Analisis dan Evaluasi UU Berdasarkan Putusan MK


Deprecated: explode(): Passing null to parameter #2 ($string) of type string is deprecated in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-evaluasi.phtml on line 61

Warning: Undefined array key 1 in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-evaluasi.phtml on line 64

Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-evaluasi.phtml on line 66

Warning: Undefined property: stdClass::$resume in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-evaluasi.phtml on line 80

Deprecated: nl2br(): Passing null to parameter #1 ($string) of type string is deprecated in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-evaluasi.phtml on line 80
Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi / 01-12-2018

Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 termasuk pula kewenangan untuk memberikan penafsiran suatu ketentuan undang-undang agar bersesesuaian dengan nilai-nilai konstitusi. Pengujian undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi tersebut harus senantiasa ditujukan untuk menjamin agar ketentuan konstitusi dilaksanakan dalam praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pada Tahun 1974, diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) yang pernah pula diuji konstitusionalitasnya oleh Mahkamah Konstitusi. Adanya putusan MK yang untuk pelaksanaannya membutuhkan aturan lebih lanjut, yaitu putusan membatalkan suatu norma yang mempengaruhi norma-norma lain, atau untuk melaksanakannya diperlukan aturan yang lebih operasional. Namun demikian, belum adanya peraturan yang menindaklanjuti putusan MK tidak mengurangi kekuatan mengikat yang telah melekat sejak dibacakan. Setiap pihak yang terkait harus melaksanakan putusan tersebut.
Berdasarkan perkara-perkara pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi tentang dengan UU Perkawinan, setidaknya telah dilakukan pengujian sebanyak 5 perkara, yakni pada Perkara Nomor 12/PUU-V/2007, Nomor 46/PUU-VIII/2010, Nomor 38/PUU-IX/2011, Nomor 68/PUU-XII/2014 dan Nomor 30-74/PUU-XII/2014. Dari perkara-perkara tersebut, dua diantaranya dinyatakan dikabulkan sebagian, yakni perkara Nomor 46/PUU-VIII/2010 dan Nomor 69/PUU-XIII/2015, sehingga dari keduanya akan dikaji bagaimana pengaturan UU Perkawinan agar tidak inkonstitusional.

Berdasarkan pada latar belakang sebagaimana tersebut di atas, permasalahan yang akan dijawab dalam kajian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal, ayat suatu undang-undang yang dinyatakan MK sebagai konstitusionalitas/inkonstitusional bersyarat?
3. Apakah terdapatdisharmoni norma dalam suatu UU jika suatu pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan?

A. Konstitusionalitas Undang-Undang
Terkait dengan wewenang melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 yang secara umum disebut judicial review, bahwa pengertian judicial review dipahami baik secara umum maupun praktik di MK. Dalam praktik peradilan umum di Indonesia judicial review mencakup pemeriksaan tingkat banding, kasasi, dan Peninjauan Kembali (PK). Sedangkan pemahaman terhadap proses pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 disebut sebagai constitutional review. Dikaitkan dengan program legislasi nasional (Prolegnas), Mahfud MD menyebutkan bahwa judicial review dapat dilakukan oleh MK untuk menjamin konsistensi Undang-Undang terhadap UUD Tahun 1945 serta menjamin ketepatan prosedur sesuai dengan Prolegnas.

