Sebagai sebuah Negara demokratis, Indonesia telah melakukan proses transisi demokrasi secara damai melalui penyelenggaraan pemilu. Secara konseptual, Indonesia menerapkan sistem kedaulatan rakyat yang diatur Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD Tahun 1945). Kedaulatan rakyat menurut Pasal 1 ayat (2) UUD Tahun 1945 dilaksanakan dengan sistem perwakilan melalui pemilu untuk memilih anggota lembaga perwakilan dan memilih presiden dan wakil presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (2) UUD Tahun 1945. Dalam Pemilu untuk memilih Anggota DPR, DPD, dan DPRD tahun 2014 yang diselenggarakan pada tanggal 9 April 2014 dan diikuti oleh 12 (dua belas) partai politik serta terdapat 3 (tiga) partai politik lokal khusus untuk DPR Aceh adalah merupakan sebuah pemilu yang dilaksanakan berdasarkan yang menggunakan sistem proporsional terbuka berdasarkan suara terbanyak, sehingga setiap calon anggota legislatif memproleh kesempatan yang sama dalam memperoleh mandat dari rakyat. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyar Daerah (UU Pemilu Legislatif) sebelum diterapkan dalam pelaksanaan Pemilu tahun 2014 yaitu dalam kurun waktu antara tahun 2012 sampai dengan tahun 2014 telah menglamai beberapa kali pengujian materiil di Mahkamah Konstitusi (MK) dan telah terdapat 3 (tiga) Putusan MK
a. Perkara Nomor 52/PUU-X/2012
b. Perkara Nomor 20/PUU-XI/2013
c. Perkara Nomor 24/PUU-XII/2014
1. Bagaimakah menurut ketentuan perundang-undangan mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian formil dan materiil UU ?
2. Apakah akibat hukum dari Putusan mahkamah konstitusi yang amar putusannya menyatakan inkonstitusional bersyarat dan yang menyatakan inkonstitusional dalam pengujian Pasal-pasal UU Pemilu Legislatif ?
3. Bagaimanakah DPR menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi khusunya yang menyatakan inkonstitusional bersyarat ?
4. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu UU jika suatu pasal, ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan ?
Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal, yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD Tahun 1945.
Secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frasa “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dalam rangkaian pemeriksaan” sedangkan frasa mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harfiah ini maka frasa final dan frasa mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya dari suatu proses pemeriksaan telah memiliki kekuatan mengeratkkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum.
Sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu final yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Konsep ini mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni secara sederhana dan cepat sebagaimana diuraikan dalam penjelasan UU MK. Menurut Maruarar Siahaan Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan dihadapan sidang terbuka umum mempunyai 3 kekuatan yaitu: kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutoarial.
A. Analisis Undang-Undang
Ketentuan Pasal 8 ayat (1) beserta Penjelasannya, Pasal 8 ayat (2) sepanjang frasa ”yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau partai politik baru”, serta Penjelasannya sepanjang frasa ”yang dimaksud dengan” partai politik baru ”adalah partai politik yang belum pernah mengikuti Pemilu” , dan Pasal 17 ayat (1), Pasal 208 sepanjang frasa ”DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota”, Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) sepanjang frasa ”DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota” UU Pemilu Legislatif telah dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 oleh Mahkamah Konstitusi dengan beberapa pertimbangan hukum.
