Salah satu faktor yang mempengaruhi fungsi legislasi setelah perubahan Undang-Undang Dasar 1945 adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan wewenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, menyatakan bahwa salah satu kewenangan MK adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir putusan yang bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Artinya bahwa putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan MK dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding).
Sejak berdirinya MK hingga saat ini sudah banyak UU yang dimohonkan untuk dilakukan pengujian terhadap UUD Tahun 1945. Salah satunya adalah pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan (UU Kejaksaan). UU Kejaksaan dimaksudkan untuk lebih memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga negara pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak mana pun, yakni yang dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya.
Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya, Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan, serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum, dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Kejaksaan juga harus mampu terlibat sepenuhnya dalam proses pembangunan antara lain turut menciptakan kondisi yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila, serta berkewajiban untuk turut menjaga dan menegakkan kewibawaan pemerintah dan negara serta melindungi kepentingan masyarakat.
Dalam perjalanannya, UU Kejaksaan telah beberapa kali mengalami pengujian oleh beberapa pihak dengan dasar alasan yang bervariasi. Berikut hasil putusan MK atas pengujian UU Kejaksaan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) yang secara umum tergambar dalam tabel berikut:
No Putusan MK Pasal yang diuji Batu Uji
UUD NRI 1945 Amar Putusan
1 Perkara Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010
Pasal 30 ayat (3) huruf c UU No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan, mengenai kegiatan kejaksaan dalam pengawasan peredaran barang cetakan.
Pasal 28 UUD Tahun 1945. Menyatakan pengujian Pasal 30 ayat (3) huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401) ditolak;
2 Perkara Nomor 49/PUU-VIII/2010 Pasal 22 ayat (1) huruf d mengenai pemberhentian Jaksa Agung karena berakhir masa jabatannya. Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian
2. Menyatakan Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
adalah sesuai dengan Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat (conditionally constitutional), yaitu
konstitusional sepanjang dimaknai “masa jabatan Jaksa Agung itu berakhir
dengan berakhirnya masa jabatan Presiden Republik Indonesia dalam satu
periode bersama-sama masa jabatan anggota kabinet atau diberhentikan
dalam masa jabatannya oleh Presiden dalam periode yang bersangkutan”;
3 Perkara Nomor 29/PUU-XIV/2016 Pasal 35 huruf c berikut Penjelasannya, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, mengenai salah satu tugas dan wewenang Jaksa Agung yakni mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Pasal 28A, 28D Ayat (1), Pasal 28I Ayat (1) dan Ayat (2) UUD Tahun 1945 1. Mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk sebagian;
2. Menyatakan frasa “mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan atas asas oportunitas yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut” dalam Penjelasan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan, bertentangan dengan UUD NRI 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Jaksa Agung wajib memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan masalah tersebut.”
Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa dengan dikabulkannya permohonan uji materiil Pasal 22 ayat (1) huruf d dan Penjelasan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan terhadap UUD Tahun 1945 membawa implikasi dan akibat hukum serta menciptakan keadaan hukum baru sebagai implikasi dikabulkannya permohonan uji materiil pasal-pasal a quo baik seluruhnya atau sebagian, sehingga perlu dilakukan evaluasi dan analisis terhadap kedua Putusan MK tersebut.
1. Apa akibat hukum terhadap Pasal 22 ayat (1) huruf d dan Penjelasan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan yang dinyatakan MK sebagai konstitusionalitas bersyarat?
2. Apakah terjadi disharmoni norma dalam UU Kejaksaan jika Pasal 22 ayat (1) huruf d dan Penjelasan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan yang dinyatakan konstitusional secara bersyarat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan?
A. Konstitusionalitas Undang-Undang
Pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 yang menjadi kewenangan MK merupakan wujud prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD 1945. Kewenangan pengujian undang-undang menimbulkan sebuah kewenangan yang mutatis mutandis (dengan sendirinya) ada, yaitu kewenangan menafsirkan konstitusi. Apabila dalam konstitusi tidak terdapat ketentuan yang ekplisit mengenai kewenangan menafsir konstitusi kepada lembaga negara yang diberikan kewenangan constitutional review, maka harus dipahami bahwa kewenangan menafsirkan konstitusi menyertai kewenangan constitutional review tersebut. Oleh sebab itu, sering dinyatakan bahwa Constitutional Court itu merupakan “the guardian of constitution and the sole interpreting of constitution”, disebut sebagai penjaga konstitusi berdasarkan kewenangan dalam memutus apakah sebuah produk perundang-undangan telah sesuai dengan konstitusi atau tidak.
Kewenangan menafsirkan itu sesungguhnya timbul dari sebuah tafsir Pasal 24C UUD 1945 bahwa “MK menguji undang-undang terhadap UUD” sebagai ketentuan pemberian kewenangan constitutional review kepada MK, ketentuan tersebut tidak mengandung kewenangan MK untuk melakukan penafsiran terhadap konstitusi, namun sangatlah tidak mungkin dapat melakukan penilaian pertentangan norma sebuah undang-undang apabila tidak menggunakan penafsiran konstitusi, dalam hal ini MK sebagai penafsir sah terhadap undang-undang dasar atau konstitusi (the legitimate interpreter of the constitution).
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, salah satu kewenangan dari Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan wujud dari prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Menurut Sri Soemantri, dalam praktiknya dikenal adanya dua macam hak menguji yaitu :
a. Hak menguji formil (formale toetsingsrecht);
Hak menguji formil adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif seperti undang-undang misalnya terjelma melalui cara-cara (procedur) sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak. Dalam pengujian formal ini tampak jelas bahwa yang dinilai atau diuji adalah tatacara (procedur) pembentukan suatu undang-undang, apakah sesuai ataukah tidak dengan yang telah ditentukan/digariskan dalam peraturan perundang-undangan.
b. Hak menguji material (materiele toetsingsrecht).
Hak menguji material adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu pertauran perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Hak menguji material ini berkenanan dnegan isi dari suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya. Jika suatu undang-undang dilihat dari isinya bertentangan dengan undang-undang dasar maka undang-undang tersebut harus dinyatakan tidak mempunyai daya mengikat.
Menurut pandangan Jimly Asshiddiqqie, dalam praktiknya dikenal adanya tiga macam norma hukum yang dapat diuji atau yang biasa disebut norm control mechanism. Ketiganya sama-sama merupakan bentuk norma hukum sebagai hasil dari proses pengambilan keputusan hukum yaitu keputusan normative yang berisi dan bersifat pengaturan (regeling), keputusan normatif yang berisi dan bersifat penetapan administrative (beschikking), dan keputusan normatif yang berisi dan bersifat penghakiman (judgement) yang biasa disebut vonis. Mekanisme pengujian norma hukum ini dapat dilakukan dengan mekanisme pengujian yang dilakukan oleh lembaga peradilan yang dikenal dengan istilah judicial review. Terdapat beberapa jenis pengujian yaitu legislative review(pengujian tersebut diberikan kepada parlemen), executive review (pengujian tersebut diberikan kepada pemerintah), dan judicial review (pengujian yang diberikan kepada lembaga peradilan). Ketiga bentuk norma hukum ada yang merupakan individual and concret norms, dan ada pula yang merupakan general and abstract norms. Vonis dan beschikking selalu bersifat individualand concrete sedangkan jika yang diuji normanya bersifat umum dan abstrak maka norma yang diuji itu adalah produk regeling. Pengujian norma hukum yang bersifat konkret dan individual termasuk dalam lingkup peradilan tata usaha negara.
Dalam pengujian undang-undang, terdapat dua istilah yakni judicial review dan constitutional review. Constitutional review yang dapat diartikan sebagai pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar yang pada saat ini menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi, judicial review dapat diartikan sebagai pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang yang pada saat ini dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Pada dasarnya banyak yang menyamakan istilah judicial review dan constitutional review, padahal kedua istilah ini berbeda. Jika constitutional review maka ukuran pengujiannya dilakukan dengan menggunakan konstitusi sebagai alat ukur, namun jika norma yang diujikan tersebut menggunakan batu ujinya adalah undang-undang maka dapat dikatakan sebagai judicial review. Konsep constitutional review berkembang dari gagasan modern tentang sistem pemerintahan demokratis yang didasarkan atas ide-ide negara hukum (rule of law), prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power), serta perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia (the protection of fundamental rights). Dalam constitutional review terdapat dua tugas pokok yakni :
a. Untuk menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam hubungan perimbangan peran atau interplay antar cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dengan perkataan lain constitutional review dimaksudkan untuk mencegah terjadinya pendayagunaan kekuasaan oleh satu cabang kekuasaan lainnya; dan
b. Untuk melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga negara yang merugikan hak fundamental warga negara yang dijamin dalam konstitusi.
Dengan adanya keberadaan Mahkamah Konstitusi juga telah menciptakan pembagian kekuasaan atau pemisahan kekuasaan yang memungkinkan adanya proses saling mengawasi dan saling mengimbangi di antara cabang-cabang kekuasaan negara yang ada atau lazim disebut dengan mekanisme checks and balances. Hal itu tampak terutama dari salah satu kewenangan yang dilimpahkan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945.
Dengan demikian, esensi dari produk putusan Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang terhadap UUD 1945 ditempatkan dalam bingkai mekanisme check and balances antara lembaga negara. Hubungan untuk saling mengontrol ini, pada akhirnya dimaksudkan untuk melahirkan suatu produk hukum yang adil dan betul-betul berorientasi pada kepentingan rakyat. Sehingga, pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 dapat juga dilihat sebagai bagian dari koreksi terhadap produk yang dihasilkan oleh DPR RI dan Presiden.
B. Putusan Mahkamah Konstitusi Final dan Mengikat
Mahkamah Konstitusi yang diadopsi dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD NRI Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD NRI Tahun 1945. Melalui fungsi ini maka Mahkamah Konstitusi dapat menutupi segala kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam UUD NRI Tahun 1945.
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya maka Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 29 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dari uraian diatas maka diketahui bahwa sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu final yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Konsep ini mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni secara sederhana dan cepat sebagaimana diuraikan dalam penjelasan No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang secara utuh menjelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi dalam menyelenggarakan peradilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tetap mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni dilakukan secara sederhana dan cepat. Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat tersebut, tidak dapat dilepaskan dengan asas erga omnes yang diartikan dengan mengikat secara umum dan juga mengikat terhadap obyek sengketa. Apabila suatu peraturan perundang‐undangan oleh hakim menyatakan tidak sah, karena bertentangan dengan peraturan perundang‐undangan yang lebih tinggi, berarti peraturan perundang‐undangan tersebut berakibat menjadi batal dan tidak sah untuk mengikat setiap orang.
Secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frasa “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dalam rangkaian pemeriksaan” sedangkan frasa mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harfiah ini maka frasa final dan frasa mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya dari suatu proses pemeriksaan telah memiliki kekuatan mengeratkkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum. Tatkala putusan tersebut diucapkan dalam sidang pleno, maka ketika itu lahir kekuatan mengikat (verbindende kracht).
Secara Substansial makna hukum dari putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat dibagi dalam beberapa bagian yaitu:
a. Menjaga konstitusi (The Guardian of Constitution), menafsirkan konstitusi (The Interpreteur of Constitution), menjaga demokrasi, menjaga persamaan di mata hukum, dan koreksi terhadap undang-undang.
Kehadiran Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan tidak lain berperan sebagai pengawal konstitusi (The Guardian of Constitution), agar konstitusi selalu dijadikan landasan dan dijalankan secara konsisten oleh setiap komponen negara dan masyarakat. Mahkamah Konstitusi berfungsi mengawal dan menjaga agar konstitusi ditaati dan dilaksanakan secara konsisten, serta mendorong dan mengarahkan proses demokratisasi berdasarkan konstitusi. Dengan adanya Mahkamah Konstitusi, proses penjaminan demokrasi yang konstitusional diharapkan dapat diwujudkan melalui proses penjabaran dari empat kewenangan konstitusional (constitusionally entrusted powers) dan satu kewajiban (constitusional obligation). Mahkamah Konstitusi bertugas melakukan penyelesaian persengketaan yang bersifat konstitusional secara demokratis.
Putusan-putusan yang final dan mengikat
yang ditafsirkan sesuai dengan konstitusi sebagai hukum tertinggi, dimana pelaksanaannya harus bertanggungjawab, sesuai dengan kehendak rakyat (konstitusi untuk rakyat bukan rakyat untuk konstitusi), dan cita‐cita demokrasi, yakni kebebasan dan persamaan (keadilan).Artinya Mahkamah Konstitusi tidak hanya sebagai penafsir melalui putusan‐putusannya melainkan juga sebagai korektor yang aplikasinya yang tercermin dalam undang‐undang yang dibuat oleh DPR dan Presiden dengan batu uji konstitusi melalui interprestasinya dengan kritis dan dinamis.Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat merupakan refleksi dari fungsinya sebagai penjaga konstitusi, penjaga demokrasi, penjaga persamaan dimata hukum, penafsir konstitusi dan korektor undang‐undang agar disesuaikan dengan UUD.
b. Membumikan prinsip-prinsip negara hukum;
Filosofi negara hukum adalah negara melaksanakan kekuasaannya, tunduk terhadap pengawasan hukum. Artinya ketika hukum eksis terhadap negara, maka kekuasaan negara menjadi terkendali dan selanjutnya menjadi negara yang diselenggarakan berdasarkan ketentuan hukum tertulis atau tidak tertulis (konvensi).14
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawas tertinggi, tatkala putusannya yang final dan mengikat, makna hukumnya adalah membumikan negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila sebagaimana dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon. Dimana, melalui putusan Mahkamah Konstitusi mengadili dan memutus hal‐hal yang berkaitan dengan kewenangan adtribusi yang diberikan kepadanya untuk menjaga, keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan.
c. Membangun sebuah penegakkan hokum
Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan yaitu kepastian hukum (rechissicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit). Selanjutnya ditegaskan bahwa kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang‐wenang, yang berarti bahwa seseorang akan memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib, karena hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk ketertiban masyarakat. Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat dapat dimaknai sebagai penegakan hukum tata negara. Khususnya menyangkut pengontrolan terhadap produk politik yaitu undang‐undang yang selama ini tidak ada lembaga yang dapat mengontrolnya. Pada sisi lain, juga dapat menegakkan hukum dimana memutuskan tentang benar salahnya Presiden atau Wakil Presiden yang dituduh oleh DPR bahwa melakukan perbuatan melanggar hukum. Demikian juga dapat memutuskan tentang sengketa‐sengketa khusus yang merupakan kewenangannya termasuk memutuskan untuk membubarkan partai politik. Dengan demikian, hal ini sangat diharapkan sebagai wujud perlindungan hak‐hak masyarakat dan juga menempatkan semua orang sama di mata hukum (equality before the law).
d. Perekayasa Hukum
Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat ( final dan banding) merupakan suatu bentuk rekayasa hukum. Frasa “rekayasa” diartikan sebagai penerapan kaidah‐kaidah ilmu dalam pelaksanaan seperti perancangan, pembuatan konstruksi, serta pengoperasian kerangka, peralatan, dan sistem yang ekonomis dan efisien.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat sebagai sebuah bentuk rekayasa hukum yang diwujudkan dalam bentuk norma atau kaidah yang sifatnya membolehkan, mengajurkan, melarang, memerintahkan untuk berbuat atau tidak berbuat. Nilai mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi yang final adalah sama dengan nilai mengikat dan sebuah undang‐undang hasil produk politik, yang berfungsi sebagai alat rekayasa sosial politik, alat kontrol terhadap masyarakat dan penguasa serta memberikan perlindungan hukum terhadap seluruh komponen bangsa.
C. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan dalam peradilan merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat negara berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan para pihak kepadanya. Sebagai perbuatan hukum yang akan menyelesaikan sengketa yang dihadapkan kepadanya, maka putusan hakim tersebut merupakan tindakan negara di mana kewenangannya dilimpahkan kepada hakim baik berdasarkan UUD 1945 maupun undang-undang.
Dari sudut pandang hukum tata negara, putusan Mahkamah Konstitusi termasuk dalam keputusan negara yang mengandung norma hukum sama halnya dengan putusan pembentuk undang-undang yang bersifat pengaturan (regeling). Putusan Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan suatu undang-undang atau materi muatan dalam undang-undang, sedangkan pembentuk undang-undang menciptakan norma hukum dalam bentuk materi muatan dalam suatu undang-undang.
Putusan Mahkamah Konstitusi terutama dalam pengujian undang-undang kebanyakan jenisnya adalah bersifat declaratoir constitutief. Artinya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menciptakan atau meniadakan satu keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru sebagai negative legislature. Hal lain yang perlu dicermati lebih lanjut adalah adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) maupun inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Varian putusan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan putusan yang menyatakan bahwa suatu ketentuan undang-undang tidak bertentangan dengan konstitusi dengan memberikan persyaratan pemaknaan dan keharusan kepada lembaga negara dalam pelaksanaan suatu ketentuan undang-undang untuk memperhatikan penafsiran Mahkamah Konstitusi atas konstitusionalitas ketentuan undang-undang yang sudah diuji tersebut. Dengan demikian, terdapat penafsiran sendiri dari Mahkamah Konstitusi agar suatu norma undang-undang tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Putusan Mahkamah Konsitusi sejak diucapkan di hadapan sidang terbuka untuk umum dapat mempunyai 3 (tiga) kekuatan, yaitu:
A. Kekuatan mengikat
Kekuatan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi berbeda dengan putusan pengadilan biasa, tidak hanya meliputi pihak-pihak berperkara (interpartes), yaitu pemohon, pemerintah, DPR/DPD, ataupun pihak terkait yang diizinkan memasuki proses perkara, tetapi juga putusan tersebut mengikat bagi semua orang, lembaga negara, dan badan hukum dalam wilayah republik Indonesia.
Putusan tersebut berlaku sebagai hukum sebagaimana hukum diciptakan pembuat undang-undang. Dengan demikian, Hakim Mahkamah Konstitusi dikatakan sebagai negative lagislator yang putusannya bersifat erga omnes, yang ditujukan pada semua orang.
B. Kekuatan pembuktian
Dalam perkara konstitusi yang putusannya bersifat erga omnes, maka permohonan pengujian yang menyangkut materi yang sama yang sudah pernah diputus tidak dapat lagi diajukan untuk diuji oleh siapapun. Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah berkekuatan hukum tetap demikian dapat digunakan sebagai alat bukti dengan kekuatan pasti secara positif bahwa apa yang diputus oleh hakim itu dianggap telah benar. Selain itu, pembuktian sebaliknya tidak diperkenankan.
C. Kekuatan eksekutorial
Putusan Mahkamah Konstitusi berlaku sebagai undang-undang dan tidak memerlukan perubahan yang harus dilakukan dengan amandemen atas undang-undang yang bagian tertentu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Eksekusi putusan Mahkamah Konstitusi telah dianggap terwujud dengan pengumuman putusan tersebut dalam Berita Negara sebagaimana diperintahkan dalam Pasal 57 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Akibat hukum yang timbul dari satu putusan hakim jika menyangkut pengujian terhadap undang-undang diatur dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang pada intinya menyatakan undang-undang yang diuji tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Ketentuan ini juga berarti bahwa putusan hakim Mahkamah Konstitusi yang menyatakan satu undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat tidak boleh berlaku surut.
D. Kejaksaan dalam Perspektif Teori Negara Hukum dan Teori Pembagian Kekuasaan.
Paham rechtsstaat, paham the rule of law, dan paham negara hukum (Indonesia) beranjak dari latar belakang kekuasaan penguasa (raja). Konsep rechtsstaat bertumpu pada sistem hukum kontinental yang disebut civil law yang berkarakteristik administrative, sedangkan konsep the rule of law berdasarkan sistem hukum common law, berkarakteristik judicial. Sedangkan konsep negara hukum Indonesia bertumpu pada keseimbangan hubungan antara pemerintah dan rakyat yang diwarnai karakteristik administrative dan judicial.
Latar belakang sejarah rechtsstaat (negara-negara Eropa Kontinental) dan the rule of law (negara-negara Anglo Saxon) menunjukkan perjuangan menentang kesewenang-wenangan penguasa. Sementara itu, negara hukum Indonesia jelas-jelas menentang kesewenang-wenangan penguasa dalam alam penjajahan. Titik sentral rechtsstaat dan the rule of law adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Sedangkan, bagi Indonesia yang menjadi titik sentral adalah keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan, hubungan fungsional yang proporsional antar kekuasaan negara, dan jika muncul sengketa jalan musyawarah yang didahulukan sehingga peradilan hanya menjadi sarana penyelesaian akhir (the last resort).
Untuk mewujudkan konsep rechtsstaat, yaitu membatasi kekuasaan administrasi negara, dan konsep the rule of law, yaitu mengembangkan peradilan yang adil, mandiri, dan independen, serta konsep negara hukum Indonesia, yaitu keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat, pembagian kekuasaan negara yang proporsional dan peradilan sebagai sarana penyelesaian sengketa yang terakhir, maka sangat perlu dilakukan pembagian kekuasaan di antara lembaga-lembaga negara/pemerintah.
