Analisis dan Evaluasi UU Berdasarkan Putusan MK


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-evaluasi.phtml on line 66

Warning: Undefined property: stdClass::$resume in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-evaluasi.phtml on line 80

Deprecated: nl2br(): Passing null to parameter #1 ($string) of type string is deprecated in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-evaluasi.phtml on line 80
Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi : Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol 2008) dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol 2011) / 01-12-2017

Sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat merupakan hak asasi manusia yang harus dilaksanakan untuk memperkuat semangat kebangsaan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang demokratis. Hak untuk berserikat dan berkumpul diwujudkan dalam pembentukan partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi dalam sistem politik Indonesia.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang partai politik (UU Parpol 2011) telah menjadi dasar hukum sekaligus pedoman bagi partisipasi politik masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi dan meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan. Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD Tahun 1945. Partai politik sebagai pilar demokrasi perlu ditata dan disempurnakan untuk mewujudkan sistem politik yang demokratis guna mendukung sistem presidensiil yang efektif.
Dalam perjalanannya, ada 4 (empat) permohonan uji materiil yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol 2008) dan UU Parpol 2011, yang telah diputus dikabulkan baik sebagian maupun seluruhnya. Pasal-pasal tersebut yaitu Pasal 16 ayat (3) UU Parpol 2008 serta Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (2) huruf c, Pasal 34 ayat (3b) huruf a, Pasal 51 ayat (1), dan Pasal 51 ayat (1a) UU Parpol 2011. Berikut hasil Putusan MK terhadap Pasal-pasal tersebut yang secara umum tergambar dalam tabel berikut:

No Putusan MK Pasal yang diuji Batu Uji
UUD Tahun 1945 Amar Putusan
1 Perkara Nomor 15/PUU-IX/2011 Pasal 51 ayat (1) UU Parpol 2011

Pasal 51 ayat (1)

“Partai Politik yang telah disahkan sebagai badan hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik tetap diakui keberadaannya dengan kewajiban melakukan penyesuaian menurut Undang-Undang ini dengan mengikuti verifikasi”.
Pasal 22A, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945. 1. Mengabulkan permohonan para Pemohon;
2. Pasal 51 ayat (1), Pasal 51 ayat (1a) sepanjang frasa ”Verifikasi Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”, Pasal 51 ayat (1b), dan Pasal 51 ayat (1c) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5189) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
3. Pasal 51 ayat (1), Pasal 51 ayat (1a) sepanjang frasa ”Verifikasi Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”, Pasal 51 ayat (1b), dan Pasal 51 ayat (1c) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5189) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak putusan ini diucapkan.
2 Perkara Nomor 35/PUU-IX/2011 Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (2) huruf c, dan Pasal 51 ayat (1a) UU Parpol 2011

Pasal 2 ayat (1)

“Partai Politik didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 30 (tiga puluh) orang warga negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau sudah menikah dari setiap provinsi”.

Pasal 3 ayat (2) huruf c

“Untuk menjadi badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Partai Politik harus mempunyai:
c.kepengurusan pada setiap provinsi dan paling sedikit 75% (tujuh puluh lima per seratus) dari jumlah kabupaten/kota pada provinsi yang bersangkutan dan paling sedikit 50% (lima puluh per seratus) dari jumlah kecamatan pada kabupaten/kota yang bersangkutan);”

Pasal 51 ayat (1a)

“Verikasi Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Partai Politik yang dibentuk setelah Undang-Undang ini diundangkan, selesai paling lambat 2 ½ (dua setengah) tahun sebelum hari pemungutan suara pemilihan umum.” Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28E ayat (3) UUD Tahun 1945 1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
2. Pasal 51 ayat (1a) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “Verifikasi partai politik yang dibentuk setelah Undang-Undang ini harus dilakukan paling lambat 2 ½ (dua setengah) tahun sebelum hari pemungutan suara untuk mengikuti pemilihan umum pada pemilihan umum pertama kali setelah partai politik yang bersangkutan didirikan dan berbadan hukum”;
3. Pasal 51 ayat (1a) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Verifikasi partai politik yang dibentuk setelah Undang-Undang ini harus dilakukan paling lambat 2 ½ (dua setengah) tahun sebelum hari pemungutan suara untuk mengikuti pemilihan umum pada pemilihan umum pertama kali setelah partai politik yang bersangkutan didirikan dan berbadan hukum”;
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
5. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;

3 Perkara Nomor 39/PUU-XI/2013 Pasal 16 ayat (3) UU Parpol 2008

Pasal 16 ayat (3)

“Dalam hal anggota Partai Politik yang diberhentikan adalah anggota lembaga perwakilan rakyat, pemberhentian dari keanggotaan Partai Politik diikuti dengan pemberhentian dari keanggotaan di lembaga perwakilan rakyat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Pasal 19 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), pasal 28D ayat (3) UUD Tahun 1945 1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
1.1. Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5189) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “dikecualikan bagi anggota DPR atau DPRD jika:
a. partai politik yang mencalonkan anggota tersebut tidak lagi menjadi peserta Pemilu atau kepengurusan partai poitik tersebut sudah tidak ada lagi,
b. anggota DPR atau DPRD tidak diberhentikan atau tidak ditarik oleh partai politik yang mencalonkannya,
c. tidak lagi terdapat calon pengganti yang terdaftar dalam Daftar Calon Tetap dari partai yang mencalonkannya”;
1.2. Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5189) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “dikecualikan bagi anggota DPR atau DPRD jika:
a. partai politik yang mencalonkan anggota tersebut tidak lagi menjadi peserta Pemilu atau kepengurusan partai poitik tersebut sudah tidak ada lagi,
b. anggota DPR atau DPRD tidak diberhentikan atau tidak ditarik oleh partai politik yang mencalonkannya,
c. tidak lagi terdapat calon pengganti yang terdaftar dalam Daftar Calon Tetap dari partai yang mencalonkannya”;
2. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

4 Perkara Nomor 100/PUU-XI/2013 Pasal 34 ayat (3b) huruf a UU Parpol 2011

Pasal 34 ayat (3b) huruf a

“Pendidikan Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3a) berkaitan dengan kegiatan:
a.pendalaman mengenai empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia;”
Terhadap Pembukaan UUD Tahun 1945 alinea keempat 1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian.
1.1. Frasa “empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu” dalam Pasal 34 ayat (3b) huruf a Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5189) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia Tahun 1945;
1.2. Frasa “empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu” dalam Pasal 34 ayat (3b) huruf a Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5189) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
2. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;
3. Memerintahkan pemuatan putusanini dalam berita negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.


Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa dengan dikabulkannya permohonan uji materiil Pasal 16 ayat (3) UU Parpol 2008 serta Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (2) huruf c, Pasal 34 ayat (3b) huruf a, Pasal 51 ayat (1), dan Pasal 51 ayat (1a) UU Parpol 2011 terhadap UUD Tahun 1945 membawa implikasi dan akibat hukum serta menciptakan keadaan hukum baru sebagai implikasi dikabulkannya permohonan uji materiil pasal-pasal a quo baik seluruhnya atau sebagian, sehingga perlu dilakukan evaluasi dan analisis terhadap keempat Putusan MK tersebut.

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal dan ayat suatu UU yang dinyatakan MK sebagai inkonstitusionalitas/inkonstitusionalitas bersyarat?
3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu UU jika suatu pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan?