bahwa pokok permohonan para Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yaitu:
(i) Pasal 8 ayat (1) sepanjang frasa, “yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional”;
(ii) Pasal 8 ayat (2) sepanjang frasa, “Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau”;
(iii) Pasal 208 yang menyatakan, “Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5% (tiga koma lima persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota” atau setidak-tidaknya sepanjang frasa, “DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota”; terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[3.18] bahwa dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, Mahkamah menginventarisasi adanya dua tahapan bagi partai politik untuk dapat mengikuti pemilihan umum, yaitu tahapan pendirian partai politik dan tahapan keikutsertaan partai politik dalam pemilihan umum. Tahap pendirian atau pembentukan partai politik diatur dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Tahap pendaftaran sebagai peserta pemilihan umum diatur dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dari kedua Undang-Undang yang mengatur tahapan tersebut, menurut Mahkamah, ada kehendak pembentuk Undang-Undang untuk melakukan penyederhanaan partai politik. Selain itu, penyederhanaan partai politik dilakukan dengan menentukan pemenuhan ambang batas perolehan suara (parliamentary threshold atau PT) pada pemilihan umum sebelumnya sebagai syarat yang harus dipenuhi oleh partai politik lama untuk mengikuti pemilihan umum [vide Pasal 8 ayat (1) UU 8/2012] dan menentukan bahwa partai politik lama yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara tersebut serta partai politik baru harus memenuhi persyaratan tertentu untuk dapat menjadi peserta pemilihan umum [vide Pasal 8 ayat (2) UU 8/2012]. Ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU 8/2012, menurut Mahkamah, tidak memenuhi asas keadilan bagi partai politik lama karena pada saat verifikasi untuk menjadi peserta Pemilihan Umum Tahun 2009, semua persyaratan administrasi sudah dipenuhi oleh semua partai politik peserta Pemilihan Umum Tahun 2009, sehingga tidak tepat jika partai politik yang pada Pemilihan Umum Tahun 2009 telah dinyatakan memenuhi persyaratan, namun pada pemilihan umum berikutnya diwajibkan memenuhi syarat ambang batas perolehan suara, atau jika partai politik bersangkutan tidak memenuhi ambang batas, diwajibkan memenuhi persyaratan yang berbeda dengan partai politik peserta Pemilihan Umum Tahun 2009. Ketentuan yang demikian, menurut Mahkamah, tidak memenuhi prinsip keadilan karena memberlakukan syarat-syarat berbeda bagi pihak-pihak yang mengikuti suatu kontestasi yang sama;
[3.19] bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, dipenuhinya ambang batas perolehan suara pada Pemilihan Umum Tahun 2009 tidak dapat dijadikan sebagai satu-satunya ketentuan mengenai syarat atau kriteria dalam keikutsertaan partai politik lama sebagai peserta Pemilihan Umum Tahun 2014. Karena ketentuan mengenai syarat atau kriteria dalam UU 10/2008 berbeda dengan ketentuan mengenai syarat atau kriteria dalam UU 8/2012 yang menjadi dasar penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2014. Dengan demikian, meskipun para Pemohon hanya meminta dihapuskannya frasa “yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional” yang terdapat dalam Pasal 8 ayat (1) UU 8/2012, namun menurut Mahkamah ketidakadilan tersebut justru terdapat dalam keseluruhan Pasal 8 ayat (1) UU 8/2012. Ketidakadilan juga terdapat pada Penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU 8/2012. Hal yang terakhir ini didasarkan pada pertimbangan bahwa tidak ada penjelasan dari suatu pasal yang dapat berdiri sendiri, sehingga Penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU 8/2012 harus mengikuti putusan mengenai pasal yang dijelaskannya; Pengujian Konstitusionalitas Pasal 8 ayat (2) UU 8/2012
