Dalam konsiderans menimbang Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU 29 Tahun 2004) disebutkan bahwa: (1) kesehatan sebagai hak asasi manusia harus diwujudkan dalam bentuk pemberian berbagai upaya kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat; (2) dalam penyelenggaraan upaya kesehatan harus dilakukan oleh dokter dan dokter gigi yang memiliki etik dan moral yang tinggi, keahlian dan kewenangan yang secara terus-menerus harus ditingkatkan mutunya melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan, sertifikasi, registrasi, lisensi, serta pembinaan, pengawasan, dan pemantauan agar penyelenggaraan praktik kedokteran sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; (3) untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada penerima pelayanan kesehatan, dokter, dan dokter gigi, diperlukan pengaturan mengenai penyelenggaraan praktik kedokteran.
Hak-hak asasi manusia, serta hak dan kewajiban warga negara merupakan materi muatan yang diatur dalam jenis hirarki “Undang-Undang”. Untuk menegakkan dan melindungi HAM, pelaksanaannya dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan (Ps.28I ayat (5)).
UU 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran merupakan salah satu produk berkonotasi dengan istilah pelayanan kesehatan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 34 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Pasal 28H ayat (1) menyebutkan bahwa Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan medapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Begitu juga dengan Pasal 34 ayat (3) yang menyebutkan bahwa Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak, serta ayat (4) yang menyebutkan bahwa Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam Undang-undang.
Selain UU 29 Tahun 2004, pengaturan mengenai pelayanan kesehatan tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, setiap kegiatan dan upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, perlindungan, dan berkelanjutan yang sangat penting artinya bagi pembentukan sumber daya manusia Indonesia, peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa, serta pembangunan nasional.
Di sisi lain, kurangnya pemahaman komunitas medik (dokter, perawat, dan rumah sakit) seputar aspek-aspek hukum profesi mereka juga merupakan penyebab timbulnya sengketa medik. Hal ini dapat dicegah jika komunitas medik (dan juga masyarakat) memahami batasan hak dan tanggung jawab masing-masing ketika memberikan atau mendapatkan layanan medik. Berbagai persoalan di atas mendorong diajukannya permohonan judicial review UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran melalui putusan Mahkamah Konstitusi Pkr.No. 4/PUU-V/2007 dan Pkr.No. 40/PUU-X/2012.
Meski putusan Mahkamah Konstitusi bisa langsung dilaksanakan tanpa harus menunggu perubahan undang-undang, namun untuk menghindari kekacauan hukum dalam masyarakat akibat tidak terkompilasinya putusan MK dalam satu naskah yang utuh maka Pemerintah dan DPR perlu menindaklanjuti dengan membuat usulan perubahan atas UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran sebagaimana telah diputuskan oleh MK.
1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal dan ayat suatu UU yang dinyatakan MK sebagai konstitusionalitas/inkonstitusionalitas bersyarat?
3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu UU jika suatu pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan?
KONSTITUSIONALITAS UNDANG-UNDANG
Pengujian undang-undang terhadap UUD NRI 1945 yang menjadi kewenangan MK merupakan wujud prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945. Kewenangan pengujian undang-undang menimbulkan sebuah kewenangan yang mutatis mutandis (dengan sendirinya) ada, yaitu kewenangan menafsirkan konstitusi. Apabila dalam konstitusi tidak terdapat ketentuan yang ekplisit mengenai kewenangan menafsir konstitusi kepada lembaga negara yang diberikan kewenangan constitutional review, maka harus dipahami bahwa kewenangan menafsirkan konstitusi menyertai kewenangan constitutional review tersebut. Oleh sebab itu, sering dinyatakan bahwa Constitutional Court itu merupakan “the guardian of constitution and the sole interpreting of constitution”, disebut sebagai penjaga konstitusi berdasarkan kewenangan dalam memutus apakah sebuah produk perundang-undangan telah sesuai dengan konstitusi atau tidak.
