Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak dan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 16/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 30-03-2023

Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) yang diwakili oleh Gede Pasek Suardika (Ketua Umum) dan Sri Mulyono (Sekretaris Jenderal), dalam hal ini memberikan kuasa kepada Rio Ramabaskara, S.H., M.H., dkk yang tergabung dalam Tim Advokat Kebangkitan Nusantara, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 222 UU 7/2017

Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materiil UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.6] Menimbang bahwa untuk menilai kedudukan hukum Pemohon a quo, Mahkamah perlu mengaitkan dengan petitum Pemohon dalam permohonannya yang memohon kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 222 UU 7/2017 dimaknai “Persyaratan pengusulan pasangan calon tidak diberlakukan bagi partai politik peserta pemilu yang belum pernah mengikuti pemilu periode sebelumnya”. Terhadap adanya petitum Pemohon demikian dan dikaitkan dengan kedudukan hukum Pemohon, Mahkamah selanjutnya mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.6.1] Bahwa berkenaan dengan kedudukan hukum Pemohon dalam perkara pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017, Mahkamah dalam pertimbangan hukum Sub-paragraf [3.6.2] dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-XX/2022 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 7 Juli 2022, mempertimbangkan bahwa, “... pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian norma Pasal 222 UU 7/2017 a quo adalah (i) partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu; dan (ii) perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk dipilih dan didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden atau menyertakan partai politik pendukung untuk secara bersama-sama mengajukan permohonan”;
[3.6.2] Bahwa selain Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-XX/2022, Mahkamah telah pula memutus perihal pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017 yang diajukan oleh Pemohon Partai Politik yaitu, antara lain, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-XX/2022 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 29 September 2022. Mahkamah dalam putusan sebelumnya tersebut memberikan kedudukan hukum kepada partai politik sebagai pemohon dalam permohonan pengujian Pasal 222 UU 7/2017 karena pemohon tersebut adalah partai politik yang mempermasalahkan perihal jumlah minimum (ambang batas minimum) perolehan suara bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Demikian pula terhadap Pemohon dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 11 Januari 2018, yaitu Partai Islam Damai Aman (IDAMAN), Mahkamah juga memberikan kedudukan hukum meskipun partai tersebut belum pernah mengikuti Pemilu pada saat mengajukan permohonan pengujian Pasal 222 UU 7/2017, namunyang dipersoalkannya pada saat itu adalah mengenai ambang batas, dan bukan mengenai pengusulan calon Presiden dan/atau calon Wakil Presiden. Adapun Pemohon a quo tidak mempermasalahkan jumlah minimum (ambang batas minimum) perolehan suara bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, melainkan memohon kepada Mahkamah agar dirinya sebagai partai politik peserta Pemilu yang belum pernah mengikuti Pemilu pada periode sebelumnya menjadi dapat turut serta mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Terlebih, Pemohon sebagai partai politik yang belum pernah sebagai peserta Pemilu belumlah teruji akseptabilitas dan kualitas partai politik yang bersangkutan atas penilaian masyarakat dan hal ini tidak terlepas atau berpengaruh terhadap kualitas calon Presiden dan/atau calon Wakil Presiden yang diusulkannya.
[3.6.3] Bahwa selain itu, menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 222 UU 7/2017 yang menyatakan, “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya”, adalah dimaksudkan untuk mengatur jumlah minimum (ambang batas minimum) perolehan suara sebagai syarat yang berlaku bagi Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang telah mengikuti Pemilu sebelumnya dalam mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.
Dengan demikian, oleh karena Pemohon adalah partai politik yang belum pernah mengikuti Pemilihan Umum pada Pemilu sebelumnya dan baru menjadi partai politik peserta yang akan mengikuti Pemilihan Umum pada Tahun 2024, sedangkan norma yang terkandung dalam Pasal 222 UU 7/2017 adalah diberlakukan terhadap partai politik yang telah pernah mengikuti Pemilu dan telah memperoleh dukungan suara tertentu, maka menurut Mahkamah, batasan/ketentuan dalam Pasal 222 UU 7/2017 tidak dapat diberlakukan bagi Pemohon. Dalam kaitan dengan hal ini, Hakim Konstitusi Suhartoyo telah mengajukan dissenting opinion sebagaimana pendiriannya pada putusan-putusan sebelumnya.
[3.7] Menimbang bahwa berdasarkan uraian di atas, menurut Mahkamah, Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Meskipun demikian, tanpa bermaksud mempertimbangkan pokok permohonan, menurut Mahkamah ketentuan Pasal 222 UU 7/2017 yang menentukan persyaratan pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dengan mendasarkan pada perolehan kursi DPR atau suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya, tidaklah berarti menghalangi hak konstitusional Pemohon sebagai partai politik baru untuk turut serta mengusung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu yang akan datang setelah Pemilu 2024, karena Pemohon tetap dapat menggabungkan diri dengan partai politik atau gabungan partai politik lain yang telah memenuhi syarat ambang batas dalam pencalonan Presiden dan Wakil Presiden.
[3.8] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun oleh karena Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 17/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2020 TENTANG PERUBAHAN KETIGA UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 30-03-2023

Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, S.H. yang selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 23 ayat (1) UU 7/2020

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap Pasal 23 ayat (1) UU MK dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.7] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut provisi dan pokok permohonan Pemohon, Mahkamah mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1. Bahwa Petitum Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 23 ayat (1) UU MK bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat sepanjang dimaknai meliputi juga “diberhentikan oleh Lembaga Pengusung karena menganulir atau membatalkan Produk Hukum yang dibuat oleh Lembaga Pengusung”. Dengan kata lain Pemohon menginginkan agar Pasal 23 ayat (1) UU MK dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 jika ditafsirkan bahwa pemberhentian hakim konstitusi dengan hormat meliputi juga “diberhentikan oleh Lembaga Pengusung karena menganulir atau membatalkan Produk Hukum yang dibuat oleh Lembaga Pengusung”.
2. Bahwa setelah mencermati syarat inkonstitusionalitas yang dirumuskan dalam petitum Pemohon demikian, menurut Mahkamah pada dasarnya Pemohon hendak mengatakan bahwa pemberhentian “… oleh Lembaga Pengusung karena menganulir atau membatalkan Produk Hukum yang dibuat oleh Lembaga Pengusung” seharusnya tidak termasuk sebagai alasan pemberhentian dengan hormat yang diatur Pasal 23 ayat (1) UU MK.
3. Bahwa dilihat dari sistematika UU MK, Pasal 23 secara khusus mengatur mengenai alasan pemberhentian hakim konstitusi, di mana Pasal 23 ayat (1) mengatur alasan pemberhentian dengan hormat, sementara Pasal 23 ayat (2) mengatur alasan pemberhentian tidak dengan hormat.
4. Bahwa jika alur penalaran permohonan Pemohon diikuti maka rumusan Pasal 23 ayat (1) UU MK akan memuat lima alasan pemberhentian dengan hormat hakim konstitusi (yang dirumuskan dalam huruf a, b, c, d, dan e) sekaligus satu alasan (yang dimohonkan Pemohon) yang tidak termasuk dalam kategori pemberhentian dengan hormat. Artinya dalam satu nafas, ayat (1) dari Pasal 23 UU MK akan sekaligus memuat dua kategori yang bertolak belakang, yaitu kategori pemberhentian dengan hormat yang dianggap Pemohon konstitusional dan kategori pemberhentian yang dianggap Pemohon inkonstitusional. Lebih lanjut, penyatuan dua kategori konstitusionalitas demikian potensial memunculkan kontradiksi yang pada akhirnya Pasal 23 ayat (1) UU MK justru tidak lagi dapat dipahami apalagi dilaksanakan, yang tentunya justru merugikan Pemohon dan masyarakat karena pengaturan mengenai alasan pemberhentian dengan hormat hakim konstitusi tidak lagi dapat diterapkan.
5. Bahwa penambahan makna baru, secara teknis logika hukum, hanya dimungkinkan untuk dilakukan kepada rumusan norma yang mempunyai kedekatan konteks dengan makna baru yang hendak ditambahkan, serta hasil penambahan makna tersebut tidak justru membuat makna keseluruhan menjadi kabur. Dalam permohonan a quo Mahkamah menilai makna baru yang dimohonkan oleh Pemohon sebagai syarat untuk menyatakan inkonstitusionalitas Pasal 23 ayat (1) UU MK berjarak secara konteks bahkan dapat dikatakan justru mengakibatkan kekaburan makna Pasal 23 ayat (1) UU MK secara keseluruhan. Dengan kata lain, ketentuan Pasal 23 ayat (1) UU MK mengatur tentang alasan dapat diberhentikan dengan hormat sebagai hakim konstitusi. Sebaliknya, petitum yang dimohonkan Pemohon justru mengandung norma berupa larangan sehingga terjadi pertentangan (contradictio in terminis).
6. Bahwa petitum yang diajukan Pemohon dalam pemahaman Mahkamah terlihat sebagai pemaknaan dalam dua tingkat/langkah, yaitu: langkah pertama, memberikan tambahan makna bagi Pasal 23 ayat (1) UU MK berupa alasan pemberhentian. Langkah kedua, Pasal 23 ayat (1) UU MK yang sudah dilekati tambahan makna tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Pola pemaknaan inkonstitusionalitas bersyarat yang demikian menurut Mahkamah jika diikuti dan diterapkan akan menyulitkan masyarakat dalam memahami Pasal 23 ayat (1) UU MK.
7. Bagi Mahkamah rumusan makna baru demikian akan lebih mudah dipahami secara logika hukum apabila dirumuskan terpisah dari Pasal 23 ayat (1) UU MK, misalnya di ayat yang lain atau bahkan dirumuskan sebagai pasal terpisah. Meskipun di sisi lain perumusan norma baru secara terpisah demikian mengarah pada praktik positive legislator yang tidak dapat dilakukan Mahkamah karena bertabrakan dengan kewenangan konstitusional pembentuk undang-undang.

[3.8] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan dalam paragraf di atas, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon kabur dan karenanya permohonan Pemohon tidak dapat diperiksa dan/atau dipertimbangkan lebih lanjut.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dikabulkan Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 23/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 30-03-2023

Belly Respati, S.H, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 26 ayat (2) huruf b dan Pasal 53 ayat (3) UU Desa

UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap Pasal Pasal 26 ayat (2) huruf b dan Pasal 53 ayat (3) UU Desa dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
a …
b Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK), terhadap Permohonan Nomor 23/PUU-XXI/2023 tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1) Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 23.23/ PUU/TAP.MK/Panel/02/2023 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Perkara Nomor 23/PUU- XXI/2023, bertanggal 22 Februari 2023;
2) Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 23.23/PUU/TAP.MK/HS/02/2023 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama untuk memeriksa Perkara Nomor 23/PUU-XXI/2023, bertanggal 22 Februari 2023;
c Bahwa sesuai dengan Pasal 34 UU MK, Mahkamah telah melaksanakan Sidang Panel Pemeriksaan Pendahuluan terhadap permohonan a quo pada tanggal 6 Maret 2023, namun karena Pemohon mengalami kendala teknis maka Mahkamah menjadwalkan kembali Sidang Panel Pemeriksaan Pendahuluan pada tanggal 9 Maret 2023 dan sesuai dengan Pasal 39 UU MK serta Pasal 41 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, Panel Hakim telah memberi nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya. Dalam sidang dimaksud Pemohon menyatakan menarik kembali permohonannya dengan alasan karena yang Pemohon persoalkan adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 67 Tahun 2017, yang kemudian Pemohon menyadari bahwa pengujian peraturan menteri bukan merupakan kewenangan Mahkamah, sehingga Pemohon menarik kembali permohonannya.
d bahwa terhadap penarikan kembali permohonan Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan Permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali;
e bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf d di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 21 Maret 2023 telah menetapkan pencabutan atau penarikan kembali permohonan Perkara Nomor 23/PUU-XXI/2023 adalah beralasan menurut hukum dan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo;
f bahwa berdasarkan pertimbangan hukum pada huruf e di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada Pemohon;

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dinyatakan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 1/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2023 TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 28-02-2023

Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, S.H.

Pasal 433 ayat (3), Pasal 434 ayat (2), dan Pasal 509 huruf a dan b UU KUHP

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

[3.6] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara saksama uraian Pemohon dalam menguraikan kedudukan hukumnya, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.5] di atas serta kualifikasi dan syarat kedudukan hukum Pemohon sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.6.1] Bahwa norma yang diajukan pengujiannya oleh Pemohon berkenaan dengan ketentuan yang mengatur tentang tindak pidana pencemaran nama baik dan tentang pidana pemberian keterangan yang tidak sebenarnya sebagaimana tertuang dalam Pasal 433 ayat (3), Pasal 434 ayat (2), dan Pasal 509 huruf a dan huruf b UU 1/2023. Pemohon dalam hal ini berkedudukan sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk [vide bukti P-3]. Pemohon menerangkan memiliki hak konstitusional atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang dianggap dirugikan dengan berlakunya norma Pasal-Pasal a quo;

[3.6.2] Bahwa norma Pasal-Pasal a quo terdapat dalam UU 1/2023 yang telah disahkan dan diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. Meskipun demikian, berdasarkan Pasal 624 BAB XXXVII Ketentuan Penutup, Undang-Undang a quo mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Artinya, UU a quo akan mulai berlaku pada tanggal 2 Januari 2026. Adapun permohonan Pemohon diajukan pada tanggal 19 Desember 2022 dan diregistrasi Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 4 Januari 2023, sehingga pada saat permohonan ini diajukan ke Mahkamah Konstitusi dan diperiksa sebagai perkara pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, Undang-Undang a quo yang diajukan pengujiannya belum berlaku;

[3.6.3] Bahwa mendasarkan pada Putusan Mahkamah yang menetapkan beberapa syarat kerugian konstitusional yang bersifat kumulatif untuk memberikan kedudukan hukum kepada Pemohon sebagaimana diuraikan dalam Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4] di atas, dalam hal ini Pemohon telah dapat menjelaskan adanya hak konstitusional yang diberikan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Selanjutnya, dikaitkan dengan syarat kedua yaitu adanya anggapan bahwa hak konstitusional yang diberikan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tersebut dirugikan oleh berlakunya undang-undang dalam hal ini UU 1/2023, menurut Mahkamah, terkait dengan hal a quo secara tegas diperlukan syarat yang bersifat imperatif yaitu anggapan kerugian konstitusional yang dimiliki oleh Pemohon dirugikan dengan berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujiannya. Oleh karena itu, apabila hal ini dikaitkan dengan fakta hukum yang ada dalam persidangan, hal yang dialami oleh Pemohon, telah ternyata hak konstitusional Pemohon tersebut belum ada kaitannya dengan berlakunya norma undang-undang, in casu UU 1/2023. Dengan kata lain, pasal-pasal yang ada dalam UU 1/2023 yang diajukan pengujian oleh Pemohon terdapat dalam Undang-Undang yang belum berlaku dan dengan sendirinya belum mempunyai kekuatan hukum mengikat, sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 87 Undang-Undang 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 (UU 12/2011) yang menyatakan, “Peraturan Perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan”. Berkaitan dengan itu, Pasal 624 UU 1/2023 menyatakan, “Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan”. Dengan demikian, Undang-Undang a quo belum berdampak terhadap adanya anggapan kerugian konstitusional, baik secara potensial, apalagi secara aktual kepada Pemohon.

[3.6.4] Bahwa yang dimaksud dengan anggapan kerugian konstitusional yang bersifat aktual adalah anggapan kerugian konstitusional konkret/riil yang pernah dialami karena disebabkan berlakunya suatu norma undang-undang. Sedangkan, yang dimaksud dengan anggapan kerugian konstitusional yang bersifat potensial adalah kerugian yang belum pernah secara konkret/riil dialami, namun suatu saat berpotensi dialami karena disebabkan berlakunya suatu norma undang-undang. Oleh karena itu, baik anggapan kerugian konstitusional yang bersifat aktual maupun potensial keduanya tetap bertumpu pada telah adanya norma undang-undang yang berlaku. Dengan demikian, berdasarkan fakta hukum bahwa UU 1/2023 baru mulai berlaku 3 (tiga) tahun sejak tanggal diundangkan [vide Pasal 624 BAB XXXVII Ketentuan Penutup UU 1/2023], pemberlakuan demikian berakibat hukum UU a quo belum memiliki kekuatan hukum mengikat sehingga menyebabkan tidak terpenuhinya syarat-syarat anggapan kerugian konstitusonal sebagaimana dimaksudkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007. Dengan demikian, Pemohon telah terbukti tidak memenuhi persyaratan adanya anggapan kerugian konstitusional dengan berlakunya norma undang-undang. Sehingga, terkait dengan syarat selebihnya, yaitu adanya anggapan kerugian konstitusional yang bersifat spesifik dan adanya hubungan sebab akibat (causal verband) yang ditimbulkan antara hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 dengan berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian, dengan sendirinya tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan, karena syarat-syarat anggapan kerugian konstitusional dimaksud adalah bersifat kumulatif.

[3.6.5] Bahwa terkait dengan pendirian Mahkamah dalam mempertimbangkan kedudukan hukum Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah untuk mengaitkan dengan pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110/PUU-X/2012 yang diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum pada tanggal 28 Maret 2013, di mana dalam putusan tersebut Mahkamah memberikan kedudukan hukum kepada para Pemohon sekalipun pada saat permohonan perkara yang bersangkutan dilakukan pengujian terhadap pasal-pasal undang-undang yang belum dinyatakan berlaku, yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Berkenaan dengan hal ini, Mahkamah menegaskan bahwa UU SPPA mempunyai karakter yang sangat berbeda dengan UU 1/2023, di mana UU SPPA adalah undang-undang yang memuat norma yang kemudian dilakukan pengujian oleh para Pemohon dalam perkara yang bersangkutan, berkaitan dengan ancaman pidana bagi para penegak hukum yang sedang melaksanakan tugasnya dalam penegakan hukum, yang tidak diatur dalam norma undang-undang sebelumnya yang berkaitan yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Oleh karena itu, sekalipun UU SPPA belum diberlakukan pada saat permohonan perkara yang bersangkutan diajukan, Mahkamah menilai ada keadaan yang mendesak untuk segera diputuskannya terhadap perkara dimaksud, agar tidak ada rasa kekhawatiran atau bahkan ketakutan para penegak hukum dalam melaksanakan tugas penegakan hukum, khususnya dalam mengadili perkara yang melibatkan tersangka/terdakwanya adalah anak. Kekhawatiran demikian dapat terjadi disebabkan proses perkara pidana bisa berlangsung dalam waktu yang lama dan mungkin saja akan melewati proses pra dan pasca saat dinyatakannya mulai berlaku UU SPPA. Oleh karena itu, sangat mungkin berdampak dikenakannya norma pasal-pasal yang bersangkutan untuk memidanakan para penegak hukum. Dengan demikian, fakta-fakta hukum tersebut dapat memberikan peluang adanya ketidakpastian hukum dalam implementasi norma pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dalam UU SPPA, apabila norma tersebut dinyatakan konstitusional. Fakta hukum tersebut berbeda dengan karakter UU 1/2023, di mana secara faktual belum diberlakukannya norma-norma yang ada tidak mengakibatkan adanya kekosongan hukum, karena terdapat KUHP yang masih berlaku, sehingga potensi adanya ketidakpastian hukum tidak akan terjadi. Dengan kata lain, apabila norma-norma dalam UU 1/2023 telah dinyatakan berlaku, sama halnya dengan Mahkamah membenarkan berlakunya dua KUHP (yaitu KUHP yang masih berlaku dan KUHP yang akan berlaku) dalam waktu yang bersamaan. Jika hal demikian dibenarkan justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penegakan hukum pidana.

[3.6.6] Bahwa di samping pertimbangan hukum tersebut di atas, adanya pendirian demikian, juga didasarkan pada argumen, bahwa Mahkamah mempunyai alasan lain yaitu putusan-putusan Mahkamah Konstitusi bisa saja mengalami penyempurnaan, sepanjang hal tersebut dikaitkan dengan hubungan dan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, dalam perspektif pemberian kedudukan hukum kepada pemohon, Mahkamah harus mempertimbangkan syarat yang bersifat absolut dan kumulatif, yaitu adanya subjek hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 UU MK dan syarat-syarat anggapan kerugian konstitusional sebagaimana yang ditentukan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007. Terlebih, dalam mempertimbangkan dan menilai persyaratan kedudukan hukum pemohon di Mahkamah Konstitusi tidak dapat dipisahkan dengan isu konstitusionalitas dan berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian. Dengan demikian, bisa jadi dalam memberikan kedudukan hukum antara permohonan yang satu dengan yang lainnya, Mahkamah dapat memberikan pertimbangan yang berbeda.

[3.6.7] Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berkesimpulan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Namun demikian, seandainyapun Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, quod non, dan Mahkamah dapat masuk untuk mempertimbangkan pokok permohonan, namun oleh karena ketentuan Pasal 433 ayat (3), Pasal 434 ayat (2), dan Pasal 509 huruf a dan huruf b UU 1/2023 merupakan ketentuan norma yang belum berlaku dan belum memiliki kekuatan hukum mengikat, Mahkamah akan berpendirian bahwa permohonan Pemohon adalah permohonan yang prematur.

[3.7] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, Mahkamah tidak mempertimbangkan permohonan lebih lanjut.

[3.8] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Mengabulkan Penarikan Kembali Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 3/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 SEBAGAIMANA TERAKHIR DIUBAH OLEH UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH AGUNG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 28-02-2023

Ihda Misla, S.E. (Pensiunan PNS) yang memberi kuasa kepada Henny Aliah Zahra, S.H., Riski Syah Putra Nasution, S.H., dan Nurlaila, S.H., M.H, seluruhnya adalah advokat/kuasa hukum pada Kantor Hukum Henny Aliah Zahra & Rekan untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat (1) UU MA

Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 28A, Pasal 28C ayat (1), dan 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat (1) UU MA dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

Dalam Provisi
[3.7] Menimbang bahwa Pemohon dalam petitumnya memohon agar Mahkamah memrioritaskan pemeriksaan perkara a quo, namun petitum provisi a quo tidak didahului dengan alasan pentingnya mengajukan permohonan provisi. Terhadap petitum provisi tersebut, oleh karena tidak terdapat alasan atau argumentasi mengenai diajukannya permohonan provisi tersebut di dalam alasan-alasan permohonan, namun tiba-tiba muncul di dalam Petitum, sehingga Mahkamah tidak mengetahui alasan sesungguhnya dari Pemohon yang menginginkan permohonan a quo menjadi perkara yang diprioritaskan untuk segera diputus. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat permohonan provisi yang dimohonkan oleh Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.

Pokok Permohonan
[3.8] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca secara saksama permohonan Pemohon beserta bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon, penting bagi Mahkamah untuk terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
[3.8.1] Bahwa sebelum Mahkamah lebih jauh mempertimbangkan dalil-dalil permohonan Pemohon, terlebih dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan sistematika permohonan yang diajukan oleh Pemohon. Berdasarkan Pasal 10 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021) menyatakan sebagai berikut:
(1) ...
(2) Permohonan yang diajukan oleh Pemohon dan/atau kuasa hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
a. ...;
b. uraian yang jelas mengenai:
1 kewenangan Mahkamah, yang memuat penjelasan mengenai kewenangan Mahkamah dalam mengadili perkara PUU sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan serta objek permohonan;
2 kedudukan hukum Pemohon, yang memuat penjelasan mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dianggap dirugikan dengan berlakunya undang-undang atau Perppu yang dimohonkan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4; dan
3 alasan permohonan, yang memuat penjelasan mengenai pembentukan undang-undang atau Perppu yang tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang atau Perppu berdasarkan UUD 1945 dan/atau bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang atau Perppu bertentangan dengan UUD 1945.
c. petitum, yang memuat hal-hal yang diminta untuk diputus dalam permohonan pengujian formil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), yaitu:
1. ...;
2. dst
d. petitum, yang memuat hal-hal yang diminta untuk diputus dalam permohonan pengujian materiil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4), yaitu:
1. mengabulkan permohonan Pemohon;
2. menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang atau Perppu yang dimohonkan pengujian bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
3. memerintahkan pemuatan Putusan dalam Berita Negara Republik Indonesia;
atau dalam hal Mahkamah berpendapat lain, mohon Putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

[3.8.2] Bahwa perbaikan permohonan tidak disusun sesuai dengan sistematika sebagaimana yang telah ditentukan dalam PMK 2/2021. Perbaikan permohonan terdiri atas A. Kewenangan Mahkamah Konstitusi, B. Kedudukan Hukum (legal standing) Pemohon, C. Alasan-Alasan Pemohon, D. Norma Yang Diuji, E. Kedudukan dan Kerugian Pemohon, dan F. Petitum.

[3.8.3] Bahwa walaupun pada bagian “Kedudukan hukum (legal standing) Pemohon” dan bagian “Kedudukan dan Kerugian Pemohon” tidak disusun menjadi satu kesatuan dalam menjelaskan mengenai kedudukan hukum, tetapi Mahkamah dapat memahaminya dan telah mempertimbangkan mengenai kedudukan hukum Pemohon sebagaimana termuat dalam Paragraf [3.5]. Namun demikian, setelah Mahkamah mencermati dengan saksama pada permohonan bagian “E. mengenai Kedudukan dan Kerugian Pemohon”, telah ternyata bahwa dalam uraian Kedudukan dan Kerugian Pemohon juga terdapat uraian mengenai argumentasi permohonan, seperti asas, teori dan perbandingan dengan negara lain yang seharusnya diletakkan pada bagian alasan-alasan permohonan (posita). Hal demikian justru menyebabkan permohonan menjadi rancu, karena Pemohon telah mencampuradukan antara uraian kerugian hak konstitusional yang dialaminya dengan alasan-alasan permohonan.

[3.8.4] Bahwa selain itu, terdapat kondisi yang berbeda dan tidak proporsional, di satu sisi mengenai “Kedudukan dan Kerugian Pemohon”, Pemohon menguraikan banyak hal, sementara itu uraian mengenai alasan-alasan permohonan justru didalilkan oleh Pemohon dengan sangat singkat dan tidak terdapat pula uraian mengenai pertentangan antara pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dengan UUD 1945. Pemohon hanya menyatakan upaya hukum peninjauan kembali yang telah ditempuh dan adanya ketentuan SEMA Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana (SEMA 7/2014) yang membatasi Pemohon untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali untuk yang kedua kalinya. Uraian alasan-alasan permohonan yang demikian justru menjadikan permohonan sumir dan tidak jelas, apakah yang dipersoalkan oleh Pemohon adalah norma undang-undang atau SEMA 7/2014. Terlebih, dalam permohonan Pemohon menghendaki pengujian yang bersifat kumulatif-alternatif yang dirumuskan dengan frasa “dan/atau”, mulai dari perihal sampai dengan petitum permohonan, yang seolah-olah mendorong Mahkamah untuk menentukan pilihan atau menggabungkan antara kedua norma UU yang diuji konstitusionalitasnya. Hal demikian, menunjukkan ambiguitas permohonan a quo.

[3.8.5] Bahwa berkenaan dengan petitum Pemohon, Mahkamah pada persidangan tanggal 16 Januari 2023, dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan telah menasihati Pemohon agar mengubah petitum sesuai dengan format petitum yang berlaku di Mahkamah Konstitusi. Namun, pada persidangan tanggal 30 Januari 2023, dengan agenda sidang perbaikan permohonan, Pemohon di dalam perbaikan permohonannya tidak memperbaiki petitumnya dan masih mencantumkan kalimat “...Apalagi kini telah terdapat Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 34/PUU-XI/2013, Tanggal 06 Maret 2014, tentang Pembatalan Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981, Tanggal 31 Desember 1981, tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209)”. Adanya kalimat dimaksud justru menjadikan petitum permohonan menjadi tidak lazim. Terlebih lagi, terdapat petitum provisi yang tidak diuraikan terlebih dahulu mengenai alasan pengajuannya sebagaimana telah dipertimbangkan Mahkamah pada Paragraf [3.7] Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas maka Mahkamah berpendapat, oleh karena pokok permohonan dan petitum tidak jelas, sehingga menjadikan permohonan a quo tidak jelas (kabur).

[3.9] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan Pemohon dan Pemohon memiliki kedudukan hukum, namun oleh karena pokok permohonan dan petitum tidak jelas (kabur) sehingga tidak memenuhi syarat formil permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 31 ayat (1) UU MK serta Pasal 10 ayat (2) PMK 2/2021. Oleh karena itu, Mahkamah tidak mempertimbangkan permohonan Pemohon lebih lanjut.

[3.10] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak dan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 4/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 28-02-2023

Herifuddin Daulay (guru honorer)

Pasal 169 huruf n, Pasal 222, Pasal 227 huruf i

Pasal 1 ayat (2), Pasal 4 ayat (1), Pasal 6A ayat (1), Pasal 27 ayat (3), Pasal 36 UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materiil UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa sebelum menilai konstitusionalitas Pasal 169 huruf n, Pasal 227 huruf i, dan Pasal 222 UU 7/2017 terlebih dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan permohonan Pemohon dikaitkan dengan ketentuan Pasal 60 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), apakah terhadap norma a quo dapat dimohonkan pengujiannya kembali.
Pasal 60 UU MK menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.

Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda.

Berdasarkan ketentuan tersebut, terhadap pasal yang telah dilakukan pengujian konstitusionalitasnya dan telah diputus oleh Mahkamah hanya dapat dimohonkan pengujian kembali apabila terdapat dasar pengujian dan/atau alasan permohonan yang berbeda. Terhadap hal tersebut, setelah Mahkamah membaca secara saksama materi permohonan Pemohon dan dibandingkan dengan semua permohonan yang pernah menguji inkonstitusionalitas norma Pasal 169 huruf n, Pasal 227 huruf i, dan Pasal 222 UU 7/2017, permohonan a quo menggunakan beberapa dasar pengujian berbeda, yaitu dengan menggunakan dasar pengujian Pasal 4 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), dan Pasal 36 UUD 1945. Dengan demikian, tanpa harus memeriksa lebih jauh alasan-alasan yang berbeda dengan semua permohonan sebelumnya, adanya beberapa dasar pengujian tersebut telah terang dan cukup bagi Mahkamah untuk menyatakan permohonan Pemohon dapat diajukan kembali.

[3.11] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon dapat diajukan kembali, selanjutnya Mahkamah akan menilai konstitusionalitas Pasal 169 huruf n, Pasal 227 huruf i, dan Pasal 222 UU 7/2017.

[3.12] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih jauh permohonan Pemohon, perlu Mahkamah kemukakan, setelah mempelajari secara saksama dalil permohonan Pemohon yang pada pokoknya telah diuraikan dalam Paragraf [3.7], dari semua dalil tersebut hanya dalil angka 2 yang memiliki ketersambungan atau benang merah dengan petitum Pemohon. Oleh karena itu, Mahkamah akan memulai terlebih dahulu mempertimbangkan dalil yang termaktub pada angka 2 tersebut dikaitkan dengan petitum Pemohon. Pertimbangan hukum Mahkamah didasarkan pada kelompok isu dari ketiga norma yang dimohonkan tersebut sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa berkenaan dengan syarat pengajuan calon presiden dan calon wakil presiden, in casu syarat sebagaimana termaktub dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 telah pernah diputus oleh Mahkamah. Berkenaan dengan kedua norma tersebut, Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 117/PUU-XX/2022, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 31 Januari 2023, dalam Sub-paragraf [3.19.3] mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.19.3] Bahwa salah satu persyaratan untuk menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang diatur dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 sebagaimana disebutkan di atas adalah, belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama yang diikuti surat pernyataan belum pernah menjabat selama 2 (dua) periode tersebut adalah norma yang dimaksudkan untuk mempertahankan substansi norma Pasal 7 UUD 1945. Bahkan, khusus Penjelasan Pasal 169 huruf n UU 7/2017 juga menegaskan maksud “belum pernah menjabat 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama" adalah yang bersangkutan belum pernah menjabat dalam jabatan yang sama selama dua kali masa jabatan, baik berturut-turut maupun tidak berturut-turut, walaupun masa jabatan tersebut kurang dari 5 (lima) tahun juga merupakan penegasan terhadap maksud Pasal 7 UUD 1945. Dengan demikian, ketentuan yang tertuang dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 merupakan panduan yang harus diikuti oleh penyelenggara pemilihan umum dalam menilai keterpenuhan persyaratan untuk menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden. Selain itu, kedua norma dimaksud adalah untuk menjaga konsistensi dan untuk menghindari degradasi norma Pasal 7 UUD 1945 dimaksud.