[3.20] Pasal 8 ayat (2) UU 8/2012 menentukan bahwa partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada pemilihan umum sebelumnya dan partai politik baru untuk menjadi peserta pemilihan umum harus memenuhi persyaratan tertentu. Setelah mempersandingkan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 dengan Pasal 8 UU 8/2012 mengenai persyaratan partai politik menjadi peserta pemilihan umum, Mahkamah menemukan fakta hukum mengenai perbedaan syarat sebagai berikut: Pasal 8 UU 10/2008. Dari persandingan tersebut, yang sangat menonjol adalah terdapatnya fakta hukum bahwa syarat yang harus dipenuhi oleh partai politik untuk mengikuti pemilihan umum legislatif tahun 2009 ternyata berbeda dengan persyaratan untuk pemilihan umum legislatif tahun 2014. Syarat untuk menjadi peserta pemilihan umum bagi partai politik tahun 2014 justru lebih berat bila dibandingkan dengan persyaratan yang harus dipenuhi oleh partai politik baru dalam pemilihan umum legislatif tahun 2009. Dengan demikian adalah tidak adil apabila partai politik yang telah lolos menjadi peserta pemilihan umum pada tahun 2009 tidak perlu diverifikasi lagi untuk dapat mengikuti pemilihan umum pada tahun 2014 sebagaimana partai politik baru, sementara partai politik yang tidak memenuhi PT harus mengikuti verifikasi dengan syarat yang lebih berat. PT sejak awal tidak dimaksudkan sebagai salah satu syarat untuk menjadi peserta Pemilu berikutnya [vide Pasal 1 angka 27, Pasal 8 ayat (2), dan Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008], tetapi adalah ambang batas bagi sebuah partai poltik peserta Pemilu untuk mendudukkan anggotanya di DPR;
[3.21] Bahwa Mahkamah dapat memahami maksud pembentuk Undang-Undang untuk melakukan penyederhanaan jumlah partai politik, namun penyederhanaan tidak dapat dilakukan dengan memberlakukan syarat-syarat yang berlainan kepada masing-masing partai politik. Penyederhanaan partai politik dapat dilakukan dengan menentukan syarat-syarat administratif tertentu untuk mengikuti pemilihan umum, namun syarat-syarat tersebut harus diberlakukan sama untuk semua partai politik yang akan menjadi peserta pemilihan umum tanpa pengecualian. Memberlakukan syarat yang berbeda kepada peserta suatu kontestasi (pemilihan umum) yang sama merupakan perlakuan yang tidak sama atau perlakuan secara berbeda (unequal treatment) yang bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) serta Pasal 28D ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Dengan demikian menurut Mahkamah, terhadap semua partai politik harus diberlakukan persyaratan yang sama untuk satu kontestasi politik atau pemilihan umum yang sama, yaitu Pemilihan Umum Tahun 2014;
bahwa para Pemohon, terkait Pasal 8 ayat (2) UU 8/2012, hanya memohon dihilangkannya frasa “Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau” namun demi keadilan dan persamaan kedudukan di hadapan hukum, menurut Mahkamah permohonan para Pemohon dapat dikabulkan dengan mengakomodasi pula kepentingan atau keberadaan partai politik baru yang akan mengikuti pemilihan umum legislatif tahun 2014;
Bahwa menghilangkan perlakuan yang berbeda dalam pemilihan umum memiliki arti, partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada pemilihan umum sebelumnya tidak boleh diperlakukan secara berbeda dengan partai politik yang dapat memenuhi persyaratan ambang batas perolehan suara pada pemilihan umum sebelumnya. Berdasarkan asas persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan, partai politik baru juga tidak boleh diperlakukan secara berbeda dengan partai politik lama (yang pernah mengikuti Pemilihan Umum Tahun 2009), atau jika suatu partai politik dikenai syarat tertentu, maka partai politik yang lain juga harus dikenai syarat yang sama. Untuk mencapai persamaan hak masing-masing partai politik ada dua solusi yang dapat ditempuh yaitu, pertama, menyamakan