Analisis dan Evaluasi UU Berdasarkan Putusan MK


Deprecated: explode(): Passing null to parameter #2 ($string) of type string is deprecated in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-evaluasi.phtml on line 61

Warning: Undefined array key 1 in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-evaluasi.phtml on line 64

Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-evaluasi.phtml on line 66

Warning: Undefined property: stdClass::$resume in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-evaluasi.phtml on line 80

Deprecated: nl2br(): Passing null to parameter #1 ($string) of type string is deprecated in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-evaluasi.phtml on line 80
Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi : Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan / 01-05-2017

Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) adalah sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945. Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 (judicial review) merupakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menyelidiki dan menilai apakah materi suatu undang-undang tersebut bertentangan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu, atau bahkan apakah peraturan perundang-undangan tersebut terdapat cacat formal dalam pembentukannya.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan) telah beberapa kali di uji materi kepada Mahkamah Konstitusi dan menghasikan keputusan sebagai berikut:
1. Putusan Perkara Nomor 34 /PUU-IX/2011 yang diputus pada tanggal 16 Juli 2012.
2. Putusan Perkara Nomor 45 /PUU-IX/2011 yang diputus pada tanggal 21 Februari 2012.
3. Putusan Perkara Nomor 34 /PUU-IX/2012 yang diputus pada tanggal 16 Mei 2013.
Pasal yang diuji yakni:
1. Perkara Nomor 34 /PUU-IX/2011 Pasal yang di uji yakni Pasal 4 ayat (2) huruf b dan ayat (3).
2. Perkara Nomor 45 /PUU-IX/2011 Pasal yang diuji yakni Pasal 1 ayat (3).
3. Perkara Nomor 34 /PUU-IX/2012 Pasal yang diuji Pasal 1 angka 6, pasal 4 ayat (3), Pasal 5 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), Pasal 67 ayat (1), ayat (2), ayat (3).
Batu Uji Pasal UUD Tahun 1945:
1. Batu uji Perkara Nomor 34 /PUU-IX/2011 yakni Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28 G ayat (1) dan Pasal 28 H ayat (4) UUD Tahun 1945.
2. Batu uji Perkara Nomor 45 /PUU-IX/2011Pasal 1 ayat (3), Pasal 18 ayat (2), Pasal 18 ayat (5), Pasal 18 ayat (6), Pasal 18A ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (1), Pasal 28H ayat (4) UUD Tahun 1945.
3. Batu uji Perkara Nomor 34 /PUU-IX/2012 Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 33 ayat (3) UUD Tahun1945;

Hak konstitusional yang dirugikan:
1. Pada Perkara Nomor 34 /PUU-IX/2011 hak konstitusional Pemohon dirugikan dengan keberlakuan Pasal 4 ayat (2) huruf b dan ayat (3). Sehingga Pemohon tidak bisa mengolah perkebunan sawit milik Pemohon berdasarkan:
a. Izin Lokasi Perkebunan PT. Rickim Mas Jaya Nomor 042/BPN/II/1995 tanggal 15 Februari 1995 seluas ± 5.000 hektar;
b. Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Batanghari Nomor86/BPN-VIII/1596 tentang Pemberian Izin Lokasi untuk KeperluanPerkebunan Kelapa Sawit PT. Rickim Mas Jaya tanggal 21 Agustus 1996 seluas ± 5.200 hektar.
c. Rekomendasi Usaha Perkebunan Kelapa Sawit dari Gubernur Jambi Nomor 543.41/5308/V/Bappeda tanggal 31 Juli 1998.
d. Izin Usaha Perkebunan dari Menteri Pertanian NomorHK.350/E5.860/10.96 tanggal 10 Oktober 1996 tentang Persetujuan Prinsip Usaha Perkebunan Kelapa Sawit PT. Rickim Mas Jaya seluas ±14.000 hektar.
2. Pada Perkara Nomor 45 /PUU-IX/2011 Pasal yang diuji yakni Pasal 1 ayat (3). Bahwa dengan memperhatikan latar belakang tersebut di atas maka kerugian konstitusional Pemohon I selaku Pemerintah Daerah adalah sebagai berikut:
a. Tidak adanya jaminan kepastian hukum dalam menjalankan kewenangannya khususnya terkait dengan pemberian ijin baru maupun perpanjangan izin yang telah ada sebelumnya dibidang perkebunan, pertambangan, perumahan danpermukiman, maupun sarana dan prasana lainnya;
b. Tidak dapat menjalankan otonomi seluas-luasnya karena kawasan yang akan dimanfaatkan dalam berbagai bidangseperti perkebunan, pertambangan, perumahan danpermukiman, maupun sarana dan prasarana lainnya, masuk sebagai kawasan hutan jika tidak dilakukan pengukuhan kawasan hutan;
c. Tidak dapat mengimplementasikan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) dan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah tentangRencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) karena seluruh wilayahnya masuk sebagai kawasan hutan jika tidak dilakukan pengukuhan kawasan hutan;
d. Dapat dipidana karena dianggap memasuki dan menduduki kawasan hutan tanpa ijin atau memberikan ijin di bidang perkebunan, pertambangan, perumahan dan permukiman, maupun sarana dan prasana lainnya di dalam kawasan hutan;
e. Hak kebendaan dan hak milik masyarakat Kabupaten Kapuas atas tanah dan bangunan berpotensi dirampas oleh negara karena dianggap masuk kawasan hutan.
Bahwa pada saat mengajukan Permohonan ini, Pemohon secara pribadi yang pekerjaannya sebagai Bupati di wilayahnya masing-masingdiancam pidana sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 50 juncto Pasal 78 UU Kehutanan karena memberikan izin baru atau memperpanjang izin yang ada sebelumnya di dalam kawasan hutan. Ancaman pidana tersebut karena adanya Surat Menteri Kehutanan Nomor S.193/Menhut-IV/2011 tanggal 18 April2011 perihal Tim Penyelidikan dan Penyidikan Penggunaan Kawasan Hutan Yang Tidak Prosedural di Provinsi KalimantanTengah;
3. Pada Perkara Nomor 34 /PUU-IX/2012 Pasal yang diuji Pasal 1 angka 6, pasal 4 ayat (3), Pasal 5 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), Pasal 67 ayat (1), ayat (2), ayat (3).
Para Pemohon dalam permohonan a quo mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran wajar dapat dipastikan terjadi kerugian oleh berlakunya Pasal 1 angka 6, Pasal 4 ayat (3), Pasal 5, dan Pasal 67 UU Kehutanan.