Oleh karena isu konstitusional yang dimohonkan Pemohon dalam permohonan a quo pada intinya tidak jauh berbeda dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 117/PUU-XX/2022 dan Mahkamah tidak atau belum memiliki alasan hukum yang kuat untuk mengubah pendiriannya. Oleh karena itu, pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 117/PUU-XX/2022 mutatis mutandis berlaku menjadi pertimbangan hukum dalam putusan a quo. Artinya, norma Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 adalah konstitusional. (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-XXI/2023, hlm. 47-48, yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 28 Februari 2023);
[3.12.2] Bahwa isu kedua adalah berkenaan dengan norma Pasal 222 UU 7/2017. Sampai sejauh ini, norma dimaksud pernah diuji konstitusionalitasnya sebanyak 27 (dua puluh tujuh) permohonan yang telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi. Dari kesemua putusan tersebut, terdapat 5 (lima) putusan yang amar putusannya menyatakan menolak permohonan Pemohon, sedangkan putusan-putusan lainnya dinyatakan tidak dapat diterima. Oleh karena isu konstitusional yang dimohonkan dalam permohonan a quo pada intinya tidak berbeda dengan putusan-putusan sebelumnya berkenaan dengan ambang batas pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold). Merujuk semua putusan tersebut, pada intinya Mahkamah berpendirian bahwa ambang batas pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden adalah konstitusional. Oleh karena itu, pertimbangan hukum dalam putusan-putusan sebelumnya yang menyatakan norma Pasal 222 UU 7/2017 mutatis mutandis berlaku pula menjadi pertimbangan hukum dalam putusan a quo.
[3.12.3] Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum di atas, dalil-dalil Pemohon yang menyatakan norma Pasal 169 huruf n, Pasal 227 huruf i, dan Pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum;

[3.13] Menimbang bahwa selain pokok permohonan sebagaimana dipertimbangkan dalam Paragraf [3.12] di atas, Pemohon juga mengajukan dalil-dali lain. Oleh karena dalil-dalil tersebut tidak jelas dan tidak memiliki ketersambungan (benang merah) dengan bagian petitum, Mahkamah menganggap tidak terdapat relevansinya untuk mempertimbangkan dalil-dalil dimaksud. Begitu pula dengan provisi Pemohon yang meminta Mahkamah “menyatakan Kaidah Hukum tunduk pada Kaidah Bahasa Indonesia”, menurut Mahkamah petitum berkaitan dengan provisi demikian adalah tidak jelas atau bersifat kabur sehingga harus dikesampingkan;

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas terhadap pengujian Pasal 169 huruf n, Pasal 227 huruf i, dan Pasal 222 UU 7/2017 adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Terhadap dalil-dalil serta hal-hal lain, tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena tidak terdapat relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 2/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 28-02-2023

Drs. Edi Damansyah, M.Si (Bupati Kutai Kartanegara), yang memberikan kuasa kepada Muhammad Nursal, S.H., Advokat & Konsultan Hukum di Kantor Hukum Nursam & Partner, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016

Pasal 28D ayat (1) dan (3), dan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materiil UU 10/2016 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.13] Menimbang bahwa berkaitan dengan masalah konstitusionalitas yang dipersoalkan Pemohon pada pokoknya adalah mempersoalkan inkonstitusionalitas norma Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 secara bersyarat sebagaimana yang termaktub dalam Petitum Permohonan Pemohon. Terhadap permohonan tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.13.1] Menimbang bahwa berkenaan dengan dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas norma Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 secara bersyarat yang pada pokoknya menjelaskan Pemohon sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang menjabat sebagai Bupati Kutai Kartanegara memiliki hak konstitusional sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 untuk mencalonkan kembali sebagai Bupati sebagaimana yang telah ditentukan dalam norma Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 yaitu:
“Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
n belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama untuk Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, dan Calon Wakil Walikota;”
Menurut Pemohon, kata “menjabat” dalam norma Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 belum memenuhi perlindungan hak atas kepastian hukum Pemohon sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena tidak jelas kepada pejabat siapa ditujukan pembatasan periodisasi masa menjabat Bupati dimaksud, 48 apakah hanya ditujukan bagi Bupati yang menjabat secara definitif ataukah sekaligus dengan yang pernah menjabat sebagai pejabat sementara;

[3.13.2] Bahwa berkaitan dengan hal tersebut, sebelum mempertimbangkan lebih jauh dalil Pemohon, penting bagi Mahkamah untuk terlebih dahulu menegaskan bahwa berkaitan dengan persoalan masa jabatan satu periode untuk kepala daerah, Mahkamah dalam putusannya, antara lain Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-VII/2009 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada tanggal 17 November 2009, telah berpendirian dalam pertimbangan hukumnya yang pada pokoknya sebagai berikut:
’’[3.18] Menimbang bahwa yang menjadi persoalan ialah bagaimana jika masa jabatan periode pertama tidak penuh karena Pemohon menggantikan Pejabat Bupati/Walikota yang berhenti tetap, misalnya Pemohon II menjabat Bupati Karimun periode pertama selama kurang dari satu tahun (kurang dari separuh masa jabatan), sedangkan Pihak Terkait I menjabat Walikota Surabaya selama dua tahun sembilan bulan atau lebih dari separuh masa jabatan. Penjelasan Pasal 38 PP 6/2005 menyatakan bahwa Penghitungan dua kali masa jabatan dihitung sejak saat pelantikan. Penjelasan ini tidak membedakan apakah seseorang secara penuh menjabat selama masa jabatan ataukah tidak; Mahkamah menilai tidak adil apabila seseorang menjabat kurang dari setengah masa jabatan disamakan dengan yang menjabat setengah atau lebih masa jabatan. Oleh sebab itu berdasarkan asas proporsionalitas dan rasa keadilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum,” oleh karena itu, Mahkamah berpendapat bahwa setengah masa jabatan atau lebih dihitung satu kali masa jabatan. Artinya jika seseorang telah menjabat Kepala Daerah atau sebagai Pejabat Kepala Daerah selama setengah atau lebih masa jabatan, maka yang bersangkutan dihitung telah menjabat satu kali masa jabatan”;

[3.13.3] Menimbang bahwa selain itu berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XVIII/2020, Mahkamah juga telah berpendirian dalam pertimbangan hukum Putusan tersebut antara lain:
“Dengan memahami secara saksama pertimbangan hukum di atas, substansi yang berkaitan dengan masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah telah dipertimbangkan sedemikian rupa untuk memberikan kepastian hukum. Artinya, norma Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 yang menyatakan, “Belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama untuk Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, dan Calon Wakil Walikota”, harus dimaknai sebagaimana pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-VII/2009 dimaksud.
[3.17.3] Bahwa berdasarkan pemaknaan tersebut, khususnya pertimbangan yang menyatakan, “Mahkamah berpendapat bahwa setengah masa jabatan atau lebih dihitung satu kali masa jabatan. Artinya, jika seseorang telah menjabat Kepala Daerah atau sebagai Pejabat Kepala Daerah selama setengah atau lebih masa jabatan, maka yang bersangkutan dihitung telah menjabat satu kali masa jabatan”, sehingga persoalan permohonan para Pemohon yang memohon agar frasa sebagaimana dimaksudkan dalam Petitum para Pemohon yang menyatakan, “menjabat sebagai Gubernur, Bupati, Walikota” dalam Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai menjadi “menjabat sebagai Gubernur, Bupati, Walikota dan/atau menjadi Pejabat Gubernur, Bupati, Walikota” telah dijawab secara tegas dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-VII/2009 tersebut. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat tidak terdapat masalah konstitusionalitas dalam norma yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon a quo”.

Berdasarkan pertimbangan putusan-putusan di atas, khususnya pertimbangan hukum dan amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-VII/2009 yang menyatakan “masa jabatan yang dihitung satu periode adalah masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih dari setengah masa jabatan” yang dikuatkan kembali dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUUXVIII/2020 yang menyatakan, “…setengah masa jabatan atau lebih dihitung satu kali masa jabatan. Artinya, jika seseorang telah menjabat Kepala Daerah atau sebagai Pejabat Kepala Daerah selama setengah atau lebih masa jabatan, maka yang bersangkutan dihitung telah menjabat satu kali masa jabatan”, sehingga Permohonan Pemohon yang menghendaki agar kata “menjabat” dalam frasa “belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama untuk Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, dan Calon Wakil Walikota”, dalam Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai menjadi “menjabat secara definitif”, dengan sendirinya telah terjawab oleh pertimbangan hukum Putusan tersebut. Dengan demikian berdasarkan pertimbangan hukum dan amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-VII/2009 yang kemudian dikuatkan dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XVIII/2020, makna kata “menjabat” dimaksud telah jelas dan tidak perlu dimaknai lain selain makna dimaksud dalam putusan tersebut. Dengan demikian, kata “menjabat” adalah masa jabatan yang dihitung satu periode, yaitu masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih dari masa jabatan kepala daerah. Oleh karena itu, melalui putusan a quo Mahkamah perlu menegaskan bahwa yang dimaksudkan dengan masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih adalah sama dan tidak membedakan ”masa jabatan yang telah dijalani” tersebut, baik yang menjabat secara definitif maupun pejabat sementara, sebagaimana didalilkan oleh Pemohon.

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, kata “menjabat” dalam frasa “belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama untuk Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, dan Calon Wakil Walikota”, dalam Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 adalah tidak bertentangan dengan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; tidak bertentangan dengan prinsip setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan sebagaimana termaktub pula dalam Pasal 28D ayat (3) UUD 1945; dan tidak bertentangan dengan hak dan kebebasan setiap orang untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis sebagaimana termaktub dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

[3.15] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dalam permohonan a quo tidak dipertimbangkan lebih lanjut, karena dipandang tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak dan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 7/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2023 TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 28-02-2023

Fernando M. Manullang, Dina Listiorini, Eriko Fakri Ginting, dan Sultan Fadillah Effendi dalam hal ini memberikan kuasa kepada Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, dkk, kesemuanya adalah advokat/pengacara dan penasihat hukum di kantor hukum Leo & Partners, untuk selanjutnya disebut sebagai para Pemohon.

Pasal 218 ayat (1), Pasal 219, Pasal 240 ayat (1), dan Pasal 241 ayat (1) UU 1/2023

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materiil Pasal 218 ayat (1), Pasal 219, Pasal 240 ayat (1), dan Pasal 241 ayat (1) UU 1/2023 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.6] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara saksama uraian para Pemohon dalam menguraikan kedudukan hukumnya, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.5] di atas serta kualifikasi dan syarat kedudukan hukum para Pemohon sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.6.1] Bahwa norma yang diajukan pengujiannya oleh para Pemohon berkenaan dengan ketentuan yang mengatur tentang tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden serta tindak pidana penghinaan terhadap Pemerintah atau Lembaga Negara sebagaimana tertuang dalam Pasal 218 ayat (1), Pasal 219, Pasal 240 ayat (1), dan Pasal 241 ayat (1) UU 1/2023. Dalam mengajukan permohonan pengujian ketentuan norma tersebut, para Pemohon berkedudukan sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk [vide bukti P-3, bukti P-4, bukti P-5, dan bukti P-7]. Para Pemohon menerangkan memiliki hak konstitusional atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang dianggap dirugikan dengan berlakunya Pasal-Pasal a quo, sehingga para Pemohon menyatakan tidak diperlukannya pasal yang mengatur secara tersendiri terkait penghinaan terhadap Presiden, Wakil Presiden, Pemerintah, maupun Lembaga Negara;
[3.6.2] Bahwa norma Pasal-Pasal a quo terdapat dalam UU 1/2023 yang telah disahkan dan diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. Meskipun demikian, berdasarkan Pasal 624 BAB XXXVII Ketentuan Penutup, Undang-Undang a quo mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Artinya, Undang-Undang a quo akan mulai berlaku pada tanggal 2 Januari 2026. Adapun Permohonan para Pemohon diajukan pada tanggal 9 Januari 2023 dan diregistrasi Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 12 Januari 2023, sehingga pada saat Permohonan ini diajukan ke Mahkamah Konstitusi dan diperiksa sebagai perkara pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, Undang-Undang a quo yang diajukan pengujiannya belum berlaku;
[3.6.3] Bahwa mendasarkan pada Putusan Mahkamah yang menetapkan beberapa syarat kerugian konstitusional yang bersifat kumulatif untuk memberikan kedudukan hukum kepada para Pemohon sebagaimana diuraikan dalam Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4] di atas, dalam hal ini, para Pemohon telah dapat menjelaskan adanya hak konstitusional yang diberikan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Selanjutnya, dikaitkan dengan syarat kedua yaitu adanya anggapan bahwa hak konstitusional yang diberikan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tersebut dirugikan oleh berlakunya undang-undang dalam hal ini UU 1/2023, menurut Mahkamah, terkait dengan hal a quo secara tegas diperlukan syarat yang bersifat imperatif yaitu anggapan kerugian konstitusional yang dimiliki oleh para Pemohon dirugikan dengan berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujiannya. Oleh karena itu, apabila hal ini dikaitkan dengan fakta hukum yang ada dalam persidangan, hal yang dialami oleh para Pemohon, telah ternyata hak konstitusional para Pemohon tersebut belum ada kaitannya dengan berlakunya norma undang-undang, in casu UU 1/2023. Dengan kata lain, pasal-pasal yang ada dalam UU 1/2023 yang diajukan pengujian oleh para Pemohon terdapat dalam Undang-Undang yang belum berlaku dan dengan sendirinya belum mempunyai kekuatan hukum mengikat, sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 87 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 (UU 12/2011) yang menyatakan, “Peraturan Perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan”. Berkaitan dengan itu, berdasarkan Pasal 624 UU 1/2023 menyatakan, “Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan”. Dengan demikian, Undang-Undang a quo belum berdampak terhadap adanya anggapan kerugian konstitusional, baik secara potensial, apalagi secara aktual kepada para Pemohon;
[3.6.4] Bahwa yang dimaksud dengan anggapan kerugian konstitusional yang bersifat aktual adalah anggapan kerugian konstitusional konkret/riil yang pernah dialami karena disebabkan berlakunya suatu norma undang-undang. Sedangkan yang dimaksud dengan anggapan kerugian konstitusional yang bersifat potensial adalah kerugian yang belum pernah secara konkret/riil dialami, namun suatu saat berpotensi dialami karena disebabkan berlakunya suatu norma undang-undang. Oleh karena itu, baik anggapan kerugian konstitusional yang bersifat aktual maupun potensial keduanya tetap bertumpu pada telah adanya norma undang-undang yang berlaku. Dengan demikian, berdasarkan fakta hukum bahwa UU 1/2023 baru mulai berlaku 3 (tiga) tahun sejak tanggal diundangkan [vide Pasal 624 BAB XXXVII Ketentuan Penutup UU 1/2023], pemberlakuan demikian berakibat hukum UU a quo belum memiliki kekuatan hukum mengikat sehingga menyebabkan tidak terpenuhinya syarat-syarat anggapan kerugian konstitusional sebagaimana dimaksudkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007. Dengan demikian, para Pemohon telah terbukti tidak memenuhi persyaratan adanya anggapan kerugian konstitusional dengan berlakunya norma undang-undang. Sehingga, terkait dengan syarat selebihnya, yaitu adanya anggapan kerugian konstitusional yang bersifat spesifik dan adanya hubungan sebab akibat (causal verband) yang ditimbulkan antara hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 dengan berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian, dengan sendirinya tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan, karena syarat-syarat anggapan kerugian konstitusional dimaksud adalah bersifat kumulatif;
[3.6.5] Bahwa di samping fakta hukum tersebut di atas, para Pemohon juga tidak memberikan bukti yang cukup dalam menjelaskan kedudukan hukumnya yang menurut para Pemohon hak konstitusionalnya dianggap dirugikan, baik bersifat aktual maupun potensial yang terjadi atau akan terjadi kepada para Pemohon dalam menjalankan aktivitas yang terkait dengan pekerjaannya dan dianggap dapat terancam dengan berlakunya pasal yang diajukan pengujiannya. Bahkan, jika anggapan kerugian konstitusional para Pemohon tersebut dikaitkan dengan KUHP yang saat ini masih berlaku, para Pemohon pun tidak memberikan bukti yang cukup tentang aktivitas para Pemohon yang dapat diancam dengan KUHP khususnya pasal yang terkait dengan penghinaan dan pencemaran nama baik, karena sesungguhnya KUHP yang berlaku saat ini pun dan tanpa bermaksud menilai konstitusionalitas norma pasal-pasal KUHP yang masih berlaku, masih mengatur bentuk perlindungan terhadap Presiden, Wakil Presiden, Pemerintah, maupun Lembaga Negara dari penghinaan dan pencemaran nama baik, sebagaimana perlindungan terhadap hak-hak warga negara;
[3.6.6] Bahwa berkenaan dengan uraian kedudukan hukum para Pemohon yang mengaitkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110/PUU-X/2012, Mahkamah telah mempertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-XXI/2023 yang diucapkan sebelumnya dalam sidang terbuka untuk umum pada tanggal 28 Februari 2023, di antaranya telah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.6.5] Bahwa terkait dengan pendirian Mahkamah dalam mempertimbangkan kedudukan hukum Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah untuk mengaitkan dengan pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110/PUU-X/2012 yang diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum pada tanggal 28 Maret 2013, di mana dalam putusan tersebut Mahkamah memberikan kedudukan hukum kepada para Pemohon sekalipun pada saat permohonan perkara yang bersangkutan dilakukan pengujian terhadap pasal-pasal undang-undang yang belum dinyatakan berlaku, yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Berkenaan dengan hal ini, Mahkamah menegaskan bahwa UU SPPA mempunyai karakter yang sangat berbeda dengan UU 1/2023, di mana UU SPPA adalah undang-undang yang memuat norma yang kemudian dilakukan pengujian oleh para Pemohon dalam perkara yang bersangkutan, berkaitan dengan ancaman pidana bagi para penegak hukum yang sedang melaksanakan tugasnya dalam penegakan hukum, yang tidak diatur dalam norma undang-undang sebelumnya yang berkaitan yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Oleh karena itu, sekalipun UU SPPA belum diberlakukan pada saat permohonan perkara yang bersangkutan diajukan, Mahkamah menilai ada keadaan yang mendesak untuk segera diputuskannya terhadap perkara dimaksud, agar tidak ada rasa kekhawatiran atau bahkan ketakutan para penegak hukum dalam melaksanakan tugas penegakan hukum, khususnya dalam mengadili perkara yang melibatkan tersangka/terdakwanya adalah anak. Kekhawatiran demikian dapat terjadi disebabkan proses perkara pidana bisa berlangsung dalam waktu yang lama dan mungkin saja akan melewati proses pra dan pasca saat dinyatakannya mulai berlaku UU SPPA. Oleh karena itu, sangat mungkin berdampak dikenakannya norma pasal-pasal yang bersangkutan untuk memidanakan para penegak hukum. Dengan demikian, fakta-fakta hukum tersebut dapat memberikan peluang adanya ketidakpastian hukum dalam implementasi norma pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dalam UU SPPA, apabila norma tersebut dinyatakan konstitusional. Fakta hukum tersebut berbeda dengan karakter UU 1/2023, di mana secara faktual belum diberlakukannya norma-norma yang ada tidak mengakibatkan adanya kekosongan hukum, karena terdapat KUHP yang masih berlaku, sehingga potensi adanya ketidakpastian hukum tidak akan terjadi. Dengan kata lain, apabila norma-norma dalam UU 1/2023 telah dinyatakan berlaku, sama halnya dengan Mahkamah membenarkan berlakunya dua KUHP (yaitu KUHP yang masih berlaku dan KUHP yang akan berlaku) dalam waktu yang bersamaan. Jika hal demikian dibenarkan justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penegakan hukum pidana.
[3.6.6] Bahwa di samping pertimbangan hukum tersebut di atas, adanya pendirian demikian, juga didasarkan pada argumen, bahwa Mahkamah mempunyai alasan lain yaitu putusan-putusan Mahkamah Konstitusi bisa saja mengalami penyempurnaan, sepanjang hal tersebut dikaitkan dengan hubungan dan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, dalam perspektif pemberian kedudukan hukum kepada pemohon, Mahkamah harus mempertimbangkan syarat yang bersifat absolut dan kumulatif, yaitu adanya subjek hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 UU MK dan syarat-syarat anggapan kerugian konstitusional sebagaimana yang ditentukan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007. Terlebih, dalam mempertimbangkan dan menilai persyaratan kedudukan hukum pemohon di Mahkamah Konstitusi tidak dapat dipisahkan dengan isu konstitusionalitas dan berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian. Dengan demikian, bisa jadi dalam memberikan kedudukan hukum antara permohonan yang satu dengan yang lainnya, Mahkamah dapat memberikan pertimbangan yang berbeda.
Dengan demikian, pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-XXI/2023 di atas mutatis mutandis berlaku pada putusan ini. Oleh karena itu, berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berkesimpulan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Seandainyapun para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, quod non, dan Mahkamah dapat masuk untuk mempertimbangkan pokok permohonan, namun oleh karena terkait ketentuan Pasal 218 ayat (1), Pasal 219, Pasal 240 ayat (1), dan Pasal 241 ayat (1) UU 1/2023 merupakan ketentuan norma yang belum berlaku dan belum memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga terhadap hal demikian Mahkamah akan berpendirian bahwa permohonan para Pemohon adalah permohonan yang prematur.
[3.7] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, Mahkamah tidak mempertimbangkan permohonan lebih lanjut.
[3.8] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak dan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 8/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 28-02-2023

Trijono Hardjono, Muhammad Afif Syairozi, Salyo Kinasih Bumi, Abdul Ghofur, S.H., Hendrikus Rara Lunggi, Frederikus Patu, dan Muhammad Fajar Ar Rozi untuk selanjutnya disebut Para Pemohon.

Pasal 7 ayat (1) huruf b, Penjelasan Pasal 18 huruf b UU 12/2011

Pasal 12, Pasal 22 ayat (1), (2), dan (3), Pasal 22A, Pasal 24 ayat (1), (2), dan (3), Pasal 27 ayat (1), (2), dan (3), Pasal 28, Pasal 28D ayat (3), Pasal 28E ayat (3), Pasal 30 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materiil UU PPP dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.6] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara saksama uraian para Pemohon dalam menjelaskan kerugian hak konstitusionalnya, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.5] di atas, Mahkamah mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut:
Bahwa para Pemohon dalam menguraikan sebagai relawan jaringan Program Demokrasi Musyawarah Indonesia, menguraikan telah membentuk sejumlah lembaga alat perjuangan sesuai dengan kebutuhan wilayah dan bidang garapan. Meskipun telah memberikan beberapa bukti [vide bukti P-1A, bukti P-1B, dan bukti P-1C], bukti tersebut tidak cukup menyakinkan Mahkamah bahwa para Pemohon telah aktif melakukan kegiatan-kegiatan yang berkenaan dengan isu konstitusionalitas yang dimohonkan pengujian, yaitu berkenaan dengan Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b dan Penjelasan Pasal 18 huruf b UU 12/2011.
Selain itu, para Pemohon tidak menguraikan secara jelas ihwal anggapan hak konstitusional para Pemohon yang dirugikan akibat berlakunya Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b dan Penjelasan Pasal 18 huruf b UU 12/2011. Dalam hal ini, para Pemohon hanya menerangkan sebagai warga negara Indonesia merupakan relawan jaringan Program Demokrasi Musyawarah Indonesia telah merasakan “kemandegan” negara di seluruh sektor ekonomi dan perdagangan karena tidak adanya pengendalian dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pada berbagai bidang pembangunan. Sebagaimana diterangkan para Pemohon, hal demikian terjadi akibat norma Konstitusi yang tidak sesuai dengan Pancasila secara sistemik, struktural, dan konsepsional konstitusional. Seluruh uraian kerugian hak konstitusional yang diuraikan tersebut sesungguhnya bukanlah merupakan uraian ihwal anggapan kerugian konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, serta Pasal 4 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian UndangUndang (PMK 2/2021), melainkan hanya uraian mengenai frasa-frasa berupa kepentingan, kehendak, dan harapan. Para Pemohon juga tidak dapat menjelaskan keterkaitan Penjelasan pasal-pasal a quo secara aktual atau setidak-tidaknya potensial dengan anggapan kerugian hak konstitusional para Pemohon. Dengan demikian, menurut Mahkamah para Pemohon tidak mampu menguraikan secara spesifik, aktual, maupun potensial hak konstitusionalnya yang menurut anggapan para Pemohon dirugikan atau dalam batas penalaran yang wajar setidak-tidaknya potensial dirugikan oleh berlakunya Penjelasan Pasal-Pasal a quo.
Bahwa terkait dengan hal di atas, dalam Sidang Pemeriksaan Pendahuluan pada tanggal 24 Januari 2023, Majelis Hakim Panel telah memberi nasihat kepada para Pemohon agar memperbaiki uraian kedudukan hukumnya sehingga Mahkamah dapat meyakini bahwa para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan [vide Risalah Sidang tanggal 24 Januari 2023]. Namun dalam perbaikan permohonan, para Pemohon masih belum mampu menguraikan kerugian hak konstitusional yang bersifat aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan terjadi. Artinya, para Pemohon tidak dapat menjelaskan hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang dialaminya dengan berlakunya Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b dan Penjelasan Pasal 18 huruf b UU 12/2011;
Bahwa selain itu, jika dibaca permohonan para Pemohon dalam perbaikan permohonannya menguraikan dengan sistematika: Judul, Identitas Pemohon, Kewenangan Mahkamah, Kedudukan Hukum Pemohon, Pokok Permohonan, Kesimpulan, dan Petitum. Terhadap Perbaikan Permohonan a quo dimaksud pada dasarnya Mahkamah dapat memahami telah sesuai dengan format permohonan pengujian undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU MK dan Pasal 10 ayat (2) PMK 2/2021. Namun, setelah Mahkamah memeriksa secara saksama pada bagian alasan-alasan permohonan (posita), para Pemohon sama sekali tidak menguraikan argumentasi mengenai pertentangan antara Penjelasan pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dengan pasal-pasal yang menjadi dasar pengujian dalam UUD 1945. Dalam hal ini, para Pemohon lebih fokus menguraikan masalah kekosongan hukum berkenaan dengan kewenangan pengujian Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR). Terlebih lagi, para Pemohon tidak menguraikan argumentasi konstitusional yang cukup mengenai pertentangan norma yang diajukan dengan norma dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian.
Selanjutnya permintaan para Pemohon sebagaimana termaktub dalam petitum adalah tidak jelas atau setidak-tidaknya tidak sesuai dengan kelaziman petitum pengujian undang-undang. Dalam hal ini, sekalipun telah dinasihati Majelis Panel, masih ditemukan petitum “kosong”, yaitu Petitum Angka 2 dan Angka 3, serta Petitum Angka 5, “Menyatakan bahwa Tap MPRS/MPR materi muatan Pasal 6 Ketetapan MPR.RI Nomor I/MPR Tahun 2003 yang bersifat regelling, meski dinyatakan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, masih berlaku sepanjang nyata-nyata belum dicabut oleh Ketetapan MPR.RI yang lain”. Begitu pula dengan Petitum Angka 6, “Menyatakan selebihnya atas implikasi yuridis pernyataan materi muatan Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b dan Penjelasan Pasal 18 huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, menjadi ranah Legislative Review”. Kesemua petitum itu adalah tidak lazim. Secara formal, petitum-petitum yang demikian bukanlah rumusan petitum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf d PMK 2/2021.
Bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, para Pemohon tidak mengalami kerugian hak konstitusional baik secara langsung maupun tidak langsung dengan berlakunya Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b dan Penjelasan Pasal 18 huruf b UU 12/2011. Selain itu, tidak terdapat pula hubungan sebab-akibat antara anggapan kerugian hak konstitusional dengan berlakunya Penjelasan Pasal a quo yang dimohonkan pengujian. Oleh karena itu, tidak ada keraguan bagi Mahkamah untuk menyatakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Seandainya pun para Pemohon memiliki kedudukan hukum, quod non, permohonan para Pemohon adalah tidak jelas (kabur) sehingga tidak memenuhi persyaratan formal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) UU MK dan Pasal 10 ayat (2) PMK 2/2021;

[3.7] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 9/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PEMERIKSA KEUANGAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 28-02-2023

Patuan Siahaan, Tyas Muharto, S.H., dan Poltak Manullang yang dalam hal ini memberika kuasa kepada Kores Tambunan, S.H., M.H., dkk yaitu Advokat yang tergabung dalam Kantor Hukum Kors Tambunan & Partners, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 18 huruf c UU 15/2006

Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU Narkotika dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.6] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian para Pemohon dalam menjelaskan kerugian hak konstitusionalnya, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.5] di atas, menurut Mahkamah, para Pemohon pada pokoknya menguraikan anggapan kerugian konstitusional yang dialaminya berkenaan dengan adanya batasan usia maksimal untuk diberhentikan sebagai ketua, wakil ketua, dan anggota BPK. Adapun di dalam permohonannya para Pemohon menggunakan dasar Pasal 13 huruf i UU 15/2006 sebagai syarat usia minimal untuk dapat dipilih sebagai anggota BPK yaitu, paling rendah berusia 35 (tiga puluh lima) tahun. Kemudian apabila dikaitkan antara Pasal 13 UU 15/2006 yang merupakan syarat untuk dipilh sebagai anggota BPK dan Pasal 18 UU 15/2006 yang merupakan alasan diberhentikannya ketua, wakil ketua, dan anggota BPK, khususnya Pasal 18 huruf c UU 15/2006 di mana para Pemohon menjelaskan bahwa dengan adanya ketentuan mengenai batas usia maksimal untuk diberhentikan, yaitu berusia 67 (enam puluh tujuh) tahun, mengakibatkan para Pemohon tidak dapat mengajukan diri sebagai calon anggota BPK, walaupun telah memenuhi persyaratan batas usia minimum sebagaimana ditentukan oleh Pasal 13 UU 15/2006. Dengan demikian, seandainya batas usia maksimal masa jabatan 67 (enan puluh tujuh) tahun tersebut dihapuskan maka para Pemohon dapat mengajukan diri sebagai calon anggota BPK. Menurut Mahkamah, para Pemohon telah cukup jelas dalam menguraikan ihwal anggapan kerugian hak konstitusional dengan berlakunya norma Pasal 18 huruf c UU 15/2006. Di samping itu, para Pemohon juga telah dapat menjelaskan adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara anggapan kerugian dimaksud dengan berlakunya norma pasal yang dimohonkan pengujian. Dalam hal ini, sebagaimana diuraikan para pemohon, jika permohonannya dikabulkan kerugian yang bersifat potensial sebagaimana dimaksud oleh para Pemohon tidak akan terjadi. Namun, setelah Mahkamah mencermati permohonan dan bukti-bukti yang diajukan oleh para Pemohon, telah ternyata Mahkamah tidak melihat atau menemukan adanya uraian dan bukti yang dapat meyakinkan Mahkamah bahwa para Pemohon adalah kandidat yang akan mengajukan diri atau pernah mengajukan diri sebagai calon anggota BPK.
Berkenaan dengan uraian dan bukti dimaksud, Mahkamah, in casu Majelis Hakim Panel, dalam Sidang Pendahuluan pada tanggal 7 Februari 2023, dengan agenda memeriksa kelengkapan dan substansi atau materi permohonan, telah memberikan nasihat kepada para Pemohon untuk menambahkan uraian dan bukti yang dapat menunjukkan bahwa mereka telah pernah mengajukan diri mengikuti proses seleksi calon anggota BPK (vide Risalah Sidang Perkara Nomor 9/PUU-XXI/2023, tanggal 7 Februari 2023, hlm. 13 dan 14). Sebagai warga negara yang telah menjalani masa purna tugas yang relatif lama, seandainya para Pemohon berkeinginan menjadi anggota BPK, dalam batas penalaran yang wajar, mereka telah pernah mendaftar atau mengikuti seleksi sebagai calon anggota BPK. Namun demikian, dalam perbaikan permohonan, Mahkamah tidak menemukan uraian dan bukti berkenaan dengan hal dimaksud. Padahal uraian dan bukti penting tersebut setidaknya merupakan pintu masuk bagi para Pemohon untuk mengajukan pengujian norma a quo. Terlebih lagi, jika dibaca secara utuh struktur norma Pasal 18 huruf c UU 15p2006, yang sesungguhnya dirugikan atau setidak-tidaknya potensial dirugikan sehingga memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan pengujian norma a quo adalah perorangan warga negara Indonesia yang ketika permohonan diajukan sedang menjabat sebagai ketua, wakil, atau anggota BPK. Artinya, jika uraian dan bukti dimaksud dapat ditambahkan dalam perbaikan permohonan, setidak-tidaknya, para Pemohon dapat dinilai secara potensial memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat, para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo.
[3.7] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun oleh karena para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, sehingga Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan.
[3.8] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dinyatakan Tidak Dapat Diterima Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 10/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2023 TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 28-02-2023

Andi Redani Suryanata dan dkk, diberikan kuasa kepada Zico Leonard Djagardo Simanjuntak dan Dixon Sanjaya, S.H., yang merupakan advokat pada kantor hukum Leo & Partners untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 256, Pasal 603, dan Pasal 604 UU 1/2023

Pasal 28 dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal a quo UU 1/2023 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.6] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara saksama uraian para Pemohon dalam menguraikan kedudukan hukumnya, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.5] serta kualifikasi dan syarat kedudukan hukum Pemohon sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4], selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.6.1] Bahwa norma yang diajukan pengujiannya oleh para Pemohon berkenaan dengan ketentuan yang mengatur tentang ketentuan pidana terhadap aksi masyarakat yang dilakukan tanpa pemberitahuan dan ancaman pidana pokok bagi tindak pidana korupsi sebagaimana tertuang dalam Pasal 256, Pasal 603 dan Pasal 604 UU 1/2023. Para Pemohon dalam hal ini berkedudukan sebagai perseorangan warga negara Indonesia dan berstatus sebagai Mahasiswa yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk [vide bukti P-3 sampai dengan P-22] dan Kartu Tanda Mahasiswa. Para Pemohon menerangkan memiliki hak konstitusional untuk berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, hak untuk mendapatkan atas pengakuan, jaminan, perlindungan, kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama dihadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang dianggap dirugikan dengan berlakunya norma Pasal-Pasal a quo;

[3.6.2] Bahwa norma Pasal-Pasal a quo terdapat dalam UU 1/2023 yang telah disahkan dan diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. Meskipun demikian, berdasarkan Pasal 624 BAB XXXVII Ketentuan Penutup, Undang-Undang a quo mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Artinya, UU a quo akan mulai berlaku pada tanggal 2 Januari 2026. Adapun Permohonan para Pemohon diregistrasi Kepaniteraan Mahkamah pada 19 Januari 2023, sehingga pada saat Permohonan ini diajukan ke Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang a quo yang diajukan pengujiannya belum berlaku;

[3.6.3] Bahwa mendasarkan pada Putusan Mahkamah yang menetapkan beberapa syarat kerugian konstitusional yang bersifat kumulatif untuk memberikan kedudukan hukum kepada para Pemohon sebagaimana diuraikan dalam Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4] di atas, dalam hal ini, para Pemohon telah dapat menjelaskan adanya hak konstitusional yang diberikan oleh Pasal 28 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Selanjutnya, dikaitkan dengan syarat kedua yaitu adanya anggapan bahwa hak konstitusional yang diberikan oleh Pasal 28 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tersebut dirugikan oleh berlakunya undang-undang dalam hal ini UU 1/2023, menurut Mahkamah, terkait dengan hal a quo secara tegas diperlukan syarat yang bersifat imperatif yaitu anggapan kerugian konstitusional yang dimiliki oleh para Pemohon dirugikan dengan berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujiannya. Oleh karena itu, apabila hal ini dikaitkan dengan fakta hukum yang ada dalam persidangan, hal yang dialami oleh para Pemohon, telah ternyata hak konstitusional para Pemohon tersebut belum ada kaitannya dengan berlakunya norma undang-undang, in casu UU 1/2023. Dengan kata lain, pasal-pasal yang ada dalam UU 1/2023 yang diajukan pengujian oleh para Pemohon terdapat dalam undang-undang yang belum berlaku dan dengan sendirinya belum mempunyai kekuatan hukum mengikat, sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 87 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 (UU 12/2011). Dengan demikian, Undang-Undang a quo belum berdampak terhadap adanya anggapan kerugian konstitusional, baik secara potensial, apalagi secara aktual kepada para Pemohon.

[3.6.4] Bahwa yang dimaksud dengan anggapan kerugian konstitusional yang bersifat aktual adalah anggapan kerugian konstitusional konkret/riil yang pernah dialami karena disebabkan berlakunya suatu norma undang-undang. Sedangkan yang dimaksud dengan anggapan kerugian konstitusional yang bersifat potensial adalah kerugian yang belum pernah secara konkret/riil dialami, namun suatu saat berpotensi dialami karena disebabkan berlakunya suatu norma undang-undang. Oleh karena itu, baik anggapan kerugian konstitusional yang bersifat aktual maupun potensial keduanya tetap bertumpu pada telah adanya norma undang-undang yang berlaku. Dengan demikian, berdasarkan fakta hukum bahwa UU 1/2023 baru akan berlaku 3 (tiga) tahun sejak tanggal diundangkan [vide Pasal 624 BAB XXXVII Ketentuan Penutup UU 1/2023], pemberlakuan demikian berakibat hukum UU a quo belum memiliki kekuatan hukum mengikat sehingga hal demikian tidak terpenuhinya syarat yang kedua untuk terpenuhinya syarat-syarat anggapan kerugian konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007. Dengan demikian, para Pemohon telah terbukti tidak memenuhi persyaratan adanya anggapan kerugian konstitusional dengan berlakunya norma undang-undang. Sehingga, terkait dengan syarat selebihnya, yaitu adanya anggapan kerugian konstitusional yang bersifat spesifik dan adanya hubungan sebab akibat (causal verband) yang ditimbulkan antara hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 dengan berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian, dengan sendirinya tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan, karena syarat-syarat anggapan kerugian konstitusional dimaksud adalah bersifat kumulatif.

[3.6.5] Bahwa berkenaan dengan uraian kedudukan hukum para Pemohon yang mengaitkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110/PUU-X/2012, Mahkamah telah mempertimbangkan hal yang sama pada Sub-paragraf [3.6.5] dan Sub-paragraf [3.6.6] dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-XXI/2023, yang telah dikutip pula dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-XXI/2023, yang diucapkan sebelumnya dalam sidang terbuka untuk umum pada tanggal 28 Februari 2023, di antaranya telah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.6.5] Bahwa terkait dengan pendirian Mahkamah dalam mempertimbangkan kedudukan hukum Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah untuk mengaitkan dengan pertimbangan hukum Mahkamah dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110/PUU-X/2012 yang diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum pada tanggal 28 Maret 2013, di mana dalam putusan tersebut Mahkamah memberikan kedudukan hukum kepada para Pemohon sekalipun pada saat permohonan perkara yang bersangkutan dilakukan pengujian terhadap pasal-pasal undang-undang yang belum dinyatakan berlaku, yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).
Berkenaan dengan hal ini, Mahkamah menegaskan bahwa UU SPPA mempunyai karakter yang sangat berbeda dengan UU 1/2023, di mana UU SPPA adalah undang-undang yang memuat norma yang kemudian dilakukan pengujian oleh para Pemohon dalam perkara yang bersangkutan, berkaitan dengan ancaman pidana bagi para penegak hukum yang sedang melaksanakan tugasnya dalam penegakan hukum, yang tidak diatur dalam norma undang-undang sebelumnya yang berkaitan yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Oleh karena itu, sekalipun UU SPPA belum diberlakukan pada saat permohonan perkara yang bersangkutan diajukan, Mahkamah menilai ada keadaan yang mendesak untuk segera diputuskannya terhadap perkara dimaksud, agar tidak ada rasa kekhawatiran atau bahkan ketakutan para penegak hukum dalam melaksanakan tugas penegakan hukum, khususnya dalam mengadili perkara yang melibatkan tersangka/terdakwanya adalah anak. Kekhawatiran demikian dapat terjadi disebabkan proses perkara pidana bisa berlangsung dalam waktu yang lama dan mungkin saja akan melewati proses pra dan pasca saat dinyatakannya mulai berlaku UU SPPA. Oleh karena itu, sangat mungkin berdampak dikenakannya norma pasal-pasal yang bersangkutan untuk memidanakan para penegak hukum. Dengan demikian, fakta-fakta hukum tersebut dapat memberikan peluang adanya ketidakpastian hukum dalam implementasi norma pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dalam UU SPPA, apabila norma tersebut dinyatakan konstitusional. Fakta hukum tersebut berbeda dengan karakter UU 1/2023, di mana secara faktual belum diberlakukannya norma-norma yang ada tidak mengakibatkan adanya kekosongan hukum, karena terdapat KUHP yang masih berlaku, sehingga potensi adanya ketidakpastian hukum tidak akan terjadi. Dengan kata lain, apabila norma-norma dalam UU 1/2023 telah dinyatakan berlaku, sama halnya dengan Mahkamah membenarkan berlakunya dua KUHP (yaitu KUHP yang masih berlaku dan KUHP yang akan berlaku) dalam waktu yang bersamaan. Jika hal demikian dibenarkan justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penegakan hukum pidana.
[3.6.6] Bahwa di samping pertimbangan hukum tersebut di atas, adanya pendirian demikian, juga didasarkan pada argumen, bahwa Mahkamah mempunyai alasan lain yaitu putusan-putusan Mahkamah Konstitusi bisa saja mengalami penyempurnaan, sepanjang hal tersebut dikaitkan dengan hubungan dan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, dalam perspektif pemberian kedudukan hukum kepada pemohon, Mahkamah harus mempertimbangkan syarat yang bersifat absolut dan kumulatif, yaitu adanya subjek hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 UU MK dan syarat-syarat anggapan kerugian konstitusional sebagaimana yang ditentukan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007. Terlebih, dalam mempertimbangkan dan menilai persyaratan kedudukan hukum pemohon di Mahkamah Konstitusi tidak dapat dipisahkan dengan isu konstitusionalitas dan berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian. Dengan demikian, bisa jadi dalam memberikan kedudukan hukum antara permohonan yang satu dengan yang lainnya, Mahkamah dapat memberikan pertimbangan yang berbeda.

Dengan demikian, pertimbangan hukum pada Putusan Mahkamah Konstitusi di atas mutatis mutandis berlaku pada putusan ini. Oleh karena itu, berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah berkesimpulan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Seandainyapun para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, quod non, dan Mahkamah dapat masuk untuk mempertimbangkan pokok permohonan, namun oleh karena ketentuan Pasal 256, Pasal 603 dan Pasal 604 UU 1/2023 merupakan norma yang belum berlaku dan belum memiliki kekuatan hukum mengikat, Mahkamah akan berpendirian bahwa permohonan para Pemohon adalah permohonan yang prematur.

[3.7] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, Mahkamah tidak mempertimbangkan permohonan lebih lanjut.

[3.8] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 117/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-01-2023

Partai Berkarya yang diwakili oleh Muchdi Purwopranjono (Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Parat Berkarya) dan Fauzan Rachmansyah (Sekertaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Parat Berkarya) yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Rino, S.H., dkk, advokat yang tergabung dalam Kantor Hukum Rino Maulana Iskandar & Co, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 169 huruf n, Penjelsan Pasal 169 huruf n, dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017

Pasal 1 ayat (3), Pasal 7, Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.14] Menimbang bahwa berkenaan dengan permohonan Pemohon, masalah konstitusional yang harus dijawab Mahkamah, yaitu apakah pengaturan persyaratan calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana dimaktubkan dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 tidak memberikan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dan dilindungi Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
[3.15] Menimbang bahwa berkenaan dengan masalah tersebut, pertimbangan hukum Mahkamah akan disandarkan pada ketentuan UUD 1945, terutama norma Pasal 7 UUD 1945. Tidak hanya itu, norma Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 juga berkaitan erat dengan norma persyaratan untuk menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden, pertimbangan hukum Mahkamah juga akan menyentuh ketentuan norma Pasal 6 UUD 1945, in casu norma Pasal 6 ayat (2) UUD 1945. Kesemua norma Konstitusi tersebut merupakan hasil dari perubahan UUD 1945 yang dilakukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR). Jamak diketahui, tujuan pokok perubahan UUD 1945 selama reformasi konstitusi 1999-2002, antara lain adalah menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan paham demokrasi. Apabila diletakkan dalam konteks sistem pemerintahan, sistem atau paham demokrasi yang dipilih oleh pengubah UUD 1945 adalah demokrasi presidensial.
[3.16] Menimbang bahwa berkenaan dengan ketentuan norma Pasal 7 UUD 1945 merupakan salah satu norma dalam UUD 1945 yang diubah untuk pertama kalinya dalam agenda reformasi konstitusi tahun 1999. Sebagaimana diketahui, sebelum perubahan, Pasal 7 UUD 1945 menyatakan, “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali”. Secara normatif, Pasal 7 UUD 1945 sebelum perubahan tersebut tidak mengatur untuk berapa kali periode seseorang dapat menjadi Presiden atau Wakil Presiden. Bahkan, dengan adanya frasa “sesudahnya dapat dipilih kembali”, membuka atau memberi kesempatan bagi seseorang untuk menjadi Presiden atau Wakil Presiden tanpa pembatasan periode secara jelas. Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, rumusan fleksibel Pasal 7 UUD 1945 inilah yang digunakan sebagai basis atau dasar argumentasi untuk mengangkat Presiden tanpa batasan periode pada zaman Orde Lama dan Orde Baru. Setelah perubahan, norma Pasal 7 UUD 1945 menjadi, “Presiden dan Wakil Presiden memegang masa jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk sekali masa jabatan”.
[3.17] Menimbang bahwa sekalipun norma Pasal 7 UUD 1945 berhasil diubah dalam perubahan pertama pada tahun 1999, dinamika ketatanegaraan pada awal era reformasi menunjukkan Pasal 7 UUD 1945 telah terlebih dahulu diubah sebelum perubahan UUD 1945. Karena Pasal 7 UUD 1945 sebelum perubahan dinilai telah membuka celah (loop hole) bagi rezim Orde Baru merekayasa begitu rupa sehingga Soeharto menjadi Presiden lebih dari 32 tahun, Sidang Istimewa MPR 1998, sepakat untuk membatasi periodesasi masa jabatan Presiden dalam produk hukum bernama Ketetapan MPR, yaitu: Tap MPR Nomor XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Konsiderans “menimbang” huruf c Tap MPR Nomor XIII/MPR/1998 menyatakan, “dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, tidak adanya pembatasan berapa kali Presiden dan Wakil Presiden dapat dipilih kembali untuk memegang jabatannya telah menimbulkan berbagai penafsiran yang merugikan kedaulatan rakyat/kehidupan demokrasi”. Oleh karena itu, anggota MPR bersepakat untuk mengubah substansi Pasal 7 UUD 1945 tanpa menunggu perubahan UUD 1945 sesuai Pasal 37 UUD 1945 menjadi: “Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia memegang jabatan selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan” [vide Pasal 1 Tap MPR No XIII/MPR/1998].
[3.18] Menimbang bahwa ketika tercapai kesepakatan untuk mengubah UUD 1945, MPR mengadopsi substansi Tap MPR Nomor XIII/MPR/1998 menjadi salah satu materi perubahan UUD 1945 dalam perubahan pertama tahun 1999. Salah satu alasan mengangkat substansi Tap MPR Nomor XIII/MPR/1998 menjadi substansi konstitusi, yaitu pengaturan di bawah konstitusi dinilai tidak memadai untuk materi yang sangat mendasar seperti pembatasan periodesasi masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Sekalipun secara konstruksi terdapat “sedikit perbedaan” antara norma Pasal 1 Tap MPR Nomor XIII/MPR/1998 dengan norma Pasal 7 UUD 1945 hasil perubahan, yaitu dari “Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia memegang jabatan selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan” menjadi “Presiden dan Wakil Presiden memegang masa jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk sekali masa jabatan”, namun secara substansi kedua norma dimaksud membatasi kesempatan seseorang untuk menjadi Presiden atau Wakil Presiden tidak melebihi dari dua periode masa jabatan. Bahkan, selama pembahasan perubahan Pasal 7 UUD 1945 ditemukan beberapa original intent yang terkait langsung dengan pembatasan dimaksud, misalnya, ihwal dua kali masa jabatan tersebut apakah secara berturut-turut atau tidak berturut-turut. Berkenaan dengan hal tersebut, para pengubah UUD 1945 bersepakat, substansi norma Pasal 7 UUD 1945 dimaksudkan baik secara berturut-turut maupun tidak berturut-turut [vide Naskah Komprehensif UUD 1945 Buku IV, Jilid 1, hlm. 477]. Bahkan, apabila diletakan dalam konteks demokrasi presidensial, batasan dua kali berturut-turut dimaksudkan merupakan batasan maksimal seseorang untuk dapat menjadi Presiden atau Wakil Presiden.
[3.19] Menimbang bahwa oleh karena Pasal 7 UUD 1945 telah memberikan pembatasan yang jelas ihwal masa jabatan dan periodesasi masa jabatan Presiden atau Wakil Presiden, secara normatif diperlukan pengaturan lain dalam UUD dan ditindaklanjuti dalam peraturan perundang-undangan di bawah konstitusi untuk mendukung agar pembatasan tersebut terwujud dalam proses pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden, terutama berkenaan dengan syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Berkenaan dengan pengaturan tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.19.1] Bahwa berkenaan dengan syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden secara konstitusional diatur dalam Pasal 6 UUD 1945. Dalam hal ini, norma Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Calon Presiden dan Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendak sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden”. Karena norma konstitusi tidak mungkin mengatur secara detail persyaratan tersebut, Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 mengatur lebih lanjut dengan menyatakan, “Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang”.
[3.19.2] Bahwa saat ini undang-undang yang mengatur tentang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden adalah UU 7/2017. Sebagai pengaturan yang mendapat delegasi dari UUD 1945, Pasal 169 UU 7/2017 mengatur persyaratan untuk menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden sebagai berikut:
a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendaknya sendiri;
c. suami atau istri calon Presiden dan suami atau istri calon Wakil Presiden adalah Warga Negara Indonesia;
d. tidak pernah mengkhianati negara serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya;
e. mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden serta bebas dari penyalahgunaan narkotika;
f. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
g. telah melaporkan kekayaannya kepada instansi yang berwenang memeriksa laporan kekayaan penyelenggara negara;
h. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara;
i. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan;
j. tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
k. tidak sedang dicalonkan sebagai anggota DPR, DPD, atau DPRD;
l. terdaftar sebagai Pemilih;
m. memiliki nomor pokok wajib pajak dan telah melaksanakan kewajiban membayar pajak selama 5 (lima) tahun terakhir yang dibuktikan dengan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan wajib pajak orang pribadi;
n. belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama;
o. setia kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika;
p. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
q. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun;
r. berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah aliyah,
s. sekolah menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau sekolah lain yang sederajat;
t. bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk
u. organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung dalam G.30.S/PKI; dan
v. memiliki visi, misi, dan program dalam melaksanakan pemerintahan negara Republik Indonesia
Selanjutnya, Pasal 227 UU 7/2017 menyatakan pendaftaran bakal pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden melengkapi persyaratan sebagai berikut:
kartu tanda penduduk elektronik dan akta kelahiran Warga Negara Indonesia;
a. surat keterangan catatan kepolisian dan Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia;
b. surat keterangan kesehatan dari rumah sakit Pemerintah yang ditunjuk oleh KPU;
c. surat tanda terima atau bukti penyampaian laporan harta kekayaan pribadi kepada Komisi Pemberantasan Korupsi;
d. surat keterangan tidak sedang dalam keadaan pailit dan/atau tidak memiliki tanggungan utang yang dikeluarkan oleh pengadilan negeri;
e. surat pernyataan tidak sedang dicalonkan sebagai anggota DPR, DPD, dan DPRD;
f. fotokopi nomor pokok wajib pajak dan tanda bukti pengiriman atau penerimaan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi selama 5 (lima) tahun terakhir;
g. daftar riwayat hidup, profit singkat, dan rekam jejak setiap bakal calon;
h. surat pernyataan belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama;
i. surat pernyataan setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945 sebagaimana yang dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
j. surat keterangan dari pengadilan negeri yang menyatakan bahwa setiap bakal calon tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
k. bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah, surat tanda tamat belajar, atau surat keterangan lain yang dilegalisasi oleh satuan pendidikan atau program pendidikan menengah;
l. surat keterangan tidak terlibat organisasi terlarang dan G.30.S/PKI dari kepolisian;
m. surat pernyataan bermeterai cukup tentang kesediaan yang bersangkutan diusulkan sebagai bakal calon Presiden dan bakal calon Wakil Presiden secara berpasangan;
n. surat pernyataan pengunduran diri sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pegawai Negeri Sipil sejak ditetapkansebagai Pasangan Calon Peserta Pemilu; dan
o. surat pernyataan pengunduran diri dari karyawan atau pejabat badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah sejak ditetapkan sebagai Pasangan Calon Peserta Pemilu.
[3.19.3] Bahwa salah satu persyaratan untuk menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang diatur dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 sebagaimana disebutkan di atas adalah, belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama yang diikuti surat pernyataan belum pernah menjabat selama 2 (dua) periode tersebut adalah norma yang dimaksudkan untuk mempertahankan substansi norma Pasal 7 UUD 1945. Bahkan, khusus Penjelasan Pasal 169 huruf n UU 7/2017 juga menegaskan maksud “belum pernah menjabat 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama" adalah yang bersangkutan belum pernah menjabat dalam jabatan yang sama selama dua kali masa jabatan, baik berturut-turut maupun tidak berturut-turut, walaupun masa jabatan tersebut kurang dari 5 (lima) tahun juga merupakan penegasan terhadap maksud Pasal 7 UUD 1945. Dengan demikian, ketentuan yang tertuang dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 merupakan panduan yang harus diikuti oleh penyelenggara pemilihan umum dalam menilai keterpenuhan persyaratan untuk menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden. Selain itu, kedua norma dimaksud adalah untuk menjaga konsistensi dan untuk menghindari degradasi norma Pasal 7 UUD 1945 dimaksud.
[3.20] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut mahkamah, telah ternyata Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 tidak menimbulkan persoalan ketidakpastian hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Seluruhnya Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 119/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-01-2023

dr. Gede Eka Rusdi Antara, dr. Made Adhi Keswara, dr. Heryani HS Parewasi, M.Kes., Sp.OG., dr. A. Wahyudi Pababbri, Sp. PD., dan Dwi Bagas Andika (mahasiswa), dalam hal ini memberikan kuasa kepada Viktor Santoso Tandiasa, S.H., M.H., dan dr. Ardiyanto Panggeso, S.H., M.H., kesemuanya adalah Advokat dan konsultan hukum kesehatan, yang tergabung dalam Firma Hukum VST and Partners, Advocates & Legal Consultants, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 60 dan Pasal 69 ayat (1) UU 29/2004

Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang beserta jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materiil Pasal 60 dan Pasal 69 ayat (1) UU 29/2004 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa setelah memeriksa dalil-dalil pokok permohonan para Pemohon masalah konstitusional yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah:
1 Apakah benar kata “Menteri” dalam Pasal 60 UU 29/2004 bertentangan dengan UUD 1945 apabila tidak dimaknai “Konsil Kedokteran Indonesia”;
2 Apakah benar frasa “mengikat dokter, dokter gigi dan Konsil Kedokteran Indonesia” dalam Pasal 69 ayat (1) UU 29/2004 bertentangan dengan UUD 1945 apabila tidak dimaknai “bersifat rekomendasi dan mengikat dokter, dokter gigi setelah mendapatkan Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia, serta tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk mengajukan gugatan perdata ataupun pidana”;

[3.11] Menimbang bahwa setelah membaca dan memeriksa secara saksama permohonan para Pemohon dan memperhatikan alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan, terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan kata “Menteri” dalam Pasal 60 UU 29/2004 bertentangan dengan UUD 1945 apabila tidak dimaknai “Konsil Kedokteran Indonesia”. Alasan para Pemohon, masuknya peran Menteri dalam menetapkan Anggota MKDKI akan menimbulkan ketidakpastian hukum atas struktur serta kedudukan MKDKI terhadap KKI yang akan berpengaruh pada kekuatan hukum keputusannya dengan KKI. Terhadap dalil para Pemohon tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa MKDKI merupakan sebuah lembaga otonom yang independen dari KKI dan bertanggung jawab kepada KKI yang dibentuk dengan tujuan untuk menegakkan disiplin profesi dokter dan dokter gigi di Indonesia [vide Pasal 55 dan Pasal 56 UU 29/2004]. MKDKI dibentuk untuk melaksanakan salah satu tugas dari KKI yaitu melakukan proses pembinaan dan penegakan disiplin dokter dan dokter gigi, memastikan apakah standar profesi yang telah dibuat oleh KKI telah dilaksanakan dengan benar, termasuk mengadili pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi hingga menentukan sanksi terhadap pelanggaran tersebut [vide Pasal 1 angka 14 UU 29/2004]. Dengan demikian, domain atau yurisdiksi MKDKI adalah penegakan disiplin profesi yakni penegakan atas aturan-aturan dan/atau ketentuan penerapan keilmuan dalam pelaksanaan pelayanan yang harus diikuti oleh dokter dan dokter gigi [vide Penjelasan Pasal 55 ayat (1) UU 29/2004]. Penegakan disiplin profesi dokter dan dokter gigi yang dilakukan oleh MKDKI diawali dengan melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran disiplin profesi dokter dan dokter gigi. Pemeriksaan tersebut bertujuan untuk mencari kebenaran mengenai ada atau tidaknya pelanggaran disiplin profesi dokter atau dokter gigi berdasarkan bukti-bukti yang diajukan oleh pengadu [vide Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 20 Tahun 2014]. Penegakan disiplin dokter dan dokter gigi yang dilakukan oleh MKDKI bertujuan untuk melindungi masyarakat (pasien), menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan serta menjaga kehormatan profesi kedokteran dan kedokteran gigi. Walaupun MKDKI bertanggung jawab kepada KKI, namun agar dapat memberikan perlindungan kepada masyarakat sebagai penerima layanan, dokter dan dokter gigi sebagai pemberi pelayanan, MKDKI dalam menjalankan tugas dan wewenangnya tidak dapat dipengaruhi oleh siapapun atau lembaga lainnya [vide Penjelasan Pasal 55 ayat (3) UU 29/2004]. Pengaturan demikian dimaksudkan untuk menjaga indepedensi MKDKI.
[3.11.2] Bahwa berkenaan hal di atas, sebelum mempertimbangkan lebih jauh ihwal kata “Menteri” dalam Pasal 60 UU 29/2004, terlebih dahulu Mahkamah mengutip pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-XIII/2015, hlm. 219, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 14 Desember 2016 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XVI/2018, hlm. 234-235, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 21 Mei 2019. Dalam Paragraf [3.14] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-XIII/2015, Mahkamah menyatakan:
[3.14] Menimbang bahwa berbagai upaya hukum telah dilakukan oleh negara dalam memberikan perlindungan menyeluruh kepada masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan. Dokter dan dokter gigi sebagai pemberi pelayanan telah banyak melakukan pelayanan kesehatan, akan tetapi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran yang berkembang sangat cepat tidak seimbang dengan perkembangan hukum. Perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan praktik kedokteran dan kedokteran gigi dirasakan selama ini belum memadai karena masih didominasi oleh kebutuhan formal dan kepentingan Pemerintah, sedangkan porsi profesi masih sangat kurang. Oleh karenanya untuk menjembatani kepentingan kedua belah pihak (profesi kedokteran dengan Pemerintah) serta untuk melakukan penilaian terhadap kemampuan objektif dokter dan dokter gigi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dibentuk Konsil Kedokteran Indonesia yang terdiri atas Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Konsil Kedokteran Indonesia merupakan suatu badan independen yang menjalankan fungsi regulator terkait dengan peningkatan kemampuan dokter dan dokter gigi dalam pelaksanaan praktik kedokteran.
Selanjutnya, dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XVI/2018, Mahkamah menyatakan:
“… Mahkamah berpendapat bahwa yang perlu dipahami adalah KKI merupakan suatu badan otonom, mandiri nonstruktural dan bersifat independen yang bertanggung jawab kepada Presiden yang memiliki tugas, fungsi dan wewenang sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 7 dan Pasal 8 UU 29/2004 yaitu melakukan registrasi dokter dan dokter gigi, mengesahkan standar pendidikan profesi dokter dan dokter gigi dan melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan praktik kedokteran yang dilaksanakan bersama lembaga terkait dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan medis. Adapun wewenangnya adalah menyetujui atau menolak permohonan registrasi dokter dan dokter gigi, menerbitkan dan mencabut surat 235 tanda registrasi, mengesahkan standar kompetensi, melakukan pengujian terhadap persyaratan registrasi dokter dan dokter gigi, mengesahkan penerapan cabang ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, melakukan pembinaan bersama terhadap dokter dan dokter gigi mengenai pelaksanaan etika profesi yang ditetapkan oleh organisasi profesi, serta melakukan pencatatan terhadap dokter dan dokter gigi yang dikenakan sanksi oleh organisasi profesi atau perangkatnya karena melanggar ketentuan etika profesi.”
Pertimbangan hukum Mahkamah dalam kedua putusan di atas telah menjelaskan tugas dan fungsi KKI, yaitu sebagai pembuat regulasi dan pembinaan terhadap penyelenggaraan praktik kedokteran dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan medis. Oleh karena itu, apabila KKI selaku pembuat regulasi dan pembina anggota profesi kemudian menetapkan anggota MKDKI sebagaimana dimohonkan oleh para Pemohon (petitum), tentunya akan menimbulkan konflik atau setidak-tidaknya berpotensi terjadinya konflik kepentingan (conflict of interest). Alasannya, pada satu sisi KKI memiliki tugas membuat regulasi yang berkaitan dengan standar profesi, sementara di sisi lain KKI juga mengangkat anggota MKDKI yang bertugas memastikan standar profesi yang dibuat oleh KKI telah dilaksanakan dengan benar. Tak hanya memastikan hal tersebut, MKDKI pun bertugas mengadili pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh anggota profesi. Sehingga, untuk menghindari adanya konflik kepentingan antara tugas dan fungsi KKI dan tidak terjadinya contradictio in terminis jika KKI sekaligus juga mengangkat anggota MKDKI, maka pembentuk undang-undang mengatur bahwa untuk menetapkan anggota MKDKI dilakukan oleh Menteri dengan mempertimbangkan usulan dari organisasi profesi sesuai dengan amanat Pasal 60 UU 29/2004. Terlebih lagi, tidak menutup kemungkinan MKDKI juga akan mengadili dokter yang merangkap sebagai anggota KKI yang masih aktif menjalankan profesinya dalam melayani masyarakat.
Dalam desain sistem pemerintahan, ditetapkannya anggota MKDKI oleh menteri atas usul organisasi profesi harus ditempatkan dalam bagian dari penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaktubkan dalam Konsideran Menimbang huruf b Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang menyatakan, “Setiap menteri memimpin kementerian negara untuk menyelenggarakan urusan tertentu dalam pemerintahan guna mencapai tujuan negara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD1945”. Oleh karena itu, masing-masing menteri memiliki tugas tanggung jawab dalam urusannya untuk mewujudkan tujuan bernegara. Berkenaan dengan urusan tersebut, menteri yang dimaksudkan dalam Pasal 60 UU 29/2004 adalah menteri yang menyelenggarakan urusan bidang kesehatan. Dengan demikian, secara konstitusional, sesuai dengan ketentuan Pasal 17 ayat (1) UUD 1945, pelaksanaan urusan dimaksud tidak dapat dilepaskan dari posisi menteri sebagai pembantu presiden. Meski demikian, dalam menetapkan anggota MKDKI, menteri bertindak berdasarkan atas usulan organisasi profesi. Artinya, menteri tidak dapat menggunakan kekuasaan dan kewenangannya untuk menetapkan anggota MKDKI secara sepihak selain dari usulan organisasi profesi.
Dengan konstruksi penetapan anggota yang demikian akan menciptakan MKDKI sebagai lembaga otonom independen dalam melaksanakan tugasnya sehingga dapat mencegah kemungkinan pengaruh atau intervensi lembaga lain. Selain itu, dengan tidak ditetapkannya anggota MKDKI oleh KKI, hal tersebut dapat dikatakan atau dinilai memberi kepastian hukum yang adil dalam proses penanganan dugaan pelanggaran disiplin. Dalam hal ini, MKDKI dapat mengakomodasi kepentingan masing-masing pihak, terutama memberi kesempatan kepada dokter teradu atau yang diadukan untuk membuktikan apakah telah melanggar disiplin kedokteran atau sebaliknya. Sementara itu, mereka yang merasa dirugikan, in casu pasien, diberikan haknya untuk mengadu. Proses demikian akan menciptakan kepastian hukum yang adil antara keduanya.
Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, dalil para Pemohon mengenai norma kata “Menteri” dalam Pasal 60 UU 29/2004 bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.12] Menimbang bahwa terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan frasa “mengikat dokter, dokter gigi dan Konsil Kedokteran Indonesia” dalam norma Pasal 69 ayat (1) UU 29/2004 apabila tidak dimaknai “bersifat rekomendasi dan mengikat dokter, dokter gigi setelah mendapatkan Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia, serta tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk mengajukan gugatan perdata ataupun pidana” adalah inkonstitusional, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa sehubungan dengan persoalan disiplin profesi, Mahkamah dalam Sub-paragraf [3.13.2] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XII/2014, hlm. 60, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 20 April 2015, mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.13.2] Adapun disiplin profesi pada dasarnya adalah etika yang khusus berlaku bagi orang atau kelompok orang tertentu yang melakukan praktik profesi tertentu pula, namun dengan bentuk dan kekuatan sanksi yang lebih tegas dibanding sanksi etika pada umumnya, meskipun tetap lebih “lunak” dibandingkan sanksi hukum. Sanksi yang diancamkan oleh suatu disiplin profesi relatif lebih keras dibandingkan sanksi etika pada umumnya, karena sanksi disiplin berkaitan dengan dapat atau tidaknya pemegang profesi tertentu untuk terus memegang atau menjalankan profesinya. Dalam UU 29/2004 dapat diketahui bahwa arti disiplin profesi adalah “aturan-aturan dan/atau ketentuan penerapan keilmuan dalam pelaksanaan pelayanan yang harus diikuti oleh dokter dan dokter gigi” [vide Penjelasan Pasal 55 ayat (1) UU 29/2004].
Berdasarkan kutipan pertimbangan hukum di atas telah jelas bahwa profesi dokter adalah profesi tertentu yang berkait dengan manusia baik tubuh maupun nyawanya, sehingga profesi dokter dituntut untuk melakukan kegiatan praktik kedokteran dengan hati-hati dan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan sebagaimana Penjelasan Pasal 55 ayat (1) UU 29/2004. Hal tersebut juga dipertegas oleh Mahkamah melalui Putusan yang sama yaitu dalam Paragraf [3.14] yang menyatakan:
[3.14] Menimbang bahwa tujuan utama ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya adalah ilmu pengetahuan kedokteran umum maupun kedokteran gigi, adalah memuliakan kehidupan manusia. Posisi ilmu pengetahuan kedokteran menjadi istimewa, setidaknya di hadapan hukum, karena ilmu kedokteran dan praktiknya memiliki kaitan yang signifikan dengan kesehatan bahkan kehidupan/keselamatan manusia. Mahkamah sependapat dengan Presiden/Pemerintah yang menyatakan bahwa keistimewaan atau kekhasan profesi dokter dan dokter gigi adalah adanya “pembenaran yang diberikan oleh hukum, yaitu diperkenankannya melakukan tindakan medis terhadap tubuh manusia dalam upaya memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan”. Keistimewaan tersebut terlihat manakala seseorang yang bukan dokter atau dokter gigi melakukan tindakan medis terhadap tubuh manusia, maka tindakan yang demikian dapat digolongkan sebagai tindak pidana.
Dengan demikian, seorang dokter tunduk dan patuh terhadap kode etik dan disiplin dokter dan dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik kedokteran sebagai standar supaya dokter bertindak dengan penuh rasa tanggung jawab dan hati-hati.
[3.12.2] Bahwa selanjutnya persoalan yang harus dijawab Mahkamah adalah apakah putusan penegakan disiplin kedokteran kemudian tidak dapat dijadikan rujukan atau dasar mengajukan perkara perdata atau perkara pidana sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon. Terhadap persoalan tersebut, penting bagi Mahkamah untuk merujuk terlebih dahulu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XII/2014, yang menyatakan sebagai berikut:
[3.18] Menimbang bahwa menurut Mahkamah pertanyaan selanjutnya adalah, apakah suatu tindakan dokter atau dokter gigi yang telah diperiksa dan diputus oleh MKDKI, masih dapat diajukan pelaporannya kepada pihak berwenang dan/atau digugat secara perdata.
Dengan merujuk pada pertimbangan hukum yang telah diuraikan sebelumnya, Mahkamah berpendapat bahwa proses pengadilan baik dalam perkara pidana maupun perkara perdata selama terkait dengan tindakan profesi kedokteran (baik dokter atau dokter gigi) harus dilakukan dalam lingkup profesi kedokteran. Artinya standar penilaian terhadap tindakan/asuhan dokter dan dokter gigi tidak boleh semata-mata dilihat dari kacamata Undang-Undang mengenai hukum pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada umumnya, melainkan harus didasarkan pada standar disiplin profesi kedokteran yang disusun oleh lembaga resmi yang ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan.
Hal demikian terkait dengan keistimewaan profesi dan ilmu kedokteran yang secara hakiki memang lebih dekat dengan risiko yang berakibat kecacatan bahkan hilangnya nyawa seseorang. Meskipun bisa jadi tindakan profesi kedokteran dan tindakan profesi lain sama-sama mengakibatkan atau menimbulkan risiko cacat atau kematian, dan keduanya diatur dalam Undang- Undang yang sama, misalkan KUHP, tetapi tentu harus dibedakan konsekuensi hukumnya bagi dokter atau dokter gigi karena mereka memang diizinkan untuk melakukan tindakan terhadap tubuh manusia, sementara profesi lain tidak demikian adanya.
Perbedaan tersebut menurut Mahkamah memberikan dasar yang kuat bagi penegak hukum yaitu kepolisian dan kejaksaan untuk perkara pidana, maupun pengadilan baik pidana maupun perdata, untuk memperlakukan dokter dan dokter gigi secara berbeda. Perbedaan demikian harus dilakukan atau ditunjukkan dengan menjadikan ilmu kedokteran, khususnya yang tertuang dalam peraturan disiplin profesional dokter, sebagai rujukan utama dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, serta pemeriksaan persidangan.
[3.19] Menimbang, pertimbangan hukum yang demikian menegaskan pendapat Mahkamah bahwa makna keadilan adalah memperlakukan sama terhadap yang sama dan memperlakukan berbeda terhadap dua hal yang memang berbeda. Konsep keadilan yang demikian merupakan pengetahuan yang bersifat umum (tacit knowledge) yang diyakini Mahkamah telah dimiliki dan disadari oleh semua aparat penegak hukum, yaitu kepolisian, kejaksaan, serta pengadilan.
Terkait dengan hal tersebut Mahkamah berpendapat bahwa proses pidana dan/atau gugatan perdata yang diatur dalam Pasal 66 ayat (3) Undang- Undang a quo, secara kontekstual tidak memiliki makna lain selain menjadikan ilmu kedokteran, khususnya kode etik dan disiplin profesi kedokteran, sebagai salah satu rujukan dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, serta pemeriksaan sidang. Tindakan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, serta pemeriksaan sidang yang menjadikan kode etik dan disiplin profesi kedokteran sebagai salah satu rujukan, antara lain, dengan mendengarkan pendapat atau keahlian dari pihak-pihak yang memiliki kompetensi di bidang kedokteran, ketika aparat penegak hukum melakukan penafsiran terhadap peraturan hukum yang mengatur tindakan dokter atau dokter gigi, serta ketika melakukan penilaian terhadap tindakan dokter atau dokter gigi dimaksud.
Dilaksanakannya peradilan yang menjadikan ilmu kedokteran sebagai salah satu rujukan dalam mengadili dokter dan/atau dokter gigi yang diduga melakukan malpraktik, menurut Mahkamah telah membatasi risiko yang harus ditanggung dokter dan/atau dokter gigi dari pelaporan pidana atau gugatan perdata. Artinya dalam proses pengadilan yang demikian akan tertutup kemungkinan dijatuhkannya sanksi pidana dan/atau perdata kepada dokter atau dokter gigi yang tindakan medisnya oleh MKDKI telah dinyatakan sesuai atau tidak melanggar disiplin profesi kedokteran.
Adapun ketentuan pelaporan secara pidana dan/atau gugatan secara perdata tentu tetap diperlukan untuk melindungi hak-hak pasien dan pemangku kepentingan pada umumnya dari tindakan dokter atau dokter gigi yang berada di luar cakupan disiplin profesi kedokteran, atau untuk melindungi hak pasien manakala tindakan dokter atau dokter gigi yang dinyatakan oleh MKDKI melanggar disiplin profesi kedokteran ternyata menimbulkan kerugian pada pasien.
Dalam konteks sebagaimana telah diuraikan oleh Mahkamah dalam rangkaian pertimbangan hukum di atas, ketakutan bahwa dokter dan/atau dokter gigi akan dikenai sanksi pidana dan/atau sanksi perdata jika melakukan tindakan kedokteran yang lebih lanjut menimbulkan praktik defensive medicine di kalangan medis, menurut Mahkamah tidak berdasar dan tidak lagi memiliki relevansi untuk dipertimbangkan lebih lanjut.
Dengan berdasar pada pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi di atas, jelas bahwa ketentuan pelaporan secara pidana dan/atau gugatan secara perdata tentu tetap diperlukan untuk melindungi hak-hak pasien dan pemangku kepentingan pada umumnya dari tindakan dokter atau dokter gigi yang berada di luar cakupan disiplin profesi kedokteran, atau untuk melindungi hak pasien manakala tindakan dokter atau dokter gigi yang dinyatakan oleh MKDKI melanggar disiplin profesi kedokteran ternyata menimbulkan kerugian pada pasien. Artinya, dokter yang telah diperiksa oleh MKDKI tetap dapat digugat atau dipersoalkan di pengadilan baik perdata maupun pidana. Ketentuan tersebut diberlakukan karena UU 29/2004 bertujuan untuk melindungi masyarakat, baik pasien sebagai pengguna layanan kesehatan maupun dokter dan dokter gigi sebagai pemberi layanan, sehingga norma yang diatur dalam UU 29/2004 tidak hanya memberikan perlindungan terhadap pasien tetapi juga perlindungan hak konstitusional terhadap dokter dan dokter gigi. Jika Mahkamah mengikuti substansi yang dimohonkan oleh para Pemohon, tujuan dari pembentukan UU 29/2004 dan tujuan bernegara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 tidak akan tercapai.
Dengan demikian, dalil para Pemohon mengenai Pasal 69 UU 29/2004 bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, telah ternyata norma kata “menteri” dalam Pasal 60 dan frasa “mengikat dokter, dokter gigi dan Konsil Kedokteran Indonesia” dalam Pasal 69 ayat (1) UU 29/2004 telah sejalan dengan prinsip negara hukum dan tidak menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, dalil-dalil permohonan para Pemohon berkenaan dengan pengujian norma Pasal 60 dan Pasal 69 ayat (1) UU 29/2004 adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.14] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 24/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2019 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-01-2023

