Sejak berdirinya MK hingga saat ini sudah banyak UU yang dimohonkan untuk dilakukan pengujian terhadap UUD Tahun 1945. Salah satunya adalah pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP). Dalam perjalanannya, KUHP telah beberapa kali mengalami pengujian oleh beberapa pihak dengan dasar alasan yang bervariasi. Dari sekitar 14 (empat belas) permohonan uji materil
Dari uraian di atas dirumsukan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal dan ayat suatu UU yang dinyatakan MK sebagai inkonstitusionalitas/inkonstitusionalitas bersyarat?
3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu UU jika suatu pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan?
A. Konstitusionalitas Undang-Undang
Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 yang menjadi kewenangan MK merupakan wujud prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Kewenangan pengujian undang-undang menimbulkan sebuah kewenangan yang mutatis mutandis (dengan sendirinya) ada, yaitu kewenangan menafsirkan konstitusi. Apabila dalam konstitusi tidak terdapat ketentuan yang ekplisit mengenai kewenangan menafsir konstitusi kepada lembaga negara yang diberikan kewenangan constitutional review, maka harus dipahami bahwa kewenangan menafsirkan konstitusi menyertai kewenangan constitutional review tersebut. Oleh sebab itu, sering dinyatakan bahwa Constitutional Court itu merupakan “the guardian of constitution and the sole interpreting of constitution”, disebut sebagai penjaga konstitusi berdasarkan kewenangan dalam memutus apakah sebuah produk perundang-undangan telah sesuai dengan konstitusi atau tidak.
B. Putusan Mahkamah Konstitusi Bersifat Final dan Mengikat
Mahkamah Konstitusi yang diadopsi dalam UUD Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD Tahun 1945. Melalui fungsi ini maka Mahkamah Konstitusi dapat menutupi segala kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam UUD Tahun 1945.
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya maka Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Tahun 1945; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C UUD Tahun 1945, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 29 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
C. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi
Akibat hukum yang timbul dari satu putusan hakim jika menyangkut pengujian terhadap undang-undang diatur dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang pada intinya menyatakan undang-undang yang diuji tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Ketentuan ini juga berarti bahwa putusan hakim Mahkamah Konstitusi yang menyatakan satu undang-undang bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat tidak boleh berlaku surut.
1. Putusan MK Nomor 013 - 022/PUU-IV/2006
Pada dasarnya, setiap pengaturan yang mengkriminalisasikan suatu perbuatan adalah satu kesatuan sistem yang saling terkait dan memiliki pola yang jelas. Demikian pula dalam mengkriminalisasikan perbuatan menghina yang ada di dalam KUHP, tentunya terdapat pola dan sistem tersendiri sebagai bagian dari keseluruhan sistem yang utuh. bahwa tindak pidana penghinaan dalam KUHP menganut adanya gradasi nilai dari setiap subjek hukum (korban) yang ingin dilindungi. Tiap subjek hukum yang berbeda memiliki besaran ancaman pidana yang berbeda pula. Sebagai contoh, KUHP membedakan status antara Presiden atau Wakil Presiden dengan masyarakat biasa. Ancaman pidana penjara bagi seseorang yang melakukan penghinaan kepada Presiden atau Wakil Presiden lebih besar dibandingkan ancaman pidana bagi penghinaan kepada masyarakat biasa. Adalah hal wajar ketika seorang Presiden atau Wakil Presiden yang notabene sebagai seorang kepala negara diberikan perlakuan dan perlindungan khusus terkait dengan jabatan, kewenangan, hak – kewajibannya dan statusnya. Melihat kedudukannya yang begitu penting di dalam suatu negara, sudah sepantasnya Presiden atau Wakil Presiden “dibedakan” dari masyarakat biasa.
Selain itu, KUHP juga membedakan pengaturan pasal mengenai penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dengan raja atau kepala negara sahabat maupun wakil negara asing di Indonesia. Walaupun sebenarnya Presiden dan Wakil Presiden memiliki kedudukan dan status yang sama dengan raja atau kepala Negara sahabat, yakni sama-sama pimpinan suatu Negara. Akan tetapi KUHP membedakan besaran ancaman pidana bagi kedua tindak pidana tersebut. Ancaman pidana penjara bagi seseorang yang melakukan penghinaan kepada Presiden atau Wakil Presiden lebih besar dibandingkan dengan melakukan penghinaan terhadap seorang raja atau kepala Negara sahabat maupun wakil negara asing di Indonesia.