Kewenangan menafsirkan itu sesungguhnya timbul dari sebuah tafsir Pasal 24C UUD NRI 1945 bahwa “MK menguji undang-undang terhadap UUD” sebagai ketentuan pemberian kewenangan constitutional review kepada MK, ketentuan tersebut tidak mengandung kewenangan MK untuk melakukan penafsiran terhadap konstitusi, namun sangatlah tidak mungkin dapat melakukan penilaian pertentangan norma sebuah undang-undang apabila tidak menggunakan penafsiran konstitusi, dalam hal ini MK sebagai penafsir sah terhadap undang-undang dasar atau konstitusi (the legitimate interpreter of the constitution).
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945, salah satu kewenangan dari Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Pengujian undang-undang terhadap UUD NRI 1945 yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan wujud dari prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945.
Pengujian konstitusionalitas undang-undang adalah pengujian mengenai nilai konstitusionalitas undang-undang, baik dari segi formil maupun materiil. Pengujian dari segi formil (formele toetsingsrecht) adalah wewenang untuk menilai apakah suatu produk legislatif dibuat sesuai dengan prosedur ataukah tidak, serta apakah suatu kekuasaan berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Sedangkan pengujian materiil (meteriele toetsingsrecht) adalah wewenang untuk menyelidiki dan menilai apakah suatu peraturan perundang-undangan bertentangan atau tidak dengan peraturan yang lebih tinggi.
Kekuasaan Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang terhadap UUD NRI 1945 merupakan konsekuensi dari konsepsi supremasi konstitusi yang dianut oleh Indonesia pasca amandemen UUD NRI 1945. Ada 3 (tiga) ciri utama yang menandai prinsip supremasi konstitusi, yaitu:
1. pembedaan antara norma hukum konstitusi dan norma hukum lainnya;
2. keterikatan pembuat undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar; dan
3. adanya satu lembaga yang memiliki kewenangan untuk menguji konstitusionalitas undang-undang dan tindakan hukum pemerintah.
Selain itu, keberadaan Mahkamah Konstitusi juga telah menciptakan pembagian kekuasaan atau pemisahan kekuasaan yang memungkinkan adanya proses saling mengawasi dan saling mengimbangi di antara cabang-cabang kekuasaan negara yang ada atau lazim disebut dengan mekanisme checks and balances. Hal itu tampak terutama dari salah satu kewenangan yang dilimpahkan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji undang-undang terhadap UUD NRI 1945.
Pemberian wewenang menguji undang-undang terhadap UUD NRI 1945 kepada Mahkamah Konstitusi juga dinilai sesuai dengan paham konstutisionalisme, dimana Undang-Undang Dasar kedudukannya adalah sebagai bentuk peraturan yang tertinggi. Hakim Mahkamah Konstitusi harus memiliki wewenang untuk membatalkan setiap tindakan Presiden dan juga setiap undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Selain itu, judicial review merupakan proses judicialization of politic terhadap produk legislatif. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa undang-undang merupakan produk politik yang sering kali lebih mengedepankan kepentingan politik suara mayoritas dan cenderung mengabaikan aspek kebenaran dalam proses pengambilan keputusan.
Dengan demikian, esensi dari produk putusan Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang terhadap UUD NRI 1945 ditempatkan dalam bingkai mekanisme check and balances antara lembaga negara. Hubungan untuk saling mengontrol ini, pada akhirnya dimaksudkan untuk melahirkan suatu produk hukum yang adil dan betul-betul berorientasi pada kepentingan rakyat. Sehingga, pengujian undang-undang terhadap UUD NRI 1945 dapat juga dilihat sebagai bagian dari koreksi terhadap produk yang dihasilkan oleh DPR RI dan Presiden.
B.PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI FINAL DAN MENGIKAT
Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Dengan demikian, terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tidak dapat dilakukan upaya hukum dan putusan tersebut langsung mengikat sebagai hukum sejak diucapkan di persidangan. Selain itu, berdasarkan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, terhadap materi muatan undang-undang yang telah diuji oleh Mahkamah Konstitusi tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
Putusan Mahkamah Konstitusi dengan amar yang menyatakan bagian undang-undang, pasal, atau ayat tertentu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat maka putusan tersebut telah mempunyai kekuatan mengikat sejak diumumkan dalam sidang terbuka untuk umum. Makna final juga dapat diartikan bahwa putusan yang diambil dapat menjadi solusi terhadap masalah konstitusi yang dihadapi meskipun hanya bersifat sementara (eenmalig) yang kemudian akan diambil-alih oleh pembuat undang-undang.
Amar putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan satu permohonan pengujian undang-undang akan menyatakan satu pasal, ayat, atau bagian dari undang-undang, dan bahkan undang-undang secara keseluruhan bertentangan dengan UUD NRI 1945. Sebagai konsekuensinya maka undang-undang, pasal, ayat atau bagian dari undang-undang yang diuji tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat. Bunyi putusan demikian sesungguhnya mengandung arti bahwa ketentuan norma yang termuat dalam satu undang-undang dinyatakan batal (null and void) dan tidak berlaku lagi.
Muatan norma yang dikandung dalam pasal, ayat, dan bagian dari undang-undang tersebut tidak lagi menuntut kepatuhan dan tidak mempunyai daya sanksi. Hal itu juga berarti bahwa apa yang tadinya dinyatakan sebagai satu perbuatan yang dilarang dan dihukum, dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan satu pasal, ayat, atau bagian dari undang-undang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat lagi, maka perbuatan yang tadinya dilarang menjadi tidak terlarang lagi. Putusan Mahkamah Konstitusi yang demikian dalam kenyataannya telah mengubah hukum yang berlaku dan menyatakan lahirnya hukum yang baru, dengan menyatakan bahwa hukum yang lama sebagai muatan materi undang-undang tertentu dinyatakan tidak mempunyai kekuatan lagi sebagai hukum. Dalam kenyataannya, hakim Mahkamah Konstitusi dengan putusan tersebut, sesungguhnya diberikan kekuasaan membentuk hukum untuk menggantikan hukum yang lama, yang dibuat oleh pembuat undang-undang dan oleh konstitusi secara khusus diberi wewenang untuk itu.
Oleh karena itu, apabila Pemerintah atau lembaga negara lain tidak mematuhi putusan tersebut dan justru masih tetap memberlakukan undang-undang yang telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, hal tersebut merupakan tindakan yang pengawasannya ada dalam mekanisme hukum dan tata negara itu sendiri. Adapun perbuatan yang dilakukan atas dasar undang-undang yang telah dinyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat adalah perbuatan melawan hukum dan demi hukum batal sejak semula (ab initio).
C.AKIBAT HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Putusan dalam peradilan merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat negara berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan para pihak kepadanya. Sebagai perbuatan hukum yang akan menyelesaikan sengketa yang dihadapkan kepadanya, maka putusan hakim tersebut merupakan tindakan negara di mana kewenangannya dilimpahkan kepada hakim baik berdasarkan UUD NRI 1945 maupun undang-undang.
Dari sudut pandang hukum tata negara, putusan Mahkamah Konstitusi termasuk dalam keputusan negara yang mengandung norma hukum sama halnya dengan putusan pembentuk undang-undang yang bersifat pengaturan (regeling). Putusan Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan suatu undang-undang atau materi muatan dalam undang-undang, sedangkan pembentuk undang-undang menciptakan norma hukum dalam bentuk materi muatan dalam suatu undang-undang.
Putusan Mahkamah Konstitusi terutama dalam pengujian undang-undang kebanyakan jenisnya adalah bersifat declaratoir constitutief. Artinya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menciptakan atau meniadakan satu keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru sebagai negative legislature. Hal lain yang perlu dicermati lebih lanjut adalah adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) maupun inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Varian putusan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan putusan yang menyatakan bahwa suatu ketentuan undang-undang tidak bertentangan dengan konstitusi dengan memberikan persyaratan pemaknaan dan keharusan kepada lembaga negara dalam pelaksanaan suatu ketentuan undang-undang untuk memperhatikan penafsiran Mahkamah Konstitusi atas konstitusionalitas ketentuan undang-undang yang sudah diuji tersebut. Dengan demikian, terdapat penafsiran sendiri dari Mahkamah Konstitusi agar suatu norma undang-undang tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945.
Putusan Mahkamah Konsitusi sejak diucapkan di hadapan sidang terbuka untuk umum dapat mempunyai 3 (tiga) kekuatan, yaitu:
1. Kekuatan mengikat
Kekuatan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi berbeda dengan putusan pengadilan biasa, tidak hanya meliputi pihak-pihak berperkara (interpartes), yaitu pemohon, pemerintah, DPR/DPD, ataupun pihak terkait yang diizinkan memasuki proses perkara, tetapi juga putusan tersebut mengikat bagi semua orang, lembaga negara, dan badan hukum dalam wilayah republik Indonesia.
Putusan tersebut berlaku sebagai hukum sebagaimana hukum diciptakan pembuat undang-undang. Dengan demikian, Hakim Mahkamah Konstitusi dikatakan sebagai negative lagislator yang putusannya bersifat erga omnes, yang ditujukan pada semua orang.
2. Kekuatan pembuktian
Dalam perkara konstitusi yang putusannya bersifat erga omnes, maka permohonan pengujian yang menyangkut materi yang sama yang sudah pernah diputus tidak dapat lagi diajukan untuk diuji oleh siapapun. Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah berkekuatan hukum tetap demikian dapat digunakan sebagai alat bukti dengan kekuatan pasti secara positif bahwa apa yang diputus oleh hakim itu dianggap telah benar. Selain itu, pembuktian sebaliknya tidak diperkenankan.
3. Kekuatan eksekutorial
Putusan Mahkamah Konstitusi berlaku sebagai undang-undang dan tidak memerlukan perubahan yang harus dilakukan dengan amandemen atas undang-undang yang bagian tertentu dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Eksekusi putusan Mahkamah Konstitusi telah dianggap terwujud dengan pengumuman putusan tersebut dalam Berita Negara sebagaimana diperintahkan dalam Pasal 57 ayat (3) UU Mahkamah Konstitusi.
Akibat hukum yang timbul dari satu putusan hakim jika menyangkut pengujian terhadap undang-undang diatur dalam Pasal 58 UU Mahkamah Konstitusi, yang pada intinya menyatakan undang-undang yang diuji tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD NRI 1945. Ketentuan ini juga berarti bahwa putusan hakim Mahkamah Konstitusi yang menyatakan satu undang-undang bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat tidak boleh berlaku surut.
Pada dasarnya, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 4/PUU-V/2007 menghilangkan sanksi pidana pada:
1. Pasal 75 Ayat (1), yang menyatakan “Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah)”, sepanjang mengenai kata-kata “penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau”;
2. Pasal 76 yang menyatakan ”Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah)”, sepanjang mengenai kata-kata “penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau”;
3. Pasal 79 yang menyatakan ”Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), sepanjang mengenai kata-kata “kurungan paling lama 1 (satu)tahun atau”;
4. Pasal 79 huruf c yang menyatakan ”Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah):..... (c) setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e”, sepanjang mengenai kata-kata “atau huruf e”.
Pasal 51 menyatakan:
"Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban :
a. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;
b. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahiian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;
c. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia;
d. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
e. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi.
Pada dasarnya, Putusan Mahkamah Konstitusi 40/PUU-X/2012 menghilangkan larangan pada:
1) Pasal 73 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik,” sepanjang tidak dimaknai, “Setiap orang dilarangmenggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanankepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yangbersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik, kecuali tukang gigi yang mendapat izin praktik dari pemerintah”
2) Pasal 78yang menyatakan bahwa“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana denganpidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda palingbanyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah),” sepanjang tidak dimaknai,“Setiap orang yang dengan sengajamenggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yangbersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izinpraktik, kecuali tukang gigi yang mendapat izin praktik dari Pemerintahsebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah)”.