E. Ramos Petege, yang selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2), dan Pasal 8 huruf f UU Perkawinan

Pasal 27 ayat (1), Pasal 28B ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28I ayat (1), Pasal 28I ayat (2), Pasal 29 ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2), dan Pasal 8 huruf f UU Perkawinan dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.20] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca dan mempelajari secara saksama, telah ternyata permohonan Pemohon substansinya berkaitan dengan keabsahan dan pencatatan perkawinan. Untuk itu, penting bagi Mahkamah terlebih dahulu mengutip pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XII/2014, terkait dengan keabsahan perkawinan sebagai berikut:
“[3.12.3] ... Menurut Mahkamah, dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap warga negara wajib tunduk terhadap pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis [vide Pasal 28J UUD 1945]. Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan UUD 1945, menurut Mahkamah, UU 1/1974 telah dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 serta telah pula dapat menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat;

[3.12.4] ... Menurut Mahkamah, perkawinan merupakan salah satu bidang permasalahan yang diatur dalam tatanan hukum di Indonesia. Segala tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh warga negara termasuk dalam hal yang menyangkut urusan perkawinan harus taat dan tunduk serta tidak bertentangan atau melanggar peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan mengenai perkawinan dibentuk untuk mengatur dan melindungi hak dan kewajiban setiap warga negara dalam kaitannya dengan perkawinan. Perkawinan menurut UU 1/1974 diartikan sebagai hubungan lahir batin yang terjalin antara seorang pria dan seorang wanita yang diikat oleh tali pernikahan dan menjadikan status mereka sebagai suami istri. Perkawinan ditujukan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Suatu perkawinan dianggap sah apabila dilakukan sesuai dengan hukum masing-masing agama atau kepercayaannya serta dicatat menurut peraturan perundang-undangan. Sebagai ikatan lahir, perkawinan merupakan hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri. Ikatan lahir tersebut merupakan hubungan formil yang sifatnya nyata, baik bagi yang mengikatkan dirinya maupun bagi orang lain atau masyarakat, sedangkan sebagai ikatan batin, perkawinan merupakan pertalian jiwa yang terjalin karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri. Bahwa ikatan lahir dan batin dalam sebuah perkawinan juga merupakan bentuk pernyataan secara tegas bahwa seorang pria dan seorang wanita ingin membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa;

[3.12.5] ... Menurut Mahkamah, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, agama menjadi landasan dan negara mempunyai kepentingan dalam hal perkawinan. Agama menjadi landasan bagi komunitas individu yang menjadi wadah kebersamaan pribadi-pribadi dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa serta turut bertanggung jawab terwujudnya kehendak Tuhan Yang Maha Esa untuk meneruskan dan menjamin keberlangsungan hidup manusia. Negara juga berperan memberikan pedoman untuk menjamin kepastian hukum kehidupan bersama dalam tali ikatan perkawinan. Secara khusus, negara berperan untuk memberikan perlindungan untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah yang merupakan wujud dan jaminan keberlangsungan hidup manusia. Perkawinan tidak boleh hanya dilihat dari aspek formal semata, tetapi juga harus dilihat dari aspek spiritual dan sosial. Agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan Undang-Undang menetapkan keabsahan administratif yang dilakukan oleh negara;”

Selain pertimbangan hukum putusan di atas, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, Mahkamah juga telah mempertimbangkan mengenai pencatatan perkawinan, antara lain sebagai berikut:
“[3.12] Menimbang bahwa pokok permasalahan hukum mengenai pencatatan perkawinan menurut peraturan perundang-undangan adalah mengenai makna hukum (legal meaning) pencatatan perkawinan. Mengenai permasalahan tersebut, Penjelasan Umum angka 4 huruf b UU 1/1974 tentang asas-asas atau prinsip-prinsip perkawinan menyatakan, “... bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte yang juga dimuat dalam daftar pencatatan”.

Berdasarkan Penjelasan UU 1/1974 di atas nyatalah bahwa (i) pencatatan perkawinan bukanlah merupakan faktor yang menentukan sahnya perkawinan; dan (ii) pencatatan merupakan kewajiban administratif yang diwajibkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Adapun faktor yang menentukan sahnya perkawinan adalah syarat-syarat yang ditentukan oleh agama dari masing-masing pasangan calon mempelai. Diwajibkannya pencatatan perkawinan oleh negara melalui peraturan perundang-undangan merupakan kewajiban administratif.
Makna pentingnya kewajiban administratif berupa pencatatan perkawinan tersebut, menurut Mahkamah, dapat dilihat dari dua perspektif. Pertama, dari perspektif negara, pencatatan dimaksud diwajibkan dalam rangka fungsi negara memberikan jaminan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia yang bersangkutan yang merupakan tanggung jawab negara dan harus dilakukan sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis yang diatur serta dituangkan dalam peraturan perundang-undangan [vide Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945]. Sekiranya pencatatan dimaksud dianggap sebagai pembatasan, pencatatan demikian menurut Mahkamah tidak bertentangan dengan ketentuan konstitusional karena pembatasan ditetapkan dengan Undang-Undang dan dilakukan dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis [vide Pasal 28J ayat (2) UUD 1945]. Kedua, pencatatan secara administratif yang dilakukan oleh negara dimaksudkan agar perkawinan, sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan yang bersangkutan dapat terselenggara secara efektif dan efisien. Artinya, dengan dimilikinya bukti otentik perkawinan, hak-hak yang timbul sebagai akibat perkawinan dapat terlindungi dan terlayani dengan baik, karena tidak diperlukan proses pembuktian yang memakan waktu, uang, tenaga, dan pikiran yang lebih banyak, seperti pembuktian mengenai asal-usul anak dalam Pasal 55 UU 1/1974 yang mengatur bahwa bila asal-usul anak tidak dapat dibuktikan dengan akta otentik maka mengenai hal itu akan ditetapkan dengan putusan pengadilan yang berwenang. Pembuktian yang demikian pasti tidak lebih efektif dan efisien bila dibandingkan dengan adanya akta otentik sebagai buktinya;”

Berdasarkan pertimbangan hukum kedua putusan di atas, sesungguhnya Mahkamah telah secara jelas dan tegas menjawab bahwa mengenai keabsahan perkawinan merupakan domain agama melalui lembaga atau organisasi keagamaan yang berwenang atau memiliki otoritas memberikan penafsiran keagamaan. Peran negara dalam hal ini menindaklanjuti hasil penafsiran yang diberikan oleh lembaga atau organisasi keagamaan tersebut. Adapun mengenai pelaksanaan pencatatan perkawinan oleh institusi negara adalah dalam rangka memberikan kepastian dan ketertiban administrasi kependudukan sesuai dengan semangat Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, oleh karena dalam hal perkawinan terdapat kepentingan dan tanggungjawab agama dan negara yang saling berkait erat maka melalui kedua putusan di atas Mahkamah telah memberikan landasan kontitusionalitas relasi agama dan negara dalam hukum perkawinan bahwa agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan negara menetapkan keabsahan administratif perkawinan dalam koridor hukum.

[3.21] Menimbang bahwa setelah Mahkamah mempertimbangkan keabsahan dan pencatatan perkawinan sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan konstitusionalitas Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 8 huruf f dan Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974, in casu larangan perkawinan dengan pasangan yang berbeda agama termasuk pencatatannya yang menurut Pemohon sama saja negara memaksakan warga negaranya dengan hanya memperbolehkan perkawinan seagama, padahal menikah adalah hak setiap orang. Sementara itu, di sisi lain masih menurut Pemohon tidak ada tolok ukur dan kesamaan tafsir yang digunakan untuk mengukur larangan dan kebolehan perkawinan beda agama. Terhadap persoalan konstitusionalitas tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.21.1] Bahwa Hak Asasi Manusia merupakan hak yang diakui oleh Indonesia yang kemudian tertuang dalam UUD 1945 sebagai hak konstitusional warga negara Indonesia. Meskipun demikian, hak asasi manusia yang berlaku di Indonesia haruslah sejalan dengan falsafah ideologi Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila sebagai identitas bangsa. Jaminan perlindungan hak asasi manusia secara universal tertuang dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR). Walaupun telah dideklarasikan sebagai bentuk kesepakatan bersama negara-negara di dunia, penerapan hak asasi manusia di tiap-tiap negara disesuaikan pula dengan ideologi, agama, sosial, dan budaya rakyat di negara masing-masing. Mahkamah telah mempertimbangkan perihal kedudukan dan kekuatan mengikatnya UDHR, yang antara lain menyatakan pada pokoknya Universal Declaration of Human Rights hanya merupakan “statement of ideals” sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum (legal binding) secara langsung [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 008/PUU-IV/2006, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 28 September 2006, hlm. 57].
Dalam konteks perkawinan yang menjadi pokok persoalan dalam perkara ini, terdapat perbedaan konstruksi jaminan perlindungan antara UDHR dan UUD 1945. Pasal 16 ayat (1) UDHR menyebutkan secara eksplisit “Men and women of full age, without any limitation due to race, nationality or religion, have the right to marry and to found a family”. Diterjemahkan bahwa “Laki-laki dan Perempuan yang sudah dewasa, dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga”. UDHR secara tegas memberi jaminan perlindungan atas hak untuk menikah (right to marry). Sementara itu, UUD 1945 memiliki konstruksi rumusan berbeda melalui Pasal 28B ayat (1) yang menyebutkan, “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. Berdasarkan rumusan Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 tersebut, ada 2 (dua) hak yang dijamin secara tegas dalam ketentuan a quo, yaitu “hak membentuk keluarga” dan “hak melanjutkan keturunan”. Adapun frasa berikutnya menunjukkan bahwa “perkawinan yang sah” merupakan prasyarat dalam rangka perlindungan kedua hak yang disebutkan sebelumnya. Artinya, perkawinan bukan diletakkan sebagai hak melainkan sebagai prasyarat bagi pelaksanaan hak membentuk keluarga dan hak melanjutkan keturunan. Berdasarkan uraian tersebut maka telah jelas bahwa dalam konteks perlindungan hak untuk menikah (right to marry) terdapat perbedaan mendasar antara UDHR dengan UUD 1945. Sebagai negara hukum yang menegakkan supremasi konstitusi maka tanpa mengesampingkan hak asasi yang berlaku universal dalam UDHR, sudah seharusnya Mahkamah menjadikan UUD 1945 sebagai landasan utama dalam menilai hak konstitusional warga negara.
Bahwa meskipun Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 meletakkan perkawinan yang sah merupakan syarat untuk melindungi hak membentuk keluarga dan hak
untuk melanjutkan keturunan, akan tetapi syarat tersebut bersifat wajib. Karena,
tidak dapat membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan apabila tidak dilakukan melalui perkawinan yang sah. Dengan menggunakan kaidah hukum “sesuatu yang menjadi syarat bagi suatu kewajiban, hukumnya menjadi wajib (ma laa yatiimmu alwajibu illa bihi fahuwa wajib)”, maka perkawinan yang sah juga merupakan hak konstitusional yang harus dilindungi.

[3.21.2] Bahwa perihal keberadaan negara dalam mengatur perihal perkawinan, Mahkamah pernah mempertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XV/2017 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 23 Juli 2018, bahwa berkenaan dengan beragama pada dasarnya terbagi menjadi dua. Pertama, beragama dalam pengertian meyakini suatu agama tertentu yang merupakan ranah forum internum yang tidak dapat dibatasi dengan pemaksaan bahkan tidak dapat diadili. Kedua, beragama dalam pengertian ekspresi beragama melalui pernyataan dan sikap sesuai hati nurani di muka umum yang merupakan ranah forum externum [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XV/2017, hlm. 532]
Adapun perkawinan merupakan bagian dari bentuk ibadah sebagai suatu ekspresi beragama. Dengan demikian, perkawinan dikategorikan sebagai forum eksternum di mana negara dapat campur tangan sebagaimana halnya dengan pengelolaan zakat maupun pengelolaan ibadah haji. Peran negara bukanlah dimaksudkan untuk membatasi keyakinan seseorang, melainkan lebih dimaksudkan agar ekspresi beragama tidak menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama yang dianut. Perkawinan merupakan salah satu bidang permasalahan yang diatur dalam tatanan hukum di Indonesia sebagaimana tertuang dalam UU 1/1974. Segala tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh warga negara termasuk dalam hal yang menyangkut urusan perkawinan harus taat dan tunduk serta tidak bertentangan atau melanggar peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan mengenai perkawinan dibentuk untuk mengatur dan melindungi hak dan kewajiban setiap warga negara dalam kaitannya dengan perkawinan. Adanya pengaturan demikian sejalan pula dengan Pasal 28J UUD 1945 bahwa dalam menjalankan hak yang dijamin UUD 1945, setiap warga negara wajib tunduk terhadap pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis berdasarkan hukum.
Selain berdasarkan peraturan perundang-undangan, campur tangan negara dalam penyelenggaraan perkawinan tidak sampai menjadi penafsir agama bagi keabsahan perkawinan. Dalam hal ini, negara menindaklanjuti hasil penafsiran embaga atau organisasi keagamaan untuk memastikan bahwa perkawinan harus sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Hasil penafsiran tersebut yang kemudian dituangkan oleh negara dalam peraturan perundang-undangan. Dengan demikian yang membuat penafsiran keabsahan perkawinan, in casu larangan perkawian beda agama tetaplah pemuka agama. Dalam hal ini yang telah disepakati melalui lembaga atau organisasi keagamaan, bukan penafsiran yang dilakukan oleh individu yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.
Dalam konteks perkara a quo, Mahkamah telah pula mendengar dan membaca keterangan Pihak Terkait MUI dan DDII serta Pihak Terkait Tidak Langsung PAHAM Indonesia, SALIMAH, Yayasan AILA Indonesia, dan Perkumpulan Wanita Islam. Bahkan dalam perkara sebelumnya yang telah diputus melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XII/2014, yang juga menjadi rujukan putusan a quo, Mahkamah juga telah menghadirkan organisasi-organisasi keagamaan untuk menjelaskan keberadaan perkawinan dalam setiap agama. Organisasi yang diundang di antaranya adalah MUI, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Perwakilan Umat Budha Indonesia (Walubi), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), dan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin) yang pada pokoknya menunjukkan adanya kebebasan bagi setiap agama untuk mengkonsepsikan perkawinan sesuai dengan ajaran agama, sehingga menurut Mahkamah tidak ada pemaksaan negara atas penyelenggaraan perkawinan bagi suatu agama apapun. Dalam hal ini, peran negara adalah menindaklanjuti hasil penafsiran yang disepakati oleh lembaga atau organisasi keagamaan. Terlebih lagi, salah satu sumber hukum dalam pengertian materil adalah ajaran-ajaran agama dan adat istiadat yang masih hidup dalam masyarakat. Dengan demikian, keberadaan Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 8 huruf f UU 1/1974 telah sesuai dengan esensi Pasal 28B ayat (1) dan Pasal 29 UUD 1945 yakni berkaitan dengan kewajiban negara untuk menjamin pelaksanaaan ajaran agama.

[3.21.3] Bahwa Perkawinan menurut UU 1/1974 diartikan sebagai ikatan lahir batin yang terjalin antara seorang pria dan seorang wanita yang diikat oleh tali pernikahan dan menjadikan status mereka sebagai suami istri. Perkawinan ditujukan untuk membentuk keluarga dalam suatu rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa [vide Pasal 1 UU 1/1974]. Ihwal perkawinan, Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 menyebutkan tidak hanya sebatas perkawinan, tetapi lebih dari itu, yakni “perkawinan yang sah”. Adapun perkawinan yang sah adalah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Pada ketentuan Pasal 2 UU 1/1974, pencatatan yang dimaksud ayat (2) haruslah pencatatan yang membawa keabsahan dalam ayat (1). Dengan demikian, UU 1/1974 menghendaki agar perkawinan yang dicatat adalah perkawinan yang sah. Diwajibkannya pencatatan perkawinan oleh negara merupakan kewajiban administratif. Sedangkan perihal sahnya perkawinan, dengan adanya norma Pasal 2 ayat (1) a quo negara justru menyerahkannya kepada agama dan kepercayaan karena syarat sah perkawinan ditentukan oleh hukum masing-masing agama dan kepercayaan.
Ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 memberikan suatu koridor bagi pelaksanaan perkawinan bahwa agar perkawinan sah maka perkawinan tersebut dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Berlakunya ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 bukan berarti menghambat ataupun menghalangi kebebasan setiap orang untuk memilih agama dan kepercayaannya. Kaidah pengaturan dalam norma Pasal 2 ayat (1) adalah perihal perkawinan yang sah menurut agama dan kepercayaan, bukan mengenai hak untuk memilih agama dan kepercayaan. Pilihan untuk memeluk agama dan kepercayaannya tetaplah menjadi hak masing-masing orang untuk memilih, menganut, dan meyakininya sebagaimana dijamin oleh Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.

[3.21.4] Bahwa untuk tertibnya administrasi dalam pencatatan perkawinan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU 23/2006) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, khususnya Pasal 35 huruf a dan Penjelasan Pasal 35 huruf a sebagai berikut:
Pasal 35 huruf a:
“Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi:
a. perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan;”

Penjelasan Pasal 35 huruf a:
“Yang dimaksud dengan “Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan” adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama”.

Pasal 34 UU 23/2006 menegaskan bahwa setiap warga negara yang telah melangsungkan perkawinan sah menurut peraturan perundang-undangan berhak mencatatkan perkawinannya pada kantor catatan sipil bagi pasangan yang beragama non-Islam dan di Kantor Urusan Agama (KUA) bagi pasangan beragama Islam. Jaminan pencatatan perkawinan bagi setiap warga negara juga dapat dilakukan terhadap perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan. Meskipun dalam penjelasannya dijelaskan yang dimaksud perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama, menurut Mahkamah bukan berarti negara mengakui perkawinan beda agama. Karena negara dalam hal ini mengikuti penafsiran yang telah dilakukan oleh lembaga atau organisasi keagamaan yang memiliki otoritas mengeluarkan penafsiran. Dalam hal terjadi perbedaan penafsiran maka lembaga atau organisasi keagamaan dari individu tersebut yang berwenang menyelesaikannya. Sebagai sebuah peristiwa kependudukan, kepentingan negara, in casu pemerintah, adalah mencatat sebagaimana mestinya perubahan status kependudukan seseorang sehingga mendapatkan perlindungan, pengakuan, status pribadi dan status hukum atas setiap peristiwa kependudukan tersebut [vide Konsiderans Menimbang huruf b UU 23/2006], termasuk dalam hal ini pencatatan perkawinan yang dilakukan melalui penetapan oleh pengadilan.
Tanpa bermaksud menilai konstitusionalitas norma pasal dalam UU 23/2006, menurut Mahkamah bahwa ketentuan tersebut harus dipahami sebagai pengaturan di bidang administratif kependudukan oleh negara karena perihal keabsahan perkawinan adalah tetap harus merujuk pada norma Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 yaitu perkawinan yang sah adalah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
Pengaturan pelaksanaan pencatatan perkawinan di atas menunjukkan tidak ada persoalan konstitusionalitas Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan. Justru sebaliknya dengan adanya pengaturan pencatatan perkawinan bagi setiap warga negara yang melangsungkan perkawinan secara sah menunjukkan bahwa negara telah berperan dan berfungsi memberikan jaminan perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan hak asasi manusia yang merupakan tanggungjawab negara dan harus dilakukan sesuai dengan prinsip negara hukum yang diatur serta dituangkan dalam peraturan perundang-undangan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945 [vide Pertimbangan Hukum pada Paragraf [3.12] Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010].

[3.22] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca dan mendengarkan secara saksama keterangan para pihak, ahli dan saksi serta mencermati fakta persidangan, Mahkamah tidak menemukan adanya perubahan keadaan dan kondisi ataupun perkembangan baru terkait dengan persoalan konstitusionalitas keabsahan dan pencataan perkawinan, sehingga tidak terdapat urgensi bagi Mahkamah untuk bergeser dari pendirian Mahkamah pada putusan-putusan sebelumnya. Melalui rangkaian pertimbangan hukum di atas Mahkamah tetap pada pendiriannya terhadap konstitusionalitas perkawinan yang sah adalah yang dilakukan menurut agama dan kepercayaannya serta setiap perkawinan harus tercatat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, dalil Pemohon berkenaan dengan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 8 huruf f UU 1/1974 adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.23] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, permohonan Pemohon mengenai norma Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 8 huruf f UU 1/1974 telah ternyata tidak bertentangan dengan prinsip jaminan hak memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya, persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan, hak untuk hidup dan bebas dari perlakuan diskriminatif, hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan, hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, sebagaimana dijamin oleh Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28B ayat (1), serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

[3.24] Menimbang bahwa hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dinyatakan Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 75/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIL UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-01-2023

Muhayati, Een Sunarsih, Dewiyah, Kurniyah, dan Sumini, dalam hal ini memberikan kuasa kepada Wilopo Husodo, S.H., M. Risvan W. Putra, SH, Angga Perwira Sukmawinata, S.H., Rizkyanto Nugroho, S.H., dan Robby Firmansyah, S.H., masing-masing adalah advokat pada Kantor Hukum Husodo & Partners, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 UU 13/2003

Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materiil Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 UU 13/2003 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.12] Menimbang bahwa berkaitan dengan dalil-dalil permohonan para Pemohon terdapat 4 isu konstitusional yang dipermasalahkan yakni 1) adanya kerancuan hukum dan tumpang tindih antara istilah atau definisi Pengusaha dan Pemberi Kerja; 2) adanya pembatasan hubungan kerja dalam ketentuan Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 UU 13/2003 yang menimbulkan ketidakadilan hukum; 3) ketentuan Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 UU 13/2003 menimbulkan diskriminasi; dan 4) ketentuan Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 UU 13/2003 menyebabkan hak- hak bagi pekerja yang bekerja kepada selain pengusaha menjadi terabaikan dan tidak diakui oleh undang-undang. Setelah dicermati secara saksama keempat isu tersebut karena saling berkaitan satu sama lain maka dapat dikerucutkan menjadi 2 masalah konstitusional yaitu:
1. Apakah benar norma Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 UU 13/2003 mengandung persoalan tumpang tindih atau kerancuan hukum sehingga tidak memberikan kepastian hukum?
2. Apakah benar norma Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 UU 13/2003 menimbulkan diskriminasi sehingga tidak memberikan jaminan perlindungan hak-hak pekerja rumahan?

[3.13] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan permasalahan konstitusionalitas yang dipersoalkan para Pemohon tersebut, penting bagi Mahkamah mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut:
Bahwa apabila mendasarkan pada UUD 1945 telah ditentukan tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan [vide Pasal 27 ayat (2) UUD 1945]. Pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dimaksud akan terpenuhi apabila mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja [vide Pasal 28D ayat (2) UUD 1945]. Dalam kaitan ini, UU 13/2003 dibentuk dengan maksud untuk mengejawantahkan UUD 1945 dengan meningkatkan kualitas tenaga kerja, meningkatkan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya yang sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Perlindungan tersebut dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar bagi pekerja/buruh, menjamin adanya kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha.
Sebagai salah satu UU yang dibentuk dalam era reformasi, UU 13/2003 menggantikan Undang-Undang sebelumnya (Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan beserta perubahan-perubahannya), yang dipandang belum mengakomodasi kebutuhan pembangunan ketenagakerjaan sebagaimana hal tersebut dijelaskan dalam Penjelasan Umum UU 13/2003 bahwa “beberapa peraturan perundang-undangan tentang ketenagakerjaan yang berlaku selama ini, termasuk sebagian yang merupakan produk kolonial, menempatkan pekerja pada posisi yang kurang menguntungkan dalam pelayanan penempatan tenaga kerja dan sistem hubungan industrial yang menonjolkan perbedaan kedudukan dan kepentingan sehingga dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masa kini dan tuntutan masa yang akan datang”.
Pembentukan UU 13/2003 juga dilakukan dengan maksud untuk mewujudkan jaminan perlindungan terhadap hak dasar bagi pekerja/buruh yang sejalan dengan konvensi International Labour Organization (ILO) yang mengatur mengenai penghargaan terhadap hak asasi manusia di tempat kerja. Konvensi tersebut jika dikelompokkan terdiri dari 4 (empat) hal yaitu: a) Kebebasan Berserikat (Konvensi ILO Nomor 87 dan Nomor 98); b) Diskriminasi (Konvensi ILO Nomor 100 dan Nomor 111); c) Kerja Paksa (Konvensi ILO Nomor 29 dan Nomor 105); dan d) Perlindungan Anak (Konvensi ILO Nomor 138 dan Nomor 182), sehingga penguatan pengaturan hak-hak dasar pekerja/buruh telah sejalan dengan perkembangan instrumen hukum Internasional yang dimaksudkan untuk menjamin kesempatan serta perlakuan yang non diskriminatif atas dasar apapun dalam rangka mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh, termasuk keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha [vide Penjelasan Umum UU 13/2003].

[3.14] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil-dalil para Pemohon sebagai berikut:

[3.14.1] Bahwa para Pemohon mendalilkan definisi hubungan kerja sebagaimana diatur dalam pada Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 UU 13/2003 telah menimbulkan kerancuan hukum yang berakibat tidak adanya pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum, menimbulkan perlakuan yang tidak adil bagi pekerja yang tidak bekerja pada pengusaha karena dianggap berada di luar hubungan kerja sehingga menurut para Pemohon Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 UU 13/2003 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa “hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha atau pemberi kerja dengan pekerja/buruh, berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah”, dan “Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha atau pemberi kerja dan pekerja/buruh”. Terhadap dalil para Pemohon a quo Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.14.1.1] Bahwa Pasal 1 angka 15 UU 13/2003 merupakan bagian dari Bab I tentang Ketentuan Umum yang memuat tentang batasan pengertian atau definisi, singkatan atau akronim yang digunakan dalam peraturan, dan hal-hal lain yang bersifat umum yang menjadi dasar bagi berlakunya pasal-pasal berikutnya. Pentingnya diatur ketentuan umum dalam suatu peraturan perundang-undangan dimaksudkan salah satunya untuk memperjelas batas pengertian atau definisi, singkatan atau akronim yang digunakan dalam peraturan tersebut sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda [vide angka 98 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan]. Oleh karena itu, menurut Mahkamah apabila para Pemohon mempersoalkan tentang batasan pengertian, singkatan atau hal-hal lain yang bersifat umum yang dijadikan dasar/pijakan bagi pasal-pasal berikutnya dalam UU a quo, harus memiliki argumentasi yang kuat yang dapat membuktikan adanya kerancuan hukum dalam Pasal 1 angka 15 UU 13/2003. Sebab, batasan pengertian atau definisi yang ada dalam ketentuan umum sebuah undang-undang menjadi rujukan pasal-pasal lain dalam undang-undang tersebut, termasuk juga rujukan jika akan dibentuk peraturan pelaksananya.

[3.14.1.2] Bahwa menurut Mahkamah ketentuan Pasal 1 angka 15 UU 13/2003 yang menyatakan “Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah” yang juga terbukti sangat terkait erat dengan Pasal 50 yang menyatakan “Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh”, yang juga dimohonkan oleh para Pemohon, telah memberikan gambaran yang jelas tentang apa yang dimaksud hubungan kerja, apa dan siapa subjek dan objek hukumnya serta unsur apa saja yang wajib ada dalam sebuah perjanjian kerja. Dalam kaitan ini, Mahkamah dapat memahami adanya kekhawatiran dari para Pemohon sebagai akibat adanya norma a quo yang seolah-olah telah membatasi pihak yang dapat dilibatkan dalam sebuah hubungan kerja sehingga mengakibatkan para Pemohon tidak memiliki hak yang sama seperti halnya pekerja atau buruh yang melakukan hubungan kerja dengan pengusaha dengan perjanjian kerja sebagaimana diatur dalam UU a quo. Namun, kekhawatiran dimaksud tidaklah tepat untuk dihilangkan hanya dengan cara menyisipkan frasa “pemberi kerja” dalam norma Pasal 1 angka 15 UU 13/2003.
Selain itu, menurut Mahkamah Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 UU 13/2003 memang dikonstruksikan untuk mengatur perihal hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh yang mengacu pada perjanjian kerja yang pada prinsipnya dibuat secara tertulis, namun dimungkinkan secara lisan dengan melihat kondisi masyarakat yang beragam [vide Pasal 51 dan Penjelasan UU 13/2003]. Di dalam perjanjian kerja tersebut memuat hak dan kewajiban keduanya. UU 13/2003 telah mengatur secara detail tentang ketentuan apa saja yang harus ada dalam sebuah perjanjian kerja yakni bahwa dalam perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha, nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh, jabatan atau jenis pekerjaan, tempat pekerjaan, besarnya upah dan cara pembayarannya, syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh, mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja, tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat dan tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja [vide Pasal 54 ayat (1) UU 13/2003]. Berkenaan dengan unsur besarnya upah dan cara pembayarannya serta syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh dalam perjanjian kerja merupakan materi muatan yang tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang undangan yang berlaku [vide Pasal 54 ayat (2) UU 13/2003].

