Analisis dan Evaluasi UU Berdasarkan Putusan MK


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-evaluasi.phtml on line 66

Warning: Undefined property: stdClass::$resume in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-evaluasi.phtml on line 80

Deprecated: nl2br(): Passing null to parameter #1 ($string) of type string is deprecated in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-evaluasi.phtml on line 80
Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi : Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum / 01-12-2017

Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU No. 12 Tahun 2011) secara tegas menyatakan bahwa “Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi”. Hal ini sejalan dengan kewenangan yang diberikan konstitusi kepada Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) yakni “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. Adapun untuk dapat menguji suatu undang-undang terhadap konstitusi atau UUD Tahun 1945, seseorang tersebut harus dapat haruslah subjek hukum yang memenuhi persyaratan menurut undang-undang untuk mengajukan perkara konstitusi terkait kerugian konstitusionalnya atas keberlakukan undang-undang tersebut.
Adapun terkait dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1911 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (UU No. 15 Tahun 2011, terdapat 8 (delapan) Putusan/Ketetapan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah menguji UU No. 15 Tahun 2011. Putusan/Ketetapan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pkr.No.80/PUU-IX/2011;
2. Pkr.No.81/PUU-IX/2011;
3. Pkr.No.10/PUU-XI/2013;
4. Pkr.No.74/PUU-XI/2013;
5. Pkr.No.31/PUU-XI/2013;
6. Pkr.No.48/PUU-XIV/2016;
7. Pkr.No.65/PUU-XIV/2016; dan
8. Pkr.No.90/PUU-XIV/2016.
Sebagian besar permohonan tersebut tidak dikabulkan (kecuali 3 perkara pengujian) yakni Pkr.No.80/PUU-IX/2011, Pkr.No.81/PUU-IX/2011, dan Pkr.No.31/PUU-XI/2013, dengan variasi amar putusan berupa: 1 (satu) Putusan menyatakan bahwa pasal-pasal yang diajukan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, 1 (satu) Putusan menyatakan bahwa pasal-pasal yang diajukan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan menyatakan tidak konstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional), serta 1 (satu) Putusan tidak konstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional).

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal dan ayat suatu UU yang dinyatakan MK sebagai inkonstitusionalitas bersyarat?
3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu UU jika suatu pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan?

A. Konstitusionalitas Undang-Undang
Terkait dengan wewenang melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 yang secara umum disebut judicial review, bahwa pengertian judicial review dipahami baik secara umum maupun praktik di MK. Dalam praktik peradilan umum di Indonesia judicial review mencakup pemeriksaan tingkat banding, kasasi, dan Peninjauan Kembali (PK). Sedangkan pemahaman terhadap proses pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 disebut sebagai constitutional review. Dikaitkan dengan program legislasi nasional (Prolegnas), Mahfud MD menyebutkan bahwa judicial review dapat dilakukan oleh MK untuk menjamin konsistensi Undang-Undang terhadap UUD Tahun 1945 serta menjamin ketepatan prosedur sesuai dengan Prolegnas.

B. Putusan Mahkamah Konstitusi Final Dan Mengikat
Putusan Mahkamah Konstitusi dengan amar yang menyatakan bagian undang-undang, pasal, atau ayat tertentu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat maka putusan tersebut telah mempunyai kekuatan mengikat sejak diumumkan dalam sidang terbuka untuk umum. Makna final juga dapat diartikan bahwa putusan yang diambil dapat menjadi solusi terhadap masalah konstitusi yang dihadapi meskipun hanya bersifat sementara (eenmalig) yang kemudian akan diambil-alih oleh pembuat undang-undang.

C. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi
Dari sudut pandang hukum tata negara, putusan Mahkamah Konstitusi termasuk dalam keputusan negara yang mengandung norma hukum sama halnya dengan putusan pembentuk undang-undang yang bersifat pengaturan (regeling). Putusan Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan suatu undang-undang atau materi muatan dalam undang-undang, sedangkan pembentuk undang-undang menciptakan norma hukum dalam bentuk materi muatan dalam suatu undang-undang.