Dalam UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, tidak ada satu katapun yang menyebut mengenai institusi kejaksaan, baik dalam batang tubuh maupun penjelasannya. Demikian pula dalam UUD 1945 yang telah mengalami empat kali perubahan (UUD Negara RI Tahun 1945). Di dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan UUD Sementara 1950 yang menganut sistem pemerintahan Parlementer, kata kejaksaan juga tidak ditemukan, kecuali kata “Jaksa Agung pada Mahkamah Agung” (Pasal 106 UUD Sementara 1950), tetapi hanya dalam konteks pejabat tinggi negara yang hanya dapat diadili oleh Mahkamah Agung sebagai pengadilan pertama dan terakhir jika mereka didakwa dalam perkara pidana. Ketentuan ini hanya mengatur “forum previlegiatum” yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kedudukan kejaksaan dalam ranah kekuasaan negara .
Namun demikian, eksistensi Kejaksaan RI dalam perspektif konsep rechtsstaat, konsep the rule of law, dan konsep negara hukum Indonesia hendaknya diwujudkan melalui konsep pembagian kekuasaan dalam penegakan hukum di negara Republik Indonesia. Kehadiran Kejaksaan RI dalam dunia peradilan adalah: pertama, sebagai upaya preventif, membatasi, mengurangi, atau mencegah kekuasaan pemerintah atau administrasi negara (konsep rechtsstaat) yang diduga sewenang-wenang yang dapat merugikan, baik rakyat maupun pemerintah sendiri, bahkan supaya tidak terjadi Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN). Sedangkan upaya represifnya adalah menindak kesewenang-wenangan pemerintah atau administrasi negara dan praktek-praktek KKN. Kedua, Kejaksaan RI seharusnya ditempatkan pada kedudukan dan fungsi yang mandiri dan independen untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam penegakan hukum agar terwujud peradilan yang adil, mandiri, dan independen (konsep the rule of law). Ketiga, menjaga keserasian hubungan hak dan kewajiban antara pemerintah dan rakyat melalui tugas penuntutan (penegakan hukum) dalam proses peradilan (konsep Negara Hukum Indonesia).
E. Kedudukan Kejaksaan Sebagai Lembaga Negara Dibidang Kekuasaan Kehakiman
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, berdasarkan Pasal 24 ayat 3 UUD 1945 amandemen ke-4 disebutkan bahwa “badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”. berdasarkan ketentuan tersebut, melalui UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dijelaskan yang dimaksud dengan badan-badan tersebut, yaitu Kepolisian Negara RI, Kejaksaan RI dan Badan-badan lain yang diatur dalam undang-undang.
Untuk menyesuaikan dengan perkembangan situasi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka dibentuklah UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, UU tersebut dibentuk dengan tujuan untuk lebih memantapkan kedudukan dan peran lembaga Kejaksaan. Kejaksaan merupakan Lembaga Negara yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan ketentuan undang-undang.
Dalam menjalankan kewenangannya tersebut, kejaksaan menjalankan tugasnya dengan merdeka. Hal ini menegaskan independensi dari lembaga kejaksaan sendiri. Karena sampai saat ini Kejaksaan merupakan lembaga yang berada dalam kewenangan eksekutif yaitu berada di bawah presiden. Karena jaksa agung sebagai pemimpin tertinggi di lembaga Kejaksaan merupakan anggota kabinet yang dipilih langsung oleh presiden.
Berdasarkan hal tersebut prinsip independensi yang dimiliki oleh kejaksaan dapat dikatakan sebagai hal yang bersifat abstrak. Karena pelaksanaan prinsip independensi tersebut di lapangan sangat bergantung kepada komitmen Presiden dan Jaksa Agung sendiri. Tidak terdapat kontrol dari pihak luar ketika Jaksa Agung menjalankan tugas dan kewenangannya apakah benar-benar terbebas dari politik kekuasaan presiden.
Dalam melakukan pengaturan terhadap kedudukan lembaga Kejaksaan terdapat keinginan beberapa pihak untuk menjadikan kejaksaan sebagai lembaga yang berada dalam kekuasaan kehakiman. Hal tersebut berarti kejaksaan berada di bawah kekuasaan yudikatif. Kekuasaan Yudikatif adalah kekuasaan peradilan di mana kekuasaan ini menjaga undang-undang, peraturan-peraturan dan ketentuan hukum lainnya benar-benar ditaati, yaitu dengan menjatuhkan sanksi terhadap setiap pelanggaran hukum atau undang-undang. Selain itu Yudikatif juga bertugas untuk memberikan keputusan dengan adil sengketa-sengketa sipil yang diajukan ke pengadilan untuk diputuskan.
Peletakan kedudukan Kejaksaan di Yudikatif bertentangan dengan posisi kejaksaan sebagai lembaga yang dalam prakteknya memiliki tugas pokok melakukan penuntutan atas nama negara dalam kasus-kasus pidana dan bertindak sebagai Jaksa Pengacara Negara (JPN) dalam kasus-kasus perdata yang berkaitan dengan aset negara. Karena kejaksaan dan Badan Peradilan memiliki fungsi yang berbeda, maka dalam rangka intergrated criminal justice system Kejaksaan tetap harus ditempatkan di luar kelembagaan yudisial.
. Pendapat Hukum Mahkamah Konstitusi
1.1 Pendapat Hukum MK dalam Perkara Nomor 49/PUU-VIII/2010
Pasal yang dimohonkan untuk diuji dalam Perkara Nomor 49/PUU-VIII/2010, yaitu Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan terhadap Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945. Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan menyatakan bahwa “Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena: … d. berakhir masa jabatannya”. Terhadap permohonan pengujian pasal a quo MK mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
Bahwa frasa “diberhentikan dengan hormat dari jabatannya” dapat dimaknai dengan pemberhentian seorang pejabat dari segala fungsi dan wewenang yang telah diamanatkan atau dibebankan kepadanya, karena dia telah melaksanakan fungsi dan wewenang tersebut, dan dianggap bahwa segala sesuatu yang diamanatkan telah dilaksanakan dengan baik dan paripurna. Dalam hal ini fokusnya adalah pada jenis jabatan tersebut, yaitu pada fungsi dan wewenang yang diemban oleh pejabat yang bersangkutan, namun demikian jenis jabatan tersebut tetap ada dan perlu ditindaklanjuti, sehingga jenis jabatan tersebut harus dilanjutkan oleh seseorang yang akan dipilih atau diangkat untuk menggantikannya. Frasa “diberhentikan dengan hormat dari jabatannya” dalam penerapannya dapat dilakukan kapan saja tergantung pada kapan fungsi dan wewenang tersebut selesai menurut seseorang yang berwenang mengangkat dan memberhentikannya. Dalam kaitannya dengan sifat wewenang pemerintahan terdapat tiga ciri, yaitu: a) selalu terikat pada suatu masa tertentu; b) selalu tunduk pada batas yang ditentukan; dan c) pelaksanaan wewenang terikat pada hukum tertulis dan hukum tidak tertulis.
Sifat wewenang pertama, yaitu, “selalu terikat pada suatu masa tertentu ”mempunyai makna bahwa lamanya wewenang tersebut ditentukan dalam peraturan yang menjadi dasar pemberiannya, yang biasa disebut dengan lingkup waktu (tijdsgebied). Sifat wewenang kedua yaitu, “selalu tunduk pada batas yang ditentukan” yang berarti terdapat batas yang ditentukan, baik yang mencakup batas wilayah kewenangan (plaatsgebeid) maupun batas cakupan materi kewenangan (ruimtegebeid). Sifat yang ketiga, yaitu, “pelaksanaan wewenang terikat pada hukum tertulis dan hukum tidak tertulis” yang berarti pelaksanaan wewenang tersebut terikat pada hukum tertulis (peraturan-peraturan negara/asas legalitas) maupun pada hukum tidak tertulis (asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang baik).
Frasa “berakhir masa jabatannya” selalu dikaitkan dengan saat atau waktu tertentu yang biasanya telah ditentukan sebelumnya dalam suatu peraturan yang dibentuk untuk pelaksanaan dari jabatan tersebut, sehingga masa jabatan dari pemegang jabatan seharusnya diatur secara tegas untuk menghindarkan adanya pelampauan kewenangan;
Menimbang bahwa terhadap substansi Pasal 22 ayat (1) UU 16/2004 yang menyatakan ”Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena: a. meninggal dunia; b. permintaan sendiri; c. sakit jasmani atau rohani terus menerus; d. berakhir masa jabatannya; e. tidak lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21,” dapat dibedakan dalam dua kondisi/syarat kapan pemberhentian dengan hormat Jaksa Agung dari jabatannya.
Pertama, adalah kondisi/syarat yang tegas dan tidak menimbulkan tafsir yang berbeda, bahkan dapat dikatakan sebagai kondisi/syarat yang konkret, yaitu: a. meninggal dunia; b. permintaan sendiri; c. sakit jasmani atau rohani terus menerus; dan e. tidak lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. Terhadap keempat kondisi/syarat dalam Pasal 22 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf e Undang-Undang a quo, pemberhentian dengan hormat Jaksa Agung dari jabatannya dapat dengan mudah dilaksanakan, namun demikian terhadap kondisi/syarat “d. berakhir masa jabatannya” menimbulkan masalah dalam pemaknaan dan penerapannya. Oleh karena itu, pelaksanaan dari Pasal 22 ayat (1) huruf d UU 16/2004 perlu disertai dengan rumusan yang jelas tentang jangka waktu atau lingkup waktu yang tegas untuk menghindari penafsiran yang berbeda. Berdasarkan alasan tersebut dapat disimpulkan bahwa permasalahan penafsiran terhadap Pasal 22 ayat (1) huruf d UU 16/2004 yang menyatakan ”Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena:...d. berakhir masa jabatannya” bukanlah masalah konstitusionalitas norma yang merupakan lingkup ranah judicial review yang menjadi wewenang Mahkamah, tetapi lebih merupakan lingkup ranah legislative review yang menjadi wewenang pembentuk undang-undang, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden. Akan tetapi masalah konstitusionalitas timbul ketika frasa ini bersifat multitafsir sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum, termasuk ketidakpastian hukum dalam hal kedudukan di hadapan hukum;
Bahwa dalam praktik ketatanegaraan yang berlangsung selama ini, “penetapan masa jabatan” secara tegas telah digunakan dalam beberapa jabatan publik, sebagai contoh dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden adalah selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam masa jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan sesuai Pasal 7 UUD 1945;
b. Masa jabatan Anggota Komisi Yudisial didasarkan pada periode masa jabatan, yaitu selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan berdasarkan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial;
c. Masa jabatan Hakim Konstitusi yang ditentukan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya satu kali masa jabatan berikutnya atau masa jabatan tersebut berakhir pada saat memasuki usia pensiun, yaitu 67 tahun, berdasarkan Pasal 22 dan Pasal 23 ayat (1) huruf c dan huruf d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
d. Masa jabatan Hakim Agung yang ditentukan sampai saat memasuki usia pensiun, yaitu 70 tahun berdasarkan Pasal 11 huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;
Bahwa keterangan Denny Indrayana, S.H., LL.M. Ph.D, dan Letjen (Purn.) Achmad Roestandi, S.H., Ahli dari Pemerintah, yang menyatakan jabatan Jaksa Agung dapat saja berlangsung seumur hidup, menurut Mahkamah, pandangan tersebut tidak tepat, karena menurut prinsip demokrasi dan konstitusi untuk setiap jabatan publik harus ada batasan tentang lingkup kewenangan dan batas waktunya yang jelas dan pasti, apalagi jabatan dalam lingkungan kekuasaan pemerintahan seperti jabatan Jaksa Agung;
Bahwa Mahkamah sependapat dengan Ahli dari Pemohon, Prof. Dr. Bagir Manan, S.H., M.C.L. yang menyatakan, Kejaksaan adalah badan pemerintahan. Dengan demikian, pimpinannya juga adalah pimpinan dari suatu badan pemerintahan, dan ditafsirkan bahwa yang dimaksud badan pemerintahan adalah kekuasaan eksekutif. Pendapat tersebut sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UU 16/2004 yang menyatakan, ”Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang”. Selain itu, ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) tersebut tidak dapat dipisahkan dengan Pasal 18 ayat (1) serta Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang a quo yang masing-masing menyatakan sebagai berikut: Pasal 18 ayat (1): ”Jaksa Agung adalah pimpinan dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaan...”. Adapun Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) menyatakan, “(1) Jaksa Agung adalah pejabat negara, dan (2) Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.” Berdasarkan ketiga pasal tersebut maka seharusnya masa jabatan Jaksa Agung adalah sesuai dengan periode (masa jabatan) Presiden terlepas ia diposisikan sebagai pejabat di dalam kabinet atau di luar kabinet.
