Analisis dan Evaluasi yang dibuat adalah terhadap pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU Pemerintahan Aceh). Adapun yang diujikan adalah Pasal 256 dan Pasal 67 ayat (2) huruf g UU Pemerintahan Aceh. Pasal 256 UU Pemerintahan Aceh mengatur bahwa syarat pencalonan diri sebagai kepala daerah dari calon perseorangan hanya dilaksanakan untuk pemilihan pertama kali sejak diundangkan UU Pemerintahan Aceh. Sementara itu, Pasal 67 ayat (2) huruf g UU Pemerintahan Aceh mengatur bahwa calon kepala daerah harus tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara minimal 5 (lima) tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali tindak pidana makar atau politik yang telah mendapatkan amnesti/rehabilitasi.
Pasal 256 UU Pemerintahan Aceh diujikan dengan Pasal 18 ayat (4), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI Tahun 1945). Sementara Pasal 67 ayat (2) huruf g diujikan dengan Pasal 18 ayat (4), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
Kerugian konstitusional akibat Pasal 256 UU Pemerintahan Aceh adalah karena Pemohon sebagai calon perseorangan yang hendak mencalonkan diri menjadi kepala daerah terganjal dengan frasa “berlaku dan hanya dilaksanakan untuk pemilihan pertama kali sejak Undang-Undang ini diundangkan.” Frasa tersebut menimbulkan perlakuan yang tidak adil, karena tidak ada pembatasan waktu bagi calon perseorangan di wilayah Indonesia lainnya. Sementara itu, kerugian Konstitusional akibat Pasal 67 ayat (2) UU Pemerintahan Aceh adalah karena Pemohon yang pernah menjabat sebagai Gubernur Aceh harus menjalani pidana penjara sampai 10 tahun atas perkara pidana korupsi, sehingga berdasarkan pasal a quo, Pemohon tidak dapat mencalonkan diri lagi sebagai Gubernur Aceh pada tahun 2017. Pasal a quo mengatur bahwa mantan narapidana yang diancam dengan hukuman penjara minimal 5 (lima) tahun tidak berhak menjadi kepala daerah untuk selamanya.
Pendapat hukum MK mengenai Pengujian Pasal 256 UU Pemerintahan Aceh dalam Putusan MK Nomor 35/PUU-VIII/2010 adalah karena frasa dalam pasal a quo bertentangan dengan Putusan MK No.5/PUU-V/2007 yang mengakui dan memperbolehkan calon perseorangan tanpa dibatasi batas waktu tertentu. Calon perseorangan dalam pemilukada secara hukum dan konstitusional berlaku di seluruh wilayah Republik Indonesia. Sementara itu, pendapat hukum MK mengenai Pengujian Pasal 67 ayat (2) UU Pemerintahan Aceh dalam Putusan MK Nomor 51/PUU-XIV/2016 adalah karena substansi pasal a quo sama dengan Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota) yang pernah diputuskan oleh MK dalam Putusan Nomor 42/PUU-XIII/2015. Dalam Putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015 dinyatakan bahwa isi pasal a quo merupakan bentuk pengurangan hak atas kehormatan yang dapat dipersamakan dengan pidana pencabutan hak-hak tertentu.
Isi Putusan MK Nomor 35/PUU-VIII/2010 adalah mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya, memutuskan Pasal 256 UU Pemerintahan Aceh bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, memutuskan Pasal 256 UU Pemerintahan Aceh tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; dan memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Sementara isi Putusan MK Nomor 51/PUU-XIV/2016 adalah mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya; memutuskan Pasal 67 ayat (2) huruf g UU Pemerintahan Aceh bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana, memutuskan Pasal 67 ayat (2) huruf g UU Pemerintahan Aceh tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana; dan memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Implikasi dari Putusan Nomor 35/PUU-VIII/2010 yang menguji Pasal 256 UU Pemerintahan Aceh, membuka ruang bagi calon perseorangan untuk mencalonkan diri menjadi kepala daerah di Provinsi Aceh, tanpa dibatasi waktu pemberlakuannya. Sementara implikasi dari Putusan Nomor 51/PUU-XIV/2016 yang menguji Pasal 67 ayat (2) huruf g UU Pemerintahan Aceh, adalah bagi mantan narapidana selesai menjalankan masa tahanannya dan mengumumkan secara terbuka dan jujur bahwa dia adalah mantan narapidana, yang bersangkutan dapat mencalonkan diri menjadi kepala daerah di Provinsi Aceh. Akan tetapi, jika mantan narapidana tidak mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan narapidana maka ia harus melampaui lima tahun sejak terpidana selesai menjalani masa hukumannya. Berdasarkan kedua implikasi Putusan MK, perlu dilakukan perubahan/penggantian terhadap UU Pemerintahan Aceh.
Evaluasi terhadap Putusan Nomor 35/PUU-VIII/2010 adalah perlunya membatalkan dan mencabut Pasal 256 UU Pemerintahan Aceh. Pencabutan ketentuan Pasal a quo diperlukan agar tidak ada lagi pembatasan bagi calon perseorangan mencalonkan diri menjadi calon kepala daerah di Provinsi Aceh.
Evaluasi terhadap Putusan Nomor 51/PUU-XIV/2016 adalah perlunya perubahan atau revisi terhadap Pasal 67 ayat (2) huruf g UU Pemerintahan Aceh, sehingga nantinya substansi pasal a quo tidak akan bertentangan. Akan tetapi, pasca putusan MK tersebut, ternyata muncul Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Perubahan Kedua Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota) yang berbunyi:
Pasal 7
2) Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
g. tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana;
Rumusan di atas bertentangan dengan Putusan MK karena:
• MK tidak pernah membatalkan frasa bagi narapidana “yang diancam dengan hukuman penjara minimal 5 (lima) tahun” namun frasa tersebut hilang dalam rumusan yang baru. Tanpa ada frasa penjara minimal 5 (lima) tahun, rumusan yang baru melarang siapapun yang pernah dipenjara, bahkan jika seseorang hanya dihukum kurungan atau penjara kurang dari 5 (lima) tahun sekalipun tidak dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
• Rumusan yang baru menyalahi teknik peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, karena mengandung dua ketentuan yang bertentangan, yaitu:
tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Rumusan ini berarti siapapun yang pernah dipidana berapapun masa pemidanaannya, tidak dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Rumusan ini bertentangan dengan kalimat sebelumnya yang tidak mengijinkan narapidana mencalonkan diri sebagai kepala daerah, sementara rumusan ini dapat ditafsirkan bahwa terpidana dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah jika secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.