A. KONSTITUSIONALITAS UNDANG-UNDANG
Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 yang menjadi kewenangan MK merupakan wujud prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Kewenangan pengujian undang-undang menimbulkan sebuah kewenangan yang mutatis mutandis (dengan sendirinya) ada, yaitu kewenangan menafsirkan konstitusi. Apabila dalam konstitusi tidak terdapat ketentuan yang ekplisit mengenai kewenangan menafsir konstitusi kepada lembaga negara yang diberikan kewenangan constitutional review, maka harus dipahami bahwa kewenangan menafsirkan konstitusi menyertai kewenangan constitutional review tersebut. Oleh sebab itu, sering dinyatakan bahwa Constitutional Court itu merupakan “the guardian of constitution and the sole interpreting of constitution”, disebut sebagai penjaga konstitusi berdasarkan kewenangan dalam memutus apakah sebuah produk perundang-undangan telah sesuai dengan konstitusi atau tidak.
Kewenangan menafsirkan itu sesungguhnya timbul dari sebuah tafsir Pasal 24C UUD Tahun 1945 bahwa “MK menguji undang-undang terhadap UUD” sebagai ketentuan pemberian kewenangan constitutional review kepada MK, ketentuan tersebut tidak mengandung kewenangan MK untuk melakukan penafsiran terhadap konstitusi, namun sangatlah tidak mungkin dapat melakukan penilaian pertentangan norma sebuah undang-undang apabila tidak menggunakan penafsiran konstitusi, dalam hal ini MK sebagai penafsir sah terhadap undang-undang dasar atau konstitusi (the legitimate interpreter of the constitution).
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD Tahun 1945, salah satu kewenangan dari Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan wujud dari prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945.
Menurut Sri Soemantri, dalam praktiknya dikenal adanya dua macam hak menguji yaitu :
a. Hak menguji formil (formale toetsingsrecht);
Hak menguji formil adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif seperti undang-undang misalnya terjelma melalui cara-cara (procedur) sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak. Dalam pengujian formal ini tampak jelas bahwa yang dinilai atau diuji adalah tatacara (procedur) pembentukan suatu undang-undang, apakah sesuai ataukah tidak dengan yang telah ditentukan/digariskan dalam peraturan perundang-undangan.
b. Hak menguji material (materiele toetsingsrecht).
Hak menguji material adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu pertauran perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Hak menguji material ini berkenanan dnegan isi dari suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya. Jika suatu undang-undang dilihat dari isinya bertentangan dengan undang-undang dasar maka undang-undang tersebut harus dinyatakan tidak mempunyai daya mengikat.
Menurut pandangan Jimly Asshiddiqqie, dalam praktiknya dikenal adanya tiga macam norma hukum yang dapat diuji atau yang biasa disebut norm control mechanism. Ketiganya sama-sama merupakan bentuk norma hukum sebagai hasil dari proses pengambilan keputusan hukum yaitu keputusan normative yang berisi dan bersifat pengaturan (regeling), keputusan normatif yang berisi dan bersifat penetapan administrative (beschikking), dan keputusan normatif yang berisi dan bersifat penghakiman (judgement) yang biasa disebut vonis. Mekanisme pengujian norma hukum ini dapat dilakukan dengan mekanisme pengujian yang dilakukan oleh lembaga peradilan yang dikenal dengan istilah judicial review. Terdapat beberapa jenis pengujian yaitu legislative review(pengujian tersebut diberikan kepada parlemen), executive review (pengujian tersebut diberikan kepada pemerintah), dan judicial review (pengujian yang diberikan kepada lembaga peradilan). Ketiga bentuk norma hukum ada yang merupakan individual and concret norms, dan ada pula yang merupakan general and abstract norms. Vonis dan beschikking selalu bersifat individualand concrete sedangkan jika yang diuji normanya bersifat umum dan abstrak maka norma yang diuji itu adalah produk regeling. Pengujian norma hukum yang bersifat konkret dan individual termasuk dalam lingkup peradilan tata usaha negara.
Dalam pengujian undang-undang, terdapat dua istilah yakni judicial review dan constitutional review. Constitutional review yang dapat diartikan sebagai pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar yang pada saat ini menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi, judicial review dapat diartikan sebagai pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang yang pada saat ini dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Pada dasarnya banyak yang menyamakan istilah judicial review dan constitutional review, padahal kedua istilah ini berbeda. Jika constitutional review maka ukuran pengujiannya dilakukan dengan menggunakan konstitusi sebagai alat ukur, namun jika norma yang diujikan tersebut menggunakan batu ujinya adalah undang-undang maka dapat dikatakan sebagai judicial review. Konsep constitutional review berkembang dari gagasan modern tentang sistem pemerintahan demokratis yang didasarkan atas ide-ide negara hukum (rule of law), prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power), serta perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia (the protection of fundamental rights). Dalam constitutional review terdapat dua tugas pokok yakni :
a. Untuk menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam hubungan perimbangan peran atau interplay antar cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dengan perkataan lain constitutional review dimaksudkan untuk mencegah terjadinya pendayagunaan kekuasaan oleh satu cabang kekuasaan lainnya; dan
b. Untuk melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga negara yang merugikan hak fundamental warga negara yang dijamin dalam konstitusi.
Dengan adanya keberadaan Mahkamah Konstitusi juga telah menciptakan pembagian kekuasaan atau pemisahan kekuasaan yang memungkinkan adanya proses saling mengawasi dan saling mengimbangi di antara cabang-cabang kekuasaan negara yang ada atau lazim disebut dengan mekanisme checks and balances. Hal itu tampak terutama dari salah satu kewenangan yang dilimpahkan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945.
Dengan demikian, esensi dari produk putusan Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 ditempatkan dalam bingkai mekanisme check and balances antara lembaga negara. Hubungan untuk saling mengontrol ini, pada akhirnya dimaksudkan untuk melahirkan suatu produk hukum yang adil dan betul-betul berorientasi pada kepentingan rakyat. Sehingga, pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 dapat juga dilihat sebagai bagian dari koreksi terhadap produk yang dihasilkan oleh DPR RI dan Presiden.

B. PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI FINAL DAN MENGIKAT
Mahkamah Konstitusi yang diadopsi dalam UUD Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD Tahun 1945. Melalui fungsi ini maka Mahkamah Konstitusi dapat menutupi segala kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam UUD Tahun 1945.
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya maka Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Tahun 1945; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C UUD Tahun 1945, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 29 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dari uraian diatas maka diketahui bahwa sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu final yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Konsep ini mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni secara sederhana dan cepat sebagaimana diuraikan dalam penjelasan No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang secara utuh menjelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi dalam menyelenggarakan peradilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tetap mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni dilakukan secara sederhana dan cepat. Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat tersebut, tidak dapat dilepaskan dengan asas erga omnes yang diartikan dengan mengikat secara umum dan juga mengikat terhadap obyek sengketa. Apabila suatu peraturan perundang‐undangan oleh hakim menyatakan tidak sah, karena bertentangan dengan peraturan perundang‐undangan yang lebih tinggi, berarti peraturan perundang‐undangan tersebut berakibat menjadi batal dan tidak sah untuk mengikat setiap orang.
Secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frasa “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dalam rangkaian pemeriksaan” sedangkan frasa mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harfiah ini maka frasa final dan frasa mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya dari suatu proses pemeriksaan telah memiliki kekuatan mengeratkkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum. Tatkala putusan tersebut diucapkan dalam sidang pleno, maka ketika itu lahir kekuatan mengikat (verbindende kracht).
Secara Substansial makna hukum dari putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat dibagi dalam beberapa bagian yaitu:
a. Menjaga konstitusi (The Guardian of Constitution), menafsirkan konstitusi (The Interpreteur of Constitution), menjaga demokrasi, menjaga persamaan di mata hukum, dan koreksi terhadap undang-undang.
Kehadiran Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan tidak lain berperan sebagai pengawal konstitusi (The Guardian of Constitution), agar konstitusi selalu dijadikan landasan dan dijalankan secara konsisten oleh setiap komponen negara dan masyarakat. Mahkamah Konstitusi berfungsi mengawal dan menjaga agar konstitusi ditaati dan dilaksanakan secara konsisten, serta mendorong dan mengarahkan proses demokratisasi berdasarkan konstitusi. Dengan adanya Mahkamah Konstitusi, proses penjaminan demokrasi yang konstitusional diharapkan dapat diwujudkan melalui proses penjabaran dari empat kewenangan konstitusional (constitusionally entrusted powers) dan satu kewajiban (constitusional obligation). Mahkamah Konstitusi bertugas melakukan penyelesaian persengketaan yang bersifat konstitusional secara demokratis.
Putusan-putusan yang final dan mengikat 
 yang ditafsirkan sesuai dengan konstitusi sebagai hukum tertinggi, dimana pelaksanaannya harus bertanggungjawab, sesuai dengan kehendak rakyat (konstitusi untuk rakyat bukan rakyat untuk konstitusi), dan cita‐cita demokrasi, yakni kebebasan dan persamaan (keadilan).Artinya Mahkamah Konstitusi tidak hanya sebagai penafsir melalui putusan‐putusannya melainkan juga sebagai korektor yang aplikasinya yang tercermin dalam undang‐undang yang dibuat oleh DPR dan Presiden dengan batu uji konstitusi melalui interprestasinya dengan kritis dan dinamis.Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat merupakan refleksi dari fungsinya sebagai penjaga konstitusi, penjaga demokrasi, penjaga persamaan dimata hukum, penafsir konstitusi dan korektor undang‐undang agar disesuaikan dengan UUD.
b. Membumikan prinsip-prinsip negara hukum;
Filosofi negara hukum adalah negara melaksanakan kekuasaannya, tunduk terhadap pengawasan hukum. Artinya ketika hukum eksis terhadap negara, maka kekuasaan negara menjadi terkendali dan selanjutnya menjadi negara yang diselenggarakan berdasarkan ketentuan hukum tertulis atau tidak tertulis (konvensi).
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawas tertinggi, tatkala putusannya yang final dan mengikat, makna hukumnya adalah membumikan negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila sebagaimana dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon. Dimana, melalui putusan Mahkamah Konstitusi mengadili dan memutus hal‐hal yang berkaitan dengan kewenangan adtribusi yang diberikan kepadanya untuk menjaga, keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan.
c. Membangun sebuah penegakkan hokum
Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan yaitu kepastian hukum (rechissicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit). Selanjutnya ditegaskan bahwa kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang‐wenang, yang berarti bahwa seseorang akan memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib, karena hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk ketertiban masyarakat. Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat dapat dimaknai sebagai penegakan hukum tata negara. Khususnya menyangkut pengontrolan terhadap produk politik yaitu undang‐undang yang selama ini tidak ada lembaga yang dapat mengontrolnya. Pada sisi lain, juga dapat menegakkan hukum dimana memutuskan tentang benar salahnya Presiden atau Wakil Presiden yang dituduh oleh DPR bahwa melakukan perbuatan melanggar hukum. Demikian juga dapat memutuskan tentang sengketa‐sengketa khusus yang merupakan kewenangannya termasuk memutuskan untuk membubarkan partai politik. Dengan demikian, hal ini sangat diharapkan sebagai wujud perlindungan hak‐hak masyarakat dan juga menempatkan semua orang sama di mata hukum (equality before the law).
d. Perekayasa Hukum
Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat ( final dan banding) merupakan suatu bentuk rekayasa hukum. Frasa “rekayasa” diartikan sebagai penerapan kaidah‐kaidah ilmu dalam pelaksanaan seperti perancangan, pembuatan konstruksi, serta pengoperasian kerangka, peralatan, dan sistem yang ekonomis dan efisien.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat sebagai sebuah bentuk rekayasa hukum yang diwujudkan dalam bentuk norma atau kaidah yang sifatnya membolehkan, mengajurkan, melarang, memerintahkan untuk berbuat atau tidak berbuat. Nilai mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi yang final adalah sama dengan nilai mengikat dan sebuah undang‐undang hasil produk politik, yang berfungsi sebagai alat rekayasa sosial politik, alat kontrol terhadap masyarakat dan penguasa serta memberikan perlindungan hukum terhadap seluruh komponen bangsa.