Ketika salah satu pasal dalam sistem ini dicabut secara parsial dan tidak konsisten, maka tentunya akan memberikan dampak juridis yang cukup besar terhadap keutuhan sistem tersebut.
Dampak yuridis dari pencabutan pasal penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden juga terlihat pada penegakan hukum itu sendiri, dengan masih tercantumnya pasal penghinaan terhadap raja atau kepala negara sahabat maupun wakil negara asing di Indonesia. Tidak ikut dicabutnya pasal penghinaan terhadap raja atau kepala negara sahabat maupun wakil negara asing di Indonesia menunjukkan bahwa pencabutan pasal terhadap Presiden atau Wakil Presiden tidak memperhatikan sistem dan pola yang digunakan dimana KUHP bersandar pada gradasi nilai terhadap pihak – pihak yang berusaha untuk dilindungi. Hal ini memiliki konsekuensi bahwa seolah – olah KUHP hanya memberikan perlindungan khusus terhadap raja atau kepala Negara sahabat maupun wakil negara asing di Indonesia dari tindak pidana penghinaan sedangkan Presiden atau Wakil Presiden Indonesia tidak memperoleh perlindungan khusus selakyaknya raja atau kepala negara sahabat maupun wakil negara asing di Indonesia. Dalam hal ini Presiden atau Wakil Presiden bangsa Indonesia disamaratakan dengan masyarakat biasa. Hal ini tidaklah wajar, karena seharusnya KUHP diberlakukan di Indonesia digunakan sepenuhnya untuk melindungi masyarakat Indonesia secara umum. Jadi sudah seharusnya Presiden atau Wakil Presiden Indonesia memperoleh “prioritas” perlindungan dibandingkan seorang raja atau kepala negara sahabat maupun wakil negara asing di Indonesia. Ketika hanya seorang raja atau kepala negara sahabat maupun wakil negara asing di Indonesia yang hanya dilindungi oleh KUHP, tentu saja konsep ini telah melenceng jauh dari sistem dan pola gradasi nilai yang dianut oleh KUHP. Selain itu masih diaturnya mengenai penodaan terhadap bendera dan lambang negara Republik Indonesia serta bendera negara asing, juga seolah – olah memberikan gambaran bahwa pencabutan pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden merupakan hal yang tidak wajar. Hal berdampak bahwa seolah – olah KUHP hanya memberikan perlindungan khusus terhadap bendera dan lambing negara Republik Indonesia bahkan lambang negara lain dari tindak pidana penghinaan sedangkan Presiden atau Wakil Presiden Indonesia tidak memperoleh perlindungan khusus seperti bendera dan lambang negara Republik Indonesia serta lambang negara lain. Hal ini bukanlah sesuatu yang wajar, karena seharusnya Presiden dan Wakil Presiden bersama dengan bendera dan lambang negara Republik Indonesia merupakan simbol kenegaraan yang tidak bisa saling dipisahkan. Pada saat bendera dan lambang negara Republik Indonesia masih diberi pengaturan secara khusus, maka sudah sepantasnya Presiden dan Wakil Presiden juga diberi perlindungan dan pengaturan secara khusus, sehingga tercipta keseimbangan diantara ketiganya.
Setelah adanya Putusan MK ini, bukan berarti masyarakat yang melakukan penghinaan Presiden lepas dari jerat hukum. Masyarakat yang melakukan penghinaan terhadap Presiden masih bisa dijerat hukum pidana melalui mekanisme Pasal 310 KUHP. Saat ini penghinaan terhadap Presiden dianggap sama dengan penghinaan terhadap masyarakat biasa. Pihak yang merasa dihina, dalam hal ini Presiden, harus menyampaikan aduan kepada polisi agar penghinaan tersebut dapat diproses pidana. Pihak ketiga saat ini tidak mempunyai hak untuk melakukan pelaporan atas penghinaan yang dilakukan oleh seseorang terhadap Presiden. Ancaman hukuman bagi penghina presiden pun saat ini maksimal hanya pidana penjara selama 9 (sembilan) bulan, bukan lagi pidana penjara maksimal selama 6 (enam) tahun yang selama ini diatur dalam Pasal 134 KUHP.
