Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana tercermin dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945 yang menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah “rechtsstaat” itu mencakup empat elemen penting, yaitu perlindungan hak asasi manusia, pembagian kekuasaan, pemerintahan berdasarkan undang-undang, peradilan tata usaha negara.
Salah satu ciri dari negara hukum yaitu adanya jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Indonesia sebagai negara yang menganut konsep negara hukum juga memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (yang selanjutnya disingkat UUD NRI Tahun 1945). Pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia (yang selanjutnya disebut HAM) diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J UUD NRI Tahun 1945.
HAM menjadi suatu hak konstitusional yang statusnya lebih tinggi dalam hirarki norma hukum biasa. HAM tersebut memiliki kedudukan yang lebih tinggi karena ditempatkan dalam suatu konstitusi atau Undang-Undang Dasar. HAM diartikan sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan setiap manusia sebagai mahluk tuhan yang maha esa dan merupakn anugernya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintahan dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Salah satu HAM yang dijamin dalam UUD NRI Tahun 1945 yaitu hak untuk mendapatkan tempat tinggal. Pada dasarnya hak untuk mendapatkan tempat tinggal telah dijamin baik dalam pembukaan UUD NRI Tahun 1945 ataupun dalam norma pasal UUD NRI Tahun 1945. Dalam Alinea IV Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 dijelaskan mengenai tujuan dibentuknya NKRI yaitu melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan asas kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Salah satu tujuan dibentuknya Negara Republik Indonesia ialah memajukan kesejahteraan umum, maka dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dilaksanakanlah pembangunan nasional yang hakikat dari pembangunan nasional itu adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh rakyat Indonesia yang menekankan pada keseimbangan pembangunan kemakmuran lahiriah dan kepuasan batiniah.
Jaminan untuk mendapatkan tempat tinggal juga diatur dalam Pasal 28 UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat”. Pada dasarnya hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, tempat tinggal dan lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi oleh negara. Pemenuhan terhadap hak dasar tersebut memiliki peran yang sangat yang mempunyai peran yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa sebagai salah satu upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri, dan produktif.
Perumahan merupakan kebutuhan dasar di samping pangan dan sandang, oleh karena itu untuk memenuhi kebutuhan akan perumahan yang mengikat bersamaan dengan pertambahan penduduk diperlukan penanganan dengan perencanaan yang seksama disertai dengan keikutsertaan dana dan daya yang ada di masyarakat. Pada dasarnya setiap manusia dihadapkan pada 3 (tiga) kebutuhan dasar yaitu pangan (makanan), sandang (pakaian), dan papan (rumah) kebutuhan akan rumah sebagai tempat tinggal atau hunian baik di perkotaan maupun perdesaan terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Pada dasarnya pemenuhan kebutuhan akan rumah sebagai tempat tinggal atau hunian merupakan tanggung jawan masyarakat itu sendiri, namun demikian pemerintah, pemerintah daerah, dan pihak swasta yang bergerak di bidang pembangunan perumahan didodorng untuk membantu masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan akan rumah sebagai tampat tinggal atau hunian.
Salah satu pemenuhan kebutuhan dasar manusia akan tempat tinggal merupakan tanggung jawab negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman agar masyarakat dapat memiliki tempat tinggal serta menghuni rumah yang layak dan terjangkau di dalam perumahan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjuan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia, idealnya rumah harus dimiliki oleh setiap keluarga terutama bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah dan masyarakat yang padat penduduk di perkotaan. Selain itu juga negara bertanggungjawab menyediakan dan memberikan kemudahan dalam perolehan rumah bagi masyarakat melalui penyelenggaraan perumahan serta keswadayaan masyarakat.
Meskipun rumah merupakan kebutuhan dasar manusia, namun pada kenyataannya belum semua masyarakat dapat menikmati perumahan yang layak. Hal itu disebabkan oleh perbedaan perumbuhan dan perkembangan daerah dan perhatian pemerintah yang kecil terhadap masyarakat berpenghasilan rendah. Pada dasarnya pemenuhan kewajiban oleh negara untuk menyelenggarakan pembangunan perumahan dan permukiman bagi rakyatnya merupakan upaya untuk memenuhi hak-hak sipil dan politik (sipol), dan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob) warga negara.
Pemenuhan atas tempat tinggal yang layak merupakan kewajiban pemerintah sesuai dengan ketentuan dalam The International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights yang diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Economic, Social And Cultural Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya). Disamping itu hak atas tempat tinggal juga dijamin dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi:
“Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak”.
Hak atas tempat tinggal juga dijamin dalam Declaration of Human Rights (DUHAM) yang diatur dalam Pasal 25 ayat (1) yang menyatakan bahwa:
“Setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan lainnya yang mengakibatkannya kekurangan nafkah, yang berada di luar kekuasaannya”.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat dikatakan jika hak untuk mendapatkan tempat tinggal atau pemukiman merupakan HAM yang harus dilindungi, dihormati, tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. Pada dasarnya perumahan dan permukiman merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia dan faktor penting dalam peningkatan harkat dan martabat manusia, maka perlu adanya penciptaan kondisi yang dapat mendorong pembangunan perumahan untuk menjaga kelangsungan penyediaan perumahan dan permukiman.
Untuk memberikan jaminan terhadap pemenuhan kebutuhan atas perumahan dan kawasan pemukiman maka disusun Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1964 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1962 tentang Pokok-Pokok Perumahan. Kemudian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1964 dinyatakan tidak berlaku dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman. Pada tahun 2011 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 diyatakan tidak berlaku dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.
Keberadaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman yang seharusnya memberikan jaminan pemenuhan rumah bagi semua warga masyarakat namun justru mempersulit masyarakat yang berpenghasilan rendah (MBR) untuk mendapatkan tempat tinggal karena adanya ketentuan mengenai luas lantai dari pembangunan rumah tunggal dan rumah deret sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman berbunyi:
“Luas lantai rumah tunggal dan rumah deret memiliki ukuran paling sedikit 36 (tiga puluh enam) meter persegi”.