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal atau ayat suatu undang-undang yang dinyatakan Mahkamah Konstitusi sebagai konstitusionalitas/ inkonstitusional bersyarat?
3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu undang-undang jika suatu pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi berimplikasi terhadap norma pasal atau ayat lain yang tidak diujikan?

Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal, yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD Tahun 1945.
Secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frasa “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dalam rangkaian pemeriksaan” sedangkan frasa mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harfiah ini maka frasa final dan frasa mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya dari suatu proses pemeriksaan telah memiliki kekuatan mengeratkkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum.
Sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu final yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Konsep ini mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni secara sederhana dan cepat sebagaimana diuraikan dalam penjelasan UU MK. Menurut Maruarar Siahaan Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan dihadapan sidang terbuka umum mempunyai 3 kekuatan yaitu: kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutoarial.

A. Analisis UU

1. Pendapat Hukum MK Perkara Nomor 34 /PUU-
IX/2011.

Bahwa terhadap dalil Pemohon, Pasal 4 ayat (2) huruf b
UU Kehutanan
bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), Pasal
28G ayat (1),
danPasal 28H ayat (4) UUD Tahun 1945, menurut
Mahkamah,
kewenangan pemerintah untuk menetapkan status wilayah
tertentu
sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan
kawasan
hutan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2)huruf b
tersebut adalah
salah satu bentuk penguasaan negara atas bumi dan air
yang
dimungkinkan berdasarkan konstitusi dengan ketentuan
penetapan
kawasan tersebut harus berdasarkan ketentuan hukum
yang berlaku
dengan memperhatikan hak-hak masyarakat yang terlebih
dahulu ada di
wilayah tersebut.
Dalam hal ini, apabila dalam wilayah tersebut terdapat hak-
hak
masyarakat, termasuk hak masyarakat tradisional, hak
milik, atau hak-hak
lainnya, maka pemerintah berkewajiban untuk melakukan
penyelesaian
terlebih dahulu secara adil dengan para pemegang hak.
Mahkamah tidak
menemukan pertentangan antara norma Pasal 4 ayat (2)
huruf b UU
Kehutanan dengan Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), Pasal
28G ayat (1), dan
Pasal 28H ayat (4) UUD Tahun 1945;
Bahwa Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 4 ayat (3)
UU Kehutanan
hanya mengindahkan hak masyarakat hukum adat,
padahal seharusnya
juga memperhatikan hak-hak atas tanah yang dimiliki oleh
masyarakat,
sehingga bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28D ayat
(1), Pasal 28G
ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD Tahun 1945
karenanya Pemohon
memohon agar Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan seharusnya
berbunyi:
“Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak
masyarakat
hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan
diakui
keberadaannya, hak atas tanah yang telah terbebani hak
berdasarkan
undang-undang, serta tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional”.
Pemohon beralasan bahwa dengan tidak adanya
pengakuan hak atas
tanah yang telah terbebani hak berdasarkan Undang-
Undang, hal
tersebut merugikan Pemohon. Di luar kasus konkret yang
dihadapi oleh
Pemohon sebagaimana diuraikan dalam permohonannya,
Mahkamah
dapat membenarkan substansi dalil permohonan Pemohon
tersebut.
Menurut Mahkamah, dalam wilayah tertentu dapat saja
terdapat hak yang
telah dilekatkan atas tanah, seperti hak milik, hak guna
bangunan, hak
guna usaha, dan hak-hak lainnya atas tanah. Hak-hak yang
demikian
harus mendapat perlindungan konstitusional berdasarkan
Pasal 28G ayat
(1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD Tahun 1945.Oleh karena
itu, penguasaan
hutan oleh negara harus juga memperhatikan hak-hakyang
demikian