C. AKIBAT HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Putusan dalam peradilan merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat negara berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan para pihak kepadanya. Sebagai perbuatan hukum yang akan menyelesaikan sengketa yang dihadapkan kepadanya, maka putusan hakim tersebut merupakan tindakan negara di mana kewenangannya dilimpahkan kepada hakim baik berdasarkan UUD Tahun 1945 maupun undang-undang.
Dari sudut pandang hukum tata negara, putusan Mahkamah Konstitusi termasuk dalam keputusan negara yang mengandung norma hukum sama halnya dengan putusan pembentuk undang-undang yang bersifat pengaturan (regeling). Putusan Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan suatu undang-undang atau materi muatan dalam undang-undang, sedangkan pembentuk undang-undang menciptakan norma hukum dalam bentuk materi muatan dalam suatu undang-undang.
Putusan Mahkamah Konstitusi terutama dalam pengujian undang-undang kebanyakan jenisnya adalah bersifat declaratoir constitutief. Artinya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menciptakan atau meniadakan satu keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru sebagai negative legislature. Hal lain yang perlu dicermati lebih lanjut adalah adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) maupun inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Varian putusan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan putusan yang menyatakan bahwa suatu ketentuan undang-undang tidak bertentangan dengan konstitusi dengan memberikan persyaratan pemaknaan dan keharusan kepada lembaga negara dalam pelaksanaan suatu ketentuan undang-undang untuk memperhatikan penafsiran Mahkamah Konstitusi atas konstitusionalitas ketentuan undang-undang yang sudah diuji tersebut. Dengan demikian, terdapat penafsiran sendiri dari Mahkamah Konstitusi agar suatu norma undang-undang tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945.
Putusan Mahkamah Konsitusi sejak diucapkan di hadapan sidang terbuka untuk umum dapat mempunyai 3 (tiga) kekuatan, yaitu:
1. Kekuatan mengikat
Kekuatan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi berbeda dengan putusan pengadilan biasa, tidak hanya meliputi pihak-pihak berperkara (interpartes), yaitu pemohon, pemerintah, DPR/DPD, ataupun pihak terkait yang diizinkan memasuki proses perkara, tetapi juga putusan tersebut mengikat bagi semua orang, lembaga negara, dan badan hukum dalam wilayah republik Indonesia.
Putusan tersebut berlaku sebagai hukum sebagaimana hukum diciptakan pembuat undang-undang. Dengan demikian, Hakim Mahkamah Konstitusi dikatakan sebagai negative lagislator yang putusannya bersifat erga omnes, yang ditujukan pada semua orang.
2. Kekuatan pembuktian
Dalam perkara konstitusi yang putusannya bersifat erga omnes, maka permohonan pengujian yang menyangkut materi yang sama yang sudah pernah diputus tidak dapat lagi diajukan untuk diuji oleh siapapun. Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah berkekuatan hukum tetap demikian dapat digunakan sebagai alat bukti dengan kekuatan pasti secara positif bahwa apa yang diputus oleh hakim itu dianggap telah benar. Selain itu, pembuktian sebaliknya tidak diperkenankan.
3. Kekuatan eksekutorial
Putusan Mahkamah Konstitusi berlaku sebagai undang-undang dan tidak memerlukan perubahan yang harus dilakukan dengan amandemen atas undang-undang yang bagian tertentu dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Eksekusi putusan Mahkamah Konstitusi telah dianggap terwujud dengan pengumuman putusan tersebut dalam Berita Negara sebagaimana diperintahkan dalam Pasal 57 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Akibat hukum yang timbul dari satu putusan hakim jika menyangkut pengujian terhadap undang-undang diatur dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang pada intinya menyatakan undang-undang yang diuji tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Ketentuan ini juga berarti bahwa putusan hakim Mahkamah Konstitusi yang menyatakan satu undang-undang bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat tidak boleh berlaku surut.