• Rumusan pasal yang baru memberikan dua alternatif pilihan sebagaimana diuraikan di atas, padahal putusan MK hanya memperbolehkan mantan narapidana yang ancaman hukumannya minimal 5 tahun untuk dapat mencalonkan diri, apabila secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik tentang statusnya sebagai mantan narapidana.
Oleh karena itu, perlu dikaji rumusan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Perubahan Kedua Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota agar tidak bertentangan dengan Putusan MK, karena akan menjadi pedoman bagi undang-undang pemerintahan yang bersifat khusus dan istimewa (termasuk UU Pemerintahan Aceh). Perlu dilakukan reformulasi materi muatan atas beberapa hal yang telah diputus MK, dengan cara melakukan perubahan/penggantian terhadap UU Pemerintahan Aceh.
1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal dan ayat suatu UU yang dinyatakan MK sebagai inkonstitusionalitas/ inkonstitusionalitas bersyarat?
3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu UU jika suatu pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan?
Teori Putusan Mahkamah Konstitusi
1. Konstitusionalitas Undang-Undang
Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 yang menjadi kewenangan MK merupakan wujud prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Kewenangan pengujian undang-undang menimbulkan sebuah kewenangan yang mutatis mutandis (dengan sendirinya) ada, yaitu kewenangan menafsirkan konstitusi. Apabila dalam konstitusi tidak terdapat ketentuan yang ekplisit mengenai kewenangan menafsir konstitusi kepada lembaga negara yang diberikan kewenangan constitutional review, maka harus dipahami bahwa kewenangan menafsirkan konstitusi menyertai kewenangan constitutional review tersebut. Oleh sebab itu, sering dinyatakan bahwa Constitutional Court itu merupakan “the guardian of constitution and the sole interpreting of constitution”, disebut sebagai penjaga konstitusi berdasarkan kewenangan dalam memutus apakah sebuah produk perundang-undangan telah sesuai dengan konstitusi atau tidak.
Kewenangan menafsirkan itu sesungguhnya timbul dari sebuah tafsir Pasal 24C UUD Tahun 1945 bahwa “MK menguji undang-undang terhadap UUD” sebagai ketentuan pemberian kewenangan constitutional review kepada MK, ketentuan tersebut tidak mengandung kewenangan MK untuk melakukan penafsiran terhadap konstitusi, namun sangatlah tidak mungkin dapat melakukan penilaian pertentangan norma sebuah undang-undang apabila tidak menggunakan penafsiran konstitusi, dalam hal ini MK sebagai penafsir sah terhadap undang-undang dasar atau konstitusi (the legitimate interpreter of the constitution).
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD Tahun 1945, salah satu kewenangan dari Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Pengujian undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan wujud dari prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
Menurut Sri Soemantri, dalam praktiknya dikenal adanya dua macam hak menguji yaitu :
a. Hak menguji formil (formale toetsingsrecht);
Hak menguji formil adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif seperti undang-undang misalnya terjelma melalui cara-cara (procedur) sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak. Dalam pengujian formal ini tampak jelas bahwa yang dinilai atau diuji adalah tatacara (procedur) pembentukan suatu undang-undang, apakah sesuai ataukah tidak dengan yang telah ditentukan/digariskan dalam peraturan perundang-undangan.
b. Hak menguji material (materiele toetsingsrecht).
Hak menguji material adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu pertauran perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Hak menguji material ini berkenanan dnegan isi dari suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya. Jika suatu undang-undang dilihat dari isinya bertentangan dengan undang-undang dasar maka undang-undang tersebut harus dinyatakan tidak mempunyai daya mengikat.
Menurut pandangan Jimly Asshiddiqqie, dalam praktiknya dikenal adanya tiga macam norma hukum yang dapat diuji atau yang biasa disebut norm control mechanism. Ketiganya sama-sama merupakan bentuk norma hukum sebagai hasil dari proses pengambilan keputusan hukum yaitu keputusan normative yang berisi dan bersifat pengaturan (regeling), keputusan normatif yang berisi dan bersifat penetapan administrative (beschikking), dan keputusan normatif yang berisi dan bersifat penghakiman (judgement) yang biasa disebut vonis. Mekanisme pengujian norma hukum ini dapat dilakukan dengan mekanisme pengujian yang dilakukan oleh lembaga peradilan yang dikenal dengan istilah judicial review. Terdapat beberapa jenis pengujian yaitu legislative review(pengujian tersebut diberikan kepada parlemen), executive review (pengujian tersebut diberikan kepada pemerintah), dan judicial review (pengujian yang diberikan kepada lembaga peradilan). Ketiga bentuk norma hukum ada yang merupakan individual and concret norms, dan ada pula yang merupakan general and abstract norms. Vonis dan beschikking selalu bersifat individualand concrete sedangkan jika yang diuji normanya bersifat umum dan abstrak maka norma yang diuji itu adalah produk regeling. Pengujian norma hukum yang bersifat konkret dan individual termasuk dalam lingkup peradilan tata usaha negara.
Dalam pengujian undang-undang, terdapat dua istilah yakni judicial review dan constitutional review. Constitutional review yang dapat diartikan sebagai pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar yang pada saat ini menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi, judicial review dapat diartikan sebagai pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang yang pada saat ini dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Pada dasarnya banyak yang menyamakan istilah judicial review dan constitutional review, padahal kedua istilah ini berbeda. Jika constitutional review maka ukuran pengujiannya dilakukan dengan menggunakan konstitusi sebagai alat ukur, namun jika norma yang diujikan tersebut menggunakan batu ujinya adalah undang-undang maka dapat dikatakan sebagai judicial review. Konsep constitutional review berkembang dari gagasan modern tentang sistem pemerintahan demokratis yang didasarkan atas ide-ide negara hukum (rule of law), prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power), serta perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia (the protection of fundamental rights). Dalam constitutional review terdapat dua tugas pokok yakni :
a. Untuk menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam hubungan perimbangan peran atau interplay antar cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dengan perkataan lain constitutional review dimaksudkan untuk mencegah terjadinya pendayagunaan kekuasaan oleh satu cabang kekuasaan lainnya; dan
b. Untuk melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga negara yang merugikan hak fundamental warga negara yang dijamin dalam konstitusi.
