Dalam rangka mewujudkan iklim penanaman modal yang berdaya saing global tersebut, Pemerintah bersama-sama dengan DPR mengesahkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM), yang memperbaharui peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal sebelumnya. Tujuan dibentuknya UUPM adalah untuk dapat mengakomodir berbagai kepentingan yang ada di masyarakat, dan bertindak lebih adil kepada semua golongan penanam modal tanpa mengorbankan kepentingan nasional . Selain itu, UUPM diundangkan pada masa Indonesia sedang berada di tengah semangat otonomi daerah yang memberi kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menyelenggarakan urusan penanaman modal yang harus didasarkan pada kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi pelaksanaan kegiatan penanaman modal.
Pemerintah menyadari bahwa tujuan penyelenggaraan penanaman modal hanya dapat tercapai bila faktor penunjang yang menghambat iklim penanaman modal dapat diatasi, antara lain melalui: perbaikan koordinasi antara instansi pemerintah pusat dan daerah, penciptaan birokrasi yang efisien, kepastian hukum dibidang penanaman modal, biaya ekonomi yang berdaya saing tinggi, iklim usaha yang kondusif dibidang ketenaga kerjaan dan keamanan berusaha. Oleh karena itu, pemerintah bersama dengan DPR membentuk UUPM untuk mengantisipasi hal-hal tersebut.
1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal dan ayat suatu UU yang dinyatakan MK sebagai inkonstitusionalitas/inkonstitusionalitas bersyarat?
3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu UU jika suatu pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan?
A. Konstitusionalitas Undang-Undang
Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 yang menjadi kewenangan MK merupakan wujud prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Kewenangan pengujian undang-undang menimbulkan sebuah kewenangan yang mutatis mutandis (dengan sendirinya) ada, yaitu kewenangan menafsirkan konstitusi. Apabila dalam konstitusi tidak terdapat ketentuan yang ekplisit mengenai kewenangan menafsir konstitusi kepada lembaga negara yang diberikan kewenangan constitutional review, maka harus dipahami bahwa kewenangan menafsirkan konstitusi menyertai kewenangan constitutional review tersebut. Oleh sebab itu, sering dinyatakan bahwa Constitutional Court itu merupakan “the guardian of constitution and the sole interpreting of constitution”, disebut sebagai penjaga konstitusi berdasarkan kewenangan dalam memutus apakah sebuah produk perundang-undangan telah sesuai dengan konstitusi atau tidak.
B. Putusan Mahkamah Konstitusi Bersifat Final Dan Mengikat
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya maka Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Tahun 1945; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C UUD Tahun 1945, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 29 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
C. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi
Akibat hukum yang timbul dari satu putusan hakim jika menyangkut pengujian terhadap undang-undang diatur dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang pada intinya menyatakan undang-undang yang diuji tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Ketentuan ini juga berarti bahwa putusan hakim Mahkamah Konstitusi yang menyatakan satu undang-undang bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat tidak boleh berlaku surut.
Amar putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, Pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan UUD Tahun 1945 mengandung muatan yang bersifat Constitutief yaitu melahirkan suatu keadaan hukum yang baru berupa menghilangkan keberlakuan norma hukum yang dinyatakan tidak berkekuatan hukum mengikat. Sifat konstitutif putusan Mahkamah Konstitusi ini tercermin pada Pasal 57 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat constitutif juga dapat mempengaruhi secara signifikan suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku baik karena adanya kekosongan hukum (rechtsvacuum) maupun karena berubahnya pengertian atau makna satu norma berdasarkan tafsiran Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi memiliki dampak yang sangat luas bukan saja bagi para pihak pembentuk hukum dan penegak hukm tetapi juga bagi masyarakat pada umumnya.
Putusan Mahkamah Konstitusi dengan amar yang menyatakan bagian dari undang-undang, pasal atau ayat tertentu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak diumumkan dalam sidang terbuka untuk umum. Namun sebagai syarat untuk diketahui secara umum putusan tersebut diumumkan dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak putusan diucapkan. Tidak dibutuhkan adanya satu aparat khusus untuk melaksanakan putusan tersebut karena sifatnya declaratoir.
Dengan dinyatakannya Pasal 22 UU Penanaman Modal bertentangan dengan Pasal 33 UUD Tahun 1945, ketentuan yang berlaku terhadap pemberian kemudahan dan/atau pelayanan kepada perusahaan penanaman modal untuk memperoleh hak atas tanah adalah ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan lainnya sepanjang berkaitan langsung dengan penanaman modal. Khusus mengenai pemberian, perpanjangan, dan pembaruan hak-hak atas tanah (HGU, HGB, dan Hak Pakai) berlaku ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah. Selanjutnya, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, akibat hukum terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi harus ditindaklanjuti dengan segera melakukan perubahan terhadap UU Penanaman Modal.
Berdasarkan Putusan MK Nomor 21,22/PUU-V/2007, terhadap norma pasal 22 UU Penanaman Modal menimbulkan keadaan hukum baru. Pasal 22 UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal pasca Putusan MK menjadi berketentuan:
(1) Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a dapat diberikan dan diperpanjang dan dapat diperbarui kembali atas permohonan penanam modal.
(2) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat diberikan dan diperpanjang untuk kegiatan penanaman modal, dengan persyaratan antara lain:
a. penanaman modal yang dilakukan dalam jangka panjang dan terkait dengan perubahan struktur perekonomian Indonesia yang lebih berdaya saing;
b. penanaman modal dengan tingkat risiko penanaman modal yang memerlukan pengembalian modal dalam jangka panjang sesuai dengan jenis kegiatan penanaman modal yang dilakukan;
c. penanaman modal yang tidak memerlukan area yang luas;
d. penanaman modal dengan menggunakan hak atas tanah negara; dan
e. penanaman modal yang tidak mengganggu rasa keadilan masyarakat dan tidak merugikan kepentingan umum.
(3) Hak atas tanah dapat diperbarui setelah dilakukan evaluasi bahwa tanahnya masih digunakan dan diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak.
(4) Pemberian dan perpanjangan hak atas tanah yang diberikan dan yang dapat diperbarui sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dihentikan atau dibatalkan oleh Pemerintah jika perusahaan penanaman modal menelantarkan tanah, merugikan kepentingan umum, menggunakan atau memanfaatkan tanah tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian hak atas tanahnya, serta melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.
Sebagai akibat dinyatakan inkonstitusionalnya sebagian ketentuan tersebut, maka, terhadap pemberian kemudahan dan/atau pelayanan kepada perusahaan penanaman modal untuk memperoleh hak atas tanah, sepanjang berkaitan langsung dengan penanaman modal, ketentuan yang berlaku adalah ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan lainnya.
Pemberian dan perpanjangan hak atas tanah yang diberikan sekaligus di muka dan yang dapat diperbarui dapat dihentikan atau dibatalkan oleh pemerintah jika perusahaan penanaman modal menelantarkan tanah, merugikan kepentingan umum, menggunakan atau memanfaatkan tanah tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian hak atas tanahnya, serta melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. Sebagaimana pendapat Mahkamah Konstitusi (MK) dalam persidangan ini, Selasa 25 Maret 2007 mengenai review Pasal 22 UU No. 25 Tahun 2007 menyatakan bahwa sebagian ketentuan pasal tersebut tentang Penanaman Modal (UU PM) bertentangan dengan konstitusi. Hal ini disampaikan dalam sidang pengucapan putusan perkara 21-22/PUU-V/2Q07. Pasal 22 UU No. 25 Tahun 2007 melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.
Menurut MK bagian dari Pasal 22 UU PM yang bertentangan dengan UUD Tahun 1945, yaitu Pasal 22 ayat (1) sepanjang menyangkut kata-kata "di muka sekaligus" Selain itu, Pasal 22 ayat (2) sepanjang menyangkut kata-kata "di muka sekaligus" dan Pasal 22 ayat (4) sepanjang menyangkut kata-kata "sekaligus di muka" juga dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945.
1. Sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan UU berisi materi muatan mengenai tindak lanjut Putusan MK. Oleh karena itu, perlu direformulasi kembali materi muatan atas beberapa hal yang telah diputus MK dalam UU Penanaman Modal dengan status perubahan undang-undang.
2. Untuk menyesuaikan dengan Putusan MK, sebaiknya Pasal 22 UU Penanaman modal direformulasi diusulkan perubahan rumusan yang berketentuan sebagai berikut:
(1) Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a dapat diberikan dan diperpanjang dan dapat diperbarui kembali atas permohonan penanam modal.
(2) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dan diperpanjang untuk kegiatan penanaman modal, dengan persyaratan antara lain:
a. penanaman modal yang dilakukan dalam jangka panjang dan terkait dengan perubahan struktur perekonomian Indonesia yang lebih berdaya saing;
b. penanaman modal dengan tingkat risiko penanaman modal yang memerlukan pengembalian modal dalam jangka panjang sesuai dengan jenis kegiatan penanaman modal yang dilakukan;
c. penanaman modal yang tidak memerlukan area yang luas;
d. penanaman modal dengan menggunakan hak atas tanah negara; dan
e. penanaman modal yang tidak mengganggu rasa keadilan masyarakat dan tidak merugikan kepentingan umum.
(3) Hak atas tanah dapat diperbarui setelah dilakukan evaluasi bahwa tanahnya masih digunakan dan diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak.
(4) Pemberian dan perpanjangan hak atas tanah yang diberikan dan yang dapat diperbarui sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dihentikan atau dibatalkan oleh Pemerintah jika perusahaan penanaman modal menelantarkan tanah, merugikan kepentingan umum, menggunakan atau memanfaatkan tanah tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian hak atas tanahnya, serta melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.
3. Rencana RUU perubahan UU Penanaman Modal ini telah menjadi Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2015-2019. Untuk itu sebaiknya DPR bersama Pemerintah menindaklanjuti rancangan perubahan tersebut termasuk muatan Putusan MK tersebut kedalam RUU tentang perubahan UU Penanaman Modal, dan menjadikan RUU tersebut kedalam prioritas Tahunan untuk dibahas bersama-sama agar terjamin kepastian hukum, dan praktik penanaman modal yang tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430