B. Putusan Mahkamah Konstitusi Bersifat Final dan Mengikat
Menurut Sri Soemantri, putusan yang bersifat final harus bersifat mengikat dan tidak dapat dianulir oleh lembaga manapun. Pengertian yuridis final dan mengikat itu selalu bersatu yaitu final and binding. Dengan demikian jika bersifat final harus diikuti dengan mengikat sehingga sah memiliki kepastian hukum. Dengan sifat final serta mengikat maka berakibat tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh terhadap putusan dimaksud sehingga tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum.
Kedudukan norma mempengaruhi amar putusan pada dasarnya mempengaruhi amar putusan. Amar putusan berdampak pada status norma yang diuji. Dalam hal norma konkret yang diuji maka akibat hukumnya apabila dikabulkan terlindunginya hak konstitusional pemohon dan MK menerapkan penafsiran yang luas terhadap norma konkret. Akibat hukum terhadap norma konkret semuanya bermuara pada sifat putusan yang erga omnes. Putusan MK Tetap berlaku umum meskipun setelah amar dijatuhkan yang mendapatkan perlindungan hak-hak konstitusional terlindungi adalah hak konstitusional pemohon. Akan tetapi putusan tersebut tetap berlaku untuk pemohon dengan kasus yang sama di masa mendatang. Akibat hukum pengujian norma konkret dalam hal dikabulkan adalah merupakan bentuk penafsiran luas dari sifat putusan yang erga omnes.
Kewenangan MK dalam melakukan pengujian Undang-Undang terhadap konstitusi didasari dengan pertimbangan hukum disamping juga melakukan dinamisasi interpretasi untuk memenuhi keadilan. Adapun putusan MK masuk ke dalam jenis putusan declaratoir constitutief. Putusan declaratoir yaitu “putusan yang hanya menyatakan suatu keadaan tertentu sebagai keadaan yang sah menurut hukum” . Putusan declaratoir tidak memerlukan eksekusi, tidak mengubah atau menciptakan suatu hukum baru, melainkan hanya memberikan kepastian hukum semata terhadap keadaan yang telah ada. Sedangkan constitutief adalah “suatu putusan yang menciptakan/menimbulkan keadaan hukum baru”. Putusan constitutief selalu berkenaan dengan status hukum seseorang atau hubungan keperdataan satu sama lain, selain itu putusan constitutief tidak memerlukan eksekusi.

1. Putusan MK Perkara Nomor 46/PUU-VIII/2010
Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah penafsiran ketentuan Pasal 43 ayat (1) yang semula menyatakan “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” dan ditafsirkan sebagaimana yang tertulis dalam ketentuan tersebut, yang kalau diperhatikan, ketentuan ini lebih merujuk pada ketentuan dalam hukum Islam, tepatnya dalam fiqh munakahat. Ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan . Meskipun demikian, pengaturan perkawinan dalam UU Perkawinan ini tidak hanya mengatur bagi kelompok tertentu tetapi seluruh warga negara Indonesia dengan segala keberagaman keyakinannya. Sehingga pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang menjelaskan tentang definisi perkawinan menekankan sahnya perkawinan adalah menurut hukum agama dan kepercayaannya. Mengingat bahwa tidak hanya masyarakat beragama Islam saja yang terikat ketentuan dalam UU Perkawinan, maka hal tersebut harus diperhatikan dengan seksama.
Berdasarkan penjelasan Pasal 37 dan ketentuan Pasal 10 UU Perkawinan, maka jelas bahwa hal-hal dalam perkawinan tidak harus tunduk pada ketentuan dalam UU Perkawinan tetapi lebih kepada ketentuan agama dan kepercayaan masing-masing . Namun dalam hal rujukan hukum, ketentuan dalam UU Perkawinan, melalui ketentuan Pasal 10 UU Perkawinan mengatur tentang pernikahan kembali pasangan suami isteri yang telah bercerai sebanyak dua kali adalah dilarang, yang mana ketentuan yang diikuti dikembalikan pada ketentuan agama dan kepercayaan masing-masing, dan dalam ketentuan Pasal 37 UU Perkawinan yang mengatur tentang harta bersama, rujukan hukum tidak hanya dikembalikan pada ketentuan agama dan kepercayaan masing-masing tetapi juga hukum adat dan hukum lainnya yang berlaku.
Selain itu, putusan ini dibuat agar tercipta perlakuan yang adil antara perempuan yang merupakan ibu si anak dan laki-laki yang terbukti merupakan ayah biologis anak tersebut dalam hal pemenuhan kewajiban dan tanggung jawab orang tua terhadap anak. Hal ini juga untuk menekankan adanya tanggung jawab seorang ayah untuk memenuhi hak-hak anak atas dirinya yang merupakan ayah dari anak tersebut. Meski demikian, hal ini tentunya tidak akan mengubah stigma masyarakat terhadap anak di luar kawin dan ketentuan agama dan kepercayaan yang hidup dalam masyarakat dalam hal hukum mengenai anak di luar kawin.

2. Putusan MK Perkara Nomor 69/PUU-XIII/2015
Putusan Mahkamah Konstitusi atas Perkara Nomor 69/PUU-XIII/2015 menyatakan bahwa hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dimusyawarahkan dan diputuskan bersama antara keduanya. Kesepakatan atau perjanjian yang dilakukan dengan cara musyawarah tersebut dapat dilakukan sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan, yakni pada waktu atau sebelum perkawinan berlangsung. Kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris.
Ketentuan yang ada saat ini hanya mengatur perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum atau pada saat perkawinan berlangsung, padahal dalam kenyataannya ada fenomena pasangan suami isteri baru merasakan adanya kebutuhan untuk membuat Perjanjian Perkawinan selama dalam ikatan perkawinan karena ada suatu hal tertentu. Oleh karenanya, frasa "pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan" dalam Pasal 29 ayat (1), frasa "...sejak perkawinan dilangsungkan" dalam Pasal 29 ayat (3) dan frasa "selama perkawinan berlangsung" dalam Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan dinyatakan telah membatasi kebebasan 2 orang individu untuk melakukan "perjanjian" dengan memberikan pembatasan waktu. Putusan MK menyatakan bahwa :
1. Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "Pada waktu sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut";
2. Pasal 29 ayat (3) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan";
3. Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan umtuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga".
Dengan adanya putusan MK, maka pelaksanaan perjanjian telah sesuai dengan ketentuan dalam KUHPer tentang Perjanjian. Suatu perjanjian dibuat berdasarkan kebutuhan para pihak dengan isi sesuai dengan kebutuhan para pihak juga, yang tentunya tidak boleh bertentangan dengan hal-hal yang menjadi azas perjanjian. Ada beberapa azas yang dapat ditemukan dalam Hukum Perjanjian, namun ada dua diantaranya yang merupakan azas terpenting dan karenanya perlu untuk diketahui, yaitu:
1. Azas Konsensualitas, yaitu bahwa suatu perjanjian dan perikatan yang timbul telah lahir sejak detik tercapainya kesepakatan, selama para pihak dalam perjanjian tidak menentukan lain. Azas ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian.
2. Azas Kebebasan Berkontrak, yaitu bahwa para pihak dalam suatu perjanjian bebas untuk menentukan materi/isi dari perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan kepatutan. Azas ini tercermin jelas dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Tujuan perkawinan dalam UU Perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal . Adanya permasalahan yang muncul sepanjang perkawinan dan membutuhkan penyelesaian agar perkawinan tetap berlangsung, biasanya diselesaikan dengan membuat suatu kesepakatan atau perjanjian antara suami dan istri, selain itu, hal ini dilakukan agar tidak berakhir dengan adanya perceraian. Sehingga Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap ketentuan perjanjian perkawinan tersebut telah sesuai dengan ketentuan KUHPer yang saat ini masih menjadi rujukan ketentuan perikatan atau perjanjian di Indonesia secara umum, dan telah sesuai dengan ketentuan dalam UUD Tahun 1945 dan tujuan perkawinan dalam UU Perkawinan.