1. Putusan MK No.80/PUU-IX/2011

Pasal yang diuji dalam UU No. 15 Tahun 2011 ini adalah Pasal 27 ayat (1) huruf b terutama frasa “...dengan alasan yang dapat diterima” dan ayat (3). Norma inilah yang oleh Pemohon dalam perkara tersebut dipersoalkan karena dianggap merugikan hak-hak konstitusionalnya, apalagi jika kita telisik lebih jauh penjelasan Pasal 27 ayat (1) huruf b UU No. 15 Tahun 2011 tersebut yang menyatakan “Yang dimaksud mengundurkan diri karena alasan yang dapat diterima ialah mengundurkan diri karena alasan kesehatan dan/atau karena terganggu fisik dan/atau jiwanya untuk menjalankan kewajibannya sebagai anggota KPU, KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota”.
Dengan adanya norma tersebut Pemohon meyakini bahwa agar pengunduran diri Pemohon dapat diterima Pemohon harus dalam keadaan sakit, terganggu fisik dan/atau jiwanya terlebih dahulu. Selain itu syarat mengundurkan diri yang mewajibkan harus dengan alasan yang dapat diterima seperti ini berbeda dengan syarat pengunduran diri pejabat pada umumnya seperti Hakim Mahkamah Konstitusi, Ketua dan Wakil Ketua dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan, Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda Mahkamah Agung, hakim agung, komisioner KPK, dan komisioner Komisi Yudisial.
Adapun pendapat hukum MK dalam perkara ini adalah menurut MK ada perbedaan dan ketidaksamaan di hadapan hukum mengenai hak pengunduran diri dari pekerjaan antara anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota di satu pihak, dan pejabat pada umumnya di pihak lain, padahal, Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan, ”Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”, dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan, ”Setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Hal itu berarti bahwa perlakuan berbeda dalam hal pengunduran diri sebagaimana dipertimbangkan di atas, bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Dengan demikian frasa ”dengan alasan yang dapat diterima” dalam Pasal 27 ayat (1) huruf b UU No. 15 Tahun 2011 beserta Penjelasannya adalah bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Selanjutnya dikarenakan pasal tersebut telah dimaknai demikian maka menurut MK pula hal ini selaras dengan tidak diperlukannya lagi ayat (3) dalam Pasal 27 UU No. 15 Tahun 2011.
Putusan MK pada akhirnya mengabulkan pemohonan dari Pemohon sehingga seharusnya untuk Pasal 27 ayat (1) huruf b UU No. 15 Tahun 2011 harus dimaknai, ”Anggota KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota berhenti antarwaktu karena: a. … b. mengundurkan diri”, begitu pula ayat (3) pun tidak diperlukan. Implikasinya adalah pengunduran dari Anggota KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota serupa dengan dengan pengaturan pada pejabat lainnya.



2. Putusan MK No.81/PUU-IX/2011

Pasal yang diuji Pemohon dalam UU No. 15 Tahun 2011 ini adalah Pasal 11 huruf i dan Pasal 85 huruf i UU No. 15 Tahun 2011, sepanjang frasa “mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik … pada saat mendaftar sebagai calon” bertentangan dengan Pasal 22E ayat (5) UUD NRI Tahun 1945. Pemohon juga menguji terkait dengan pengisian Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), yaitu Pasal 109 ayat (4) huruf c, huruf d, dan huruf e sepanjang bagian kalimat “4 (empat) orang tokoh masyarakat dalam hal jumlah utusan partai politik yang ada di DPR berjumlah ganjil atau ... dalam hal jumlah utusan partai politik yang ada di DPR berjumlah genap” UU No. 15 Tahun 2011 bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan ayat (5) UUD NRI Tahun 1945.
Mahkamah Konstitusi terkait dengan perkara ini membenarkan bahwa permohonan pemohon karena mandiri, jika merujuk pada latar belakang historis proses perubahan UUD NRI Tahun 1945, terkait erat dengan konsep non-partisan. Artinya, kemandirian yang dimiliki oleh komisi pemilihan umum, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22E ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 adalah kemandirian yang tidak memihak kepada partai politik atau kontestan manapun karena komisi pemilihan umum adalah lembaga penyelenggara pemilihan umum dan partai politik adalah peserta pemilihan umum.
Adapun sebagai upaya menjaga kemandirian komisi pemilihan umum dari upaya-upaya pragmatis partai politik peserta pemilu, Mahkamah Konstitusi berpendapat syarat pengunduran diri dari keanggotaan partai politik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini harus diberi batasan waktu. Tenggang waktu pengunduran diri dari partai politik, menurut Mahkamah adalah patut dan layak jika ditentukan sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebelum yang bersangkutan mengajukan diri sebagai calon anggota komisi pemilihan umum. Lima tahun dinilai patut dan layak oleh Mahkamah karena bertepatan dengan periodisasi tahapan pemilihan umum. Ketentuan 5 (lima) tahun juga diakomodasi oleh Undang-Undang Penyelenggara Pemilihan Umum sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
Pendapat MK tersebut juga terkait konsep mandiri yang menegaskan bahwa penyelenggara pemilihan umum (komisi pemilihan umum) tidak boleh berpihak kepada salah satu peserta pemilihan umum. Sehingga Komisi Pemilihan Umum (dengan huruf besar), Bawaslu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, menurut Mahkamah, adalah bagian dari suatu komisi pemilihan umum (dengan huruf kecil) yang dimaksud oleh Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 memiliki sifat mandiri, sebagaimana juga telah diuraikan dalam Putusan Nomor 11/PUU-VIII/2010 bertanggal 18 Maret 2010 pada paragraf [3.18] poin 5. Sehingga pola pengisian anggota DKPP dalam Pasal 109 ayat (4) huruf c, huruf d, dan huruf e UU No. 15 Tahun 2011 yang banyak dikatakan bahwa diisi oleh partai politik harus disesuaikan dengan konsep mandiri tersebut.
Alhasil putusan perkara ini menyatakan bahwa penyelenggara Pemilu sebaiknya bersih dari keterkaitan dari partai politik sehingga harus ada jeda selama 5 tahun bilamana dia berasal dari partai politik. Sedangkan untuk anggota DKPP RI dalam pasal yang digugat semula oleh Pemohon semula masih memungkinkan ada perwakilan partai politik dalam DKPP. Oleh karena itu sesuai dengan prinsip kemandirian yang sejalan dengan amanah konstitusi maka norma yang mengatur mengenai unsur keanggotaan DKPP tersebut dalam UU No. 15 Tahun 2011 khususnya Pasal 109 ayat (4) selengkapnya dibaca, “DKPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. 1 (satu) orang unsur KPU; b. 1 (satu) orang unsur Bawaslu; e. 5 (lima) orang tokoh masyarakat.” Begitu juga Pasal 109 ayat (11) diubah menjadi ”Setiap anggota DKPP dari setiap unsur dapat diganti antarwaktu sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Implikasinya terkait dengan pengisian penyelenggara pemilu baik itu KPU, Bawaslu, DKPP beserta jajarannya harus memperhatikan putusan MK ini.

