Wewenang Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final salah satunya untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Pengujian peraturan perundang-undangan merupakan suatu mekanisme yang dapat memastikan suatu produk perundang-undangan tidak bertentangan dengan norma hukum dasar dan tidak merugikan hak-hak warga Negara yang telah dijamin norma hukum dasar tersebut. Dua kasus pengujian UU Perbankan adalah Perkara No. 64/PUU-X/2012 terkait kerahasiaan bank dan Perkara No. 109/PUU-XII/2014 terkait dengan penghapusan frasa “bagi bank”. Adanya ketentuan kerahasiaan bank mengakibatkan seorang pemohon (isteri) dirugikan karena tidak mendapatkan harta bersama/gonogini (yang adil) dari perceraian dengan suaminya (karena ada iktikad tidak baik dari suami).
1. No.64/PUU-X/2012: Pasal 40 ayat (1) dan (2) UU Perbankan dengan batu uji Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD Tahun 1945. Amar Putusan: Mengabulkan untuk sebagian Pasal 40 ayat (1) dan Menolak permohonan pemohon untuk Pasal 40 ayat (2)
2. No. 109/PUU-XII/2014: Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan dengan batu uji Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945. Amar Putusan: Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya
1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal dan ayat dari UU Perbankan yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh MK?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal dan ayat UU Perbankan yang dinyatakan MK bertentangan dengan UUD Tahun 1945?
3. Apakah terjadi disharmonisasi norma dalam suatu UU jika suatu pasal, ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan?
Pengujian terhadap norma undang-undang adalah pengujian mengenai nilai konstitusionalitas undang-undang, baik dari segi formil ataupun materiil. Secara umum putusan Mahkamah Konstitusi terhadap pengujian konstitusional UU terdapat 3 (tiga) kategori. Pertama, Mahkamah Konstitusi menyatakan mengabulkan permohonan mengikat dalam hal permohonan beralasan menurut hukum dengan menyatakan materi muatan atau pembentukan Undang-Undang yang dimohonkan pengujian konstitusionalitas bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan oleh karenanya menyatakan pula tidak mempunyai kekuatan hukum. Kedua, Mahkamah Mahkamah Konstitusi menyatakan menolak permohonan Pemohon dalam hal permohonan tidak terbukti beralasan menurut hukum atau Ketiga, Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan tidak diterima dalam hal permohonan tidak memenuhi syarat formal pengajukan permohonan. Pasal 24C ayat (1) UUD Tahun 1945 menyatakan MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD Tahun 1945. Frasa “tingkat pertama dan terakhir” maksudnya tidak ada upaya hukum lagi yang ditempuh terhadap putusan yang telah diputuskan oleh MK atau bisa disebut telah berkekuatan hukum yang tetap (in kracht) hal ini sesuai dengan frasa selanjutnya yang menyatakan “yang putusannya bersifat final”. Ketentuan tersebut jelas berarti bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat umum (erga omnes) yang langsung dilaksanakan (self executing). Adapun Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan di hadapan sidang terbuka untuk umum, dapat mempunyai 3 (tiga) kekuatan, yaitu (1) kekuatan mengikat, (2) kekuatan pembuktian, dan (3) kekuatan eksekutorial.
1 Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 64/PUU-X/2012
a. Pendapat Hukum Mahkamah Konstitusi
Pasal 28G ayat (1) UUD Tahun 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”, dan Pasal 28H ayat (4) UUD Tahun 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun”. Pengertian harta benda yang di bawah kekuasaannya adalah termasuk harta bersama yang diperoleh bersama selama perkawinan, hal tersebut sebagaimana ditentukan dalam Pasal 35 ayat (1), Pasal 36 ayat (1), dan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. menurut Mahkamah, harta bersama (gono gini) yang diperoleh selama pernikahan, termasuk harta yang disimpan oleh suami dan/atau isteri di satu bank baik dalam bentuk tabungan, deposito dan produk perbankan lainnya merupakan harta benda milik bersama suami isteri yang dilindungi menurut konstitusi. Permasalahan yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah adanya larangan bagi bank untuk memberi keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan, khususnya mengenai simpanan yang merupakan harta bersama menurut UU Perkawinan. bahwa setiap nasabah harus dilindungi kerahasiaan datanya oleh bank, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan, akan tetapi pasal a quo juga memberikan pengecualian bahwa data nasabah juga dapat diakses untuk:
kepentingan perpajakan (Pasal 41),
penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada
Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan
Piutang Negara (Pasal 41A),
kepentingan peradilan dalam perkara pidana (Pasal 42),
perkara perdata antar bank dengan nasabahnya (Pasal 43),
kepentingan tukar-menukar informasi antar bank (Pasal
44), dan
atas permintaan, persetujuan, atau kuasa dari nasabah
penyimpan yang dibuat secara tertulis (Pasal 44A).
