturan perundang-undangan” tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “diatur dengan Peraturan Pemerintah”;
Selanjutnya dalam Putusan Perkara Nomor 43/PUU-XIII/2015, Mahkamah Konstitusi memutus bahwa:
1. Menyatakan Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) sepanjang kata “bersama” dan frasa “dan Komisi Yudisial” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
2. Menyatakan Pasal 14A ayat (2) UU PTUN selengkapnya berbunyi, “Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan tata usaha negara dilakukan oleh Mahkamah Agung”, dan Pasal 14A ayat (3) UU PTUN selengkapnya berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur oleh Mahkamah Agung”.
Bahwa setelah dilakukan evaluasi terhadap putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan pengujian UU PTUN tersebut, maka selanjutnya pembentuk Undang-Undang segera melakukan perubahan atau penyesuaian materi muatan UU PTUN berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi.
1. Bahwa berdasarkan Putusan Perkara Nomor 17/PUU-IX/2011 Mahkamah Konstitusi memutus bahwa Pasal 109 ayat (3) UU PTUN bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.”
2. Bahwa berdasarkan Putusan Perkara Nomor 37/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi memutus bahwa Pasal 25 ayat (6) UU PTUN sepanjang frasa “diatur dengan peraturan peraturan perundang-undangan” tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “diatur dengan Peraturan Pemerintah”;
3. Bahwa berdasarkan Putusan Perkara Nomor 43/PUU-XIII/2015, Mahkamah Konstitusi memutus bahwa Pasal 14A ayat (2) UU PTUN selengkapnya berbunyi, “Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan tata usaha negara dilakukan oleh Mahkamah Agung”, dan Pasal 14A ayat (3) UU PTUN selengkapnya berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur oleh Mahkamah Agung”.
4. Bahwa berdasarkan putusan-putusan Mahkamah
1. Bahwa pembentuk undang-undang perlu untuk segera menindaklanjuti dengan menghapus Pasal 109 ayat (3) dan mengubah ketentuan Pasal 25 ayat (6), dan Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) UU PTUN.
2. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pembentuk undang-undang perlu untuk segera menindaklanjuti hasil putusan Mahkamah Konsitusi tersebut dengan segera melakukan penyesuaian atau perubahan UU PTUN dan segera menetapkan dalam Program Legislasi Nasional Kumulatif Terbuka.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430