persyaratan kepesertaan Pemilu antara partai politik peserta Pemilu tahun 2009 dan partai politik peserta Pemilu tahun 2014, atau kedua, mewajibkan seluruh partai politik yang akan mengikuti Pemilu tahun 2014 dengan persyaratan baru yang ditentukan dalam Undang-Undang a quo. Dalam hal ini, demi kepastian hukum yang adil, Mahkamah menentukan bahwa untuk mencapai perlakuan yang sama dan adil itu seluruh partai politik peserta Pemilu tahun 2014 harus mengikuti verifikasi. Dengan semangat yang sejalan dengan maksud pembentuk undang-undang, demi penyederhanaan partai politik, menurut Mahkamah, syarat menjadi peserta pemilihan umum yang diatur dalam Pasal 8 ayat (2) UU 8/2012 harus diberlakukan kepada semua partai politik yang akan mengikuti Pemilihan Umum Tahun 2014 tanpa kecuali;
[3.23] Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, meskipun para Pemohon dalam petitumnya hanya memohon penghapusan frasa “Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau” dalam Pasal 8 ayat (2) UU 8/2012, namun menurut Mahkamah, demi memenuhi rasionalitas persamaan dan keadilan, justru yang seharusnya dihapuskan adalah frasa “yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau partai politik baru” dalam Pasal 8 ayat (2) UU 8/2012. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, Pasal 8 ayat (2) UU 8/2012 selengkapnya menjadi: (2) Partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan: a. berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai Politik; b. memiliki kepengurusan di seluruh provinsi; c. memiliki kepengurusan di 75% (tujuh puluh lima persen) jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan; d. memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan; e. menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat; f. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud pada huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota; g. mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu; h. mengajukan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik kepada KPU; dan i. menyerahkan nomor rekening dana Kampanye Pemilu atas nama partai politik kepada KPU;
Menimbang bahwa dengan demikian dapat disimpulkan bahwa lembaga legislatif dapat menentukan ambang batas sebagai legal policy bagi eksistensi Partai Politik baik berbentuk ET maupun PT. Kebijakan seperti ini diperbolehkan oleh konstitusi sebagai politik penyederhanaan kepartaian karena pada hakikatnya adanya Undang-Undang tentang Sistem Kepartaian atau Undang-Undang Politik yang terkait memang dimaksudkan untuk membuat pembatasan-pembatasan sebatas yang dibenarkan oleh konstitusi. Mengenai berapa besarnya angka ambang batas adalah menjadi kewenangan pembentuk Undang-Undang untuk menentukannya tanpa boleh dicampuri oleh Mahkamah selama tidak bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas. Dengan demikian pula, menurut Mahkamah, ketentuan mengenai adanya PT seperti yang diatur dalam Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 tidak melanggar konstittusi karena ketentuan Undang-Undang a quo telah memberi peluang bagi setiap warga negara untuk membentuk partai politik tetapi sekaligus diseleksi dan dibatasi secara rasional melalui ketentuan PT untuk dapat memiliki wakil di DPR. Di mana pun di dunia ini konstitusi selalu memberi kewenangan kepada pembentuk Undang-Undang untuk menentukan batasan-batasan dalam Undang-Undang bagi pelaksanaan hak-hak politik rakyat; [3.20] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berpendapat kebijakan PT yang tercantum dalam Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 sama konstitusionalnya dengan kebijakan ET yang tercantum dalam UU 3/1999 dan UU 12/2003, namun Mahkamah menilai pembentuk Undang-Undang tidak konsisten dengan kebijakan-kebijakannya yang terkait Pemilu dan terkesan selalu bereksperimen dan belum mempunyai desain yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan sistem kepartaian sederhana yang hendak diciptakannya, sehingga setiap menjelang Pemilu selalu diikuti dengan pembentukan Undang-Undang baru di bidang politik, yaitu Undang-Undang mengenai Partai Politik, Undang-Undang mengenai Pemilu, dan Undang-Undang mengenai Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD;” Oleh karena itu, menurut Mahkamah, pertimbangan hukum dalam Putusan Nomor 22- 24/PUU-VI/2008, bertanggal 23 Desember 2008, dan Putusan Nomor 3/PUUVII/2009, bertanggal 13 Februari 2009, sebagaimana dikutip di atas, mutatis mutandis berlaku pula untuk pertimbangan hukum dalam perkara a quo, yaitu pengujian 98 konstitusionalitas Pasal 208 UU 8/2012 mengenai pemberlakuan PT 3,5% (tiga koma lima persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, yang konsekuensi hukumnya akan menghilangkan suara partai politik yang tidak mencapai PT 3,5% di tingkat nasional tersebut. Dengan demikian partai politik yang tidak mencapai PT 3,5% di tingkat nasional tidak memiliki juga kursi pada DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota;
[3.25] Bahwa, menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 208 UU 8/2012 dan Penjelasannya bertujuan untuk penyederhanaan kepartaian secara alamiah. Namun demikian, dari sudut substansi, ketentuan tersebut tidak mengakomodasi semangat persatuan dalam keberagaman. Ketentuan tersebut berpotensi menghalang-halangi aspirasi politik di tingkat daerah, padahal terdapat kemungkinan adanya partai politik yang tidak mencapai PT secara nasional sehingga tidak mendapatkan kursi di DPR, namun di daerah-daerah, baik di tingkat provinsi atau kabupaten/kota, partai politik tersebut memperoleh suara signifikan yang mengakibatkan diperolehnya kursi di lembaga perwakilan masing-masing daerah tersebut. Bahkan secara ekstrim dimungkinkan adanya partai politik yang secara nasional tidak memenuhi PT 3,5%, namun menang mutlak di daerah tertentu. Hal demikian akan menyebabkan calon anggota DPRD yang akhirnya duduk di DPRD bukanlah calon anggota DPRD yang seharusnya jika merunut pada perolehan suaranya, atau dengan kata lain, calon anggota DPRD yang akhirnya menjadi anggota DPRD tersebut tidak merepresentasikan suara pemilih di daerahnya. Politik hukum sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 208 UU 8/2012 dan Penjelasannya tersebut justru bertentangan dengan kebhinnekaan dan kekhasan aspirasi politik yang beragam di setiap daerah;
3.25.1Menurut Mahkamah, pemberlakuan PT secara nasional yang mempunyai akibat hukum pada hilangnya kursi-kursi partai politik yang tidak memiliki kursi di DPR namun partai politik bersangkutan memenuhi ketentuan bilangan pembagi pemilih di daerah dan menjadikan kursi-kursi tersebut dimiliki partai politik lain yang sebenarnya tidak memenuhi bilangan pembagi pemilih namun memiliki kursi di DPR, justru bertentangan dengan kedaulatan rakyat, hak politik, dan rasionalitas, sehingga 99 bertentangan pula dengan tujuan pemilihan umum itu sendiri yaitu untuk memilih wakil rakyat mulai dari tingkat pusat hingga daerah;
[3.25.2] Mahkamah juga menilai sekiranya PT 3,5% diberlakukan secara bertingkat, masing-masing 3,5% untuk DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, dapat menimbulkan kemungkinan tidak ada satu pun partai politik peserta Pemilu di suatu daerah (provinsi atau kabupaten/kota) yang memenuhi PT 3,5% sehingga tidak ada satupun anggota partai politik yang dapat menduduki kursi DPRD. Hal ini mungkin terjadi jika diasumsikan partai politik peserta Pemilu berjumlah 30 partai politik dan suara terbagi rata sehingga maksimal tiap-tiap partai politik peserta Pemilu hanya memperoleh maksimal 3,3% suara. Selain itu, terdapat pula kemungkinan di suatu daerah hanya ada satu partai politik yang memenuhi PT 3,5% sehingga hanya ada satu partai politik yang menduduki seluruh kursi di DPRD atau sekurang-kurangnya banyak kursi yang tidak terisi. Hal itu justru bertentangan dengan ketentuan konstitusi yang menghendaki Pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD, yang ternyata tidak tercapai karena kursi tidak terbagi habis, atau akan terjadi hanya satu partai politik yang duduk di DPRD yang dengan demikian tidak sejalan dengan konstitusi;
