Analisis dan Evaluasi UU Berdasarkan Putusan MK


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-evaluasi.phtml on line 66

Warning: Undefined property: stdClass::$resume in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-evaluasi.phtml on line 80

Deprecated: nl2br(): Passing null to parameter #1 ($string) of type string is deprecated in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-evaluasi.phtml on line 80
Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi / 01-12-2018

Keimigrasian merupakan bagian dari perwujudan pelaksanaan penegakan kedaulatan atas wilayah Indonesia dalam rangka menjaga ketertiban kehidupan berbangsa dan bernegara menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945). Perkembangan global dewasa ini mendorong meningkatnya mobilitas penduduk dunia yang menimbulkan berbagai dampak yang menguntungkan dan merugikan bagi kehidupan bangsa dan negara Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (UU Keimigrasian) menjamin kepastian hukum yang sejalan dengan penghormatan, pelindungan, dan pemajuan hak asasi manusia. Dalam perjalanannya, ada 2 (dua) permohonan uji materiil yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU Keimigrasian yaitu Perkara Nomor 40/PUU-IX/2011 dan Perkara Nomor 64/PUU-IX/2011.

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal dan ayat suatu UU yang dinyatakan MK sebagai inkonstitusionalitas/inkonstitusionalitas bersyarat?
3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu UU jika suatu pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan?

A. Konstitusionalitas Undang-Undang
Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 yang menjadi kewenangan MK merupakan wujud prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Kewenangan pengujian undang-undang menimbulkan sebuah kewenangan yang mutatis mutandis (dengan sendirinya) ada, yaitu kewenangan menafsirkan konstitusi. Apabila dalam konstitusi tidak terdapat ketentuan yang ekplisit mengenai kewenangan menafsir konstitusi kepada lembaga negara yang diberikan kewenangan constitutional review, maka harus dipahami bahwa kewenangan menafsirkan konstitusi menyertai kewenangan constitutional review tersebut. Oleh sebab itu, sering dinyatakan bahwa Constitutional Court itu merupakan “the guardian of constitution and the sole interpreting of constitution”, disebut sebagai penjaga konstitusi berdasarkan kewenangan dalam memutus apakah sebuah produk perundang-undangan telah sesuai dengan konstitusi atau tidak.

B. Putusan Mahkamah Konstitusi Bersifat Final dan Mengikat
Mahkamah Konstitusi yang diadopsi dalam UUD Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD Tahun 1945. Melalui fungsi ini maka Mahkamah Konstitusi dapat menutupi segala kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam UUD Tahun 1945.
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya maka Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Tahun 1945; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C UUD Tahun 1945, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 29 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

C. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan dalam peradilan merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat negara berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan para pihak kepadanya. Sebagai perbuatan hukum yang akan menyelesaikan sengketa yang dihadapkan kepadanya, maka putusan hakim tersebut merupakan tindakan negara di mana kewenangannya dilimpahkan kepada hakim baik berdasarkan UUD Tahun 1945 maupun undang-undang.
Dari sudut pandang hukum tata negara, putusan Mahkamah Konstitusi termasuk dalam keputusan negara yang mengandung norma hukum sama halnya dengan putusan pembentuk undang-undang yang bersifat pengaturan (regeling). Putusan Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan suatu undang-undang atau materi muatan dalam undang-undang, sedangkan pembentuk undang-undang menciptakan norma hukum dalam bentuk materi muatan dalam suatu undang-undang.
Putusan Mahkamah Konstitusi terutama dalam pengujian undang-undang kebanyakan jenisnya adalah bersifat declaratoir constitutief. Artinya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menciptakan atau meniadakan satu keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru sebagai negative legislature. Hal lain yang perlu dicermati lebih lanjut adalah adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) maupun inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Varian putusan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan putusan yang menyatakan bahwa suatu ketentuan undang-undang tidak bertentangan dengan konstitusi dengan memberikan persyaratan pemaknaan dan keharusan kepada lembaga negara dalam pelaksanaan suatu ketentuan undang-undang untuk memperhatikan penafsiran Mahkamah Konstitusi atas konstitusionalitas ketentuan undang-undang yang sudah diuji tersebut. Dengan demikian, terdapat penafsiran sendiri dari Mahkamah Konstitusi agar suatu norma undang-undang tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945.