3. Putusan MK No.31/PUU-XI/2013

Pasal yang diuji Pemohon dalam UU No. 15 Tahun 2011 ini adalah terkait dengan DKPP terutama mengenai Putusan DKPP dalam Pasal 112 ayat (12) UU No. 15 Tahun 2011 dinyatakan bersifat final dan mengikat. Pemohon dalam hal ini bernama Ramdansyah yakni Ketua Panwaslu DKI Jakarta yang diberhentikan oleh DKPP RI. Pemohon dijatuhi hukuman pemberhentian tetap melalui putusan DKPP RI dan Pemohon merasa apa yang dilakukan oleh DKPP itu adalah salah.
Dalam pertimbangan putusannya MK menyatakan bahwa Putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (12) UU No. 15 Tahun 2011 dapat menimbulkan ketidakpastian hukum apakah final dan mengikat yang dimaksud dalam Undang-Undang tersebut adalah sama dengan final dan mengikatnya putusan lembaga peradilan. Untuk menghindari ketidakpastian hukum atas adanya ketentuan tersebut, Mahkamah perlu menegaskan bahwa putusan final dan mengikat DKPP tidak dapat disamakan dengan putusan final dan mengikat dari lembaga peradilan pada umumnya oleh karena DKPP adalah perangkat internal penyelenggara Pemilu yang diberi wewenang oleh Undang-Undang. Sifat final dan mengikat dari putusan DKPP haruslah dimaknai final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, maupun Bawaslu dalam melaksanakan putusan DKPP. Adapun keputusan Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, maupun Bawaslu adalah merupakan keputusan pejabat TUN yang bersifat konkrit, individual, dan final yang dapat menjadi objek gugatan di peradilan TUN. Apakah peradilan TUN akan memeriksa dan menilai kembali putusan DKPP yang menjadi dasar keputusan Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, maupun Bawaslu, hal tersebut adalah merupakan kewenangan peradilan TUN. Dengan demikian putusan final dan mengikat yang dimaksud dalam Undang-Undang a quo haruslah dimaknai final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, maupun Bawaslu yang melaksanakan Putusan DKPP. Adapun karena inti permohonan Pemohon mengenai Putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat telah diberi makna tertentu oleh Mahkamah sehingga tidak menghilangkan frasa final dan mengikat secara keseluruhan.