Bahwa meskipun begitu, oleh karena undang-undang tidak mengatur hal tersebut secara tegas, maka dalam praktik di lapangan, implementasinya menimbulkan masalah konstitusionalitas yakni ketidakpastian hukum. Sejalan dengan pendapat Prof. Dr. Bagir Manan, S.H., M.C.L., menurut Ahli dari Pemohon yang lain, yaitu, Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H. juga menyatakan bahwa, Kekuasaan Pemerintahan adalah la puissance executrice. Jabatan Jaksa Agung berada dalam Iingkup kekuasaan eksekutif. Jaksa Agung adalah publieke ambt atau jabatan publik. Tiap jabatan (het ambt) adalah wujud lingkungan kerja tetap yang diadakan dalam kaitan negara (kring van vastewerkzaamheden in het verband van de staat). Negara adalah organisasi jabatan (de staat is ambtenorganisatie), sedangkan jabatan (het ambt) adalah pribadi hukum, badan hukum publik (het ambt is persoon, het ambt als persoon) yang memiliki fungsi dan kewenangan, sebagaimana Iayaknya een persoon, een rechtspersoon, een publieke rechtspersoon. Namun demikian, karena jabatan (het ambt) tidak dapat melaksanakan dirinya sendiri dan tidak dapat melaksanakan fungsi dan kewenangannya, maka jabatan harus diwakili oleh pemegang jabatan atau ambtsdrager (het ambt wordt vertegenwoordigd door de ambtsdrager), sehingga pemegang jabatanlah yang bertindak atas nama jabatan. Jabatan bersifat tetap atau langgeng (duurzaam) sedangkan pemegang jabatan datang dan pergi silih berganti.
Terhadap pendapat Ahli tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa benar Jaksa Agung merupakan pemegang jabatan publik yang mempunyai batasan dalam melaksanakan fungsi dan kewenangannya atau dalam kaitan dengan permohonan ini dikatakan sebagai “berakhirnya masa jabatan” seperti tercantum dalam Pasal 22 ayat (1) huruf d UU 16/2004, maka hal tersebut tidaklah menyangkut masalah konstitusionalitas dari frasa tersebut. Namun demikian, apabila Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-Undang a quo dikaitkan dengan ayat (2) pasal a quo yang menyatakan, “Pemberhentian dengan hormat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden”, memang terdapat permasalahan konstitusionalitas dari frasa tersebut, oleh karena sampai saat ini Keputusan Presiden yang menyatakan pemberhentian Jaksa Agung (Hendarman Supandji, S.H., C.N.) belum pernah ada. Jika “berakhirnya masa jabatan” Jaksa Agung Hendarman Supandji, S.H., C.N. tersebut dikaitkan dengan Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 bertanggal 20 Oktober 2004 dan Keputusan Presiden Nomor 31/P Tahun 2007 bertanggal 7 Mei 2007, maka hal tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum yang dijamin oleh Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Bahwa Ahli yang diajukan Pemohon, Prof. H.A.S. Natabaya, S.H., LL.M. dalam keterangannya, antara lain, menyatakan adanya ketentuan yang jelas dalam berbagai Undang-Undang yang mengatur secara tegas bagaimana masa jabatan seorang pejabat berakhir, misalnya Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, namun dalam UU 16/2004 tidak diatur dengan tegas kapan masa jabatan Jaksa Agung itu akan berakhir. Pasal 19 UU 16/2004 menyatakan, Jaksa Agung adalah Pejabat Negara, yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, sedangkan dalam Pasal 22 Undang-Undang a quo menyatakan, “Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena, a. meninggal dunia; b. permintaan sendiri; c. sakit jasmani dan rohani terus menerus; d. berakhir masa jabatannya; dan e. tidak lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.” Terhadap ketentuan dalam kedua pasal tersebut, Ahli menyatakan bahwa UU 16/2004 tidak memenuhi asas-asas umum pembentukan perundang-undangan yang baik (algemene beginselen van behoorlijke regelgeving) yang sejalan dengan asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang baik (algemene beginselen van behoorlijke bestuur, the general principle of good administration). Dari kedua pasal tersebut Mahkamah berpendapat, Jaksa Agung sebagai Pejabat Negara seharusnya diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden berdasarkan kondisi yang pasti, yaitu, jika ia meninggal dunia, atas permintaan sendiri, atau karena sakit jasmani dan rohani terus menerus, namun demikian tentang kapan “berakhir masa jabatannya” merupakan kondisi yang tidak menentu.
Bahwa terhadap pendapat tiga ahli yang diajukan oleh Pemohon yakni Prof. Dr. Bagir Manan, S.H., MCL, Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki, S.H., dan Prof. H.A.S. Natabaya, S.H., LL.M., Mahkamah sependapat untuk beberapa bagian yang substantif, tetapi tidak sependapat dalam hal implikasinya untuk saat ini karena ada keadaan atau persyaratan yang tidak dipenuhi dalam Undang-Undang a quo. Mahkamah sependapat dengan para ahli tersebut, jika Jaksa Agung yang diangkat dalam jabatan politik setingkat Menteri maka masa jabatannya harus sudah berakhir bersamaan dengan masa jabatan Presiden yang mengangkatnya, sedangkan apabila Jaksa Agung diangkat berdasarkan karirnya sebagai jaksa maka masa tugasnya harus berakhir pada saat mencapai usia pensiun. Secara substansi, Mahkamah sependapat bahwa apabila tidak memenuhi ketentuan itu maka jabatan Jaksa Agung dapat dianggap illegal. Dengan kata lain, Mahkamah juga sependapat dengan ketiga Ahli bahwa jabatan Jaksa Agung seharusnya dibatasi secara tegas, berdasar periodisasi kepemerintahan atau berdasar usia pensiun.
Bahwa meskipun Mahkamah sependapat dengan ketiga ahli di atas dalam hal substansi sebagai ius constituendum dan karena Undang-Undang tentang batasan masa jabatan Jaksa Agung tersebut tidak atau belum mengatur hal yang demikian, maka pengangkatan dan masa jabatan Jaksa Agung untuk keadaan yang sekarang sedang berlangsung tidak dapat dikatakan illegal, misalnya dengan alasan, karena bertentangan dengan pandangan tersebut. Alasannya, pada saat menetapkan jabatan Jaksa Agung yang sekarang memang tidak ada ketentuan dalam Undang-Undang yang mengharuskan Presiden memilih alternatif tersebut, sehingga tidak ada masalah keabsahan, baik konstitusionalitas maupun legalitas. Dalam hal yang demikian maka Mahkamah dapat menerima pandangan Ahli dari Pemerintah Prof. Dr. Philipus M. Hadjon tentang asas praesumptio iustae causa bahwa selama belum ada Keputusan Presiden tentang pemberhentian maka jabatan Jaksa Agung tetap melekat kepada yang bersangkutan. Pandangan Mahkamah tentang ini didasarkan pada fakta hukum bahwa Undang-Undang sendiri tidak mengaturnya secara tegas, tidak memberi kepastian hukum yang imperatif kepada Presiden, sehingga pilihan kebijakan Presiden tentang hal tersebut tidak dapat dinilai bertentangan dengan Undang-Undang. Dengan kata lain, karena isi Undang-Undang itu sendiri bersifat terbuka dan tidak jelas, maka penerusan jabatan Jaksa Agung oleh Presiden dalam perkara a quo tidak dapat diartikan inkonstitusional dan jabatan Jaksa Agung sekarang tidak dapat dikatakan illegal (melainkan legal) karena tidak ada Undang-Undang yang dilanggar. Pandangan ketiga Ahli yang diajukan oleh Pemohon hanya dapat mengikat setelah pengucapan putusan Mahkamah ini dan/atau setelah ada Undang-Undang baru yang mengaturnya secara lebih tegas tentang keharusan atau larangan yang seperti itu.
Bahwa oleh karena telah terjadi ketidakpastian hukum dari Pasal 22 ayat (1) huruf d UU 16/2004, maka sejak diucapkannya putusan ini Mahkamah memberi tafsir yang pasti mengenai masa jabatan Jaksa Agung sampai dengan dilakukannya legislative review oleh pembentuk Undang-Undang yang syarat-syarat konstitusionalitasnya akan ditegaskan dalam amar putusan ini. Bahwa oleh karena kepastian penafsiran ini baru diberikan pada saat diucapkannya putusan ini dan sesuai dengan ketentuan Pasal 58 UU MK, serta Pasal 38 dan Pasal 39 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang bahwa putusan Mahkamah berlaku ke depan (prospektif) sejak selesai diucapkan maka untuk masalah periode (awal dan berakhirnya) jabatan Jaksa Agung sebelum putusan ini diucapkan tidak terkait dengan konstitusionalitas atau legalitas; sebab jabatan Jaksa Agung sebelum diucapkannya putusan ini memang diambil dari salah satu kemungkinan yang dapat dipilih sebagai tafsir yang kemudian menjadi persoalan konstitusional dan dimintakan judicial review oleh Pemohon sehingga memerlukan penafsiran dari Mahkamah.