[3.26] Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon sepanjang mengenai frasa “DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota” dalam Pasal 208 UU 8/2012 beralasan hukum. Dengan demikian, ketentuan PT 3,5% hanya berlaku untuk kursi DPR dan tidak mempunyai akibat hukum terhadap penentuan/penghitungan perolehan kursi partai politik di DPRD provinsi maupun di DPRD kabupaten/kota; Konstitusionalitas pasal, ayat, maupun frasa dalam pasal dan/atau ayat UU 8/2012 yang terkait pasal, ayat, maupun frasa dalam pasal dan/atau ayat yang dimohonkan pengujian Bahwa putusan mengenai Pasal 8 ayat (1) UU 8/2012 dan Penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU 8/2012 memiliki konsekuensi terhadap ketentuanketentuan dalam pasal maupun ayat dari UU 8/2012 yang merujuk kepada ketentuan Pasal 8 ayat (1) a quo. Meskipun tidak secara tegas dimohonkan oleh para Pemohon untuk diuji, namun setelah mencermati UU 8/2012, Mahkamah menemukan fakta 100 hukum bahwa Pasal 17 ayat (1) UU 8/2012 terkait erat (merujuk) kepada ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU 8/2012 yang dimohonkan pengujian secara materiil oleh para Pemohon. Begitu pula, frasa “DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota” dalam Pasal 208 UU 8/2012, menurut Mahkamah, terkait erat dengan frasa yang sama dalam Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) UU 8/2012, sehingga putusan terhadap Pasal 208 UU 8/2012 serta merta membawa akibat hukum terhadap Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) UU 8/2012 beserta Penjelasannya;
[3.28] Bahwa dengan adanya putusan-putusan mengenai pasal-pasal dalam UU 8/2012, terutama terkait dengan ketentuan mengenai verifikasi partai politik, maka segala sesuatu yang berakibat secara hukum dengan proses penyelenggaraan pemilihan umum legislatif tahun 2014 harus disesuaikan ulang dengan tidak mengubah jadwal pemungutan suara;
[3.29] Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah permohonan para Pemohon mengenai pengujian konstitusionalitas Pasal 8 ayat (1), Pasal 8 ayat (2), dan Pasal 208 UU 8/2012, atau sebagian frasa dari pasal atau ayat dimaksud, beralasan hukum untuk sebagian;
B. Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion)
Terhadap Putusan Mahkamah ini, khusus untuk pertimbangan hukum terhadap Pasal 208 UU 8/2012, Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion), sebagai berikut:
[6.1] Menimbang bahwa penerapan model parliamentary threshold dalam sistem Pemilu Indonesia tidak sejalan dengan tujuan penyederhanaan sistem kepartaian dalam rangka efektifitas sistem presidensiil melalui penguatan kelembagaan parlemen. Selain itu, penerapan model parliamentary threshold mengakibatkan terhambatnya saluran aspirasi dari kelompok minoritas dalam sistem bangunan kenegaraan Indonesia yang demokratis dan dijamin oleh UUD 1945. Atas dasar inilah, saya menyatakan pendapat berbeda. Bahwa dalam setiap sistem Pemilu pasti terdapat batasan (threshold) yang mengakibatkan keterpilihan seseorang untuk menduduki jabatan publik. Ambang batas ini merupakan sifat alamiah dalam sistem Pemilu (natural threshold). Bahwa UU 8/2012 yang menggunakan sistem proporsional terbuka memberikan penghargaan kepada suara rakyat secara terbuka, bebas memilih dan menentukan anggota legislatif. Sistem ini juga menghilangkan tindakan pengabaian atas terbuangnya suara rakyat secara cuma-cuma serta menjamin prinsip keterwakilan yang didasari penghargaan terhadap kelompok-kelompok minoritas di dalam masyarakat Indonesia yang majemuk.