[3.14.1.3] Bahwa ketentuan perjanjian kerja dalam UU 13/2003 dilakukan oleh pengusaha baik perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan perusahaan dengan pekerja/buruh yang melahirkan hubungan kerja antara para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 UU 13/2003. Dalam kaitan ini, apabila mengikuti petitum para Pemohon yang menghendaki adanya perjanjian kerja juga antara pemberi kerja dan pekerja rumahan maka hal tersebut sesungguhnya tidak dilarang sepanjang para pihak saling bersepakat mengikatkan dirinya dalam perjanjian berdasarkan asas-asas kebebasan berkontrak [vide Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUH Perdata]. Namun, kehendak para Pemohon tersebut tidak harus dilakukan dengan cara mengubah konstruksi norma Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 UU 13/2003. Sebab, jika hal tersebut dikabulkan justru akan berdampak pada semakin tidak terakomodirnya kebutuhan mendapatkan pekerjaan dan kebutuhan akan tenaga kerja. Di mana, secara faktual ketersediaan tenaga kerja dengan kebutuhan pekerjaan yang disediakan masih belum seimbang.
Selain itu, apabila pengertian pengusaha dalam Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 UU 13/2003 dimaknai seperti yang dimohonkan oleh para Pemohon, menurut Mahkamah hal tersebut justru akan merugikan pekerja/buruh khususnya yang telah membuat perjanjian kerja dengan pengusaha dan terikat dalam hubungan kerja. Karena, pemberi kerja yang memberikan pekerjaan kepada pekerja rumahan tersebut belum tentu merupakan pengusaha yang memiliki perusahaan sehingga hal tersebut akan berimbas pada tidak dapat terlaksananya perjanjian kerja, khususnya antara pekerja/buruh dengan perusahaan yang dalam hal ini diwakili oleh pengusaha sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 5 dan angka 6 UU 13/2003. Terlebih lagi, meskipun Mahkamah tidak menemukan bukti formal yang membuktikan bahwa para Pemohon telah mengikatkan dirinya dalam sebuah perjanjian kerja dengan pemberi kerja yang selama ini telah memberikan pekerjaan kepada para Pemohon, namun demikian para Pemohon seharusnya juga memiliki hak-hak yang sama dengan pekerja/buruh yang bekerja kepada pengusaha yang memiliki perusahaan. Adanya fakta bahwa untuk membuat perjanjian kerja diperlukan syarat khusus tertentu tidak dapat ditafsirkan bahwa hal tersebut menimbulkan perlakuan tidak adil bagi para Pemohon sehingga dianggap telah menghilangkan hak konstitusonal para Pemohon, justru dengan adanya syarat khusus atau ketentuan dalam perjanjian kerja tersebut pada akhirnya bertujuan untuk memberikan perlindungan dan jaminan kepastian hukum bagi para pekerja/buruh. Sedangkan untuk perlindungan pekerja rumahan seperti para Pemohon, yang memeroleh pekerjaan dari pemberi kerja, di mana pemberi kerja tersebut belum tentu adalah penguasa, tetapi pengusaha sudah pasti adalah pemberi kerja yang memiliki hubungan kerja dengan pekerja/buruh sebagaimana maksud UU 13/2003 maka menurut Mahkamah terhadap hal demikian diperlukan pengaturan khusus yang lebih spesifik. Tidak dapat dengan cara menyisipkan frasa “pemberi kerja” dalam memaknai ketentuan umum Pasal 1 angka 15 UU 13/2003.
Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 UU 13/2003 telah menimbulkan kerancuan hukum yang berakibat tidak adanya pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum, menimbulkan perlakuan yang tidak adil bagi pekerja yang tidak bekerja pada pengusaha karena dianggap berada di luar hubungan kerja sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 tidak terbukti adanya sehingga dalil a quo tidak beralasan menurut hukum.

[3.14.2] Bahwa para Pemohon selanjutnya mendalilkan definisi Hubungan Kerja pada Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 UU 13/2003 telah menimbulkan diskriminasi hukum dan tidak ada persamaan kedudukan hukum bagi pekerja yang tidak bekerja pada pengusaha oleh karena hubungan tersebut dianggap tidak memenuhi kriteria sebagai suatu hubungan kerja dan telah menyebabkan hilangnya hak-hak dasar pekerja bagi pekerja yang telah bekerja kepada selain pengusaha serta hilangnya hak atas penghidupan yang layak karena hubungan hukum pekerja tersebut tidak memenuhi kriteria sebagai hubungan kerja sehingga menurut para Pemohon Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa “hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha atau pemberi kerja dengan pekerja/buruh, berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah”, serta “Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha atau pemberi kerja dan pekerja/buruh”. Terhadap dalil para Pemohon a quo Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.14.2.1] Bahwa sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Paragraf [3.13] UU 13/2003 memiliki tujuan antara lain untuk memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada para pekerja/buruh dalam hal memperoleh pekerjaan, kesejahteran dan penghidupan yang layak, yang wajib dilaksanakan dengan tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik dan menyesuaikan dengan minat dan kemampuan pekerja/buruh termasuk perlakuan yang sama terhadap para penyandang disabilitas dengan memberikan tanggung jawab bagi pengusaha agar dapat memberikan hak dan kewajiban kepada pekerja/buruh dengan juga tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, warna kulit, dan aliran politik. Lebih lanjut, UU 13/2003 juga dalam Konsideran Menimbang huruf d telah mempertimbangkan yang pada pokoknya menyatakan bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha. Selain itu, dalam Bab III UU 13/2003 tentang Kesempatan dan Perlakuan yang Sama, Pasal 5 UU a quo menyatakan, “Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan” dan Pasal 6 UU a quo menyatakan “Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha”. Dalam konteks kasus yang dialami oleh para Pemohon, in casu sebagai pekerja rumahan yang tidak didasarkan pada perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam UU 13/2003 karena pemberi kerjanya adalah bukan pengusaha sehingga para Pemohon beranggapan dirinya tidak memiliki hak yang sama dengan pekerja/buruh yang bekerja dengan pengusaha, menurut Mahkamah anggapan tersebut tidak benar adanya karena pekerja rumahan seperti yang saat ini dilakukan oleh para Pemohon memiliki karakteristik yang berbeda dengan pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan. Perbedaan karakteristik tersebut secara jelas terlihat misalnya mulai dari tempat kerja, waktu kerja, kepada siapa mereka bekerja, upah, dan juga sarana bekerja. Oleh karenanya, memberlakukan hal yang berbeda terhadap hal yang memang berbeda bukanlah diskriminasi karena diskriminasi adalah memberlakukan secara berbeda terhadap hal yang sama. Dengan demikian, Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 UU 13/2003 tidak mengandung perlakuan diskriminatif sebab pembatasan yang terdapat dalam pasal a quo berlaku untuk setiap orang pekerja/buruh sebagaimana yang dimaksud dalam UU 13/2003. Dengan menyisipkan frasa “pemberi kerja” dalam Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 UU 13/2003 sebagaimana petitum para Pemohon justru dapat menyebabkan ketidakjelasan dan ketidakpastian hukum karena mengubah substansi pokok dalam UU 13/2003.

[3.14.2.2] Bahwa terkait dengan dalil para Pemohon yang menyatakan pasal a quo telah menyebabkan hilangnya hak-hak dasar pekerja bagi pekerja yang telah bekerja kepada selain pengusaha serta hilangnya hak atas penghidupan yang layak karena hubungan hukum pekerja tersebut tidak memenuhi kriteria sebagai hubungan kerja. Berkenaan dengan dalil a quo, sebagaimana telah Mahkamah pertimbangkan dalam Sub-paragraf [3.14.1.2] bahwa Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 UU 13/2003 memang dikonstruksikan untuk mengatur perihal hubungan kerja antara pengusaha dengan buruh/pekerja yang mengacu pada perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis yang di dalamnya memuat hak dan kewajiban keduanya. Pengusaha dimaksud adalah pemberi kerja namun pemberi kerja tidak selalu adalah pengusaha. Hubungan kerja demikian hanya dilakukan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja. Dalam kasus yang dialami oleh para Pemohon sebagai pekerja rumahan tidak terdapat hubungan kerja dengan pengusaha karena pekerjaan yang dilakukannya diperoleh dari pemberi kerja atau perantara yang tidak terikat dengan perjanjian kerja dan mendapatkan pekerjaan hanya dengan perintah lisan. Dalam kaitan dengan hak para pemohon sebagai pekerja rumahan berdasarkan Keterangan Tambahan Presiden hlm. 2-3 tanpa Mahkamah bermaksud menilai konstitusionalitas dan legalitas telah ternyata terdapat berbagai peraturan perundangan yang telah memberikan perlindungan kepada pekerja rumahan, antara lain, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional, Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan, Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2013 tentang Perluasan Kesempatan Kerja, Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat.
Meskipun demikian menurut Mahkamah, hal yang dialami oleh para Pemohon, in casu pekerja rumahan tentunya menjadi bagian yang harus diperhatikan oleh Pemerintah, in casu kementerian yang menangani urusan ketenagakerjaan agar dapat segera membuat aturan yang bersifat khusus atau lebih spesifik bagi pekerja rumahan sehingga hak para pekerja rumahan dapat diatur di dalamnya. Aturan tersebut dapat diwujudkan melalui kewenangan mengatur oleh menteri yang menangani urusan ketenagakerjaan atau melalui peraturan daerah sehingga hak-hak pekerja rumahan dapat terlindungi secara baik dan kesejahteraan para pekerja rumahan juga dapat terjaga sesuai dengan kondisi masing-masing daerah. Pengaturan demikian, disebabkan pekerja rumahan memiliki karakteristik yang berbeda dengan pekerja formil. Terlebih lagi, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU 13/2003 bahwa pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah, sehingga tugas dan tanggung jawab negara terhadap para pekerja rumahan dapat dilakukan baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Hal tersebut seyogyanya segera dilakukan sebagai upaya dari negara yang dalam hal ini diwakili oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk memberikan perlindungan dan kesejahteraan kepada para pekerja rumahan sebagai bagian dari kebijakan strategis dalam upaya memperluas kesempatan kerja bagi masyarakat.

[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah telah ternyata ketentuan norma Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 UU 13/2003 tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan diskriminasi, ketidaksamaan kedudukan hukum, dan tidak menyebabkan hilangnya hak-hak dasar pekerja atas penghidupan yang layak sebagaimana dijamin oleh Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian, dalil-dalil permohonan Pemohon berkenaan dengan pengujian norma Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 UU 13/2003 adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.16] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 86/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1946 TENTANG PERATURAN HUKUM PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-01-2023

Robiyanto yang dalam hal ini memberi kuasa kepada Jhon Asron Purba, S.H., Yusty Riana P, S.H., dan Nani Idaroyani Purba, S.H., kesemuanya adalah advokat yang tergabung pada Kantor Hukum Jhon Asron Purba dan Rekan (JAP) untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 78 ayat (1) angka (4) KUHP

pembukaan alinea keempat kalimat terakhir, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang beserta jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 78 ayat (1) angka (4) KUHP dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum pada pokoknya sebagai berikut:
[3.12] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan yang pada pokoknya Pasal 78 ayat (1) angka 4 KUHP bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945 pada Alinea Keempat, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 serta menimbulkan ketidakpastian hukum dan keadilan karena jangka waktu daluwarsa penuntutan selama 18 (delapan belas) tahun adalah jangka waktu yang tidak cukup dalam menangkap dan mengungkap tindak pidana terhadap tersangka yang berstatus dalam pencarian orang. Terhadap dalil Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan selengkapnya, sebagai berikut:

[3.12.1] Bahwa norma Pasal 78 ayat (1) angka 4 KUHP yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon menyatakan “kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa: mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun” adalah norma yang mengatur mengenai pambatasan jangka waktu penuntutan yang berkaitan erat dengan hak negara dalam melakukan penuntutan terhadap suatu hal yang dilarang atau ius puniendi yaitu pembatasan jangka waktu terhadap hak negara dalam melakukan proses penuntutan kepada tersangka atau terdakwa tindak pidana atau yang lebih dikenal sebagai pembatasan hak negara dalam menjatuhkan pidana. Oleh karenanya, daluwarsa (kedaluwarsa) masa penuntutan merupakan salah satu perwujudan dari prinsip due process of law dalam rangka memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum sebagai salah satu karakteristik dari sebuah negara hukum yang konstitusional. Selain itu, kehadiran ketentuan Pasal a quo, merupakan salah satu bentuk perlindungan oleh peraturan perundang-undangan, in casu KUHP yang bertujuan menciptakan perlindungan kepada pelaku dan korban tindak pidana dari kekuasaan negara (penuntutan) yang apabila tidak diberlakukan norma a quo dapat menjadi tanpa batas.
Bahwa tersangka atau terdakwa pada dasarnya ditempatkan pada posisi sebagai subyek hukum yang tidak bersalah sampai adanya putusan hakim yang menyatakan kesalahannya dapat dibuktikan dan putusan dimaksud memiliki kekuatan hukum tetap, atau sering dipahami sebagai asas praduga tak bersalah (presumption of innocence). Oleh karena itu, esensi dari asas dimaksud, terlepas tersangka atau terdakwa yang telah disangkakan atau didakwakan telah melakukan tindak pidana dan sepanjang belum terbukti kesalahannya, penting bagi negara tetap mengutamakan adanya jaminan perlindungan hukum terhadap hak asasinya. Demikian halnya dengan pihak yang dirugikan akibat adanya peristiwa pidana tersebut yaitu korban tindak pidana, tidak kalah pentingnya juga untuk tetap diberi perlindungan hukum, atas kerugian yang dideritanya. Terlebih, korban tindak pidana sesungguhnya bukan hanya korban langsung semata, akan tetapi juga masyarakat luas, karena masyarakat mengalami gangguan ketentraman dan keamanan dalam menikmati kehidupannya di tengah masyarakat. Hal demikian sebenarnya sebagai wujud implementasi riil dan sejalan dengan amanat konstitusi Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mewajibkan negara untuk memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum kepada warga negaranya tanpa terkecuali, yaitu tersangka/terdakwa, korban tindak pidana dan masyarakat sebagai representasi dari kepentingan umum.
[3.12.2] Bahwa dalam perspektif implementasi perlindungan kepastian dan keadilan hukum, daluwarsa penuntutan pidana juga merupakan bagian esensial yang diperlukan dalam rangka mewujudkan kepastian dan keadilan hukum. Daluwarsa penuntutan sebagaimana diatur dalam Pasal 78 KUHP ditegaskan bahwa masa penuntutan pidana bagi pelaku tindak pidana dibatasi dengan batas waktu yang lamanya tergantung dari kualifikasi atau jenis tindak pidananya dan berat/ringan ancaman pidananya (strafmaat). Adapun ketentuan Pasal 78 KUHP, selengkapnya menyatakan sebagai berikut:
(1) Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa:
1. mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan sesudah satu tahun;
2. mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun;
3. mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun;
4. mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun.

(2) Bagi orang yang pada saat melakukan perbuatan umurnya belum delapan belas tahun, masing-masing tenggang daluwarsa di atas dikurangi menjadi sepertiga.

Dengan mendasarkan pada ketentuan norma Pasal 78 KUHP tersebut maka apabila dicermati isu yang dipersoalkan oleh Pemohon adalah berkenaan dengan masa penghitungan daluwarsa untuk tindak pidana yang terkait dengan ketentuan norma Pasal 78 ayat (1) angka 4 KUHP. Berkaitan dengan dalil yang dipersoalkan oleh Pemohon a quo, Mahkamah berpendapat masa daluwarsa penuntutan tindak pidana secara universal memiliki peran yang sangat strategis dalam mendukung terciptanya kepastian dan keadilan hukum, bukan hanya bagi tersangka atau terdakwa tetapi juga bagi korban dan/atau keluarga korban serta masyarakat pada umumnya. Penegasan tersebut dimaksudkan agar kewenangan negara dalam melakukan penuntutan atas pelaku tindak pidana dimaksud hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu atau dibatasi dengan jangka waktu yang tanpa batas. Secara doktrinal, daluwarsa memberikan kepastian dan keadilan hukum kepada tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana, agar tersangka atau terdakwa tidak selamanya terganggu ketentraman hidupnya tanpa adanya batas waktu dari ancaman penuntutan oleh negara yang mewakili kepentingan umum. Tersangka/terdakwa yang berada dalam masa tunggu untuk dilakukan penuntutan pidana, sesungguhnya tidak semata-mata karena melarikan diri untuk menghindari tuntutan pidana, akan tetapi juga karena proses hukum yang dialaminya mengalami kendala di dalam proses penyidikan ataupun penuntutan. Dengan demikian, bagi tersangka/terdakwa yang berada dalam masa penantian untuk dilakukan proses penuntutan tersebut merupakan masa menjalani ‘hukuman’ tersendiri, baik secara moral (stigma) dan kadang secara fisik juga, sebab tidak sedikit tersangka/terdakwa hak-haknya sebagian telah dilakukan upaya paksa (pro justitia) oleh aparat penegak hukum, baik dalam bentuk perampasan kemerdekaan badan maupun harta benda, misalnya penetapan tersangka, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan tindakan pencegahan untuk tidak boleh bepergian ke luar negeri.

[3.12.3] Bahwa pada dasarnya penuntutan pidana adalah sebuah kewenangan negara dalam mewakili kepentingan umum yang diaktualisasikan melalui suatu bentuk tindakan hukum yang lebih dikenal dengan proses penegakan hukum dalam mengungkap suatu peristiwa pidana. Oleh karena itu, aparat penegak hukum di dalam mengungkap adanya peristiwa pidana harus melakukan tahapan-tahapan, di antaranya penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang kesemua tahapan tersebut masing-masing mempunyai tingkat kesulitan yang berbeda. Terlebih, terhadap peristiwa pidana yang mempunyai dimensi pembuktian rumit dan melibatkan banyak pihak, baik tersangka/terdakwa maupun saksi-saksi. Dengan demikian, hakikat daluwarsa di samping dapat memberikan kepastian dan keadilan hukum bagi tersangka/terdakwa, sebagimana telah dipertimbangkan di atas, daluwarsa penuntutan pidana juga merupakan salah satu bentuk kepastian hukum bagi korban tindak pidana dan masyarakat umum. Sebab, dengan adanya masa daluwarsa dapat dijadikan acuan waktu bagi korban tindak pidana untuk mengambil langkah-langkah konstitusional di dalam mendapatkan kepastian hukum dan keadilan.
Bahwa pada dasarnya penuntutan pidana adalah sebuah kewenangan negara yang diaktualisasikan melalui suatu bentuk tindakan hukum yang lebih dikenal dengan proses penegakan hukum dalam mengungkap sebuah tindak pidana, yang memerlukan proses pembuktian dengan didasarkan pada alat-alat bukti [vide Pasal 184 KUHAP] yang valid, baik cara perolehan alat-alat bukti dimaksud, maupun keterangan-keterangan para saksi dan tersangka/terdakwa yang dapat dipertanggungjawabkan sebagaimana yang dipersyaratkan oleh ketentuan undang-undang. Oleh karena itu, peniadaan jangka waktu daluwarsa penuntutan pidana sebagaimana dimohonkan dalam permohonan a quo, di mana masa daluwarsa berlaku “seumur hidup” pelaku tindak pidana bagi pelaku pidana yang diancam pidana mati atau seumur hidup. Menurut Mahkamah, hal tersebut dapat berakibat negara, in casu aparat penegak hukum akan menemui kesulitan dalam mengumpulkan alat bukti yang valid, baik di dalam mengumpulkan fakta-fakta hukum yang harus digali dari keterangan saksi-saksi dan tersangka/terdakwa serta barang bukti yang berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan. Sebab, dalam kurun waktu yang lama dan tanpa batas waktu daluwarsa sangat dimungkinkan telah terjadi penggantian aparat penegak hukum (penyelidik dan penyidik). Hal ini berdampak adanya kajian dan penilaian atas hasil penyelidikan dan penyidikan suatu perkara harus dimulai dari awal oleh penyidik baru dengan mendasarkan alat bukti yang dimungkinkan sudah tidak valid lagi.
Bahwa secara konkret tidak validnya alat bukti suatu tindak pidana yang disebabkan karena penyelidikan dan penyidikan tindak pidana yang dilakukan telah berlangsung lama dari peristiwa pidananya dapat berupa barang bukti yang berkaitan dengan tindak pidananya telah rusak, para saksi telah lupa mengingat peristiwa yang dilihat, dialami dan dirasakan, karena faktor usia atau adanya gangguan kesehatan lainnya atau bahkan ada saksi yang sudah meninggal dunia. Demikian halnya dengan keterangan tersangka/terdakwa yang juga berpotensi tidak ingat lagi dengan pasti akan perbuatan pidana yang dilakukan. Dengan demikian, oleh karena persesuaian alat bukti, baik keterangan saksi, tersangka/terdakwa dan keberadaan barang bukti yang menjadi bagian dari alat bukti merupakan syarat yang fundamental dan sebagai kunci keberhasilan hakim yang mengadili perkara pidana untuk mendapatkan fakta-fakta hukum dalam proses pembuktian di persidangan guna memperoleh kepastian hukum dalam menjatuhkan putusan yang adil. Dengan demikian, pembuktian suatu perkara pidana yang didasarkan pada alat-alat bukti yang diragukan validitasnya, hal tersebut justru akan menghasilkan fakta-fakta hukum yang tidak sesuai lagi dengan peristiwa pidana yang sebenarnya, sehingga hal tersebut akan menghasilkan putusan hakim yang tidak objektif dan tidak mencerminkan kepastian hukum dan mencederai rasa keadilan.
[3.12.4] Bahwa berdasarkan fakta hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat argumentasi berkenaan dengan masa daluwarsa penuntutan pidana dengan tenggang waktu yang lamanya disesuaikan dengan berat/ringannya ancaman pidana (strafmaat), sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 78 KUHP masih tetap relevan untuk diberlakukan. Dengan demikian, pendirian Mahkamah a quo sekaligus sebagai bentuk penegasan, bahwa Mahkamah tidak dapat menerima dalil Pemohon yang memohon agar daluwarsa penuntutan pidana dalam ketentuan norma Pasal 78 ayat (1) angka 4 KUHP diberlakukan hingga “seumur hidup” pelaku tindak pidana. Sebab, dengan pembatasan waktu daluwarsa penuntutan pidana maksimal 18 tahun untuk pelaku tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup saja, hal tersebut sudah menimbulkan persoalan berkenaan dengan validitas alat-alat bukti di dalam mengungkap adanya tindak pidana, sebagaimana telah dipertimbangkan pada pertimbangan hukum di atas. Terlebih lagi, apabila masa daluwarsa penuntutan pidana diberlakukan lebih lama dari yang sebagaimana diatur dalam ketentuan norma Pasal 78 KUHP, termasuk dalam hal ini ketentuan norma Pasal 78 ayat (1) angka 4 KUHP, yaitu masa daluwarsa “seumur hidup” bagi pelaku tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau seumur hidup, sebagaimana yang didalikan Pemohon. Oleh karena itu, jika dalil Pemohon diikuti, hal tersebut jelas semakin berpotensi menciptakan ketidakpastian dan ketidakadilan hukum, bagi tersangka/terdakwa, korban dan masyarakat pada umumnya.
Bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat berkaitan dengan masa daluwarsa yang ada saat ini, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 78 KUHP adalah konstitusional. Namun demikian, apabila berkenaan dengan masa tenggang waktu daluwarsa tersebut akan dilakukan perubahan tentang lama tenggang waktunya, maka takaran rasa keadilan menjadi kewenangan dari pembentuk undang-undang yang merupakan representasi dari politik hukum negara dalam merepresentasikan kehendak rakyat yang menjadi bagian dari criminal policy yang secara konsisten menjadi pendirian Mahkamah selama ini. Oleh karena itu, dalam kaitan dengan jangka waktu daluwarsa dimaksud, sewaktu-waktu dapat diubah sesuai dengan tuntutan kebutuhan dan rasa keadilan yang berkembang dalam masyarakat, sepanjang tidak melampaui wewenang dan bertentangan dengan prinsip-prinsip yang tertuang dalam UUD 1945. Namun demikian, oleh karena jangka waktu daluwarsa masa penuntutan pidana juga melekat hak konstitusional yang merupakan hak fundamental dari korban dan/atau keluarga korban dari pelaku tindak pidana yang juga harus diberikan perlindungan hukum atas kerugian yang dialaminya, oleh karena itu di dalam menentukan masa tenggang waktu daluwarsa dimaksud jika akan dilakukan perubahan maka harus juga mempertimbangkan hak-hak dan kepentingan korban tindak pidana.
[3.13] Menimbang bahwa dengan tetap relevan memberlakukan daluwarsa masa penuntutan dalam Pasal 78 KUHP, dan ketentuan norma dimaksud dinyatakan konstitusional, maka permasalahan yang muncul selanjutnya adalah bagaimana dengan adanya rasa ketidakadilan bagi korban peristiwa pidana yang secara riil tersangka/terdakwanya ditemukan baik yang kemudian diajukan dalam persidangan pengadilan maupun tidak dilakukan penyidikan/penuntutan dengan alasan telah melewati masa tenggang waktu daluwarsa sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 78 KUHP. Terhadap hal yang demikian, Mahkamah berpendapat, penerapan ketentuan norma Pasal 78 KUHP tidak berarti menghilangkan hak korban dan/atau keluarga korban untuk memperoleh pertanggungjawaban dari pelaku tindak pidana yang terhindarkan dari tuntutan pidana karena diuntungkan dengan berlakunya ketentuan norma Pasal 78 KUHP. Bentuk pertanggungan jawab dimaksud sesungguhnya bisa ditempuh oleh korban tindak pidana dengan tuntutan ganti rugi dengan penggabungan bersama-sama dengan tuntutan pidana [vide Pasal 98 ayat (1) KUHAP]. Namun, oleh karena terhadap perkara pidana yang bersangkutan telah dinyatakan tidak dapat dilakukan penuntutan pidana karena telah daluwarsa, dan oleh karenanya hak untuk menggabungkan tuntutan ganti rugi telah tertutup, maka bagi korban pelaku tindak pidana sebenarnya masih dapat menempuh cara dengan mengajukan gugatan secara keperdataan. Namun, oleh karena tuntutan secara keperdataan demikian diperlukan biaya yang tidak murah/ringan, maka melalui putusan a quo Mahkamah menegaskan dalam rangka memberikan perlindungan, jaminan, dan kepastian hukum yang adil terkait pertanggungjawaban ini, pada waktu yang akan datang dapat dipertimbangkan oleh pembentuk undang-undang untuk diatur kewajiban negara dalam memberikan pertanggungjawabannya tersebut berupa kompensasi yang sesuai terhadap korban dan/atau keluarga korban. Sehingga, dengan demikian negara dapat menciptakan kesetimpalan dan keadilan yang berujung pada terciptanya rasa aman, dan damai serta menumbuhkan rasa percaya terhadap kinerja negara dalam upaya penegakan hukum pidana.

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana telah diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat, telah ternyata tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma mengenai daluwarsa masa penuntutan tindak pidana sebagaimana Pembukaan UUD 1945 pada Alinea keempat, serta ketentuan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 terhadap Pasal 78 ayat (1) angka 4 KUHP, sehingga dengan demikian dalil-dalil permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.15] Menimbang bahwa berkenaan dengan hal-hal lain dalam permohonan Pemohon tidak dipertimbangkan karena tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak dan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 105/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-01-2023

Teguh Boediyana, Gun Gun Muhamad Lutfi Nugraha, Irfan Arif, dalam hal ini diwakili oleh Hermawanto, S.H., M.H., dkk., kesemuanya adalah Advokat dan Konsultan Hukum pada Kantor Hukum Hermawanto & Rekan, yang selanjutnya disebut sebagai para Pemohon.

Pasal 36E ayat (1) dan ayat (2) serta Penjelasan Pasal 36E ayat (1) UU 41/2014

Pembukaan UUD 1945, Pasal 1 ayat (3), Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 33 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materiil Pasal 36E ayat (1) dan ayat (2) serta Penjelasan Pasal 36E ayat (1) UU 41/2014 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.11] Menimbang bahwa sebelum menilai konstitusionalitas Pasal 36E ayat (1) dan ayat (2) serta Penjelasan Pasal 36E ayat (1) UU 41/2014 yang dimohonkan pengujiannya oleh para Pemohon, terlebih dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan permohonan Pemohon dikaitkan dengan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), sehingga terhadap norma a quo dapat diajukan kembali.
Pasal 60 UU MK menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.
Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda.
Bahwa pengujian norma Pasal 36E ayat (1) UU 41/2014 pernah diajukan pengujian ke Mahkamah dan telah diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 129/PUU-XIII/2015, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 7 Februari 2017, dengan amar putusan menyatakan Pasal 36E ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat yaitu harus memenuhi syarat yang ada dalam Penjelasan Pasal 36E ayat (1) perihal ”keadaan mendesak”.
Dalam perkara Nomor 129/PUU-XIII/2015 yang dimohonkan adalah pengujian Pasal 36C ayat (1), Pasal 36C ayat (3), Pasal 36D ayat (1), dan Pasal 36E ayat (1) UU 41/2014 terhadap Pembukaan UUD 1945, Pasal 1 ayat (3), Pasal 24C ayat (1), Pasal 28A, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Dengan demikian, meskipun terdapat pasal yang diujikan sama yakni Pasal 36E ayat (1) UU 41/2014, namun permohonan a quo juga menguji Pasal 36E ayat (2) dan Penjelasan Pasal 36E ayat (1) UU 41/2014. Selain itu, terdapat dasar pengujian baru dalam permohonan a quo yang tidak terdapat dalam perkara Nomor 129/PUU-XIII/2015, yaitu Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, terlepas terbukti atau tidaknya secara substansial permohonan a quo, secara formal permohonan a quo berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 PMK 2/2021, dapat diajukan kembali.
[3.12] Menimbang bahwa oleh karena permohonan a quo secara formal dapat diajukan kembali, Mahkamah akan mempertimbangkan lebih lanjut dalil-dalil permohonan para Pemohon dengan terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa sesuai dengan esensi Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945, negara bertanggung jawab untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, termasuk melalui penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan dengan mengamankan dan menjamin pemanfaatan dan pelestarian hewan untuk mewujudkan kedaulatan, kemandirian, serta ketahanan pangan dalam rangka menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia sesuai dengan amanat UUD 1945 [vide Konsiderans Menimbang huruf a UU 41/2014]. UUD 1945 juga menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan kesejahteraan hidup serta mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat [vide Pasal 28H ayat (1) UUD 1945].
[3.12.2] Bahwa sudah menjadi tugas negara untuk memastikan kebutuhan pangan yang sehat bagi masyarakat dapat senantiasa terjaga dan terpenuhi. Konstitusi khususnya Paragraf Kedua Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia menjadikan Indonesia sebagai negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Dengan perkataan lain, konstitusi telah mengamanatkan agar Indonesia menjadi negara yang merdeka dan berdaulat termasuk memiliki kedaulatan atas ketahanan pangan. Kedaulatan dan ketahanan pangan tidak hanya penting bagi negara dan rakyat Indonesia, tetapi juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kemandirian negara. Meskipun demikian, Hal tersebut bukan pula menjadikan Indonesia tidak boleh menjadi negara pengimpor atas kebutuhan pangannya. Importasi dapat saja dilakukan secara insidentil guna menunjang stabilitas pangan nasional dan sepanjang tidak menghilangkan kedaulatan Indonesia atas pangan dan ditujukan semata-mata untuk memenuhi ketahanan pangan nasional agar kebutuhan rakyat atas pangan terpenuhi sesuai dengan standar kesehatan pangan dan pelaksanaannya sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Ketentuan perihal impor pangan telah diatur dalam Undang-Undang tentang Pangan bahwa impor pangan hanya dapat dilakukan apabila produksi pangan dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri [vide Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (UU 18/2012)].
[3.12.3] Bahwa Mahkamah memahami dengan terbukanya arus importasi pangan, in casu produk hewan ternak, maka akan berdampak pada persaingan harga produk hewan ternak tersebut yang dapat melemahkan posisi pengusaha ternak lokal dalam menjalankan usahanya. Sementara itu di sisi lain, masyarakat sebagai konsumen mendapatkan keuntungan dengan tersedianya produk hewan yang murah dari importasi sebagai imbas persaingan harga produk hewan ternak tersebut. Apalagi ketika kebutuhan masyarakat atas produk hewan ternak tengah mengalami peningkatan permintaan (demand) yang signifikan. Oleh karena itu, diperlukan keseimbangan dan kehati-hatian bagi negara dalam menentukan kebijakan impor produk hewan ternak agar sejalan dengan falsafah perekonomian yang diamanatkan UUD 1945 yaitu diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional [vide Pasal 33 ayat (4) UUD 1945] serta dalam rangka penguatan prinsip berdikari dan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pemerintah sudah seharusnya menetapkan kebijakan dan peraturan impor pangan yang tidak berdampak negatif dan kontra produktif terhadap keberlanjutan usaha ternak, kesejahteraan peternak, serta pelaku usaha pangan mikro dan kecil. Importasi produk hewan ternak dilakukan secara ketat, hati-hati, dan mengedepankan kepentingan peternak/petani di seluruh pelosok tanah air dan kepentingan nasional. Aspek standar kesehatan juga harus diperhatikan oleh seluruh stakeholder dalam penyediaan produk hewan ternak di masyarakat. Setiap orang yang mengimpor pangan untuk diperdagangkan wajib memenuhi standar keamanan pangan dan mutu pangan [vide Pasal 93 UU 18/2012].
[3.12.4] Bahwa berkenaan dengan perihal syarat pemasukan (importasi) produk hewan telah diputus Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 129/PUU-XIII/2015, yang pada pokoknya mempertimbangkan bahwa prinsip kehati hatian dan keamanan maksimal adalah mutlak diterapkan oleh Indonesia dalam melaksanakan pemasukan barang apapun dari luar ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh karena itu, pemasukan produk hewan ke dalam wilayah NKRI khususnya melalui sistem zona haruslah dipandang sebagai solusi sementara yang hanya dapat dilakukan dalam keadaan tertentu. Penjelasan Pasal 36E ayat (1) UU 41/2014 telah menentukan mengenai maksud “keadaan tertentu” tersebut, yaitu keadaan mendesak, antara lain, akibat bencana, saat masyarakat membutuhkan pasokan ternak dan/atau produk hewan. Syarat tersebut yang menurut Mahkamah harus diterapkan dalam memasukkan produk hewan ke dalam wilayah NKRI. Dengan demikian, prinsip kehati-hatian dan keamanan maksimal merupakan pedoman penting dalam penyediaan produk hewan ternak di masyarakat.
[3.13] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil-dalil para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 36E ayat (1) dan ayat (2) serta Penjelasan Pasal 36E ayat (1) UU 41/2014, yang menurut para Pemohon telah mengakibatkan impor daging maupun produk hewan dari negara lain yang tidak bebas penyakit sehingga merugikan para Pemohon sebagai peternak.
[3.13.1] Bahwa bertalian dengan dalil para Pemohon, setelah memeriksa dan membaca secara saksama permohonan para Pemohon, menurut Mahkamah, persoalan pokok yang menjadi alasan permohonan para Pemohon dalam permohonannya adalah karena berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemasukan Ternak dan/atau Produk Hewan dalam hal tertentu yang Berasal dari Negara atau Zona dalam Suatu Negara Asal Pemasukan (PP 4/2016). Menurut para Pemohon, ketentuan PP 4/2016 telah dijadikan dasar untuk melakukan importasi daging maupun produk hewan dari negara yang tidak bebas penyakit secara terus menerus, padahal negara tidak dalam status darurat bencana dan tidak ada kebutuhan mendesak. Bahkan menurut para Pemohon, penyalahgunaan PP 4/2016 untuk terus-menerus melakukan impor produk hewan/daging sapi/kerbau dari negara-negara yang tidak bebas penyakit menular mengakibatkan terjadinya wabah penyakit mulut dan kuku (PMK) di Indonesia, sehingga merugikan para Pemohon sebagai peternak. Terhadap dalil para Pemohon demikian, menurut Mahkamah, hal tersebut merupakan persoalan yang berkaitan dengan penerapan norma, in casu pelaksanaan norma dalam UU 41/2014, dan bukan persoalan konstitusionalitas norma. Seandainya pun terdapat persoalan legalitas dan penerapan PP 4/2016 hal tersebut juga bukan merupakan kewenangan Mahkamah untuk menilainya. Dengan demikian, pokok dalil para Pemohon berkaitan dengan berlakunya PP 4/2016 sebagai pelaksanaan Pasal 36E ayat (1) dan ayat (2) UU 41/2014 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.13.2] Bahwa terhadap dalil permohonan para Pemohon mengenai pemasukan (importasi) ternak dan/atau produk hewan dari suatu negara atau zona dalam suatu negara, Mahkamah pernah pula menjatuhkan putusan yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 129/PUU-XIII/2015, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 7 Februari 2017, dengan amar putusan menyatakan Pasal 36E ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat yaitu harus memenuhi syarat yang ada dalam Penjelasan Pasal 36E ayat (1) perihal ”keadaan mendesak”, dengan pertimbangan hukum antara lain:
[3.12] ... bilamana jumlah produksi daging dalam negeri tidak memenuhi kebutuhan nasional secara keseluruhan, maka jalan yang harus ditempuh adalah melakukan pemasukan (impor) dari negara lain baik berdasarkan sistem country based (dari negara tertentu) maupun dengan sistem zona (dari zona tertentu dalam suatu negara). Menurut Mahkamah, hal ini merupakan pelaksanaan tanggung jawab negara dalam memenuhi kebutuhan konsumsi pangan masyarakat, khususnya ketersediaan produk hewan. Secara umum, sosial yang merupakan kewajiban negara untuk berusaha semaksimal mungkin agar tidak ada warga negara yang terhalangi aksesnya akan terpenuhinya kebutuhan hidupnya. Namun demikan, pemenuhan kebutuhan tersebut tidak boleh mengingkari hak warga negara untuk mendapatkan perlindungan dari segala jenis penyakit menular yang masuk ke wilayah NKRI melalui kegiatan perdagangan internasional, dalam hal ini impor produk hewan. Hak konstitusional warga negara untuk hidup sejahtera dalam lingkungan yang sehat ini dijamin dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Oleh karena itu, untuk menghindari masuknya penyakit mulut dan kuku, setiap impor produk hewan yang dibutuhkan haruslah memiliki sertifikat bebas dari penyakit mulut dan kuku (PMK) dari otoritas veteriner negara asal sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan badan kesehatan hewan dunia dan diakui oleh otoritas veteriner Indonesia.
Di lingkungan internasional, prinsip kehati-hatian dalam impor tersebut juga terwujud dalam kesepakatan dan ketentuan World Trade Organization (WTO), yang pada pokoknya menyatakan bahwa setiap negara anggota WTO berhak untuk melindungi kehidupan dan kesehatan manusia, hewan dan tumbuhan di wilayah negaranya dengan menerapkan persyaratan teknis kesehatan hewan dan kesehatan tumbuhan sejalan dengan perjanjian SPS (Sanitary and Phytosanitary). Prinsip yang terkandung dalam SPS adalah harmonisasi (keselarasan), ekuivalensi (kesetaraan), dan transparansi (keterbukaan).
Prinsip kehati-hatian dan keamanan maksimal mutlak diterapkan oleh negara dalam melaksanakan pemasukan barang apapun dari luar ke dalam wilayah NKRI. Oleh karena itu, pemasukan produk hewan ke dalam wilayah NKRI khususnya melalui sistem zona haruslah dipandang sebagai solusi sementara yang hanya dapat dilakukan dalam keadaan-keadaan tertentu.
Bahwa Pasal 36E ayat (1) UU 41/2014 menyatakan, “Dalam hal tertentu, dengan tetap memerhatikan kepentingan nasional, dapat dilakukan pemasukan Ternak dan/atau Produk Hewan dari suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukan Ternak dan/atau Produk Hewan.” Penjelasan Pasal 36E ayat (1) UU 41/2014 kemudian menyatakan, “Yang dimaksud dengan “dalam hal tertentu” adalah keadaan mendesak, antara lain, akibat bencana, saat masyarakat membutuhkan pasokan Ternak dan/atau Produk Hewan.” Syarat inilah yang mutlak harus diterapkan dalam penggunaan sistem zona ketika negara memasukan Produk Hewan ke dalam wilayah NKRI, sehingga secara a contrario harus dimaknai bahwa tanpa terpenuhinya syarat tersebut, pemasukan Produk Hewan dari zona dalam suatu negara atau dengan sistem zona ke dalam wilayah NKRI adalah inkonstitusional.
[3.13] Menimbang bahwa, walaupun UU 41/2014 telah menganut sistem zona dengan syarat-syarat yang begitu ketat, namun khususnya terhadap pemasukan Produk Hewan dari zona dalam suatu negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36E ayat (1) UU 41/2014, haruslah dilaksanakan
dengan berlandaskan prinsip kehati-hatian, sehingga Pasal 36E ayat (1) UU 41/2014 yang merumuskan “zona dalam suatu negara” haruslah dinyatakan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional), yaitu sepanjang sesuai dengan pertimbangan Mahkamah pada paragraf [3.12] di atas.

[3.13.3] Bahwa dengan mendasarkan pada pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 129/PUU-XIII/2015 di atas, dan oleh karena isu inkonstitusionalitas terhadap norma pasal yang dimohonkan pengujian para Pemohon beserta argumentasi atau dalil yang dijadikan dasar permohonan para Pemohon secara substansial adalah sama, meskipun dengan dasar pengujian yang berbeda, namun pada hakikatnya mempunyai esensi yang sama maka pertimbangan hukum dalam putusan tersebut menjadi pertimbangan hukum pula untuk perkara a quo berkenaan dengan Penjelasan Pasal 36E ayat (1) UU 41/2014. Oleh karena itu, dalil permohonan a quo tidak beralasan menurut hukum.
[3.13.4] Bahwa meskipun demikian, Mahkamah perlu mengingatkan kembali perihal kedaulatan negara atas ketahanan pangan bagi masyarakat sebagaimana uraian pertimbangan hukum Mahkamah pada Paragraf [3.12]. Dalam kaitan ini, tata kelola dan tata niaga produk ternak perlu dijaga baik kuantitas maupun kualitasnya. Dari segi kuantitas, pemerintah bersama peternak dan pelaku usaha peternakan seyogyanya berupaya secara terencana dan terprogram untuk meningkatkan produk ternak dalam negeri dalam rangka memperkuat kedaulatan dan ketahanan pangan nasional. Menurut Mahkamah, aspek kuantitas produk ternak perlu mendapat perhatian sungguh-sungguh dari pemerintah untuk memastikan ketersediaan produk ternak dalam negeri dalam jumlah yang cukup, juga untuk memberdayakan peternak dalam negeri, dan untuk menegaskan tentang pentingnya keberpihakan negara/pemerintah kepada peternak dalam negeri. Keberpihakan negara/pemerintah dimaksud, penting diupayakan dan diselenggarakan untuk mendorong dan menciptakan tata kelola dan tata niaga produk ternak dalam negeri agar tumbuh subur, budi daya ternak menjadi lebih bergairah, inovasi di bidang peternakan akan lebih maju baik melalui metode intensifikasi maupun ekstensifikasi produk ternak, ketergantungan pada subtitusi impor semakin rendah, iklim usaha ternak menjadi lebih kondusif, dan kesejahteraan peternak semakin meningkat. Dari segi kualitas, produk ternak yang dihasilkan hendaknya memenuhi standar kesehatan yang maksimal agar terhindar dari wabah penyakit yang dapat merugikan semua pihak. Kedua hal tersebut merupakan tanggung jawab pemerintah bersama-sama dengan peternak dan pengusaha di bidang peternakan untuk saling bekerja sama menjalankan ikhtiar dan prosedur yang memenuhi standar kesehatan ternak, sesuai dengan prinsip kehati-hatian dan keamanan maksimal. Demikian pula meningkatkan aspek pengawasan, baik secara internal pemerintah maupun secara eksternal oleh lembaga DPR, terhadap pelaksanaan kebijakan impor yang diterapkan oleh negara agar tidak merugikan kepentingan nasional khususnya kesehatan lingkungan dan masyarakat. Dengan demikian, berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat terhadap dalil para Pemohon berkenaan dengan inkontitusionalitas norma Pasal 36E ayat (1) dan ayat (2) serta Penjelasan Pasal 36E ayat (1) UU 41/2014 tidak beralasan menurut hukum.
[3.14] Menimbang bahwa terhadap petitum alternatif para Pemohon, yaitu petitum angka 3, yang memohon kepada Mahkamah agar frasa “dalam hal tertentu” dalam Pasal 36E ayat (1) dan ayat (2) serta Penjelasan Pasal 36E ayat (1) UU 41/2014 dimaknai “keadaan mendesak akibat bencana sebagaimana undang undang penanggulangan bencana”, menurut Mahkamah, pemaknaan demikian justru akan mempersempit frasa “dalam hal tertentu” dalam Pasal a quo. Selain akan menutup kemungkinan terjadinya keadaan mendesak lain, pemaknaan para Pemohon tersebut, juga akan menutup ruang diskresi pemerintah apabila terjadi kondisi darurat yang disebabkan hal-hal lain yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan. Keadaan demikian justru menghambat prinsip kehati-hatian sebagaimana pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 129/PUU-XIII/2015. Selain itu, jika pemasukan ternak dan/atau produk hewan dari suatu negara atau zona dalam suatu negara hanya dapat dilakukan ketika keadaan mendesak akibat bencana saja sebagaimana kehendak petitum para Pemohon, maka hal tersebut justru akan berpotensi menyulitkan konsumen untuk mendapatkan produk hewan ketika stoknya berkurang dan persediaan produk hewan dalam negeri terbatas yang akan mengakibatkan harga tidak terkendali.
[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, selain dalil para Pemohon berkenaan dengan inkontitusionalitas norma Pasal 36E ayat (1) dan ayat (2) serta Penjelasan Pasal 36E ayat (1) UU 41/2014 tidak beralasan menurut hukum, Mahkamah berpendapat petitum para Pemohon pada angka 3 apabila dikabulkan justru menjadi kontraproduktif, bertentangan dengan prinsip kehati-hatian, dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat ketentuan norma Pasal 36E ayat (1) dan ayat (2) serta Penjelasan Pasal 36E ayat (1) UU 41/2014 telah ternyata tidak bertentangan dengan prinsip negara hukum, tidak melanggar hak untuk hidup dan sejahtera, tidak menimbulkan ketidakpastian hukum, serta tidak melanggar prinsip demokrasi ekonomi yang dijamin dalam UUD 1945 sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon. Dengan demikian, permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.17] Menimbang bahwa hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 109/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-01-2023

Dr. Muh. Ibnu Fajar Rahim, S.H., M.H. (Dosen pada Universitas Presiden), untuk selanjutnya disebut Pemohon.

Pasal Pasal 10 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 10 ayat (1)

Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materiil UU Perlindungan Saksi dan Korban dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca secara saksama permohonan Pemohon, memeriksa bukti-bukti yang diajukan, dan mempertimbangkan dalil-dalil Pemohon, sebagaimana selengkapnya dimuat dalam bagian Duduk Perkara, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
Bahwa Indonesia sebagai negara hukum sangat menjunjung tinggi hak-hak warga negaranya, hal ini sebagaimana tujuan negara yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, antara lain, untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Lebih lanjut, Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 menyatakan, “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.” Tanggung jawab negara dalam memberikan perlindungan tersebut haruslah dimaknai sebagai perlindungan yang komprehensif bagi seluruh warga negara Indonesia, tanpa kecuali, termasuk kepada para pihak yang terlibat dalam proses peradilan pidana.
Bahwa salah satu pihak dalam proses peradilan pidana yang secara khusus perlu diberikan perlindungan adalah saksi dan korban sebagaimana termuat dalam UU 31/2014. Hal ini didasarkan pada mendesaknya kebutuhan peraturan perundang-undangan yang memberikan perlindungan bagi saksi dan korban dalam memberikan keterangan pada proses peradilan pidana. Kebutuhan ini dilandasi oleh kenyataan banyaknya kasus yang tidak dapat diungkap dan tidak selesai karena saksi dan korbannya tidak bersedia memberikan kesaksian kepada penegak hukum akibat ancaman dari pihak tertentu [vide Konsiderans Menimbang huruf a dan Penjelasan Umum UU 31/2014]. Oleh karenanya perlu ada pengaturan yang secara khusus memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban yang pada hakikatnya bertujuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi, korban, pelapor maupun saksi yang terlibat tindak pidana, dalam memberikan keterangan pada semua tahap proses peradilan pidana sehingga kebenaran material akan tercapai dan keadilan bagi masyarakat dapat terwujud. Terlebih lagi, perlindungan bagi saksi dan korban dalam proses peradilan pidana belum diatur secara khusus. Sebab, Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) hanya mengatur perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa dari kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena itu, sudah saatnya perlindungan terhadap saksi dan korban diatur dalam undang-undang tersendiri [vide Penjelasan Umum UU 31/2014]. Perlindungan demikian, sejalan dengan esensi Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.
Bahwa berdasarkan uraian di atas telah jelas UU 31/2014 merupakan ketentuan perundang-undangan yang bersifat lex specialis, hal ini tampak pada judul undang-undang itu sendiri yakni “Perlindungan Saksi dan Korban” yang artinya ketentuan perundang-undangan tersebut spesifik mengatur hal-hal yang terkait dengan syarat dan tata cara pemberian perlindungan dan bantuan bagi saksi dan/atau korban yang sebelumnya terbagi-bagi dalam beberapa peraturan. Hal ini pun ditegaskan pula dalam Pasal 2 UU 31/2014 bahwa “Undang-Undang ini memberikan perlindungan pada Saksi dan Korban dalam semua tahapan proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan”. Terkait dengan norma a quo, sama sekali tidak diubah meskipun Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU 13/2006) diubah dengan UU 31/2014. Oleh karena itu, nomenklatur utama yang disebutkan dalam ketentuan umum UU a quo sesuai dengan judul UU adalah “saksi” dan “korban”. Saksi dimaksud adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri [vide Pasal 1 angka 1 UU 31/2014 juncto Pasal 1 angka 26 dan angka 27 KUHAP]. Berkenaan dengan pengertian saksi ini, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 8 Agustus 2011 Paragraf [3.13] menyatakan:
[3.13] Menimbang bahwa mengenai pengertian “saksi” sebagaimana dimaksud oleh Pasal 1 angka 26 dan angka 27 juncto Pasal 65, Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4), serta Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP, berdasarkan penafsiran menurut bahasa (gramatikal) dan memperhatikan kaitannya dengan pasal-pasal lain dalam KUHAP, adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pengadilan tentang suatu tindak pidana yang dia dengar sendiri, dia lihat sendiri, dan dia alami sendiri. Secara ringkas, Mahkamah menilai yang dimaksud saksi oleh KUHAP tersebut adalah hanya orang yang mendengar, melihat, dan mengalami sendiri peristiwa yang disangkakan atau didakwakan;
Menurut Mahkamah, pengertian saksi yang menguntungkan dalam Pasal 65 KUHAP tidak dapat ditafsirkan secara sempit dengan mengacu pada Pasal 1 angka 26 dan angka 27 KUHAP saja. Pengertian saksi sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 26 dan angka 27 KUHAP memberikan pembatasan bahkan menghilangkan kesempatan bagi tersangka atau terdakwa untuk mengajukan saksi yang menguntungkan baginya karena frasa “ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri” mensyaratkan bahwa hanya saksi yang mendengar sendiri, melihat sendiri, dan mengalami sendiri suatu perbuatan/tindak pidana yang dapat diajukan sebagai saksi yang menguntungkan. Padahal, konteks pembuktian sangkaan atau dakwaan bukan hanya untuk membuktikan apakah tersangka atau terdakwa melakukan atau terlibat perbuatan/tindak pidana tertentu; melainkan meliputi juga pembuktian bahwa suatu perbuatan/tindak pidana adalah benar-benar terjadi. Dalam kontekspembuktian apakah suatu perbuatan/tindak pidana benar-benar terjadi; dan pembuktian apakah tersangka atau terdakwa benar-benar melakukan atau terlibat perbuatan/tindak pidana dimaksud, peran saksi alibi menjadi penting, meskipun ia tidak mendengar sendiri, ia tidak meIihat sendiri, dan ia tidak mengalami sendiri adanya perbuatan/tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka atau terdakwa;
Perumusan saksi dalam Pasal 1 angka 26 dan angka 27 KUHAP tidak meliputi pengertian saksi alibi, dan secara umum mengingkari pula keberadaan jenis saksi lain yang dapat digolongkan sebagai saksi yang menguntungkan (a de charge) bagi tersangka atau terdakwa, antara lain, saksi yang kesaksiannya dibutuhkan untuk mengklarifikasi kesaksian saksi-saksi sebelumnya;
Oleh karena itu, menurut Mahkamah, arti penting saksi bukan terletak pada apakah dia melihat, mendengar, atau mengalami sendiri suatu peristiwa pidana, melainkan pada relevansi kesaksiannya dengan perkara pidana yang sedang diproses;

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi di atas, Mahkamah telah menyatakan dalam amar Putusan a quo pemaknaan ”saksi” dalam Pasal 1 angka 26 dan angka 27 KUHAP yang pada pokoknya termasuk orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Sedangkan pengertian korban dalam UU 31/2014 adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana [vide Pasal 1 angka 2 UU 31/2014]. Sistematika pengaturan pengertian/definisi dalam UU 31/2014 tersebut sejalan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menentukan bahwa “ketentuan umum” berisi: a) batasan pengertian atau definisi; b) singkatan atau akronim yang dituangkan dalam batasan pengertian atau definisi; dan/atau c) hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal atau beberapa pasal berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan tanpa dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab [vide angka 98 Lampiran II UU 12/2011]. Oleh karena fokus pengaturan UU 13/2006 adalah pada saksi dan korban sehingga dalam pengaturan UU a quo tidak terdapat pengaturan berkenaan dengan perlindungan terhadap “ahli”.
Adanya pengaturan mengenai “ahli” baru muncul dalam perubahan UU 13/2006 yaitu UU 31/2014. Dengan merujuk pada Penjelasan Pasal 5 ayat (3) UU 31/2014, “Yang dimaksud dengan “ahli” adalah orang yang memiliki keahlian di bidang tertentu yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan” [vide Penjelasan Pasal 5 ayat (3) UU 31/2014]. Bahwa selanjutnya keterangan ahli merupakan salah satu di antara alat bukti yang memegang peranan penting dalam pemeriksaan perkara di pengadilan. Pasal 184 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa keterangan ahli adalah salah satu alat bukti yang sah. Lebih lanjut, ketentuan Pasal 1 angka 28 KUHAP menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Keterangan Ahli adalah “keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”. Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa ahli adalah orang yang memiliki “keahlian khusus” tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 28 KUHAP di atas, apabila dicermati, KUHAP tidak mengatur secara khusus mengenai apa syarat didengarkannya sebagai keterangan ahli dalam pemeriksaan di pengadilan. Adapun yang dijelaskan dalam KUHAP adalah orang yang memiliki “keahlian khusus” tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana dan diajukan oleh pihak-pihak tertentu, maka keterangannya bisa didengar untuk kepentingan pemeriksaan. Keahlian khusus tersebut dalam hal ini dapat ditafsirkan berkaitan dengan kemampuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan terhadap suatu objek tertentu yang diketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya dalam rangka membantu proses peradilan pidana.

[3.11] Menimbang bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil pokok Pemohon yang menyatakan Pasal 10 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU 31/2014 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 dengan dalil yang pada pokoknya Pasal 10 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU 31/2014 merupakan norma yang tidak pasti, tidak adil, dan diskriminatif. Berkenaan dengan dalil Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa norma Pasal 10 ayat (1) UU 31/2014 yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon menyatakan, “Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik” adalah norma yang mengatur mengenai perlindungan bagi saksi, korban, saksi pelaku, dan/atau pelapor untuk tidak dituntut secara hukum (pidana maupun perdata) sepanjang informasi/kesaksian tersebut diberikan dengan iktikad baik yakni dengan tidak memberikan keterangan palsu, sumpah palsu, dan permufakatan jahat. Hal demikian menjadi penting diberikan berkenaan dengan peran dan posisi mereka dalam proses peradilan pidana, yakni berkontribusi besar untuk mengungkap tindak pidana tertentu.
Saksi misalnya, memiliki kewajiban untuk memberikan keterangan sebagai saksi yang hanya akan fair jika saksi tidak dalam kondisi ketakutan atas keberlanjutan hidupnya, sehingga kewajiban tersebut harus diimbangi pula dengan kewajiban dari sistem peradilan pidana untuk menyediakan lingkungan yang kondusif bagi saksi untuk dapat memberikan keterangannya secara bebas dan tanpa intimidasi. Adapun terkait dengan korban, kesuksesan dalam pengungkapan dan penuntutan kejahatan seperti kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence), dan perdagangan orang ditentukan oleh korban yang akan memberikan keterangan di pengadilan yang tidak jarang akan dihadapkan dengan pelaku sehingga memerlukan prosedur khusus yang memberikan perlindungan bagi korban dalam kerangka asas peradilan yang terbuka. Begitu pula dengan saksi pelaku, yang merupakan tersangka, terdakwa, atau terpidana yang mau bekerjasama dengan penegak hukum dan memiliki iktikad baik untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama, tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila terbukti bersalah, tetapi keterangannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan, sehingga diperlukan suatu jaminan perlindungan agar mereka dapat memberikan keterangan secara lengkap dan jelas [vide Pasal 10 ayat (2) UU 31/2014]. Bahkan, terhadap saksi pelaku dapat diberikan penanganan secara khusus dalam proses pemeriksaan berupa pemisahan tempat penahanan atau tempat menjalani pidana antara saksi pelaku dengan tersangka, terdakwa, dan/atau narapidana yang diungkap tindak pidananya; pemisahan pemberkasan antara berkas saksi pelaku dengan berkas tersangka dan terdakwa dalam proses penyidikan, dan penuntutan atas tindak pidana yang diungkapkannya; dan/atau memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa yang diungkap tindak pidananya [vide Pasal 10A UU 31/2014]. Terlebih lagi, saksi yang menjadi pelaku tindak pidana dapat mengundurkan diri atau menolak untuk menjadi saksi dalam perkara yang sama di persidangan [vide Pasal 168 huruf c KUHAP]. Perlakuan demikian apabila dikaitkan dengan hukum acara pidana menghendaki adanya keseimbangan antara kepentingan hukum individu dan kepentingan hukum masyarakat serta negara, karena pada dasarnya dalam hukum pidana, individu dan/atau masyarakat berhadapan langsung dengan negara. Hubungan ini menempatkan individu dan/atau masyarakat dalam hal ini baik saksi, korban, maupun saksi pelaku pada posisi yang lebih lemah. Artinya, di satu sisi, saksi yang tidak memberikan keterangan yang sebenarnya akan diancam dengan sumpah palsu, namun di sisi lain saksi yang memberikan keterangan yang sebenarnya berpotensi terancam keselamatan jiwanya oleh pelaku tindak pidana atau pihak lain. Oleh karenanya, UU 31/2014 memberikan perhatian lebih berupa perlindungan yang diperlukan agar proses peradilan pidana dapat berjalan tanpa ada hambatan.
Sekalipun UU 31/2014 menitikberatkan pengaturannya pada saksi dan korban, namun juga sebagai bagian dari upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana, UU a quo juga perlu memberikan perlindungan kepada pelapor, sehingga terhadap pelapor pun tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikannya dengan iktikad baik. Pengaturan mengenai pemberian perlindungan hukum ini juga dimaksudkan untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam mengungkap tindak pidana, sehingga perlu diciptakan iklim yang kondusif dengan cara memberikan perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui atau menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkap tindak pidana yang telah terjadi dan melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum. Pelapor yang demikian itu harus diberi perlindungan hukum dan keamanan yang memadai atas laporannya, sehingga ia tidak merasa terancam atau terintimidasi baik hak maupun jiwanya. Dengan jaminan perlindungan hukum dan keamanan tersebut, diharapkan tercipta suatu keadaan yang memungkinkan masyarakat tidak lagi merasa takut untuk melaporkan suatu tindak pidana yang diketahuinya kepada penegak hukum, karena khawatir atau takut jiwanya terancam oleh pihak tertentu [vide Pasal 10 ayat (1) dan Penjelasan Umum UU 13/2006]. Berkenaan dengan pengaturan mengenai perlindungan bagi pelapor ini mendapatkan penegasan dalam perubahan UU 13/2006 dengan memberikan batasan pengertian atau definisi pelapor adalah orang yang memberikan laporan, informasi, atau keterangan kepada penegak hukum mengenai tindak pidana yang akan, sedang, atau telah terjadi [vide Pasal 1 angka 4 UU 31/2014]. Oleh karena itu, pengertian pelapor pada hakikatnya tidak berbeda dengan pemaknaan saksi.
[3.11.2] Bahwa kedudukan korban tidak secara eksplisit diatur dalam KUHAP, kecuali terhadap korban yang juga berkedudukan sebagai saksi, sehingga ketentuan dan jaminan perlindungan diberikan kepada korban yang juga menjadi saksi dalam setiap proses peradilan pidana. Berbeda dengan KUHAP, UU 31/2014 mengatur perlindungan terhadap saksi dan/atau korban, baik itu terhadap korban yang juga menjadi saksi, korban yang tidak menjadi saksi dan juga anggota keluarganya. Adapun terkait saksi pelaku dan pelapor, meskipun tidak juga diatur secara eksplisit dalam KUHAP namun dalam praktiknya, istilah tersebut telah muncul dan dikenal dalam praktik Hukum Acara Pidana. Sehingga secara umum, baik koban, saksi pelaku, dan/atau pelapor dapat berkedudukan juga sebagai saksi.
Bahwa berkaitan dengan eksistensi saksi, Mahkamah dalam pertimbangan hukum Sub-Paragraf [3.16.2] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 61/PUU-XX/2022 yang diucapkan dalam sidang Pleno terbuka untuk umum pada tanggal 30 November 2022 menyatakan:
[3.16.2] … Terhadap dalil para Pemohon a quo, menurut Mahkamah, saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri [vide Pasal 1 angka 26 KUHAP]. Sedangkan keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu [vide Pasal 1 angka 27 KUHAP]. Oleh karena itu, apabila dicermati secara saksama dari terminologi pengertian tentang saksi dan keterangan saksi tersebut dapat dimaknai saksi adalah subjek hukum atau pihak yang keberadaannya diperlukan untuk memberi keterangan atas adanya suatu tindak pidana yang didengar, dilihat dan dialami sendiri oleh saksi yang bersangkutan. Dengan demikian, pemberian keterangan seseorang sebagai saksi dalam semua tingkatan pemeriksaan (penyidikan, penuntutan, dan peradilan) sesungguhnya secara limitatif dalam perspektif memberi kejelasan atas adanya tindak pidana yang disaksikan oleh saksi yang bersangkutan.
Lebih lanjut, berkaitan dengan saksi, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 8 Agustus 2011, telah memberikan pemaknaan saksi yang lebih luas dalam perspektif saksi yang meringankan tersangka atau terdakwa (saksi a de charge) dan saksi yang memberatkan tersangka atau terdakwa (saksi a charge), Mahkamah berpendirian pada pokoknya, saksi tidak hanya yang mendengar, melihat dan merasakan sendiri atas adanya peristiwa pidana, akan tetapi menjadi kewajiban penyidik sejak tingkat pemeriksaan penyidikan untuk mengakomodir saksi-saksi yang diajukan oleh tersangka atau terdakwa sepanjang dapat membantu meringankan kesalahan tersangka atau terdakwa. Oleh karena itu, sejak di tingkat penyidikan saksi yang meringankan tersangka atau terdakwa meskipun tidak mendengar, melihat dan merasakan sendiri atas peristiwa pidana yang bersangkutan, namun apabila sepanjang yang didengar, dilihat dan dirasakan dapat memberikan keuntungan bagi tersangka atau terdakwa, maka keterangannya dapat dikategorikan sebagai keterangan saksi..”.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, keberadaan saksi dalam kaitan memberikan keterangan adalah dalam rangka memberikan kejelasan atas adanya tindak pidana yang diketahui oleh saksi yang bersangkutan (berdasarkan fakta). Sehingga dalam hal ini, saksi wajib untuk memberikan keterangan sesuai dengan fakta yang sebenarnya terjadi. Dengan kata lain, keterangan saksi harus dilandasi pada semangat untuk mengungkap kebenaran materiil dalam setiap proses peradilan pidana sehingga dalam proses pemeriksaan dapat diungkap perbuatan nyata yang dilakukan terdakwa dan derajat kesalahan terdakwa.
Seorang saksi dapat dijatuhi hukuman apabila saksi tersebut terbukti menolak menjadi seorang saksi suatu perkara yang melibatkan dirinya dan/atau memberikan keterangan palsu atau menambah unsur-unsur kebohongan di dalam kesaksiannya di persidangan [vide Pasal 224 ayat (1) dan Pasal 242 butir 1 dan butir 2 KUHP]. Dalam posisi tersebut, perlindungan kepada saksi pada semua tahap proses peradilan sangatlah diperlukan, baik terkait fisik, psikis, maupun perlindungan dari adanya tuntutan hukum sehingga saksi dapat memberikan keterangan tentang suatu perkara pidana yang diketahuinya dengan rasa aman tanpa adanya tekanan dari pihak manapun [vide Pasal 4 UU 31/2014].
[3.11.3] Bahwa berbeda dengan saksi, definisi ahli sendiri tidak dijelaskan secara khusus dalam KUHAP, begitu pula dalam UU 31/2014. Namun demikian, Pasal 1 butir 28 KUHAP menyatakan, “Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa ahli ialah seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Oleh karena itu, seseorang dapat dikatakan sebagai ahli setidak-tidaknya harus memenuhi berbagai kriteria. Namun berdasarkan pengertian ahli sebagaimana disebutkan dalam peraturan perundang-undangan, tidak mengatur secara khusus mengenai apa syarat didengarkannya sebagai keterangan ahli dalam pemeriksaan di pengadilan. Adapun yang dijelaskan dalam KUHAP adalah selama ia memiliki “keahlian khusus” tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana dan diajukan oleh pihak-pihak tertentu, maka keterangannya bisa didengar untuk kepentingan pemeriksaan. Keahlian khusus tersebut dalam hal ini dapat ditafsirkan berkaitan dengan kemampuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan terhadap suatu objek tertentu yang diketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya dalam rangka membantu proses peradilan pidana. Dengan demikian, tidak terdapat kriteria yang jelas mengenai siapa yang dapat disebut sebagai ahli. KUHAP hanya menyatakan terdapat keahlian khusus yang berarti terkait dengan kemampuan akan pengetahuan yang secara spesifik dimiliki karena pendidikan atau pengalaman kerjanya. Karena ahli pada dasarnya dibutuhkan dalam setiap proses persidangan tidak terkecuali perkara pidana untuk membuat terang suatu peristiwa hukum tertentu. Untuk itu, ahli setidak-tidaknya harus memiliki kriteria atau validitas antara lain: (1) berpendidikan dan memiliki pengalaman yang spesifik dengan bidang yang telah digeluti; (2) terdapat bukti formal mengenai keahlian yang dimiliki; (3) terdapat rekam jejak yang baik terkait dengan integritasnya dalam menyampaikan keahliannya. Hal demikian menjadi penting agar keterangan yang disampaikan ahli berasal dari ahli yang berkompeten, objektif, dan tidak memihak (independen) serta memiliki integritas yang tinggi sehingga keterangan yang disampaikan tersebut tidak dapat dipengaruhi oleh pihak yang memintanya sebagai ahli ataupun dipengaruhi oleh pihak lainnya dan dapat dipertanggungjawabkan selain kepada bangsa dan negara, juga kepada Tuhan Yang Maha Esa. Berdasarkan pertimbangan itulah, ahli diberikan kebebasan untuk berpendapat sesuai dengan keahliannya namun tidak dalam konteks menyampaikan fakta, sehingga keterangan ahli tidak ada relevansinya dengan keterdesakan atau perasaan terancam seperti halnya yang dirasakan atau dialami oleh saksi, korban, atau pelapor.
Bahwa sebagai alat bukti sebagaimana ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, keterangan ahli memiliki nilai pembuktian yang bebas atau tidak mengikat hakim untuk memakainya apabila bertentangan dengan keyakinan hakim. Dalam hal ini, keterangan ahli berfungsi menjadi alat bantu yang positif dan konstruktif bagi hakim untuk menemukan kebenaran dan hakim bebas memilih untuk menggunakan atau tidak menggunakan keterangan ahli tersebut. Sehingga apabila hakim merasa keterangan ahli bertentangan dengan keyakinannya maka ia dapat tidak mempertimbangkan keterangan ahli tersebut.