Bahwa untuk menentukan masa tugas pejabat negara sebagai pejabat publik harus ada kejelasan kapan mulai diangkat dan kapan saat berakhirnya masa tugas bagi yang bersangkutan agar ada jaminan kepastian hukum sesuai dengan kehendak konstitusi. Menurut Mahkamah, sekurang-kurangnya ada empat alternatif untuk menentukan kapan mulai diangkat dan saat berhentinya pejabat negara menduduki jabatannya in casu Jaksa Agung, yaitu, pertama, berdasar periodisasi Kabinet dan/atau periode masa jabatan Presiden yang mengangkatnya; kedua, berdasar periode (masa waktu tertentu) yang fixed tanpa dikaitkan dengan jabatan politik di kabinet; ketiga, berdasarkan usia atau batas umur pensiun dan; keempat, berdasarkan diskresi Presiden/pejabat yang mengangkatnya. Oleh karena ternyata tidak ada satu pun dari alternatif tersebut yang secara tegas dianut dalam Undang-Undang a quo, maka menurut Mahkamah, ketentuan “karena berakhir masa jabatannya” sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) huruf d UU 16/2004 itu memang menimbulkan ketidakpastian hukum. Mahkamah berpendapat pula bahwa karena ketidakpastian hukum itu bertentangan dengan konstitusi maka seharusnya pembentuk Undang-Undang segera melakukan legislative review untuk memberi kepastian dengan memilih salah satu dari alternatif-alternatif tersebut. Namun karena legislative review memerlukan prosedur dan waktu yang relatif lama, maka sambil menunggu langkah tersebut Mahkamah memberikan penafsiran sebagai syarat konstitusional (conditionally constitutional) untuk berlakunya Pasal 22 ayat (1) huruf d UU 16/2004 tersebut yang dinyatakan berlaku prospektif sejak selesai diucapkannya putusan ini.
Bahwa berdasarkan seluruh uraian di atas, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon sepanjang Pasal 22 ayat (1) huruf d UU 16/2004 agar dinyatakan conditionally constitutional beralasan untuk dikabulkan. Artinya, pasal a quo dinyatakan konstitusional dengan syarat diberi tafsir tertentu oleh Mahkamah, yaitu masa jabatan Jaksa Agung berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan Presiden yang mengangkatnya atau diberhentikan oleh Presiden dalam masa jabatannya dalam periode yang bersangkutan. Hal ini sejalan dengan praktik ketatanegaraan sebagaimana yang disampaikan oleh Saksi Prof. Erman Rajagukguk, S.H., L.L.M., Ph.D dalam keterangan affidavitnya. Bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum yang diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat sebagian dalil permohonan Pemohon beralasan menurut hukum.
Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion)
Dalam perkara Nomor 49/PUU-VIII/2010 terdapat dissenting opinion dari 2 (dua) hakim MK, yaitu Hakim Konstitusi Achmad Sodiki dan Hakim Konstitusi Harjono, sebagai berikut:
a. Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion) Hakim Konstitusi Achmad Sodiki
Pasal 22 ayat (1) huruf d UU 16/2004 berbunyi Jaksa Agung diberhentikan karena “berakhir masa Jabatannya”. Ketentuan demikian bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945, sepanjang tidak ditafsirkan sesuai masa jabatan Presiden dan masa jabatan kabinet. Pasal ayat (3) UUD 1945 berbunyi, “Negara Indonesia adalah negara hukum” dan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 berbunyi, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
Pemohon tidak menguraikan lebih jauh alasannya mengapa bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tetapi lebih banyak menguaraikan pasal yang dimohonkan pengujian itu dengan pasal 28 D ayat (1) UUD 1945. Oleh sebab itu pendapat ini akan menguraikan dari sisi alasan yang kedua tersebut. Alasan Pemohon (halaman 31) Pasal a quo menjadi inkonstitusional jika tidak memiliki penafsiran yang pasti. Pemohon beranggapan bahwa pasal tersebut tidak menjamin kepastian hukum sehingga secara faktual telah mengakibatkan pemohon dirugikan hak hak konstitusionalnya, karena Jaksa Agung Hendarman Supanji (HS) merupakan Jaksa Agung yang tidak sah tetapi melakukan perbuatan dalam proses pidana terhadap Pemohon.
Ketidakpastian itu bermula dari bunyi Pasal a quo yang tidak dapat dipastikan tentang lamanya masa jabatan Jaksa Agung, Jaksa Agung HS setelah habis masa bakti Presiden Susilo Bambang Yudoyono pada Kabinet Indonesia Bersatu I tidak diangkat kembali menjadi Jaksa Agung pada periode Kabinet Indonesia Bersatu II.
Pasal 19 UU 16/2004 menyatakan, “Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden”. Subjek kalimat ini adalah Presiden sedangkan objeknya adalah Jaksa Agung. Jarak antara diangkat dan diberhentikan itulah masa jabatan Jaksa Agung. Karena pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung adalah hak prerogatif Presiden, maka terdapat kemungkinan, seorang Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan sesuai dengan masa jabatan Presiden, atau kurang dari masa jabatan presiden.
Akan tetapi seorang Jaksa Agung, sekalipun ia juga pembantu Presiden sebagaimana kedudukan menteri, tetapi jelas terdapat perbedaannya dengan seorang menteri. Pertama, dari segi Undang-Undang yang mengatur berbeda antara keduanya. Kedua, Menteri menteri terkena masa demisioner menjelang berakhirnya masa jabatan kebinet, sedangkan seorang jaksa agung tidak mengenal demisioner. Ia tetap menjalankan jabatannya tidak kurang dan tidak lebih sewaktu para Menteri didemisionerkan.
Yang menjadi masalah adalah apakah setelah masa jabatan Presiden berakhir, ia juga berakhir jabatannya? Jika ia tidak berakhir apakah menimbulkan ketidakpastian hukum? Bahwa pengangkatan Jaksa Agung dilakukan dengan Keputusan Presiden, maka berhentinya Jaksa Agung juga dengan menerbitkan Keputusan Presiden. Sepanjang belum ada Keputusan Presiden yang memberhentikannya maka yang bersangkutan tetap sah sebagai Jaksa Agung. Jaksa Agung adalah suatu jabatan yang terus ada/awet (duurzaam), orang yang menjabat Jaksa Agung boleh berganti-ganti. Timbulnya jabatan yang disandang oleh sesorang karena hukum, maka hilangnya jabatan yang disandang oleh seseorang juga karena hukum.
Apakah norma Pasal 22 ayat (1) huruf d yang berbunyi, ”berakhir masa jabatannya”, karena tidak diatur lebih lanjut oleh Undang-Undang tersebut mengandung ketidakpastian hukum? Berdasarkan Pasal 19 UU 16/2004, karena Presiden mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung, maka tidak bisa diartikan bahwa masa jabatan Jaksa Agung tidak tak terbatas, batasnya adalah diantara diangkat dan diberhentikan. Masa jabatan itu tidak ditentukan berdasarkan ukuran tahun, bulan atau hari. Ukuran masa jabatan itu ditentukan oleh Presiden sepanjang Presiden masih mempertahankan dan mempercayai yang bersangkutan sebagai Jaksa. Jika menurut hukum tenggang waktu jabatan Presiden habis, maka kewenangan untuk memberhentikan Jaksa Agung beralih kepada Presiden yang baru. Hal itu tidak otomatis mengakhiri Kepres pengangkatan Jaksa Agung. Jaksa Agung tidak ikut demisioner (ineffected), diperlukan agar tidak menimbulkan persoalan kekosongan. Dari sudut pandangan Dworkin, Pasal 19 UU 16/2004 merupakan ”principles” yang merupakan a standart not because it will advance or serve an economic, political or social situation deemed desirable, but because it is a requirement of justice or fairness or some other dimension of reality, sedangkan Kepres Pengangkatan Jaksa Agung mengandung suatu ”policy” sebagai sarana, antara lain, untuk mencapai tujuan politik. Justru hal ini mencegah timbulnya ketidakpastian hukum. Hal yang demikian memberikan ruang gerak yang fleksibel bagi Presiden untuk penanganan masalah yang spesifik dalam wilayah wewenang Jaksa Agung. Spesifikasi masalah tersebut juga ditemui pada wilayah wewenang Kepolisian dan Angkatan Bersenjata, penggantian Kepala Kepolisian dan Penglima TNI juga mengikuti alur yang berbeda dengan penggantian Menteri.
Berkenaan dengan kepastian hukum bahwa oleh karena Keppres Pengangkatan Jaksa Agung masih tetap berlaku sampai dengan terbitnya Kepres baru tentang pemberhentiannya nanti, maka tidak ada persoalan kepastian hukum. Kepastian hukum dari sisi lain dapat diartikan sebagai suatu tentang sesuainya antara das sein dan das sollen. Das sollen menyatakan bahwa Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dan telah diterbitkan Kepresnya oleh Presiden yang sama sekalipun periodenya berbeda, das sein memang senyatanya secara de facto dan de jure efektif memegang jabatan tersebut. Pendapat bahwa Jaksa Agung akan menolak diberhentikan dari jabatannya karena alasan tidak diaturnya lama masa jabatan Jaksa Agung jelas tidak sesuai dengan hak prerogatif Presiden dan bertentangan dengan Pasal 19 UU 16/2004.
Tidak pernah ada praktek ketetanegaraan di Indonesia selama ini Jaksa Agungnya tidak mau diberhentikan oleh Presiden, karena memang Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Selama aturannya belum berubah ke depan saya percaya tidak akan ada Jaksa Agung yang menolak diberhentikan oleh Presiden, walaupun masa jabatannya tidaak diatur secara ketat dalam undang-undang. The life of law has not always been logic it has been experience.
b. Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion) Hakim Konstitusi Harjono
Pokok persoalan hukum utamanya dalam kasus a quo adalah apakah ketentuan dalam Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan yang menyatakan Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena: “…berakhir masa jabatannya” bertentangan dengan UUD. Masa jabatan adalah suatu rentang waktu yang menentukan kapan suatu jabatan dimulai dan kapan suatu jabatan berakhir dan rentang waktu tersebut ditetapkan dalam ketentuan hukum. Pemuatan masa jabatan dalam suatu ketentuan UU akan menimbulkan konsekuensi yuridis yaitu menimbulkan hak bagi pemegang jabatan. Namun hal demikian tidaklah berarti hak tersebut menjadi hak mutlak karena UU biasanya juga memuat ketentuan seseorang yang belum habis masa jabatannya karena sebab-sebab tertentu dapat diberhentikan dalam masa jabatannya.