[6.2] Menimbang bahwa Putusan Mahkamah Nomor 22-24/PUU-VI/2008 bertanggal 23 Desember 2008 dalam pertimbangan hukumnya telah secara tegas menyatakan menjamin terpenuhi prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip keterwakilan dengan pertimbangan yang berbunyi, “... karena itu keterpilihan calon anggota legislatif tidak boleh bergeser dari keputusan rakyat yang berdaulat kepada keputusan pengurus partai politik sebagaimana amanat konstitusi yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945”. Bahwa ambang batas (parliamentary threshold) sekurang-kurangnya 3,5% (tiga setengah persen) dari jumlah perolehan suara sebagaimana diatur pada Pasal 208 UU 8/2012, pembentuk Undang-Undang perlu mempertimbangkan hal-hal yang berkenaan dengan parliamentary threshold. Sebagai perbandingan, Dewan Parlemen (Parliamentary Assembly) Eropa, misalnya, dalam Resolusi Nomor 1547 yang dikeluarkan pada tahun 2007 mengatur bahwa penetapan ambang batas (threshold) di atas 3% (tiga persen) tidaklah memiliki landasan hukum yang kuat dalam sebuah 106 sistem negara demokratis yang mapan. Demokrasi harus mampu memberikan jaminan sebesar-besarnya untuk perlindungan kebebasan mengeluarkan pendapat, berserikat, dan berkumpul. Pembatasan yang ketat atas perlindungan kebebasan tersebut merupakan pemberangusan terhadap nilai-nilai demokrasi.
[6.3] Menimbang bahwa memperhatikan prinsip yang terkandung di dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 pelaksanaan pemilihan umum yang berkualitas harus melibatkan partisipasi rakyat seluas-luasnya atas dasar prinsip demokrasi yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Penerapan asas-asas pemilu harus menjadi landasan utama untuk dikembangkan dan diimplementasikan melalui Undang-Undang Pemilihan Umum dan diimplementasikan melalui Undang-Undang Pemilihan Umum sebagai dasar bagi pelaksanaan seluruh tahapan pemilihan umum agar dapat dipertanggungjawabkan. Dalam pelaksanaan pemilu, rakyat merupakan subjek utama dalam penegakan prinsip kedaulatan rakyat. Rakyat tidak boleh diposisikan sebagai obyek oleh para pemangku kepentingan demi memperoleh kemenangan politik semata. Bahwa untuk kesekian kalinya, undang-undang yang mengatur mengenai penetapan ambang batas jumlah perolehan suara partai politik digugat melalui jalur judicial review. Mahkamah pernah memeriksa perkara dengan permasalahan yang serupa dalam Perkara Nomor 3/PUU-VII/2009. Dalam dissenting opinion pada putusan perkara tersebut, saya mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan penerapan model parliamentary threshold demi penyederhanaan sistem kepartaian. Saya sampai pada kesimpulan bahwa penerapan parliamentary threshold dalam sistem Pemilu Indonesia melanggar prinsip keterwakilan (representativeness) sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum (legal uncertainty) dan ketidakadilan (injustice) bagi anggota partai politik yang sudah lolos pada perolehan suara di Pemilu legislatif tetapi partainya terhambat untuk memperoleh kursi di parlemen yang diakibatkan berlakunya parliamentary threshold.
[6.4] Menimbang bahwa selain hal tersebut di atas, dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VII/2009, Mahkamah menilai langkah kebijakan yang diambil oleh pembentuk undang-undang dalam rangka penyederhanaan sistem kepartaian tidak konsisten dan tidak memiliki desain besar (grand design) serta perencanaan yang matang. Sikap ini nampak jelas dari eksperimentasi yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang dengan mengubah, bahkan mengganti, undang-undang di bidang politik setiap menjelang penyelenggaraan pemilu. Penyederhanaan sistem kepartaian tidak dapat dilakukan sekejap mata dan semudah membalikkan telapak tangan, dibutuhkan konsistensi, waktu yang panjang dan perencanaan yang matang. Jumlah partai politik dapat dibatasi melalui perekayasaan sosial berdasarkan aturanaturan hukum tanpa harus mengorbankan kebebasan berekspresi dan hak konstitusional warga negara untuk berserikat dan berkumpul. Oleh karena itu, serupa dengan pendapat saya dalam Putusan Nomor 3/PUUVII/2009 bahwa model parliamentary threshold, sebagaimana diatur pada Pasal 208 UU 8/2012, dalam rangka penyederhanaan sistem kepartaian Indonesia adalah bertentangan dengan UUD 1945.
