Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU tentang Pilpres) sejak diundangkan sampai dengan sekarang telah sebelas kali diajukan pengujian konstitusionalitas ke Mahkamah Konstitusi. Dari sebelas pengujian tersebut, enam pengujian dikabulkan. Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan pengujian konstitusionalitas UU tentang Pilpres yaitu Putusan Nomor 98/PUU-VII/2009, Putusan Nomor 99/PUU-VII/2009, Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009, Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013, Putusan Nomor 22/PUU-XII/2014, dan Putusan Nomor 50/PUU-XII/2014.
Analisis dan evaluasi ini bertujuan untuk mengetahui pendapat hukum Mahkamah Konstitusi membatalkan keberlakuan beberapa pasal UU tentang Pilpres, mengkaji akibat hukum Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap UU tentang Pilpres, dan mengkaji harmonisasi antarnorma UU tentang Pilpres pasca Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
Berdasarkan hasil analisis dan evaluasi tersebut, disimpulkan bahwa pendapat hukum Mahkamah Konstitusi membatalkan keberlakuan beberapa pasal UU tentang Pilpres dalam Putusan Nomor 98/PUU-VII/2009 karena Pasal 188 ayat (2) UU tentang Pilpres mengesampingkan hak-hak dasar yang diatur dalam Pasal 28F UUD Tahun 1945. Pasal 188 ayat (3) UU tentang Pilpres tidak sesuai dengan hakikat suatu penghitungan cepat (quick count) serta menghambat hasrat dan hak seseorang untuk tahu (rights to know) sehingga bertentangan dengan Pasal 28F UUD Tahun 1945. Adapun Pasal 188 ayat (5), Pasal 228, dan Pasal 255 UU tentang Pilpres tidak lagi relevan karena dalil pemohon atas Pasal 188 ayat (2) dan ayat (3) dinilai beralasan. Pendapat hukum Mahkamah Konstitusi membatalkan keberlakuan beberapa pasal UU tentang Pilpres dalam Putusan Nomor 99/PUU-VII/2009 karena Pasal 47 ayat (5) UU tentang Pilpres sepanjang kata “berita” bertentangan dengan Pasal 28F UUD Tahun 1945. Pasal 56 ayat (2) UU tentang Pilpres bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945. Kata “atau” dalam rumusan pasal a quo dapat menimbulkan tafsir bahwa lembaga yang dapat menjatuhkan sanksi bersifat alternatif, yaitu KPI atau Dewan Pers yang memungkinkan jenis sanksi yang dijatuhkan juga berbeda sehingga justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan. Pasal 56 ayat (3) UU tentang Pilpres yang merujuk pada ayat (2) tidak lagi relevan keberadaannya. Pasal 56 ayat (4) UU tentang Pilpres telah mencampuradukkan kedudukan dan kewenangan KPI dan Dewan Pers dengan kewenangan KPU dalam menjatuhkan sanksi kepada pelaksana kampanye pemilu yang dapat menimbulkan kerancuan dan ketidakpastian hukum. Pasal 57 ayat (1) UU tentang Pilpres merupakan norma yang tidak diperlukan karena telah kehilangan kekuatan hukum dan raison d’etre-nya. Pasal 57 ayat (2) UU tentang Pilpres yang merujuk pada ayat (1) dan berkaitan dengan Pasal 56 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) tidak lagi relevan karena semua dalil terhadap pasal-pasal tersebut dinilai cukup beralasan.
Pendapat hukum Mahkamah Konstitusi membatalkan keberlakuan beberapa pasal UU tentang Pilpres dalam Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009 karena Pasal 28 dan Pasal 111 UU tentang Pilpres yang mengharuskan warga negara terdaftar sebagai pemilih dalam DPT untuk dapat menggunakan hak memilih merupakan ketentuan-ketentuan yang bersifat prosedural dan tidak boleh menegasikan hal-hal yang bersifat substansial yang berupa hak warga negara untuk memilih (right to vote). Pendapat hukum Mahkamah Konstitusi membatalkan keberlakuan beberapa pasal UU tentang Pilpres dalam Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 karena Pasal 3 ayat (5) UU tentang Pilpres yang mengatur mengenai pilpres dilaksanakan setelah pemilihan umum anggota lembaga perwakilan tidak sesuai dengan semangat UUD Tahun 1945 dan makna pemilihan umum dalam Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 1 ayat (2) UUD Tahun 1945. Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 UU tentang Pilpres merupakan prosedur lanjutan dari Pasal 3 ayat (5) UU tentang Pilpres. Oleh karena itu, seluruh pertimbangan mengenai Pasal 3 ayat (5) UU tentang Pilpres mutatis mutandis menjadi pertimbangan pasal-pasal tersebut. Pendapat hukum Mahkamah Konstitusi membatalkan keberlakuan Pasal 260 UU tentang Pilpres secara konstitusional bersyarat dalam Putusan Nomor 22/PUU-XII/2014 karena Pasal 260 UU tentang Pilpres sepanjang frasa “tahun 2009” tidak menjamin kepastian hukum mengingat dalam pilpres tahun 2014, ketentuan a quo menjadi tidak berlaku. Pendapat hukum Mahkamah Konstitusi membatalkan keberlakuan Pasal 159 ayat (1) UU tentang Pilpres secara konstitusional bersyarat dalam Putusan Nomor 50/PUU-XII/2014 karena Pasal 159 ayat (1) UU tentang Pilpres diberlakukan dalam hal terdapat lebih dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Jika hanya terdapat dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden maka pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak, sehingga tidak perlu dilakukan pilpres putaran kedua. Pada tahap pencalonan, pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tersebut telah memenuhi prinsip representasi keterwakilan seluruh daerah di Indonesia karena sudah didukung oleh gabungan partai politik nasional yang merepresentasikan penduduk di seluruh wilayah Indonesia.
Berdasarkan uraian dalam latar belakang, diperoleh rumusan permasalahan sebagai berikut:
1. Apa yang menjadi pendapat hukum Mahkamah Konstitusi sehingga membatalkan keberlakuan beberapa pasal UU tentang Pilpres dalam Putusan Nomor 98/PUU-VII/2009, 99/PUU-VII/2009, 102/PUU-VII/2009, 14/PUU-XI/2013, 22/PUU-XII/2014, dan 50/PUU-XII/2014?
2. Bagaimana akibat hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 98/PUU-VII/2009, 99/PUU-VII/2009, 102/PUU-VII/2009, 14/PUU-XI/2013, 22/PUU-XII/2014, dan 50/PUU-XII/2014 terhadap UU tentang Pilpres?
3. Apakah terjadi disharmoni antarnorma UU tentang Pilpres pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 98/PUU-VII/2009, 99/PUU-VII/2009, 102/PUU-VII/2009, 14/PUU-XI/2013, 22/PUU-XII/2014, dan 50/PUU-XII/2014?
