Analisis dan Evaluasi UU Berdasarkan Putusan MK


Deprecated: explode(): Passing null to parameter #2 ($string) of type string is deprecated in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-evaluasi.phtml on line 61

Warning: Undefined array key 1 in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-evaluasi.phtml on line 64

Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-evaluasi.phtml on line 66

Warning: Undefined property: stdClass::$resume in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-evaluasi.phtml on line 80

Deprecated: nl2br(): Passing null to parameter #1 ($string) of type string is deprecated in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-evaluasi.phtml on line 80
Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi / 01-05-2017

Pendidikan merupakan bagian esensial dari hak asasi manusia, yang diselenggarakan oleh setiap negara demi tercapainya cita-cita nasional negara yang bersangkutan. Indonesia mengakui dan melindungi hak asasi tersebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) sebagai konstitusi negara, yaitu pada alinea keempat Pembukaan UUD Tahun 1945 dan Pasal 31 UUD Tahun 1945. Pengaturan pendidikan dalam konstitusi negara menimbulkan hak konstitusional bagi setiap rakyat Indonesia dan kewajiban konstitusional bagi negara, yaitu setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan sedangkan negara berkewajiban untuk mengusahakan, menyelenggarakan dan membiayai pendidikan serta memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi. Berkaitan dengan pengujian materil UU Sisdiknas, Pasal 51 ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) mengatur tentang uji materil dengan mana materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Terhadap UU Sisdiknas, MK telah mengabulkan 5 (lima) permohonan. Mengingat UU Sisdiknas sangat penting untuk menegakkan hukum bagi pencari keadilan dan mencari kepastian hukum, maka Pusat Pemantauan dan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI, perlu mengadakan analisis dan evaluasi terhadap pengujian UU Sisdiknas yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi.

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal atau ayat suatu undang-undang yang dinyatakan Mahkamah Konstitusi sebagai konstitusionalitas/ inkonstitusional bersyarat?
3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu undang-undang jika suatu pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi berimplikasi terhadap norma pasal atau ayat lain yang tidak diujikan?

Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD Tahun 1945, salah satu kewenangan dari Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Ada 3 (tiga) ciri utama yang menandai prinsip supremasi konstitusi, yaitu:
1. pembedaan antara norma hukum konstitusi dan norma hukum lainnya;
2. keterikatan pembuat undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar; dan
3. adanya satu lembaga yang memiliki kewenangan untuk menguji konstitusionalitas undang-undang dan tindakan hukum pemerintah.
Dengan demikian, esensi dari produk putusan Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 ditempatkan dalam bingkai mekanisme check and balances antara lembaga negara. Pengujian terhadap substansi UU Ketenagakerjaan melalui pengujian materiil maupun proses pembentukannya melalui pengujian formil telah dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Hal ini untuk menjamin bahwa UU Ketenagakerjaan tidak bertentangan dan sesuai dengan jiwa UUD Tahun 1945.
Terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tidak dapat dilakukan upaya hukum dan putusan tersebut langsung mengikat sebagai hukum sejak diucapkan di persidangan dan tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. Amar putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan satu permohonan pengujian undang-undang akan menyatakan satu pasal, ayat, atau bagian dari undang-undang, dan bahkan undang-undang secara keseluruhan bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Sebagai konsekuensinya maka undang-undang, pasal, ayat atau bagian dari undang-undang yang diuji tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Beberapa norma UU Ketenagakerjaan yang telah diputuskan Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dengan sendirinya telah batal dan tidak berlaku lagi. Putusan Mahkamah Konstitusi hanyalah sebagai solusi sementara terhadap beberapa materi UU Ketenagakerjaan yang telah diputuskan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sampai pembentuk undang-undang melakukan perubahan atau penggantian terhadap UU Ketenagakerjaan.
Putusan Mahkamah Konstitusi terutama dalam pengujian undang-undang kebanyakan jenisnya adalah bersifat declaratoir constitutief. Artinya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menciptakan atau meniadakan satu keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru sebagai negative legislature. Hal lain yang perlu dicermati lebih lanjut adalah adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) maupun inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Varian putusan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan putusan yang menyatakan bahwa suatu ketentuan undang-undang tidak bertentangan dengan konstitusi dengan memberikan persyaratan pemaknaan dan keharusan kepada lembaga negara dalam pelaksanaan suatu ketentuan undang-undang untuk memperhatikan penafsiran Mahkamah Konstitusi atas konstitusionalitas ketentuan undang-undang yang sudah diuji tersebut. Dengan demikian, terdapat penafsiran sendiri dari Mahkamah Konstitusi agar suatu norma undang-undang tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap UU Ketenagakerjaan telah mempunyai 3 (tiga) kekuatan, yaitu: mengikat untuk semua orang (erga omnes), dapat digunakan sebagai alat bukti dengan kekuatan pasti secara positif, dan telah berlaku sebagai undang-undang meskipun belum dilakukan perubahan oleh pembentuk undang-undang.

1. Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 011/PUU-III/2005
a. Pendapat Hukum Mahkamah Konstitusi
Negara menjamin hak setiap warga negara untuk mendapat pendidikan yang telah diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UUD Tahun 1945, karena pendidikan merupakan instrumen pengembangan diri manusia sebagai bagian dari hak asasi manusia, sebagaimana ketentuan Pasal 28C ayat (1) UUD Tahun 1945. Mahkamah berpendapat bahwa pada hakikatnya pelaksanaan ketentuan Konstitusi tidak boleh ditunda-tunda. UUD Tahun 1945 secara expressis verbis telah menentukan, bahwa anggaran pendidikan minimal 20% harus diprioritaskan yang tercermin dalam APBN dan APBD tidak boleh direduksi oleh peraturan perundang-perundangan yang secara hierarkis berada di bawahnya. Penjelasan Pasal 49 ayat (1) “pemenuhan pendanaan pendidikan dapat dilakukan secara bertahap” sebagaimana menurut Pemerintah, kata "dapat" dalam kalimat pemenuhan pendanaan pendidikan dapat dilakukan secara bertahap menunjuk pada suatu kondisi tertentu mengenai kemampuan untuk melakukan sesuatu. Dalam hal kondisi keuangan negara mampu untuk memenuhi alokasi dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan minimal 20% (dua puluh persen) dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), maka negara akan melaksanakan pemenuhan alokasi dana tersebut sekaligus.
Sebaliknya apabila kondisi keuangan negara belum mampu untuk memenuhi alokasi anggaran dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan minimal 20% (dua puluh persen) dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), maka negara melaksanakan pemenuhan alokasi anggaran dana pendidikan tersebut secara bertahap. Selanjutnya Mahkamah menyatakan bahwa UU Sisdiknas juga telah membentuk norma baru yang mengaburkan norma yang terkandung dalam Pasal 49 ayat (1) yang ingin dijelaskannya, sehingga ketentuan dalam Penjelasan Pasal 49 ayat (1) juga bertentangan dengan prinsip-prinsip dan teori perundang-undangan yang sudah lazim diterima dalam ilmu hukum yang kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
c. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan MK menyatakan Penjelasan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat, membawa implikasi bahwa pengalokasian anggaran pendidikan harus mempunyai besaran 20% dari APBN dan APBD, dan tidak bisa lagi dilakukan secara bertahap sebagaimana diartikan selama ini oleh berbagai kalangan.

2. Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 24/PUU-V/2007
a. Pendapat Hukum Mahkamah Konstitusi
Menurut pandangan Mahkamah, Pasal 31 ayat (4) UUD Tahun 1945 tidak membuka adanya kemungkinan penafsiran lain selain bahwa negara wajib memprioritaskan anggaran pendidikan dalam APBN dan APBD, prioritas yang dimaksud haruslah sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD. Adanya perubahan dalam sistem pengalokasian anggaran dalam APBN, yang tidak lagi menunjuk pada sektor melainkan fungsi, sehingga untuk mengetahui besaran anggaran pendidikan menjadi tergantung pada interpretasi terhadap pengertian fungsi pendidikan dan anggaran yang dialokasikan baginya dalam APBN dimaksud. Istilah anggaran pendidikan dan dana pendidikan merupakan dua istilah yang berbeda baik dari sisi substansi yang terkandung di dalamnya, maupun dari sisi etimologi. Anggaran budget atau begroting merupakan istilah yang diterima umum dan mempunyai pengertian baku, yakni rencana pendapatan dan belanja negara/daerah dalam kurun waktu satu tahun dalam bentuk pendapatan dan belanja serta pembiayaan berupa setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali. Sedangkan dana diartikan sebagai akibat realisasi dari anggaran, sehingga dana tidak mungkin dikeluarkan sebelum dianggarkan terlebih dahulu dalam APBN/APBD. Bahwa benar Pasal 31 Ayat (4) UUD Tahun 1945 tidak merinci apa saja yang menjadi lingkup dua puluh persen dari anggaran pendidikan, namun bukan berarti dapat ditafsirkan secara berbeda oleh Pasal 49 Ayat (1) UU Sisdiknas. UU Sisdiknas telah menentukan dalam Ketentuan Umum Pasal 1 angka 3 bahwa sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang berarti juga termasuk gaji pendidik. Rumusan yang termuat dalam Pasal 49 Ayat (1) UU Sisdiknas telah membuat norma yang sangat berbeda dari maksud Pasal 31 Ayat (4) UUD Tahun 1945. Terlepas dari segala maksud baik yang melatarbelakanginya, rumusan makna Pasal 49 Ayat (1) UU Sisdiknas menjadi tidak konsisten dengan rumusan makna Pasal 1 angka 3 dan angka 6 UU Sisdiknas itu sendiri. Dari bunyi Pasal 1 angka 3 dan 6 tersebut, Pasal 49 Ayat (1) UU Sisdiknas telah menempatkan guru dan dosen serta mengecualikan gajinya tidak sebagai komponen pendidikan. Selain itu, rumusan Pasal 49 Ayat (1) UU Sisdiknas telah mempersempit makna filosofis Pasal 31 Ayat (4) UUD Tahun 1945, yang seharusnya tidak boleh dilakukan, mengingat UUD Tahun 1945 merupakan norma tertinggi bagi bangsa dan Negara. seharusnya UU Sisdiknas tidak mengatur secara definitif maupun limitatif tentang besaran jumlah anggaran pendidikan yang dalam undang-undang tersebut digunakan istilah "dana pendidikan". Karena, besaran angka presentase anggaran pendidikan ditentukan dalam Pasal 31 Ayat (4) UUD Tahun 1945 sehingga penjabaran secara definitif dan limitatif diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang APBN yang ditetapkan setiap tahun. Pasal 31 Ayat (1) UUD Tahun 1945 menyatakan, Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional, dan sebagai tindak lanjut atau aturan operasionalnya dari ketentuan tersebut adalah diberlakukannya Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (UU APBN) dengan masa berlaku setiap satu tahun. Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah berpendapat, dalil para Pemohon sepanjang menyangkut frasa “gaji pendidik dan” dalam ketentuan Pasal 49 Ayat (1) UU Sisdiknas bertentangan dengan Pasal 31 Ayat (4) UUD Tahun 1945 adalah beralasan sehingga gaji pendidik harus secara penuh diperhitungkan dalam penyusunan anggaran pendidikan. Dengan demikian dalam penyusunan anggaran pendidikan, gaji pendidik sebagai bagian dari komponen pendidikan dimasukkan dalam penyusunan APBN dan APBD. Apabila gaji pendidik tidak dimasukkan dalam anggaran pendidikan dalam penyusunan APBN dan APBD dan anggaran pendidikan tersebut kurang dari 20% dalam APBN dan APBD maka undang-undang dan peraturan yang menyangkut anggaran pendapatan dan belanja dimaksud bertentangan dengan Pasal 31 Ayat (4) UUD Tahun 1945.
Sehubungan dengan dalil para Pemohon terhadap UU APBN Tahun Anggaran 2007 Mahkamah berpendapat, UU APBN mempunyai karakter yang berbeda dengan undang-undang pada umumnya, di antaranya adalah bersifat eenmalig [vide Pasal 23 Ayat (1) UUD 1945] yang berlaku hanya untuk satu tahun dan sudah berakhir. Oleh karena itu, terhadap dalil para Pemohon sepanjang menyangkut UU APBN Tahun Anggaran 2007 tidak perlu dipertimbangkan lebih lanjut.
Berdasarkan seluruh uraian tersebut di atas, Mahkamah berkesimpulan: Permohonan para Pemohon mengenai Pasal 49 Ayat (1) UU Sisdiknas sepanjang menyangkut frasa “gaji pendidik dan” cukup beralasan, sehingga harus dikabulkan. Permohonan para Pemohon terhadap UU APBN Tahun Anggaran 2007 harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
b. Dissenting Opinion Hakim Mahkamah Konstitusi
Terhadap putusan Mahkamah Konstitusi perkara Nomor 24/PUU-V/2007, tiga orang Hakim Konstitusi mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinions), yaitu Hakim Konstitusi H. Abdul Mukthie Fadjar, Maruarar Siahaan, dan H. Harjono sebagai berikut:
1. Hakim Konstitusi H. Abdul Mukthie Fadjar
Pemohon membangun argumentasi bahwa ketentuan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas telah mengeluarkan pendidikan sebagai komponen utama pendidikan, sehingga akan merugikan hak konstitusional mereka sebagai pendidik, karena gaji dan kesejahteraan mereka akan semakin kecil. Padahal, ketentuan Pasal 49 Ayat (1) UU Sisdiknas tersebut tak ada kaitannya dengan persoalan komponen pendidikan, dalam hal mana tak ada yang membantah bahwa pendidik memang merupakan salah satu komponen sistem pendidikan nasional, namun ketentuan a quo hanyalah bicara soal pengalokasian dana pendidikan di mana gaji guru dan dosen (pendidik) memang tak dimasukkan, sebab gaji guru dan dosen yang diangkat oleh Pemerintah (PNS) seperti PNS pada umumnya, gajinya diatur tersendiri dalam Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil (PGPS) dan juga dimasukkan dalam RAPBN. Selanjutnya Hakim berpendapat, apabila gaji pendidik dimasukkan dalam alokasi dana pendidikan sebagaimana dimaksud Pasal 49 Ayat (1) UU Sisdiknas, maka akan berarti bahwa gaji para pendidik seluruhnya, baik yang PNS maupun non-PNS harus ditanggung oleh negara lewat APBN dan APBD, suatu hal yang sangat mustahil. Berdasarkan keterangan DPR RI dan Pemerintah, maksud rumusan Pasal 49 Ayat (1) UU Sisdiknas justru sebagai bentuk kebijakan agar dana yang tersedia bagi penyelenggaraan pendidikan (termasuk untuk berbagai tunjangan bagi guru dan dosen yang diatur dalam UU Guru dan Dosen) menjadi lebih besar jika komponen gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan tidak dimasukkan. Bukan dalam arti mengeluarkan pendidik sebagai komponen pendidikan, sebagaimana dipahami oleh para Pemohon dan juga pendapat mayoritas. Para Pemohon sama sekali tidak dirugikan oleh berlakunya Pasal 49 Ayat (1) UU Sisdiknas, bahkan secara konsepsional justru diuntungkan dan seharusnya berterima kasih kepada pembentuk undang-undang yang secara konsepsional telah mengalokasikan dana pendidikan minimal 20% dalam APBN dan APBD selain untuk gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan yang disediakan alokasi tersendiri dalam APBN. Pengabulan permohonan perkara Nomor 24/PUU-V/2007 dengan dalih agar ketentuan Pasal 31 ayat (4) UUD Tahun 1945 terpenuhi merupakan suatu “penyiasatan” konstitusional yang menyesatkan dengan catatan jika gaji pendidik yang PNS dimasukkan dalam anggaran 20% maka dipastikan mudah terpenuhi, sebab saat ini anggaran tersebut sudah berkisar antara 18-19% dari APBN.
2. Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan dan Hakim Konstitusi H. Harjono
Seyogianya Mahkamah hanya menyerahkan kepada Pemerintah dan DPR RI, apakah merevisi Pasal 49 Ayat (1) UU Sisdiknas sebagai bagian kebijakannya, dan tidak menguji dan menyatakan Pasal 49 Ayat (1) UU Sisdiknas sepanjang frasa “gaji pendidik dan” yang memisahkan gaji pendidik dari perhitungan anggaran pendidikan dalam APBN bertentangan dengan UUD Tahun 1945 (inkonstitusional), serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Hakim Maruarar Siahaan dan H. Sarjono juga menyebutkan permohonan a quo sama sekali tidak menyangkut masalah konstitusioalitas norma yang dimohon. Sebagai strategi atau kebijakan untuk mencapai tujuan yang digariskan dalam konstitusi untuk memungkinkan dana atau anggaran bagi pendidikan lebih besar maka ketentuan Pasal 49 Ayat (1) UU Sisdiknas, yang merupakan kesepakatan DPR RI dan Pemerintah dalam bentuk undang-undang, sama sekali tidak mengandung pertentangan dengan Pasal 31 Ayat (3) UUD Tahun 1945, dan tidak terdapat masalah konstitusionalitas norma yang harus dipermasalahkan, meskipun dari segi pengertian dapat dipahami boleh jadi berbeda antara “dana pendidikan” dengan “anggaran pendidikan”. Hasil pengujian atas Pasal 49 Ayat (1) UU Sisdiknas yang berakibat diperhitungkannya gaji guru dalam formula anggaran pendidikan 20%, meskipun secara langsung tidak menyangkut Putusan Mahkamah Nomor 026/PUU-IV/2006 tentang Anggaran Pendidikan, namun secara langsung memiliki dampak pada interpretasi Mahkamah tentang amanat konstitusi dibidang pendidikan, yang telah diletakkan dalam putusan-putusan sebelumnya. Oleh karenanya, meskipun pengujian yang dilakukan menyangkut Pasal 49 Ayat (1) UU Sisdiknas terhadap Pasal 31 Ayat (3) UUD Tahun 1945, putusan tersebut secara mendasar membawa dampak akan kesan perubahan sikap yang terlalu prematur, karena dalam masa yang relatif singkat dan kondisi perubahan yang diinginkan konstitusi tentang perbaikan pendidikan yang belum tampak secara signifikan, putusan dalam perkara a quo secara langsung merubah formula perhitungan anggaran pendidikan yang dipergunakan dalam Putusan Mahkamah terdahulu.
c. Implikasi putusan MK
Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 24/PUU-V/2007, permohonan para Pemohon dikabulkan untuk sebagian dan terhadap Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas sepanjang mengenai frasa “gaji pendidik dan” bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. MK juga menolak permohonan para Pemohon terhadap ketentuan UU APBN 2007 yang berkaitan dengan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas.
3. Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009
a. Pendapat Hukum Mahkamah Konstitusi
Berdasarkan dalil-dalil yang dikemukakan para Pemohon dalam permohonannya tampak bahwa, meskipun para Pemohon menggunakan ketentuan-ketentuan dalam UU Sisdiknas dan UU BHP sebagai pintu masuk pengajuan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945, tujuan akhir yang hendak dicapai adalah dihilangkannya ketentuan yang membebani masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan dengan argumentasi bahwa negara in casu pemerintah yang seharusnya menjadi penanggung jawab utama dalam penyelenggaraan pendidikan tetapi hanya ditempatkan menjadi fasilitator. Terhadap norma yang sama yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon yang berbeda hanya dipertimbangkan satu kali, dan pertimbangan serta putusan Mahkamah tentang norma tersebut mutatis mutandis berlaku juga terhadap Pemohon lainnya yang mengajukan pengujian pasal yang sama.
Sistem pendidikan nasional bukan semata hanya mengatur penyelenggaraan kesekolahan apalagi penyeragaman penyelenggaraan kesekolahan belaka. Bidang pendidikan terkait dengan hak asasi lain yaitu, hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya, dan bagi anak pendidikan merupakan bagian hak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang sejauh hidup tidak hanya dimaknai sebagai masih bisa bernafas, tetapi juga hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak atau berkualitas sesuai nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Dengan demikian pendidikan berkait juga dengan hak seseorang untuk memajukan diri [vide Pasal 28A, Pasal 28B ayat (2), Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2) UUD Tahun 1945]. Kebebasan seseorang untuk memilih pendidikan dan pengajaran sebagaimana dijamin dalam Pasal 28E ayat (1) UUD Tahun 1945 menjadi aspek yang penting juga dalam pengusahaan dan penyelenggaraan satu sistem pendidikan nasional. Dengan adanya hak ini jelas bahwa sistem pendidikan nasional yang dibangun adalah sistem pendidikan yang plural, yang majemuk.