Penentuan masa jabatan dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu:
a. Periodesasi yaitu menentukan masa jabatan dalam rentang atau kurun waktu tertentu, sebagai misal ketentuan UUD untuk masa jabatan Presiden selama lima tahun, demikian juga untuk anggota DPR lima tahun.
b. Dibatasi umur yaitu apabila pemegang jabatan telah mencapai umur tertentu maka jabatannya akan berakhir. Hal demikian ditentukan untuk masa jabatan hakim agung.
c. Kombinasi antara periodesasi dan umur yang diterapkan untuk jabatan hakim Mahkamah Konstitusi diangkat untuk masa jabatan lima tahun, tetapi apabila belum sampai lima tahun ternyata seorang hakim MK telah berumur enampuluh tujuh tahun maka ia harus berhenti.
Dalam kaitannya dengan ketentuan yang dimuat dalam Pasal 22 ayat (1) huruf d tersebut, apabila masa jabatan yang ditentukan untuk Jaksa Agung memilih salah satu dari tiga cara di atas, tidaklah mempunyai persoalan konstitusionalitas, artinya tidak ada dasar konstitusi untuk mengatakan bahwa hanya cara atau model tertentu saja yang konstitusional sedangkan yang lain tidak. Permasalahan hukum timbul karena meskipun Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan menyebut Presiden memberhentikan dengan hormat Jaksa Agung karena berakhir masa jabatannya, namun UU kejaksaan tidak menentukan rentang atau kurun waktu masa jabatan Jaksa Agung, sehingga dapat menimbulkan ketidakjelasan yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Untuk dapat menentukan kedudukan Pasal 22 ayat (1) huruf d tersebut haruslah dikaitkan dengan ketentuan lain yang terdapat dalam UU Kejaksaan secara keseluruhan, karena substansi ayat a quo tidak dapat berdiri sendiri.
UU Kejaksaan membedakan antara jaksa dan Jaksa Agung, yaitu bahwa jaksa dijabat oleh seseorang melalui jalur karier oleh karenanya mempunyai persyaratan tertentu, memiliki ijazah sarjana hukum, adanya batas umur terendah dan tertinggi, serta sudah berstatusnya sebagai pegawai negeri (vide Pasal 6 UU Kejaksaan), sedangkan untuk Jaksa Agung tidak terdapat syarat pembatasan umur, demikian juga tidak disyaratkan sudah berstatus pegawai negeri (vide Pasal 20 UU Kejaksaan). Pertanyaannya adalah bahwa di antara banyak orang yang memenuhi syarat untuk menjadi Jaksa Agung, akhirnya siapa yang menjabat Jaksa Agung? UU Kejaksaan mengatur bahwa Presidenlah yang mengangkat Jaksa Agung (vide Pasal 19 UU Kejaksaan).
Dengan memperhatikan ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa jabatan Jaksa Agung termasuk dalam apa yang disebut sebagai ”political appointees” oleh Presiden atau disebut sebagai hak prerogatif Presiden. Berdasarkan atas ajaran pembagian kekuasaan, fungsi dan tugas Jaksa Agung masuk dalam rumpun eksekutif. Oleh karenanya, sangatlah tepat kalau jabatan Jaksa Agung termasuk jabatan political appointees dari Presiden. Sebagai perbandingan tentang kedudukan dan masa jabatan, Attorney General di Amerika Serikat dikatakan sebagai ”serves at the pleasure of the President and can be removed by the President at any time”. Pasal 19 UU Kejaksaan jelas menganut sistem yang demikian.
Bahwa di dalam sistem UUD 1945, menteri –menteri negara termasuk dalam jabatan political appointees. Oleh karenanya, seorang menteri ”…serves at the pleasure of the President and can be removed by the President at any time...”. Karena jabatan Presiden selama lima tahun, maka dalam jangka lima tahun itulah political appointees apakah menteri atau Jaksa Agung ”serve at the pleasure of the President...”. Namun hal demikian tidaklah berarti bahwa secara bersamaan pada saat yang sama dan dengan serta-merta jabatan menteri atau Jaksa Agung berhenti pada saat Presiden yang mengangkatnya habis masa jabatannya yaitu dengan pelantikan Presiden berikutnya. Dalam keadaan yang demikian, kita mengenal istilah kabinet demisioner yaitu keadaan menunggu di mana akan diangkat menteri-menteri anggota kabinet yang baru. Pemerintahan atau kabinet dalam kurun waktu demikian itu pada posisi “limbo time” yaitu suatu keadaan “neither on duty nor off duty” dan seorang menteri yang menunggu untuk digantikan tidak akan melakukan tindakan penting atau membuat kebijakan baru. Ia hanya melakukan tugas “to take care” saja. Keadaan limbo tersebut harus diberlakukan secara berbeda kepada Jaksa Agung karena Jaksa Agung mempunyai kewenangan dalam penegakan hukum yang diberikan secara atributif kepadanya oleh UU dan kewenangan tersebut tidak dapat digantikan oleh orang lain. Dalam pelaksanaannya, kadang kewenangan tersebut harus dilakukan secara tepat waktu, tidak dapat ditunda. Karena memiliki tanggung jawab tersebut, maka jabatan Jaksa Agung seharusnya tidak akan lowong sedetik pun. Kewenangan dan tanggung jawab tersebut sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 11 ayat (1) huruf c UU Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian yang berkaitan dengan Pencegahan, menyatakan bahwa wewenang dan tanggung jawab pencegahan dilakukan oleh Jaksa Agung sepanjang menyangkut pelaksanaan ketentuan Pasal 32 huruf g UU Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Setelah perubahan UU Kejaksaan, kekuasaan Jaksa Agung mengenai pencegahan tersebut diatur dalam Pasal 35 huruf f UU Nomor 16 Tahun 2004 yang menyebutkan Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mencegah dan menangkal orang tertentu untuk masuk atau keluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundangan-undangan. Dengan demikian, karena kekhususan tugas Jaksa Agung dalam penegakan hukum, maka meskipun dalam limbo time, Jaksa Agung masih tetap mempunyai kewenangan penuh tidak sebagaimana kewenangan seorang menteri pada umumnya.
Bahwa memang benar seseorang yang menjabat itu harus ada akhir masa jabatannya, dan Jaksa Agung termasuk dalam jabatan political appointees dari Presiden. Namun karena kekhususan tugas dan kewenangannya, maka tidak secara serta merta jabatan Jaksa Agung harus berakhir bersama-sama dengan berakhirnya masa jabatan Presiden yang mengangkatnya, tetapi akan berakhir pada saat telah ditunjuk dan diserahterimakan jabatan Jaksa Agung kepada pengganti Jaksa Agung yang baru. Hal demikian dilakukan untuk menghindari kekosongan Jaksa Agung karena Jaksa Agung diberi kewenangan atributif oleh UU yang tidak dapat digantikan oleh orang lain dan kewenangan tersebut sangat penting dalam rangka penegakan hukum.
Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas yang menurut UU Nomor 16 Tahun 2004 Jaksa Agung termasuk jabatan political appointees dari Presiden dan karena tugasnya yang mempunyai kekhususan dalam bidang penegakan hukum, maka keberadaan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 adalah sangat mengganggu sistem yang dibangun dalam UU Nomor 16 Tahun 2004 itu sendiri dan ternyata ketentuan tersebut “menggantung“ (dangling) karena tidak terhubung dengan ketentuan lain yang ada dalam UU Nomor 16 Tahun 2004. Untuk menghindari ketidaksinkronan keberadaan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 dengan ketentuan lain dalam UU tersebut yang dapat menimbulkan kerancuan hukum dan ketidakpastian, maka menurut pendapat Hakim Konstitusi Harjono, ketentuan tersebut seharusnya dihapuskan. Setelah dihapuskannya bagian huruf d dari Pasal 22 ayat (1) tersebut, maka ketentuan yang terdapat dalam Pasal 22 ayat (1) UU tersebut harus ditafsirkan bahwa Jaksa Agung yang berhenti berdasarkan alasan yang disebut dalam Pasal 22 ayat (1) berhak atas pemberhentian dengan hormat oleh Presiden, dan bukan ditafsirkan sebagai pembatasan kepada Presiden untuk memberhentikan Jaksa Agung dengan hormat hanya berdasarkan alasan-alasan yang tercantum dalam Pasal 22 ayat (1). Sedangkan pemberhentian sewaktu-waktu oleh Presiden terhadap Jaksa Agung, didasarkan atas kewenangan Presiden pada Pasal 19 UU Nomor 16 Tahun 2004 karena Jaksa Agung adalah termasuk dalam jabatan political appointees. Pemberian makna Pasal 22 ayat (1) dengan cara “conditionally constitutional” masih menyisakan persoalan karena tidak jelasnya apa sebetulnya yang dimaksud dengan “berakhir masa jabatannya“ itu.
1.2 Pendapat Hukum MK dalam Perkara Nomor 29/PUU-XIV/2016
Pasal yang dimohonkan untuk diuji dalam Perkara Nomor 29/PUU-XIV/2016, yaitu Pasal 35 huruf c berikut penjelasannya UU Kejaksaan terhadap Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan ayat (2) UUD Tahun 1945. Terhadap permohonan pengujian pasal a quo Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
Dalam sistem hukum dikenal dua asas, yaitu asas legalitas dan asas oportunitas. Asas legalitas memiliki pengertian bahwa semua perkara yang cukup bukti dilimpahkan ke Pengadilan. Negara yang menganut asas legalitas, antara lain, Jerman, Austria, Italia, Spanyol, Portugal, Swedia. Adapun asas oportunitas adalah asas yang memiliki pengertian bahwa tidak semua perkara dilimpahkan ke pengadilan namun dapat dihentikan penuntutannya demi kepentingan hukum oleh Jaksa. Negara yang menganut asas oportunitas, antara lain, Belanda, Perancis, Belgia, Jepang, termasuk Indonesia.