Dengan adanya keberadaan Mahkamah Konstitusi juga telah menciptakan pembagian kekuasaan atau pemisahan kekuasaan yang memungkinkan adanya proses saling mengawasi dan saling mengimbangi di antara cabang-cabang kekuasaan negara yang ada atau lazim disebut dengan mekanisme checks and balances. Hal itu tampak terutama dari salah satu kewenangan yang dilimpahkan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945.
Dengan demikian, esensi dari produk putusan Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 ditempatkan dalam bingkai mekanisme check and balances antara lembaga negara. Hubungan untuk saling mengontrol ini, pada akhirnya dimaksudkan untuk melahirkan suatu produk hukum yang adil dan betul-betul berorientasi pada kepentingan rakyat. Sehingga, pengujian undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 dapat juga dilihat sebagai bagian dari koreksi terhadap produk yang dihasilkan oleh DPR RI dan Presiden.
2. Putusan Mahkamah Konstitusi Final dan Mengikat
Mahkamah Konstitusi yang diadopsi dalam UUD Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD Tahun 1945. Melalui fungsi ini maka Mahkamah Konstitusi dapat menutupi segala kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam UUD Tahun 1945.
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya maka Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Tahun 1945; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C UUD Tahun 1945, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (UU Mahkamah Konstitusi), Pasal 29 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman).
Dari uraian diatas maka diketahui bahwa sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu final yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Konsep ini mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni secara sederhana dan cepat sebagaimana diuraikan dalam penjelasan UU Mahkamah Konstitusi yang secara utuh menjelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi dalam menyelenggarakan peradilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tetap mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni dilakukan secara sederhana dan cepat. Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat tersebut, tidak dapat dilepaskan dengan asas erga omnes yang diartikan dengan mengikat secara umum dan juga mengikat terhadap obyek sengketa. Apabila suatu peraturan perundang‐undangan oleh hakim menyatakan tidak sah, karena bertentangan dengan peraturan perundang‐undangan yang lebih tinggi, berarti peraturan perundang‐undangan tersebut berakibat menjadi batal dan tidak sah untuk mengikat setiap orang.
Secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frasa “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dalam rangkaian pemeriksaan” sedangkan frasa mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harfiah ini maka frasa final dan frasa mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya dari suatu proses pemeriksaan telah memiliki kekuatan mengeratkkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum. Tatkala putusan tersebut diucapkan dalam sidang pleno, maka ketika itu lahir kekuatan mengikat (verbindende kracht).
Secara Substansial makna hukum dari putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat dibagi dalam beberapa bagian yaitu:
a. Menjaga konstitusi (The Guardian of Constitution), menafsirkan konstitusi (The Interpreteur of Constitution), menjaga demokrasi, menjaga persamaan di mata hukum, dan koreksi terhadap undang-undang.
Kehadiran Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan tidak lain berperan sebagai pengawal konstitusi (The Guardian of Constitution), agar konstitusi selalu dijadikan landasan dan dijalankan secara konsisten oleh setiap komponen negara dan masyarakat. Mahkamah Konstitusi berfungsi mengawal dan menjaga agar konstitusi ditaati dan dilaksanakan secara konsisten, serta mendorong dan mengarahkan proses demokratisasi berdasarkan konstitusi. Dengan adanya Mahkamah Konstitusi, proses penjaminan demokrasi yang konstitusional diharapkan dapat diwujudkan melalui proses penjabaran dari empat kewenangan konstitusional (constitusionally entrusted powers) dan satu kewajiban (constitusional obligation). Mahkamah Konstitusi bertugas melakukan penyelesaian persengketaan yang bersifat konstitusional secara demokratis.
Putusan-putusan yang final dan mengikat
yang ditafsirkan sesuai dengan konstitusi sebagai hukum tertinggi, dimana pelaksanaannya harus bertanggungjawab, sesuai dengan kehendak rakyat (konstitusi untuk rakyat bukan rakyat untuk konstitusi), dan cita‐cita demokrasi, yakni kebebasan dan persamaan (keadilan).Artinya Mahkamah Konstitusi tidak hanya sebagai penafsir melalui putusan‐putusannya melainkan juga sebagai korektor yang aplikasinya yang tercermin dalam undang‐undang yang dibuat oleh DPR dan Presiden dengan batu uji konstitusi melalui interprestasinya dengan kritis dan dinamis.Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat merupakan refleksi dari fungsinya sebagai penjaga konstitusi, penjaga demokrasi, penjaga persamaan dimata hukum, penafsir konstitusi dan korektor undang‐undang agar disesuaikan dengan UUD.
b. Membumikan prinsip-prinsip negara hukum;
Filosofi negara hukum adalah negara melaksanakan kekuasaannya, tunduk terhadap pengawasan hukum. Artinya ketika hukum eksis terhadap negara, maka kekuasaan negara menjadi terkendali dan selanjutnya menjadi negara yang diselenggarakan berdasarkan ketentuan hukum tertulis atau tidak tertulis (konvensi).14
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawas tertinggi, tatkala putusannya yang final dan mengikat, makna hukumnya adalah membumikan negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila sebagaimana dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon. Dimana, melalui putusan Mahkamah Konstitusi mengadili dan memutus hal‐hal yang berkaitan dengan kewenangan adtribusi yang diberikan kepadanya untuk menjaga, keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan.