A. Konstitusionalitas Undang-Undang
Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi merupakan wujud prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Kewenangan pengujian undang-undang menimbulkan sebuah kewenangan yang mutatis mutandis (dengan sendirinya) ada, yaitu kewenangan menafsirkan konstitusi. Apabila dalam konstitusi tidak terdapat ketentuan yang eksplisit mengenai kewenangan menafsir konstitusi kepada lembaga negara yang diberikan kewenangan constitutional review maka harus dipahami bahwa kewenangan menafsirkan konstitusi menyertai kewenangan constitutional review tersebut. Oleh sebab itu, sering dinyatakan bahwa Constitutional Court itu merupakan “the guardian of constitution and the sole interpreting of constitution”, disebut sebagai penjaga konstitusi berdasarkan kewenangan dalam memutus apakah sebuah produk perundang-undangan telah sesuai dengan konstitusi atau tidak.
Kewenangan menafsirkan itu sesungguhnya timbul dari sebuah tafsir Pasal 24C UUD Tahun 1945 bahwa “Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar” sebagai ketentuan pemberian kewenangan constitutional review kepada Mahkamah Konstitusi, ketentuan tersebut tidak mengandung kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk melakukan penafsiran terhadap konstitusi, namun tidak mungkin dapat melakukan penilaian pertentangan norma sebuah undang-undang apabila tidak menggunakan penafsiran konstitusi, dalam hal ini Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir sah terhadap undang-undang dasar atau konstitusi (the legitimate interpreter of the constitution).
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD Tahun 1945, salah satu kewenangan dari Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan wujud dari prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945.
Menurut Sri Soemantri, dalam praktik dikenal adanya dua macam hak menguji yaitu :
a. hak menguji formil (formale toetsingsrecht);
Hak menguji formil adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif seperti undang-undang misalnya terjelma melalui cara-cara (procedur) sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku atau tidak. Dalam pengujian formal ini tampak jelas bahwa yang dinilai atau diuji adalah tata cara (procedur) pembentukan suatu undang-undang, apakah sesuai atau tidak dengan yang telah ditentukan/digariskan dalam peraturan perundang-undangan.
b. hak menguji material (materiele toetsingsrecht).
Hak menguji material adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Hak menguji material ini berkenaan dengan isi dari suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya. Jika suatu undang-undang dilihat dari isinya bertentangan dengan undang-undang dasar maka undang-undang tersebut harus dinyatakan tidak mempunyai daya mengikat.
Menurut pandangan Jimly Asshiddiqqie, dalam praktik dikenal adanya tiga macam norma hukum yang dapat diuji atau yang biasa disebut norm control mechanism. Ketiganya sama-sama merupakan bentuk norma hukum sebagai hasil dari proses pengambilan keputusan hukum yaitu keputusan normatif yang berisi dan bersifat pengaturan (regeling), keputusan normatif yang berisi dan bersifat penetapan administratif (beschikking), dan keputusan normatif yang berisi dan bersifat penghakiman (judgement) yang biasa disebut vonis. Mekanisme pengujian norma hukum ini dapat dilakukan dengan mekanisme pengujian yang dilakukan oleh lembaga peradilan yang dikenal dengan istilah judicial review. Terdapat beberapa jenis pengujian yaitu legislative review (pengujian tersebut diberikan kepada parlemen), executive review (pengujian tersebut diberikan kepada pemerintah), dan judicial review (pengujian yang diberikan kepada lembaga peradilan). Ketiga bentuk norma hukum ada yang merupakan individual and concret norms dan ada pula yang merupakan general and abstract norms. Vonis dan beschikking selalu bersifat individualand concrete, sedangkan jika yang diuji normanya bersifat umum dan abstrak maka norma yang diuji itu adalah produk regeling. Pengujian norma hukum yang bersifat konkret dan individual termasuk dalam lingkup peradilan tata usaha negara.
Dalam pengujian undang-undang, terdapat dua istilah yakni judicial review dan constitutional review. Constitutional review yang dapat diartikan sebagai pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar yang pada saat ini menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi, judicial review dapat diartikan sebagai pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang yang pada saat ini dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Pada dasarnya banyak yang menyamakan istilah judicial review dan constitutional review, padahal kedua istilah ini berbeda. Jika constitutional review maka ukuran pengujiannya dilakukan dengan menggunakan konstitusi sebagai alat ukur, namun jika norma yang diujikan tersebut menggunakan batu ujinya adalah undang-undang maka dapat dikatakan sebagai judicial review. Konsep constitutional review berkembang dari gagasan modern tentang sistem pemerintahan demokratis yang didasarkan atas ide-ide negara hukum (rule of law), prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power), serta perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia (the protection of fundamental rights). Dalam constitutional review terdapat dua tugas pokok, yakni:
a. untuk menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam hubungan perimbangan peran atau interplay antarcabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dengan perkataan lain constitutional review dimaksudkan untuk mencegah terjadinya pendayagunaan kekuasaan oleh satu cabang kekuasaan lainnya; dan
b. untuk melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga negara yang merugikan hak fundamental warga negara yang dijamin dalam konstitusi.
Dengan adanya keberadaan Mahkamah Konstitusi juga telah menciptakan pembagian kekuasaan atau pemisahan kekuasaan yang memungkinkan adanya proses saling mengawasi dan saling mengimbangi di antara cabang-cabang kekuasaan negara yang ada atau lazim disebut dengan mekanisme checks and balances. Hal itu tampak terutama dari salah satu kewenangan yang dilimpahkan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945.
Dengan demikian, esensi dari produk putusan Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 ditempatkan dalam bingkai mekanisme checks and balances antara lembaga negara. Hubungan untuk saling mengontrol ini, pada akhirnya dimaksudkan untuk melahirkan suatu produk hukum yang adil dan betul-betul berorientasi pada kepentingan rakyat sehingga pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 dapat juga dilihat sebagai bagian dari koreksi terhadap produk yang dihasilkan oleh DPR RI dan Presiden.
B. Putusan Mahkamah Konstitusi Final dan Mengikat
Mahkamah Konstitusi yang diadopsi dalam UUD Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal yaitu Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab dan Mahkamah Konstitusi harus bertindak sebagai penafsir karena Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD Tahun 1945. Melalui fungsi ini maka Mahkamah Konstitusi dapat menutupi segala kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam UUD Tahun 1945.
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya maka Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Tahun 1945, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, dan memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C UUD Tahun 1945, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Berdasarkan uraian tersebut maka diketahui sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu final yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Konsep ini mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni secara sederhana dan cepat sebagaimana diuraikan dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang secara utuh menjelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi dalam menyelenggarakan peradilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tetap mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni dilakukan secara sederhana dan cepat. Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat tersebut, tidak dapat dilepaskan dengan asas erga omnes yang diartikan dengan mengikat secara umum dan juga mengikat terhadap objek sengketa. Apabila suatu peraturan perundang‐undangan oleh hakim dinyatakan tidak sah karena bertentangan dengan peraturan perundang‐undangan yang lebih tinggi, berarti peraturan perundang‐undangan tersebut berakibat menjadi batal dan tidak sah untuk mengikat setiap orang.
Secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frasa “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dalam rangkaian pemeriksaan,” sedangkan frasa mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan.” Bertolak dari arti harfiah ini maka frasa “final” dan frasa “mengikat”, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya dari suatu proses pemeriksaan telah memiliki kekuatan mengeratkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum. Tatkala putusan tersebut diucapkan dalam sidang pleno maka ketika itu lahir kekuatan mengikat (verbindende kracht).
Secara Substansial makna hukum dari putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat dibagi dalam beberapa bagian yaitu:
a. menjaga konstitusi (the Guardian of Constitution), menafsirkan konstitusi (the Interpreter of Constitution), menjaga demokrasi, menjaga persamaan di mata hukum, dan koreksi terhadap undang-undang.
Kehadiran Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan tidak lain berperan sebagai pengawal konstitusi (the Guardian of Constitution), agar konstitusi selalu dijadikan landasan dan dijalankan secara konsisten oleh setiap komponen negara dan masyarakat. Mahkamah Konstitusi berfungsi mengawal dan menjaga agar konstitusi ditaati dan dilaksanakan secara konsisten, serta mendorong dan mengarahkan proses demokratisasi berdasarkan konstitusi. Dengan adanya Mahkamah Konstitusi, proses penjaminan demokrasi yang konstitusional diharapkan dapat diwujudkan melalui proses penjabaran dari empat kewenangan konstitusional (constitutionally entrusted powers) dan satu kewajiban (constitutional obligation). Mahkamah Konstitusi bertugas melakukan penyelesaian persengketaan yang bersifat konstitusional secara demokratis.
Putusan-putusan yang final dan mengikat yang ditafsirkan sesuai dengan konstitusi sebagai hukum tertinggi yang pelaksanaannya harus bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat (konstitusi untuk rakyat bukan rakyat untuk konstitusi) dan cita‐cita demokrasi, yakni kebebasan dan persamaan (keadilan). Artinya Mahkamah Konstitusi tidak hanya sebagai penafsir melalui putusan‐putusannya melainkan juga sebagai korektor yang aplikasinya tercermin dalam undang‐undang yang dibuat oleh DPR dan Presiden dengan batu uji konstitusi melalui interpretasinya dengan kritis dan dinamis. Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat merupakan refleksi dari fungsinya sebagai penjaga konstitusi, penjaga demokrasi, penjaga persamaan di mata hukum, penafsir konstitusi dan korektor undang‐undang agar disesuaikan dengan Undang-Undang Dasar.
b. membumikan prinsip-prinsip negara hukum;
Filosofi negara hukum adalah negara melaksanakan kekuasaannya, tunduk terhadap pengawasan hukum. Artinya ketika hukum eksis terhadap negara, maka kekuasaan negara menjadi terkendali dan selanjutnya menjadi negara yang diselenggarakan berdasarkan ketentuan hukum tertulis atau tidak tertulis (konvensi).
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawas tertinggi, tatkala putusannya yang final dan mengikat, makna hukumnya adalah membumikan negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila sebagaimana dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon. Melalui putusan Mahkamah Konstitusi mengadili dan memutus hal‐hal yang berkaitan dengan kewenangan atribusi yang diberikan kepadanya untuk menjaga, keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan.
c. membangun sebuah penegakan hukum; dan
Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan yaitu kepastian hukum (rechissicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit), dan keadilan (gerechtigkeit). Selanjutnya ditegaskan bahwa kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang‐wenang, yang berarti bahwa seseorang akan memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib, karena hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk ketertiban masyarakat. Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat dapat dimaknai sebagai penegakan hukum tata negara. Khususnya menyangkut pengontrolan terhadap produk politik yaitu undang‐undang yang selama ini tidak ada lembaga yang dapat mengontrolnya. Pada sisi lain, juga dapat menegakkan hukum, memutuskan tentang benar salahnya Presiden atau Wakil Presiden yang dituduh oleh DPR melakukan perbuatan melanggar hukum. Demikian juga dapat memutuskan tentang sengketa‐sengketa khusus yang merupakan kewenangannya termasuk memutuskan untuk membubarkan partai politik. Dengan demikian, hal ini sangat diharapkan sebagai wujud perlindungan hak‐hak masyarakat dan juga menempatkan semua orang sama di mata hukum (equality before the law).
d. Perekayasa hukum.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat (final dan binding) merupakan suatu bentuk rekayasa hukum. Frasa “rekayasa” diartikan sebagai penerapan kaidah‐kaidah ilmu dalam pelaksanaan seperti perancangan, pembuatan konstruksi, serta pengoperasian kerangka, peralatan, dan sistem yang ekonomis dan efisien. Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat sebagai sebuah bentuk rekayasa hukum yang diwujudkan dalam bentuk norma atau kaidah yang sifatnya membolehkan, menganjurkan, melarang, memerintahkan untuk berbuat atau tidak berbuat. Nilai mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi yang final adalah sama dengan nilai mengikat dan sebuah undang‐undang hasil produk politik, yang berfungsi sebagai alat rekayasa sosial politik, alat kontrol terhadap masyarakat dan penguasa, serta memberikan perlindungan hukum terhadap seluruh komponen bangsa.
C. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan dalam peradilan merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat negara berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan para pihak kepadanya. Sebagai perbuatan hukum yang akan menyelesaikan sengketa yang dihadapkan kepadanya maka putusan hakim tersebut merupakan tindakan negara yang kewenangannya dilimpahkan kepada hakim baik berdasarkan UUD Tahun 1945 maupun undang-undang.
Dari sudut pandang hukum tata negara, putusan Mahkamah Konstitusi termasuk dalam keputusan negara yang mengandung norma hukum sama halnya dengan putusan pembentuk undang-undang yang bersifat pengaturan (regeling). Putusan Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan suatu undang-undang atau materi muatan dalam undang-undang, sedangkan pembentuk undang-undang menciptakan norma hukum dalam bentuk materi muatan dalam suatu undang-undang.
Putusan Mahkamah Konstitusi terutama dalam pengujian undang-undang kebanyakan jenisnya adalah bersifat declaratoir constitutief. Artinya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menciptakan atau meniadakan satu keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru sebagai negative legislature. Hal lain yang perlu dicermati lebih lanjut adalah adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) maupun inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Varian putusan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan putusan yang menyatakan bahwa suatu ketentuan undang-undang tidak bertentangan dengan konstitusi dengan memberikan persyaratan pemaknaan dan keharusan kepada lembaga negara dalam pelaksanaan suatu ketentuan undang-undang untuk memperhatikan penafsiran Mahkamah Konstitusi atas konstitusionalitas ketentuan undang-undang yang sudah diuji tersebut. Dengan demikian, terdapat penafsiran sendiri dari Mahkamah Konstitusi agar suatu norma undang-undang tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945.