Dalam kaitannya dengan praktik terhadap putusan Mahkamah Konstitusi, DPR RI sebagai pembentuk undang-undang bersama dengan Presiden memiliki peran yang krusial terhadap putusan yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Peran DPR RI dan Presiden menjadi sangat penting dalam merespon putusan Mahkamah Konstitusi, karena putusannya yang bersifat final dan mengikat wajib dijadikan rujukan dalam proses pembentukan undang-undang yang menjadi kewenangan DPR RI. Selain itu, merujuk pada Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan “materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang salah satunya berisi tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi.” Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum. Oleh karena itu, diperlukan keseriusan dan kecermatan untuk menangkap maksud atau makna norma suatu undang-undang yang telah diuji oleh Mahkamah Konstitusi dalam melakukan perubahan terhadap materi atau substansi undang-undang. Hal tersebut perlu dilakukan agar norma suatu undang-undang sesuai dengan jiwa yang terkandung dalam konstitusi dan tidak lagi bertentangan dengan UUD 1945.
Substansi atau norma undang-undang yang tidak bertentangan dengan UUD 1945 juga sesuai dengan teori Hans Kelsen yang menyatakan suatu norma hukum negara selalu berjenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan), yakni norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi dan begitu seterusnya sampai pada suatu norma yang tertinggi yang disebut norma dasar. Dalam konteks Indonesia, UUD 1945 merupakan peraturan perundang-undangan tertinggi yang wajib menjadi acuan bagi peraturan perundang-undangan di bawahnya. Selain itu, pada hakikatnya suatu undang-undang dibuat untuk melaksanakan UUD 1945.
Dari 2 (dua) putusan Mahkamah Konstitusi yang menguji Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, terdapat potensi kekosongan hukum, atau setidaknya ketidakjelasan pengaturan akibat perumusan norma baru yang oleh Mahkamah Konstitusi disebut sebagai “putusan bersyarat” baik conditionally constitutional maupun conditionally unconstitutional. Hal tersebut diantaranya adalah:
1. Menghilangkan pidana penjara;
Dengan putusan MK No. 4/PUU-V/2007,maka Pasal 75 Ayat (1), yang menyatakan “Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah)”, ke depan perlu direvisi menjadi “Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Ayat (1) dipidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah)”;
Begitu juga Pasal 76 yang menyatakan ”Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah)”, ke depan perlu direvisi menjadi ”Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah)”,”;
2. Menghilangkan pidana kurungan
Dengan putusan MK No. 4/PUU-V/2007,makaPasal 79 yang menyatakan ”Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)”,ke depan perlu direvisi menjadi ”Dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)”…….
3. Menghilangkan Sanksi Untuk Kewajiban menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu.
Dengan putusan MK No. 4/PUU-V/2007,makaPasal 79 huruf c yang menyatakan ”Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah):..... (c) setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e”, ke depan perlu direvisi menjadi”Dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah):..... (c) setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, atau huruf d”.
Kewajiban Dokter dan Dokter Gigi untuk menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigisebagaimana disebutkan dalam Pasal 51 e, tidak bisa lagi diberikan sanksi.
4. Pengecualian Profesi Tukang Gigi
Akibat Putusan MK Pkr.No. 40/PUU-X/2012maka pengertian “setiap orang”dalamPasal 73 ayat (2) dikecualikan terhadap tukang gigi yang mendapat izin praktik dari pemerintah. Dengan demikian, perlu ada revisi atas Pasal 73 ayat (2), menjadi:“Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik, kecuali tukang gigi yang mendapat izin praktik dari pemerintah”.
Konsekuensi atas perubahan tersebut maka terjadi perubahan pula pada Pasal 78 menjadi:“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik, kecuali tukang gigi yang mendapat izin praktik dari Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah)”.
Pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 (Judicial Review) merupakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menyelidiki dan menilai apakah materi suatu undang-undang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu, atau bahkan apakah peraturan perundang-undangan tersebut terdapat cacat formal dalam pembentukannya. Pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 merupakan wujud dari prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam konsiderans menimbang Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran disebutkan bahwa: (1) kesehatan sebagai hak asasi manusia harus diwujudkan dalam bentuk pemberian berbagai upaya kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat; (2) dalam penyelenggaraan upaya kesehatan harus dilakukan oleh dokter dan dokter gigi yang memiliki etik dan moral yang tinggi, keahlian dan kewenangan yang secara terus-menerus harus ditingkatkan mutunya melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan, sertifikasi, registrasi, lisensi, serta pembinaan, pengawasan, dan pemantauan agar penyelenggaraan praktik kedokteran sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; (3) untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada penerima pelayanan kesehatan, dokter, dan dokter gigi, diperlukan pengaturan mengenai penyelenggaraan praktik kedokteran.