c. Membangun sebuah penegakkan hukum
Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan yaitu kepastian hukum (rechissicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit). Selanjutnya ditegaskan bahwa kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang‐wenang, yang berarti bahwa seseorang akan memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib, karena hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk ketertiban masyarakat. Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat dapat dimaknai sebagai penegakan hukum tata negara. Khususnya menyangkut pengontrolan terhadap produk politik yaitu undang‐undang yang selama ini tidak ada lembaga yang dapat mengontrolnya. Pada sisi lain, juga dapat menegakkan hukum dimana memutuskan tentang benar salahnya Presiden atau Wakil Presiden yang dituduh oleh DPR bahwa melakukan perbuatan melanggar hukum. Demikian juga dapat memutuskan tentang sengketa‐sengketa khusus yang merupakan kewenangannya termasuk memutuskan untuk membubarkan partai politik. Dengan demikian, hal ini sangat diharapkan sebagai wujud perlindungan hak‐hak masyarakat dan juga menempatkan semua orang sama di mata hukum (equality before the law).
d. Perekayasa Hukum
Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat ( final dan banding) merupakan suatu bentuk rekayasa hukum. Frasa “rekayasa” diartikan sebagai penerapan kaidah‐kaidah ilmu dalam pelaksanaan seperti perancangan, pembuatan konstruksi, serta pengoperasian kerangka, peralatan, dan sistem yang ekonomis dan efisien.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat sebagai sebuah bentuk rekayasa hukum yang diwujudkan dalam bentuk norma atau kaidah yang sifatnya membolehkan, mengajurkan, melarang, memerintahkan untuk berbuat atau tidak berbuat. Nilai mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi yang final adalah sama dengan nilai mengikat dan sebuah undang‐undang hasil produk politik, yang berfungsi sebagai alat rekayasa sosial politik, alat kontrol terhadap masyarakat dan penguasa serta memberikan perlindungan hukum terhadap seluruh komponen bangsa.
3. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan dalam peradilan merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat negara berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan para pihak kepadanya. Sebagai perbuatan hukum yang akan menyelesaikan sengketa yang dihadapkan kepadanya, maka putusan hakim tersebut merupakan tindakan negara di mana kewenangannya dilimpahkan kepada hakim baik berdasarkan UUD Tahun 1945 maupun undang-undang.
Dari sudut pandang hukum tata negara, putusan Mahkamah Konstitusi termasuk dalam keputusan negara yang mengandung norma hukum sama halnya dengan putusan pembentuk undang-undang yang bersifat pengaturan (regeling). Putusan Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan suatu undang-undang atau materi muatan dalam undang-undang, sedangkan pembentuk undang-undang menciptakan norma hukum dalam bentuk materi muatan dalam suatu undang-undang.
Putusan Mahkamah Konstitusi terutama dalam pengujian undang-undang kebanyakan jenisnya adalah bersifat declaratoir constitutief. Artinya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menciptakan atau meniadakan satu keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru sebagai negative legislature. Hal lain yang perlu dicermati lebih lanjut adalah adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) maupun inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Varian putusan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan putusan yang menyatakan bahwa suatu ketentuan undang-undang tidak bertentangan dengan konstitusi dengan memberikan persyaratan pemaknaan dan keharusan kepada lembaga negara dalam pelaksanaan suatu ketentuan undang-undang untuk memperhatikan penafsiran Mahkamah Konstitusi atas konstitusionalitas ketentuan undang-undang yang sudah diuji tersebut. Dengan demikian, terdapat penafsiran sendiri dari Mahkamah Konstitusi agar suatu norma undang-undang tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
Putusan Mahkamah Konsitusi sejak diucapkan di hadapan sidang terbuka untuk umum dapat mempunyai 3 (tiga) kekuatan, yaitu:
1. Kekuatan Mengikat
Kekuatan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi berbeda dengan putusan pengadilan biasa, tidak hanya meliputi pihak-pihak berperkara (interpartes), yaitu pemohon, pemerintah, DPR/DPD, ataupun pihak terkait yang diizinkan memasuki proses perkara, tetapi juga putusan tersebut mengikat bagi semua orang, lembaga negara, dan badan hukum dalam wilayah republik Indonesia.
Putusan tersebut berlaku sebagai hukum sebagaimana hukum diciptakan pembuat undang-undang. Dengan demikian, Hakim Mahkamah Konstitusi dikatakan sebagai negative lagislator yang putusannya bersifat erga omnes, yang ditujukan pada semua orang.
2. Kekuatan Pembuktian
Dalam perkara konstitusi yang putusannya bersifat erga omnes, maka permohonan pengujian yang menyangkut materi yang sama yang sudah pernah diputus tidak dapat lagi diajukan untuk diuji oleh siapapun. Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah berkekuatan hukum tetap demikian dapat digunakan sebagai alat bukti dengan kekuatan pasti secara positif bahwa apa yang diputus oleh hakim itu dianggap telah benar. Selain itu, pembuktian sebaliknya tidak diperkenankan.
3. Kekuatan Eksekutorial
Putusan Mahkamah Konstitusi berlaku sebagai undang-undang dan tidak memerlukan perubahan yang harus dilakukan dengan amandemen atas undang-undang yang bagian tertentu dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Eksekusi putusan Mahkamah Konstitusi telah dianggap terwujud dengan pengumuman putusan tersebut dalam Berita Negara sebagaimana diperintahkan dalam Pasal 57 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Akibat hukum yang timbul dari satu putusan hakim jika menyangkut pengujian terhadap undang-undang diatur dalam Pasal 58 UU Mahkamah Konstitusi, yang pada intinya menyatakan undang-undang yang diuji tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Ketentuan ini juga berarti bahwa putusan hakim Mahkamah Konstitusi yang menyatakan satu undang-undang bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat tidak boleh berlaku surut.