[3.12] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan pada paragraf-paragraf di atas, setelah Mahkamah mencermati petitum Pemohon berkenaan dengan perlindungan saksi, korban, saksi pelaku, dan/atau pelapor yang diatur dalam norma Pasal 10 ayat (1) UU 31/2014 di mana Pemohon memohon kepada Mahkamah agar dimasukkan pula perlindungan ahli, dengan cara menyisipkan perlindungan untuk ahli agar ahli tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata, atas keterangan yang diberikan dengan iktikad baik ke dalam Pasal a quo. Terhadap petitum tersebut, setelah Mahkamah mencermati secara saksama esensi Pasal 10 ayat (1) UU 13/2006 yang diubah dengan UU 31/2014 justru materi muatannya adalah dalam rangka menegaskan perlindungan saksi, korban, saksi pelaku, dan/atau pelapor agar tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik, sebagaimana maksud dibentuknya UU 31/2014. Penegasan dimaksud dimaktubkan dalam Pasal 10 ayat (2) UU 31/2014 yang menyatakan “Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap saksi, korban, saksi pelaku, dan/atau pelapor atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau ia berikan kesaksian telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap”. Oleh karena itu, apabila norma Pasal 10 UU a quo diubah dengan menyisipkan kata “ahli” sebagaimana petitum Pemohon maka hal tersebut justru akan merusak sistematika dan substansi pokok dalam norma Pasal a quo yang berkaitan dengan pasal-pasal lainnya dalam UU 31/2014.
Bahwa lebih lanjut, berkenaan dengan petitum yang dimohonkan oleh Pemohon sesungguhnya telah diakomodasi dalam perubahan UU 13/2006 sejalan dengan maksud Konsiderans Menimbang huruf b UU 31/2014 yang menyatakan “untuk meningkatkan upaya pengungkapan secara menyeluruh suatu tindak pidana, khususnya tindak pidana transnasional yang terorganisasi, perlu juga diberikan perlindungan terhadap saksi pelaku, pelapor, dan ahli”, di mana maksud tersebut kemudian dijelaskan dalam Penjelasan Umum UU 31/2014 yang menyatakan:
“Keberadaan Saksi dan Korban merupakan hal yang sangat menentukan dalam pengungkapan tindak pidana pada proses peradilan pidana. Oleh karena itu, terhadap Saksi dan Korban diberikan Perlindungan pada semua tahap proses peradilan pidana. Ketentuan mengenai subjek hukum yang dilindungi dalam Undang- Undang ini diperluas selaras dengan perkembangan hukum di masyarakat.
Selain Saksi dan Korban, ada pihak lain yang juga memiliki kontribusi besar untuk mengungkap tindak pidana tertentu, yaitu Saksi Pelaku (justice collaborator), Pelapor (whistle-blower), dan ahli, termasuk pula orang yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara pidana meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana, sehingga terhadap mereka perlu diberikan Perlindungan. Tindak pidana tertentu tersebut di atas yakni tindak pidana pelanggaraan hak asasi.

Artinya, esensi pokok UU 31/2014 sekalipun telah diubah adalah tetap pada keberadaan perlindungan saksi dan korban yang merupakan hal yang sangat menentukan dalam pengungkapan tindak pidana pada proses peradilan pidana. Adanya pengaturan penambahan unsur di luar saksi dan korban, yaitu dengan memasukkan ahli pada pokoknya hanya dikaitkan dengan upaya pengungkapan tindak pidana yang bersifat khusus, yakni tindak pidana transnasional yang terorganisir. Oleh karena itu, dalam perubahan UU 13/2006 terdapat perluasan subyek yang dilindungi oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), namun perluasan tersebut hanya terkait dengan pihak-pihak yang berkaitan dengan pengungkapan tindak pidana transnasional yang terorganisir, termasuk pihak dimaksud adalah ahli berdasarkan Keputusan LPSK. Hal ini sejalan dengan maksud pengaturan dalam Pasal 5 ayat (3) UU 31/2014 yang menyatakan.
“Selain kepada Saksi dan/atau Korban, hak yang diberikan dalam kasus tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat diberikan kepada Saksi Pelaku, Pelapor, dan ahli, termasuk pula orang yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara pidana meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana.

Tindak pidana dalam kasus tertentu dimaksud dijelaskan antara lain, tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana terorisme, tindak pidana perdagangan orang, tindak pidana narkotika, tindak pidana psikotropika, tindak pidana seksual terhadap anak, dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi saksi dan/atau korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya [vide Penjelasan Pasal 5 ayat (2) UU 31/2014]. Dengan demikian, telah terang bahwa pengaturan dalam Pasal 10 UU 31/2014 merupakan pengaturan yang bersifat umum untuk memberikan perlindungan kepada saksi, korban, saksi pelaku dan/atau korban dalam tindak pidana apapun, sedangkan perlunya diberikan perlindungan terhadap ahli oleh LPSK berdasarkan Keputusan LPSK hanya untuk tindak pidana tertentu dalam rangka memberikan perlindungan kepada ahli untuk dapat bebas berpendapat sesuai dengan keahlian dan keyakinan yang dimilikinya terhadap suatu perkara sehingga membuat suatu perkara pidana tertentu menjadi terang dan jelas.
Dengan demikian, tidak terdapat persoalan ketidakpastian hukum sebagaimana didalilkan Pemohon karena beranggapan tidak adanya perlindungan terhadap dirinya tatkala menjadi ahli. Pada prinsipnya sebagai negara hukum, prinsip due process of law sebagai perwujudan pengakuan hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana menjadi asas yang harus dijunjung tinggi oleh semua pihak. Konstitusi telah menegaskan bahwa siapapun warga negara Indonesia dilindungi dari rasa aman dan diberikan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi [vide Pasal 28G ayat (2) UUD 1945]. Dalam kaitan ini, tugas negara memberikan perlindungan terhadap semua pihak yang terkait dalam proses peradilan pidana, termasuk ahli, namun dengan syarat, tata cara, dan pengaturan yang berbeda.

[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah dalil-dalil Pemohon berkenaan dengan pengujian norma Pasal 10 ayat (1) UU 31/2014 telah ternyata tidak menimbulkan persoalan ketidakpastian hukum sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, dalil-dalil permohonan Pemohon berkenaan dengan pengujian norma Pasal 10 ayat (1) UU 31/2014 tidak beralasan menurut hukum. Oleh karena itu, sebagai konsekuensi yuridisnya, dalil Pemohon mengenai Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU 31/2014 juga harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.

[3.14] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 115/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 56 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN TAMBRAUW DI PROVINSI PAPUA BARAT TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-01-2023

Hermus Indou, S.IP., M.H., Yustus Dowansiba, Norman Tambunan, S.E., Bons Sanz Rumbruren, S.Sos yang memberikan kuasa kepada Emilianus Jimmy Ell, S.H., M.H., dkk., yang tergabung dalam kantor Advokat dan Konsultan Hukum “Jimmy Ell, S.H., M.H. & Rekan”, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) UU 14/2013

Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materiil UU 14/2013 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.12] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca secara saksama permohonan Pemohon dan memeriksa bukti-bukti yang diajukan, pada intinya permohonan a quo menguji konstitusionalitas norma Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) UU 14/2013 yakni mengenai cakupan dan batas wilayah Kabupaten Tambrauw setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 127/PUU-VII/2009 yang menurut Pemohon bertentangan secara bersyarat sebagaimana yang dimohonkan dalam petitum permohonan Pemohon dengan alasan-alasan sebagaimana terurai pada Paragraf [3.7]. Ihwal permasalahan konstitusionalitas tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
Bahwa berkenaan dengan pembentukan Kabupaten Tambrauw berdasarkan UU 56/2008, Kabupaten Tambrauw merupakan pemekaran dari Kabupaten Sorong yang terdiri dari 6 (enam) distrik, yaitu: Distrik Fef, Distrik Miyah, Distrik Yembun, Distrik Kwoor, Distrik Sausapor, dan Distrik Abun dengan batas-batasnya seperti tercantum dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang a quo. Tujuan pemekaran Kabupaten Sorong untuk memperpendek rentang kendali pemerintahan melalui pembentukan daerah otonom baru yakni Kabupaten Tambrauw merupakan wujud aspirasi masyarakat yang telah dituangkan dalam Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sorong Nomor 03.A/KPTS/DPRD/SRG/2004 tanggal 14 September 2004 tentang Persetujuan Pemekaran/Pembentukan dan Penetapan Kedudukan Pusat Pemerintahan Untuk Kabupaten Tambrauw di Wilayah Pemerintahan Kabupaten Sorong, Surat Bupati Sorong Nomor 146.1/235 tanggal 14 Mei 2007 perihal Pengusulan Pemekaran Kabupaten Tambrauw, Surat Ketua DPRD Kabupaten Sorong Nomor 130/54/2007 tanggal 8 Februari 2007 perihal Penyampaian Keputusan DPRD Kabupaten Sorong tentang Pemekaran Kabupaten Tambrauw, Rekomendasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Provinsi Daerah Papua Barat Nomor 160/101/DPRD/PB/2007 tanggal 11 Mei 2007 tentang Persetujuan Pembentukan Kabupaten Tambrauw, Keputusan Pimpinan DPR Provinsi Daerah Papua Barat Nomor 05 Tahun 2007 tanggal 4 Juni 2007 tentang Pemekaran/Pembentukan Kabupaten Tambrauw sebagai Daerah Pemekaran, Keputusan Gubernur Papua Barat Nomor 78 Tahun 2007 tanggal 6 Juni 2007 tentang Kesanggupan Penyediaan Dana Bagi Kabupaten Tambrauw Sebagai Daerah Pemekaran, Surat Gubernur Papua Barat Nomor 130/412/GPB/2007 tanggal 8 Juni 2007 perihal Usul Pembentukan Kabupaten Tambrauw, Surat Gubernur Papua Barat Nomor 125/770/GPB/2007 tanggal 5 September 2007 perihal Usul Pembentukan Kabupaten Tambrauw, Surat Bupati Sorong Nomor 135/189/2008 tanggal 26 Februari 2008 perihal Penegasan Ibukota Calon Kabupaten Tambrauw, Surat Bupati Sorong Nomor X/135/01 tanggal 31 Maret 2008 perihal Cakupan Wilayah dan Ibukota Kabupaten Tambrauw, Surat Gubernur Papua Barat Nomor 125/294/GPB/2008 tanggal 11 April 2008 perihal Peninjauan kembali Penetapan Ibukota Pemekaran Kabupaten Tambrauw, dan Surat Gubernur Papua Barat Nomor 125/524/GPB/2008 tanggal 16 Juni 2008 perihal Pemekaran Kabupaten Tambrauw dan Kabupaten Maibrat [vide Penjelasan Umum UU 56/2008].
Bahwa selanjutnya terhadap UU 56/2008 khususnya pengaturan mengenai cakupan wilayah Kabupaten Tambrauw, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 127/PUU-VII/2009 wilayah Kabupaten Tambrauw dilakukan perubahan dengan memasukkan 5 (lima) distrik yaitu Distrik Amberbaken, Distrik Kebar, Distrik Senopi, dan Distrik Mubrani, masing-masing dari Kabupaten Manokwari, dan Distrik Moraid dari Kabupaten Sorong, menjadi cakupan wilayah Kabupaten Tambrauw. Menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 127/PUU-VII/2009 sekaligus untuk mewujudkan kepastian hukum, tertib administrasi, dan meningkatkan efektifitas dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Kabupaten Sorong, Kabupaten Manokwari, dan Kabupaten Tambrauw, disahkan UU 14/2013. Sebagai perubahan atas UU 56/2008, dalam Pasal 3 ayat (1) UU 14/2013 menyatakan cakupan wilayah Kabupaten Tambrauw terdiri dari atas 11 (sebelas) distrik, yaitu: Distrik Fef, Distrik Miyah, Distrik Yembun, Distrik Kwoor, Distrik Sausapor, Distrik Abun, Distrik Amberbaken, Distrik Kebar, Distrik Senopi, Distrik Mubrani, dan Distrik Moraid. Berkenaan dengan dengan batas wilayah Kabupaten Tambrauw dicantumkan dalam Pasal 5 ayat (1) UU 14/2013.

[3.13] Menimbang bahwa berkenaan dengan batas wilayah Kabupaten Tambrauw sebagaimana termaktub dalam Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) UU 14/2013 dimaksud, Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 105/PUU-XI/2013 telah mempertimbangkan antara lain sebagai berikut:
[3.13] Menimbang, bahwa Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 56 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Tambrauw di Provinsi Papua Barat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun2013 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5416] menyatakan, “Kabupaten Tambrauw berasal dari sebagian wilayah Kabupaten Sorong dan sebagian wilayah Kabupaten Manokwari yang terdiri atas cakupan wilayah: a. Distrik Fef b. Distrik Miyah; c. Distrik Yembun; d. Distrik Kwoor; e. Distrik Sausapor; f. Distrik Abun; g. Distrik Amberbaken; h. Distrik Kebar; i. Distrik Senopi; j. Distrik Mubrani; dan k. Distrik Moraid”. Adapun batas-batas wilayah Kabupaten Tambrauw yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 56 Tahun 2008 tersebut, berhubung dimasukkannya lima distrik baru yang sebelumnya tidak termasuk cakupan wilayah Kabupaten Tambrauw, di dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2013 juga ikut berubah;
[3.14] Menimbang, bahwa maksud permohonan para Pemohon dalam permohonan a quo adalah supaya Distrik Amberbaken, Distrik Kebar, Distrik Senopi, dan Distrik Mubrani yang berasal dari Kabupaten Manokwari dikeluarkan lagi dari cakupan wilayah Kabupaten Tambrauw, dan dibentuk kabupaten baru yakni Kabupaten Manokwari Barat;

[3.15] Menimbang Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik; Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerahdaerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiaptiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan Undang-Undang”. Kemudian Pasal 37 ayat (5) UUD 1945 menegaskan, “Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan”. Menurut Mahkamah, suatu wilayah dalam hal ini distrik masuk menjadi cakupan wilayah atau tidaknya dalam suatu provinsi, kabupaten/kota tertentu sangat tergantung pada efektivitas dan efisiensi secara objektif dalam menjalankan fungsi pemerintahan untuk pembangunan daerah dan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat. Hal tersebut telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 127/PUU-VII/2009, tanggal 25 Januari 2010;

[3.16] Menimbang bahwa menurut Mahkamah dari ketentuan pasal-pasal UUD 1945 yang dikutip di atas, khususnya Pasal 18 ayat (1) yang menggunakan frasa, “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas ...”, bukan menggunakan frasa, “terdiri atas” menegaskan bahwa wilayah atau distrik-distrik yang oleh para Pemohon dimohonkan untuk dinyatakan tidak termasuk cakupan wilayah Kabupaten Tambrauw sebagaimana yang tertera dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 56 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Tambrauw di Provinsi Papua Barat tetap merupakan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, apakah termasuk wilayah Kabupaten Tambrauw atau wilayah kabupaten lainnya. Pengutamaan serta pengedepanan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai pemilik wilayah dapat dipahami dari ketentuan Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 yang telah dikutip di atas;

Bahwa masih berkenaan dengan norma yang sama dalam UU 14/2013 a quo, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-XII/2014 pun telah mempertimbangkan antara lain sebagai berikut:
[3.11] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama permohonan a quo dan bukti-bukti surat/tulisan yang diajukan oleh para Pemohon, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
[3.11.1] Menimbang bahwa Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 56 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Tambrauw di Provinsi Papua Barat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 193, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4940), menyatakan, “Kabupaten Tambrauw berasal dari sebagian wilayah Kabupaten Sorong dan sebagian wilayah Kabupaten Manokwari yang terdiri atas cakupan wilayah: a. Distrik Fef; b. Distrik Miyah; c. Distrik Yembun; d. Distrik Kwoor; e. Distrik Sausapor; f. Distrik Abun;” dengan batas-batas sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 ayat (1) UU tersebut. Kemudian Maurits Major, dan kawankawan mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas atas kedua pasal tersebut dengan permohonan yang diregistrasi di Mahkamah dengan Nomor 127/PUU-VII/2009 yang diputuskan Mahkamah pada tanggal 25 Januari 2010; Dalam amar Putusan Mahkamah tersebut, yang mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian, antara lain, “Menyatakan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 56 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Tambrauw di 49 Provinsi Papua Barat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 193, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4940) bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang tidak memasukkan Disktrik Amberbaken, Distrik Kebar, Distrik Senopi, dan Distrik Mubrani, masing-masing dari Kabupaten Manokwari, dan Distrik Moraid dari Kabupaten Sorong menjadi cakupan wilayah Kabupaten Tambrauw, sehingga cakupan wilayah Kabupaten Tambrauw seluruhnya meliputi, Distrik Fef, Distrik Miyah, Distrik Yembun, Distrik Kwoor, Distrik Sausapor, Distrik Abun, Distrik Amberbaken, Distrik Kebar, Distrik Senopi, Distrik Mubrani, dan Distrik Moraid; Menyatakan Pasal 5 ayat (1) UndangUndang Nomor 56 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Tambrauw (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 193, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4940) bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak disesuaikan dengan amar putusan ini”;
[3.11.2] Menimbang bahwa untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah tersebut, dibentuklah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 56 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Tambrauw di Provinsi Papua Barat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5416), yang antara lain, dapat dibaca dalam konsiderans (menimbang) huruf a yang menyatakan, “bahwa untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 127/PUU-VII/2009, tanggal 25 Januari 2010 perlu dilakukan perubahan terhadap UndangUndang Nomor 56 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Tambrauw di Provinsi Papua Barat”;
[3.11.3] Menimbang bahwa Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 56 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Tambrauw di Provinsi Papua Barat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5416), menyatakan, “Kabupaten Tambrauw berasal dari sebagian wilayah Kabupaten Sorong dan sebagian wilayah Kabupaten Manokwari yang terdiri atas cakupan wilayah: a. Distrik Fef; b. Distrik Miyah; c. Distrik Yembun; d. Distrik Kwoor; 50 e. Distrik Sausapor; f. Distrik Abun; g. Distrik Amberbaken; h. Distrik Kebar; i. Distrik Senopi; j. Distrik Mubrani; dan k. Distrik Moraid.” Adapun batas-batas wilayah Kabupaten Tambrauw yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU 56/2008 tersebut, berhubung dimasukkannya lima distrik yang sebelumnya tidak termasuk cakupan wilayah Kabupaten Tambrauw di dalam Pasal 5 ayat (1) UU 14/2013 tersebut juga ikut berubah;
[3.11.4] Menimbang bahwa maksud permohonan para Pemohon adalah supaya Distrik Moraid, yang semula dalam wilayah Kabupaten Sorong, kemudian atas permohonan Maurits Major dan kawan-kawan yang dikabulkan oleh Mahkamah dalam putusan Nomor 127/PUU-VII/2009 tersebut, sehingga Distrik Moraid dimasukkan dalam cakupan wilayah Kabupaten Tambrauw. Sekarang atas permohonan para Pemohon (bukan Maurits Major dan kawan-kawan) memohon agar Distrik Moraid tersebut dikembalikan menjadi cakupan wilayah Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat;
[3.11.5] Menimbang Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik. Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiaptiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan Undang-Undang”. Kemudian Pasal 37 ayat (5) UUD 1945 menegaskan, “Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan”. Menurut Mahkamah, suatu wilayah dalam hal ini distrik masuk menjadi cakupan wilayah atau tidak masuknya dalam suatu provinsi, kabupaten/kota tertentu sangat tergantung pada efektivitas dan efisiensi secara objektif dalam menjalankan fungsi pemerintahan untuk pembangunan daerah dan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat. Hal tersebut telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 127/PUU-VII/2009 tersebut;
[3.11.6] Menimbang bahwa menurut Mahkamah berdasarkan ketentuan pasalpasal UUD 1945 yang dikutip di atas, khususnya Pasal 18 ayat (1) yang menggunakan frasa, “Negara Kesatuan Republik Indonesia di bagi atas...”, bukan menggunakan frasa, “terdiri atas”, menegaskan bahwa wilayah atau Distrik Moraid yang oleh para Pemohon dimohonkan untuk dinyatakan tidak termasuk wilayah Kabupaten Tambrauw, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 3 ayat (1) UU 14/2003 dan dikembalikan atau dimasukkan kembali sebagai cakupan wilayah Kabupaten Sorong, tetaplah wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, apakah dimasukkan ke wilayah Kabupaten Tambrauw atau wilayah Kabupaten Sorong, atau wilayah kabupaten lainnya.

Bahwa selain putusan yang berkenaan dengan batas Kabupaten Tambrauw tersebut, berkenaan dengan batas wilayah administrasi, Mahkamah telah beberapa kali menyatakan pendiriannya ihwal batas wilayah. Di antara putusan Mahkamah yang terbaru, yaitu sebagaimana termaktub dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-XVII/2019 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 13 Maret 2019, pada Sub-paragraf [3.11.1] pertimbangan hukum menyatakan sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa hak-hak konstitusional Pemohon I yang diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945, bahwa sebagai negara kesatuan maka seluruh wilayah Indonesia adalah wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Mahkamah telah menyatakan pendiriannya sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-X/2012, bertanggal 21 Februari 2013, dengan amar “Menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya”, yang dalam pertimbangan Mahkamah pada Paragraf [3.13.1] menyatakan antara lain:
[3.13.1] Bahwa sebagai negara kesatuan maka seluruh wilayah Indonesia adalah wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”. Adapun maksud kata “dibagi” dalam pasal tersebut adalah untuk menekankan yang ada lebih dahulu adalah wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Adapun pembagian itu mengindikasikan wilayah provinsi/kabupaten/kota tidak lain adalah wilayah kesatuan Republik Indonesia yang untuk hal-hal tertentu kewenangannya dilimpahkan kepada provinsi/kabupaten/kota untuk mengaturnya. Bahwa UUD 1945 dengan sengaja mengambil kata “dibagi” karena untuk menghindari kata “terdiri dari” atau “terdiri atas”. Tujuannya adalah untuk menghindari konstruksi hukum bahwa wilayah provinsi/kabupaten/kota eksistensinya mendahului dari eksistensi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian, wilayah provinsi/kabupaten/kota adalah wilayah administrasi semata dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang berbeda dengan negara federal;
Pelaksanaan Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menjadi kewenangan sepenuhnya dari pembentuk Undang-Undang untuk membagi wilayah termasuk menetapkan batas-batas wilayahnya…”;
Berdasarkan pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-X/2012 tersebut, batas wilayah administrasi menjadi kewenangan sepenuhnya pembentuk undang-undang untuk membagi dan menentukan wilayah termasuk menetapkan batas-batas daerahnya. Pembagian daerah dimaksud tercermin pula dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679, selanjutnya disebut UU Pemda) yang mengatur bahwa dalam pelaksanaan desentralisasi dilakukan penataan daerah yang terdiri atas pembentukan daerah dan penyesuaian daerah. Adapun pembentukan daerah dimaksud berupa pemekaran daerah dan penggabungan daerah [vide Pasal 31 dan Pasal 32 UU Pemda]. Dengan demikian, dalam konteks pemekaran dan penggabungan serta pembentukan dan penentuan batas daerah dalam NKRI merupakan kewenangan dari pembentuk undang-undang.

Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum dalam putusan-putusan di atas, telah jelas permasalahan Pemohon a quo dikaitkan dengan cakupan wilayah dan batas wilayah administrasi menjadi kewenangan dari pembentuk undang-undang untuk membagi dan menentukan wilayah termasuk batas-batas daerahnya. Dengan demikian, menurut Mahkamah, permohonan a quo mengenai Pasal 3 ayat (1) UU 14/2013 dimaknai bahwa Distrik Amberbaken, Distrik Kebar, Distrik Senopi dan Distrik Mubrani tidak berada dan tidak masuk dalam cakupan wilayah Kabupaten Tambrauw tetapi masuk dalam cakupan wilayah Kabupaten Manokwari serta penyesuaian batas-batasnya dalam Pasal 5 ayat (1) UU 14/2013 sebagaimana tercantum dalam petitum Pemohon Mahkamah tetap pada pendirian sebagaimana tertuang dalam putusan-putusan sebelumnya, terutama dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 105/PUU-XI/2013 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-XII/2014.

[3.14] Menimbang bahwa selain pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, penting bagi Mahkamah menegaskan perihal dalil-dalil yang dijadikan dasar untuk mengajukan permohonan dalam perkara a quo antara lain disebabkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 127/PUU-VII/2009 didasarkan pada tindakan manipulasi data dan fakta-fakta atau rekayasa, sebagaimana didalilkan Pemohon dilakukan oleh para Pemohon dalam Perkara Konstitusi Nomor 127/PUU-VII/2009. Dugaan manipulasi yang didalilkan Pemohon, menurut Mahkamah, semua alat bukti maupun keterangan saksi telah diperiksa dan diadili dalam sidang pleno yang dinyatakan terbuka untuk umum sesuai dengan ketentuan hukum acara pengujian undang-undang. Sementara itu, berkaitan dengan kondisi faktual yang didalilkan Pemohon, seperti pemerintahan daerah Kabupaten Manokwari belum pernah melaksanakan pemindahan dan penyerahan personil, aset-aset dan dokumen terkait Distrik Amberbaken, Distrik Kebar, Distrik Senopi, dan Distrik Mubrani kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Tambrauw, tidaklah dapat dijadikan sebagai alasan untuk membatalkan atau mengoreksi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 127/PUU-VII/2009. Terhadap hal tersebut perlu bagi Mahkamah untuk menegaskan: berdasarkan Pasal 10 ayat (1) UU MK, putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat. Sifat final putusan Mahkamah Konstitusi bermakna putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Jikalau Mahkamah mengubah pendirian khusus dalam perkara a quo karena alasan-alasan sebagaimana didalilkan Pemohon, hal demikian sama saja dengan Mahkamah menciptakan ketidakpastian hukum;

[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum yang telah diuraikan di atas, dalil Pemohon perihal cakupan wilayah Kabupaten Tambrauw tidak termasuk Distrik Amberbaken, Distrik Kebar, Distrik Senopi, dan Distrik Mubrani serta penyesuaian batas-batas wilayahnya sebagaimana termaktub dalam norma Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) UU 14/2013 telah ternyata menimbulkan ketidakpastian hukum dan telah tidak menghormati hak masyarakat tradisional sebagaimana dijamin oleh Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (1), serta Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

[3.16] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Mengabulkan Penarikan Kembali Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 116/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-01-2023

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Pasal 1 angka 6, Pasal 7, Pasal 13, dan Penjelasan Pasal 13 UU 12/2011

Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

Bonatua Silalahi (Mahasiswa) dan PT. Bina Jasa Konstruksi, untuk selanjutnya disebut sebagai para Pemohon.

Bahwa terhadap pengujian Pasal a quo UU 12/2011 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
a. bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan bertanggal 16 dan 22 November 2022 dari i) Bonatua Silalahi, yang beralamat di Jalan Rawa Bola Nomor 43 RT/RW 002/007 Kelapa Dua Wetan, Ciracas, Kota Jakarta Timur, Provinsi DKI Jakarta; dan ii) PT. Bina Jasa Konstruksi yang beralamat di Gedung Graha Sartika Jalan Dewi Sartika Nomor 357 RT/RW 004/004 Cawang, Kota Jakarta Timur, Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 110/PUU/PAN.MK/AP3/11/2022, bertanggal 16 November 2022, serta telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dengan Nomor 116/PUU-XX/2022, bertanggal 24 November 2022, perihal permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 1 angka 6, Pasal 7, Pasal 13, dan Penjelasan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK), terhadap Permohonan Nomor 116/PUU-XX/2022 tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1. Ketetapan Mahkamah Konstitusi Nomor 116.116/PUU/TAP.MK/Panel/11/2022 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Perkara Nomor 116/PUU-XX/2022, bertanggal 24 November 2022;
2. Ketetapan Mahkamah Konstitusi Nomor 116.116/PUU/TAP.MK/HS/11/2022 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama Mahkamah Konstitusi, bertanggal 24 November 2022;
c. bahwa sesuai dengan Pasal 34 UU MK, Mahkamah telah menyelenggarakan sidang Pemeriksaan Pendahuluan pada tanggal 5 Desember 2022 dengan agenda mendengarkan permohonan para Pemohon; dan sesuai dengan ketentuan Pasal 39 UU MK Majelis Panel telah memberikan nasihat kepada para Pemohon untuk memperbaiki dan melengkapi permohonannya;
d. bahwa setelah sidang Pendahuluan sebagaimana dimaksud pada huruf c di atas, para Pemohon menyampaikan dua surat perihal Penghentian/Pencabutan Permohonan melalui email yang masing-masing dikirimkan pada tanggal 17 dan 19 Desember 2022;
e. bahwa Mahkamah Konstitusi telah menyelenggarakan sidang Pemeriksaan Pendahuluan kedua pada tanggal 19 Desember 2022 dengan agenda mendengarkan perbaikan permohonan para Pemohon, yang dalam persidangan tersebut para Pemohon menegaskan mencabut/menarik permohonannya;
f. bahwa terhadap penarikan kembali permohonan para Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan”, dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan, “Penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Permohonan tidak dapat diajukan kembali”;
g. bahwa berdasarkan pertimbangan hukum pada huruf f di atas, terhadap permohonan pencabutan atau penarikan kembali tersebut, Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 12 Januari 2022 telah menetapkan bahwa pencabutan atau penarikan kembali permohonan Perkara Nomor 116/PUU-XX/2022 adalah beralasan menurut hukum dan oleh karenanya para Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo;
h. bahwa berdasarkan pertimbangan hukum pada huruf f di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan para Pemohon dalam e-BRPK dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada para Pemohon;

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 82/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN FORMIL UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2022 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-12-2022

Dr. Ismail Hasani, S.H., M.H., dkk yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Antoni Putra, S.H., M.H., dkk, bertindak secara bersama-sama dan/atau sendiri-sendiri untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

pengujian formil atas UU 13/2022

pengujian formil atas UU 13/2022

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang beserta jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian formil atas UU 13/2022, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.8] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, dan permohonan pengujian formil diajukan masih dalam tenggang waktu yang ditentukan, serta para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan pengujian formil, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan provisi dan pokok permohonan para Pemohon.

Dalam Provisi
[3.9] Menimbang bahwa para Pemohon mengajukan permohonan provisi yang pada pokoknya mohon menunda keberlakuan UU 13/2022 dan memberlakukan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Terhadap permohonan provisi para Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat, oleh karena inkonstitusionalitas proses pembentukan UU 13/2022 baru akan dibuktikan bersama-sama dengan pembuktian pokok perkara, maka kebenaran akan adanya persoalan tata cara pembentukan UU 13/2022 belum dapat dibuktikan, sehingga tidak ada alasan secara hukum untuk menunda pemberlakuan UU 13/2022 dan memberlakukan kembali Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana permohonan provisi para Pemohon. Dengan demikian, permohonan provisi para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum;

Dalam Pokok Permohonan
[3.10] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan proses penyusunan UU 13/2022 tidak sesuai dengan ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan, dengan alasan-alasan yang pada pokoknya sebagai berikut (dalil atau argumentasi para Pemohon selengkapnya dimuat pada bagian Duduk Perkara):
1. Bahwa menurut para Pemohon, proses pembentukan UU 13/2022 cacat formil/cacat prosedur karena proses pembentukannya tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan berdasarkan UUD 1945 serta terdapat pelanggaran dalam pembentukan UU 13/2022 yang pada pokoknya sebagai berikut:
a. Pembentukan UU 13/2022 (revisi kedua UU 12/2011) tidak memenuhi syarat sebagai rancangan undang-undang kumulatif terbuka akibat putusan Mahkamah;
b. Proses pembahasan UU 13/2022 tidak memperhatikan partisipasi yang bermakna (meaningful participation) dan dilakukan secara tergesa-gesa dan Pembentuk Undang-Undang melanggar asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik;
c. Pembentukan UU 13/2022 (revisi kedua UU 12/2011) merusak desain dan pakem tugas dan fungsi pokok Kementerian Negara;
d. Pembentukan UU 13/2022 (revisi kedua UU 12/2011) adalah pelembagaan disrupsi legislasi yang mengarah pada autocratic legalism.
2. Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut, para Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan pembentukan UU 13/2022 bertentangan dengan UUD 1945.

[3.11] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, para Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-43, serta 2 (dua) orang ahli, yaitu Dr. Aan Eko Widiarto, S.H., M.Hum. dan Bivitri Susanti, S.H., LL.M., yang telah didengarkan keterangannya dalam persidangan pada 17 November 2022, dan menyampaikan satu keterangan tertulis ahli Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LLM., yang diterima Mahkamah pada 16 November 2022. Selain itu, para Pemohon juga telah menyerahkan kesimpulan bertanggal 21 November 2022 yang diterima Mahkamah pada 22 November 2022 (selengkapnya dimuat pada bagian Duduk Perkara).

[3.12] Menimbang bahwa Mahkamah telah mendengar keterangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam persidangan pada 8 November 2022 dan telah menyampaikan keterangan tertulis yang diterima Mahkamah pada 8 November 2022. Selain itu, DPR juga menyampaikan 1 (satu) keterangan tertulis ahli, yaitu Prof. Dr. Cecep Darmawan, S.H., S.I.P., M.H., M.Si. dan 1 (satu) keterangan tertulis saksi, yaitu Dr. Aminuddin Kasim, S.H., M.H. yang diterima Mahkamah pada 14 November 2022 (selengkapnya dimuat pada bagian Duduk Perkara).

[3.13] Menimbang bahwa Mahkamah telah menerima keterangan tertulis Presiden pada 6 Oktober 2022 dan 10 Oktober 2022 yang telah didengar dalam persidangan pada 10 Oktober 2022. Untuk mendukung dan membuktikan dalilnya, Presiden telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti PK-1 sampai dengan bukti PK-3, dan mengajukan 1 (satu) orang ahli, yaitu Dr. Ibnu Sina Chandranegara, S.H., M.H., dan 1 (satu) orang saksi, yaitu Dr. Ahmad Redi, S.H., M.H., yang keterangan tertulisnya diterima Mahkamah pada 7 November 2022. Selain itu, Presiden juga telah menyerahkan kesimpulan bertanggal 22 November 2022 yang diterima Mahkamah pada 22 November 2022 (selengkapnya dimuat pada bagian Duduk Perkara).

[3.14] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dan membaca secara saksama permohonan para Pemohon, keterangan DPR, keterangan Presiden, keterangan ahli para Pemohon, DPR, dan Presiden, keterangan saksi DPR dan Presiden, bukti-bukti surat/tulisan yang diajukan oleh para Pemohon dan Presiden, kesimpulan tertulis para Pemohon dan Presiden, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil permohonan para Pemohon.

