Analisis dan Evaluasi UU Berdasarkan Putusan MK


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-evaluasi.phtml on line 66

Warning: Undefined property: stdClass::$resume in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-evaluasi.phtml on line 80

Deprecated: nl2br(): Passing null to parameter #1 ($string) of type string is deprecated in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-evaluasi.phtml on line 80
Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi: Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan / 01-05-2017

Mahkamah Konstitusi (MK) masuk dalam lingkungan kekuasaan kehakiman, yang salah satu tugas dan wewenangnya adalah menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD Tahun 1945). Pemeriksaan terhadap permohonan pengujian Undang-Undang dilakukan atas dasar kerugian/pelanggaran hak konstitusional Pemohon. Pengertian dan batasan secara kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 (UU MK). Terdapat 3 (tiga) permohonan pengujian UU Kesehatan terhadap UUD Tahun 1945 yang menurut Pemohon secara umum telah merugikan/melanggar hak konstitusional untuk mendapat perlindungan, kepastian hukum yang adil, jaminan hak asasi, hak untuk hidup sejahtera, dan hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Adapun pengujian UU Kesehatan yang tercatat dalam registrasi MK dengan Nomor Perkara sebagai berikut:
1. Perkara Nomor 12/PUU-VIII/2010
2. Perkara Nomor 34/PUU-VIII/2010
3. Perkata Nomor 57/PUU-IX/2011

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal, ayat suatu undang-undang yang dinyatakan MK sebagai konstitusinalitas / inskonstitusional bersyarat?
3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu undang-undang jika suatu pasal, ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal, ayat lain yang tidak diujikan?

Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal, yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD Tahun 1945.
Secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frasa “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dalam rangkaian pemeriksaan” sedangkan frasa mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harfiah ini maka frasa final dan frasa mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya dari suatu proses pemeriksaan telah memiliki kekuatan mengeratkkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum.
Sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu final yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Konsep ini mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni secara sederhana dan cepat sebagaimana diuraikan dalam penjelasan UU MK. Menurut Maruarar Siahaan Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan dihadapan sidang terbuka umum mempunyai 3 kekuatan yaitu: kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutoarial.