1. Pendapat Hukum MK
a. Pendapat hukum MK terhadap perkara Nomor 15/PUU-IX/2011
MK mencermati Pasal 51 ayat (1) UU Parpol 2008 sebelum diubah dengan UU Parpol 2011 menyatakan bahwa Partai Politik yang telah disahkan sebagai badan hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik (UU Parpol 2002) tetap diakui keberadaannya. Partai Politik akan bubar apabila membubarkan diri atas keputusan sendiri, menggabungkan diri dengan partai politik lain, dan dibubarkan oleh MK (Pasal 41 UU Parpol 2008).
Dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU 10/2008) menyatakan bahwa ”Partai Politik peserta Pemilu pada Pemilu sebelumnya dapat menjadi peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya”. UU 10/2008 pada waktu diundangkan tidaklah dimaksudkan hanya berlaku untuk Pemilihan Umum tahun 2009 saja namun dimaksudkan sebagai Undang-Undang yang berlaku untuk pemilihan umum-pemilihan umum berikutnya.
Selain itu terdapat ketentuan yang berkaitan dengan penetapan syarat partai politik yang dapat mengikuti Pemilu tahun 2009 yaitu Pasal 315 UU 10/2008. Ketentuan ini tidak memang berkaitan dengan pembubaran partai politik. Ketentuan tersebut menyatakan, “Partai Politik Peserta Pemilu tahun 2004 yang memperoleh sekurang-kurangnya 3% jumlah kursi DPR atau memperoleh sekurang-kurangnya 4% jumlah kursi DPRD provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya di ½ jumlah provinsi seluruh Indonesia, atau memperoleh sekurangkurangnya 4% jumlah kursi DPRD kabupaten/kota yang tersebar sekurang-kurangnya di ½ jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia, ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu setelah Pemilu tahun 2004”.
Terhadap partai politik yang tidak memenuhi persyaratan Pasal 315 UU 10/2008 pun tidak melakukan pembubaran tetapi masih membuka kesempatan kepada partai politik tersebut untuk mengikuti pemilihan umum tahun 2009 dengan cara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 316 huruf a, huruf b, dan huruf c UU 10/2008. Apabila partai politik yang tidak memenuhi syarat Pasal 315 UU 10/2008 dan tidak melakukan penggabungan sebagaimana dimaksud Pasal 316 huruf a, huruf b, dan huruf c UU 10/2008, maka masih terbuka kesempatan bagi partai politik tersebut untuk dapat ikut Pemilu tahun 2009 dengan syarat sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 316 huruf e UU 10/2008 yaitu memenuhi persyaratan verifikasi oleh KPU untuk menjadi Partai Politik Peserta Pemilu, dimana syarat Parpol untuk dapat mengikuti Pemilu terdapat dalam Pasal 8 UU 10/2008. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas jelas bahwa menurut UU Parpol 2008 dan UU 10/2008 tidak mengenal pembubaran partai politik, tidak menetapkan berakhir atau bubarnya statusnya sebagai badan hukum partai politik tersebut artinya masih tetap diakui kedudukannya sebagai badan hukum.
MK berpendapat bahwa pengaturan status badan hukum partai politik dalam UU Parpol 2008 maupun UU 10/2008 telah tepat dan benar. Oleh karena partai politik masih tetap diakui berstatus badan hukum maka status badan hukum tersebut haruslah tetap mendapat perlindungan konstitusional oleh Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28E ayat (3) UUD Tahun 1945.
MK sependapat dengan para Pemohon bahwa adanya frasa ”tetap diakui keberadaannya dengan kewajiban melakukan penyesuaian terhadap undang-undang ini dengan mengikuti verifikasi” yang terdapat dalam Pasal 51 ayat (1) UU Parpol 2011 adalah tidak jelas maksudnya. Dengan adanya kata ”keberadaannya” artinya menimbulkan pertanyaan apakah hal ini menyangkut eksistensi partai politik sebagai badan hukum. Sedangkan frasa ”kewajiban mengikuti verifikasi” mempunyai akibat hukum terhadap eksistensi para Pemohon sebagai partai politik yang berbadan hukum, yaitu apakah hasil verifikasi dapat secara langsung mempengaruhi eksistensi partai politik dalam hal ini para Pemohon. Artinya, sebagai partai politik para Pemohon akan kehilangan status badan hukumnya karena tidak lolos verifikasi.
MK berpendapat bahwa hal yang demikian akan melanggar kepastian hukum terhadap para Pemohon yang oleh Undang-Undang sebelumnya telah dijamin keberadaannya sebagai partai politik yang berbadan hukum. Pembuat Undang-Undang seharusnya membedakan antara tata cara pembentukan atau pendirian partai politik dengan aturan tentang syarat-syarat yang dibebankan kepada partai politik agar sebuah partai politik dapat mengikuti pemilihan umum, serta ketentuan yang mengatur tentang kelembagaan DPR.
Tata cara pembentukan atau pendirian partai politik adalah tata cara yang harus dilakukan oleh warga negara yang akan mendirikan partai politik, sehingga partai politik yang didirikan tersebut mendapatkan status badan hukum. Sedangkan syarat-syarat partai politik untuk dapat mengikuti pemilihan umum adalah syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang tersendiri agar partai politik yang telah berbadan hukum tersebut dapat menjadi peserta pemilu untuk dapat menempatkan wakilnya di dalam lembaga perwakilan yang harus diraih melalui pemilihan umum. Mengenai ketentuan yang mengatur tentang kelembagaan DPR juga diatur dalam Undang-Undang tersendiri yang antara lain mengatur tentang susunan organisasi, keanggotaan, tata tertib dan mekanisme pengambilan keputusan, dan sebagainya. MK berpendapat bahwa ketentuan yang terdapat dalam Pasal 51 ayat (1) UU Parpol 2011 mencampuradukkan ketiga hal tersebut.
Menurut MK, kedudukan sebagai badan hukum yang telah dimiliki oleh partai politik haruslah mendapatkan perlindungan konstitusional. Perlindungan yang telah diberikan oleh UU Parpol 2008 dan UU 10/2008 terhadap status badan hukum partai politik telah dihilangkan oleh Pasal 51 ayat (1) UU Parpol 2011.
Padahal partai politik dalam konstitusi UUD Tahun 1945 mempunyai fungsi yang sangat penting karena UUD Tahun 1945 secara eksplisit memberikan hak konstitusional kepada partai politik. Partai politik dengan demikian tidak saja menjadi infrastruktur demokrasi tetapi juga sudah menjadi bagian dari mekanisme demokrasi yang ditetapkan dalam UUD Tahun 1945. Oleh karena itu, partai politik harus mendapatkan kepastian hukum untuk menjamin hak konstitusionalnya termasuk para Pemohon yang merupakan partai politik yang telah mempunyai kedudukan sebagai badan hukum. Hal ini karena partai politik memang penting dalam sistem ketatanegaraan yang hanya dapat dilakukan oleh kader-kader partai politik yang baik yang merupakan hasil pendidikan partai politik yang bersangkutan.
Sebuah partai politik tentunya memerlukan waktu dan proses yang tidak singkat untuk melakukan pengkaderan politik dan hal demikian hanya dimungkinkan kalau ada jaminan kelangsungan eksistensinya. Partai politik yang gagal untuk mendudukkan wakilnya di lembaga perwakilan tidak serta merta kehilangan statusnya sebagai badan hukum dan tetap mempunyai hak konstitusional untuk ikut dalam pemilihan umum berikutnya dengan memenuhi persyaratan yang ditentukan. Apabila suatu partai politik tidak mengikuti pemilihan umum berikutnya, tidak menjadikan partai politik tersebut kehilangan statusnya sebagai badan hukum dan partai politik tersebut dapat melakukan persiapan yang lebih matang untuk mengikuti Pemilu atau melakukan kaderisasi. Dengan cara demikian, akan tetap terjamin hak berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat yang dimiliki oleh anggota sebuah partai politik. Terjaminnya kelangsungan eksistensi partai politik yang berbadan hukum yang gagal menempatkan wakilnya dalam lembaga perwakilan dalam suatu masa pemilihan umum, akan terhindar pula adanya musim pendirian partai politik pada setiap menjelang pelaksanaan Pemilu.
Berdasarkan uraian tersebut MK berpendapat bahwa Pasal 51 ayat (1) UU Parpol 2011 melanggar hak konstitusional para Pemohon yang dijamin oleh UUD Tahun 1945. Pasal 51 ayat (1) UU Parpol 2011 bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dengan konsekuensi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat maka akan mempunyai akibat langsung kepada Pasal 51 ayat (1a) yaitu tidak relevannya lagi adanya frasa ”Verifikasi Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)” dan pada Pasal 51 ayat (1b) yang menyatakan, ”Dalam hal Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memenuhi syarat verifikasi, keberadaan partai politik tersebut tetap diakui sampai dilantiknya anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota hasil Pemilihan Umum tahun 2014”, serta Pasal 51 ayat (1c) yang menyatakan, ”Anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1b) tetap diakui keberadaannya sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sampai akhir periode keanggotannya”, sehingga ketentuan tersebut tidak diperlukan lagi. Oleh karenanya, menurut MK dalil Pemohon beralasan menurut hukum.