2. Putusan MK Nomor 6/PUU-V/2007
Penerapan Pasal 154 dan Pasal 155 KUHP atau dikenal dengan pasal haatzaai artikelen mempunyai akibat negatif bagi keberlangsungan reformasi, proses demokratisasi, dan penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Lebih spesifik, bahwa praktik penerapannya, secara substansial, bisa melanggar hak-hak sipil dan politik warganegara sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM), dan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenan on Civil and Political Rights/ICCPR). Dengan dicabutnya Pasal 154 dan Pasal 155 KUHP oleh MK melalui putusan Perkara Nomor 6/PUU-V/2007 kemerdekaan masyarakat untuk menyatakan pikiran dan sikap serta kemerdekaan untuk menyampaikan pendapat tidak lagi merasa dihalang-halangi.
Akan tetapi, pada saat ini di dalam rancangan KUHP yang sedang dibahas bersama antara DPR dengan Pemerintah, terdapat rumusan yang serupa dengan ketentuan Pasal 154 dan Pasal 155 KUHP. Ketentuan dalam Pasal 284 RKUHP tersebut hampir sama dengan ketentuan Pasal 154 KUHP, hanya saja di dalam Pasal 284 RKUHP, tindak pidana penghinaan terhadap pemerintah yang sah merupakan delik materil. Delik materil adalah delik yang dianggap telah selesai dengan ditimbulkannya akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Rumusan delik yang terdapat dalam Pasal 284 RKUHP tersebut sejalan dengan pertimbangan hakim MK yang menyatakan bahwa kualifikasi delik atau tindak pidana yang dirumuskan dalam Pasal 154 dan 155 KUHP adalah delik formil yang cukup hanya mempersyaratkan terpenuhinya unsur adanya perbuatan yang dilarang (strafbare handeling) tanpa mengaitkan dengan akibat dari suatu perbuatan. Akibatnya, rumusan kedua pasal pidana tersebut menimbulkan kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan karena secara mudah dapat ditafsirkan menurut selera penguasa.
3. Putusan MK Nomor 1/PUU – XI/2013
Perbuatan tidak menyenangkan yang diatur dalam pasal 335 KUHP sering disebut sebagai pasal karet. Hal ini dikarenakan unsur-unsur dari pasal ini dapat digunakan untuk menjerat hampir semua perbuatan yang dirasa menyinggung perasaan orang atau dirasa tidak menyenangkan secara subjektif (personal). Pasca Putusan MK Nomor 1/PUU – XI/2013, Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP tetap berlaku, hanya saja bunyi pasal tersebut telah berubah menjadi “Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain”
Dalam Pasal 335 KUHP, sebelum adanya Putusan MK, perbuatan tidak menyenangkan merupakan suatu unsur, bukan merupakan suatu akibat dari perbuatan tersangka atau terdakwa yang dapat mengakibatkan keadaan yang tidak menyenangkan. Hilangnya frasa ”sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan” dalam Pasal 335 KUHP ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum seperti yang tercantum dalam UUD 1945 khususnya pasal 28D. Dengan demikian, diharapkan penyidik dan penuntut umum sebagai garda depan penegak hukum bisa lebih objektif dalam menerapkan Pasal 335 KUHP tersebut.
Menurut Wakapolri Komjen Oegroseno, dengan menghilangkan frasa “perbuatan tidak menyenangkan” yang terdapat pada Pasal 335 KUHP, bukan berarti pasal perbuatan tidak menyenangkan dihilangkan. Akan tetapi berubah menjadi perbuatan lain yang menjadikan tidak menyenangkan. Artinya, jika ada perkara yang berkaitan dengan frasa yang mengambang atau tidak jelas, harus dibuktikan terlebih dahulu. Selain itu, harus ada unsur kekerasan dan ancaman kekerasan. Kalau tidak ada unsur kekerasan dan ancaman kekerasan, maka delik (proses penegakan hukumnya) tidak bisa diteruskan. Sebaliknya, jika ada unsur kekerasan atau ancaman kekerasan, maka delik (proses penegakan hukumnya) dapat diteruskan.
Penekanan delik pada unsur kekerasan atau ancaman kekerasan yang ada dalam pasal 335 KUHP yang baru merupakan mutlak sebagai implikasi yuridis dari putusan MK Nomor: 1/PUU-XI/2013 tentang penghapusan frase perbuatan tidak menyenangkan pada Pasal 335 KUHP. Hal ini sangat berbeda dengan rumusan pasal 335 KUHP yang lama dimana penekanan hanya ada pada unsur “paksaan” untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu hal. Unsur dalam Pasal 335 KUHP yang telah diubah MK merupakan satu kesatuan. Unsur dalam pasal tersebut berlaku secara kumulatif yang berarti merupakan satu kesatuan dan harus terpenuhi semua. Berbeda dengan pasal 335 KUHP sebelum diubah MK, dimana unsur di dalam pasal tersebut bersifat alternatif yang mana hanya harus memenuhi unsur “memaksa” disana.
4. Putusan MK Nomor 31/PUU – XIII/2015
Dengan dinyatakannya Pasal 319 KUHP sepanjang frasa “kecuali berdasarkan Pasal 316” bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengingat, maka tindak pidana penghinaan yang dilakukan terhadap pegawai negeri saat ini merupakan delik aduan. Delik aduan hanya bisa diproses jika ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana.
Penuntutan tindak pidana yang termasuk ke dalam delik aduan digantungkan pada kemauan dan kehendak dari yang terkena tindak pidana atau yang berkepentingan. Dengan kata lain yang terkena tindak pidana mempunyai peran menentukan apakah pelaku delik itu dilakukan penuntutan atau tidak. Oleh karena penuntutan diserahkan kepada kemauan dan kehendak dari yang terkena kejahatan atau yang berkepentingan maka dengan demikian terbuka kemungkinan bagi penyelesaian secara kekeluargaan antara yang terkena kejahatan atau yang berkepentingan dengan pelaku tindak pidana sebagai penyelesaian perkara di luar campur tangan penegak hukum.
Mengenai ancaman pidananya, terkait penghinaan terhadap pegawai negeri masih berlaku Pasal 316 KUHP, yakni ditambah sepertiga dari ancaman pidana tindak pidana penghinaan terhadap masyarakat biasa.
Pada dasarnya Putusan MK dalam perkara No. 013 - 022/PUU-IV/2006 dan No. 6/PUU – V/2007 yang mengabulkan permohonan pemohon dan menyatakan Pasal 134, Pasal 136bis, Pasal 137, Pasal 154, dan Pasal 155 KUHP bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, telah melahirkan suatu keadaan hukum baru terkait dengan tindak pidana penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden serta tindak pidana pernyataan perasaan permusuhan kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah yang sah. Dengan dibatalkannya ketentuan pasal mengenai penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, maka saat ini tindak pidana penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden diproses dengan menggunakan pasal tindak pidana penghinaan biasa yang ada di dalam Pasal 310 KUHP. Akan tetapi sebenarnya, penerapan delik penghinaan terhadap pejabat negara, yakni Presiden dan Wakilnya masih sangat relevan untuk dipertahankan, karena Presiden dan Wakilnya merupakan pencerminan seluruh rakyat dan negara yang harus dilindungi martabat dan jabatannya dari tindakan pelecehan dengan sewenang-wenang untuk merendahkan jabatan itu.