Pada prinsipnya kesehatan merupakan hak asasi manusia yang diatur penyelenggaraannya oleh negara. Sehubungan dengan hal tersebut pemerintah melakukan pembangunan kesehatan melalui upaya meningkatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya pada mulanya berupa upaya penyembuhan penyakit, kemudian secara berangsur-angsur berkembang ke arah keterpaduan upaya kesehatan untuk seluruh
masyarakat dengan mengikutsertakan masyarakat secara luas yang
mencakup upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang
bersifat menyeluruh terpadu dan berkesinambungan. Secara hierarki UU melaksanakan amanah konstitusi dan ketentuannya tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Begitu pula dengan ditetapkannya UU
Kesehatan sebagai amanah Pasal 28H UUD 1945 yang menjadi
landasan konstitusional kesehatan. Ketentuan ini memperkuat
landasan pemikiran kesehatan sebagai bagian dari hak asasi manusia dan merupakan salah satu unsur kesejahteraan yang
harus diwujudkan. Untuk mewujudkan hal tersebut konstitusi
memberikan jaminan bahwa setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan. Untuk Perkara Nomor 12/PUU-VIII/2010, MK
memutuskan conditionally unconstitutional (bahwa suatu norma dalam
undang-undang dianggap bertentangan dengan konstitusi
bila tidak sesuai dengan apa yang ditentukan Mahkamah
Konstitusi) sepanjang kalimat, “... harus dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.” dalam Pasal 108
ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak
dimaknai bahwa tenaga kesehatan tersebut adalah tenaga
kefarmasian, dan dalam hal tidak ada tenaga kefarmasian, tenaga
kesehatan tertentu dapat melakukan praktik kefarmasian secara
terbatas, antara lain, dokter dan/atau dokter gigi, bidan,
dan perawat yang melakukan tugasnya dalam keadaan darurat
yang mengancam keselamatan jiwa dan diperlukan tindakan
medis segera untuk menyelamatkan pasien. Adapun Pasal 108
ayat (1) berbunyi “Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Sedangkan penjelasan Pasal 108 ayat (1) UU Kesehatan yang berbunyi “Yang dimaksud dengan “tenaga kesehatan” dalam ketentuan ini adalah tenaga kefarmasian sesuai dengan keahlian dan kewenangannya. Dalam hal tidak ada tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan tertentu dapat melakukan praktik kefarmasian secara terbatas,
misalnya antara lain dokter dan/atau dokter gigi, bidan, dan
perawat, yang dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”, diputuskan bertentangan dengan
UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Putusan
MK tersebut sejalan dengan ketentuan UU Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menegaskan bahwa penjelasan tidak boleh membuat norma, tidak boleh menjelaskan sesuatu yang bertentangan dengan norma, tidak boleh mengatur norma tersendiri, tidak bolehmembuat sesuatu yang berbeda atau menyimpang dari apa yang dirumuskan dalam norma dalam pasal-pasal. Jadi penjelasan hanya berfungsi untuk menjelaskan saja, misalnya,
penjelasan kata-kata, istilah-istilah asing, atau istilah-istilah teknis, yang tidak dipahami oleh orang awam yang dirasa perlu untuk dijelaskan supaya orang mengerti dalam membaca norma pasal tersebut. Selain itu, MK memutuskan pembatalan ketentuan UU karena dinilai bertentangan dengan konstitusi dan menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat dalampengujian UU Kesehatan untuk Perkara Nomor 34/PUU-VIII/2010 yaitu kata “dapat” dalam Penjelasan Pasal
114 dan frasa “berbentuk gambar” dalam Pasal 199 ayat (1).
Adapun terkait dengan eksistensi penjelasan pasal maka telah ditegaskan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 bahwa Penjelasan tidak boleh membuat norma, tidak boleh menjelaskan sesuatu yang bertentangan dengan norma, tidak boleh mengatur norma tersendiri, tidak boleh membuat
sesuatu yang berbeda atau menyimpang dari apa yang dirumuskan
dalam norma dalam pasal-pasal. Dalam hal ini terjadi ketidakkonsistenan/disharmoni pembuat UU dalam membuat norma. Ketentuan Pasal 114 berbunyi “Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan rokok ke wilayah Indonesia wajib mencantumkan peringatan kesehatan”, selajutnya kata peringatan kesehatan diuraikandalam penjelasan Pasal 114 berbunyi “Yang dimaksud dengan “peringatan kesehatan” dalam ketentuan ini adalah tulisan yang jelas dan mudah terbaca dan dapat disertai gambar atau bentuk lainnya”.Terhadap
penjelasan mengenai kata gambar atau bentuk lainnyamengandung ketidakpastian hukum jika dihubungkan dengan ketentuan Pasal 199 ayat (1) yang berbunyi “Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau memasukkan rokok ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tidak mencantumkan peringatan kesehatan berbentuk
gambar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 dipidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan dendan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”.Dari ketentuan tersebut terdapat ketidakpastian hukum norma Undang-Undang padahal landasan hukum peringatan kesehatan sangat penting sebagai informasi bagi konsumen untuk memperoleh informasi bahaya rokok. Selanjutnya untuk Perkara Nomor
34/PUU-VIII/2010, dalam amar putusan, MK mencantumkan
normatif ketentuan yang dibunyikan secara lengkap terhadap
ketentuan pasal dan penjelasan yang diujikan, menjadikan
masyarakat jelas dalam memperoleh kepastian hukum
terhadap norma peringatan kesehatan terhadap produk rokok. Kemudian untuk Perkara Nomor 57/PUU-IX/2011 MK memutuskan mengabulkan untuk seluruhnya terhadap
permohonan
pengujian UU Kesehatan yaitu terkait dengan pembatalan kata “dapat” dalam Penjelasan Pasal 115 ayat (1) yang berhubungan dengan penyediaan tempat untuk merokok pada tempat kerja, tempat umum dan tempat lainnya. Adapun Pasal 115 ayat (1) berbunyi “Kawasan tanpa rokok antara lain:
a. fasilitas pelayanan kesehatan;
b. tempat proses belajar mengajar;
c. tempat anak bermain;
d. tempat ibadah;
e. angkutan umum;
f. tempat kerja; dan
g. tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan”.
Sedangkan penjelasan Pasal 115 ayat (1) berbunyi “Khusus
bagi tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya dapat
menyediakan tempat khusus untuk merokok.” Kata dapat
menurut Kamus Bahasa Indonesia mempunyai arti boleh dan jika
ditinjau dari pandangan hukum tidak mengandung kepastian
hukum. Terdapat disharmoni antara ketentuan Pasal 115 ayat (1) yang berbunyi ‘kawasan tanpa rokok’ dengan kata ‘dapat’terkait dengan tempat khusus untuk merokok dalam penjelasan Pasal 115 ayat (1). Dikaitkan dengan hak warga negara maka terdapat dua sisi yaitu warga negara yang harus dilindungi dari bahaya rokok dan warga negara perokok yang
mempunyai hak merokok, karena rokok adalah produk legal.
Dengan adanya materi UU Kesehatan yang diputus secara bersyarat dan dibatalkan oleh MK sebagaimana tersebut di atas, telah memenuhi persyaratan untuk dilakukan penyempurnaan UU Kesehatan oleh pembentuk UU dalam rangka menghindari kekosongan hukum.