Di samping hak-hak warga negara sebagaimana disebutkan di atas yang menyangkut hak untuk mendapatkan pendidikan, di dalam penyelenggaraan pendidikan yang salah satu di antaranya dengan melalui jalur sekolah juga terkait dengan adanya hak asasi yang lain. Salah satu hak tersebut adalah adanya jaminan kebebasan untuk berserikat dan berkumpul sebagaimana ditentukan oleh Pasal 28E ayat (3) UUD Tahun 1945. Dengan dasar hak ini sekelompok orang dapat memanfaatkan wadah berserikat dan berkumpul untuk secara bersama-sama memajukan dirinya [vide Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2) UUD Tahun 1945]. Dengan demikian hal yang dilakukan oleh sekelompok orang tersebut mempunyai dasar dan dijamin secara konstitusional oleh UUD Tahun 1945. Adanya ketentuan penyelenggaraan pendidikan harus dalam satu bentuk badan hukum tertentu saja sebagaimana ditetapkan dalam UU BHP bagi sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat (BHPM) dengan cara melarang bentuk perserikatan dan perkumpulan adalah jelas-jelas bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Di samping tidak boleh melanggar konstitusi, sistem pendidikan nasional seharusnya memberi ruang kepada potensi yang masih eksis sebagai modal nasional dalam penyelenggaraan pendidikan yang terbukti pada masa lalu dengan segala keterbatasan, justru mampu menjadi tulang punggung pendidikan bangsa dan potensi tersebut masih mempunyai hak hidup secara konstitusional.
Mahkamah juga berpendapat bahwa sekolah-sekolah swasta yang dikelola dengan keragaman yang berbeda telah turut berjasa dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, baik pada masa penjajahan maupun pada masa kemerdekaan. Mahkamah tidak menemukan alasan yang mendasar diperlukannya penyeragaman penyelenggara pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat dalam bentuk badan hukum pendidikan sebagaimana diatur dalam UU BHP. nMahkamah berpendapat bahwa UU BHP yang menyeragamkan bentuk hukum badan hukum pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat (BHPM) adalah tidak sesuai dengan rambu-rambu yang telah ditetapkan oleh Mahkamah dalam putusan perkara Nomor 021/PUU-IV/2006 tanggal 22 Februari 2007, dan telah melanggar hak konstitusional para Pemohon sehingga dalil-dalil para Pemohon dalam perkara Nomor 126/PUU-VII/2009 beralasan karena pada intinya para Pemohon berkeberatan atas penyeragaman yang diatur dalam UU BHP. Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas dan Penjelasannya yang menyatakan secara tegas, “Badan hukum pendidikan dimaksudkan sebagai landasan hukum bagi penyelenggara dan/atau satuan pendidikan, antara lain, berbentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN)”, Mahkamah berpendapat pasal a quo tidak ada yang menunjukkan hilangnya kewajiban negara terhadap warga negara di bidang pendidikan, tidak mempersulit akses pendidikan, tidak menjadikan biaya pendidikan mahal, tidak mengubah paradigma pendidikan, sehingga hak warga negara untuk memperoleh pendidikan terhalang, tidak menjadikan pendidikan sebagai barang privat (private goods). Akan tetapi Mahkamah berpendapat istilah “badan hukum pendidikan” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas bukanlah nama dan bentuk badan hukum tertentu, melainkan sebutan dari fungsi penyelenggara pendidikan yang berarti bahwa suatu lembaga pendidikan harus dikelola oleh suatu badan hukum.

b. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor: 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 memutuskan bahwa UU BHP bertentangan dengan UUD Tahun 1945 terutama Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 31 UUD Tahun 1945, dan menyatakan bahwa UU BHP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan tersebut antara lain: pertama, bahwa UU BHP tidak ada kejelasan secara yuridis, maksud dan keselarasan dengan UU yang lain; kedua, UU BHP mengasumsikan bahwa penyelenggara pendidikan mempunyai kemampuan yang sama; ketiga, pemberian otonomi kepada Perguruan Tinggi Negeri (PTN) akan berakibat beragam, sehingga hal ini akan menyebabkan terganggunya penyelenggaraan pendidikan; keempat, Mahkamah Konstitusi menilai bahwa BHP tidak menjamin tercapainya tujuan pendidikan nasional dan menimbulkan ketidakpastian hukum; kelima, bukan hanya BHP yang dapat menyelengarakan pendidikan dengan prinsip nirlaba, tetapi telah ada badan hukum lain yang menyelenggarakan pendidikan dengan prinsip nirlaba; keenam, UU BHP bertendensi mengalihkan tanggung jawab negara kepada masyarakat untuk menanggung beban pendidikan; ketujuh, ada penyeragaman institusi penyelenggara pendidikan tinggi. Implikasi yuridis ini sangat dirasakan oleh penyelenggara pendidikan, karena dengan dibatalkannya UU BHP mempunyai konsekuensi dicabutnya sejumlah peraturan yang mengacu pada UU BHP seperti Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, Permendiknas Nomor 32 Tahun 2009 tentang Mekanisme Pendirian Badan Hukum Pendidikan, Perubahan Badan Hukum Milik Negara atau Perguruan Tinggi, dan Pengakuan Penyelenggara Pendidikan Tinggi sebagai Badan Hukum Pendidikan dicabut. Pendidikan umum yang diselenggarakan oleh pemerintah tidak terlalu merasakan implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi ini, karena menjalankan fungsi pendidikan berdasarkan pada UU Sisdiknas. Putusan tersebut berimplikasi pada jenjang pendidikan khususnya pendidikan tinggi yang statusnya berubah menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara serta jenjang pendidikan yang diselenggarakan melalui Yayasan.
4. Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 58/PUU-VIII/2010
a. Pendapat Hukum Mahkamah Konstitusi
Menurut Mahkamah, Pemerintah Negara Indonesia dibentuk, antara lain untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Selain itu menurut UUD Tahun 1945, “Setiap orang berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi...” [vide Pasal 28C ayat (1)], dan “Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah “ [vide Pasal 28I ayat (4)]. Namun, ketentuan yang mewajibkan pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberikan bantuan teknis, subsidi, dan sumber daya lain secara adil dan merata kepada lembaga pendidikan berbasis masyarakat untuk semua jenjang pendidikan, tidak secara tegas ditentukan di dalam UUD Tahun 1945.
Sehubungan dengan pasal yang diuji yaitu Pasal 55 ayat (4) Sisdiknas terhadap UUD Tahun 1945, Mahkamah berpendapat bahwa kata ‘dapat’ dalam pasal tersebut jika dikaitkan dengan Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 mengakibatkan pendidikan dasar berbasis masyarakat atau yang dilaksanakan selain oleh pemerintah menjadi tidak wajib untuk dibiayai oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah. Hal itu disebabkan karena kata ‘dapat’ bersifat terbuka sehingga bisa menghilangkan arti kewajiban Pemerintah yang berarti pula bertentangan dengan Pasal 31 ayat (2) UUD Tahun 1945. Terhadap jenjang pendidikan selain pendidikan dasar, Pemerintah memiliki keleluasaan untuk membiayai seluruh atau sebagian biaya pendidikan menurut kemampuan keuangan negara. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, kata ‘dapat’ dalam ketentuan Pasal 55 ayat (4) UU Sisdiknas adalah bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sepanjang dimaknai bahwa lembaga pendidikan berbasis masyarakat dalam Pasal 55 ayat (4) UU Sisdiknas termasuk jenjang pendidikan dasar.
b. Dissenting Opinion Hakim Mahkamah Konstitusi
Terhadap kata ‘dapat’ dalam Pasal 55 ayat (4) UU Sisdiknas, Hakim Konstitusi Harjono mengajukan dissenting opinion. Ketentuan UUD Tahun 1945 yang berkaitan langsung dengan perkara a quo adalah Pasal 31 ayat (2) yang menyatakan, ”Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya“. Ketentuan ini mengandung dua hal: (1) warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar, (2) pemerintah wajib membiayai pendidikan dasar. Seseorang warga negara untuk melaksanakan kewajibannya, yaitu wajib belajar, dapat secara suka rela melaksanakan yaitu tanpa bergantung kepada negara untuk membiayainya.
Menurut Harjono, seharusnya permohonan Pemohon ditolak, karena dengan dikabulkannya permohonan Pemohon justru akan merugikan Pemohon sendiri karena dana bantuan yang ditolak oleh lembaga pendidikan berbasis masyarakat yang telah mandiri yang seharusnya dapat dialihkan kepada Pemohon menjadi tidak dapat dialihkan karena adanya kewajiban dari lembaga pendidikan yang berbasis masyarakat untuk menerimanya.
c. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan inkonstitusional bersyarat a quo, menimbulkan implikasi serius, antara lain :
1) Secara yuridis, hal itu akan bertentangan dengan Pasal 31 ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menetapkan kewajiban Pemerintah membiayai pendidikan dasar, yang secara substantif, dan akan mengorbankan keadilan distributif dalam penyelenggarakan sistem pendidikan nasional secara utuh;
2) Secara filosifis dan sosiologis, akan merupakan pengingkaran terhadap nilai kesejarahan perjuangan para perintis, pengembang, dan penerus pendidikan berbasis masyarakat, yang dapat diartikan pula melakukan nihilisasi nilai-nilai luhur pendidikan nasional;
3) Secara kultural dan sosio-edukatif, tidak memberi peluang bagi tumbuh kembangnya civic participation dari masyarakat madani yang dilandasi oleh civic responsibility yang ditopang oleh civic intelligence yang semakin tumbuh dalam masyarakat Indonesia. 4) Secara sosial politik, dapat memicu konflik kepentingan antar masyarakat madani yang memiliki dukungan pendanaan yang kuat di satu pihak dan yang lemah di lain pihak.
5. Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 5/PUU-X/2012
a. Pendapat Hukum Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum, sehingga dalam amar putusan, MK mengabulkan Permohonan para Pemohon untuk seluruhnya dengan menyatakan Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Menurut Mahkamah, mencerdaskan kehidupan bangsa adalah salah satu tujuan pembentukan pemerintah negara Republik Indonesia, sebagaimana terdapat dalam alinea keempat Pembukaan UUD Tahun 1945.
Dalam perkara ini, MK menyebut adanya dua norma dalam ketentuan Pasal 50 ayat (3), yaitu: (1) adanya satuan pendidikan yang bertaraf internasional, dan (2) adanya kewajiban pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional pada setiap jenjang pendidikan. Sehubungan dengan hal tersebut, pada prinsipnya MK berpendapat bahwa kewajiban pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional akan mengikis dan mengurangi kebanggaan terhadap bahasa dan budaya nasional Indonesia, berpotensi mengurangi jatidiri bangsa yang harus melekat pada setiap peserta didik, mengabaikan tanggung jawab negara atas pendidikan, dan menimbulkan perlakuan berbeda untuk mengakses pendidikan yang berkualitas sehingga bertentangan dengan amanat konstitusi.
b. Dissenting Opinion Hakim Mahkamah Konstitusi
Menurut Achmad Sodiki, jika dilihat dari redaksi atau kalimat Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan, “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional” tidak ada kata-kata yang dapat dimaknai bahwa pemerintah telah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hal yang menjadi keberatan para Pemohon. Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang kurangnya satu satuan pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional, merupakan hak pemerintah dan pemerintah daerah yang dijamin oleh undang-undang. Menurut Achmad Sodikin, tidak ada juga unsur dalam Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang a quo yang dapat dimaknai menimbulkan dualisme pendidikan nasional, karena kurikulum yang dipakai adalah kurikulum nasional juga. Apabila perkataan “bertaraf internasional” dalam Pasal a quo dikatakan menimbulkan multi interpretasi, sehingga dianggap bertentangan dengan asas kepastian hukum maka solusinya bukan dengan cara membatalkan pasal tersebut, tetapi Mahkamah memberikan penafsiran yang sesuai dengan konstitusi.
c. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Sebagaimana halnya Putusan MK dalam perkara pengujian undang-undang, maka pertama, Putusan MK bersifat declaratoir constitutief, yaitu meniadakan satu keadaan hukum lama atau membentuk hukum baru sebagai negative-legislator. Dengan kata lain, putusan MK tersebut mengandung pengertian hapusnya hukum yang lama dan sekaligus membentuk hukum yang baru. . Kedua, Putusan MK bersifat final dan mengikat dan langsung memperoleh kekuatan mengikat terhadap semua pihak yang terkait sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno MK yang terbuka untuk umum. Putusan MK No 5/PUU-X/2012 mengimplikasikan hapusnya dasar hukum penyelenggaraan SBI/RSBI.

Dalam implementasinya, UU Sisdiknas telah 14 (empat belas) kali diajukan permohonan uji materiil ke MK. Namun demikian, hanya 5 (lima) permohonan yang dikabulkan baik sebagian maupun seluruhnya. Putusan MK perkara Nomor 11/PUU-III/2005 dan perkara Nomor 24/PUU-V/2007 mengenai masalah anggaran pendidikan nasional. UU Sisdiknas Pasal 49 Ayat (1) menyebut dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimum 20 persen dari APBN maupun APBD. Namun, dalam implementasinya, berdasarkan keputusan MK tahun 2008, anggaran 20 persen sudah termasuk gaji guru dan dosen serta pendidikan kedinasan. Dengan demikian Pasal 49 ayat 1 tidak berlaku lagi. Dalam Putusan Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009 bertanggal 31 Maret 2010 telah memberi syarat konstitusional atas keberadaan Badan Hukum Pendidikan (BHP) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Pendidikan (PP 66 Tahun 2010). Pada dasarnya PP ini memerintahkan ketujuh PT BHMN untuk melangsungkan pengelolaan pendidikan yang telah ada selama ini, yaitu bersistem pengelolaan pendidikan BHMN. PP ini memberikan waktu 3 (tiga) tahun sebagai masa transisi untuk kembali ke sistem pengelolaan keuangan negara dengan ketentuan yang sesuai dengan putusan MK tentang pembatalan UU BHP. Di samping itu, putusan MK ditindaklanjuti dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Pendidikan Tinggi). Dengan demikian putusan MK di atas telah ditindaklanjuti melalui PP dan pembentukan undang-undang sehingga tindak lanjut tersebut telah sesuai dan harmonis dengan putusan MK.
Namun demikian, Mahkamah Konstitusi tidak menghapus Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas, meski putusan Mahkamah Konstitusi tersebut membatalkan ketentuan UU BHP secara keseluruhan. Ketentuan Pasal 53 ayat (1) sebagai pijakan bagi terselenggaranya pendidikan melalui badan hukum pendidikan, mengamanatkan agar penyelenggara pendidikan berbentuk badan hukum pendidikan. Menurut Pasal 53 ayat (4) UU Sisdiknas, ketentuan mengenai badan hukum pendidikan akan diatur lebih lanjut dalam undang-undang tersendiri. Amanat ini harus dilaksanakan oleh DPR RI dan Pemerintah dengan membentuk undang-undang yang mengatur tentang badan hukum pendidikan. Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Pasal 53 ayat (1) adalah konstitusional dan sah namun untuk Penjelasan Pasal 53 ayat (1) dinyatakan inskonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, karena badan hukum pendidikan diartikan sebagai bentuk dan nama diri yang seharusnya dimaknai sebagai fungsi penyelenggara pendidikan, sehingga bentuk penyelenggara pendidikan oleh suatu badan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan seperti yayasan, perkumpulan, perserikatan, dan badan wakaf.