1. Putusan MK Nomor 40/PUU-IX/2011
Dalam Perkara MK Nomor 40/PUU-IX/2011, para Pemohon yang berprofesi sebagai Advokat, dalam permohonannya mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dengan berlakunya ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf b UU Keimigrasian, pada adanya kata “penyelidikan”, selengkapnya menyatakan “Pejabat Imigrasi menolak orang untuk keluar Wilayah Indonesia dalam hal orang tersebut: a....; b. diperlukan untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan atas permintaan pejabat yang berwenang.” Bahwa pada frasa yang menyatakan menolak “orang”, dengan tidak membatasi kepada siapa orang tersebut maka dapat ditarik kesimpulan orang yang dimaksud adalah setiap orang yaitu setiap orang dengan sendirinya yang dapat menjadi objek penyelidikan. Oleh karena itu pasal ini sangat potensial dikenakan kepada para Pemohon Apabila suatu saat para Pemohon dalam proses penyelidikan, maka para Pemohon akan mengalami kerugian konstitusional, hak para Pemohon untuk hidup dan mempertahankan hidup dan kehidupannya, serta berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, dapat terenggut dengan berlakunya ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf b UU Keimigrasian tersebut.
Penyelidikan merupakan tahapan untuk menentukan ada atau tidaknya suatu tindak pidana dan untuk mencari bukti awal menentukan siapa pelakunya. Penyelidikan berpotensi dikenakan kepada siapapun tanpa ada peristiwa hukum pidana terlebih dahulu, cukup dengan adanya dugaan tindak pidana. Setelah dilakukan proses penyelidikan, belum tentu akan dilakukan proses penyidikan sehingga penolakan untuk keluar wilayah Indonesia terhadap orang yang berada dalam proses penyelidikan itu tidak dapat dilakukan, karena pada tahap penyelidikan seseorang tersebut pun belum mengetahui jika dirinya itu berada dalam proses penyelidikan. Mencegah seseorang untuk ke luar negeri dalam tahap tersebut akan dapat disalahgunakan untuk kepentingan di luar kepentingan penegakan hukum. Penolakan terhadap seseorang untuk keluar wilayah Indonesia ketika statusnya belum pasti menjadi tersangka dalam suatu tindak pidana karena masih dalam tahap penyelidikan akan mudah dijadikan alasan untuk menghalangi gerak seseorang untuk ke luar negeri.
Dalam tahap penyelidikan belum ada kepastian disidik atau tidak disidik, belum dilakukan pencarian dan pengumpulan bukti, tetapi hanya tahap mengumpulkan informasi. Sedangkan dalam tahap penyidikan karena memang dilakukan pencarian dan pengumpulan bukti, wajar bila bisa dilakukan penolakan untuk berpergian keluar negeri, karena ada kemungkinan tersidik membawa bukti-bukti yang berkaitan dengan tindak pidana keluar negeri sehingga mempersulit penyidik melakukan pencarian dan pengumpulan bukti untuk membuat terang tentang pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya. Sehingga ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf b UU Keimigrasian lebih tepat mengatur pencegahan seseorang untuk ke luar wilayah Indonesia hanya apabila orang tersebut diperlukan untuk kepentingan penyidikan, tidak untuk kepentingan penyelidikan.
Putusan MK Perkara Nomor 40/PUU-IX/2011 mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya, Majelis Hakim memutuskan bahwa kata “penyelidikan dan” yang tertera dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b UU Keimigrasian bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