Terkait dengan putusan MK terhadap pengujian UU Kesehatan, DPR sebagai pembentuk undang-undang bersama-sama Presiden memiliki peran penting dalam menindaklanjuti putusan yang telah ditetapkan oleh MK. Putusan MK bersifat final dan mengikat menjadi acuan dalam proses pembentukan undang-undang selanjutnya.Hal tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 10 huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) yang menyatakan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi tindak lanjut atas putusan MK. Evaluasi UU Kesehatan terhadap 3 (tiga) perkara pengujian Undang-Undang di MK adalah meliputi kewenangan tenaga kesehatan dalam melakukan praktik kefarmasian, peringatan kesehatan pada rokok, dan penyediaan tempat untuk merokok pada tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya adalah untuk ditindaklanjuti sesuai dengan amar putusan MK. Dalam amar putusannya MK mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian terhadap pengujian UU Kesehatan dalam Perkara Nomor 12/PUU-VIII/2010 dan Perkara Nomor 34/PUU-VIII/2010, selain itu MK dalam amar putusan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya dalam Perkara Nomor 57/PUU-IX/2011.

Terkait dengan pemeriksaan dan penilaian terhadap 3 (tiga) perkara pengujian UU Kesehatan yaitu Perkara Nomor 12/PUU-VIII/2010 mengenai kewenangan tenaga kesehatan dalam melakukan praktik kefarmasian, Perkara Nomor 34/PUU-VIII/2010 mengenai peringatan kesehatan pada rokok, dan Perkara Nomor 57/PUU-IX/2011 mengenai penyediaan tempat untuk merokok pada tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya, MK memberikan pendapat hukum. Kemudian MK
menetapkan putusan yang dalam amar putusannya MK menetapkan
beberapa keputusan yaitu mengabulkan permohonan Pemohon
untuk sebagian terhadap pengujian UU Kesehahatan dalam Perkara Nomor 12/PUU-VIII/2010 dan Perkara Nomor 34/PUU-VIII/2010, selain itu MK dalam amar putusan mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya dalamPerkara Nomor 57/PUU-IX/2011. Sehubungan dengan putusan MK, DPR RI sebagai pembentuk undang-undang bersama-sama Presiden memiliki kewenangan untuk menindaklanjuti putusan yang telah ditetapkan oleh MK.
Putusan MK bersifat final dan mengikat menjadi acuan dalam
proses pembentukan undang-undang selanjutnya oleh Presiden
dan DPR RI. Hal demikian sejalan dengan ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang salah satunyaberisi tindak lanjut atas putusan MK. Adapun tindak lanjut tersebut untuk mencegah terjadinya
kekosongan hukum.

Hasil analisis dan evaluasi UU Kesehatan
adalah perbaikan materi undang-undang Kesehatan terutama
dengan memperbaiki conditionally unconstitutional terhadap
kewenangan tenaga kesehatan dalam melakukan praktik
kefarmasian, penggunaan tanda gambar dan bentuk lainnya
sebagai informasi bahaya merokok bagi konsumen, serta pemberian hak bagi perokok untuk merokok di tempat umum, tempat kerja dan tempat lainnya yang disediakan ruangankhusus merokok. Perbaikan materi tersebut hendaknya dituangkan dalam rencana perubahan atau penggantian UU Kesehatan dalam Program Legislasi Nasional untuk kumulatif terbuka maupun menjadi skala prioritas tahunan.