Adanya pembatasan terkait dengan jumlah luasan lantai rumah tunggal dan rumah deret membuat pemenuhan hak terhadap masyarakat akan perumahan dan kawasan pemukiman semakin sulit untuk tercapai. Ketentuan Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dinilai bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, karena memberikan hambatan dan membatasi hak konstitusional setiap orang untuk membangun ataupun membeli unit rumah tempat tinggal guna pemenuhan hak atas perumahan, dalam jenis dan bentuk apapun yang sesuai kebutuhan dan kemampuan serta sesuai dengan luas tanah/lahan yang dimiliki setiap orang tersebut. Dengan adanya ketentuan pasal ini terdapat pihak yang merasa hak konstitusionalnya dilanggar dengan berlakunya pasal ini kemudian mengajukan uji materil ke Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan data yang di terima oleh Mahkamah Konstitusi, terdapat 2 (dua) kali permohonan uji materil Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dengan perkara nomor 12/PUU-X/2012 dan perkata Nomor 14/PUU-X/2012. Dari 2 (dua) permohonan pengujian tersebut hanya terdapat 1 (satu) permohonan yang dikabulkan oleh majelis hakim yaitu dengan perkara nomor 14/PUU-X/2012.
Dalam perkara Nomor 14/PUU-X/2012, para Pemohon mengajukan permohonan uji materiil terhadap Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman yang pada intinya mengatur mengenai luasan lantai rumah tunggal dan rumah deret, yang dianggap para Pemohon telah bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD NRI Tahun 1945. Adapun putusan mahkamah menyatakan bahwa:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
1.1 Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5188) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.2 Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5188) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Berdasarkan pemaparan-pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa dikabulkannya permohonan uji materiil Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman terhadap UUD Tahun 1945 membawa implikasi dan akibat hukum terhadap penyelenggaraan perumahan bagi MBR oleh pemerintah. Sehingga dalam rangka menindaklanjuti akibat hukum yang menciptakan keadaan hukum baru sebagai implikasi dikabulkannya permohonan uji materiil pasal-pasal a quo, maka perlu dilakukan evaluasi dan analisis terhadap kedua Putusan mahkamah konstitusi tersebut.
1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal dan ayat suatu UU yang dinyatakan Mahkamah Konstitusi sebagai konstitusionalitas/inkonstitusionalitas bersyarat?
3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu UU jika suatu pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan?
A. KONSTITUSIONALITAS UNDANG-UNDANG
Pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi merupakan wujud prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD 1945. Kewenangan pengujian undang-undang menimbulkan sebuah kewenangan yang mutatis mutandis (dengan sendirinya) ada, yaitu kewenangan menafsirkan konstitusi. Apabila dalam konstitusi tidak terdapat ketentuan yang ekplisit mengenai kewenangan menafsir konstitusi kepada lembaga negara yang diberikan kewenangan constitutional review, maka harus dipahami bahwa kewenangan menafsirkan konstitusi menyertai kewenangan constitutional review tersebut. Oleh sebab itu, sering dinyatakan bahwa Constitutional Court itu merupakan “the guardian of constitution and the sole interpreting of constitution”, disebut sebagai penjaga konstitusi berdasarkan kewenangan dalam memutus apakah sebuah produk perundang-undangan telah sesuai dengan konstitusi atau tidak.
Kewenangan menafsirkan itu sesungguhnya timbul dari sebuah tafsir Pasal 24C UUD 1945 bahwa “Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang terhadap UUD” sebagai ketentuan pemberian kewenangan constitutional review kepada Mahkamah Konstitusi, ketentuan tersebut tidak mengandung kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk melakukan penafsiran terhadap konstitusi, namun sangatlah tidak mungkin dapat melakukan penilaian pertentangan norma sebuah undang-undang apabila tidak menggunakan penafsiran konstitusi, dalam hal ini Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir sah terhadap undang-undang dasar atau konstitusi (the legitimate interpreter of the constitution).
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, salah satu kewenangan dari Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan wujud dari prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Menurut Sri Soemantri, dalam praktiknya dikenal adanya dua macam hak menguji yaitu :
a. Hak menguji formil (formale toetsingsrecht);
Hak menguji formil adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif seperti undang-undang misalnya terjelma melalui cara-cara (procedur) sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak. Dalam pengujian formal ini tampak jelas bahwa yang dinilai atau diuji adalah tatacara (procedur) pembentukan suatu undang-undang, apakah sesuai ataukah tidak dengan yang telah ditentukan/digariskan dalam peraturan perundang-undangan.
b. Hak menguji material (materiele toetsingsrecht).
Hak menguji material adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu pertauran perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Hak menguji material ini berkenanan dnegan isi dari suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya. Jika suatu undang-undang dilihat dari isinya bertentangan dengan undang-undang dasar maka undang-undang tersebut harus dinyatakan tidak mempunyai daya mengikat.
Menurut pandangan Jimly Asshiddiqie, dalam praktiknya dikenal adanya tiga macam norma hukum yang dapat diuji atau yang biasa disebut norm control mechanism. Ketiganya sama-sama merupakan bentuk norma hukum sebagai hasil dari proses pengambilan keputusan hukum yaitu keputusan normative yang berisi dan bersifat pengaturan (regeling), keputusan normatif yang berisi dan bersifat penetapan administrative (beschikking), dan keputusan normatif yang berisi dan bersifat penghakiman (judgement) yang biasa disebut vonis. Mekanisme pengujian norma hukum ini dapat dilakukan dengan mekanisme pengujian yang dilakukan oleh lembaga peradilan yang dikenal dengan istilah judicial review. Terdapat beberapa jenis pengujian yaitu legislative review (pengujian tersebut diberikan kepada parlemen), executive review (pengujian tersebut diberikan kepada pemerintah), dan judicial review (pengujian yang diberikan kepada lembaga peradilan). Ketiga bentuk norma hukum ada yang merupakan individual and concret norms, dan ada pula yang merupakan general and abstract norms. Vonis dan beschikking selalu bersifat individualand concrete sedangkan jika yang diuji normanya bersifat umum dan abstrak maka norma yang diuji itu adalah produk regeling. Pengujian norma hukum yang bersifat konkret dan individual termasuk dalam lingkup peradilan tata usaha negara.