Menurut Soepomo, “baik di negeri Belanda maupun di Hindia Belanda yang berlakku asas oportunitas dalam tuntutan pidana itu artinya badan penuntut umum berwenang tidak melakukan suatu penuntutan jikalau adanya tuntutan itu dianggap idak “opportuun” tida guna kepentingan masyarakat” (Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia II, Pradnya Pramita, Jakarta, 1981, hal.137). Pemberlakuan asas oportunitas di Indonesia tertuang di dalam Pasal 167 Strafvordering 1926 dan Rgelement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie (RO). Dengan demikian, asas tersebut berlaku di Indonesia sudah sejak zaman Hindia Belanda dan tetap dipertahankan hingga saat ini. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah asas oportunitas tersebut bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Asas oportunitas yang dianut dalam sistem hukum Indonesia tidak dimaksudkan untuk mengabaikan hak konstitusional warga negara yang dijamin oleh UUD 1945, apalagi menghilangkan hak konstitusional warga negara. Asas oportunitas adalah asas yang terdapat dalam sistem hukum yang dianut oleh banyak negara yang juga menjunjung tinggi hak asasi manusia, seperti Belanda dan Perancis. Bahkan di Amerika Serikat yang dalam sistem hukumnya tidak menganut asas legalitas dan asas oportunitas dalam praktiknya menerapkan asas diskresi penuntutan, sedangkan di Inggris yang juga tidak menganut asas legalitas dan asas oportunitas menerapkan penyampingan perkara (vide keterangan ahli Presiden Prof. Dr. Andi Hamzah, SH). Dengan demikian, baik asas legalitas maupun asas oportunitas atau tidak memilihi kedua asas tersebut merupakan pilihan pembentuk Undang-Undang dari masing-masing negara. Oleh karena Indonesia dalam sistem hukumnya memilih menganut asas oportunitas maka pilihan tersebit merupakan pilihan yang tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Pengesampingan perkara demi kepentingan umum atau yang dikenal dengan seponering merupakan salah satu tugas dan wewenang yang diberikan oleh Undang-Undang terhadap Jaksa Agung (vide Pasal 35 huruf c UU 16/2004). Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas yang hanya dapat dilakukan Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. Wewenang Jaksa Agung untuk melakukan seponering adalah wewenang yang diperoleh secara atribusi atau wewenang yang langsung diberikan oleh undang-undang dal hal ini UU 16/2004. Wewenang seponering tersebut merupakan pelaksanaan asas oportunitas (vide Penjelasan Pasal 35 huruf c UU 16/2004) yang merupakan bagian dari asas diskresi (freies ermesen) oleh Jaksa Agung untuk menuntut atau tidak menuntut perkara.
Dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU 48/2009), ditentukan bahwa kejaksaaan merupakan salah satu badan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasan kehakiman (vide Pasal 38 UU 48/2009 dan Penjelasannya). Fungsi Jaksa dalam kaitannya dnegan kekuasaan kehakiman antara lain, melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dalam penegakan hukum pidana. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sebagai satu-satunya pemegang kewenangan penuntutan (dominus litis), Jaksa wajib melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut, disertai dengan surat dakwaan. Namun Jaksa juga dapat menghentikan penuntutan,jika perkara tidak cukup bukti, perkara yang diperiksa ternyata bukan perkara pidana, atau perkara ditutup demi hukum (vide Pasal 140 KUHAP).
Kewenangan seponering dalam Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan tidak dimaksudkan untuk menghilangkan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (equality before the law) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan tidak pula untuk memperlakukan secara diskriminatif antara warga negara yang satu dengan warga negara yang lain. Pasal 35 huruf c UU 16/2004 tersebut diterapkan oleh Jaksa Agung demi kepentingan umum, dalam hal ini demi kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Menurut Mahkamah yang menjadi persoalan justru kewenangan Jaksa Agung yang besar tersebut hanya memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut (vide Penjelasan Pasal 35 huruf c UU 16/2004).
Bahwa memang tidak ada satu pasal pun dalam UUD 1945 yang memberikan kewenangan atau dapat digunakan sebagai dasar pembenar untuk dapat diterapkannya asas oportunitas dalam penegakan hukum pidana di Indonesia, akan tetapi bukan berarti penerapan asas oportunitas menjadi bertentangan dengan UUD 1945. Jika logika Pemohon yang digunakan maka pembentukan lembaga yang tidak diatur dalam UUD 1945 menjadi bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, logika Pemohon bahwa asas oportunitas tidak diatur dalam UUD 1945 sehingga bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak tepat. Menurut Mahkamah, seponering yang merupakan pelaksanaan asas oportunitas adalah tidak bertentangan dengan UUD 1945 meskipun hal itu tidak diatur dalam UUD 1945.
Kewenangan seponering yang diatur dalam Pasal 35 huruf c UU 16/2004 tetap diperlukan dalam penegakan hukum pidana di Indonesia, hanya saja agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang oleh Jaksa Agung mengingat kewenangan yang besar tersebut maka perlu dilakukan pembatasan yang ketat atas keberlakuan pasal a quo supaya tidak melanggar atau bertentangan dengan hak-hak konstitusional maupun hak asasi manusia pada umumnya yang dijamin dalam UUD 1945.
Dari Penjelasan Pasal 35 huruf c UU 16/2004, diperoleh pemahaman bahawa (i) “kepentingan umum” diartikan sebagai “kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas” dan “seponering hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.” Oleh karena kepentingan umum diartikan “kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas” dan tidak dijelaskan lebih lanjut batasan kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas dalam Penjelasan Pasal 35 huruf c UU 16/2004, sehingga dapat diartikan secara luas oleh Jaksa Agung selaku pemegang kewenangan seponering. Bahwa kewenangan tersebut sangat rentan untuk diartikan sesuai dengan kepentingan dari Jaksa Agung, meskipun dalam menerapkan seponering Penjelasan Pasal 35 huruf c UU 16/2004 menyatakan, “setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.”
Namun pada faktanya, saran dan pendapat dari badan kekuasaan negara a quo seakan-akan sama sekali tidak mengikat dan Jaksa Agung hanya memperhatikan. Artinya, kewenangan melakukan seponering benar-benar menjadi suatu kewenangan penuh yang dapat diambil oleh Jaksa Agung. Oleh karena itu, untuk melindungi hak konstitusional warga negara yang dijamin oleh UUD 1945 dalam penerapan seponering, Mahkamah perlu memberi penafsiran terhadap Penjelasan Pasal 35 huruf c UU 16/2004 agar tidak bertentangan dengan UUD 1945, yaitu bahwa frasa “setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekusaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut” harus dimaknai, “Jaksa Agung wajib memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.” Tafsiran tersebut dibutuhkan supaya ada ukuran yang jelas dan ketat dalam penggunaan kewenangan seponering oleh Jaksa Agung karena terhadap kewenangan seponering tersebut tidak terdapat upaya hukum lain untuk membatalkannya kecuali Jaksa Agung itu sendiri, meskipun kecil kemungkinan hal itu dilakukan. Selain itu, penafsiran tersebut perlu dilakukan oleh Mahkamah karena seponering berbeda halnya dengan penghentian penuntutan. Terhadap penghentian penuntutan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 140 ayat (2) KUHAP, terdapat upaya hukum praperadilan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 77 huruf a KUHAP dan Putusan Manhkamah Nomor 21/PUU-XII/2014, bertanggal 28 April 2015. Bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah berpendapat dalil para pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
2. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Secara umum putusan Mahkamah Konstitusi bersifat declaratoir dan constitutief. Declaratoir artinya putusan dimana hakim sekedar menyatakan apa yang menjadi hukum, tidak melakukan penghukuman. Constitutief artinya suatu putusan yang menyatakan tentang ketiadaan suatu keadaan hukum dan/atau menciptakan suatu keadaan hukum yang baru (revisi UU menyesuaikan dengan Putusan MK). Kekuatan mengikat putusan MK mengikat bagi semua orang, lembaga negara dan badan hukum dalam wilayah NKRI. Putusan MK berlaku sebagai hukum sebagaimana hukum diciptakan pembuat undang-undang/negative legislator yang putusannya bersifat erga omnes.
Putusan Mahkamah Konstitusi berisikan pernyataan apa yang menjadi hukum dan sekaligus dapat meniadakan keadaan hukum dan menciptakan suatu keadaan hukum baru. Dalam perkara pengujian undang-undang atau judicial review, putusan yang mengabulkan bersifat declaratoir karena menyatakan apa yang menjadi hukum dari suatu norma undang-undang, yaitu bertentangan dengan UUD 1945. Pada saat bersamaan, putusan ini meniadakan keadaan hukum berdasarkan norma yang dibatalkan dan menciptakan keadaan hukum baru (constitusief).
3.1 Implikasi Putusan MK dalam Perkara Nomor 49/PUU-VIII/2010
Dalam perkara ini pasal yang diujikan adalah Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan yang menyebutkan;
Pasal 22
“(1) Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena:
a. …;
b. …;
c. …;
d. berakhir masa jabatannya;
e. … .”
Pasal a quo menurut anggapan pemohon bertentangan dengan Pasa 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945.
Menurut pemohon, rumusan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan menimbulkan ketidakjelasan dan ketidakpastian hukum karena di dalam UU Kejaksaan tidak diatur masa jabatan Jaksa Agung. Pasal 22 ayat (1) UU Kejaksaan pada akhirnya tidak menentukan secara tegas batas waktu masa jabatan Jaksa Agung. Pasal tersebut dapat ditafsirkan, jika tidak meninggal dunia, tidak mengajukan permintaan untuk berhenti, tidak sakit jasmani atau rohani terus menerus, tetap memenuhi syarat sebagai Jaksa Agung, maka seorang Jaksa Agung tidak dapat diberhentikan oleh Presiden, karena UU Kejaksaan tidak mengatur kapan akhir masa jabatannya. Keadaan ini berpotensi menjadikan seorang Jaksa Agung akan memangku jabatan seumur hidup. Padahal, dalam negara hukum yang demokratis segala jabatan negara haruslah dibatasi jangka waktunya. Bahkan terhadap jabatan Presiden secara tegas diatur oleh Pasal 7 UUD 1945. Kalaulah masa jabatan Presiden telah dibatasi, tidaklah mungkin akan ada Jaksa Agung yang dapat memegang jabatannya seumur hidup.
Terhadap permohonan pemohon tersebut majelis hakim MK memberikan putusan dengan mengabulkan sebagian permohonan pemohon, yakni Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “masa jabatan Jaksa Agung itu berakhir dengan berakhirnya masa jabatan Presiden Republik Indonesia dalam satu periode bersama-sama masa jabatan anggota kabinet atau diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Presiden dalam periode yang bersangkutan.”
Putusan Majelis Hakim MK tersebut telah menimbulkan implikasi yuridis, yakni adanya pembatasan masa jabatan Jaksa Agung yakni dengan berakhirnya masa jabatan Presiden Republik Indonesia dalam satu periode bersama-sama masa jabatan anggota kabinet, atau diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Presiden dalam periode yang bersangkutan. Hal tersebut berlaku sampai dengan dilakukannya legislative review oleh pembentuk undang-undang.