Hak-hak asasi manusia, serta hak dan kewajiban warga negara merupakan materi muatan yang diatur dalam jenis hirarki “Undang-Undang”. Untuk menegakkan dan melindungi HAM, pelaksanaannya dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan (Ps.28I ayat (5)).
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran merupakan salah satu produk berkonotasi dengan istilah pelayanan kesehatan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 28 H ayat (1) dan Pasal 34 ayat (3) UU NRI 1945. Pasal 28H ayat (1) menyebutkan bahwa Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan medapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Begitu juga dengan Pasal 34 ayat (3) yang menyebutkan bahwa Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak, serta ayat (4) yang menyebutkan bahwa Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam Undang-undang.
Selain UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, pengaturan mengenai pelayanan kesehatan tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, yaitu UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (yang menggantikan UU No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan), dan bahkan hal ini bisa terkait dengan UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No.25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, UU No.11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial (yang menggantikan UU No. 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan pokok Kesejahteraan Sosial), UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Economic, Social And Cultural Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya/ EKOSOB), UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, serta UU No.43 Tahun 2009 tentang Kearsipan. Namun demikian, akibat begitu banyak peraturan yang terkait dengan hal ini, seringkali justru terjadi benturan antara satu peraturan dengan peraturan yang lain, yang kemudian mengakibatkan pada tataran implementasi menjadi tidak efektif.
Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, setiap kegiatan dan upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, perlindungan, dan berkelanjutan yang sangat penting artinya bagi pembentukan sumber daya manusia Indonesia, peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa, serta pembangunan nasional.
Upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya pada mulanya berupa upaya penyembuhan penyakit, kemudian secara berangsur-angsur berkembang ke arah keterpaduan upaya kesehatan untuk seluruh masyarakat dengan mengikutsertakan masyarakat secara luas yang mencakup upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang bersifat menyeluruh terpadu dan berkesinambungan.
Tenaga medik (terutama Dokter) sebagai salah satu komponen utama pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting karena terkait langsung dengan pemberian pelayanan kesehatan dan mutu pelayanan yang diberikan. Pada dasarnya landasan utama bagi dokter dan dokter gigi untuk dapat melakukan tindakan medik terhadap orang lain adalah ilmu pengetahuan, teknologi, dan kompetensi yang dimiliki, yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan. Pengetahuan yang dimilikinya harus terus menerus dipertahankan dan ditingkatkan sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri.
Tenaga medik (terutama Dokter) dengan perangkat keilmuan yang dimilikinya mempunyai karakteristik yang khas. Kekhasannya ini terlihat dari pembenaran yang diberikan oleh hukum yaitu diperkenankannya melakukan tindakan medik terhadap tubuh manusia dalam upaya memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan. Tindakan medik terhadap tubuh manusia yang dilakukan bukan oleh dokter atau dokter gigi dapat digolongkan sebagai tindak pidana. Berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap tenaga medik (khususnya dokter), maraknya tuntutan hukum yang diajukan masyarakat dewasa ini seringkali diidentikkan dengan kegagalan upaya penyembuhan yang dilakukan dokter.
Di sisi lain, kurangnya pemahaman komunitas medik (dokter, perawat, dan rumah sakit) seputar aspek-aspek hukum profesi mereka juga merupakan penyebab timbulnya sengketa medik. Hal ini dapat dicegah jika komunitas medik (dan juga masyarakat) memahami batasan hak dan tanggung jawab masing-masing ketika memberikan atau mendapatkan layanan medik. Berbagai persoalan di atas mendorong diajukannya permohonan judicial review UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran melalui putusan Mahkamah Konstitusi Pkr.No. 4/PUU-V/2007 dan Pkr.No. 40/PUU-X/2012.