1. Akibat Hukum Terhadap Pasal Dan/Atau Ayat Suatu Undang-Undang Atas Putusan MK
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang menyatakan adanya hubungan perdata anak diluar nikah dengan ibu dan keluarga ibunya serta laki-laki yang terbukti sebagai ayahnya dan keluarga ayahnya secara keperdataan dalam rangka melindungi anak dan memberikan keadilan pada perempuan atau ibu anak di luar kawin tidaklah bertentangan dengan ketentuan KUHPer, UU Perlindungan Anak, UU HAM dan UU Administrasi Kependudukan. Namun ketentuan ini membuka pengakuan hukum terhadap kedua orang tua dari anak diluar kawin melalui adanya pembuktian secara ilmu pengetahuan dan teknologi dan bukti-bukti lainnya.
Pemohon dalam Perkara Nomor 46/PUU-VIII/2010 menyampaikan permasalahan tentang pernikahannya yang tidak dicatatkan yang menimbulkan ketidakjelasan status pernikahan dan anaknya dihadapan hukum, sehingga Pemohon mengajukan pengujian ketentuan "wajib dicatatkan" sedangkan menurut Pemohon, pernikahannya telah sah menurut ketentuan agama karena telah memenuhi rukun-rukun nikah. Ketidakjelasan status hukum anak karena pernikahan yang tidak dicatatkan tersebut dianggap sebagai anak tidak sah atau anak diluar nikah yang kepadanya diberlakukan ketentuan Pasal 43 ayat (1) dimana hubungan keperdataan anak hanya terhadap ibu kandungnya. Hal ini juga menimbulkan kesulitan bagi Pemohon untuk proses akta lahir anak karena ketentuan Pasal 55 UU Perkawinan tentang Pembuktian Asal Usul Anak.
Dalam pertimbangannya Mahkamah Konstitusi menyampaikan bahwa pencatatan dilakukan untuk kepentingan administrasi negara yang akan berakibat hukum secara luas atas segala sesuatu yang timbul karena perkawinan . Namun yang menjadi concern MK dari permohonan tersebut adalah permasalahan status anak. Belakangan ini, telah banyak terjadi kasus diskriminasi terhadap anak yang mana masyarakat memperlakukan anak-anak secara berbeda karena status anak, sedangkan menurut ketentuan UUD Tahun 1945 pada Pasal 28B ayat (2) dinyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi , sehingga hak-hak anak harus dipenuhi. Demikian juga dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga mengatur hak-hak asasi yang dilindungi dan tidak dapat dikurangi apapun.
Perubahan pemaknaan terhadap ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan tentunya bertentangan dengan ketentuan hukum Islam yang mengatur bahwa anak-anak diluar nikah hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Bahkan apabila ada pengakuan dari pihak ayah dan keluarganya, maka hak-hak sebagai ayah tidak diperoleh secara penuh, seperti hak memberikan warisan maupun menjadi wali nikah . Namun perlu diingat kembali bahwa Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden yang berlaku mengikat bagi seluruh komponen masyarakat di Indonesia dalam rangka mewujudkan suatu sistem hukum nasional .
Putusan MK yang mengubah pemaknaan ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan menjadi “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya” tentunya harus ditindaklanjuti dengan memperjelas hubungan keperdataan yang timbul antara anak di luar perkawinan dengan laki-laki yang terbukti sebagai ayahnya. Dikaitkan dengan ketentuan pengeluaran akta lahir anak tersebut, ketentuan Pasal 55 UU Perkawinan mengatur bahwa :
"(1) Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang.
(2) Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.
(3) Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini, maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan."
Oleh karenanya akta dapat dikeluarkan dengan pembuktian-pembuktian tertentu, yakni melalui pembuktian berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.
Perlu diperhatikan, bahwa putusan MK atas Perkara Nomor 46/PUU-VIII/2010 tidak menyebut tentang akta kelahiran anak luar kawin maupun akibat hukum putusan tersebut terhadap akta kelahiran anak luar kawin. Implikasi putusan MK ini berkaitan dengan status hukum dan pembuktian asal usul anak luar kawin. Hubungannya dengan akta kelahiran adalah karena pembuktian asal-usul anak hanya dapat dilakukan dengan adanya akta kelahiran otentik yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 55 ayat (1) UU Perkawinan.
Dengan adanya putusan MK tersebut, maka ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang teknis pembuatan akta kelahiran khususnya bagi anak diluar kawin perlu diperbarui. Terkait dengan perjanjian perkawinan, Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan menegaskan bahwa perjanjian perkawinan hanya dapat dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan. Perjanjian perkawinan ini dikenal sebagai pre-nuptial agreement atau pre-marital agreement (dikenal singkat sebagai pre-nupt). Namun Putusan Mahkamah Konstitusi atas Perkara Nomor 69/PUU-XIV/2015 telah sesuai dengan ketentuan dalam KUHPer yang masih menjadi rujukan dalam hukum perikatan nasional. Sedangkan ketentuan Pasal 1320 KUHPer menyatakan :
"Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;
1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu pokok persoalan tertentu;
4. suatu sebab yang tidak terlarang."
Terhadap putusan dapatnya pasangan menikah membuat perjanjian perkawinan maka ketentuan nomor 1 dan ketentuan nomor 2 telah terpenuhi mengingat ketentuan dalam UU Perkawinan telah menyebutkan tentang adanya kesepakatan antara suami. Adanya pernikahan antara keduanya, maka keduanya telah memenuhi ketentuan batas usia tertentu yang diatur dalam perundang-undangan di Indonesia. Maka dalam rangka menjaga kelangsungan perkawinan dan tercapainya tujuan perkawinan, maka hal tersebut telah turut mendukung upaya menciptakan perkawinan yang kekal. Dalam mensolusikan permasalahan dalam yang muncul dalam perkawinan dan dalam rangka mencegah sampainya perkawinan tersebut pada perceraian, maka pasangan kawin dapat melakukan kesepakatan-kesepakatan tertentu untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul tersebut dengan tetap berpegang pada ketentuan Pasal 29 ayat (2) UU Perkawinan.