Putusan Mahkamah Konsitusi sejak diucapkan di hadapan sidang terbuka untuk umum dapat mempunyai 3 (tiga) kekuatan, yaitu:
1. kekuatan mengikat;
Kekuatan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi berbeda dengan putusan pengadilan biasa, tidak hanya meliputi pihak-pihak berperkara (interpartes), yaitu pemohon, pemerintah, DPR/DPD, ataupun pihak terkait yang diizinkan memasuki proses perkara, tetapi juga putusan tersebut mengikat bagi semua orang, lembaga negara, dan badan hukum dalam wilayah Republik Indonesia. Putusan tersebut berlaku sebagai hukum sebagaimana hukum diciptakan pembuat undang-undang. Dengan demikian, hakim Mahkamah Konstitusi dikatakan sebagai negative legislator yang putusannya bersifat erga omnes, yang ditujukan pada semua orang.
2. kekuatan pembuktian; dan
Dalam perkara konstitusi yang putusannya bersifat erga omnes, maka permohonan pengujian yang menyangkut materi yang sama yang sudah pernah diputus tidak dapat lagi diajukan untuk diuji oleh siapapun. Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah berkekuatan hukum tetap demikian dapat digunakan sebagai alat bukti dengan kekuatan pasti secara positif bahwa apa yang diputus oleh hakim itu dianggap telah benar. Selain itu, pembuktian sebaliknya tidak diperkenankan.
3. kekuatan eksekutorial.
Putusan Mahkamah Konstitusi berlaku sebagai undang-undang dan tidak memerlukan perubahan yang harus dilakukan dengan amandemen atas undang-undang yang bagian tertentu dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Eksekusi putusan Mahkamah Konstitusi telah dianggap terwujud dengan pengumuman putusan tersebut dalam berita negara sebagaimana diperintahkan dalam Pasal 57 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Akibat hukum yang timbul dari satu putusan hakim jika menyangkut pengujian terhadap undang-undang diatur dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang pada intinya menyatakan undang-undang yang diuji tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Ketentuan ini juga berarti bahwa putusan hakim Mahkamah Konstitusi yang menyatakan satu undang-undang bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat tidak boleh berlaku surut.
1) Putusan Nomor 98/PUU-VII/2009
Dalam Putusan Nomor 98/PUU-VII/2009, Pasal 188 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), Pasal 228, dan Pasal 255 UU tentang Pilpres adalah valid dan tidak melawan nilai-nilai konstitusi yang dijunjung tinggi dalam masyarakat yang demokratis. Berdasarkan pemikiran dan penilaian hukum tersebut, seharusnya permohonan para pemohon ditolak untuk seluruhnya.
2) Putusan Nomor 99/PUU-VII/2009
Dalam Putusan Nomor 99/PUU-VII/2009, dalil para Pemohon mengenai Pasal 56 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) serta Pasal 57 ayat (1) UU tentang Pilpres oleh Mahkamah telah dinilai cukup beralasan maka hal tersebut mutatis mutandis berlaku juga untuk Pasal 57 ayat (2) UU tentang Pilpres. Permohonan Pemohon dikabulkan.
3) Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009
Dalam Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009 didasarkan pada pendapat Mahkamah Konstitusi yang pada pokoknya yaitu menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003, hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih (rights to vote and right to be candidate) adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang, dan konvensi internasional sehingga pembatasan, penyimpangan, peniadaan, dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi dari warga negara.
4) Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013
Dalam Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013, Penyelenggaraan Pemilu anggota lembaga perwakilan dan Pilpres secara terpisah atau serentak bukan merupakan permasalahan konstitusionalitas norma tetapi pilihan kebijakan hukum pembentuk undang-undang. Berdasarkan uraian dalam Putusan tersebut, permohonan Pemohon harus ditolak untuk seluruhnya.
5) Putusan Nomor 22/PUU-XII/2014
Dalam Putusan Nomor 22/PUU-XII/2014, berdasarkan uraian tersebut maka Pasal 260 UU tentang Pilpres yang menyatakan, “Dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak menggunakan haknya untuk memilih,” tidak memberikan kepastian hukum karena dalam pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014, ketentuan a quo tidak berlaku, anggota TNI dan Polri dapat menggunakan haknya untuk memilih dan tidak perlu lagi menjaga netralitasnya. Hal tersebut tidak sesuai dengan pertimbangan Mahkamah. Untuk menghindari ketidakpastian hukum yang justru bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945, frasa “tahun 2009” dalam Pasal 260 UU tentang Pilpres harus dibaca sebagaimana amar dalam putusan ini. Dengan demikian permohonan para pemohon beralasan menurut hukum.
6) Putusan Nomor 50/PUU-XII/2014
Dalam Putusan Nomor 50/PUU-XII/2014, tidak benar bila UU tentang Pilpres dinyatakan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 6A ayat (3) UUD Tahun 1945 karena Pasal 159 ayat (1) UU tentang Pilpres merupakan turunan langsung dari bunyi Pasal 6A ayat (3) UUD Tahun 1945. Akan tetapi, setelah mempelajari lebih lanjut aturan hukum mengenai cara menentukan pemenang pilpres yang hanya diikuti oleh dua pasangan calon masih terdapat kekosongan hukum meskipun sudah ada ketentuan Pasal 6A ayat (3) dan ayat (4) UUD Tahun 1945. Oleh karena itu diperlukan suatu penafsiran konstitusional agar dalam penyelenggaraan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden pada tanggal 9 Juli 2014 memiliki dasar hukum dalam menentukan pemenang Presiden dan Wakil Presiden jika tidak memenuhi persyaratan Pasal 6A ayat (3) UUD Tahun 1945. Dengan demikian permohonan Pemohon seharusnya diputus konstitusional bersyarat (conditionally constitutional).
Pasal 159 ayat (1) UU tentang Pilpres adalah konstitusional meskipun hanya untuk 2 pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tetap berlaku untuk perhitungan tahap I untuk pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden.
Dalam hal pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden hanya dua pasangan maka pemilihan calon Presiden dan Wakil Presiden dilakukan dalam satu putaran, dengan perhitungan pemenangnya pada tahap pertama berdasarkan Pasal 6A ayat (3) UUD Tahun 1945 yakni yang memperoleh dukungan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia dilantik jadi Presiden dan Wakil Presiden. Apabila kedua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tersebut tidak ada yang memenuhi kualifikasi Pasal 6A ayat (3) UUD Tahun 1945, langsung pada tahap kedua dilaksanakan perhitungan suara untuk pasangan yang memperoleh suara terbanyak tanpa mempertimbangkan sebarannya di provinsi-provinsi. Selanjutnya, yang memperoleh suara terbanyak tersebut yang dilantik jadi Presiden dan Wakil Presiden.