selain hak masyarakat hukum adat yang telah dimuat
dalam norma a
quo;
Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah,
Pasal 4 ayat
(3) UU Kehutanan memang belum mencakup norma
tentang hak atas
tanah yang lainnya yang diberikan berdasarkan ketentuan
peraturan
perundang-undangan, sehingga pasal tersebut
bertentangan dengan UUD
Tahun 1945 sepanjang tidak memuat pula hak atas tanah
yang diberikan
berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan.
Walaupun
Mahkamah tidak berwenang untuk mengubah kalimat
dalam Undang-
Undang, karena kewenangan tersebut hanya dimiliki oleh
pembentuk
Undang-Undang yaitu DPR dan Presiden, namun demikian
Mahkamah
dapat menentukan suatu norma bersifat konstitusional
bersyarat;
Bahwa sejalan dengan maksud Putusan Mahkamah Nomor
32/PUU-VIII/2010, tertanggal 4 Juni 2012,
kata “memperhatikan” dalam
Pasal 4 ayat (3)UU Kehutanan haruslah pula dimaknai
secara imperatif
berupa penegasan bahwa Pemerintah, saat menetapkan
wilayah kawasan
hutan, berkewajiban menyertakan pendapat masyarakat
terlebih dahulu
sebagai bentuk fungsi kontrol terhadap Pemerintah untuk
memastikan
dipenuhinya hak-hak konstitusional warga negara untuk
hidup sejahtera
lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup
yang baik dan sehat, mempunyai hak milik pribadi dan hak
milik tersebut
tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh
siapa pun [vide
Pasal 28H ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945]. Oleh karena
itu, Pasal 4 ayat
(3) UU Kehutanan bertentangan dengan UUD Tahun 1945
sepanjang
tidak dimaknai“Penguasaan hutan oleh Negara tetap wajib
melindungi,
menghormati, dan memenuhi hak masyarakat hukum adat,
sepanjang
kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, hak
masyarakat
yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan,
serta tidak bertentangan dengan kepentingannasional”;

2. Pendapat Hukum MK Perkara Nomor 45 /PUU-
IX/2011.

Bahwa antara pengertian yang ditentukan dalam Pasal 1
angka 3 dan
ketentuan Pasal 15 UU Kehutanan terdapat perbedaan.
Pengertian dalam
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang a quo hanya
menyebutkan bahwa,
“Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan
atau
ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan
keberadaannya sebagai
hutan tetap”, sedangkan dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-
Undang a quo
menentukan secara tegas adanya tahap-tahap dalam
proses pengukuhan
suatu kawasan hutan. Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang a
quo
menentukan, “Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana
dimaksud dalam
Pasal 14, dilakukan melalui proses sebagai berikut: a.
penunjukan
kawasanhutan; b. penataan batas kawasan hutan; c.
pemetaan kawasan
hutan; dan d.penetapan kawasan hutan”. Berdasarkan
ketentuan Pasal
15 ayat (1) Undang-Undang a quo penunjukan kawasan
hutan adalah
salah satu tahap dalam proses pengukuhan kawasan
hutan, sementara
itu “penunjukan” dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-
Undang a quo
dapat dipersamakan dengan penetapan kawasan hutan
yang tidak
memerlukan tahap-tahap sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 15 ayat
(1) Undang-Undang a quo;
Bahwa menurut Mahkamah, tahap-tahap proses penetapan
suatu
kawasan hutan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15
ayat (1) UU
Kehutanan di atas sejalan dengan asas negara hukum yang
antara lain
bahwa pemerintah atau pejabat administrasi negara taat
kepada
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selanjutnya ayat (2) dari pasal tersebut yang
menentukan, “Pengukuhan
kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan
memperhatikan rencana tata ruang wilayah” menurut
Mahkamah
ketentuan tersebut antara lain memperhatikan
kemungkinan adanya hak-
hak perseorangan atau hak pertuanan (ulayat) pada
kawasan hutan yang
akan ditetapkan sebagai kawasan hutan tersebut, sehingga
jika terjadi
keadaan seperti itu maka penataan batas dan pemetaan
batas kawasan
hutan harus mengeluarkannya dari kawasan hutan supaya
tidak
menimbulkan kerugian bagi pihak lain, misalnya
masyarakat yang
berkepentingan dengan kawasan yang akan ditetapkan
sebagai kawasan
hutan tersebut;