Di dalam UU Kejaksaan tidak diatur mengenai usia pensiun dari Jaksa Agung. Hal yang diatur dalam UU Kejaksaan adalah mengenai usia pensiun dari Jaksa, yakni 62 (enam puluh dua) tahun. Terkait dengan Putusan MK mengenai berakhirnya masa jabatan Jaksa Agung yang berakhir dengan berakhirnya masa jabatan Presiden Republik Indonesia dalam satu periode bersama-sama masa jabatan anggota kabinet, akan muncul permasalahan jika Jaksa Agung yang diangkat oleh Presiden berasal dari jaksa karir yang akan memasuki usia pensiun dalam suatu periode masa jabatan Presiden. Apakah dalam hal ini, Presiden akan memberhentikan Jaksa Agung sesuai usia pensiun Jaksa, atau tetap akan menjabat Jaksa Agung sampai dengan berakhirnya masa jabatan Presiden. Pengaturan mengenai usia pensiun Jaksa Agung ini berbeda dengan pengaturan usia pensiun hakim agung dalam UU Mahkamah Agung. Di dalam UU Mahkamah Agung, diatur masa usia pensiun hakim agung, yakni 70 (tujuh puluh) tahun. Masa usia pensiun tersebut berlaku untuk hakim agung yang berasal dari hakim karir maupun hakim agung yang berasal dari hakim non karir. Di dalam perubahan UU Kejaksaan nantinya perlu dipertimbangkan untuk memberi batasan usia pensiun bagi Jaksa Agung agar lebih menimbulkan kepastian hukum dalam pemberhentian Jaksa Agung.
3.2 Implikasi Putusan MK dalam Perkara Nomor 29/PUU-XIV/2016
Dalam perkara ini pasal yang diujikan adalah Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan beserta penjelasan pasalnya, yakni:
Pasal 35
“Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang:
a. …;
b. …;
c. mengesampingkan perkara demi kepentingan umum
d. …;
e. …;
f. ….”
Pasal a quo menurut anggapan pemohon bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Menurut pemohon, rumusan Pasal 35 huruf c dan penjelasannya sangat potensial merugikan pemohon, yakni timbulnya ketidakadilan serta perlakuan diskriminatif terhadap para pemohon, dan menghilangkan jaminan perlindungan maupun kepastian hukum serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Tindakan pengesampingan perkara penganiayaan itu jelas-jelas akan mengabaikan begitu saja hak asasi para pemohon.
Terhadap permohonan pemohon tersebut majelis hakim MK memberikan putusan dengan mengabulkan sebagian permohonan pemohon, yakni menyatakan frasa “mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan atas asas oportunitas yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut” dalam penjelasan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Jaksa Agung wajib memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.”
Putusan Majelis Hakim MK tersebut telah menimbulkan implikasi yuridis bahwa sebelum Jaksa Agung mengeluarkan kebijakan mengesampingkan perkara demi kepentingan umum Jaksa Agung wajib memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. Permasalahan akan timbul dalam hal badan-badan kekuasaan negara yang dimohonkan saran dan pendapat mengenai suatu kebijakan pengesampingan perkara demi kepentingan umum, memberikan saran dan pendapat yang berbeda satu sama lain. Jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU Kejaksaan dimana kekuasaan yang dilaksanakan oleh Kejaksaan Republik Indonesia dilaksanakan secara merdeka, maka apapun saran dan pendapat yang diberikan oleh badan-badan kekuasaan negara tersebut seharusnya tidak mengurangi kemerdekaan Jaksa Agung dalam melaksanakan kewenangan mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.
Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi perkembangan yang menarik dalam pengujian undang-undang, khususnya dalam hal putusan yang dijatuhkan MK. Jika semula putusan hanya berupa amar yang mengabulkan permohonan, menyatakan permohonan tidak dapat diterima, dan menolak permohonan untuk sebagian atau seluruhnya dengan menyatakan suatu undang-undang, pasal, ayat atau frasa bertentangan dengan UUD 1945 dan menyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat (legally null and void), sebagaimana yang diatur dalam Pasal 56 ayat (3) dan Pasal 57 ayat (1) UU MK. Pada perkembangannya, MK pun menciptakan varian putusan yakni konstitusional bersyarat (conditionally constitutional), inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional), putusan yang menunda pemberlakuan putusan (limited constitutional), dan putusan yang merumuskan norma baru. Dengan keempat varian putusan ini seringkali MK dinilai telah mengubah perannya dari negative legislature menjadi positive legislature. Artinya, MK menjadikan dirinya sebagai kamar ketiga dalam proses legislasi karena tidak dapat dipungkiri varian-varian putusan tersebut dapat mempengaruhi proses legislasi di lembaga legislatif.
Putusan MK pada perkara 49/PUU-VIII/2010 yang menguji Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan memuat varian keputusan konstitusional bersyarat. Di dalam amar putusannya dinyatakan bahwa Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan adalah sesuai dengan UUD 1945 secara besyarat, yaitu konstitusional sepanjang dimaknai “masa jabatan Jaksa Agung itu berakhir dengan berakhirnya masa jabatan Presiden Republik Indonesia dalam satu periode bersama-sama masa jabatan anggota kabinet atau diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Presiden dalam periode yang bersangkutan”.
Sedangkan Putusan MK pada perkara 29/PUU-XIV/2016 yang menguji Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan beserta penjelasannya memuat varian keputusan inkonstitusional bersyarat. Di dalam amar putusannya dinyatakan bahwa frasa “mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan atas asas oportunitas yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut” yang ada di dalam Penjelasan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan, bertentangan dengan UUD NRI 1945 secara bersyarat, yakni jika tidak dimaknai “Jaksa Agung wajib memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan masalah tersebut.”
Dalam kedua putusan MK tersebut, MK memberikan tafsir berupa petunjuk, arah, dan pedoman serta syarat terhadap ketentuan dalam Pasal 22 ayat (1) huruf d dan penjelasan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan. Jika tafsir yang ditentukan oleh MK dipenuhi, maka pasal tersebut tetap konstitusional. Akan tetapi, jika tafsir yang ditentukan oleh MK tidak terpenuhi, maka pasal tersebut menjadi inkonstitusional sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Perlu diketahui bahwa pada saat ini belum ada aturan mengenai tindak lanjut putusan MK yang lahir dari varian putusan konstitusional bersyarat, inkonstitusional bersyarat, dan putusan yang merumuskan norma baru. Berbeda dengan varian putusan yang menyatakan suatu materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari undang-undang yang ditelaah dinyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (legally null and void). Pemuatan putusan MK dalam Berita Negara sebagaimana ditentukan dalam pasal 57 ayat (3) UU MK dirasa cukup untuk diketahui secara umum bahwa seluruh penyelenggara negara dan warga negara terikat untuk tidak menerapkan dan melaksanakan lagi materi yang ditelah dinyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat tersebut sehingga jika dilanggar dapat dikualifisir sebagai perbuatan melawan hukum dan batal demi hukum sejak semula (ad initio).
Ketiadaan pengaturan tindak lanjut varian putusan konstitusional bersyarat dan putusan inkonstitusional bersyarat menjadikan putusan MK tersebut sebagai salah satu materi muatan dalam proses legislasi dan regulasi. Sejatinya dengan dijatuhkannya putusan konstitusional bersyarat ini, pembentuk Undang-Undang diharapkan dapat menyesuaikan ketentuan Undang-Undang yang diuji dengan tafsir Mahkamah Konstitusi sekaligus melakukan telaah terhadap ketentuan lain dalam Undang-Undang yang diuji apakah sudah sejalan dengan konstitusi atau belum.
Terkait dengan kedua putusan MK terkait UU Kejaksaan tersebut, hal yang harus diperhatikan oleh pembuat Undang-Undang adalah sebagai berikut:
1. Masa jabatan Jaksa Agung perlu diatur secara tegas agar tidak menimbulkan multi tafsir dan ketidakpastian hukum. Seperti diutarakan oleh Hakim Konstitusi Harjono dalam dissenting opinion – nya bahwa penentuan masa jabatan dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu:
a. Periodesasi yaitu menentukan masa jabatan dalam rentang atau kurun waktu tertentu, sebagai misal ketentuan UUD untuk masa jabatan Presiden selama lima tahun, demikian juga untuk anggota DPR lima tahun.
b. Dibatasi umur yaitu apabila pemegang jabatan telah mencapai umur tertentu maka jabatannya akan berakhir. Hal demikian ditentukan untuk masa jabatan hakim agung.
c. Kombinasi antara periodesasi dan umur yang diterapkan untuk jabatan hakim Mahkamah Konstitusi diangkat untuk masa jabatan lima tahun, tetapi apabila belum sampai lima tahun ternyata seorang hakim MK telah berumur enampuluh tujuh tahun maka ia harus berhenti.
Adapun MK dalam pertimbangan hukumnya memberikan 4 (empat) alternatif untuk menentukan kapan mulai diangkat dan saat berhentinya pejabat negara menduduki jabatannya, yaitu: pertama, berdasar periodisasi Kabinet dan/atau periode masa jabatan Presiden yang mengangkatnya; kedua, berdasar periode (masa waktu tertentu) yang fixed tanpa dikaitkan dengan jabatan politik di kabinet; ketiga, berdasarkan usia atau batas umur pensiun dan; keempat, berdasarkan diskresi Presiden/pejabat yang mengangkatnya.
2. Terkait dengan kewenangan Jaksa Agung untuk melakukan pengenyampingan perkara demi kepentingan umum, menurut MK yang menjadi persoalan adalah kewenangan Jaksa Agung yang besar tersebut hanya memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. Oleh karenanya untuk melindungi hak konstitusional warga negara yang dijamin oleh UUD 1945 dalam penerapan kewenangan mengesampingkan perkara demi kepentingan umum, MK memberi penafsiran terhadap Penjelasan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan agar tidak bertentangan dengan UUD 1945, yaitu bahwa frasa “setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut” harus dimaknai, “Jaksa Agung wajib memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.” Dalam menyikapi putusan MK tersebut, pembentuk Undang-Undang harus memperhatikan ketentuan dalam Lampiran II UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Di dalam angka 177 Lampiran II UU No. 12 Tahun 2011 dinyatakan bahwa penjelasan tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi norma. Tafsiran MK atas Penjelasan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan berisi norma yakni “Jaksa Agung wajib memperhatikan …” oleh karenanya di dalam revisi UU Kejaksaan yang baru, ada baiknya jika tafsir MK tersebut tidak diletakan dalam penjelasan pasal, melainkan di dalam batang tubuh yang diletakan setelah Pasal 35.
Pasal dalam UU Kejaksaan yang diujimaterilkan di MK dan dikabulkan permohonan uji materilnya adalah Pasal 22 ayat (1) huruf d dan Pasal 35 huruf c beserta penjelasannya. Implikasi dari adanya Putusan MK tersebut adalah bahwa masa jabatan Jaksa Agung perlu diatur secara tegas agar tidak menimbulkan multi tafsir dan ketidakpastian hukum serta adanya kewajiban bagi Jaksa Agung untuk memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang terkait sebelum melakukan pengesampingan perkara demi kepentingan umum.
Apabila pembuat Undang-Undang memutuskan untuk melakukan perubahan/penggantian UU Kejaksaan, maka perlu memperhatikan kedua Putusan MK yang menguji pasal dalam UU Kejaksaan yang telah memberikan tafsir terhadap Pasal 22 ayat (1) huruf d dan Penjelasan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430