Dalam pengujian undang-undang, terdapat dua istilah yakni judicial review dan constitutional review. Constitutional review yang dapat diartikan sebagai pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar yang pada saat ini menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi, judicial review dapat diartikan sebagai pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang yang pada saat ini dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Pada dasarnya banyak yang menyamakan istilah judicial review dan constitutional review, padahal kedua istilah ini berbeda. Jika constitutional review maka ukuran pengujiannya dilakukan dengan menggunakan konstitusi sebagai alat ukur, namun jika norma yang diujikan tersebut menggunakan batu ujinya adalah undang-undang maka dapat dikatakan sebagai judicial review. Konsep constitutional review berkembang dari gagasan modern tentang sistem pemerintahan demokratis yang didasarkan atas ide-ide negara hukum (rule of law), prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power), serta perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia (the protection of fundamental rights). Dalam constitutional review terdapat dua tugas pokok yakni :
a. Untuk menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam hubungan perimbangan peran atau interplay antar cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dengan perkataan lain constitutional review dimaksudkan untuk mencegah terjadinya pendayagunaan kekuasaan oleh satu cabang kekuasaan lainnya; dan
b. Untuk melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga negara yang merugikan hak fundamental warga negara yang dijamin dalam konstitusi.
Dengan adanya keberadaan Mahkamah Konstitusi juga telah menciptakan pembagian kekuasaan atau pemisahan kekuasaan yang memungkinkan adanya proses saling mengawasi dan saling mengimbangi di antara cabang-cabang kekuasaan negara yang ada atau lazim disebut dengan mekanisme checks and balances. Hal itu tampak terutama dari salah satu kewenangan yang dilimpahkan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945.
Dengan demikian, esensi dari produk putusan Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang terhadap UUD 1945 ditempatkan dalam bingkai mekanisme check and balances antara lembaga negara. Hubungan untuk saling mengontrol ini, pada akhirnya dimaksudkan untuk melahirkan suatu produk hukum yang adil dan betul-betul berorientasi pada kepentingan rakyat. Sehingga, pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 dapat juga dilihat sebagai bagian dari koreksi terhadap produk yang dihasilkan oleh DPR RI dan Presiden.
B. PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI FINAL DAN MENGIKAT
Mahkamah Konstitusi yang diadopsi dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal yaitu Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD NRI Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan Mahkamah Konstitusi harus bertindak sebagai penafsir karena Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD NRI Tahun 1945. Melalui fungsi ini maka Mahkamah Konstitusi dapat menutupi segala kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam UUD NRI Tahun 1945.
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya maka Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 29 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dari uraian diatas maka diketahui bahwa sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu final yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Konsep ini mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni secara sederhana dan cepat sebagaimana diuraikan dalam penjelasan No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang secara utuh menjelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi dalam menyelenggarakan peradilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tetap mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni dilakukan secara sederhana dan cepat. Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat tersebut, tidak dapat dilepaskan dengan asas erga omnes yang diartikan dengan mengikat secara umum dan juga mengikat terhadap obyek sengketa. Apabila suatu peraturan perundang‐undangan oleh hakim menyatakan tidak sah, karena bertentangan dengan peraturan perundang‐undangan yang lebih tinggi, berarti peraturan perundang‐undangan tersebut berakibat menjadi batal dan tidak sah untuk mengikat setiap orang.
Secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frasa “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dalam rangkaian pemeriksaan” sedangkan frasa mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harfiah ini maka frasa final dan frasa mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya dari suatu proses pemeriksaan telah memiliki kekuatan mengeratkkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum. Tatkala putusan tersebut diucapkan dalam sidang pleno, maka ketika itu lahir kekuatan mengikat (verbindende kracht).
Secara Substansial makna hukum dari putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat dibagi dalam beberapa bagian yaitu:
a. Menjaga konstitusi (The Guardian of Constitution), menafsirkan konstitusi (The Interpreteur of Constitution), menjaga demokrasi, menjaga persamaan di mata hukum, dan koreksi terhadap undang-undang.
Kehadiran Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan tidak lain berperan sebagai pengawal konstitusi (The Guardian of Constitution), agar konstitusi selalu dijadikan landasan dan dijalankan secara konsisten oleh setiap komponen negara dan masyarakat. Mahkamah Konstitusi berfungsi mengawal dan menjaga agar konstitusi ditaati dan dilaksanakan secara konsisten, serta mendorong dan mengarahkan proses demokratisasi berdasarkan konstitusi. Dengan adanya Mahkamah Konstitusi, proses penjaminan demokrasi yang konstitusional diharapkan dapat diwujudkan melalui proses penjabaran dari empat kewenangan konstitusional (constitusionally entrusted powers) dan satu kewajiban (constitusional obligation). Mahkamah Konstitusi bertugas melakukan penyelesaian persengketaan yang bersifat konstitusional secara demokratis.
Putusan-putusan yang final dan mengikat
yang ditafsirkan sesuai dengan konstitusi sebagai hukum tertinggi, dimana pelaksanaannya harus bertanggungjawab, sesuai dengan kehendak rakyat (konstitusi untuk rakyat bukan rakyat untuk konstitusi), dan cita‐cita demokrasi, yakni kebebasan dan persamaan (keadilan).Artinya Mahkamah Konstitusi tidak hanya sebagai penafsir melalui putusan‐putusannya melainkan juga sebagai korektor yang aplikasinya yang tercermin dalam undang‐undang yang dibuat oleh DPR dan Presiden dengan batu uji konstitusi melalui interprestasinya dengan kritis dan dinamis.Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat merupakan refleksi dari fungsinya sebagai penjaga konstitusi, penjaga demokrasi, penjaga persamaan dimata hukum, penafsir konstitusi dan korektor undang‐undang agar disesuaikan dengan UUD.
b. Membumikan prinsip-prinsip negara hukum;
Filosofi negara hukum adalah negara melaksanakan kekuasaannya, tunduk terhadap pengawasan hukum. Artinya ketika hukum eksis terhadap negara, maka kekuasaan negara menjadi terkendali dan selanjutnya menjadi negara yang diselenggarakan berdasarkan ketentuan hukum tertulis atau tidak tertulis (konvensi).14
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawas tertinggi, tatkala putusannya yang final dan mengikat, makna hukumnya adalah membumikan negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila sebagaimana dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon. Dimana, melalui putusan Mahkamah Konstitusi mengadili dan memutus hal‐hal yang berkaitan dengan kewenangan adtribusi yang diberikan kepadanya untuk menjaga, keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan.
c. Membangun sebuah penegakkan hukum
Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan yaitu kepastian hukum (rechissicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit). Selanjutnya ditegaskan bahwa kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang‐wenang, yang berarti bahwa seseorang akan memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib, karena hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk ketertiban masyarakat. Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat dapat dimaknai sebagai penegakan hukum tata negara. Khususnya menyangkut pengontrolan terhadap produk politik yaitu undang‐undang yang selama ini tidak ada lembaga yang dapat mengontrolnya. Pada sisi lain, juga dapat menegakkan hukum dimana memutuskan tentang benar salahnya Presiden atau Wakil Presiden yang dituduh oleh DPR bahwa melakukan perbuatan melanggar hukum. Demikian juga dapat memutuskan tentang sengketa‐sengketa khusus yang merupakan kewenangannya termasuk memutuskan untuk membubarkan partai politik. Dengan demikian, hal ini sangat diharapkan sebagai wujud perlindungan hak‐hak masyarakat dan juga menempatkan semua orang sama di mata hukum (equality before the law).
d. Perekayasa Hukum
Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat (final dan banding) merupakan suatu bentuk rekayasa hukum. Frasa “rekayasa” diartikan sebagai penerapan kaidah‐kaidah ilmu dalam pelaksanaan seperti perancangan, pembuatan konstruksi, serta pengoperasian kerangka, peralatan, dan sistem yang ekonomis dan efisien.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat sebagai sebuah bentuk rekayasa hukum yang diwujudkan dalam bentuk norma atau kaidah yang sifatnya membolehkan, mengajurkan, melarang, memerintahkan untuk berbuat atau tidak berbuat. Nilai mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi yang final adalah sama dengan nilai mengikat dan sebuah undang‐undang hasil produk politik, yang berfungsi sebagai alat rekayasa sosial politik, alat kontrol terhadap masyarakat dan penguasa serta memberikan perlindungan hukum terhadap seluruh komponen bangsa.
C. AKIBAT HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Putusan dalam peradilan merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat negara berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan para pihak kepadanya. Sebagai perbuatan hukum yang akan menyelesaikan sengketa yang dihadapkan kepadanya, maka putusan hakim tersebut merupakan tindakan negara di mana kewenangannya dilimpahkan kepada hakim baik berdasarkan UUD 1945 maupun undang-undang.
Dari sudut pandang hukum tata negara, putusan Mahkamah Konstitusi termasuk dalam keputusan negara yang mengandung norma hukum sama halnya dengan putusan pembentuk undang-undang yang bersifat pengaturan (regeling). Putusan Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan suatu undang-undang atau materi muatan dalam undang-undang, sedangkan pembentuk undang-undang menciptakan norma hukum dalam bentuk materi muatan dalam suatu undang-undang.
Putusan Mahkamah Konstitusi terutama dalam pengujian undang-undang kebanyakan jenisnya adalah bersifat declaratoir constitutief. Artinya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menciptakan atau meniadakan satu keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru sebagai negative legislature. Hal lain yang perlu dicermati lebih lanjut adalah adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) maupun inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Varian putusan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan putusan yang menyatakan bahwa suatu ketentuan undang-undang tidak bertentangan dengan konstitusi dengan memberikan persyaratan pemaknaan dan keharusan kepada lembaga negara dalam pelaksanaan suatu ketentuan undang-undang untuk memperhatikan penafsiran Mahkamah Konstitusi atas konstitusionalitas ketentuan undang-undang yang sudah diuji tersebut. Dengan demikian, terdapat penafsiran sendiri dari Mahkamah Konstitusi agar suatu norma undang-undang tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Putusan Mahkamah Konsitusi sejak diucapkan di hadapan sidang terbuka untuk umum dapat mempunyai 3 (tiga) kekuatan, yaitu:
1. Kekuatan mengikat
Kekuatan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi berbeda dengan putusan pengadilan biasa, tidak hanya meliputi pihak-pihak berperkara (interpartes), yaitu pemohon, pemerintah, DPR/DPD, ataupun pihak terkait yang diizinkan memasuki proses perkara, tetapi juga putusan tersebut mengikat bagi semua orang, lembaga negara, dan badan hukum dalam wilayah republik Indonesia.
Putusan tersebut berlaku sebagai hukum sebagaimana hukum diciptakan pembuat undang-undang. Dengan demikian, Hakim Mahkamah Konstitusi dikatakan sebagai negative lagislator yang putusannya bersifat erga omnes, yang ditujukan pada semua orang.
