Analisis dan Evaluasi UU Berdasarkan Putusan MK


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-evaluasi.phtml on line 66

Warning: Undefined property: stdClass::$resume in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-evaluasi.phtml on line 80

Deprecated: nl2br(): Passing null to parameter #1 ($string) of type string is deprecated in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-evaluasi.phtml on line 80
Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK): Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 jo. Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 jo. Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung / 01-05-2017

Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) bahwa kekuasaan untuk menyelenggarakan peradilan dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan tata usaha negara serta oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Di dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) juga dikemukakan bahwa “kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.” UU Mahkamah Agung selama ini telah diajukan beberapa kali diajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi, namun yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi sampai dengan saat ini tercatat ada 2 putusan yaitu Putusan Perkara Nomor 067/PUU-II/2004 (selanjutnya disebut Putusan Perkara 67/2004) dan Putusan Perkara Nomor 27/PUU-XI/2013 (selanjutnya disebut Putusan Perkara 27/2013). Selain itu terdapat juga Putusan Mahkamah Konstitusi yang menguji Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut UU HAP) yaitu Putusan Perkara Nomor 34/PUU-XI/2013 (selanjutnya disebut Putusan Perkara 34/2013), dimana putusan tersebut ternyata berdampak terhadap substansi yang terdapat dalam UU Mahkamah Agung.

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi khususnya terhadap UU Mahkamah Agung?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal atau ayat suatu undang-undang yang dinyatakan Mahkamah Konstitusi sebagai konstitusionalitas/ inkonstitusional bersyarat khususnya dalam UU Mahkamah Agung?
3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu undang-undang jika suatu pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi berimplikasi terhadap norma pasal atau ayat lain yang tidak diujikan khususnya dalam UU Mahkamah Agung?

Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal, yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD Tahun 1945.
Secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frasa “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dalam rangkaian pemeriksaan” sedangkan frasa mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harfiah ini maka frasa final dan frasa mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya dari suatu proses pemeriksaan telah memiliki kekuatan mengeratkkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum.
Sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu final yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Konsep ini mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni secara sederhana dan cepat sebagaimana diuraikan dalam penjelasan UU MK. Menurut Maruarar Siahaan Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan dihadapan sidang terbuka umum mempunyai 3 kekuatan yaitu: kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutoarial.

Dalam Putusan Perkara Nomor 67 Tahun 2004 dapat dilihat
bahwa pengawasan terhadap advokat (yang sebelum
diundangkannya UU Advokat disebut “Penasehat Hukum”)
yang sebelumnya dilakukan oleh Mahkamah Agung dan
pengadilan-pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum
yang
berada di bawahnya sudah tidak berlaku lagi dan yang
berlaku
adalam ketentuan Pasal 12 UU Advokat yang ayat (1)nya
menyatakan bahwa “Pengawasan terhadap Advokat
dilakukan oleh
organisasi Advokat.” Putusan ini juga mencerminkan bahwa
Mahkamah Konstitusi tidak hanya sebagai penafsir
konstitusi
tetapi juga melakukan harmonisasi peraturan
perundang-undangan yang dikaitkan dengan
ketidakpastian hukum.

Dalam Putusan Perkara Nomor 27 Tahun 2013 pada
dasarnya
mekanisme check and balances merupakan hubungan
antara
lembaga yang berada dalam posisi setara. Putusan ini
mencerminkan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak hanya
sebagai
penafsir konstitusi tetapi juga melakukan harmonisasi
peraturan perundang-undangan yang dikaitkan dengan
ketidakpastian hukum khususnya ketidakharmonisan
peraturan
antara UUD Tahun 1945 dengan undang-undang yang
berada di
bawahnya. Pembentukan Komisi Yudisial yang independen
adalah
untuk mendukung kemerdekaan kekuasaan kehakiman
melalui
perbaikan pola perekrutan hakim agung yang dilakukan
oleh
badan khusus yang diangkat oleh Presiden dengan
persetujuan DPR.

Dalam Putusan Perkara Nomor 34 Tahun 2013 memiliki
dampak
terhadap UU Mahkamah Agung bahwa dengan adanya
putusan
tersebut maka diperlukan reformulasi ulang di dalam Pasal
66
UU Mahkamah Agung khususnya terhadap ketentuan
tentang
berapa kali upaya Peninjauan Kembali dapat diajukan dalam
hal perkara pidana dan perdata harus direformulasi secara
berbeda sesuai dengan amanat putusan Mahkamah
Konstitusi.