b. Pendapat hukum MK terhadap perkara Nomor 35/PUU-IX/2011
MK mencermati UU Parpol 2011 telah mempersulit dan memperberat untuk mendirikan dan membentuk partai baru, karena sebelum perubahan UU Parpol 2008 in casu Pasal 2 ayat (1), partai politik didirikan oleh 50 orang WNI, namun setelah perubahan dengan UU Parpol 2011 in casu Pasal 2 ayat (1) dan ayat (1a), partai politik didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 30 orang WNI dari setiap provinsi dan didaftarkan paling sedikit oleh 50 orang pendiri yang mewakili seluruh pendiri partai politik.
MK berpendapat bahwa syarat pendirian dan pembentukan partai politik yaitu didirikan paling sedikit 30 orang dari setiap provinsi merupakan pilihan kebijakan yang wajar, dan syarat demikian tidaklah berlebihan. Apabila dasar yang dijadikan perbandingan para Pemohon untuk menilai berat atau tidaknya dalam pendirian partai politik baru tersebut menggunakan UU Parpol 2008, maka terlihat persyaratan pembentukan partai politik baru memang berat.
Akan tetapi, menurut MK, untuk mendirikan partai politik seharusnya tidak hanya digunakan perbandingan dengan UU Parpol 2008, melainkan juga harus mempertimbangkan jumlah penduduk yang semakin bertambah. Karena persyaratan pendirian partai politik baru tersebut menggunakan pertimbangan bertambahnya penduduk, maka menjadi wajar jika disyaratkan bahwa pendirian partai politik baru oleh paling sedikit 30 orang pendiri di setiap provinsi. Hal demikian merupakan jumlah yang relatif sedikit dan sederhana atau setidak-tidaknya mudah untuk dipenuhi oleh partai politik baru tersebut.
Selain itu, sebagai negative legislator pada dasarnya MK tidak dapat membentuk norma sebagai pengganti dari norma yang dibatalkan sehingga apabila pasal tersebut dibatalkan atau dinyatakan inkonstitusional maka akan terjadi kekosongan hukum. Terlebih lagi berdasarkan pengalaman di masa lalu, setiap terjadi perubahan Undang-Undang tentang kepartaian selalu pula terjadi perubahan syarat-syarat pendirian dan pembentukan partai baru. Hal tersebut dapat dipahami sebagai penyesuaian tingkat perkembangan bangsa dan negara. Oleh karena itu, menurut MK dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
UU Parpol 2011 pun telah mempersulit partai politik untuk menjadi badan hukum, karena Pasal 3 ayat (2) terutama huruf c UU Parpol 2011 mensyaratkan partai politik tersebut harus memiliki kepengurusan pada setiap provinsi, dan paling sedikit 75% dari jumlah kabupaten/kota pada provinsi yang bersangkutan, serta paling sedikit 50% dari jumlah kecamatan pada kabupaten/kota yang bersangkutan. Selain itu, UU Parpol 2011 telah menyamakan persyaratan partai politik menjadi badan hukum dengan persyaratan partai politik untuk mengikuti Pemilu. Penyamaan demikian telah melahirkan pembatasan terhadap pendirian dan pembentukan partai politik bagi warga negara, padahal hak untuk berserikat dan berkumpul, serta hak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya dijamin oleh Pasal 28 dan Pasal 28C ayat (2) UUD Tahun 1945.
Terhadap dalil para Pemohon tersebut, menurut MK, partai politik merupakan organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok WNI secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita dalam memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan negara melalui pemilihan umum. Untuk dapat mengikuti pemilihan umum, partai politik tersebut harus berbadan hukum yang didaftarkan pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. UU Parpol 2011 telah menentukan syarat pemberian badan hukum kepada partai politik, yaitu antara lain, “kepengurusan pada setiap provinsi dan paling sedikit 75% dari jumlah kabupaten/kota pada provinsi yang bersangkutan dan paling sedikit 50% dari jumlah kecamatan pada kabupaten/kota yang bersangkutan”. Apabila dicermati Undang-Undang tentang Parpol yang berlaku sejak reformasi, yaitu dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Parpol (UU Parpol 1999), UU Parpol 2002, dan UU Parpol 2008, pengaturan syarat partai politik untuk dapat menjadi badan hukum selalu berbeda. Dalam UU Parpol 1999 tidak memasukkan adanya kepengurusan partai politik di daerah (provinsi, kabupaten, dan kecamatan) sebagai salah satu persyaratan badan hukum sebuah partai politik, sedangkan UU Parpol 2002, UU Parpol 2008, dan UU Parpol 2011 mengharuskan pembentukan kepengurusan partai politik di daerah (provinsi, kabupaten, dan kecamatan) sebagai salah satu syarat untuk pendirian badan hukum sebuah partai politik, yang selalu membedakan jumlah kepengurusan di daerah.
Menurut MK, hal tersebut merupakan kebijakan hukum (legal policy) dari pembentuk Undang-Undang di bidang kepartaian dan Pemilu yang bersifat objektif, dan merupakan upaya alamiah dan demokratis untuk menyederhanakan sistem multipartai di Indonesia. Kebijakan yang demikian itu, tergambar dalam penjelasan umum UU Parpol 2011 yang menyatakan “Partai Politik sebagai pilar demokrasi perlu ditata dan disempurnakan untuk mewujudkan sistem politik yang demokratis guna mendukung sistem presidensiil yang efektif. Penataan dan penyempurnaan Partai Politik diarahkan pada dua hal utama, yaitu, pertama, membentuk sikap dan perilaku Partai Politik yang terpola atau sistemik sehingga terbentuk budaya politik yang mendukung prinsipprinsip dasar sistem demokrasi. Hal ini ditunjukkan dengan sikap dan perilaku Partai Politik yang memiliki sistem seleksi dan rekrutmen keanggotaan yang memadai serta mengembangkan sistem pengkaderan dan kepemimpinan politik yang kuat. Kedua, memaksimalkan fungsi Partai Politik baik fungsi Partai Politik terhadap negara maupun fungsi Partai Politik terhadap rakyat melalui pendidikan politik dan pengkaderan serta rekrutmen politik yang efektif untuk menghasilkan kader-kader calon pemimpin yang memiliki kemampuan di bidang politik. Upaya untuk memperkuat dan mengefektifkan sistem presidensiil, paling tidak dilakukan pada empat hal yaitu pertama, mengkondisikan terbentuknya sistem multipartai sederhana, kedua, mendorong terciptanya pelembagaan partai yang demokratis dan akuntabel, ketiga, mengkondisikan terbentuknya kepemimpinan partai yang demokratis dan akuntabel dan keempat mendorong penguatan basis dan struktur kepartaian pada tingkat masyarakat”.
Berdasarkan uraian di atas, MK menilai bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (2) huruf c UU Parpol 2011 tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon. Jika pun pasal tersebut menentukan aturan yang ketat dalam pembentukan partai politik baru, hal tersebut dimaksudkan untuk penguatan partai politik di tengah masyarakat karena tujuan dibentuknya partai politik bukan hanya untuk ikut serta dalam pemilihan umum, tetapi juga untuk (i) pendidikan politik bagi anggotanya dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Republik Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; (ii) penciptaan iklim yang kondusif serta sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa untuk menyejahterakan masyarakat; (iii) penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat secara konstitusional dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara; (iv) wahana partisipasi politik warga negara; dan (v) rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.
MK juga mencermati Pasal 51 ayat (1a) UU Parpol 2011 yaitu memberikan waktu yang singkat yaitu 2 ½ tahun kepada partai politik untuk memenuhi kewajiban verifikasi, sehingga menurut para Pemohon ketentuan tersebut telah berlaku sewenang-senang dan tidak adil, menghalangi hak setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam pemerintahan melalui pendirian partai politik supaya dapat mengikuti Pemilu Tahun 2014.
Terhadap dalil para Pemohon tersebut, MK telah memutus dalam putusan Nomor 15/PUU-IX/2011, tanggal 4 Juli 2011 yang pada pokoknya menyatakan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Parpol 2011 bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Dalam putusan tersebut, MK telah pula menyatakan bahwa ketentuan Pasal 51 ayat (1a) UU Parpol 2011 pada frasa “Verifikasi Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)” tidak ada relevansinya karena Pasal 51 ayat (1) UU Parpol 2011 telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Adapun untuk permohonan ini masih berlaku ketentuan Pasal 51 ayat (1a) UU Parpol 2011, yaitu sepanjang mengenai verifikasi terhadap partai politik baru. Meskipun verifikasi terhadap partai politik baru tersebut tidak dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sehingga ketentuan tersebut tetap konstitusional.
Dalam putusan tersebut juga, Pasal 51 ayat (1a) sepanjang frasa “dan Partai Politik yang dibentuk setelah Undang-Undang ini diundangkan, selesai paling lambat 2 ½ tahun sebelum hari pemungutan suara pemilihan umum” tetap berlaku, namun yang dimaksud dalam putusan tersebut adalah verifikasi tetap diberlakukan kepada “partai politik baru” dan tidak berlaku untuk partai politik lama yang telah berbadan hukum dan pernah mengikuti Pemilu sebelumnya.
Dengan adanya permohonan Pemohon, Mahkamah perlu untuk menetapkan atau menyatakan kembali bahwa yang dimaksud dengan frasa “dan Partai Politik yang dibentuk setelah Undang-Undang ini diundangkan, selesai paling lambat 2 ½ tahun sebelum hari pemungutan suara pemilihan umum” adalah “Verifikasi Partai Politik yang dibentuk setelah Undang-Undang ini diundangkan, selesai paling lambat 2 ½ tahun sebelum hari pemungutan suara pemilihan umum”.
Meskipun demikian menurut MK, ketentuan Pasal 51 ayat (1a) UU Parpol 2011 yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon masih memberikan dua penafsiran hukum yang berbeda, yaitu pertama jangka waktu 2 ½ tahun verifikasi badan hukum partai politik yang dibentuk setelah Undang-Undang ini dimaksudkan untuk mengikuti pemilihan umum pada kesempatan pertama, dan kedua jangka waktu 2 ½ tahun verifikasi berbadan hukum partai politik yang dibentuk setelah Undang-Undang ini tidak untuk mengikuti pemilihan umum tahun 2014.
MK berpendapat bahwa apabila verifikasi partai politik untuk memperoleh badan hukum tersebut dipersyaratkan kepada partai politik baru yang tidak ikut pemilihan umum tahun 2014 maka persyaratan demikian telah membatasi hak kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan sebagaimana diatur dalam Pasal 28 UUD Tahun 1945. Menurut MK, dengan adanya permohonan Pemohon maka unsur baru yang harus dinilai konstitusionalitasnya oleh MK adalah ketentuan tentang “... harus dilakukannya verifikasi paling lambat 2 ½ tahun sebelum pemungutan suara”. Ketentuan yang demikian menutup kemungkinan bagi warga negara yang ingin mendirikan partai politik sewaktu-waktu, sekaligus menghambat partai politik baru yang tidak bermaksud untuk mengikuti Pemilu tersebut.
MK berpendapat, ketentuan Pasal 51 ayat (1a) UU Parpol 2011 dalam putusan Nomor 15/PUU-IX/2011, tanggal 4 Juli 2011, harus dimaknai bahwa harus selesai dalam tenggang waktu paling lambat 2 ½ tahun sebelum hari pemungutan suara adalah selesainya verifikasi untuk mengikuti pemilihan umum pertama kali sejak partai politik didirikan dan berbadan hokum. Oleh karenanya, menurut MK dalil para Pemohon beralasan hukum untuk sebagian.