Secara sederhana, hasil Putusan MK terkait dengan UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran melalui putusan Mahkamah Konstitusi Pkr.No. 4/PUU-V/2007 dan Pkr.No. 40/PUU-X/2012dapat dianalisis secara umum dengan menggambarkan dalam tabel berikut:
No. Putusan MK Pasal yang diuji Isi Ketentuan Batu Uji
Isi Ketentuan Amar Putusan MK
1 Pkr.No. 4/PUU-V/2007
Pasal 75 Ayat (1) “Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah)”; Pasal 28G ayat (1) UUD NRI 1945 “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.” Unconstitutional.
Pasal 76 sepanjang mengenai kata-kata “penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau” ”Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah)”; Pasal 28G ayat (1) UUD NRI 1945 “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.” Unconstitutional.
Pasal 79 sepanjang mengenai kata-kata “kurungan paling lama 1 (satu)tahun atau” ”Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)……. Pasal 28G ayat (1) UUD NRI 1945 “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.” Unconstitutional.
Pasal 79 huruf c sepanjang mengenai kata-kata
“atau huruf e” ”Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah):..... (c) setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e”
Pasal 51 menyatakan:
"Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban :
a. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;
b. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahiian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;
c. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia;
d. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
e. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi. Pasal 28 D ayat (2) UUD NRI 1945 “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” Unconstitutional.
Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”
Pasal 28 C ayat (1)UUD NRI 1945 Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas
hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
2 Pkr.No. 40/PUU-X/2012
Pasal 73 ayat (2) “Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik.” Pasal 27 ayat (2) UUD NRI 1945 “Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Conditionally Unconstitutional.
Sepanjang tidak dimaknai, “Setiap orang dilarang
menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang
bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik, kecuali tukang gigi yang mendapat izin praktik dari pemerintah”;
Pasal 28 D ayat (2) UUD NRI 1945 “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.”
Pasal 78 “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling
banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).” Pasal 27 ayat (2) UUD NRI 1945 “Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Conditionally Unconstitutional.
Sepanjang tidak dimaknai,
“Setiap orang yang dengan sengaja
menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang
bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin
praktik, kecuali tukang gigi yang mendapat izin praktik dari Pemerintah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah)”;
Pasal 28 D ayat (2) UUD NRI 1945 “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.”
Pasal 27 ayat (1) UUD NRI 1945 Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Meski putusan Mahkamah Konstitusi bisa langsung dilaksanakan tanpa harus menunggu perubahan undang-undang, namun untuk menghindari kekacauan hukum dalam masyarakat akibat tidak terkompilasinya putusan MK dalam satu naskah yang utuh maka Pemerintah dan DPR perlu menindaklanjuti dengan membuat usulan perubahan atas UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran sebagaimana telah diputuskan oleh MK.
Memperhatikan beberapa simpulan di atas maka terdapat beberapa hal yang direkomendasikan, yaitu:
1. Mengusulkan revisi rumusan Pasal 75 Ayat (1), yang menyatakan “Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah)”, menjadi “Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Ayat (1) dipidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah)”;
2. Mengusulkan revisi rumusan Pasal 76 yang menyatakan ”Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah)”, menjadi”Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah)”,”;
3. Mengusulkan revisi rumusan Pasal 79 yang menyatakan ”Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)”,menjadi ”Dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)”…….
4. Mengusulkan revisi rumusan Pasal 79 huruf c yang menyatakan ”Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah):..... (c) setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e”, menjadi”Dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah):..... (c) setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, atau huruf d”.
5. Mengusulkan revisi rumusan Pasal 73 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik,”menjadi “Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik, kecuali tukang gigi yang mendapat izin praktik dari pemerintah”.
6. Mengusulkan revisi rumusan Pasal 78 yang menyatakan bahwa “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah)”, menjadi: “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik, kecuali tukang gigi yang mendapat izin praktik dari Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah)”.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430