Pada dasarnya undang-undang itu dihasilkan dari proses politik sehingga sudah pasti ada kepentingan politik yang mewarnai substansi yang dihasilkan dalam undang-undang tersebut. Namun konstitusilah yang bertugas sebagai rambu apakah kepentingan politik mencederai aspirasi dan kepenntingan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Sesuai dengan konstitusi UUD Tahun 1945, Mahkamah Konstitusi lah yang ditugaskan untuk mengemban amanat tersebut melalui putusan-putusannya. Dalam Putusan Perkara 67/2014 dan Perkara 27/2013, Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya menganalisis dengan menggunakan penafsiran secara tektual gramatikal dan melakukan pengharmonisasian undang-undang khusunya UU Mahkamah Agung terhadap konstitusi dan undang-undang lain. Dari hasil analisis Mahkamah Konstitusi terlihat bahwa beberapa ketentuan dalam UU Mahkamah Agung selama ini teradapat ketidak konsistenan dalam perumusannya. Ketidakcermatan pembuat undang-undang ini terlihat dalam proses perubahan dari UU 14 Tahun 1985 ke UU 5 Tahun 2004 yang ternyata tidak mengubah pasal yang seharusnya penting untuk diubah. Keharmonisan peraturan perundang-undangan ini dianggap Mahkamah Konstitusi dangat penting agar tercipta kepastian hukum. Sedemikian pentingnya kepastian hukum ini bahkan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara 67/2004 mengesampingkan kerugian konstitusional Para pemohon dengan lebih menitik beratkan pada menjunjung tinggi asas kepastian hukum.
Begitupun halnya dalam Putusan Perkara 27/2013 yang menurut penilaian Mahkamah Konstitusi pengaturan yang ada dalam UU Mahkamah Agung mengenai perekrutan hakim agung bertentangan pengaturannya dengan yang ada didalam UUD Tahun 1945 secara jelas dan tekstual. Selain itu Mahkamah juga berpandangan bahwa Kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagaimana diamanatkankan oleh UUD Tahun 1945 dalam hal ini pembentukan Komisi Yudisial yang berwenang untuk melakukan prekereutan hakim agung tanpa intervensi berbagai pihak adalah perwujudan kekuasaan kehakiman.
Khusus untuk perkara 34/2013 hasil putusan Mahkamah Konstitusi yang membolehkan Peninjauan Kembali dapat dilakukan lebih dari satu kali untuk perkara pidana ternyata berdampak pada pengaturan di dalam UU Mahkamah Agung. Maka terhadap hal ini diperlukan langkah konkrit dari pembuat undang-undang agar harus segera mengubah ketentuan dalam UU Mahkamah Agung yang terkena dampak dari putusan tersebut agar tercipta sinkronisasi dan harmonisiasi pengaturan perundang-undangan.

Terdapat ketidakcermatan perumusan dalam proses
perubahan UU
14 Tahun 1985 menjadi UU 5 Tahun 2004 yang tidak
mengubah
Pasal 36 UU 14 Tahun 1985, telah menimbulkan
ketidakpastian
hukum dalam pelaksanaannya.

Bahwa Pasal 8 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU
Mahkamah
Agung, serta Pasal 18 ayat (4) UU Komisi Yudisial, telah
menyimpang atau tidak sesuai dengan norma Pasal 24A
ayat (3)
UUD Tahun 1945.

Diperlukan reformulasi ulang di dalam Pasal 66 UU
Mahkamah
Agung. Ketentuan UU Mahkamah Agung harus mengikuti
hasil
Putusan Mahkamah Konstitudi Perkara Nomor 34 Tahun
2013.

Hasil analisis dan evaluasi UU Mahkamah Agung adalah
perlunya beberapa ketentuan di dalam UU Mahkamah
Agung yang
diperlukan reformulasi ulang akibat adanya Putusan
Mahkamah
Konstitusi dalam Perkara Nomor 67 Tahun 2004, Nomor 27
Tahun 2013, dan Nomor 34 Tahun 2013.

Adapun keharusan pembentuk undang-undang untuk
segera
menindaklanjuti hasil putusan Mahkamah Konstitusi sesuai
dengan amanat dari ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf d
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan.