Analisis dan Evaluasi UU Berdasarkan Putusan MK

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi: Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Kewajiban Pembayaran Utang / 01-05-2017

Kekuasaan Kehakiman telah diatur secara tegas didalam Pasal 24 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) yang pada pokoknya menjelaskan Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki peranan yang cukup signifikan dalam peradilan Indonesia sebagai cabang kekuasaan kehakiman yang melaksanakan fungsi penegakan hukum terhadap pelaksanaan konstitusi dan aspek kehidupan kenegaraan. MK memiliki kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terkahir yang putusanya bersifat final untuk menguji Undang-Undang (UU) terhadap UUD Tahun 1945, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum serta memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD Tahun 1945 yang diperkuat didalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Jo Undang-Undang Nomor 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. Pengujian suatu UU terhadap UUD tahun 1945 secara teoritis didasari pada norma hukum yang tidak boleh bertentangan dengan norma yang berada diatasnya oleh karena norma hukum yang lebih tinggi merupakan sumber hukum bagi norma hukum yang berada dibawahnya. Pengujian UU terhadap UUD Tahun 1945 merupakan perlindungan hukum oleh negara terhadap rakyat yang merasa dirugikan hak-hak konstitusionalnya. Hal ini sejalan dengan yang diatur didalam Pasal 51 ayat (1) UU MK. Terkait dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan) terdapat upaya dari pemohon untuk melakukan pengujian. Tercatat ada 2 (dua) putusan MK terkait UU Kepailitan yaitu; (1) Perkara No. 071/PUU-II/2004; dan (2) Perkara No. 001-002/PUU-III/2005 yang menguji pasal-pasal diantaranya Pasal 2 ayat (5), Pasal 6 ayat (3), Pasal 223, dan Pasal 224 ayat (6) UU Kepailitan yang pada pokoknya pasal-pasal tersebut mengatur mengenai hak panitera untuk menolak mencatat permohonan pailit yang menyangkut keharusan adanya izin Menteri Keuangan jika hendak mempailitkan perusahaan asuransi dan izin Gubernur Bank Indonesia untuk mempailitkan bank, yang mana dalam Putusanya MK mengabulkan sebagian dan untuk sebagian lagi menolak permohonan dari Pemohon tersebut.

1. Bagaimanakah akibat hukum yang timbul dari dari dikabulkannya sebagian permohonan pengujian sebagian pasal UU Kepailitan terhadap UUD Tahun 1945?
2. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi?

-

Terdapat dua nomor registrasi perkara yang berbeda, yang pada praktiknya perkara nomor 071/PUU-II/2004 dan perkara nomor 001-002/PUU-III/2005 oleh MK dipandang sebagai satu permohonan yang bersifat a quo, oleh karena substansi pasal-pasal yang dimohonkan memiliki muatan makna yang sama dan saling berkaitan, dan di sisi lain terdapat persamaan pihak yang menerima kuasa untuk mewakili Pemohon dalam mengajukan gugatan pengujian UU Kepailitan terhadap UUD Tahun 1945 kepada MK. Adapun pokok perkara yang dimohonkan oleh pemohon adalah sebagai berikut:
1. Pasal 2 Ayat (5) dan Pasal 223 UU Kepailitan.
• Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan mengatur sebagai berikut:
“Dalam hal debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan public, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan”

Adapun perihal hak yang dibatasi adalah hak Para Pemohon di bidang hukum formal (hukum acara), yaitu jika Para Pemohon berkehendak mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap perusahaan asuransi, maka permohonan itu tidak dapat diajukan oleh Para Pemohon kepada Pengadilan Niaga, tetapi hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan. Dalam kasus ini pembatasan yang dikenakan para konsumen bahwa perusahaan asuransi merupakan Lembaga keuangan perusahaan yang karakteristiknya menyangkut kepentingan konsumen yang besar yang mengelolah dan menguasai dana masyarakat dengan skala besar yang dapat berimplikasi pada menggoncangnya kehidupan ekonomi masyarakay dan menimbulkan citra buruk bagi perusahaan asuransi yang dinyatakan pailit. Pembatasan yan diatur didalam Pasal 2 ayat (5) UU a quo terasa penting jika dikaitkan dengan Pasal 2 ayat (1) UU a quo yang berbunyi, “Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya”. Persyaratan tersebut dianggap terlalu longgar bagi seorang kreditor yang ingin mengajukan pailit.
MK berpendapat longgarnya persyaratan tersebut disebabkan karena kelalaian pembuat UU dalam merumuskan Pasal 2 ayat (1) UU a quo. Bahwa pernyataan pailit harus didahului oleh pengujian apakah benar seorang debitor telah dalam keadaan tidak mampu membayar (insolvency test) yang mana hal ini tidak diatur dialam UU a quo.
Bahwa persyaratan longgar demikian tidak akan menjadi masalah bila debitor adalah pihak peseorangan atau perusahaan yang tidak menyangkut kepentingan umum yang sangat besar. Untuk itu dalam rangka penyempurnaan UU Kepailitan dimasa yang akan dating perlu mendapatkan perhatian sebagaimana mestinya.
Dengan alasan bahwa terdapat kepentingan yang lebih besar yang harus dilindungi dan tetap tersedianya jalan lain yang seimbang bagi pihak yang merasa dirugikan oleh berlakunya Pasal 2 ayat (5) a quo, MK berpendapat bahwa pasal tersebut tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) UUD Tahun 1945. Disamping itu, pembatasan dengan alasan demikian dibenarkan oleh Pasal 28J ayat (2) yang berbunyi, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. Kewajiban untuk menjamin pengakuan serta penghormata atas hak-hak dan kebebasan orang lain dapat dipahami untuk dijadikan pertimbangan yang rasional oleh pembuat UU dalam merumuskan pembatasan yang termuat dalam Pasal 2 ayat (5) tersebut.
Berkaitan terhadap dalil Para Pemohon yang berkaitan dengan kewenangan Menteri Keuangan sebagaimana yang diatur didalam Pasal 2 ayat (5) UU a quo, yang mejadikan Menteri Keuangan sebagai Lembaga Yudikatif MK berpendapat bahwa kewenangan tersebut hanya menyangkut kedudukan hukum (legal standing) Menteri Keuangan sebagi Pemohon dalam perkara pailit. Sehingga kewenangan tersebut bukan pada lingkungan Yustisial (mengadili) dan tidak bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1), (2), dan (3) UUD Tahun 1945 serta Pasal 24C ayat (1) UUD Tahun 1945.
• Pasal 223 UU Kepailitan mengatur sebagai berikut:
“Dalam hal Debitor adalah Bank, Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, dan Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan public maka yang dapat mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang adalah lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), ayat (4) dan Ayat (5).”
Menimbang Para Pemohon mendalilkan pula bahwa Pasal 223 UU Kepailitan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), (2), dan ayat (3) serta Pasal 24C ayat (1) UUD Tahun 1945. MK berpandangan bahwa ketentuan pasal 223 mutatis mutandis sama dengan bunyi pasal 2 ayat (5), sehingga pertimbangan Mahkamah mutatis mutandis berlaku juga terhadap Pasal 223 UU a quo. Oleh karena itu, MK berpendapat bahwa Pasal 223 tidak terbukti bertentangan dengan UUD Tahun 1945, sehingga permohonan Para Pemohon sepanjang menyangkut Pasal 223 UU a quo harus ditolak.

2. Pasal 6 Ayat (3) dan Pasa; 224 ayat (6) UU Kepailitan
• Pasal 6 ayat (3) UU Kepailitan mengatur sebagai berikut:
“Panitera wajib menolak pendaftaran permohonan Pernyataan Pailit bagi institusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) jika dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan dalam ayat-ayat tersebut.”

Para Pemohon mendalilkan Pasal 6 ayat (3) UU Kepailitan telah mencabut dan menghilangkan Hak Konstitusional yang itu bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) UUD Tahun 1945 serta Pasal 16 ayat (3) Undang-Undagn Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman). Para Pemohon beranggapan bahwa Panitera sekalipun merupakan jabatan di pengadilan seharusnya hanya bertugas dalam hal teknis administrasi yustisial. Hal ini sebagaimanayang diatur dialam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 Jo Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum (UU Peradilan Umum), ditentukan bahwa tugas pokok panitera adalah “menangani administrasi perkara dan hal-hal administrasi lain yang bersifat teknis peradilan” dan tidak berkaitan dengan fungsi peradilan (rechtsprekende functie), yang merupakan kewenangan hakim yang dalam hal ini termasuk menolak pendaftaran suatu permohonan.
Bahwa dalam menafsirkan Pasal 6 ayat (3) secara sistematik harus dikaitkan dengan ayat sebelumnya [ayat (1) dan ayat (2). Pasal 6 ayat (1) selengkapnya berbunyi, “Permohonan pernyataan pailit diajukan kepada Ketua Pengadilan”. Pasal 6 ayat (2) selengkapnya berbunyi, “Panitera mendaftarkan permohonan pernyataan pailit pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan, dan kepada Pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran”. Sedangkan Pasal 6 ayat (3) berbunyi, “Panitera wajib menolak pendaftaran permohonan pernyataan pailit bagi institusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), (4) dan ayat (5) jika dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan ayat tersebut”
Dalam hal ini MK menimbang apabilaPanitera diberikan wewenang untuk menolak perndaftaran permohonan pailit hal tersebut bertentangan dengan prinsip “due process of law” dan “access to courts” yang merupakan pilar utama bagi tegaknya “rule of law” sebagaimana dimaksud oleh Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945. Meskipun hasil akhir atas permohonan yang bersangkutan boleh jadi sama, yaitu tidak dapat diterimanya (niet ontvankelijkheid) permohonan yang bersangkutan, karena tidak terpenuhinya syarat kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (5) undang-undang a quo, yang menurut Mahkamah tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945, keputusan demikian harus dituangkan dalam putusan yang berkepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Menimbang bahwa karena penjelasan Pasal 6 ayat (3) merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan dari pasal yang dijelaskan, maka dengan sendirinya Penjelasan pasal tersebut diperlakukan sama dengan pasal yang dijelaskannya, dan oleh karena itu Para Pemohon sepanjang menyangkut Pasal 6 ayat (3) UU Kepailitan mengenai hal ini cukup beralasan untuk dikabulkan.
• Pasal 224 ayat (6) UU Kepailitan mengatur sebagai berikut:
“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) berlaku mutatis mutandis sebagai tata cara pengajuan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”.
Para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 224 ayat (6) UU Kepailitan bertentangan dengan Pasal 28 ayat (1), (2), dan (3), serta Pasal 24 ayat (1), (2), dan (3) serta Pasal 24C ayat (1) UUD Tahun 1945, Pasal 224 ayat (6) dimaksud berbunyi, “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5), berlaku mutatis mutandis sebagai tata cara pengajuan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang sebagaimana dimaksud ayat (1)”. Bahwa dengan rumusan Pasal 224 ayat (6) tersebut berarti bahwa apabila permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang bukan dilakukan oleh pihak sebagaimana yang ditunjuk oleh Pasal 6 ayat (3) UU a quo berarti Panitera wajib menolak pendaftaran permohonan dimaksud sesuai dengan Ketentuan Pasal 6 ayat (3).
Sementara MK telah memutuskan Pasal 6 aya(3) bertentangan dengan UUD Tahun 1945 mutatis mutandis berlaku juga terhadap Pasal 224 ayat (6) UU a quo. Sehingga MK menyatakan sepanjang menyangkut kata ayat (3) UU a quo terbukti bertentangan dengan UUD Tahun 1945 harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan dengan demikian permohonan Para Pemohon harus dikabulkan sepanjang mengenai hal tersebut.

Berdasarkan uraian diatas maka MK menyatakan Pasal 6 ayat (3) beserta Penjelasannya dan Pasal 224 ayat (6) sepanjang menyangkut kata “ayat (3)” UU Kepailitan bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Menyatakan Pasal 6 ayat (3) beserta Penjelasannya dan Pasal 224 ayat (6) sepanjang menyangkut kata “ayat (3)” UU Kepailitan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. MK turut pula berpandangan untuk menolak permohonan Para Pemohon untuk selebihnya.

Terhadap putusan MK tersebut terdapat (Dissenting Opinion) pendapat berbeda yang pada pokoknya adalah bahwa kebebasan berkontrak sebagaimana yang diatur didalam Pasal 1338 BW meliputi hak kreditor untuk menggugat debitor yang dipandang melakukan cidera janji dihadapan hakim. Jika UU Kepailitan menentukan pihak yang berkewenangan memohon pailit terhadap perusahaan asuransi dan reasuransi hanyalah Menteri Keuangan ke Pengadilan Niaga hal ini membatasi kebebasan berkontrak dari para pihak yang mengikatkan diri pada perjanjian dan cenderung menghalangi pembebanan kewajiban salah satu pihak guna memenuhi janjinya. Hal ini juga berlaku sebaliknya disaat debitor yang ingin mengajukan penundaan kewajiban pembayran utang hanya dapat dilakukan oleh Menteri Keuangan Secara konstitusional, persyaratan prosedural yang ditentukan de wetgever tersebut mengandung perlakuan diskriminasi tatkala kreditor dan/atau debitor dari perjanjian lainnya tidak dikenakan ketentuan semacamnya, sebagaimana dilarang konstitusi atas dasar Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945. Untuk itu jika intervensi Mmenteri Keuangan dalam hal pengajuan permohonan pailit dan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang dimaksud adalah untuk membangun tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi sebagai lembaga pengelola resiko dan sekaligus sebagai lembaga pengelola dana masyarakat yang memiliki kedudukan startegis dalam pembangunan dan kehidupan perekonomian maka upaya perlindungan badan atau pejabat tata usaha negara seyogianya diadakan pada tahapan upaya preventif dengan cara membuat aturan-aturan administratif (‘besluit van algemene strekking’) dan pelbagai Keputusan Tata Usaha Negara, bukan melibatkan diri dalam tahapan penyelesaian represif yang memasuki domain beracara di pengadilan. Seyogianya MK mengabulkan seluruh permohonan Para Pemohon.

Putusan MK yang menyangkut mengenai syarat permohonan pengajuan gugatan pailit, apabila debitor adalah Bank, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, Perushaan Efek, Bursa Efek dan Lembaga Penjaminan yang harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan atau Bank Indonesia. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memang tidak menyangkut langsung dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan, namun dalam pertimbangannnya Hakim MK jelas memberikan pendapat mengenai bentuk persyaratan pailit yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) tersebut, yang menyatakan bahwa persyaratan yang sangat longgar untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit merupakan kelalaian pembuat undang-undang dalam merumuskan Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan itu.
Adanya Pasal 2 ayat (3), (4), dan (5) merupakan suatu implikasi dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan yang tidak mengakomodasi syarat pengajuan pailit yang bersifat tetap (fixed) mununjukkan penerapan hukum kepailitan di Indonesia belumlah efektif. Wewenang yang diberikan kepada Lembaga Negara atau Pejabat Negara sebagai salah satu bentuk dari judicial economic merupakan suatu bentuk antisipasi ketakutan dari dipailitkannya perusahaann financial yang masih solven yang berhubungan dengan stabilitas ekonomi dan hajat hidup orang banyak. Mungkin saja pembuat undang-undang menyadari akan hal tersebut, dan menyiasatinya dengan membuat ketentuan seperti Pasal 2 ayat (3), (4), (5) UU UU Kepailitan, namun di sisi lain, tanpa disadari hal ini justru memberikan kesempatan untuk dikabulkannya permohonan pailit atas debitor (perusahaan) yang solven namun tidak berhubungan dengan hajat hidup orang banyak atau perusahaan financial yang besar (yang mana hal ini tentu merugikan bagi debitor yang demikian).
Ketentuan Pasal 6 ayat (3) dan Pasal 224 ayat (6) yang telah dibatalkan oleh MK sendiri menyebabkan secara mutatis mutandis ketentuan yang menjadi norma rujukan yaitu Pasal 2 ayat (3) UU Kepailitan secara mutatis mutandis tidak berlaku lagi sebagai syarat prosedural yang harus dipenuhi saat mengajukan permohonan pailit melalui panitera pengadilan. Hal ini menyebabkan Panitera diwajibkan untuk menerima permohonan pailit sepanjang syarat yang dimohonkan dalam gugatan pailit tidak bertentangan atau sesuai dengan substansi Pasal 2 ayat (3), (4), dan (5). Putusan MK yang bersifat bersyarat tersebut menyebabkan untuk debitor berupa Bank, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, Perusahaan Efek, Bursa Efek dan Lembaga Penjaminan gugatan kepailitannya harus memenuhi persyaratan yang telah ditegaskan dalam undang-undang kepailitan terutama syarat atas kewenangan lembaga mana yang diperbolehkan mengajukan gugatan pailit melalui panitera Pengadilan Niaga.

-

Adapun simpulan dari evaluasi putusan MK dengan perkara Nomor 071/PUU-II/2004 dan Perkara Nomor 001-002/PUU-III/2005 adalah sebagai berikut:
1. MK menyatakan Pasal 6 ayat (3) beserta Penjelasannya dan Pasal 224 ayat (6) sepanjang menyangkut kata “ayat (3)” UU Kepailitan bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Menyatakan Pasal 6 ayat (3) beserta Penjelasannya dan Pasal 224 ayat (6) sepanjang menyangkut kata “ayat (3)” UU Kepailitan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
2. Putusan MK yang mengabulkan gugatan Pemohon untuk sebagian mengakibatkan untuk debitor berupa Bank, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, Perusahaan Efek, Bursa Efek dan Lembaga Penjaminan gugatan kepailitannya harus memenuhi persyaratan yang telah ditegaskan dalam UU Kepailitan terutama syarat atas kewenangan lembaga mana yang diperbolehkan mengajukan gugatan pailit melalui panitera Pengadilan Niaga.
3. Syarat pengajuan gugatan kepailitan dalam UU Kepailitan masih dinilai terlalu longgar, salah satu indikasinya tidak ada instrumen uji pailit (insolvency test) apabila hendak mengajukan gugatan pailit. Syarat yang dicantumkan undang-undang terbatas hanya pada adanya utangyang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, 2 kreditor atau lebih, dan lembaga yang diberi kewenangan untuk mengajukan gugatan pailit apabila debitor adalah perusahaan financial yang menyangkut kepentingan publik.

Rekomendasi yang dapat diberikan dari hasil evaluasi ini berupa perbaikan substansi UU Kepailitan terutama dengan memperbaiki syarat pengajuan pailit yang dinilai masih terlalu longgar dan tidak bersifat fixed dan perlunya instrument instrument uji pailit (insolvency test) sebagaimana yang dianut oleh beberapa negara seperi USA, Jepang, dan Inggris. Perbaikan ini hendaknya dituangkan dalam rencana perubahan atau penggantian UU Kepailitan dalam Program Legislasi Nasional untuk kumulatif terbuka maupun menjadi skala prioritas tahunan.