c. Pendapat hukum MK terhadap perkara Nomor 39/PUU-XI/2013
MK telah mendengar dan membaca keterangan tertulis Pemerintah yang pada pokoknya mengemukakan bahwa pemberhentian para Pemohon sebagai anggota perwakilan rakyat merupakan konsekuesi logis dari sebuah tindakan para pemohon yang menjadi anggota perwakilan rakyat. Hal ini mengingat bahwa setiap orang yang duduk dalam sebuah partai dianggap telah memahai visi/misi partai sebagai aspirasi rakyat yang tertuang dalam AD/ART partai tersebut. Dengan demikian maka bagi anggota parpol yang lama dan berhenti sebagai anggota perwakilan rakyat yang lama guna memahami visi/misi dari parpol yang baru sebelum yang bersangkutan duduk sebagai anggota perwakilan rakyat.
MK telah membaca keterangan tertulis dari DPR yang pada pokoknya menerangkan bahwa ketentuan Pasal 16 ayat (3) UU Parpol 2011 telah sejalan dengan ketentuan Pasal 213 ayat (2) huruf h dan huruf I Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3), yang mengatur bahwa anggota bersangkutan diberhentikan sebagai anggota DPR/DPRD apabila diberhentikan sebagai anggota partai politik berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau menjadi anggota partai politik lain. Konsekuensi logis dari perserta Pemilu Anggota DPR dan DPRD adalah partai politik sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (3) UUD Tahun 1945. Keberadaan calon dan/atau anggota DPR dan anggota DPRD tidak dapat dilepaskan dari keberadaan partai politik atau kedudukan yang bersangkutan sebagai anggota partai politik yang mencalonkannya sebagai anggota DPR dan DPRD. Oleh karenanya ketentuan Pasal 16 ayat (3) UU Parpol 2011 telah memiliki legal ratio yang tepat dan benar, sehingga dengan demikian pemberhentian anggota sebagai anggota partai politik otomatis berhenti pula dari keanggotaan DPR atau DPRD.
Terdapat prinsip kedaulatan rakyat yang dianut oleh Indonesia sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD Tahun 1945 yaitu kedaulatan berada di tangan rakyat. Salah satu konsep dari prinsip kedaulatan rakyat adalah bahwa dalam Pemilu, rakyat langsung memilih siapa wakil yang dikehendakinya. Banyaknya suara pilihan rakyat menunjukkan tingginya legitimasi politik yang diperoleh wakil rakyat. Legitimasi politik dalam sebuah konfigurasi tersebut harus dipertahankan, kecuali jika terjadi hal-hal yang menyebabkan harus dilakukannya pergantian, karena pada prinsipnya tidak boleh ada kekosongan keanggotaan DPR atau DPRD, karena kekosongan keanggotaan akan menghambat terselenggaranya tugas Negara. Permasalahan hukum yang para Pemohon alami, yaitu terjadinya perpindahan anggota partai politik yang juga merupakan anggota DPR atau DPRD, untuk mencalonkan diri sebagai calon anggota DPR atau DPRD dari partai politik lain pada periode Pemilu selanjutnya, yang berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (3) UU Parpol 2011 mengharuskan yang bersangkutan berhenti pula sebagai anggota DPR atau DPRD, mengandung konsekuensi akan terjadinya kekosongan sebagian anggota DPR atau DPRD.
Menurut MK, prinsip pengisian kekosongan keanggotaan pada DPR atau DPRD harus didasarkan pada partai politik sebagai peserta Pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (3) UUD Tahun 1945. Selain itu, harus pula didasarkan pada figur calon anggota DPR atau DPRD yang dipilih oleh masyarakat dengan perolehan suara terbanyak.
Pada dasarnya partai politik adalah salah satu bentuk dan sarana bagi warga negara untuk memperjuangkan haknya secara berkelompok demi kemajuan masyarakat, bangsa dan negaranya. Setiap warga negara berhak mendirikan atau menjadi anggota suatu partai politik dalam rangka memperjuangkan haknya. Hak konstitusional tersebut dijamin oleh Pasal 28 UUD Tahun 1945.
Menurut MK, konstitusi tidak memberikan suatu pembatasan bahwa seseorang tidak boleh pindah menjadi anggota partai politik lain atau bahkan pada saat yang bersamaan seseorang tidak boleh menjadi anggota lebih dari satu partai politik. Oleh karena itu tidak ada kewajiban konstitusional seorang warga negara untuk pindah menjadi anggota partai politik lain atau memilih salah satu atau beberapa partai politik dalam waktu bersamaan, sehingga tidak ada kewajiban konstitusional pula bagi seorang warga negara untuk berhenti dari keanggotaan salah satu partai politik karena menjadi anggota partai politik lain. Pada sisi lain, seseorang yang telah masuk dan menyatakan kesediaan untuk menjadi anggota dari suatu partai politik mempunyai kewajiban untuk tunduk dan mengikuti disiplin dan aturan internal partai politik yang bersangkutan.
Menurut MK meskipun peran partai politik dalam proses rekrutmen telah selesai dengan dipilihnya calon anggota DPR atau DPRD oleh rakyat melalui Pemilu, namun partai politik tetap memiliki hak dan kebebasan untuk melakukan pemberhentian terhadap anggota sesuai dengan aturan internal partainya. Hak demikian tidak dapat dipaksakan untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Dalam pemahaman yang demikianlah, makna Pasal 16 ayat (3) UU Parpol 2008, dalam hal seseorang telah diberhentikan dari anggota partai politiknya berhenti pula keanggotaan yang bersangkutan mewakili partai tersebut di lembaga DPR atau DPRD.
Jika partai politik melakukan pemberhentian anggota karena yang bersangkutan menjadi anggota partai politik lain, untuk selanjutnya partai politik yang bersangkutan berhak melakukan penggantian antarwaktu sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf g UU Parpol 2008. Hal ini juga berlaku apabila ada anggota DPR atau DPRD yang mengundurkan diri, atau mangkat, maka mekanisme penggantian antarwaktu anggota DPR atau DPRD merupakan hak dari partai politik yang bersangkutan.
Dalam pelaksanaan penggantian antarwaktu MK perlu mengutip kembali pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008, tanggal 23 Desember 2008, yang antara lain, mempertimbangkan bahwa karena calon terpilih didasarkan pada calon anggota legislatif yang mendapat suara terbanyak secara berurutan, maka yang akan menggantikan adalah anggota partai politik yang memperoleh suara terbanyak berikutnya dalam urutan daftar calon anggota legislatif partai politik yang bersangkutan di daerah pemilihannya;
MK akan mempertimbangkan apakah seseorang yang pindah menjadi anggota partai politik lain serta merta berhenti menjadi anggota legislatif yang sedang didudukinya. Dalam hal partai politik yang mencalonkannya sebagai anggota DPR atau DPRD telah memberhentikannya sebagai anggota partai politik, maka adalah hak konstitusional partai politik yang mencalonkannya untuk menariknya menjadi anggota DPR atau DPRD dan menjadi kewajiban pula bagi anggota partai politik yang bersangkutan untuk berhenti dari anggota DPR atau DPRD. Dalam kerangka pemahaman yang demikianlah, menurut Mahkamah ketentuan Pasal 16 ayat (3) UU Parpol 2008 adalah konstitusional. Akan tetapi, apabila partai politik yang mencalonkan yang bersangkutan tidak memberhentikannya sebagai anggota partai dan tidak juga menariknya sebagai anggota DPR atau DPRD, walaupun yang bersangkutan telah menjadi anggota partai politik lain, tidak serta merta berhenti pula menjadi anggota DPR atau DPRD. Hal demikian harus dilihat secara spesifik kasus per kasus, sehingga tidak menimbulkan problem hukum dan problem konstitusional yang baru. Hal utama yang harus dipertimbangkan adalah mengapa partai politik yang mencalonkan yang bersangkutan tidak menarik anggotanya yang pindah menjadi anggota partai politik lain, dan dengan alasan apa yang bersangkutan pindah partai politik. Dalam kasus yang dipersoalkan oleh para Pemohon, para Pemohon pindah menjadi anggota partai politik lain, oleh karena partai politik yang semula mencalonkannya sebagai anggota DPR atau DPRD tidak lagi sebagai peserta Pemilu.
Di beberapa daerah di mana keanggotaan DPRD mayoritas diisi oleh partai yang tidak lagi ikut dalam Pemilu tahun berikutnya, maka anggota DPRD secara massal juga akan melakukan perpindahan ke partai politik lain yang menjadi peserta pada Pemilu berikutnya. Dalam jumlah yang signifikan, perpindahan anggota DPRD ini akan menimbulkan permasalahan dalam penggantian anggota yang mengakibatkan DPRD tidak akan dapat melaksanakan tugas konstitusionalnya, padahal pada tingkat daerah, DPRD merupakan bagian penting sebagai unsur dari pemerintah daerah bersama dengan kepala daerah.
Kekosongan keanggotaan, apalagi dalam jumlah yang signifikan, akan menimbulkan persoalan legitimasi dan legalitas pengambilan keputusan sehingga mengakibatkan kepincangan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Menurut Mahkamah, dalam kasus demikian terdapat dua masalah konstitusional yang harus dipecahkan, yaitu pertama, tidak berfungsinya DPRD menjalankan tugas konstitusionalnya dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah; dan kedua, terabaikannya hak konstitusional warga negara yang telah memilih para wakilnya.
Oleh karena itu, untuk menjamin tetap tegaknya hak-hak konstitusional tersebut, MK harus menafsirkan secara konstitusional bersyarat tentang Pasal 16 ayat (3) UU Parpol 2008, sehingga tidak menimbulkan persoalan konstitusional baru sebagai akibat terjadinya kekosongan anggota DPR dan DPRD. Menurut MK, dalil para Pemohon beralasan hukum untuk sebagian.