Sedangkan, untuk pasal pernyataan permusuhan kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah yang sah yang terdapat dalam Pasal 154 dan Pasal 155 KUHP, dengan dibatalkannya pasal tersebut oleh MK diharapkan lebih menjamin adanya kepastian hukum bagi masyarakat dalam menyatakan pikiran dan pendapatnya. Warganegara yang ingin menyampaikan pendapatnya kepada pemerintah tidak perlu merasa takut karena saat ini kebebasan berekspresi telah benar-benar dijamin oleh Pasal 28 UUD Tahun 1945. Akan tetapi, telah terjadi suatu kekosongan hukum pidana, khususnya mengenai pasal yang akan dikenakan terhadap warganegara yang melakukan kegiatan penyebaran pernyataan perasaan permusuhan, kebencian, ataupun penghinaan terhadap pemerintah. Kekosongan hukum disebabkan karena Makamah Konstitusi tidak memberikan suatu alternatif hukum atau jalan keluar setelah mencabut ke dua pasal tersebut. Disisi lain, perangkat hukum yang sudah ada pun tidak mengatur secara jelas sanksi yang akan diberikan terhadap warga negara yang melakukan penghinaan terhadap pemerintah.
Adapun terkait dengan Pasal 335 ayat (1) butir (1) dan Pasal 319 KUHP, kedua pasal dalam KUHP tersebut masih tetap berlaku. Hanya saja pencabutan sebagian frasa dalam kedua pasal tersebut mengakibatkan suatu keadaan hukum baru. Unsur “sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang menyenangkan” sudah seharusnya dihapuskan dari rumusan Pasal 335 ayat (1) ke 1 KUHP sehingga pasal tersebut tinggal mencakup unsur menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memaksa orang lain melakukan, tidak melakukan atau mengabaikan sesuatu. Sedangkan, ketentuan mengenai penghinaan terhadap pegawai negeri berdasarkan Putusan MK No. 31/ PUU – XIII/2015 kini merupakan sebuah delik aduan.
Pada dasarnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan telah mengatur mengenai tindaklanjut dari putusan MK dalam pengujian peraturan perundang-undangan yang dituangkan dalam daftar kumulatif terbuka program legislasi nasional. Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menyatakan bahwa:
Dalam Prolegnas dimuat daftar kumulatif terbuka yang terdiri atas:
a. pengesahan perjanjian internasional tertentu;
b. akibat putusan mahkamah konstitusi;
c. anggaran pendapatan dan belanja negara;
d. pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah provinsi dan/atau kabupaten/kota; dan
e. penetapan/pencabutan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.
Dengan adanya ketentuan pasal ini maka DPR perlu menindaklanjuti putusan MK dalam daftar kumulatif terbuka program legislasi nasional. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum yang diakibatkan dari pembatalan norma pasal dalam undang-undang sehingga perlu dilakukannya legislative review.
Sampai dengan tahun 2017, kurang lebih telah ada 14 (empat belas) permohonan uji materiil terkait KUHP ke MK. Akan tetapi, hanya 5 (lima) permohonan yang dikabulkan oleh MK, yakni melalui Putusan MK No. 013 – 022/PUU-IV/2006, Putusan MK No. 6/PUU –V/2007, Putusan MK No. 1/PUU – XI/ 2013, dan Putusan MK No. 31/ PUU – XIII/2015. Berdasarkan Putusan No. 013 – 022/PUU-IV/2006 dan Putusan MK No. 6/PUU –V/2007, perlu dilakukan pembatalan atau pencabutan terhadap ketentuan dalam Pasal 134, Pasal 136bis, Pasal 137, Pasal 154 dan Pasal 155 KUHP.
Sementara itu berdasarkan Putusan MK No. 1/PUU – XI/ 2013 dan Putusan MK No. 31/ PUU – XIII/2015 perlu dilakukan perubahan atau revisi terhadap Pasal 335 ayat (1) dan Pasal 319 KUHP, sehingga nantinya substansi pasal a quo tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi materi muatan mengenai tindak lanjut Putusan MK. Oleh karena itu, perlu segera perlu dilakukan perubahan terhadap KUHP yang dituangkan dalam rencana penggantian KUHP baik sebagai daftar kumulatif terbuka maupun dalam Prolegnas Prioritas Tahunan.
Apabila pembuat undang-undang memutuskan untuk melakukan perubahan/penggantian KUHP, maka perlu memperhatikan keempat Putusan MK yang menguji pasal dalam KUHP yang telah memberikan putusan terhadap Pasal 134, Pasal 136bis, Pasal 137, Pasal 154, Pasal 155, Pasal 335 sepanjang frasa “sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan”, dan Pasal 319 sepanjang frasa “kecuali berdasarkan Pasal 316” KUHP.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430