B. Teori Hak Pilih di Negara Demokrasi
Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang telah diakui dan dipraktikkan sejak lama. Istilah demokrasi berasal dari penggalan kata Yunani “demos” yang berarti rakyat dan kata “kratos” atau kata “cratein” yang berarti pemerintahan, sehingga kata demokrasi berarti pemerintahan oleh rakyat. Dalam sistem demokrasi, rakyat memiliki hak dan kedudukan sebagai penentu dalam penyelenggaraan pemerintahan, suara rakyat adalah suara Tuhan “Vox Populei Vox Dei”. Rakyat memilih para wakilnya untuk menyelenggarakan pemerintahan. Konsep negara demokrasi di Indonesia dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD Tahun 1945 dinyatakan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”
Hak memilih dan hak dipilih adalah bentuk pengejawantahan dari konsep negara demokrasi. Hak memilih dan hak dipilih merupakan hak konstitusional yang harus dilaksanakan untuk memberikan kesempatan yang sama dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana diatur dalam UUD Tahun 1945:
Pasal 27 ayat (1)
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Pasal 28D
(1) Setiap orang berhak atas pengakuan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Hak memilih dan dipilih juga secara spesifik dimuat dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU 39 Tahun 1999) yang berbunyi, “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Hak memilih juga tercantum dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik). Berdasarkan prinsip hak asasi manusia, hak memilih dan dipilih melekat pada setiap individu. Pemilihan kepala daerah merupakan salah satu mekanisme pelaksanaan hak memilih dan dipilih dalam suatu negara yang demokratis, sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Gubernur, Bupati, dan Walikota. masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”.
Hak memilih dan dipilih sebagai realisasi dari konsep negara demokrasi harus dibatasi oleh hukum (nomokrasi), agar demokrasi tidak ‘kebabalasan’ dan keos (mobokrasi). Negara hukum merupakan suatu istilah dalam perbendaharaan bahasa Indonesia merupakan terjemahan dari rechsstaat ataupun rule of law. Kedua istilah tersebut memiliki arah yang sama, yaitu mencegah kekuasaan yang absolut demi pengakuan dan perlindungan hak asasi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah negara hukum diartikan sebagai negara yang menjadikan hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Negara hukum (rechstaat) secara sederhana adalah negara yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum . Dalam negara hukum, segala sesuatu harus dilakukan menurut hukum (everything must be done according to the law). Negara hukum menentukan bahwa pemerintah harus tunduk pada hukum, bukannya hukum yang harus tunduk pada pemerintah. Negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang menggunakan sistem hukum civil law dinamakan rechtstaat dan negara hukum menurut konsep Anglo Saxon yang menggunakan sistem hukum common law disebut rule of law. Menurut Julius Stahl, unsur-unsur negara hukum (rechtstaat) adalah perlindungan hak-hak asasi manusia; permisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu; Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan; dan Peradilan administrasi dalam perselisihan. Sementara itu, menurut A.V Dicey, unsur-unsur rule of law adalah Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of law), kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law), dan terjaminnya hak asasi manusia. Indonesia juga menganut konsep negara hukum, sehingga demokrasi di Indonesia dibatasi oleh hukum (nomokrasi), sebagaimana dinyatakan dalam UUD Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3) bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum.”
Konsep negara hukum yang demokratis menghendaki adanya jaminan terhadap hak asasi manusia yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 28 I ayat (5) UUD Tahun 1945 yang menyatakan, “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.” Secara lebih spesifik peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hak memilih dan hak dipilih dalam Pemerintahan Aceh diatur dalam UU Pemerintahan Aceh.
1. Pendapat Hukum Mahkamah Konstitusi
a. Pendapat hukum MK terhadap Putusan Nomor 35/PUU-VIII/2010
Dalam Putusan Nomor 35/PUU-VIII/2010, Pemohon mengujikan Pasal 256 UU Pemerintahan Aceh, yang menyatakan menyatakan bahwa, “Ketentuan yang mengatur calon perseorangan dalam pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, atau Walikota/Wakil Walikota sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf d, berlaku dan hanya dilaksanakan untuk pemilihan pertama kali sejak Undang-Undang ini diundangkan.” MK mempertimbangkan pendapat Pemohon yang menyatakan bahwa pasal a quo telah menghilangkan makna demokrasi yang sesungguhnya sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 18 ayat (4) UUD Tahun 1945 yang menyatakan, “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”, dalam pasal tersebut bukan hanya pada pelaksanaan pemungutan suara dan penghitungan suara saja, tetapi juga harus ada jaminan pada saat penjaringan dan penetapan calon. Pembatasan dalam pasal a quo sama sekali tidak mencerminkan asas demokrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) UUD Tahun 1945, karena pasal a quo tidak memberikan peluang untuk calon perseorangan dalam Pemilukada di Provinsi Aceh setelah tahun 2006, dan dengan sendirinya akan menutup alternatif akan adanya pasangan calon yang lebih variatif dari berbagai sumber. Ketentuan pasal a quo telah menghambat dan merugikan hak konstitusional bagi warga negara yang tidak mempunyai kendaraan politik atau yang tidak diusulkan oleh partai politik baik nasional ataupun lokal.
Menurut MK Pasal 67 ayat (1) UU Pemerintahan Aceh menyatakan, “Pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) diajukan oleh:
a. partai politik atau gabungan partai politik;
b. partai politik lokal atau gabungan partai politik lokal;
c. gabungan partai politik dan partai politik lokal; dana tau
d. perseorangan”.
Ketentuan Pasal 67 ayat (1) huruf d UU Pemerintahan Aceh membuka kesempatan bagi calon perseorangan dalam proses pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah dan juga pemberian peluang dari pembentuk undang-undang dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah agar lebih demokratis. Akan tetapi ketentuan Pasal 67 ayat (1) huruf d UU Pemerintahan Aceh dibatasi oleh pasal a quo.
Pasal a quo yang tidak memberikan kesempatan kepada calon perseorangan dalam Pemilukada bertentangan dengan UUD Tahun 1945, padahal berdasarkan Putusan MK Nomor 5/PUU-V/2007, bertanggal 23 Juli 2007, calon perseorangan diakui dan diperbolehkan. Dalam putusan a quo, Mahkamah memberi pertimbangan bahwa Pasal 256 UU 11/2006 dapat menimbulkan terlanggarnya hak warga negara yang bertempat tinggal di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang justru dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) dan ayat (4) UUD Tahun 1945. Oleh karena itu, dengan adanya perubahan hukum yang berlaku secara nasional mengenai calon perseorangan dalam Pemilukada, maka keberlakuan pasal a quo menjadi tidak relevan lagi. Apalagi jika pasal tersebut tetap dilaksanakan oleh Penyelenggara Pemilu. Komisi Independen Pemilihan (KIP Provinsi/Kabupaten/Kota) maka justru akan menimbulkan perlakuan yang tidak adil kepada setiap orang warga negara Indonesia yang bertempat tinggal di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang akan mencalonkan diri melalui calon perseorangan, karena hak konstitusionalnya yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) dan ayat (4) UUD Tahun 1945 menjadi terlanggar.