2. Kekuatan pembuktian
Dalam perkara konstitusi yang putusannya bersifat erga omnes, maka permohonan pengujian yang menyangkut materi yang sama yang sudah pernah diputus tidak dapat lagi diajukan untuk diuji oleh siapapun. Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah berkekuatan hukum tetap demikian dapat digunakan sebagai alat bukti dengan kekuatan pasti secara positif bahwa apa yang diputus oleh hakim itu dianggap telah benar. Selain itu, pembuktian sebaliknya tidak diperkenankan.
3. Kekuatan eksekutorial
Putusan Mahkamah Konstitusi berlaku sebagai undang-undang dan tidak memerlukan perubahan yang harus dilakukan dengan amandemen atas undang-undang yang bagian tertentu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Eksekusi putusan Mahkamah Konstitusi telah dianggap terwujud dengan pengumuman putusan tersebut dalam Berita Negara sebagaimana diperintahkan dalam Pasal 57 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Akibat hukum yang timbul dari satu putusan hakim jika menyangkut pengujian terhadap undang-undang diatur dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang pada intinya menyatakan undang-undang yang diuji tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Ketentuan ini juga berarti bahwa putusan hakim Mahkamah Konstitusi yang menyatakan satu undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat tidak boleh berlaku surut.
1. Pendapat Hukum Mahkamah Konstitusi Dalam Perkara Nomor 14/PUU-X/2012
Dalam perkata ini Pasal yang diujikan adalah Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman yang menyatakan bahwa:
“Luas lantai rumah tunggal dan rumah deret memiliki ukuran paling sedikit 36 (tiga puluh enam) meter persegi.”
Pasal a quo dianggap para pemohon bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), Pasal 28H ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi:
Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 berbunyi sebagai berikut:
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 berbunyi sebagai berikut:
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”
Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 berbunyi sebagai berikut:
“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 berbunyi sebagai berikut:
“Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun”.
Terhadap pengujian Pasal a quo mahkamah berpendapat bahwa ketentuan dalam Pasal 22 ayat (3) UU 1/2011 tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, oleh karena ketentuan tersebut tidak membeda-bedakan warga negara di dalam hukum dan pemerintahan, demikian pula tidak membeda-bedakan kewajiban warga negara untuk menjunjung hukum dan pemerintahan. Berdasarkan hal tersebut dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Bahwa demikian pula menurut Mahkamah Pasal 22 ayat (3) UU 1/2011 tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena pasal tersebut tidak meniadakan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, sehingga permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Bahwa hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah hak asasi manusia dan hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia [vide Pasal 28H ayat (1) UUD 1945]. Salah satu tujuan dibentuknya negara adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia [vide alinea IV Pembukaan UUD 1945]. Terkait dengan hak warga negara dan berhubungan pula dengan salah satu tujuan dalam pembentukan negara dimaksud maka negara berkewajiban untuk melakukan upaya-upaya dalam rangka mewujudkan terpenuhinya hak warga negara tersebut.
Penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman merupakan salah satu aspek pembangunan nasional, pembangunan manusia seutuhnya, sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan terpenuhinya hak konstitusional tersebut, yang juga merupakan pemenuhan kebutuhan dasar manusia yang memiliki peran strategis dalam pembentukan watak dan kepribadian warga negara sebagai upaya pencapaian salah satu tujuan pembangunan bangsa Indonesia yang berjati diri, mandiri, dan produktif. Sebagai salah satu upaya pemenuhan hak konstitusional, penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman adalah wajar dan bahkan merupakan keharusan, manakala penyelenggaraan dimaksud harus memenuhi syarat-syarat tertentu, antara lain, syarat kesehatan dan kelayakan serta keterjangkauan oleh daya beli masyarakat, terutama masyarakat yang berpenghasilan rendah [vide konsiderans (Menimbang) huruf a sampai dengan huruf d serta Penjelasan Umum UU 1/2011].
Terkait dengan syarat keterjangkauan oleh daya beli masyarakat, terutama masyarakat yang berpenghasilan rendah, menurut Mahkamah, Pasal 22 ayat (3) UU 1/2011, yang mengandung norma pembatasan luas lantai rumah tunggal dan rumah deret berukuran paling sedikit 36 (tiga puluh enam) meter persegi, merupakan pengaturan yang tidak sesuai dengan pertimbangan keterjangkauan oleh daya beli sebagian masyarakat, terutama masyarakat yang berpenghasilan rendah. Implikasi hukum dari ketentuan tersebut berarti melarang penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman membangun rumah tunggal atau rumah deret yang ukuran lantainya kurang dari ukuran 36 (tiga puluh enam) meter persegi.
Hal tersebut berarti pula telah menutup peluang bagi masyarakat yang daya belinya kurang atau tidak mampu untuk membeli rumah sesuai dengan ukuran minimal tersebut. Lagipula, daya beli masyarakat yang berpenghasilan rendah, antara satu daerah dengan daerah yang lain, adalah tidak sama. Demikian pula harga tanah dan biaya pembangunan rumah di suatu daerah dengan daerah yang lain berbeda. Oleh karena itu, menyeragamkan luas ukuran lantai secara nasional tidaklah tepat. Selain itu, hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta hak memperoleh pelayanan kesehatan sebagaimana dipertimbangkan di atas adalah salah satu hak asasi manusia yang pemenuhannya tidak semata-mata ditentukan oleh luas ukuran lantai rumah atau tempat tinggal, akan tetapi ditentukan pula oleh banyak faktor, terutama faktor kesyukuran atas karunia yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Bahwa sejalan dengan pertimbangan diatas hak bertempat tinggal, hak milik pribadi [vide Pasal 28H ayat (4) UUD 1945] juga adalah salah satu hak asasi manusia. Suatu tempat tinggal, misalnya rumah, dapat berupa rumah sewa, dapat juga berupa rumah milik pribadi. Seandainya rezeki yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa barulah cukup untuk membangun/memiliki rumah yang luas lantainya kurang dari 36 meter persegi, pembentuk Undang-Undang tidak dapat memaksanya membangun demi memiliki rumah yang luas lantainya paling sedikit 36 meter persegi, sebab rezeki yang bersangkutan baru mencukupi untuk membangun rumah yang kurang dari ukuran tersebut. Berdasarkan pertimbangan diatas menurut Mahkamah permohonan Pemohon beralasan menurut hukum.