Pasal 159 ayat (1) UU tentang Pilpres tersebut hakekatnya berasal dari Pasal 6A ayat (3) UUD Tahun 1945. UU tentang Pilpres yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya merupakan undang-undang organik untuk melaksanakan ketentuan UUD Tahun 1945 sehingga Pasal 159 ayat (1) UU tentang Pilpres sangat sesuai dengan UUD Tahun 1945 dan tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Oleh karenanya UU a quo memenuhi asas kepastian hukum dan prinsip-prinsip negara hukum sehingga semua pasal UUD Tahun 1945 yang dijadikan dasar hukum pengujian terhadap UU a quo tidak terbukti secara hukum. Kehadiran Mahkamah tidak dimaksudkan menguji UUD dengan UUD, justru UUD merupakan pedoman mutlak bagi Mahkamah dalam melakukan pengujian terhadap UU yang bertentangan dengan UUD.
Adapun pendapat berbeda (dissenting opinion) dari Wahiduddin Adams pada pokoknya yaitu:
Berdasarkan alat bukti keterangan ahli yang diajukan oleh para Pemohon diperoleh keterangan bahwa pada waktu proses amandemen UUD Tahun 1945 (1999 s.d. 2002) yang salah satu hasilnya melahirkan Pasal 6A UUD Tahun 1945 tidak atau minimal belum terpikir bahwa pilpres dapat saja hanya diikuti oleh 2 (dua) pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Pada saat itu, gagasan dan cita-cita utama para penyusun amandemen UUD Tahun 1945 adalah proporsionalitas jumlah pemilih dan persebarannya dengan luas wilayah Indonesia sehingga diharapkan Presiden dan Wakil Presiden terpilih mendapat kepercayaan (trust) dan dukungan (support) yang tidak hanya dalam jumlah besar namun juga meluas dari rakyat, mendorong terwujudnya integrasi masyarakat, serta untuk mencegah agar pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tidak melakukan politik pilih kasih dengan berkampanye secara maksimal cukup di daerah-daerah yang padat pemilihnya saja.
Konstruksi Pasal 6A UUD Tahun 1945 yang terdiri dari 5 (lima) ayat dibangun dengan asumsi bahwa setiap partai politik peserta Pemilu berhak mengajukan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6A ayat (2) UUD Tahun 1945. Ahli juga menyampaikan keterangan bahwa dalam proses amandemen UUD Tahun 1945 (1999 s.d. 2002) tidak dibahas secara komprehensif mengenai simulasi potensi-potensi yang mungkin terjadi akibat dari pengaturan yang ada dalam Pasal 6A UUD Tahun 1945 tersebut, khususnya dalam hal hanya terdapat 2 (dua) pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sebagai peserta Pilpres.
Penghematan anggaran dan perlunya upaya preventif terhadap potensi terjadinya instabilitas politik sebagaimana yang didalilkan para Pemohon merupakan penalaran hukum ala utilitarian yang dimaknai secara sempit, padahal prinsip pelaksanaan pemilu (termasuk pilpres) di Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (1) UUD Tahun 1945 dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber dan jurdil) sehingga prinsip sederhana, cepat, dan murah/biaya ringan sama sekali bukan prinsip yang harus ada dalam penyelenggaraan Pilpres. Tolok ukur murah/biaya ringanpun pada akhirnya bersifat relatif, sehingga jika sekedar berorientasi pada “biaya murah” (penghematan anggaran) maka jauh lebih baik agar calon Presiden dan Wakil Presiden cukup dipilih oleh MPR saja sebagaimana ketentuan dalam UUD Tahun 1945 (sebelum amandemen) daripada dipilih langsung oleh rakyat.
Prinsip kemanfaatan (utility) dalam perkara ini hendaknya tidak semata-mata berorientasi pada penghematan anggaran dan upaya preventif terhadap potensi terjadinya instabilitas politik semata, tetapi juga pendewasaan kehidupan politik rakyat Indonesia serta pembangunan filosofi dan kerangka berpikir masyarakat secara rasional menuju proses demokrasi yang harus berjalan secara sehat sehingga diharapkan dapat terwujud suatu proses pilpres yang didasarkan pada rational choice sebagai alasan utama pemilih dalam menentukan calon Presiden dan Wakil Presiden pilihannya (sebagai salah satu implementasi dari konsep “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) UUD Tahun 1945) serta tidak semata-mata memilih hanya berdasarkan emotional atau personal attachment belaka. Hal ini tentunya memerlukan waktu dan biaya yang tidak sederhana. Dalam bahasa yang sederhana, demokrasi harus berorientasi pada proses bukan hasil.
Dalam risalah proses amandemen UUD (1999 s.d. 2002) terbesit pula “suasana batin” (situation gebundheit) pada masa itu bahwa selain jumlah suara, persebaran suara yang diperoleh Calon Presiden dan Wakil Presiden secara nasional juga merupakan faktor yang tidak boleh diabaikan. Hal ini harus dipahami dalam konteks bahwa para pelaku sejarah amandemen UUD (1999 s.d. 2002) menyadari sepenuhnya konsekuensi biaya yang akan timbul dengan melakukan perubahan mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang awalnya cukup dipilih oleh MPR menjadi dipilih langsung oleh rakyat. Dalam risalah tersebut juga termuat adanya diskusi bahwa perlu dihindari kemungkinan terjadinya fenomena calon Presiden dan Wakil Presiden yang hanya fokus berkampanye di daerah-daerah yang padat pemilihnya saja sehingga daerah-daerah yang dianggap kurang strategis (luas secara geografis namun sedikit jumlah pemilihnya) sangat berpotensi terabaikan dalam memperoleh sosialisasi dan informasi komprehensif mengenai visi, misi, dan program masing-masing peserta pilpres.
Fenomena yang dikhawatirkan oleh para pelaku sejarah amandemen UUD (1999 s.d. 2002) menjadi semakin nyata saat ini jika kita menyaksikan secara cermat bahwa strategi kampanye yang dilakukan oleh masing-masing peserta pilpres 2014 dalam beberapa hari-hari terakhir masa kampanye ini umumnya berfokus pada pemenangan dukungan suara hanya di daerah-daerah yang padat pemilihnya yang justru para pemilih di daerah tersebut relatif sudah cukup baik dalam menerima informasi mengenai visi, misi, dan program sebagai materi kampanye dari masing-masing peserta pilpres.