d. Pendapat Hukum MK terhadap Perkara Nomor 100/PUU-XI/2013
Bahwa maksud UU Parpol 2011 yaitu untuk memberikan landasan hukum kaidah demokrasi, yaitu menjunjung tinggi hukum, aspirasi, keterbukaan, keadilan, tanggungjawab, dan perlakukan diskriminatif dalam NKRI. Dalam rangka menguatkan pelaksanaan demokrasi dan sistem kepartaian yang efektif sesuai dengan UUD Tahun 1945 diperlukan penguatan kelembagaan serta peningkatan fungsi dan peran Parpol yaitu untuk melaksanakan pendidikan politik bagi anggota Parpol dan masyrakat yang antara lain kegiatannya berupa pendalaman mengenai empat pilar.
Menimbang dari perspektif materi pendidikan politik sesungguhnya ketentuan tersebut tidak ada persoalan konstitusionalitasnya, sebab keempat materi pendidikan politik tersebut merupakan materi yang penting dan mendasar untuk diketahui, dihayati, dan diamalkan oleh seluruh komponen bangsa pada umumnya dan anggota parpol pada khususnya. Parpol sebagai sarana pendidikan politik dan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan negara wajar dan bahkan harus menjadikan keempat substansi tersebut sebagai materi pendidikan politik. Persosalan konstitusional muncul karena materi muatan pasal a quo tidak hanya berupa materi pendidikan politik semata, melainkan memberikan pengertian juga bahwa keempat materi muatan pendidikan politik dimaksud didukkan dalam posisi yang sama dan sederajat, yakni sebagai pilar kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.
Menurut MK, terdapat permasalahan konstitusionalitas yang terdapat dalam frasa “empat pilar”, dengan adanya frasa tersebut, makna Pancasila, UUD Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI yang menjadi materi pendidikan politik tersebut masing-masing diposisikan sebagai pilar yang masing-masing memiliki kedudukan yang sama dan sederajat. Dalam KBBI, pilar berarti tiang penguat, dapat diartikan bahwa empat pialr adalah tiang penguat berbangsa dan bernegara. Menurut MK, dari perspektif konstitusional adalah tidak tepat, sebab keempat materi pendidikan politik tersebut sebenarnya seluruhnya telah tercakup dalam UUD Tahun 1945 yaitu pancasila adalah sebagai dasar negara yang terdapat dalam pembukaan UUD Tahun 1945.
Menurut MK, pendidikan politik berbangsa dan bernegara tidak hanya terbatas pada keempat pilar tersebut, melainkan masih banyak aspek lainnya yang penting, antara lain negara hukum, kedaulatan rakyat, wawasan nusantara, ketahanan nasional, dll. Oleh karena itu, dalam melakukan pendidikan politik, partai politik harus juga melakukan pendidikan politik terhadap berbagai aspek penting dalam berbangsa dan bernegara tersebut. Menempatkan Pancasila sebagai salah satu pilar selain mendudukan sama dan sederajat dengn pilar yang lain, juga akan menimbulkan epistimologis, ontologis, dan aksiologis. Pancasila memiliki kedudukan yang tersendiri dalam kerangka berpikir bangsa dan negara Indonesia berdasarkan konstitusi yaitu disamping sebagai dasar negara, juga sebagai dasar filosofi negara, norma fundamental negara, ideologi negara, citra hukum negara, dan sebagainya. Oleh karena itu, menempatkan Pancasila sebagai salah satu pilar dapat mengaburkan posisi Pancasila dalam makna yang demikian itu. Dengan demikian menurut MK dalil pemohon beralasan menurut hukum.

2. Implikasi Putusan MK
Dalam Perkara MK Nomor 15/PUU-IX/2011, Pemohon dalam permohonannya mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dengan berlakunya ketentuan Pasal 51 ayat (1), pada adanya frasa “dengan kewajiban melakukan penyesuaian menurut Undang-Undang ini dengan mengikuti verifikasi”, yang menyebabkan para Pemohon terancam tidak dapat menjalankan peran dan fungsi dari partai politiknya, salah satunya adalah agenda untuk mengikuti pesta demokrasi Pemilu tahun 2014. Ketentuan Pasal 51 ayat (1) menjelaskan jika suatu partai politik meskipun telah sah dan berbadan hukum apabila gagal/tidak lolos dalam proses verifikasi maka akibat hukumnya tidak memiliki hak konstitusional sebagai peserta Pemilu.
Putusan MK Perkara Nomor 15/PUU-IX/2011 mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya, Majelis Hakim memutuskan bahwa Pasal 51 ayat (1) dan Pasal 51 ayat (1a) sepanjang frasa ”Verifikasi Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)” dalam Pasal 51 ayat (1), Pasal 51 ayat (1a), Pasal 51 ayat (1b), dan Pasal 51 ayat (1c) UU Parpol 2011 bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Akibat putusan ini maka terdapat kekosongan hukum mengenai status keberadaan suatu partai politik yang telah ada dan disahkan berdasarkan UU Parpol 2011 dan keikutsertaan partai politik tersebut untuk mengikuti Pemilu kembali.
Dalam Perkara MK Nomor 35/PUU-IX/2011, Pemohon dalam permohonannya merasakan bahwa ketentuan yang berkaitan dengan persyaratan pendirian dan pembentukan partai politik baru sebagaimana diatur dalam pasal-pasal tersebut dapat mengganggu, merintangi, atau mempunyai potensi kuat melanggar hak konstitusional Pemohon antara lain karena persyaratan yang dibebankan untuk mendirikan dan membentuk partai politik baru sangat berat, memerlukan biaya yang sangat besar, dan hanya disediakan waktu pendirian yang sangat singkat apabila partai politik tersebut hendak mengikuti Pemilihan Umum di tahun 2014.
Putusan MK Perkara Nomor 35/PUU-IX/2011 mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian, Majelis Hakim memutuskan Pasal 51 ayat (1a) UU Parpol 2011 bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Verifikasi partai politik yang dibentuk setelah Undang-Undang ini harus dilakukan paling lambat 2 ½ (dua setengah) tahun sebelum hari pemungutan suara untuk mengikuti pemilihan umum pada pemilihan umum pertama kali setelah partai politik yang bersangkutan didirikan dan berbadan hukum”. Akibat hukumya yaitu verifikasi partai politik tersebut tetap diberlakukan kepada “partai politik baru” dan tidak berlaku untuk partai politik lama yang telah berbadan hukum dan pernah mengikuti Pemilu sebelumnya.
Dalam Perkara MK Nomor 39/PUU-XI/2013,; Pemohon dalam permohonannya mengemukakan bahwa dengan berlakunya ketentuan Pasal 16 ayat (3) UU Parpol 2008 berakibat Pemohon tidak lagi dapat menyelesaikan masa pengabdiannya di badan legislatif.
Putusan MK Perkara Nomor 39/PUU-XI/2013 mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian, Majelis Hakim memutuskan bahwa Pasal 16 ayat (3) UU Parpol 2008 bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. sepanjang tidak dimaknai, “dikecualikan bagi anggota DPR atau DPRD jika:
a. partai politik yang mencalonkan anggota tersebut tidak lagi menjadi peserta Pemilu atau kepengurusan partai poitik tersebut sudah tidak ada lagi,
b. anggota DPR atau DPRD tidak diberhentikan atau tidak ditarik oleh partai politik yang mencalonkannya,
c. tidak lagi terdapat calon pengganti yang terdaftar dalam Daftar Calon Tetap dari partai yang mencalonkannya”.
Akibat putusan ini maka terdapat kekosongan anggota di lembaga perwakilan rakyat, karena anggota yang keluar dari partai akan keluar juga dari keanggotaan di lembaga perwakilan rakyat.
Dalam Perkara MK Nomor 100/PUU-XI/2013, Pemohon dalam permohonannya menguji materiil Pasal 34 ayat (3b) huruf a UU Parpol 2011 terhadap Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Ketentuan Pasal 34 ayat (3b) huruf a tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum karena kedudukan Pancasila yang merupakan dasar negara telah disejajarkan dengan UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI, yang disebut “empat pilar berbangsa dan bernegara”, artinya Pancasila mengalami degradasi. Menyamakan “dasar negara” dengan “pilar” merupakan kekeliruan yang sangat fundamental artinya telah mengubah dasar negara Republik Indonesia.
Putusan Perkara MK Nomor 100/PUU-XI/2013 mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian, Majelis Hakim memutuskan Frasa “empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu” dalam Pasal 34 ayat (3b) huruf a UU Parpol 2011 bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Akibat putusan ini maka terkait pendidikan politik yang berkaitan dengan pendalaman mengenai empat pilar berbangsa dan bernegara terdapat ketidakjelasan.