2. Permasalahan Disharmonisasi Norma Pasca Putusan Mk
Putusan Perkara Nomor 46/PUU-VIII/2010 tidak menimbulkan disharmonisasi terhadap ketentuan lain di dalam UU Perkawinan maupun UU lain, seperti UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang telah diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2014 dan UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang telah diubah dengan UU Nomor 24 Tahun 2013. Namun Putusan ini menimbulkan permasalahan terhadap pengaturan hubungan di luar kawin sebagai implikasi pengaturan pembuktian hubungan darah antara anak di luar kawin dengan laki-laki yang dianggap ayah kandungnya dan adanya hak-hak keperdataan atas hubungan anak dan ayah berikut keluarga ayah tersebut.
Meski tidak ada permasalahan dengan pengaturan dalam UU Administrasi Kependudukan, namun peraturan pelaksana ketentuan UU Administrasi Kependudukan masih merujuk pada ketentuan dalam UU Perkawinan yang belum diubah berdasarkan putusan MK tersebut, sehingga ketentuan pelaksanaan tersebut, perlu diubah dengan terlebih dahulu mengubah ketentuan dalam UU Perkawinan dengan disesuaikan dengan putusan MK.
Putusan Perkara Nomor 69/PUU-XIII/2015 yang menyatakan Pasal yang diujikan merupakan inkonstitusional bersyarat, telah mengubah penafsiran ketentuan Pasal 29 ayat (1), ayat (3) dan ayat (4) UU Perkawinan dengan putusan berupa :
1. Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "Pada waktu sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut";
2. Pasal 29 ayat (3) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan";
3. Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan umtuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga"
Secara umum, Putusan tersebut mengatur tentang mekanisme Perjanjian Perkawinan yang dibuat sebelum perkawinan tersebut berlangsung, mulai berlakunya Perjanjian Perkawinan dan ketentuan mengenai perubahan atau pencabutan kesepakatan dalam Perjanjian Perkawinan.





Ketentuan Pasal-Pasal UU Perkawinan yang telah ditafsirkan oleh MK telah bersinggungan dengan ketentuan dalam KUHPer yang telah dicabut dengan diundangkannya UU Perkawinan. Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan perlu ditinjau ulang berdasarkan kepercayaan umat beragama yang ada di Indonesia mengingat dasar perkawinan sendiri berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan dimana sahnya perkawinan apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Dalam rangka memberikan kepastian hukum, perlindungan dan keadilan kepada masyarakat dan dalam upaya mendukung tercapainya tujuan pengaturan perkawinan dalam UU Perkawinan, maka putusan MK telah mencapai tujuan-tujuan tersebut.
Adanya perubahan penafsiran Pasal-Pasal tersebut, maka perlu diperhatikan hal-hal yang mungkin timbul dari perubahan tersebut yang berpotensi menjadi permasalahan di kemudian hari dalam rangka menjaga keamanan, kestabilan dan ketertiban dalam masyarakat.

Dengan adanya perubahan penafsiran pasal-pasal dalam UU Perkawinan yang berimplikasi pada pengaturan pada peraturan perundang-undangan lain maka UU Perkawinan perlu diubah dengan menyesuaikan pada Putusan Mahkamah Konstitusi dengan memperhatikan kondisi kemasyarakatan di Indonesia.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan UU berisi materi muatan mengenai tindak lanjut Putusan MK. Oleh karena itu, perlu segera disusun Perubahan UU Perkawinan dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2019 untuk dibahas bersama-sama antara DPR dan Pemerintah agar tidak terjadi kekosongan hukum dan terjamin kepastian hukum.