Berdasarkan hal tersebut, menurut Mahkamah, akan lebih memenuhi rasa keadilan apabila data nasabah juga harus dibuka untuk kepentingan peradilan perdata terkait dengan harta bersama, karena harta bersama adalah harta milik bersama suami dan isteri, sehingga suami dan/atau isteri harus mendapat perlindungan atas haknya tersebut dan tidak boleh diambil secara sewenang-wenang oleh salah satu pihak. Hal demikian dijamin oleh Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD Tahun 1945. Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah memandang perlu ada penafsiran yang pasti terkait ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan, agar terdapat kepastian hukum yang adil dalam pelaksanaan dari pasal a quo, sehingga setiap isteri dan/atau suami termasuk Pemohon memperoleh jaminan dan kepastian hukum atas informasi mengenai harta bersama dalam perkawinan yang disimpan di bank. Ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan harus dimaknai “Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A serta untuk kepentingan peradilan mengenai harta bersama dalam perkara perceraian.” mengenai ketentuan Pasal 40 ayat (2) UU Perbankan yang didalilkan bertentangan dengan UUD 1945, menurut Mahkamah, ketentuan tersebut adalah untuk pihak terafiliasi bukan untuk perorangan warga negara. Apabila ketentuan tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 maka pihak terafiliasi dapat mengetahui data nasabah yang seharusnya dirahasiakan.
b. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Terkait putusan MK dengan Perkara No. 64/PUU-X/2012, pengecualian yang diatur dalam Pasal 40, menyebutkan bahwa Bank wajib merahasikan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam pasal 41, 41A, 42, 43, 44 dan 44A. Hal yang paling penting untuk diingat bahwa selain pengecualian diatas ada pengecualian lain terhadap rahasia bank jika ada persetujuan dari nasabah, Undang-Undang Perbankan tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa rahasia bank tidak berlaku bila ada persetujuan nasabah kepada bank untuk mengungkapkannya. Dengan keputusan MK No. 64/PUU-X/2012, pengecualian ditambah untuk perkara yang terkait dengan kepentingan peradilan mengenai harta bersama dalam perkara perceraian. Jadi implikasi putusan MK yang menambahkan frasa “serta untuk kepentingan peradilan mengenai harta bersama dalam perkara perceraian” diatas memberikan dasar hukum bagi pihak suami atau istri untuk meminta bank membuka informasi tentang rekening nasabahnya untuk kepentingan pembuktian di pengadilan.
2. Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 109/PUU-XII/2014
a. Pendapat Hukum Mahkamah Konstitusi
Mahkamah sependapat dengan dalil Pemohon bahwa sepanjang frasa “bagi bank” Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan mengakibatkan Bank DKI tidak mau taat atau patuh pada perintah hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan peraturan perundang-undangan yang berlaku bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945. menurut Mahkamah permohonan Pemohon mengenai frasa “Bagi bank” yang tercantum dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan beralasan menurut hukum. Sehingga Mahkamah mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya. Frasa “Bagi bank” yang tercantum dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
b. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan nomor 109/PUU-XII/2014 menyatakan bahwa frasa “bagi bank” dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945, oleh karena itu Pasal 49 ayat (2) huruf b tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Berdasarkan uraian kronologis yang disampaikan Pemohon. Bank DKI tidak mau melaksanakan perintah PN Jakarta Pusat karena Bank DKI hanya tunduk pada perintah atau ketentuan dari UU Perbankan saja akibat dari frasa “bagi bank”, dengan dihapusnya frasa “bagi bank” maka Bank DKI harus melaksanakan apa yang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan diluar UU Perbankan. Bank DKI maupun bank lainnya tidak dapat lagi beralasan “tidak dapat melaksanakan perintah pengadilan karena diamanatkan oleh UU Perbankan”. Sehingga frasa “bagi bank” Pasal 49 ayat (2) huruf b Perbankan untuk dihapus.
Pada perkara No. 64/PUU-X/2012, menurut Mahkamah perlu ada penafsiran yang pasti terkait ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan agar data nasabah pada bank tetap terlindungi kerahasiaannya, tetapi juga dapat melindungi hak-hak suami dan/atau istri terhadap harta bersama yang disimpan dibank, maka ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan harus dimaknai “Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasl 43, Pasal 44 dan Pasal 44A serta untuk kepentingan peradilan mengenai harta bersama dalam perkara perceraian”. Pada perkara No. 109/PUU-XII/2014, menyatakan frasa “bagi bank” Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Jadi untuk menjamin kepastian hukum, jaminan hukum dan perlindungan hukum yang adil bagi nasabah maka frasa “bagi bank” perlu dihapus. Karena frasa “bagi bank” sering dijadikan alasan oleh bank, bahwa bank akan melakukan atau melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan sesuai dengan ketentuan UU Perbankan, diluar ketentuan UU Perbankan pihak bank bisa menolak untuk melakukan atau melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan, termasuk tidak mau melaksanakan perintah atau keputusan pengadilan. Yang sejatinya bank harus mematuhi semua peraturan perundang-undangan yang berlaku di Republik Indonesia.
Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan, akan tetapi pasal a quo juga memberikan pengecualian bahwa data nasabah juga dapat diakses untuk:
kepentingan perpajakan (Pasal 41),
penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada
Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan
Piutang Negara (Pasal 41A),
kepentingan peradilan dalam perkara pidana (Pasal 42),
perkara perdata antar bank dengan nasabahnya (Pasal 43),
kepentingan tukar-menukar informasi antar bank (Pasal
44), dan
atas permintaan, persetujuan, atau kuasa dari nasabah
penyimpan yang dibuat secara tertulis (Pasal 44A).
• Kepentingan peradilan mengenai harta bersama dalam perkara perceraian.
Terkait dengan Perkara No. 109/PUU-XII/2014, Pasal yang diuji adalah Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan, dan batu ujinya Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945, dengan amar putusan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Hakim memutuskan bahwa Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan juga merupakan konstitusional bersyarat, frasa “bagi bank” dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Keputusan Mahkamah Konstitsi tersebut harus ditindaklanjuti, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 ayat (1) UU P3 bahwa materi muatan yang harus diatur dengan UU antara lain tindak lanjut atas putusan MK. Oleh karena itu perlu segera mengajukan perubahan terhadap UU Perbankan. Selain itu Keputusan Mahkamah Konstitusi juga dapat dijadikan dasar-dasar pemikiran dalam menyusun suatu Naskah Akademik terkait dengan perubahan UU Perbankan.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430