Analisis

Ketiga putusan ini pada prinsipnya belum dieksekusi dalam bentuk UU Penyelenggara Pemilu yang baru, sebelum adanya RUU Penyelenggaraan Pemilu yang baru saja disetujui bersama kemarin tanggal 20 Juli 2017 yang lalu. RUU ini adalah suatu gagasan untuk mengkodifikasi/mengompilasikan berbagai UU yang terkait dengan Pemilu ke dalam satu naskah (UU Penyelenggara Pemilu yang terakhir ini UU No. 15 Tahun 2011 adalah salah satu diantaranya). Penyatuan UU Pemilu kedalam satu naskah bersama ini pun didasari atas Putusan MK No 14/PUU-XI/2013 yang memerintahkan pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilu DPR, DPD, dan DPRD padat tahun 2019 dilaksanakan secara serentak (Pemilu serentak tahun 2019). Hal inilah yang kemudian mendasari dorongan bahwa jika waktu penyelenggaraan pemilu disederhanakan menjadi dua peristiwa pemilu, maka undang-undangnya juga harus disederhanakan (dikodifikasikan).
Hadirnya RUU Penyelenggara Pemilu ini adalah momentum yang sangat tepat untuk mengeksekusi ketiga putusan MK tersebut karena UU No. 15 Tahun 2011 yang dikoreksi MK melalui 3 putusan MK tersebut termasuk UU yang dilebur dalam RUU Penyelenggaraan Pemilu ini. Hal ini adalah yang paling tepat karena negara kita adalah negara yang menganut sistem civil law yang menitikberatkan pada pengaturan yang bersifat tertulis dalam peraturan perundang-undangan, sehingga perlu implikasi perubahan makna yang timbul dari ketiga putusan MK ini untuk dieksekusi segera.

-

Pada konteks pengujian terhadap UU No. 15 Tahun 2011, sampai saat ini, terdapat 3 (tiga) putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan pengujian undang-undang dengan menyatakan materi atau substansi UU No. 15 Tahun 2011 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pada dasarnya Putusan yang mengabulkan permohonan pengujian undang-undang ini perlu diformalkan dalam bentuk undang-undang karena implikasi amar Putusan MK tersebut.
Meski putusan Mahkamah Konstitusi bisa langsung dilaksanakan tanpa harus menunggu perubahan undang-undang, namun untuk menghindari kekacauan hukum dalam masyarakat akibat tidak terkompilasinya putusan MK dalam satu naskah yang utuh maka pembentuk undang-undang perlu untuk menindaklanjuti berbagai putusan MK tersebut dengan membuat usulan perubahan atas UU No. 15 Tahun 2011 sebagaimana telah diputuskan oleh MK.
Selain menyatakan materi atau substansi UU No. 15 Tahun 2011 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, terdapat beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan suatu norma bersifat conditionally, yakni conditionally unconstitutional dan tidak ditemukan yang bersifat conditionally constitutional.

Memperhatikan beberapa simpulan di atas maka terdapat beberapa hal yang direkomendasikan, yaitu:
1. Presiden dan DPR RI sebagai pembentuk undang-undang perlu segera berinisiatif untuk melakukan penyempurnaan terhadap materi UU No. 15 Tahun 2011 sesuai dengan amar putusan MK dalam 3 (tiga) perkara MK terkait UU No. 15 Tahun 2011 yang amar putusannya mengabulkan permohonan Pemohon tersebut.
2. Adapun pada saat ini adalah saat yang paling tepat untuk mengeksekusi ketiga putusan MK tersebut. Hal ini dikarenakan bahwa pada saat ini sedang dilakukan pembahasan tentang Rancangan Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Pemilu. RUU ini sejatinya telah dimuat dalam Daftar Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2016, yaitu pada nomor 26 dengan judul RUU Kitab Hukum Pemilu (dalam Prolegnas Tahun 2015-2019 tertulis RUU tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum). Dalam kolom keterangan, draft dan RUU Kitab Hukum Pemilu disiapkan oleh Pemerintah. RUU Kitab Hukum Pemilu adalah satu gagasan untuk mengkodifikasi/mengompilasikan berbagai UU yang terkait dengan Pemilu ke dalam satu naskah. Penyatuan UU Pemilu kedalam satu naskah bersama ini pun didasari atas Putusan MK No 14/PUU-XI/2013 yang memerintahkan pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilu DPR, DPD, dan DPRD padat tahun 2019 dilaksanakan secara serentak (Pemilu serentak tahun 2019). Hal inilah yang kemudian mendasari dorongan bahwa jika waktu penyelenggaraan pemilu disederhanakan menjadi dua peristiwa pemilu, maka undang-undangnya juga harus disederhanakan (dikodifikasikan). Oleh karena itu, hal ini adalah momentum yang sangat tepat untuk mengeksekusi ketiga putusan MK tersebut karena UU No. 15 Tahun 2011 yang dikoreksi MK melalui 3 putusan MK tersebut termasuk UU yang dilebur dalam RUU Penyelenggaraan Pemilu ini. Hal ini adalah yang paling tepat karena negara kita adalah negara yang menganut sistem civil law yang menitikberatkan pada pengaturan yang bersifat tertulis dalam peraturan perundang-undangan, sehingga perlu implikasi perubahan makna yang timbul dari ketiga putusan MK ini untuk dieksekusi segera.