Jika Pasal 6A ayat (3) UUD Tahun 1945 yang berbunyi, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden” dan Pasal 6A ayat (4) UUD Tahun 1945 yang berbunyi, “Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden” tidak diberlakukan dalam hal peserta pilpres hanya diikuti oleh 2 pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden maka tidak menutup kemungkinan bahwa di kemudian hari (pilpres tahun 2019 dan seterusnya) akan lahir Presiden dan Wakil Presiden yang memenangkan pilpres hanya dengan berfokus pada kemenangan di daerah-daerah strategis saja (pulau Jawa dan beberapa provinsi yang jumlah pemilihnya besar) sehingga representasi suara rakyat di daerah-daerah yang dianggap kurang strategis (wilayahnya luas secara geografis namun jumlah pemilihnya sedikit) akan hilang begitu saja berdasarkan prinsip simple majority yang tentunya justru bertolak belakang dengan “suasana batin” (situation gebundheit) pada saat lahirnya Pasal 6A UUD Tahun 1945.
Jika dilakukan penafsiran sistematis terhadap ketentuan Pasal 159 UU tentang Pilpres, khususnya Pasal 159 ayat (1) UU tentang Pilpres, yang berbunyi, “Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari ½ (setengah) jumlah provinsi di Indonesia,” maka diperoleh makna bahwa ketentuan yang ada dalam Pasal a quo berlaku untuk segala kondisi, termasuk dalam hal Pilpres hanya diikuti oleh 2 (dua) pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.
Secara teoretis, salah satu bentuk hubungan antarnorma yang ada dalam suatu undang-undang adalah bentuk pengecualian (derogasi). Hubungan yang bersifat derogatif ini umumnya muncul untuk mengantisipasi kondisi-kondisi tertentu yang menyebabkan suatu norma tidak mungkin diberlakukan dan pengecualian tersebut harus disebutkan secara eksplisit dalam norma berikutnya. Dalam konteks Pasal 159 UU tentang Pilpres tidak ditemukan norma yang secara eksplisit bersifat derogatif untuk mengantisipasi kondisi pilpres hanya diikuti oleh 2 (dua) pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sehingga tahapan-tahapan pilpres sebagaimana yang diatur dalam Pasal 159 UU tentang Pilpres wajib diberlakukan termasuk dalam hal Pilpres hanya diikuti oleh 2 (dua) pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.
Kekhawatiran terhadap potensi terjadinya instabilitas dan krisis politik jika Pilpres 2014 (yang diikuti oleh hanya 2 (dua) pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden) tetap dilaksanakan sesuai mekanisme yang diatur dalam Pasal 159 UU tentang pilpres bukan masalah konstitusionalitas norma karena jika pilpres 2014 dilaksanakan cukup 1 (satu) putaranpun bukan tidak mungkin juga akan menimbulkan permasalahan hukum karena pelaksanaan pilpres 2014 dapat ditafsirkan tidak sesuai dengan Pasal 6A UUD Tahun 1945 yang secara filosofis tidak menganut konsep simple majority atau run-off election, mengutamakan ide proporsionalitas jumlah pemilih dan persebarannya dengan luas wilayah Indonesia dengan harapan agar Presiden dan Wakil Presiden terpilih mendapat dukungan yang tidak hanya besar namun juga meluas dari rakyat Indonesia sehingga berapapun jumlah peserta pilpresnya, dalam hal tidak terdapat pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang memenuhi syarat kumulatif yakni mendapatkan suara lebih dari 50% dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari ½ jumlah provinsi di Indonesia maka harus dilangsungkan pilpres putaran kedua (second round) dengan sistem suara terbanyak tanpa persyaratan persebaran suara sesuai dengan ketentuan Pasal 6A ayat (4) UUD Tahun 1945. Dengan demikian diharapkan agar pilpres tidak menjadi “kompetisi tertutup” yang hanya dapat dimenangkan oleh peserta pilpres yang hanya populer di provinsi yang jumlah pemilihnya besar saja. Suara-suara pemilih yang berasal dari provinsi yang jumlah pemilihnya sedikit, dalam batas-batas tertentu, juga dapat menjadi faktor yang signifikan dalam menentukan Presiden dan Wakil Presiden di Republik Indonesia.
Berdasarkan hal-hal tersebut, permohonan para pemohon harus ditolak untuk seluruhnya.
-
Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan:
1. Pendapat hukum Mahkamah Konstitusi yang terdapat dalam:
a. Putusan Nomor 98/PUU-VII/2009
1) Pasal 188 ayat (2) UU tentang Pilpres tidak dapat mengesampingkan hak-hak dasar yang diatur dalam Pasal 28F UUD Tahun 1945. Hal tersebut berarti pengumuman hasil survei inkonstitusional sepanjang berkaitan dengan rekam jejak atau bentuk lain yang dapat menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu.
2) Pasal 188 ayat (3) UU tentang Pilpres tidak sesuai dengan hakikat suatu penghitungan cepat (quick count) serta menghambat hasrat dan hak seseorang untuk tahu (rights to know) sehingga bertentangan dengan Pasal 28F UUD Tahun 1945. Selain itu, hasil penghitungan cepat tersebut tidak akan memengaruhi kebebasan pemilih untuk menjatuhkan pilihannya karena pemungutan suara sudah selesai dan penghitungan cepat tidak mungkin dilakukan sebelum selesainya pemungutan suara.
3) Pasal 188 ayat (5) UU tentang Pilpres yang merujuk pada ayat (2) dan ayat (3) tidak lagi relevan karena dalil pemohon atas ayat (2) dan ayat (3) dinilai beralasan.
4) Pasal 228 UU tentang Pilpres yang mengatur mengenai sanksi pidana terhadap pelanggaran Pasal 188 ayat (2) tidak lagi relevan karena dalil pemohon atas Pasal 188 ayat (2) dinilai beralasan.
5) Pasal 255 UU tentang Pilpres yang mengatur mengenai sanksi pidana terhadap pelanggaran Pasal 188 ayat (3) tidak lagi relevan karena dalil pemohon atas Pasal 188 ayat (3) dinilai beralasan.
b. Putusan Nomor 99/PUU-VII/2009
1) Pasal 47 ayat (5) UU tentang Pilpres sepanjang kata “berita” bertentangan dengan Pasal 28F UUD Tahun 1945. Hak untuk menyiarkan berita adalah bagian dari hak asasi setiap orang untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia yang dilindungi oleh konstitusi. Penyiaran berita mengenai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden justru akan membantu memberikan informasi seluas-luasnya kepada calon pemilih mengenai rekam jejak dan kualitas dari pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang semuanya tergantung pada penilaian subjektivitas dari pendengar atau pembaca berita dan akan meningkatkan kualitas dari pesta demokrasi yang merupakan hak dari rakyat. Dengan kata lain, berita mengenai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden adalah hak setiap orang atau warga negara untuk memperoleh dan menyampaikan informasi.