2. DISSENTING OPINION
Dalam perkara Nomor 14/PUU-X/2012 terdapat dissenting opinion dari Hakim Makamah Konstitusi yaitu Hamdan Zoelva yang mempunyai pendapat berbeda sebagai berikut
UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat [vide Pasal 28H ayat (1) UUD 1945]. Demikian juga Piagam Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Right) menegaskan bahwa setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan [vide Article 25 ayat (1)].
Dari jaminan konstitusional tersebut, hak bertempat tinggal dan hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah bagian dari hak untuk hidup yang memadai, sejahtera lahir dan batin yang tidak dapat dipisahkan. UUD 1945 maupun Piagam Hak Asasi Manusia sangat menekankan betapa pentingnya pemenuhan kedua hak tersebut berjalan secara seimbang. Hak atas perumahan dan lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah termasuk kelompok hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang pemenuhannya memerlukan keterlibatan dan intervensi aktif negara, bukan kebebasan warga negara. Artinya, pemenuhan haknya harus dijamin dengan berbagai kebijakan aktif negara. Hal yang berbeda dengan hak sipil dan politik yang memerlukan keterlibatan pasif dari negara. Artinya kebebasan warga negara yang diutamakan dijamin oleh negara.
Salah satu aspek lingkungan yang baik dan sehat adalah mengenai rumah atau tempat tinggal. Standar rumah yang sehat menurut Konvensi World Health Organization tahun 1989 tentang Health Principles of Housing, antara lain adanya perlindungan terhadap penyakit menular, keracunan, dan penyakit kronis. Untuk memenuhi hal tersebut berdasarkan penelitian yang dikeluarkan Alberta – Health and Wellness tahun 1999 tentang Standar minimum rumah sehat adalah luas lantai untuk kamar tidur pada rumah yang sehat adalah tidak boleh kurang dari 9,5 (Sembilan koma lima) meter persegi per orang. WHO Regional Eropa menentukan standar minimum 12 (dua belas) meter persegi per orang. United Kingdom menentukan standar minimum luas lantai rumah 29,7 (dua puluh Sembilan koma tujuh) meter persegi per orang. Rusia menentukan standar minimum 9 (sembilan) meter persegi per orang. Standar ini, merupakan standar minimal yang bertujuan untuk menentukan kelayakan sebuah hunian yang sehat dan baik. Artinya, rumah yang kurang dari standar minimum adalah rumah tidak layak huni, karena tidak sehat.
Pengabaian terhadap standar minimum rumah sehat adalah salah satu bentuk pelanggaran terhadap jaminan konstitusional bagi setiap orang untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak dan sehat. Dalam kerangka inilah, menurut saya ukuran minimal rumah tunggal dan rumah deret yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011, yaitu minimal 36 (tiga puluh enam) meter persegi sudah tepat. Apalagi dalam tradisi kehidupan keluarga Indonesia, adalah jarang sekali satu keluarga yang tinggal dalam satu rumah hanya terdiri dari 2 (dua) orang, sehingga ukuran luas minimal rumah 21 (dua puluh satu) meter persegi adalah tidak layak huni karena tidak sehat. Dalam rangka melindungi dan memenuhi hak-hak ekonomi dan sosial warganya, negara tidak dapat membiarkan kebebasan untuk membangun rumah yang tidak sehat di bawah standar minimal yang ditentukan, apalagi rumah tersebut adalah perumahan yang dibangun dengan fasilitas negara. Di situlah tanggung jawab negara dan kewajiban konstitusionalnya menjamin pemenuhan hak konstitusional warganya untuk bertempat tinggal pada lingkungan yang layak dan sehat. Dengan adanya luas minimum yang ditentukan undang-undang a quo, juga mengandung konskuensi bahwa negara menjamin pula kemudahan dan keterjangkauan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) untuk mendapatkan rumah, dengan memberikan subsidi, fasilitas dan kemudahan mendapatkan rumah.
Oleh karena itu, menurut saya, jika dikaitkan dengan persoalan keterjangkauan daya beli masyarakat dan ukuran luas adalah dua hal yang tidak selalu relevan. Hal yang paling pokok adalah ukuran harga rumah yang terjangkau bukan ukuran rumah yang kecil. Artinya dengan jaminan undang-undang minimal luas lantai rumah tunggal dan rumah deret minimal 36 (tiga puluh enam) meter persegi, mengandung makna pula bahwa negara berkewajiban memberi kemudahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah untuk mendapatkan rumah dengan berbagai fasilitas dan kemudahan. Ukuran keterjangkauan sangat relatif, karena seberapa pun kecilnya rumah yang dianggap terjangkau juga tidak bisa menjamin bahwa seluruh atau sebagian besar rakyat Indonesia dapat memiliki rumah, karena adanya perbedaan tingkat pendapatan masyarakat. Hal itu sangat tergantung pada tingkat harga rumah, bukan pada besar kecilnya rumah, walaupun luas berpengaruh terhadap harga. Jadi menurut saya, hal paling utama yang harus dijamin oleh Pemerintah adalah aspek kesehatan dan kelayakan tempat tinggal yang sehat agar manusia Indonesia tumbuh baik dan sehat. Rumah terjangkau tetapi tidak sehat, adalah bentuk pengabaian negara terhadap hak konstitusional setiap orang untuk mendapatkan tempat tinggal yang baik dan sehat. Mengadakan rumah yang terjangkau tetapi tidak sehat, sama saja membiarkan rakyat hidup secara tidak layak dan tidak sehat.
3. IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Menurut Maruarar, jika dilihat dari amar putusannya maka putusan Mahkamah Konstitusi termasuk ke dalam jenis putusan yang bersifat declaratoir constitutief. Bersifat declaratoir artinya putusan dimana hakim sekedar hanya menyatakan apa yang menjadi hukum, tidak melakukan penghukuman. Hal ini bisa terlihat dari amar putusan pengujian undang-undang yang menyatakan bahwa materi muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sedangkan bersifat constitutief artinya suatu putusan yang menyatakan tetang ketiadaan suatu keadaan hukum dan/atau menciptakan satu keadaan hukum yang baru.
Putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang bersifat declaratoir constitutief, yang artinya putusan tersebut menciptakan atau meniadakan satu keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru sebagai negatif legislator, yang disebut Hans Kelsen melalui satu pernyataan yang menyaakan bahwa sifat declaratoir tidak membutuhkan satu aparat yang melakukan pelaksanaan putusan mahkamah konstitusi. Akibat hukum yang ditimbulkan dari satu putusan hakim jika dalam pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar diatur dalam Pasal 58 UU No 8 tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang berbunyi:
“Undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Hal ini berarti bahwa putusan hakim mahkamah konstitusi yang menyatakan satu undang-undang bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, tidak boleh berlaku surut dan akibat hukum yang timbul dari putusan itu dihitung sejak putusan tersebut diucapkan dalam siding terbuka untuk umum. Oleh karena itu akibat hukum yang timbul dari berlakunya satu undang-undang sejak diundangkan sampai diucapkannya putusan yang menyatakan undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, tetap sah dan mengikat.
Putusan mahkamah konstitusi dengan amar yang menyatakan bagian dari undang-undang, pasal atau ayat tertentu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak diumumkan dalam sidang terbuka untuk umum. Namun sebagai syarat untuk diketahui secara umum putusan tersebut diumumkan dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak putusan diucapkan. Tidak dibutuhkan adanya satu aparat khusus untuk melaksanakan putusan tersebut karena sifatnya declaratoir.
3.1 Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 14/PUU-X/2012.
Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman menurut para pemohon telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), Pasal 28H ayat (4) UUD NRI Tahun 1945.
Para pemohon merasa hak konstitusionalnya dirugikan dengan diberlakukannya Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Para pemohon beranggapan bahwa ketentuan Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman telah menghambat atau menghalangi dan membatasi hak setiap orang untuk membangun ataupun memiliki rumah tempat tinggal, termasuk secara swadaya, sebagai wujud pemenuhan hak konstitusional atas perumahan.
Selain itu juga para Pemohon berpandangan bahwa pembatasan luas lantai rumah tunggal dan rumah deret yang diatur dalam Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman telah menciptakan hambatan dan membatasi hak konstitusional bagi setiap orang untuk membangun ataupun membeli unit rumah sebagai tempat tinggal guna pemenuhan hak atas perumahan, dalam jenis dan bentuk apapun yang sesuai kebutuhan dan kemampuan serta sesuai dengan luas tanah/lahan yang dimiliki setiap orang tersebut. Kemudian para pemohon juga berpandangan bahwa adanya pembatasan mengenai luasan rumah tunggal dan rumah deret membuat semakin terpuruknya daya beli kelompok MBR karena tidak diikuti dengan menaiknya tingkat pendapatan kelompok MBR, sehingga kelompok MBR semakin tertinggal dari akses memperoleh rumah.
Terhadap permohonan uji materill tersebut Mahkamah Konstitusi memberikan putusan mengabulkan permohonan para pemohon dan menyatakan ketentuan Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan menyatakan ketentuan pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Akibat hukum atas pembatalan ketentuan Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman telah menimbulkan implikasi yuridis bahwa dengan dibatalkannya Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman yakni tidak adanya batasan terkait luas lantai rumah tunggal dan rumah deret. Dengan tidak adanya batasan mengenai luas lantai rumah tunggal dan rumah deret ini, maka kedepannya baik pemerintah, Pemerintah Daerah, pengembang, dan MBR dapat membantu memfasilitasi, menyediakan, dan membangun rumah dengan luas lantai dibawah dari 36 (tiga puluh enam) meter persegi. Hal ini merupakan suatu penegasan bahwa negara memiliki tanggung jawab untuk memberikan jaminan kemudahan dan pemenuhan hak atas tempat tinggal bagi warga negaranya sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu penyelenggaran kekuasaan kehakiman di Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah diputus berlaku untuk semua warga negara Indonesia karena sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final, yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding).
Amar putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, Pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 mengandung muatan yang bersifat Constitutief yaitu melahirkan suatu keadaan hukum yang baru berupa menghilangkan keberlakuan norma hukum yang dinyatakan tidak berkekuatan hukum mengikat. Sifat konstitutif putusan Mahkamah Konstitusi ini tercermin pada Pasal 57 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.
Pada dasarnya penetapan luas lantai 36 (toga puluh enam) meter persegi didasarkan pada keputusan-keputusan kongres tahun 1950 yang pada pokok-pokok keputusan kongres menuatakan bahwa Luas rumah induk 36 (tiga puluh enam) m² dengan dua kamar tidur, Luas rumah samping 17,5 (tujuh belas koma lima) m², Tinggi langit-langit minimal 2,75 (dua koma tujuh lima) m, dan Lubang jendela dan lubang angin minimum 10% dari luas lantai. Selain itu pembatasan luasan tersebut apabila dilihat dari prespektif filosofis dan sosial adalah logis bahwa luas lantai minimum 36 (tiga puluh enam) m² lebih memenuhi harapan untuk dapat membentuk jati diri keluarga, watak serta kepribadian bangsa.