C. Implikasi Putusan MK
Putusan Nomor 52/PUU-X/2012, Nomor 20/PUU-XI/2013, dan Nomor 24/PUU-XII/2014 mengenai pengujian UU Pemilu Legislatif terhadap UUD Tahun 1945 sebagaimana telah diuraikan pada pokoknya berimplikasi pada 3 (tiga) hal yaitu :
a. Perubahan substansi materi keseluruhan Pasal 8 dan pasal 208 UU Pemilu Legislatif
b. Muculnya rumusan baru norma Penjelasan Pasal 56 ayat (1) dan Pasal 215 huruf b UU Pemilu Legislatif
c. Pembatalan atau peniadaan Pasal 247 ayat (2), ayat (5) dan ayat (6), Pasal 291 dan Pasal 317 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu Legislatif.
Menyatakan Pasal, ayat, sebagian frase dalam Pasal atau ayat tertentu UU Pemilu Legislatif Inkonstitusional
Pasal dan ayat tertentu dalam UU Pemilu Legislatif yang dinyatakan bertentangan dengan konstitusi (inkonstitusional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi adalah Pasal 8 ayat (1) beserta penjelasannya, Pasal 247 ayat (2), ayat (5) dan ayat (6), Pasal 291 dan Pasal 317 ayat (1) dan ayat (2).
Dalam rangka chek and balances dalam pelaksanaan kekuasaan pembentukan UU (legislatif) dengan kekuasaan yudikatif (Mahkamah Konstitusi sebagai selaku guardian of constitution) tanpa melampaui batas kewenangan lembaga negara masing-masing sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD Tahun 1945 jo. Pasal 56 dan Pasal 57 UU Mahkamah Kostitusi, maka DPR dan Presiden harus melakukan amandemen terhadap Pasal, ayat, frase dalam pasal dan ayat UU Pemilu Legilatif yang telah berubah substasinya dan telah dirumuskan norma baru sebagai akibat Putusan Mahkamah Konstitusi.
1. Berdasarkan hukum positif sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD Tahun 1945 jo. Pasal 56 dan Pasal 57 UU MK, Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan untuk menguji UU Terhadap UUD tahun 1945 pada tingkat pertama dan terakhir yang amar putusan Putusannya secara limitatf dibatai pada dua hal yaitu: menyatakan dengan tegas bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
2. Akibat hukum dari Putusan mahkamah konstitusi yang amar putusannya menyatakan inkonstitusional bersyarat dan yang menyatakan inkonstitusional dalam pengujian Pasal-pasal UU Pemilu Legislatif adalah perubahan substansi materi dan timbulnya rumusan baru
3. Dalam rangka chek and balances dalam pelaksanaan kekuasaan pembentukan UU (legislatif) dengan kekuasaan yudikatif (Mahkamah Konstitusi sebagai selaku guardian of constitution) tanpa melampaui batas kewenangan lembaga negara masing-masing sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD Tahun 1945 jo. Pasal 56 dan Pasal 57 UU MK, maka DPR dan Presiden harus melakukan amandemen terhadap Pasal, ayat, frase dalam pasal dan ayat UU pemilu legilatif yang telah berubah substasinya dan telah dirumuskan norma baru sebagai akibat Putusan Mahkamah Konstitusi.
Rekomendasi yang dapat diberikan dari hasil evaluasi ini berupa perbaikan substansi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Perbaikan ini hendaknya dituangkan dalam rencana perubahan atau penggantian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD dalam Program Legislasi Nasional untuk kumulatif terbuka maupun menjadi skala prioritas tahunan.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430