2) Pasal 56 ayat (2) UU tentang Pilpres bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945. Kata “atau” dalam rumusan pasal a quo dapat menimbulkan tafsir bahwa lembaga yang dapat menjatuhkan sanksi bersifat alternatif, yaitu KPI atau Dewan Pers yang memungkinkan jenis sanksi yang dijatuhkan juga berbeda sehingga justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan. Lagi pula, sesuai dengan kedudukan dan fungsinya, Dewan Pers menurut UU tentang Pers tidak berwenang untuk menjatuhkan sanksi kepada pers, khususnya media cetak.
3) Pasal 56 ayat (3) UU tentang Pilpres yang merujuk pada ayat (2) bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 dan tidak lagi relevan keberadaannya.
4) Pasal 56 ayat (4) UU tentang Pilpres yang merujuk pada ayat (3) bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28J ayat (1) UUD Tahun 1945 karena telah mencampuradukkan kedudukan dan kewenangan KPI dan Dewan Pers dengan kewenangan KPU dalam menjatuhkan sanksi kepada pelaksana kampanye pemilu yang dapat menimbulkan kerancuan dan ketidakpastian hukum.
5) Pasal 57 ayat (1) UU tentang Pilpres merupakan norma yang tidak diperlukan karena telah kehilangan kekuatan hukum dan raison d’etre-nya. Selain itu, ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena telah menimbulkan ketidakpastian hukum serta melanggar prinsip kebebasan berekspresi sebagaimana diatur dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945.
6) Pasal 57 ayat (2) UU tentang Pilpres yang merujuk pada ayat (1) dan berkaitan dengan Pasal 56 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) tidak lagi relevan karena semua dalil para pemohon terhadap pasal-pasal tersebut dinilai cukup beralasan dan mutatis mutandis berlaku juga untuk Pasal 57 ayat (2) UU tentang Pilpres.
c. Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009
Pasal 28 dan Pasal 111 UU tentang Pilpres yang mengharuskan warga negara terdaftar sebagai pemilih dalam DPT untuk dapat menggunakan hak memilih merupakan ketentuan-ketentuan yang bersifat prosedural dan tidak boleh menegasikan hal-hal yang bersifat substansial yang berupa hak warga negara untuk memilih (right to vote). Hak warga negara untuk memilih merupakan hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara (constitutional rights of citizen) yang tidak boleh dihambat atau dihalangi oleh berbagai ketentuan yang bersifat prosedural. Warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT diberikan kesempatan untuk memilih dengan menggunakan KTP atau paspor yang masih berlaku. Penggunaan KTP atau paspor tersebut tidak dapat diberlakukan melalui Keputusan KPU, Peraturan KPU, atau Perppu. Oleh karena itu, diperlukan putusan yang bersifat self executing yang langsung dapat diterapkan oleh KPU untuk melindungi, menjamin, dan memenuhi hak konstitusional warga negara untuk memilih.
d. Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013
1) Pasal 3 ayat (5) UU tentang Pilpres yang mengatur mengenai pilpres dilaksanakan setelah pemilihan umum anggota lembaga perwakilan tidak sesuai dengan semangat UUD Tahun 1945 dan makna pemilihan umum dalam Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 1 ayat (2) UUD Tahun 1945. Ketentuan tersebut juga tidak sesuai dengan original intent dari penyusun perubahan UUD Tahun 1945 dan tidak sejalan dengan prinsip konstitusi yang menghendaki adanya efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan serta tidak menjamin terpenuhinya hak warga negara untuk memilih secara cerdas.
2) Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 UU tentang Pilpres merupakan prosedur lanjutan dari Pasal 3 ayat (5) UU tentang Pilpres. Oleh karena itu, seluruh pertimbangan mengenai Pasal 3 ayat (5) UU tentang Pilpres mutatis mutandis menjadi pertimbangan pasal-pasal tersebut.
e. Putusan Nomor 22/PUU-XII/2014
Pasal 260 UU tentang Pilpres sepanjang frasa “tahun 2009” tidak menjamin kepastian hukum karena dalam pilpres tahun 2014, ketentuan a quo menjadi tidak berlaku. Artinya anggota TNI dan Polri dapat menggunakan haknya untuk memilih. Untuk menghindari ketidakpastian hukum tersebut yang justru bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 maka frasa “tahun 2009” dalam Pasal 260 UU tentang Pilpres harus dibaca “tahun 2014.”
f. Putusan Nomor 50/PUU-XII/2014
Pasal 159 ayat (1) UU tentang Pilpres diberlakukan dalam hal terdapat lebih dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Jika hanya terdapat dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden maka pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak, sehingga tidak perlu dilakukan pilpres putaran kedua. Pada tahap pencalonan, pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tersebut telah memenuhi prinsip representasi keterwakilan seluruh daerah di Indonesia karena sudah didukung oleh gabungan partai politik nasional yang merepresentasikan penduduk di seluruh wilayah Indonesia. Dengan demikian, tujuan kebijakan pilpres yang merepresentasikan seluruh rakyat dan daerah di Indonesia sudah terpenuhi.
2. Akibat hukum Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap UU tentang Pilpres:
a. Putusan Nomor 98/PUU-VII/2009
1) Batalnya keberlakuan Pasal 188 ayat (2) dan Pasal 228 UU tentang Pilpres berakibat setiap orang dapat mengumumkan dan/atau menyebarluaskan hasil survei atau jajak pendapat pada masa tenang tanpa diancam pidana.
2) Batalnya keberlakuan Pasal 188 ayat (3) dan Pasal 255 UU tentang Pilpres berakibat setiap orang atau lembaga dapat mengumumkan hasil penghitungan cepat pada hari/tanggal pemungutan suara tanpa diancam pidana.
3) Batalnya Pasal 188 ayat (5) UU tentang Pilpres sepanjang frasa “ayat (2), ayat (3), dan” berakibat pengumuman dan/atau penyebarluasan hasil survei atau jajak pendapat pada masa tenang serta pengumuman dan/atau penyebarluasan hasil penghitungan cepat pada hari/tanggal pemungutan suara bukan merupakan tindak pidana Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
b. Putusan Nomor 99/PUU-VII/2009
1) Batalnya keberlakuan Pasal 47 ayat (5) UU tentang Pilpres berakibat media massa cetak dan lembaga penyiaran selama masa tenang dapat menyiarkan berita.