3. Pendapat Hukum MK Perkara Nomor 35/PUU-X/2012.

Hutan adat dalam kenyataannya berada dalam wilayah hak
ulayat. Dalam
wilayah hak ulayat terdapat bagian-bagian tanah yang
bukan hutan yang
dapat berupa ladang penggembalaan, kuburan yang
berfungsi untuk
memenuhi kebutuhan umum, dan tanah-tanah yang
dimiliki secara
perseorangan yang berfungsi memenuhi kebutuhan
perseorangan.
Keberadaan hak perseorangan tidak bersifat mutlak,
sewaktu-waktu
haknya dapat menipis dan menebal. Jika semakin menipis
dan lenyap
akhirnya kembali menjadi kepunyaan bersama.
Hubungan antara hak perseorangan dengan hak ulayat
bersifat lentur.
Hak pengelolaan hutan adat berada pada masyarakat
hukum adat,
namun jika dalam perkembangannya masyarakat hukum
adat yang
bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan
adat jatuh
kepada Pemerintah [vide Pasal 5 ayat (4) UU Kehutanan].
Wewenang hak
ulayat dibatasi seberapa jauh isi dari wewenanghak
perseorangan,
sedangkan wewenang negara dibatasi sejauh isi dan
wewenang hak
ulayat. Dengan cara demikian, tidak ada tumpang tindih
(kejumbuhan)
antara wewenang negara dan wewenang hak masyarakat
hukum adat
yang berkenaan dengan hutan. Negara hanya mempunyai
wewenang
secaratidak langsung terhadap hutan adat;
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka diatur hubungan
antara
hakmenguasai negara dengan hutan negara, dan hak
menguasai negara
terhadaphutan adat. Terhadap hutan negara, negara
mempunyai
wewenang penuh untukmengatur dan memutuskan
persediaan,
peruntukan, pemanfaatan, pengurusanserta hubungan-
hubungan hukum
yang terjadi di wilayah hutan negara. Kewenangan
pengelolaan oleh
negara di bidang kehutanan seharusnya diberikankepada
kementerian
yang bidangnya meliputi urusan kehutanan. Terhadap
hutanadat,
wewenang negara dibatasi sejauh mana isi wewenang
yang tercakup
dalamhutan adat. Hutan adat (yang disebut pula hutan
marga, hutan
pertuanan, atausebutan lainnya) berada dalam cakupan
hak ulayat
karena berada dalam satukesatuan wilayah (ketunggalan
wilayah)
masyarakat hukum adat, yangperagaannya didasarkan atas
leluri
(traditio) yang hidup dalam suasana rakyat (in de
volksfeer) dan
mempunyai suatu badan perurusan pusat yang
berwibawadalam seluruh
lingkungan wilayahnya. Para warga suatu masyarakat
hukum
adatmempunyai hak membuka hutan ulayatnya untuk
dikuasai dan
diusahakantanahnya bagi pemenuhan kebutuhan pribadi
dan
keluarganya. Dengan demikian,tidak dimungkinkan hak
yang dipunyai
oleh warga masyarakat hukum adattersebut ditiadakan
atau dibekukan
sepanjang memenuhi syarat dalam cakupanpengertian
kesatuan
masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal18B ayat (2)
UUD Tahun 1945.
Setelah ditentukan pembedaan antara hutan negara, hutan
hak (baik
berupa hutan perseorangan maupun hutan adat yang
tercakup dalam hak
ulayat),maka tidak dimungkinkan hutan hak berada dalam
wilayah hutan
negara, atausebaliknya hutan negara dalam wilayah hutan
hak
sebagaimana dinyatakan Pasal 5 ayat (2) dan Penjelasan
Pasal 5 ayat (1)
Undang-Undang a quo, serta hutan ulayat dalam hutan
negara, sehingga
menjadi jelas status dan letak hutan ulayat dalam
kaitannya dengan
pengakuan dan perlindungan kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat
yang dijamin oleh Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945.
Dengan demikian,
hutan berdasarkan statusnya dibedakan menjadi dua yaitu
hutan negara
dan hutan hak. Adapun hutan hak dibedakan antara hutan
adat dan
hutan perseorangan/badan hukum. Ketiga status hutan
tersebut pada
tingkatan yangtertinggi seluruhnya dikuasai oleh negara.
Sebagai perbandingan, dalam hukum pertanahan,
hak “menguasai dari
Negara” tidak memberi kewenangan untuk menguasai
tanah secara fisik
dan menggunakannya seperti hak atas tanah, karena
sifatnya semata-
mata hukum publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
Undang-
Undang Nomor 5 Tahun1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok
Agraria (UUPA), yakni wewenang hak menguasai dari
negara digunakan
untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam
artikebangsaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam
masyarakat dan
negarahukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil,
dan makmur;
Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD Tahun 1945
merupakan
pengakuan dan perlindungan atas keberadaan hutan adat
dalam kesatuan
dengan wilayah hak ulayat suatu masyarakat hukum adat.
Hal demikian
merupakan konsekuensi pengakuan terhadap hukum adat
sebagai “living
law” yang sudahberlangsung sejak lama, dan diteruskan
sampai
sekarang. Oleh karena itu,menempatkan hutan adat
sebagai bagian dari
hutan negara merupakanpengabaian terhadap hak-hak
masyarakat
hukum adat;
Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, menurut
Mahkamah,
kata“negara” dalam Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan
bertentangan dengan
UUD 1945.Dengan demikian dalil para Pemohon beralasan
menurut
hukum;