MK tidak menafikan adanya otonomi khusus di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, namun calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak termasuk dalam keistimewaan Pemerintahan Aceh menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3893). Apalagi antara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU tentang Pemerintahan Daerah) dengan UU Pemerintahan Aceh tidak dapat diposisikan dalam hubungan hukum yang bersifat umum dan khusus (vide Putusan Mahkamah Nomor 5/PUU-V/2007 bertanggal 23 Juli 2007). Fakta hukum lainnya, Provinsi Papua yang merupakan daerah otonomi khusus, juga memberlakukan calon perseorangan dalam Pemilukada
Calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak boleh dibatasi pemberlakuannya, karena jika hal demikian diberlakukan maka akan mengakibatkan perlakuan yang tidak adil dan ketidaksamaan kedudukan di muka hukum dan pemerintahan antara warga negara Indonesia yang bertempat tinggal di Provinsi Aceh dan yang bertempat tinggal di wilayah Indonesia lainnya. Warga negara indonesia yang bertempat tinggal di Provinsi Aceh akan menikmati hak yang lebih sedikit karena tidak dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah secara perseorangan yang berarti tidak terdapat perlakuan yang sama di depan hukum dan pemerintahan sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) dan ayat (4) UUD NRI Tahun 1945.
b. Pendapat hukum MK terhadap Putusan Nomor 51/PUU-XIV/2016
Dalam Putusan Nomor 51/PUU-XIV/2016, Pemohon mengujikan Pasal 67 ayat (2) huruf g UU Pemerintahan Aceh, yang menyatakan bahwa, MK mempertimbangkan pendapat Pemohon yang menyatakan bahwa pasal a quo bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yang pada pokoknya beralasan sebagai berikut:
a. Ketentuan pasal a quo bertentangan dengan jaminan kesamaan kedudukan hukum dan pemerintahan. Jaminan tersebut terhalangi untuk seseorang yang telah menjalani hukuman penjara dan berniat mencalonkan diri sebagai kepala daerah seperti Pemohon.
b. Pemberlakuan larangan mencalonkan diri menjadi kepala daerah untuk seseorang yang pernah dihukum dengan hukuman 5 (lima) tahun atau lebih merupakan aturan yang sewenang-wenang, seolah pembuat undang-undang diperbolehkan menghukum seseorang tanpa ada batas waktu, sehingga membuat mantan narapidana selamanya tidak berhak menjadi kepala daerah.
c. Pemberlakuan syarat yang berbeda-beda di Provinsi Aceh dengan provinsi lainnya di wilayah Indonesia atas penyelenggaraan pemilihan kepala daerah serentak selain bertentangan dengan prinsip negara hukum yang memberikan jaminan kepastian hukum, juga menunjukkan adanya pembedaan kedudukan antara warga negara di dalam hukum dan pemerintahan, dan antara mereka yang berada di wilayah Provinsi Aceh dengan yang di wilayah provinsi lain.
MK juga telah memutus substansi permohonan a quo dalam Putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015 tanggal 9 Juli 2015 yang pada intinya menyatakan sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa dalam Pasal 7 huruf g UU 8/2015 menentukan, “tidak pernah dijatuhi pidanan penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengna pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”. Ketentuan tersebut merupakan bentuk pengurangan hak atas kehormatan yang dapat disamakan dengan pidana pencabutan hak-hak tertentu…Hal ini sebangun dengan Pasal 35 ayat (1) angka 3 KUHP yang menyatakan bahwa terpidana dapat dicabut “hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum. Perbedaannya adalah jika hak dipilih sebagai kepala daerah yang dicabut berdasarkan Pasal 7 huruf g UU 8/2015 dilakukan oleh pembentuk undang-undang, sedangkan hak pilih yang dicabut berdasarkan Pasal 35 ayat (1) angka 3 KUHP dilakukan dengan putusan hakim. Dengan demikian, pencabutan hak pilih seseorang hanya dapat dilakukan dengan putusan hakim sebagai hukuman tambahan. Undang-undang tidak dapat mencabut hak pilih seseorang, melainkan hanya memberi pembatasan-pembatasan yang tidak bertentangan dengan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945… Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009 memberi syarat lima tahun setelah narapidana menjalani masa hukumannya kecuali mantan narapidana tersebut dapat mencalonkan diri sebagai kepada daerah dengan memenuhi syarat tertentu antara lain mengumumkan secara terbuka di hadapan umum bahwa yang bersangkutan pernah dihukum penjara sebagaimana persyaratanketiga dalam putusan MK tersebut, hal ini diperlukan agar rakyat atau pemilih mengetahui keadaan yang bersangkutan. Apabila seorang mantan narapidana telah memenuhi syarat tertentu tersebut maka seyogianya orang tersebut tidak boleh lagi dihukum kecuali oleh hakim apabila yang bersangkutan mengulangi perbuatannya. Apabila undang-undang membatasi hak seorang mantan narapidana untuk tidak dapat mencalonkan dirinya menjadi kepala daerah maka sama saja bermakna bahwa undang-undang telah memberikan hukuman tambahan kepada yang bersangkutan sedangkan UUD NRI Tahun 1945 telah melarang memberlakukan diskriminasi kepada selruruh warga masyarakat.