Selain itu penetapan luasan lantai 36 (tiga puluh enam) meter persegi juga menyesuaikan dengan standar WHO tentang rumah layak huni yang sehat. Ukuran yang dibuat adalah perkiraan rata-rata jumlah orang dalam satu keluarga (keluarga inti–nuclear family) yang diasumsikan beranggotakan 4 (empat) orang, yaitu: suami, istri, dengan dua orang anak dengan mobilitas perorang dalam rumah (9 meter). Ketentuan luas lantai rumah tunggal minimal 36 (tiga puluh enam) meter persegi di atas sekaligus mempertegas komitmen pemerintah dalam meningkatkan Standar Pelayanan Minimal Bidang Perumahan Rakyat sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 22/PERMEN/M/2008 yang meliputi rumah layak huni dan terjangkau, dalam lingkungan yang sehat dan aman yang didukung prasarana, sarana, dan utilitas umum (PSU) yang memadai.
Khusus untuk indikator rumah layak huni, ditetapkan kriteria adanya struktur yang lengkap berupa pondasi, dinding dan atap dengan pencahayaan yang cukup dan ventilasi udara yang cukup. Sedang cakupan dukungan prasarana, sarana, dan utilitas umum meliputi ketersediaan air minum, ketersediaan listrik, saluran drainase, pembuangan Iimbah/sanitasi dan pengolahan sampah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 mengenai luas Iantai rumah paling sedikit 36 (tiga puluh enam) meter persegi merupakan penguatan standar pelayanan minimal bidang perumahan rakyat.
Apabila dilihat kesesuaian dengan asas penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman maka diketahui bahwa penyeragaman luas lantai rumah tunggal dan rumah deret ini tidak sesuai dengan asas keterjangkauan dan kemudahan, karena asas ini memberikan landasan agar hasil pembangunan di bidang perumahan dan kawasan permukiman dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, serta mendorong terciptanya iklim kondusif dengan memberikan kemudahan bagi MBR agar setiap warga negara Indonesia mampu memenuhi kebutuhan dasar akan perumahan dan permukiman. Namun dengan pembatasan luas lantai rumah tunggal dan rumah deret bagi MBR telah menghambat MBR dalam memenuhi kebutuhanya akan perumahan dan permukiman.
Penyeragaman luas lantai rumah tunggal dan rumah deret bagi MBR saat ini tidaklah tepat, hal ini dikarenakan tingkat pendapatan MBR disetiap daerah berbeda. Dengan penyeragaman ini semakin membuat MBR di daerah semakin kesulitan untuk memperoleh tempat tinggal. Oleh karena penyeragaman luas lantai rumah tunggal dan rumah deret dapat memberikan kesulitan bagi MBR maka mahkamah konstitusi membatalkan ketentuan Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman ini.
Pada dasarnya Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 14/PUU-X/2012 yang mengabulkan permohonan pemohon dan menyatakan ketentuan Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat telah melahirkan suatu keadaan hukum baru terkait dengan luas lahan lantai rumah deret dan rumah tunggal.
Dengan dibatalkannya ketentuan pasal ini maka telah terjadi kekosongan hukum terkait dengan penyelenggaraan rumah deret dan rumah tunggal yang diperuntukan bagi MBR. Jika hal ini tidak segera ditindaklanjuti maka dapat memberikan ketidakpastian hukum terkait pembangunan rumah deret dan rumah tunggal bagi MBR karena tidak adanya batasan luasan tanah dalam pembangunan rumah tersebut.
Pada dasarnya Peraturan Pemerintah terkait pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman baru dikeluarkan tahun 2016 dengan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman yang mana di dalamnya sudah tidak ada ketentuan mengenai luas lantai dalam pembangunan rumah tunggal dan rumah deret.
Pada dasarnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan telah mengatur mengenai tindaklanjut dari putusan mahkamah konstitusi dalam pengujian peraturan perundang-undangan yang dituangkan dalam daftar kumulatif terbuka program legislasi nasional. Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menyatakan bahwa:
“Dalam Prolegnas dimuat daftar kumulatif terbuka yang terdiri atas pengesahan perjanjian internasional tertentu; akibat putusan mahkamah konstitusi; anggaran pendapatan dan belanja negara; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah provinsi dan/atau kabupaten/kota; dan penetapan/pencabutan peraturan pemerintah pengganti undang-undang”.
Dengan adanya ketentuan pasal ini maka DPR perlu menindaklanjuti putusan mahkamah konstitusi dalam daftar kumulatif terbuka program legislasi nasional. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum yang diakibatkan dari pembatalan norma pasal dalam undang-undang.
Pengujian Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dalam perkara Nomor 14/PUU-X/2012 terhadap UUD Tahun 1945 telah menciptakan keadaan hukum baru terkait luasan lantai rumah tunggal dan rumah deret. Dalam pengujian pasal-pasal a quo Mahkamah Konstitusi mengeluarkan amar putusan yang membatalkan ketentuan pasal-pasal a quo karena bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Keadaan hukum baru yang tercipta terkait dengan penyelenggaraan perumahan dan permukiman yang diperuntukan bagi MBR, dalam hal ini yang semua luasan lantai rumah tunggal dan rumah deret yang diperuntukan bagi MBR memiliki ukuran paling sedikit 36 (tiga puluh enam) meter persegi, maka dalam putusannya mahkamah konstitusi telah membatalkan norma dalam pasal ini agar tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
Kemudian keadaan hukum baru yang tercipta yaitu dari yang semula luasan lahan rumah tunggal dan rumah deret memiliki ukuran paling sedikit 36 (tiga puluh enam) meter persegi, diubah normanya oleh Mahkamah Kontitusi menjadi tidak ada batasan minimum terkait pembangunan rumah tunggal dan rumah deret bagi MBR. Dibatalkannya ketentuan Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 dapat memberi kemudahan bagi MBR untuk memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal yang disesuaikan dengan penghasilannya.
Perlu dilakukan perubahan terhadap Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dengan membuat rumusan norma baru yang telah diputuskan oleh mahkamah konstitusi dalam pengujian pasal-pasal a quo. Perubahan tersebut hendaknya dituangkan dalam rencana perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman baik sebagai daftar kumulatif terbuka maupun dalam prolegnas prioritas tahunan.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430