B. Implikasi Putusan MK

Status hutanberdasarkanPasal 5 ayat (1) UU Kehutanan
terdiri dari hutan
Negara dan hutan hak. Namun dengan adanya Putusan
Mahkamah
Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 yang memutuskan
bahwa Pasal 5 ayat
(1) UUKehutanan bertentangan dengan UUD Tahun 1945
dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak
dimaknai ”Hutan
Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak
termasuk
hutan adat”,maka status hutan terdiridarihutannegara,
hutan hak, dan
hutan adat.


C. Evaluasi UU

Berdasarkan uraian diatas maka UU Kehutanan perlu
diganti mengingat
beberapa ketentuan UU Kehutanan beberapa pasalnya
tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat. Sehingga Pemerintah dan DPR
untuk
menindaklanjuti hasil Putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut.

Berdasarkan uraian diatas maka UU Kehutanan perlu diganti mengingat beberapa ketentuan UU Kehutanan beberapa pasalnya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sehingga Pemerintah dan DPR untuk menindaklanjuti hasil Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.

1. Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan bertentangan dengan
UUD 1945 dan
tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak
dimaknai
"Penguasaan hutan oleh Negara tetap wajib melindungi,
menghormati
dan memenuhi hak masyarakat hukum adat, sepanjang
kenyataannya
masih ada dan diakui, serta tidak bertentangan dengan
kepentingan
Nasional.";
2. Frasa "ditunjuk dan atau" dalam Pasal 1 angka 3 UU
kehutanan
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
memiliki kekuatan
hukum mengikat.
3. Kata "negara" dalam Pasal 1 angka 6 UU kehutanan
dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945, sehingga ketentuan Pasal
1 angka 6
tersebut menjadi "Hutan adat adalah hutan yang berada
dalam wilayah
masyarakat hukum adat".
4. Pasal 5 ayat (1) UU Kehutanan tidak mempunyai
kekuatan hukum
mengikat sepanjang tidak dimaknai "Hutan negara
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak termasuk hutan
adat".
5. Penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU kehutanan tidak memiliki
kekuatan
hukum mengikat.
6. Pasal 5 ayat (2) UU kehutanan bertentangan dengan
UUD 1945 dan
tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
7. Frasa "dan ayat (2)" dalam Pasal 5 ayat (3) tidak
mempunyai kekuatan
hukum mengikat sehingga Pasal 5 ayat (3) tersebut
menjadi "Pemerintah
menetapkan UU Kehutanan dimaksud pada ayat (1); dan
hutan adat
ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat
hukum adat
yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya".

Beberapa Pasal dan ayat UU Kehutanan dinyatakan
bertentangan dengan
UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat
sehingga ketentuan
dalam UU Kehutanan tidak utuh lagi dan perlu
ditindaklanjuti dengan
mengganti UU Kehutanan.