Analisis dan Evaluasi UU Berdasarkan Putusan MK


Deprecated: explode(): Passing null to parameter #2 ($string) of type string is deprecated in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-evaluasi.phtml on line 61

Warning: Undefined array key 1 in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-evaluasi.phtml on line 64

Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-evaluasi.phtml on line 66

Warning: Undefined property: stdClass::$resume in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-evaluasi.phtml on line 80

Deprecated: nl2br(): Passing null to parameter #1 ($string) of type string is deprecated in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-evaluasi.phtml on line 80
Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi : Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Mahkamah Konstitusi / 01-12-2018

Bahwa visi, misi, dan tujuan dibentuknya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 24C ayat (6) UUD Tahun 1945 adalah untuk mengatur pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara, serta ketentuan lainnya tentang MK. Oleh karena itu, dapat dibenarkan secara legal jika Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK Perubahan) juncto Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) mengatur secara lebih detail segala ketentuan terkait MK.

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal dan ayat suatu UU yang dinyatakan MK sebagai inkonstitusionalitas/ inkonstitusionalitas bersyarat?
3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu UU jika suatu pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan?

A. Konstitusionalitas Undang-Undang
Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 yang menjadi kewenangan MK merupakan wujud prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Kewenangan pengujian undang-undang menimbulkan sebuah kewenangan yang mutatis mutandis (dengan sendirinya) ada, yaitu kewenangan menafsirkan konstitusi. Apabila dalam konstitusi tidak terdapat ketentuan yang ekplisit mengenai kewenangan menafsir konstitusi kepada lembaga negara yang diberikan kewenangan constitutional review, maka harus dipahami bahwa kewenangan menafsirkan konstitusi menyertai kewenangan constitutional review tersebut. Oleh sebab itu, sering dinyatakan bahwa Constitutional Court itu merupakan “the guardian of constitution and the sole interpreting of constitution”, disebut sebagai penjaga konstitusi berdasarkan kewenangan dalam memutus apakah sebuah produk perundang-undangan telah sesuai dengan konstitusi atau tidak.

B. Putusan Mahkamah Konstitusi Bersifat Final dan Mengikat
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya maka MK diberikan kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Tahun 1945; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C UUD Tahun 1945, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU MK Perubahan, dan Pasal 29 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

C. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi
Akibat hukum yang timbul dari satu putusan hakim jika menyangkut pengujian terhadap undang-undang diatur dalam Pasal 58 UU MK Perubahan, yang pada intinya menyatakan undang-undang yang diuji tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Ketentuan ini juga berarti bahwa putusan hakim MK yang menyatakan satu undang-undang bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat tidak boleh berlaku surut.

1. Putusan MK Nomor 066/PUU-II/2004
Putusan Nomor 066/PUU-II/2004 telah memutuskan bahwa Pasal 50 UU MK bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Akibat Putusan MK ini maka semua undang-undang baik yang sebelum maupun yang sesudah perubahan UUD Tahun 1945 dapat diujikan ke MK, jika dianggap merugikan hak konstitusional.

2. Putusan MK Nomor 34/PUU-X/2012
Putusan Nomor 34/PUU-X/2012 telah memutuskan bahwa Pasal 7A ayat (1) UU MK Perubahan tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang disertai frasa “dengan usia pensiun 62 tahun bagi Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti”. Akibat Putusan MK ini maka batas usia pensiun Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti adalah 62 tahun.

3. Putusan MK Nomor 7/PUU-XI/2013
Putusan Nomor 7/PUU-XI/2013 telah memutuskan bahwa Pasal 15 ayat (2) huruf d UU MK Perubahan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Berusia paling rendah 47 (empat puluh tujuh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat pengangkatan pertama”. Akibat Putusan MK ini maka ketentuan pasal a quo hanya diberlakukan pada pengangkatan hakim pertama saja. Pasal a quo tidak berlaku bagi hakim konstitusi yang saat ini sedang menjabat dan hendak mencalonkan diri menjadi calon hakim konstitusi periode berikutnya untuk dua kali masa jabatan, artinya pasal ini hanya berlaku bagi calon hakim konstitusi baru saja. Dengan demikian, calon hakim baru tidak boleh lebih dari 65 tahun, tapi bagi calon yang pernah menjadi hakim konstitusi boleh lebih dari 65 tahun.

Evaluasi terhadap Putusan Nomor 066/PUU-II/2004 adalah perlunya merevisi Pasal 50 UU MK, sehingga tidak sekedar dihapus saja, namun dinyatakan dengan tegas dalam perubahan UU MK bahwa “Undang-Undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan sebelum dan/atau setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Dengan demikian Pemohon yang dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang baik sebelum maupun sesudah perubahan UUD Tahun 1945 dapat mengujikan ke MK, sehingga tidak ada hak konstitusional yang terlanggar.
Selanjutnya evaluasi terhadap Putusan Nomor 34/PUU-X/2012 adalah dengan merevisi frasa Pasal 7A ayat (1) UU MK Perubahan sesuai dengan bunyi putusan MK, yaitu “Kepaniteraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 merupakan jabatan fungsional yang menjalankan tugas teknis administratif peradilan Mahkamah Konstitusi dengan usia pensiun 62 tahun bagi Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti.” Dengan demikian ada suatu kepastian hukum pada batas usia pensiun kepaniteraan MK sebagaimana yang diatur juga dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, dan PTUN.
Sementara itu, evaluasi terhadap Putusan Nomor 7/PUU-XI/2013 adalah dengan merevisi frasa Pasal 15 ayat (2) huruf d UU MK Perubahan sesuai dengan bunyi putusan MK, yaitu “Untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi, selain harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seorang calon hakim konstitusi harus memenuhi syarat: ...d. berusia paling rendah 47 (empat puluh tujuh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat pengangkatan pertama.” Dengan demikian batas usia paling tinggi 65 tahun hanya untuk calon hakim MK yang belum pernah menjabat dan tidak diperuntukkan bagi calon hakim MK yang sedang menjabat untuk kemudian diusulkan periode masa jabatan kedua.

UU MK dan UU MK Perubahan dalam implementasinya pernah beberapa kali dilakukan uji materiil ke MK, namun hanya 3 (tiga) permohonan yang dikabulkan. Putusan MK Nomor 066/PUU-II/2004 yang isinya mengabulkan permohonan sebagian, Putusan MK Nomor 34/PUU-X/2012 yang isinya mengabulkan permohonan seluruhnya, dan Putusan MK Nomor 7/PUU-XI/2013 yang isinya mengabulkan permohonan seluruhnya. Terhadap ketiga Putusan MK tersebut perlu dilakukan revisi frasa pasal agar isi ketentuan sesuai dengan putusan MK, yaitu:
1. Putusan MK Nomor 066/PUU-II/2004 harus menegaskan bahwa dalam Pasal 50 UU MK dinyatakan pengujian UU di MK dapat diperuntukkan bagi undang-undang sebelum dan sesudah perubahan UUD Tahun 1945.
2. Putusan MK Nomor 34/PUU-X/2012 harus menegaskan bahwa dalam Pasal 7 ayat (1) UU MK Perubahan mengatur batas usia pensiun kepaniteraan MK yaitu 62 tahun.
3. Putusan MK Nomor 7/PUU-XI/2013 harus menegaskan bahwa dalam Pasal 15 ayat (2) UU MK Perubahan mengatur batas usia calon hakim MK minimal 47 tahun dan paling tinggi 65 tahun hanya untuk pengangkatan pertama saja.

1. Sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan UU berisi materi muatan mengenai tindak lanjut Putusan MK. Oleh karena itu, perlu direformulasi kembali dan diharmonisasi materi muatan atas beberapa hal yang telah diputus MK.
2. Berdasarkan Putusan MK maka DPR bersama Pemerintah harus menetapkan perubahan/penggantian UU MK ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan menjadikan prioritas tahunan untuk dibahas bersama-sama agar tidak terjadi kekosongan hukum, terjamin kepastian hukum, dan pengaturan MK tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945.