Selain itu, Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 menegaskan bahwa dibentuknya Pemerintahan Negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Bahwa Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 tidak membedakan bangsa Indonesia yang mana dan tentunya termasuk melinduni hak mantan narapidana. …
Apabila dikaitkan dengan lembaga pemasyarakatan sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, pemidanaan selain untuk penjeraan juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Pemidanaan adalah upaya untuk menyadarkan narapidana agar menyesali perbuatannya, mengembalikan menjadi warga masyarakat…
[3.11.2] Bahwa Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009 telah menentukan syarat bagi seseorang yang akan mengisi jabatan publik atau jabatan politik yang pengisiannya melalui pemilihan yaitu:
1. tidak berlaku untuk jabatan publik yang dipilih (elected officials);
2. berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama 5 (lima) tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya;
3. dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana;
4. bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
[3.11.3] Bahwa Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009 diperkuat kembali dalam Putusan MK Nomor 120/PUU-VII/2009 yang menyatakan:
“..Bahwa persyaratan calon kepala daerah yang telah diberikan tafsir baru oleh MK dalam Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009 adalah semata persyaratan administratif. Oleh karena itu, Pasal 58 huruf f UU 32/2004 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU 12/2008 berlaku tafsir baru tentang mantan narapidana yang boleh menjadi calon kepala daerah menurut Putusan MK Nomor 14-17/PUU-V/2007 juncto Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009.
[3.11.4] …UU 8/2015 sudah mengakomodir Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009, namun tidak diatur dalam norma Pasal 7 huruf g melainkan diatur dalam Penjelasan Pasal 7 huruf g uu a quo, sehingga antara Pasal 7 huruf g dengan penjelasannya terdapat pertentangan. Norma Pasal 7 huruf g melarang mantan narapidana menjadi calon gubernur, calon bupati, dan calon walikota, namun penjelasannya memperbolehkan…
[3.11.5]...Pasal 7 huruf g UU 8/2015 harus ditafsir sebagaimana Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009 dan menjadikan Penjelasan Pasal 7 huruf g UU 8/2015 menjadi bagian dari norma Pasal 7 huruf g UU 8/2015.
[3.11.6] Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009 telah memberi ruang kepada mantan narapidana untuk proses adaptasi dengan masyarakat sekurang-kurangnya lima tahun setelah narapidana menjalani masa hukumannya. Waktu lima tahun tersebut adalah waktu yang wajar sebagai pembuktian dari mantan narapidana telah berkelakuan baik dan tidak mengulang perbuatan pidana sebgaimana tujuan dari pemasyarakatan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. …
Apalagi syarat ketiga dari Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009 yaitu “dikecualikan bagi mantan narapidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” adalah dimaksudkan agar publik dapat mengetahui bahwa pasangan calon yang kan dipilih pernah dijatuhi pidana. … Oleh karena itu, terpulang kepada masyarakat sebagai pemilih untuk memberikan atau tidak suaranya kepada calon yang merupakan mantan narapidana. Kata dikecualikan dalam syarat ketiga amar Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009 mempunyai arti bahwa seseorang yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana, syarat kedua dan keempat amar Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009 tidak diperlukan lagi, karena yang bersangkutan telah secara berani mengakui tentang status dirinya yang merupakan mantan narapidana. …Ketika mantan narapidana selesai menjalankan masa tahanannya dan mengumumkan secara terbuka dan jujur bahwa dia adalah mantan narapidana, yang bersangkutan dapat mencalonkan diri menjadi kepala daerah, namun jika mantan narapidana tidak mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan narapidana maka ia harus melampaui lima tahun sejak terpidana selesai menjalani masa hukumannya.
MK beranggapan bahwa substansi Pasal 7 huruf g UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang pernah diputuskan oleh MK dalam Putusan Nomor 42/PUU-XIII/2015 memiliki substansi yang sama dengan Pasal 67 ayat (2) huruf g UU Pemerintahan Aceh. Oleh karena itu, pertimbangan hukum dalam Putusan Nomor 42/PUU-XIII/2015 sebagaimana diuraikan di atas dengan sendirinya menjadi pertimbangan untuk Putusan Nomor 51/PUU-XIV/2016.
2. Implikasi Putusan MK
Putusan Nomor 35/PUU-VIII/2010 telah memutuskan bahwa Pasal 256 UU tentang Pemerintahan Aceh bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Akibat putusan MK ini maka akan selalu terbuka ruang bagi calon perseorangan untuk mencalonkan diri menjadi calon gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota di Provinsi Aceh, tanpa dibatasi waktu pemberlakuannya.
Putusan Nomor 51/PUU-XIV/2016 telah memutuskan bahwa Pasal 67 ayat (2) huruf g UU Pemerintahan Aceh bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Akibat putusan MK ini maka mantan narapidana selesai menjalankan masa tahanannya dan mengumumkan secara terbuka dan jujur bahwa dia adalah mantan narapidana, yang bersangkutan dapat mencalonkan diri menjadi calon gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota di Provinsi Aceh. Akan tetapi, jika mantan narapidana tidak mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan narapidana maka ia harus melampaui lima tahun sejak terpidana selesai menjalani masa hukumannya.
Berdasarkan implikasi dari kedua Putusan MK tersebut, perlu dilakukan perubahan/penggantian terhadap UU Pemerintahan Aceh. Perubahan/penggantian tersebut diperlukan, karena Putusan MK dalam pengujian undang-undang bersifat declaratoir constitutief. Artinya putusan MK meniadakan satu keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru sebagai negative-legislator. Sifat declaratoir tidak membutuhkan satu aparat yang melakukan pelaksanaan putusan MK. Putusan MK memiliki kekuatan mengikat, kekuatan mengikat putusan MK, berbeda dengan putusan pengadilan biasa, yaitu tidak hanya meliputi pihak-pihak yang berperkara (interpartes) yaitu pemohon, pemerintah, DPR/DPD ataupun pihak terkait yang diizinkan memasuki proses perkara, tetapi putusan tersebut juga mengikat semua orang, lembaga negara dan badan hukum yang ada di wilayah Republik Indonesia. Putusan MK berlaku sebagai hukum sebagaimana hukum diciptakan pembuat undang-undang. Hakim MK dikatakan sebagai negative legislatoir yang putusannya bersifat erga omnes , yang ditujukan pada semua orang. Oleh karena itu, perubahan/penggantian UU Pemerintahan Aceh yang akan dilakukan oleh DPR dan Pemerintah harus berdasarkan Putusan MK yang telah mempunyai kekuatan hukum final dan mengikat (final and binding).