2) Batalnya keberlakuan Pasal 56 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) serta Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) UU tentang Pilpres berakibat pelanggaran terhadap Pasal 51 sampai dengan Pasal 53 UU tentang Pilpres yang mengatur mengenai iklan kampanye tidak dikenakan sanksi oleh Komisi Penyiaran Indonesia, Dewan Pers, KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota.
c. Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009
Batalnya keberlakuan Pasal 28 dan Pasal 111 UU tentang Pilpres secara konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) maka warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT juga dapat menggunakan haknya untuk memilih dengan syarat dan cara sebagai berikut, pertama, WNI yang belum terdaftar dalam DPT dapat menggunakan hak pilihnya dengan menunjukan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku atau paspor yang masih berlaku bagi WNI yang berada di luar negeri. Kedua, WNI yang menggunakan KTP harus dilengkapi dengan Kartu Keluarga atau nama sejenisnya. Ketiga, penggunaan hak pilih bagi WNI yang menggunakan KTP yang masih berlaku hanya dapat digunakan di TPS yang berada di RT/RW atau nama sejenisnya sesuai dengan alamat yang tertera di dalam KTP. Keempat, sebelum menggunakan hak pilihnya, terlebih dahulu mendaftarkan diri pada KPPS setempat. Kelima, dilakukan pada 1 (satu) jam sebelum selesainya pemungutan suara di TPS atau TPS Luar negeri setempat.
d. Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013
Batalnya keberlakuan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 UU tentang Pilpres berakibat pilpres diselenggarakan secara serentak dengan pemilihan anggota lembaga perwakilan pada tahun 2019 dan seterusnya. Demikian pula dengan pengumuman dan pendaftaran bakal pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.
e. Putusan Nomor 22/PUU-XII/2014
Dengan dibatalkannya keberlakuan frasa “tahun 2009” dalam Pasal 260 UU tentang Pilpres sepanjang tidak dimaknai “tahun 2014” berakibat anggota TNI dan Polri tidak menggunakan haknya untuk memilih dalam pilpres tahun 2014.
f. Putusan Nomor 50/PUU-XII/2014
Batalnya keberlakuan Pasal 159 ayat (1) UU tentang Pilpres berakibat jika terdapat 2 (dua) pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden langsung ditetapkan sebagai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Akan tetapi, jika terdapat lebih dari 2 (dua) pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari ½ (setengah) jumlah provinsi di Indonesia ditetapkan sebagai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih.
3. Harmonisasi antarnorma UU tentang Pilpres pasca Putusan Mahkamah Konstitusi:
a. Putusan Nomor 98/PUU-VII/2009
Batalnya Pasal 188 ayat (2) dan ayat (3) serta ayat (5) sepanjang frasa “ayat (2), ayat (3), dan”, Pasal 228, dan Pasal 255 UU tentang Pilpres tidak mengganggu harmonisasi antarnorma UU tentang Pilpres. Akan tetapi, batalnya Pasal 188 ayat (2) dan ayat (3) berimplikasi terhadap Pasal 188 ayat (4) dan Pasal 189 UU tentang Pilpres. Implikasi batalnya Pasal 188 ayat (2) dan ayat (3) terhadap Pasal 188 ayat (4) UU tentang Pilpres yaitu pelaksana kegiatan penghitungan cepat yang mengumumkan dan/atau menyebarluaskan hasil penghitungan cepat pada hari/tanggal pemungutan suara wajib memberitahukan bahwa hasil penghitungan cepat yang dilakukannya bukan merupakan hasil resmi penyelenggara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Adapun implikasi batalnya Pasal 188 ayat (2) dan ayat (3) terhadap Pasal 189 UU tentang Pilpres yaitu bahwa survei atau jajak pendapat yang dapat diumumkan dan/atau disebarluaskan pada masa tenang serta hasil penghitungan cepat yang dapat diumumkan dan/atau disebarluaskan pada hari/tanggal pemungutan suara merupakan salah satu ketentuan yang didelegasikan untuk diatur lebih lanjut dalam Peraturan KPU.
b. Putusan Nomor 99/PUU-VII/2009
Batalnya keberlakuan Pasal 47 ayat (5) UU tentang Pilpres sepanjang kata “berita” tidak menganggu harmonisasi antarnorma meskipun tetap berimplikasi terhadap Pasal 58 UU tentang Pilpres. Implikasi tersebut yaitu bahwa berita yang disiarkan oleh media massa cetak dan lembaga penyiaran selama masa tenang merupakan salah satu ketentuan mengenai pemberitaan yang didelegasikan untuk diatur lebih lanjut dengan Peraturan KPU. Sebaliknya, batalnya keberlakuan Pasal 56 ayat (2) sampai dengan ayat (4) dan Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) UU tentang Pilpres mengakibatkan terjadinya disharmoni dengan Pasal 58 UU tentang Pilpres. Disharmoni tersebut yaitu pemberian sanksi yang didelegasikan untuk diatur lebih lanjut dengan Peraturan KPU oleh Pasal 58 UU tentang Pilpres tidak dapat dilaksanakan dengan batalnya Pasal 56 ayat (2) sampai dengan ayat (4) serta Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) UU tentang Pilpres.
c. Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009
Batalnya keberlakuan Pasal 28 dan Pasal 111 UU tentang Pilpres secara konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) mengakibatkan terjadinya disharmoni dengan ketentuan Pasal 121 dan Pasal 122 UU tentang Pilpres. Disharmoni tersebut yaitu berdasarkan Pasal 111 tersebut maka WNI di luar negeri yang tidak terdaftar sebagai pemilih dalam DPT dapat menggunakan haknya untuk memilih di TPSLN dengan menggunakan paspor, padahal Pasal 121 dan Pasal 122 UU tentang Pilpres mengatur WNI di luar negeri yang tidak terdaftar sebagai pemilih di DPT tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih di TPSLN.
d. Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013
Batalnya Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 UU tentang Pilpres mengakibatkan terjadinya disharmoni dengan ketentuan seluruh pasal dalam UU tentang Pilpres. Disharmoni tersebut terjadi karena UU tentang Pilpres mengatur pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pemilu anggota lembaga perwakilan.
e. Putusan Nomor 22/PUU-XII/2014
Batalnya Pasal 260 UU tentang Pilpres sepanjang frasa “tahun 2009” jika tidak dimaknai “tahun 2014” tidak mengganggu harmonisasi antarnorma UU tentang Pilpres.
f. Putusan Nomor 50/PUU-XII/2014
Batalnya Pasal 159 ayat (1) UU tentang Pilpres sepanjang tidak dimaknai tidak berlaku untuk pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang hanya terdiri dari dua pasangan calon tidak menggangu harmonisasi antarnorma tetapi tetap berimplikasi terhadap Pasal 160 ayat (1) UU tentang Pilpres. Implikasi tersebut yaitu jika terdapat 2 (dua) pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden maka pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden langsung ditetapkan sebagai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih dalam sidang pleno KPU. Akan tetapi, jika terdapat lebih dari 2 (dua) pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari ½ (setengah) jumlah provinsi di Indonesia ditetapkan sebagai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih dalam sidang pleno KPU.
Perlu mengganti UU tentang Pilpres sebagai tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 98/PUU-VII/2009, 99/PUU-VII/2009, 102/PUU-VII/2009, 14/PUU-XI/2013, 22/PUU-XII/2014, dan 50/PUU-XII/2014.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430