UU BHP yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat oleh Mahkamah Konstitusi berimplikasi yuridis kekosongan hukum, meskipun norma hukum tidak mungkin memiliki kekosongan. Hal ini berarti terjadi kekosongan hukum dalam tata kelola pendidikan sehingga perlu segera dibuat peraturan baru yang mengatur tentang pendidikan untuk melaksanakan amanat Pasal 53 UU Sisdiknas. Kekosongan hukum ini terjadi karena pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan melalui jenjang pendidikan yang bersandar pada Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tidak dapat dilaksanakan dengan dibatalkannya UU BHP. Selain itu, pengelolaan dan penyelenggaraan jenjang pendidikan yang dilakukan melalui yayasan mengalami ketidakjelasan bentuk badan hukum penyelenggaranya. Hal ini disebabkan karena sebelum UU BHP diberlakukan penyelenggara pendidikan melalui yayasan didasarkan pada UU Yayasan namun harus menyesuaikan pendirian serta tata kelolanya dengan UU BHP.
Untuk mengatasi rechtsvacuum tersebut perlu dibuat peraturan baru yang dapat mengakomodasi penyelenggara jenjang pendidikan. Aturan baru ini dalam jangka pendek dapat menyesuaikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan yang membatalkan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum. Selanjutnya untuk jangka panjang perlu segera dibuat undang-undang baru, yakni undang-undang yang mengatur tentang badan hukum pendidikan yang berbeda dengan sebelumnya. Penerapan undang-undang baru tersebut nantinya memberi kebebasan bagi seluruh perguruan tinggi untuk mencari bentuknya sendiri. UU BHP yang baru ini harus dibuat dengan memperhatikan rambu-rambu dari Mahkamah Konstitusi, agar tidak lagi dinyatakan bertentangan dengan konstitusi.
Terhadap perkara Nomor 58/PUU-VIII/2010, terjadi putusan inkonstitusional bersyarat sepanjang kata “dapat” dalam Pasal 55 ayat (4) UU Sisdiknas bertentangan dengan UUD Tahun 1945 kalau dimaknai berlaku bagi jenjang pendidikan dasar yang berbasis masyarakat. Kata ”‘dapat” dalam Pasal 55 ayat (4) UU Sisdiknas tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat kalau dimaknai berlaku bagi jenjang pendidikan dasar yang berbasis masyarakat.
Terkait Putusan MK perkara nomor 5/PUU-X/2012, yang bersifat final dan mengikat yang menggugurkan Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas karena bertentangan dengan Pembukaan UUD Tahun 1945 dan Pasal 31 ayat (3) maka dengan sendirinya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan harus terlebih dulu dilakukan perubahan khususnya yang mengatur tentang RSBI yakni Pasal 61 ayat (1), kemudian Permendiknas Nomor 78 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah harus dinyatakan tidak berlaku lagi karena sudah tidak ada payung hukum diatasnya. Kemudian solusi yang bisa diterapkan dalam menjawab permasalahan RSBI pasca Putusan MK tersebut tidak ada lagi upaya lain selain mematuhi Putusan tersebut.
Oleh karena itu, penyempurnaan terhadap UU Sisdiknas perlu dilakukan agar materi dan substansinya sesuai dan tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945 serta dapat memberikan pemahaman yang utuh. Pembentuk undang-undang (DPR RI atau Presiden) perlu segera berinisiatif melakukan legislative review untuk menindaklanjuti substansi atau norma undang-undang yang telah dibatalkan tersebut. Selain itu, pendapat hukum yang tercermin dalam beberapa putusan Mahkamah Konstitusi perlu dicermati dan menjadi dasar dalam perubahan UU Sisdiknas agar tidak terjadi kekosongan hukum dan penafsiran yang berbeda dalam implementasinya.

Penyempurnaan terhadap UU Sisdiknas perlu dilakukan agar materi dan substansinya sesuai dan tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945 serta dapat memberikan pemahaman yang utuh. Disamping itu, pendapat hukum yang tercermin dalam beberapa putusan Mahkamah Konstitusi perlu dicermati dan menjadi dasar dalam perubahan UU Sisdiknas agar tidak terjadi kekosongan hukum dan penafsiran yang berbeda dalam implementasinya.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d UU P3 bahwa materi muatan yang harus diatur dengan UU berisi materi muatan mengenai tindak lanjut Putusan MK. Oleh karena itu, perlu direformulasi kembali materi muatan atas beberapa hal yang telah diputus MK dalam UU Sisdiknas dengan status perubahan/penggantian.
2. Berdasarkan Putusan MK dan perubahan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), maka DPR RI bersama Pemerintah harus menetapkan perubahan/penggantian UU Sisdiknas ini ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019 dan menetapkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) kumulatif terbuka.