2. Putusan MK Nomor 64/PUU-IX/2011
Dalam Perkara MK Nomor 64/PUU-IX/2011, Pemohon dalam permohonannya mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dengan berlakunya ketentuan Pasal 97 ayat (1) UU Keimigrasian, pada adanya frasa “setiap kali” , selengkapnya menyatakan “Jangka waktu Pencegahan berlaku paling lama 6 (enam) bulan dan setiap kali dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan.” Hal ini menyebabkan Pemohon kehilangan hak untuk bepergian ke negara lain dalam jangka waktu pencegahan tersebut tanpa ada kepastian atas berakhirnya masa pencegahan, karena Pemohon pada saat permohonan diajukan sedang terkena perpanjangan masa pencegahan untuk meninggalkan wilayah negara Indonesia selama 6 bulan berdasarkan Keputusan Jaksa Agung Nomor Kep-201/D/Dsp.3/06/2011 tanggal 27 Juni 2011, dengan alasan “untuk kepentingan operasi yustisi di bidang penyidikan”. Menurut Pemohon, adanya frasa tersebut dapat menyebabkan terjadinya perpanjangan pencegahan ke luar negeri terhadap seorang warga negara pada masa penyidikan tanpa kepastian batas waktu, sehingga menciptakan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 dan bertentangan dengan hak warga negara untuk memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta hak untuk kembali sebagaimana dijamin oleh Pasal 28E ayat (1) UUD Tahun 1945.
Putusan MK Perkara Nomor 64/PUU-IX/2011 mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian, Majelis Hakim memutuskan Pasal 97 ayat (1) UU Keimigrasian, sepanjang frasa “setiap kali” bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, Pasal 97 ayat (1) UU Keimigrasian menjadi “Jangka waktu pencegahan berlaku paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan.”

Pengujian undang-undang yang dilakukan oleh suatu peradilan pada dasarnya akan berakhir dalam suatu putusan yang merupakan pendapat tertulis hakim konstitusi tentang perselisihan penafsiran satu norma atau prinsip yang ada dalam UUD. Jika satu amar putusan menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau ayat bagian undang-undang bahkan undang-undang secara keseluruhan bertentangan dengan UUD Tahun 1945, maka materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang diuji tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Bunyi putusan demikian mengandung arti bahwa ketentuan norma yang termuat dalam satu undang-undang dinyatakan batal (null and void) dan tidak berlaku lagi. Putusan yang demikian sudah barang tentu memiliki implikasi hukum yang luas. Selain memberi kemanfaatan pada para pencari keadilan, seringkali putusan tersebut dinilai berpotensi menyebabkan terjadinya kekosongan hukum (legal vacuum), kekacauan hukum (legal disorder), bahkan politik beli waktu (buying time) pembentuk undang-undang. Karena itu menurut Maruarar Siahaan, dibutuhkan mekanisme prosedural tentang bagaimana tindak lanjut dari pembatalan pemberlakukan suatu ketentuan tersebut. Persoalan yang selalu dikaitkan dengan sulitnya implementasi eksekusi putusan Mahkamah Konstitusi adalah sifat putusannya yang final, dengan kata mengikat (binding). Karena, putusan Mahkamah Konstitusi mengikat umum, pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan ketentuan undang-undang yang telah diputus harus melaksanakan putusan itu.
Namun demikian, mengingat norma dalam undang-undang adalah satu kesatuan sistem, ada pelaksanaan putusan yang harus melalui tahapan-tahapan tertentu, bergantung pada substansi putusan. Dalam hal ini, ada putusan yang dapat dilaksanakan langsung tanpa harus dibuat peraturan baru atau perubahan, ada pula yang memerlukan pengaturan lebih lanjut terlebih dahulu. Tatkala suatu putusan akan langsung efektif berlaku tanpa diperlukan tindak lanjut lebih jauh dalam bentuk kebutuhan implementasi perubahan undang-undang yang diuji, maka putusan ini dapat dikatakan berlaku secara self-executing. Dalam artian, putusan itu terlaksana dengan sendirinya.
Ini terjadi karena norma yang dinegasikan tersebut mempunyai ciri-ciri tertentu yang sedemikian rupa dapat diperlakukan secara otomatis tanpa perubahan atau perubahan undang-undang yang memuat norma yang diuji dan dinegasikan tersebut, ataupun tanpa memerlukan tindak lanjut dalam bentuk perubanan undang-undang yang diuji tersebut. Secara umum putusan-putusan yang bersifat self-executing/implementing dapat ditelusuri dari sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi baik amarnya menyatakan batal (null and void) dan tidak berlaku lagi ataupun amarnya terdapat perumusan norma.
Implementasi putusan-putusan Mahkamah Konstitusi dapat dilihat dari model putusannya. Implementasi model putusan yang secara hukum membatalkan dan menyatakan tidak berlaku dan model putusan yang merumuskan norma baru bersifat langsung dapat dieksekusi (self executing/self implementing), sedangkan baik model putusan konstitusional bersyarat maupun model putusan inkonstitusional bersyarat tidak dapat secara langsung dieksekusi (non-self executing/implementing).
Keimigrasian mengatur mengenai hal ikhwal lalu lintas orang yang masuk atau keluar wilayah Indonesia serta pengawasannya dalam rangka menjaga tegaknya kedaulatan negara. Setiap orang yang masuk atau keluar wilayah Indonesia wajib melalui pemeriksaan yang dilakukan oleh Pejabat Imigrasi. Seiring perkembangan di dunia internasional, telah terjadi perubahan yang membawa pengaruh besar terhadap terwujudnya persamaan hak dan kewajiban bagi setiap warga negara Indonesia (WNI) sebagai bagian dari hak asasi manusia. Dengan adanya perkembangan tersebut, setiap WNI memperoleh kesempatan yang sama dalam menggunakan haknya untuk keluar atau masuk Wilayah Indonesia. Terhadap prinsip bahwa setiap WNI berhak untuk keluar atau masuk wilayah Indonesia. Akan tetapi berdasarkan alasan tertentu dan untuk jangka waktu tertentu, terhadap WNI dapat dilakukan pencegahan untuk keluar dari wilayah Indonesia.
Pencegahan merupakan larangan sementara terhadap seseorang untuk ke luar wilayah Indonesia. Pasal 16 ayat (1) UU Keimigrasian mengatur bahwa apabila seseorang berada dalam daftar pencegahan maka Pejabat Imigrasi dapat menolak orang tersebut untuk keluar Wilayah Indonesia. Selain itu, pencegahan diatur di dalam Pasal 91 sampai dengan Pasal 97 UU Keimigrasian. Menteri Hukum dan HAM mempunyai kewenangan dan tanggungjawab dalam melakukan pencegahan. Pencegahan dilakukan berdasarkan hasil pengawasan Keimigrasian, Keputusan Menteri Keuangan dan Jaksa Agung, permintaan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, perintah Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, permintaan Kepala Badan Narkotika Nasional, dan keputusan, perintah, atau permintaan pimpinan kementerian/ lembaga lain yang berdasarkan Undang-Undang memiliki kewenangan pencegahan. Setiap orang yang dikenai pencegahan dapat mengajukan keberatan kepada pejabat yang mengeluarkan keputusan pencegahan. Akan tetapi pengajuan keberatan tersebut tidak menunda pelaksanaan pencegahan.
Hak untuk meninggalkan wilayah negara pun telah dijamin oleh konstitusi maupun norma HAM universal. Akan tetapi dapat dibatasi dalam hal-hal tertentu, sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menyatakan, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. Jadi tindakan pelaksanaan pencegahan seseorang ke luar negeri merupakan tindakan yang sah secara hukum, bukan penyalahgunaan wewenang.
Pengujian beberapa pasal dalam UU Keimigrasian sebagaimana telah dipaparkan pada sub bab sebelumnya, telah mengabulkan putusan untuk seluruhnya maupun sebagian. Terhadap pengujian beberapa pasal tersebut, perlu kiranya untuk dilakukan evaluasi guna melihat keadaan hukum baru ataupun kekosongan hukum yang mungkin terjadi akibat putusan MK tersebut.
Berdasarkan kedua Putusan MK yang telah dipaparkan di atas yaitu Perkara Nomor 40/PUU-IX/2011 dan Perkara Nomor 64/PUU-IX/2011 yang melakukan pengujian terhadap Pasal 16 ayat (1) huruf b dan Pasal 97 ayat (1) UU Keimigrasian, kedua Pasal tersebut terkait dengan pencegahan seseorang untuk keluar wilayah Indonesia. MK telah mengabulkan permohonan para pemohon dalam Perkara Nomor 40/PUU-IX/2011 bahwa pencegahan yang dilakukan terhadap seseorang untuk keluar wilayah Indonesia saat mereka sedang melakukan penyelidikan atas suatu kasus adalah inkonstitusional. Jika pencegahan dilakukan bagi seseorang tersebut sementara kasusnya masih dalam tahap penyelidikan, bisa disalahgunakan untuk kepentingan di luar kepentingan penegakan hukum. Hal tersebut berpotensi melanggar hak konstitusi warga negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28E.