Evaluasi terhadap Putusan Nomor 35/PUU-VIII/2010 adalah perlunya untuk membatalkan dan mencabut ketentuan dalam Pasal 256 UU Pemerintahan Aceh menyatakan bahwa, “Ketentuan yang mengatur calon perseorangan dalam pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, atau Walikota/Wakil Walikota sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf d, berlaku dan hanya dilaksanakan untuk pemilihan pertama kali sejak Undang-Undang ini diundangkan.” Pencabutan ketentuan Pasal 256 UU Pemerintahan Aceh diperlukan agar tidak ada lagi pembatasan bagi calon perseorangan mencalonkan diri menjadi calon gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota di Provinsi Aceh.
Selanjutnya evaluasi terhadap Putusan Nomor 51/PUU-XIV/2016 adalah perlunya perubahan atau revisi terhadap Pasal 67 ayat (2) huruf g UU Pemerintahan Aceh, sehingga nantinya substansi pasal a quo tidak akan bertentangan jika dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Perubahan atau revisi ini nantinya akan membuka peluang bagi mantan narapidana untuk mencalonkan diri menjadi calon gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota di Provinsi Aceh, apabila ia secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.
Putusan MK Nomor 51/PUU-XIV/2016 berserta implikasinya, perlu Pasca adanya putusan MK Nomor 51/PUU-XIV/2016 yang mendasarkan pertimbangannya pada Putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015, karena substansi 67 ayat (2) huruf g UU Pemerintahan Aceh sama dengan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pemilihan Gubernur Bupati, dan Walikota; ternyata pembentuk undang-undang merumuskan lain Pasal 7 ayat (2) huruf g yang berbeda dari kedua putusan MK tersebut. Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Perubahan Kedua Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota) yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
2) Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
g. tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana;
Rumusan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Perubahan Kedua Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota bertentangan dengan Putusan MK karena:
• MK tidak pernah membatalkan frasa bagi narapidana “yang diancam dengan hukuman penjara minimal 5 (lima) tahun” namun frasa tersebut hilang dalam rumusan yang baru. Tanpa ada frasa penjara minimal 5 (lima) tahun, rumusan yang baru melarang siapapun yang pernah dipenjara, bahkan jika seseorang hanya dihukum kurungan atau penjara kurang dari 5 (lima) tahun sekalipun tidak dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
• Rumusan yang baru menyalahi teknik peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU tentang P3), karena dalam satu huruf tersebut ada mengandung dua ketentuan dan kedua ketentuan tersebut bertentangan, yaitu:
tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Rumusan ini berarti siapapun yang pernah dipidana berapapun masa pemidanaannya, tidak dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Rumusan ini bertentangan dengan kalimat sebelumnya yang tidak mengijinkan narapidana untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah Sementara rumusan ini dapat ditafsirkan bahwa terpidana tetap dapat mencalonkan diri sebagia kepala daerah apabila telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana
• Rumusan pasal yang baru memberikan dua alternatif pilihan sebagaimana diuraikan di atas, padahal putusan MK pada intinya hanya memperbolehkan mantan narapidana (yang ancaman hukumannya minimal 5 tahun) untuk dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah apabila ia secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik tentang statusnya sebagai mantan narapidana.
Oleh karena itu, pembentuk Undang-Undang juga perlu mengkaji lagi rumusan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Perubahan Kedua Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota agar tidak bertentangan dengan Putusan MK yang bersifat final and binding, karena rumusan pasal a quo menjadi pedoman untuk diterapkan juga di undang-undang pemerintahan yang bersifat khusus dan istimewa, termasuk UU Pemerintahan Aceh. Dengan demikian berdasarkan Putusan MK Nomor 35/PUU-VIII/2010 dan dilakukan reformulasi materi muatan atas beberapa hal yang telah diputus MK agar penyelenggaraan Pemerintahan Aceh sesuai dengan amanah UUD Tahun 1945. Reformulasi materi muatan dengan cara melakukan perubahan/penggantian terhadap UU Pemerintahan Aceh.
Kekhususan atau keistimewaan Pemerintahan Aceh yang diatur dalam UU Pemerintahan Aceh, yang antara lain didasarkan pada karakter khas perjuangan masyarakat Aceh dalam perjalanan ketatanegaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), pandangan hidup yang berlandaskan syari’at Islam, penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Aceh yang belum maksimal, dan terjadinya bencana alam gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Aceh. Akan tetapi, jangan sampai kekhususan atau keistimewaan tersebut mencabut hak konstitusional (hak memilih dan dipilih). Oleh karena itu, hak memilih dan dipilih tidak dapat dikategorikan sebagai bagian dari kekhususan atau keistimewaan Pemerintahan Aceh.
UU Pemerintahan Aceh dalam implementasinya diajukan 5 (lima) kali permohonan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK), namun hanya 2 (dua) kali permohonan yang dikabulkan seluruhnya, yaitu Putusan MK Nomor 35/PUU-VIII/2010 dan Putusan MK Nomor 51/PUU-XIV/2016. Berdasarkan Putusan Nomor 35/PUU-VIII/2010, perlu dilakukan pembatalan atau pencabutan terhadap ketentuan dalam Pasal 256 UU Pemerintahan Aceh. Sementara itu berdasarkan Putusan MK Nomor 51/PUU-XIV/2016, perlu dilakukan perubahan atau revisi terhadap Pasal 67 ayat (2) huruf g UU Pemerintahan Aceh, sehingga nantinya substansi pasal a quo tidak akan bertentangan jika dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Dengan demikian, perlu dilakukan perubahan/penggantian terhadap UU Pemerintahan Aceh.
1. Sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan UU berisi materi muatan mengenai tindak lanjut Putusan MK. Oleh karena itu, perlu direformulasi kembali dan diharmonisasi materi muatan atas beberapa hal yang telah diputus MK, dalam UU Pemerintahan Aceh dan UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, dengan status perubahan/penggantian.
2. Berdasarkan Putusan MK dan penggantian UU Nomor 32 Tahun 2004 menjadi UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, maka DPR bersama Pemerintah harus menetapkan perubahan/penggantian UU Pemerintahan Aceh ini ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan menjadikan prioritas tahunan untuk dibahas bersama-sama agar tidak terjadi kekosongan hukum, terjamin kepastian hukum, dan penyelenggaraan Pemerintahan Aceh tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430