Pengujian undang-undang yang dilakukan oleh suatu peradilan pada dasarnya akan berakhir dalam suatu putusan yang merupakan pendapat tertulis hakim konstitusi tentang perselisihan penafsiran satu norma atau prinsip yang ada dalam UUD. Jika satu amar putusan menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau ayat bagian undang-undang bahkan undang-undang secara keseluruhan bertentangan dengan UUD Tahun 1945, maka materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang diuji tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Bunyi putusan demikian mengandung arti bahwa ketentuan norma yang termuat dalam satu undang-undang dinyatakan batal (null and void) dan tidak berlaku lagi. Putusan yang demikian sudah barang tentu memiliki implikasi hukum yang luas. Selain memberi kemanfaatan pada para pencari keadilan, seringkali putusan tersebut dinilai berpotensi menyebabkan terjadinya kekosongan hukum (legal vacuum), kekacauan hukum (legal disorder), bahkan politik beli waktu (buying time) pembentuk undang-undang. Karena itu menurut Maruarar Siahaan, dibutuhkan mekanisme prosedural tentang bagaimana tindak lanjut dari pembatalan pemberlakukan suatu ketentuan tersebut. Persoalan yang selalu dikaitkan dengan sulitnya implementasi eksekusi putusan Mahkamah Konstitusi adalah sifat putusannya yang final, dengan kata mengikat (binding). Karena, putusan Mahkamah Konstitusi mengikat umum, pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan ketentuan undang-undang yang telah diputus harus melaksanakan putusan itu.
Namun demikian, mengingat norma dalam undang-undang adalah satu kesatuan sistem, ada pelaksanaan putusan yang harus melalui tahapan-tahapan tertentu, bergantung pada substansi putusan. Dalam hal ini, ada putusan yang dapat dilaksanakan langsung tanpa harus dibuat peraturan baru atau perubahan, ada pula yang memerlukan pengaturan lebih lanjut terlebih dahulu. Tatkala suatu putusan akan langsung efektif berlaku tanpa diperlukan tindak lanjut lebih jauh dalam bentuk kebutuhan implementasi perubahan undang-undang yang diuji, maka putusan ini dapat dikatakan berlaku secara self-executing. Dalam artian, putusan itu terlaksana dengan sendirinya.
Ini terjadi karena norma yang dinegasikan tersebut mempunyai ciri-ciri tertentu yang sedemikian rupa dapat diperlakukan secara otomatis tanpa perubahan atau perubahan undang-undang yang memuat norma yang diuji dan dinegasikan tersebut, ataupun tanpa memerlukan tindak lanjut dalam bentuk perubanan undang-undang yang diuji tersebut. Secara umum putusan-putusan yang bersifat self-executing/implementing dapat ditelusuri dari sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi baik amarnya menyatakan batal (null and void) dan tidak berlaku lagi ataupun amarnya terdapat perumusan norma.
Implementasi putusan-putusan Mahkamah Konstitusi dapat dilihat dari model putusannya. Implementasi model putusan yang secara hukum membatalkan dan menyatakan tidak berlaku dan model putusan yang merumuskan norma baru bersifat langsung dapat dieksekusi (self executing/self implementing), sedangkan baik model putusan konstitusional bersyarat maupun model putusan inkonstitusional bersyarat tidak dapat secara langsung dieksekusi (non-self executing/implementing).
Pengujian beberapa pasal dalam UU Parpol 2008 dan UU Parpol 2011 sebagaimana telah dipaparkan pada sub bab sebelumnya, telah mengabulkan putusan untuk seluruhnya maupun sebagian. Terhadap pengujian beberapa pasal tersebut, perlu kiranya untuk dilakukan evaluasi guna melihat keadaan hukum baru ataupun kekosongan hukum yang mungkin terjadi akibat putusan MK tersebut.
Adapun keadaan hukum baru yang terjadi akibat pengujian beberapa Pasal dalam UU Parpol 2008 dan UU Parpol 2011 telah dipaparkan diatas. Pengujian Pasal 51 ayat (1) UU Parpol 2011 Perkara Nomor 15/PUU-IX/2011, mengenai frasa “dengan kewajiban melakukan penyesuaian menurut undang-undang ini dengan mengikuti verifikasi” perlu direformulasi kembali agar tercipta kepastian hukum. Rumusan norma Pasal harus membedakan antara tata cara pembentukan atau pendirian partai politik dengan syarat bagi partai politik untuk dapat mengikuti pemilihan umum. Rumusan yang ada saat ini, menyangkut pada eksistensi partai politik sebagai badan hukum. Status badan hukum dari suatu partai politik dapat hilang akibat tidak lolos verifikasi sehingga menyebabkan tidak dapat menjadi peserta pemilu kembali. Hal ini karena partai politik mempunyai fungsi sangat penting dalam sistem ketatanegaraan untuk mendudukkan wakilnya di lembaga perwakilan
Pengujian Pasal 16 ayat (3) UU Parpol 2008 dalam Perkara MK Nomor 39/PUU-XI/2013, terhadap,rumusan normanya yaitu menimbulkan kekosongan keanggotaan di lembaga perwakilan rakyat, padahal legitimasi politik yang diperoleh wakil rakyat harus dipertahankan. Formulasi baru dari Pasal 16 ayat (3) yaitu pemberhentian dari keanggotaan partai politik tidak boleh diikuti dengan pemberhentian dari keanggotaan di lembaga perwakilan rakyat. Hal ini karena kekosongan keanggotaan di lemabga perwakilan rakyat akan menghambat terselengaranya tugas negara.
Pengujian Pasal 34 ayat (3b) huruf a UU Parpol 2011 dalam Perkara MK Nomor 100/PUU-XI/2013 mengenai Frasa “empat pilar berbangsa dan bernegara” harus dibuat norma baru terkait pendidkan politik yang berkaitan dengan pendalaman mengenai empat pilar berbangsa dan bernegara terdapat ketidakjelasan apakah pancasila termasuk dalam empat pilar atau tidak. Karena pendapat Hakim MK terdapat dissenting opinion yang menyatakan bahwa Pancasila memang termasuk dalam empat pilar walupun Pancasila itu adalah dasar negara Republik Indonesia.

Partisipasi politik masyarakat harus ditingkatkan dalam mengembangkan kehidupan demokrasi dan meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan, juga harus dapat terjamin kepastian hukum melalui peraturan perundang-undangan yakni UU tentang Partai Politik. Telah terdapat 4 (empat) pengujian materiil UU tentang Partai Politik yang diajukan di MK dengan putusan mengabulkan seluruhnya dan sebagian, yakni Putusan MK Nomor 15/PUU-IX/2011, Putusan MK Nomor 35/PUU-IX/2011, Putusan MK Nomor 39/PUU-XI/2013, dan Putusan MK Nomor 100/PUU-XI/2013. Dikabulkannya Pasal 16 ayat (3) UU Parpol 2008 serta Pasal 34 ayat (3b) huruf a, Pasal 51 ayat (1), dan Pasal 51 ayat (1a) UU Parpol 2011 dalam 4 permohonan perkara tersebut diatas telah menciptakan keadaan hukum baru.
Keadaan hukum baru yang tercipta akibat putusan MK terhadap Pasal 51 ayat (1) dan Pasal 51 ayat (1a) UU Parpol 2011 mengenai keberadaan partai politik yang telah sah berbadan hukum untuk ikut kembali dalam pemilihan umum dan persyaratan mengenai pendirian partai politik dan verifikasi bagi partai politik untuk menjadi peserta dalam pemilu. Kemudian Pasal 16 ayat (3) UU Parpol 2008 mengenai pemberhentian anggota lembaga perwakilan rakyat dari partai politiknya berarti anghota yang berhenti dari partai politiknya juga berhenti sebagai anggota perwakilan rakyat karena partai politik lamanya tidak lagi sebagai peserta pemilu berikutnya sehingga anggota perwakilan tersebut harus pindah partai partai politik yang baru, hal ini menimbulkan kekosongan keanggotaan dalam lembaga perwakilan rakyat. Terakhir Pasal 34 ayat (3b) huruf a menimbulkan ketidakpastian hukum mengenai pancasila dimasukkan dalam empat pilar, karena kedudukan pancasila disejajarkan dengan UUD Tahun 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI sehingga pendidikan politik berkaitan dengan kegiatan pendalaman mengenai empat pilar itu pancasila tidak disejajarkan dengan UUD Tahun 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI dan dapat memasukkan aspek lain dalam pendidikan politik yaitu kedaulatan rakyat, wawasan nusantara, ketahanan nasional, dll.
Dari beberapa putusan diatas, perlu dilakukan perubahan terhadap rumusan norma yang telah diputus secara bersyarat tersebut dan juga penyesuaian beberapa undang-undang terkait terhadap putusan MK tersebut. Hal ini guna lebih memberikan kepastian hukum atas berlakunya norma akibat dari putusan Mahkamah Konstitusi. Untuk itu, perlu dilakukan reformulasi materi muatan atas beberapa hal yang telah diputus MK agar peran partai politik dalam pemilihan umum sesuai dengan amanah UUD Tahun 1945.

Perlu dilakukan perubahan terhadap UU Parpol 2011 yang dituangkan dalam rencana perubahan UU Parpol 201 1baik sebagai daftar kumulatif terbuka maupun dalam prolegnas prioritas Tahunan. Adapun perubahan dimaksud adalah terhadap pasal-pasal yang telah diputus oleh MK sebagai berikut:

No Perkara MK Pasal yang dibatalkan Putusan
1 Perkara Nomor 15/PUU-IX/2011 Pasal 51 ayat (1) UU Parpol 2011

Pasal 51 ayat (1)

“Partai Politik yang telah disahkan sebagai badan hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik tetap diakui keberadaannya dengan kewajiban melakukan penyesuaian menurut Undang-Undang ini dengan mengikuti verifikasi”.
Mengabulkan permohonan para pemohon.
2 Perkara Nomor 35/PUU-IX/2011 Pasal 51 ayat (Ia) UU Parpol 2011

Pasal 51 ayat (1a)

“Verikasi Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Partai Politik yang dibentuk setelah Undang-Undang ini diundangkan, selesai paling lambat 2 ½ (dua setengah) tahun sebelum hari pemungutan suara pemilihan umum.”
Pembatalan secara bersyarat
3 Perkara Nomor 39/PUU-XI/2013 Pasal 16 ayat (3) UU Parpol 2008

Pasal 16 ayat (3)

“Dalam hal anggota Partai Politik yang diberhentikan adalah anggota lembaga perwakilan rakyat, pemberhentian dari keanggotaan Partai Politik diikuti dengan pemberhentian dari keanggotaan di lembaga perwakilan rakyat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Pembatalan secara bersyarat
4 Perkara Nomor 100/PUU-XI/2013 Pasal 34 ayat (3b) huruf a UU Parpol 2011

Pasal 34 ayat (3b) huruf a

“Pendidikan Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3a) berkaitan dengan kegiatan:
a.pendalaman mengenai empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia;”

Pembatalan secara bersyarat