UU Keimigrasian mengatur mengenai persyaratan untuk keluar atau masuk wilayah Indonesia, namun mengatur pula mengenai pembatasan yaitu pencegahan/larangan sementara seseorang untuk ke luar wilayah Indoensia berdasarkan alasan tertentu dan untuk jangka waktu tertentu. Dari 2 (dua) pengujian materiil UU Keimigrasian yang diajukan di MK, Putusan MK Perkara Nomor 40/PUU-IX/2011 mengabulkan seluruh permohonan dan Putusan MK Perkara Nomor 64/PUU-IX/2011 mengabulkan sebagian permohonan. Putusan tersebut telah menciptakan keadaan hukum yang berbeda.
Berdasarkan Putusan Perkara Nomor 40/PUU-IX/2011, pencegahan yang dilakukan terhadap seseorang untuk keluar wilayah Indonesia saat berada dalam proses penyelidikan adalah inkonstitusional. Jadi seseorang yang berada dalam proses penyelidikan tidak dapat dikenakan pencegahan. Pencegahan terhadap seseorang untuk ke luar wilayah Indonesia yang dilakukan oleh pejabat imigrasi adalah hanya terhadap seseorang yang berada dalam proses penyidikan. Hal ini berarti tujuan pencegahan yaitu untuk kepentingan penyidikan agar menjamin tidak terganggunya proses hukum dalam suatu kasus tertentu.
Berdasarkan Putusan Perkara Nomor 64/PUU-IX/2011, jangka waktu pencegahan hanya bisa dilakukan untuk jangka waktu 6 bulan dan bisa diperpanjang satu kali saja yaitu 6 bulan. Berbeda dengan rumusan sebelumnya yang multi tafsir yaitu setiap kali dapat diperpanjang paling lama 6 bulan, hal ini tidak ada batasan yang jelas mengenai berapa kali perpanjangannya.
Adapun perubahan dimaksud adalah terhadap pasal-pasal yang telah diputus oleh MK sebagai berikut:
• Pasal yang dibatalkan oleh MK yaitu Pasal 16 ayat (1) huruf b UU Keimigrasian sepanjang kata “penyelidikan dan”. Pasal 16 ayat (1) huruf b semula berbunyi
“Pejabat Imigrasi menolak orang untuk keluar Wilayah Indonesia dalam hal orang tersebut:
b. diperlukan untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan atas permintaan pejabat yang berwenang ”.
sehingga menjadi:
“Pejabat Imigrasi menolak orang untuk keluar Wilayah Indoensia dalam hal orang tersebut:
b. diperlukan untuk kepentingan penyidikan atas permintaan pejabat yang berwenang;

Pasal yang dibatalkan oleh MK yaitu Pasal 97 ayat (1) UU Keimigrasian sepanjang frasa “setiap kali”. Pasal 97 ayat (1) semula berbunyi:
“Jangka waktu Pencegahan berlaku paling lama 6 (enam) bulan dan setiap kali dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan”.
sehingga menjadi:
“Jangka waktu Pencegahan berlaku paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan.”

Sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi materi muatan mengenai tindak lanjut Putusan MK. Oleh karena itu, perlu segera perlu dilakukan perubahan terhadap UU Keimigrasian yang dituangkan dalam rencana perubahan UU Keimigrasian baik sebagai daftar kumulatif terbuka maupun dalam Prolegnas Prioritas Tahunan.
Perlu direformulasi kembali dan diperjelas rumusan ketentuan/pasal mengenai “ke luar wilayah Indonesia”, batasan siapa saja “orang” yang dikenakan penolakan/pencegahan untuk ke luar wilayah Indonesia. Serta sebaiknya pengaturan “ke luar wilayah Indonesia” dimasukkan dalam satu bab/bagian dengan pengaturan “pencegahan” karena pada intinya pengaturan hal tersebut adalah sama yaitu mengenai penolakan/pencegahan orang untuk ke luar wiayah Indonesia.
UU Keimigrasian juga belum mengatur mengenai konsekuensi apabila masa pencegahan seseorang telah habis, namun imigrasi masih melakukan pencegahan terhadap orang tersebut, yang diatur dalam UU Keimigrasian hanya mengenai durasi pencegahan yaitu selama 6 bulan dan hanya bisa diperpanjang satu kali saja.