[3.15] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan revisi kedua UU 12/2011 dengan membentuk UU 13/2022 tidak memenuhi syarat sebagai rancangan undang-undang kumulatif terbuka akibat Putusan MK. Berkenaan dengan dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: Bahwa berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan, Keputusan DPR RI Nomor 46/DPR RI/I/2019-2020 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Tahun 2020-2024 (vide Bukti PK-1) juncto Keputusan DPR RI Nomor 8/DPR RI/II/2021-2022 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2022 dan Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Perubahan Ketiga Tahun 2020-2024 [vide Bukti PK-3], UU 13/2022 termasuk dalam Daftar Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Perubahan Prioritas Tahun 2022 (Nomor Urut 23). Oleh karena itu, menurut Mahkamah, UU 13/2022 pembentukannya telah memenuhi tahapan dan proses pembentukan undang-undang karena perencanaan penyusunannya dilakukan dalam Prolegnas yang merupakan skala prioritas program pembentukan undang-undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional. Berdasarkan fakta hukum tersebut di atas, Kedua Keputusan DPR tersebut telah menunjukkan bahwa pembentukan UU 13/2022 merupakan salah satu rancangan undang-undang dalam Prolegnas. Terlebih lagi, Badan Legislasi DPR sesuai dengan tugas dan fungsinya adalah salah satunya memberikan pertimbangan terhadap rancangan undang-undang yang diajukan oleh anggota DPR [vide Pasal 105 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah juncto Pasal 66 Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib]. Artinya, rancangan UU 13/2022 telah dibahas di Badan Legislasi DPR adalah sesuai dengan proses pembentukan undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 22A UUD 1945 dan peraturan pelaksanaannya. Di samping itu, berdasarkan keterangan DPR dalam persidangan, diperoleh fakta hukum bahwa pembentukan Undang-Undang a quo adalah dalam rangka menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dan bukan menggunakan sistem kumulatif terbuka [vide Keterangan DPR bertanggal 8 November 2022, hlm. 20]. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon yang mempersoalkan proses pembentukan UU 13/2022 tidak memenuhi syarat sebagai rancangan undang-undang kumulatif terbuka adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.16] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan proses pembahasan UU 13/2022 tidak memperhatikan partisipasi yang bermakna (meaningful participation) dan dilakukan secara tergesa-gesa serta Pembentuk Undang-Undang melanggar asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: Bahwa terkait dengan dalil para Pemohon a quo, berdasarkan pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XX/2022 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 31 Oktober 2022, perihal pengujian formil UU 13/2022 terhadap UUD 1945, Mahkamah telah memberikan pertimbangan hukum berkenaan dengan dalil para Pemohon mengenai partisipasi yang bermakna (meaningful participation) dan dilakukan secara tergesa-gesa serta pembentuk Undang-Undang melanggar asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU XX/2022 mengenai permasalahan tersebut, berlaku mutatis mutandis pula untuk pertimbangan hukum di dalam menjawab dalil para Pemohon dalam Perkara a quo. Dengan demikian, menurut Mahkamah dalil para Pemohon mengenai proses pembahasan UU 13/2022 tidak memperhatikan partisipasi yang bermakna (meaningful participation) dan dilakukan secara tergesa-gesa serta Pembentuk Undang-Undang melanggar asas-asas pembentukan peraturan perundang undangan yang baik adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.17] Menimbang bahwa para Pemohon selanjutnya mendalilkan pembentukan UU 13/2022 merusak desain dan pakem tugas dan fungsi pokok kementerian negara. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: Bahwa terkait dengan eksistensi Kementerian Negara, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menyatakan “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”. Selain itu dalam konsideran menimbang Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, menyatakan “Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh menteri-menteri negara yang membidangi urusan tertentu di bidang pemerintahan”. Di samping ketentuan ketentuan tersebut di atas, dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, ditegaskan bahwa “Pengaturan mengenai kementerian negara tidak didekati melalui pemberian nama tertentu pada setiap kementerian. Akan tetapi undang-undang ini melakukan pendekatan melalui urusan-urusan pemerintahan yang harus dijalankan Presiden secara menyeluruh dalam rangka pencapaian tujuan negara. Urusan-urusan pemerintahan tersebut adalah urusan pemerintahan yang nomenklatur kementeriannya secara tegas disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; urusan pemerintahan yang ruang lingkupnya disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan urusan pemerintahan dalam rangka penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi program pemerintah. Dalam melaksanakan urusan-urusan tersebut tidak berarti satu urusan dilaksanakan oleh satu kementerian. Akan tetapi satu kementerian bisa melaksanakan lebih dari satu urusan sesuai dengan tugas yang diberikan oleh Presiden”. Dalam pembentukan UU 13/2022, Presiden telah menunjuk atau menugaskan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, baik secara bersama-sama maupun secara sendiri-sendiri untuk mewakili Pemerintah dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan [vide Keterangan DPR bertanggal 8 November 2022, hlm. 53]. Sementara itu, berdasarkan keterangan Pemerintah dalam persidangan, Presiden juga memiliki kewenangan menugaskan menteri untuk mewakili pembahasan rancangan undang-undang bersama DPR sebagaimana ditentukan dalam Pasal 49 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Bahwa pembahasan suatu rancangan undang-undang tetap dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, in casu Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, bersama dengan menteri yang ditugasi untuk mewakili Presiden dalam pembahasan rancangan undang-undang [vide Keterangan Presiden bertanggal 6 Oktober 2022 dan Risalah Sidang Perkara Nomor 82/PUU XX/2022 bertanggal 10 Oktober 2022]. Oleh karena itu, menurut Mahkamah penugasan terhadap seorang menteri untuk melaksanakan lebih dari satu urusan sesuai dengan tugas yang diberikan oleh Presiden dalam rangka pencapaian tujuan negara, adalah hal yang dapat dibenarkan karena Presiden menggunakan kewenangannya sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan yang dalam pelaksanaan kewajibannya tersebut dibantu para menteri sesuai dengan dinamika kebutuhannya. Terlebih lagi, berdasarkan fakta hukum di dalam persidangan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian bukanlah satu-satunya perwakilan Pemerintah untuk pembahasan Rancangan Undang-Undang a quo melainkan bersama dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, beserta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa pembentukan UU 13/2022 merusak desain dan pakem tugas dan fungsi pokok kementerian negara adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.18] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan pembentukan UU 13/2022 adalah pelembagaan disrupsi legislasi yang mengarah pada autocratic legalism. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: Bahwa pembentukan Undang-Undang a quo berangkat dari semangat untuk menyempurnakan peraturan mengenai pembentukan peraturan perundang undangan yang sesuai dengan perkembangan hukum dan untuk menampung kebutuhan masyarakat serta perkembangan dinamika legislasi. Semangat tersebut bersamaan dengan penyusunan kajian teoritis dan praktik empiris terhadap 2 (dua) tema besar, yakni metode omnibus law dan mekanisme partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang disesuaikan dengan kemajuan teknologi informasi sehingga tidak bersifat konservatif sebagaimana dilakukan sebelumnya. Dalam praktik pembentukan peraturan perundang undangan terdapat beberapa permasalahan, di antaranya belum diakomodasinya metode penyusunan peraturan perundang-undangan menggunakan metode omnibus law sebagai implikasi dari adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Menurut Mahkamah, upaya mengakomodasi metode baru tersebut untuk menghindari pembentukan undang-undang yang satu dengan yang lainnya terjadi tumpang tindih, tidak efektif dan tidak efisien sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penerapannya. Oleh karena itu, sepanjang semangat untuk menciptakan kepastian hukum dimaksud tetap mempertahankan esensi dengan tidak memutuskan mata rantai dari setiap hakikat undang-undang yang dibentuk dengan menggunakan metode omnibus law, maka kekhawatiran para Pemohon berkaitan dengan pelembagaan disrupsi legislasi yang mengarah pada autocratic legalism adalah sesuatu yang tidak beralasan karena dalam pembentukannya tetap bersumber dan berlandaskan pada aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis. Terlebih lagi, berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan, dan tanpa bermaksud menilai konstitusionalitas substansi atau norma dari Undang-Undang yang bersangkutan, telah ternyata pengaturan metode omnibus law memberikan efek yang positif dalam pembentukan undang-undang dan pembangunan hukum nasional. Dengan demikian, pengaturan mekanisme partisipasi masyarakat memberikan dampak positif untuk mewujudkan prinsip good governance dalam proses legislasi yang demokratis dan transparan. Hal tersebut sebagaimana telah dipertimbangkan pada pertimbangan hukum di atas, berkaitan dengan hal tersebut telah ternyata proses pembentukan UU 13/2022 jauh lebih luas penerapan asas keterbukaannya dibandingkan dengan UU 12/2011; Berdasarkan uraian fakta hukum di atas, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon berkenaan dengan pembentukan UU 13/2022 menjadikan pelembagaan disrupsi legislasi yang mengarah pada autocratic legalism adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.19] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat telah ternyata proses pembentukan UU 13/2022 secara formil tidak bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, UU 13/2022 tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, dalil-dalil para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

[3.20] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 96/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-12-2022

Rudi Hartono Iskandar yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Alamsyah Hanafiah, S.H., M.H, dkk Advokat yang tergabung dalam kantor Hukum Alamsyah Hanafiah, S.H., M.H&Partners, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 1 angka 24 dan Pasal 7 ayat (1) huruf a KUHAP

Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian KUHAP dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa pokok permohonan yang didalilkan Pemohon pada esensinya berkenaan dengan tidak diaturnya surat perintah penyidikan sebagai dasar dilakukannya penyidikan dalam Pasal 1 angka 24 dan Pasal 7 ayat (1) KUHAP. Dengan demikian, persoalan konstitusional yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah: 1). Apakah pengertian kata “laporan” dalam Pasal 1 angka 24 KUHAP inkonstitusional apabila tidak dimaknai “disertai dengan 1 (satu) Surat Perintah Penyidikan” dan 2). Apakah ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf a KUHAP inkonstitusional apabila tidak dimaknai dengan “disertai 1 (satu) Surat Perintah Penyidikan”. Terhadap persoalan konstitusional yang didalilkan Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut.
[3.11] Menimbang bahwa berkenaan dengan persoalan konstitusionalitas dalam Pasal 1 angka 24 KUHAP tentang pengertian kata “laporan” yang menurut Pemohon untuk memberikan kepastian hukum harus dimaknai “satu laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana harus disertai 1 (satu) surat perintah penyidikan”, menurut Mahkamah, norma yang diujikan oleh Pemohon merupakan ketentuan umum dalam KUHAP yang berkaitan dengan batasan pengertian atau definisi dari suatu kata maupun hal-hal yang bersifat umum. Norma yang terdapat dalam bagian ketentuan umum akan mendasari norma-norma berikutnya, sehingga perumusan serta pemaknaan terhadap norma dalam ketentuan umum harus dilakukan secara saksama karena hal tersebut terkait dengan ketentuan norma dasar dari suatu undang-undang serta haruslah bersifat umum. Dengan demikian, jika norma dalam ketentuan umum tersebut akan mengalami perubahan harus dipertimbangkan konsistensinya dengan pasal-pasal berikutnya yang memiliki keterkaitan, sehingga perubahan tersebut tidak menimbulkan kerancuan bagi pasal- pasal yang terkait dengan norma dalam ketentuan umum tersebut;
Apabila dikaitkan dengan Permohonan Pemohon yang meminta pemaknaan terhadap Pasal 1 angka 24 KUHAP dengan menambahkan frasa “satu Laporan Polisi atau Pengaduan yang disertai dengan 1 (satu) Surat Perintah Penyidikan”, menurut Mahkamah, hal demikian akan mempengaruhi struktur batang tubuh KUHAP khususnya pasal-pasal yang berhubungan dengan definisi kata “laporan”, karena jika dirunut ke dalam pasal-pasal berikutnya yang terkait dengan definisi kata “laporan”, maka pemaknaan terhadap Pasal 1 angka 24 KUHAP sebagaimana yang dimintakan oleh Pemohon justru akan menimbulkan kerancuan makna dari norma pasal-pasal berikutnya tersebut. Terlebih lagi, jika dilihat dari maksud pembuat undang-undang merumuskan norma Pasal 1 angka 24 KUHAP serta mencermati pasal-pasal berikutnya yang terkait dengan kata “laporan”, menurut Mahkamah, pengertian kata “laporan” dalam Pasal 1 angka 24 KUHAP lebih tepat dikaitkan dengan pemberitahuan yang berasal dari setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan/atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana [vide Pasal 108 KUHAP];
Adapun untuk dapat memahami proses tahapan sebuah laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 24 KUHAP setelah diterima oleh penyelidik/penyidik hingga dapat dinyatakan akan dimulainya suatu penyidikan, menurut Mahkamah tidak dapat dipisahkan dengan persoalan konstitusionalitas yang terdapat pada dalil permohonan sebelumnya. Oleh karena itu, berkaitan dengan hal tersebut penting terlebih dahulu Mahkamah menegaskan kembali pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 9/PUU- XVII/2019, yang diucapkan pada sidang pleno terbuka untuk umum pada 15 April 2019, yang mempertimbangkan pada pokoknya sebagai berikut:
[3.13.1] ...Dari beberapa unsur yang harus dipenuhi untuk terpenuhinya rumusan penyelidikan sebagaimana diuraikan pada ketentuan Pasal 1 angka 5 KUHAP dan Pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP tersebut di atas, unsur yang mendasar adalah adanya tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana dan oleh karenanya penyelidik mempunyai wewenang menerima laporan atau pengaduan, mencari keterangan dan barang bukti, menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri dari tindakan lain. Lebih lanjut apabila dicermati dari seluruh unsur agar dapat terpenuhinya tindakan penyelidikan sebagaimana dimaksud pada uraian di atas maka secara sederhana sebenarnya dapat dipahami bahwa serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyelidik yang menjadi batasan ruang lingkup tugas dan kewenangannya adalah terbatas pada tindakan yang dilakukan untuk memastikan bahwa adanya laporan atau pengaduan yang diterima benar-benar memenuhi unsur adanya dugaan tindak pidana. Oleh karenanya yang terjadi sesungguhnya adalah tindakan penyelidik yang berupa tindakan permulaan yang pada dasarnya hanyalah mencari dan mengumpulkan keterangan orang dan barang bukti untuk mendapatkan kesimpulan bahwa suatu peristiwa adalah tindak pidana.
Dari batasan tugas dan kewenangan penyelidik tersebut di atas dapat diukur bentangan rangkaian yang menjadi titik batasan kewenangan penyelidik apabila dikaitkan dengan status adanya sebuah peristiwa, apakah sudah mengandung adanya unsur-unsur peristiwa yang dapat dikatakan adanya peristiwa pidana ataukah belum. Batasan-batasan tersebut dipergunakan guna memastikan bahwa sebuah peristiwa adalah peristiwa pidana dan oleh karenanya terhadap peristiwa tersebut sudah dapat dilekatkan adanya tindakan upaya paksa yang dibenarkan oleh undang-undang. Dengan kata lain, apabila oleh penyelidik suatu peristiwa telah dipastikan adalah peristiwa pidana maka proses yang harus dilanjutkan adalah dengan tindakan penyidikan. Namun demikian, apabila yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu ternyata melalui tindakan penyelidikan tersebut tidak dapat ditemukan adanya dugaan peristiwa pidana maka penyelidik dapat menghentikan penyelidikannya....
Lebih lanjut Mahkamah berpendapat tindakan penyelidikan oleh pejabat penyelidik mempunyai maksud dan tujuan mengumpulkan bukti atau bukti yang cukup agar dapat ditindaklanjuti dengan penyidikan. Oleh karenanya jika diperhatikan dengan saksama, doktrin penyelidikan mempunyai arah untuk mewujudkan bentuk tanggung jawab kepada penyelidik, agar dapat dihindari tindakan penyelidik untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum dengan dampak merendahkan harkat dan martabat manusia, baik sebelum maupun pada saat akan dimulainya penegakan hukum....
Berdasarkan pertimbangan hukum dalam Putusan a quo, dapat diperoleh kesimpulan bahwa laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 24 KUHAP kemudian akan ditindaklanjuti oleh penyelidik/penyidik sesuai kewenangannya dengan melakukan kajian awal tentang ada atau tidaknya peristiwa pidana sehingga laporan tersebut memenuhi persyaratan atau tidak untuk ditindaklanjuti ke tahap berikutnya. Jika setelah melalui proses kajian awal ternyata ditemukan bukti-bukti adanya tindak pidana, maka laporan tersebut akan dilanjutkan ke tahap penyidikan, namun jika terhadap suatu laporan tidak ditemukan peristiwa pidana maka penyelidik akan menghentikan penyelidikan. Adapun terhadap satu laporan yang memenuhi unsur adanya tindak pidana maka untuk dapat dilakukannya penyidikan, salah satu syarat yang dibutuhkan adalah adanya surat perintah penyidikan. Dengan demikian, surat perintah penyidikan yang merupakan dasar dimulainya penyidikan dikeluarkan terhadap satu laporan yang telah dilakukan kajian awal dan telah ditemukan bukti adanya tindak pidana dengan tujuan untuk melakukan penyidikan terhadap laporan tersebut;
Secara doktriner, meskipun terhadap surat perintah penyidikan tidak dikenal atau tidak diatur dalam KUHAP, namun terdapat diskresi (asas freies ermessen) yang dimiliki oleh pejabat tata usaha negara, dalam hal ini Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) untuk menggunakan kebijakannya dalam mengatur hal-hal yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini, terkait dengan penyidikan, Kapolri telah menerbitkan Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana. Oleh karena itu, tanpa bermaksud menilai legalitas Peraturan Kapolri sebagaimana disebutkan di atas, telah ternyata di dalam Peraturan Kapolri tersebut telah diatur tentang laporan/pengaduan serta surat perintah penyidikan;
Melalui penegasan tersebut, maka pemaknaan norma Pasal 1 angka 24 KUHAP sebagaimana dimohonkan oleh Pemohon, menyebabkan adanya contradictio in terminis. Sebab, terhadap satu laporan apabila harus disertai dengan 1 (satu) surat perintah penyidikan, padahal terhadap satu laporan yang disampaikan kepada penyelidik/penyidik masih membutuhkan kajian awal agar dapat ditentukan kelayakannya untuk dapat dilanjutkan ke tahap penyidikan yang kemudian pelaksanaannya membutuhkan adanya surat perintah penyidikan, bahkan bisa jadi diperlukan tindakan penyelidikan terlebih dahulu. Dengan demikian, memberikan pemaknaan terhadap definisi kata “laporan” sebagaimana yang dimintakan oleh Pemohon justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pelapor ataupun terlapor karena pemaknaan demikian dapat ditafsirkan hilangnya proses kajian awal maupun tahapan penyelidikan guna mengumpulkan bukti-bukti awal yang menentukan apakah laporan tersebut mengandung suatu tindakan pidana atau tidak. Dengan memaksakan setiap laporan sudah harus disertai surat perintah penyidikan, maka sama halnya dengan membiarkan tindakan penegak hukum untuk melakukan upaya-upaya paksa (pro justitia) dalam menindaklanjuti setiap laporan yang belum tentu ada kebenaran tindak pidananya. Sehingga, hal tersebut akan berdampak terlanggarnya harkat dan martabat manusia yang sesungguhnya harus dilindungi dari perampasan akan hak asasinya;
Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah dalil Pemohon yang memohon pemaknaan terhadap norma Pasal 1 angka 24 KUHAP menjadi “Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak dan kewajiban berdasarkan undang-undang kepada Pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana” yang dimaknai “satu Laporan Polisi atau Pengaduan yang disertai dengan 1 (satu) Surat Perintah Penyidikan” adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.12] Menimbang bahwa selanjutnya berkaitan dengan dalil Pemohon yang berpendapat ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf a KUHAP inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai “disertai 1 (satu) Surat Perintah Penyidikan”. Terhadap dalil Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa Pemohon dalam permohonannya baik pada bagian Perihal Permohonan, Kedudukan Hukum, dan Alasan-Alasan Permohonan (Posita) menyebutkan pengujian norma yang dianggap merugikan hak konstitusionalnya adalah pengujian terhadap ketentuan Pasal 7 ayat (1) KUHAP, sedangkan pada angka 3 bagian Petitum Permohonan, Pemohon meminta pemaknaan terhadap Pasal 7 ayat (1) huruf a KUHAP. Dengan demikian, terdapat adanya ketidakkonsistenan terhadap permohonan pengujian norma yang diajukan oleh Pemohon, hal tersebut menimbulkan ketidakjelasan apakah Pemohon meminta pemaknaan terhadap ketentuan Pasal 7 ayat (1) KUHAP secara keseluruhan, karena Pasal 7 ayat (1) KUHAP terdiri dari huruf a sampai dengan huruf j, ataukah Pemohon meminta pemaknaan hanya terhadap ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf a KUHAP. Namun demikian, dengan mencermati keterangan Pemohon, bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon serta hal-hal yang terungkap dalam persidangan, Mahkamah dapat memahami apa sesungguhnya yang diinginkan oleh Pemohon;
Dalam kaitan ini, ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf a KUHAP merupakan bagian dari BAB IV tentang Penyidik dan Penuntut Umum khususnya bagian kesatu tentang penyelidik dan penyidik. Pada bagian kesatu tersebut mengatur tentang siapakah yang dimaksud penyelidik, penyidik, dan penyidik pembantu serta apa tugas, kewenangan, dan kewajibannya masing-masing jabatan tersebut. Adapun ketentuan Pasal 7 ayat (1) KUHAP mengatur tentang wewenang yang dimiliki oleh penyidik karena kewajibannya yang meliputi menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana, melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian, menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka, melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan, melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat, mengambil sidik jari dan memotret seseorang, memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi, mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara, mengadakan penghentian penyidikan, dan mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab [vide Pasal 7 ayat (1) KUHAP];
[3.12.2] Bahwa surat perintah penyidikan sebagaimana yang dipermasalahkan oleh Pemohon karena tidak diatur dalam KUHAP, pada pelaksanaannya dikeluarkan oleh atasan penyidik yang ditujukan kepada penyidik ataupun penyidik pembantu yang namanya disebutkan dalam surat perintah penyidikan tersebut setelah adanya kesimpulan dari hasil pemeriksaan terhadap suatu laporan bahwa telah terjadi tindak pidana. Surat perintah penyidikan yang sekurang-kurangnya memuat dasar penyidikan, identitas petugas tim penyidik, jenis perkara yang disidik, waktu mulainya penyidikan, dan identitas penyidik selaku pejabat pemberi perintah [vide Pasal 8 Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana selanjutnya disebut Perkap 14/2012] dibutuhkan sebagai syarat administrasi penyidikan yang merupakan penatausahaan dan segala kelengkapan yang disyaratkan undang-undang dalam proses penyidikan meliputi pencatatan, pelaporan, pendataan, dan pengarsipan atau dokumentasi untuk menjamin ketertiban, kelancaran, dan keseragaman administrasi baik untuk kepentingan peradilan, operasional maupun pengawasan penyidikan [vide Pasal 10 Perkap 14/2012]. Selanjutnya, surat perintah penyidikan merupakan dasar untuk diterbitkannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang merupakan pemberitahuan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor tentang dimulainya penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Polri [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015 yang diucapkan pada sidang pleno terbuka untuk umum pada 11 Januari 2017]. Keberadaan surat perintah penyidikan lebih memudahkan penyidik untuk melakukan penyelidikan, pengiriman SPDP, upaya paksa, pemeriksaan, gelar perkara, penyelesaian berkas perkara, penyerahan berkas perkara ke penuntut umum, penyerahan tersangka dan barang bukti ataupun penghentian penyidikan. Dengan demikian, terbitnya surat perintah penyidikan telah memberikan perlindungan dan jaminan penegakkan hak-hak konstitusional bagi terlapor, pelapor, penyidik, dan penuntut umum;
Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, telah ternyata surat perintah penyidikan merupakan surat yang dikeluarkan untuk kebutuhan teknis administrasi khususnya terkait dimulainya suatu penyidikan, dan sebagai alat pengaman untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh penyidik. Oleh karena itu, dasar hukum dari terbitnya surat perintah penyidikan apabila Pemohon ingin memaknainya, lebih tepat apabila dikaitkan dengan norma yang mengatur perihal penyidikan, khususnya proses dimulainya suatu penyidikan, bukan terhadap norma yang terkait dengan wewenang dari penyidik, karena esensi dari terbitnya surat perintah penyidikan lebih kepada kebutuhan teknis administrasi bagi pelaksanaan wewenang dari penyidik itu sendiri khususnya pada saat akan dimulainya penyidikan;
[3.12.3] Bahwa selanjutnya setelah Mahkamah mencermati permohonan Pemohon, telah ternyata pokok permasalahan yang dihadapi Pemohon adalah lamanya waktu pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik sejak ditetapkannya perkara Pemohon memenuhi unsur tindak pidana hingga penetapan Pemohon sebagai Tersangka. Hal mana membuat Pemohon merasa tidak adanya jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil akibat terkatung-katungnya nasib Pemohon dalam waktu kurang lebih selama lima tahun. Terhadap permasalahan tersebut, menurut Mahkamah, hal demikian bukanlah persoalan konstitusionalitas norma Pasal 7 ayat (1) huruf a KUHAP, namun merupakan permasalahan implementasi dalam proses pemeriksaan suatu perkara pidana. Oleh karena itu, sepanjang dalam pemeriksaan suatu perkara yang didasarkan pada adanya laporan kemudian berkembang menjadi beberapa perkara dikarenakan sifat dari perkaranya yang melibatkan pihak yang banyak dan terkait dengan tindak pidana lain yang mempunyai kualifikasi yang berbeda-beda, maka hal demikian memungkinkan pemeriksaan perkara memerlukan waktu yang lama dan bertambahnya perkara lebih dari satu perkara. Dengan demikian, dibutuhkan penyidikan tersendiri terhadap dugaan adanya tindak pidana baru tersebut, dan demi memberikan jaminan dan perlindungan hukum serta tertib administrasi pemerintahan yang baik, perlu diterbitkannya surat perintah penyidikan baru untuk mengakomodir segala tindakan administrasi bagi penyidik untuk melaksanakan kewenangannya;
Bahwa meskipun terhadap proses penyidikan a quo disediakan mekanisme kontrol salah satunya melalui lembaga praperadilan berdasarkan Pasal 77 huruf a KUHAP sebagaimana telah dimaknai oleh Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 yang diucapkan pada sidang pleno yang terbuka untuk umum pada 28 April 2015 dan juga upaya hukum praperadilan sebagaimana yang juga telah dilakukan Pemohon, namun tanpa Mahkamah bermaksud menilai kasus konkret yang dialami Pemohon, Mahkamah penting untuk menegaskan, sekalipun dalam setiap laporan adanya peristiwa pidana, aparat penegak hukum dibenarkan melakukan pengembangan penyidikan sehingga dimungkinkan laporan dimaksud dapat menghasilkan beberapa tindak pidana, maka melalui Putusan a quo diminta kepada aparat penegak hukum dalam hal ini penyidik untuk tidak menyalahgunakan kewenangannya dengan melakukan proses penyidikan secara proporsional dan profesional. Sehingga, proses penegakkan hukum pidana benar-benar dijalankan dengan penuh kehati-hatian, oleh karenanya pelanggaran atas hak asasi manusia dapat dihindari, baik untuk pelapor, terlapor dan kepentingan umum;
Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah dalil Pemohon yang memohon pemaknaan terhadap norma Pasal 7 ayat (1) huruf a KUHAP menjadi “Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang: a. Menerima Laporan atau Pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana disertai
[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, norma Pasal 1 angka 24 dan Pasal 7 ayat (1) huruf a KUHAP telah ternyata memberikan kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan serta memberikan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, oleh karena itu tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.15] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Yang Tidak Dapat Diterima Oleh Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 104/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-12-2022

Sandi Ebenezer Situngkir, S.H., M.H., untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 15 ayat (2) huruf k, Pasal 16 ayat (1) huruf l dan Pasal 18 ayat (1), Pasal 38 ayat (2), dan Pasal 39 ayat (2) UU 2/2002

Pasal 28D ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28G ayat (1), serta Pasal 28I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal a quo UU 2/2002 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional, in casu hak konstitusional Pemohon, sebagaimana diuraikan dalam Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4] di atas, pada pokoknya Pemohon telah menjelaskan kedudukan hukumnya sebagai berikut:
1. Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo adalah norma Pasal 15 ayat (2) huruf k, Pasal 16 ayat (1) huruf l, Pasal 18 ayat (1), Pasal 38 ayat (2), dan Pasal 39 ayat (2) UU 2/2002, yang rumusannya adalah sebagai berikut:
Pasal 15 ayat (2) huruf k UU 2/2002:
“Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya berwenang:
k. melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.”

Pasal 16 ayat (1) huruf l UU 2/2002:
“Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk:
l. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.”

Pasal 18 ayat (1) UU 2/2002:
“Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.”

Pasal 38 ayat (2) UU 2/2002:
“Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Komisi Kepolisian Nasional berwenang untuk:
a. mengumpulkan dan menganalisis data sebagai bahan pemberian saran kepada Presiden yang berkaitan dengan anggaran Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengembangan sumber daya manusia Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan pengembangan sarana dan prasarana Kepolisian Negara Republik Indonesia;
b. memberikan saran dan pertimbangan lain kepada Presiden dalam upaya mewujudkan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang profesional dan mandiri; dan
c. menerima saran dan keluhan dari masyarakat mengenai kinerja kepolisian dan menyampaikannya kepada Presiden.”

Pasal 39 ayat (2) UU 2/2002:
“Keanggotaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berasal dari unsur- unsur pemerintah, pakar kepolisian, dan tokoh masyarakat.”

2. Bahwa Pemohon menerangkan memiliki hak konstitusional sebagaimana diatur dalam norma Pasal 28D ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28G ayat (1), serta Pasal 28I ayat (1) UUD 1945;
3. Bahwa Pemohon merupakan perseorangan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai advokat [vide bukti P-1, bukti P-2, dan bukti P-3];
4. Bahwa dalam menguraikan ada tidaknya anggapan kerugian hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian, Pemohon menyampaikan alasan yang pada pokoknya sebagai berikut:
a. Bahwa Pemohon tidak mendapatkan jaminan rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi serta hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan karena berlakunya norma Pasal 15 ayat (2) huruf k dan Pasal 16 ayat (1) huruf l UU 2/2002 yang tidak memberikan batasan yang jelas mengenai pengertian kewenangan dan tindakan lain. Sehingga, dapat menyebabkan adanya tindakan yang sewenang-wenang dan tidak terukur dari anggota kepolisian dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Terlebih lagi, norma Pasal 18 ayat (1) UU 2/2002 memberikan keleluasaan bagi anggota kepolisian ketika melaksanakan tugas dan wewenangnya yang dapat bertindak menurut penafsiran atau penilaiannya sendiri tanpa parameter menurut undang-undang sehingga berpotensi merugikan hak konstitusional Pemohon;
b. Bahwa norma Pasal 38 ayat (2) UU 2/2002 tidak memberikan kewenangan kepada Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) untuk mengawasi kinerja dan memeriksa pelanggaran yang dilakukan oleh anggota kepolisian sebagaimana kewenangan yang dimiliki oleh Komisi Kejaksaan dan Komisi Yudisial. Sebab, Kompolnas hanya memberikan saran dan masukan kepada Presiden sehingga menyebabkan hak konstitusional Pemohon secara potensial terlanggar;
c. Bahwa norma Pasal 39 ayat (2) UU 2/2002 telah membatasi hak Pemohon untuk menjadi komisioner Kompolnas karena Pemohon bukanlah Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Menteri Hukum dan HAM atau Menteri Dalam Negeri, serta bukan juga sebagai pakar kepolisian atau pimpinan tokoh masyarakat;
d. Bahwa Pemohon sebagai pihak yang juga tergabung dalam Tim Advokasi Penegak Hukum dan Keadilan (TAMPAK), yang melakukan advokasi terhadap terbunuhnya Brigadir Jhosua Hutabarat juga dirugikan karena tidak terdapat pengaturan mengenai pengawasan terhadap Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam UU 2/2002.

[3.6] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara saksama penjelasan Pemohon dalam menjelaskan kerugian hak konstitusionalnya, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.5] di atas serta kualifikasi dan syarat kedudukan hukum Pemohon sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4] di atas, menurut Mahkamah, Pemohon adalah benar sebagai perseorangan warga negara Indonesia, yang dalam hal ini berprofesi sebagai advokat. Selain itu, Pemohon juga telah menjelaskan perihal hak konstitusionalnya yang menurut Pemohon dianggap telah dirugikan dengan berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian sebagaimana dijamin dalam norma Pasal 28D ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28G ayat (1) serta Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Namun demikian, terkait dengan uraian kerugian hak konstitusional Pemohon, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.6.1] Bahwa berkaitan dengan anggapan kerugian hak konstitusional Pemohon untuk dapat mengajukan permohonan harus dikaitkan dengan keterpenuhan syarat- syarat sebagaimana telah diuraikan pada Paragraf [3.4] di atas. Oleh karena itu, dalam beracara di Mahkamah Konstitusi harus ditentukan apakah Pemohon memiliki kepentingan nyata yang terdampak dengan berlakunya suatu norma dalam undang-undang yang secara hukum harus dilindungi sehingga dapat diajukan di depan pengadilan, in casu permohonan pengujian undang-undang ke Mahkamah Konstitusi. Artinya, tidak semua orang mempunyai hak untuk dapat mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi. Dalam hal ini, hanya pihak yang benar-benar mempunyai kepentingan hukum yang berkenaan dengan hak konstitusionalnya untuk dapat menjadi pemohon. Hal ini sesuai dengan adagium: ada kepentingan, ada gugatan (point d’interet point d’action). Kepentingan yang dimaksud adalah kepentingan hukum yang berkenaan dengan hak konstitusionalnya atas berlakunya norma suatu undang-undang yang dilakukan pengujian terhadap UUD 1945 yang dirumuskan dalam bentuk anggapan kerugian hak konstitusional. Merujuk beberapa putusan Mahkamah Konstitusi, Mahkamah telah menetapkan beberapa syarat kerugian konstitusional yang bersifat kumulatif untuk dapat diberikan kedudukan hukum bagi pemohon [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007]. Artinya, dengan tidak terpenuhi salah satu syarat tersebut maka tidak terpenuhi pula kerugian konstitusional Pemohon. Dengan demikian, Pemohon dalam perkara pengujian undang-undang harus menguraikan secara jelas serta membuktikan tentang kualifikasi dan keterpenuhan seluruh syarat kedudukan hukum Pemohon sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4] di atas.

[3.6.2] Bahwa anggapan kerugian hak konstitusional Pemohon pada dasarnya dapat dibagi menjadi 3 (tiga) bagian sesuai dengan norma pasal yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya, yaitu:
a. Anggapan kerugian hak konstitusional Pemohon akibat berlakunya norma Pasal 15 ayat (2) huruf k, Pasal 16 ayat (1) huruf l, dan Pasal 18 ayat (1) UU 2/2002 yang menurut Pemohon, berpotensi menimbulkan tindakan yang sewenang-wenang dan tidak terukur oleh anggota kepolisian pada saat menjalankan tugasnya sehingga merugikan hak konstitusional Pemohon;
b. Anggapan kerugian hak konstitusional Pemohon akibat berlakunya norma Pasal 38 ayat (2) UU 2/2002 yang menurut Pemohon, tidak memberikan kewenangan kepada Kompolnas untuk mengawasi kinerja dan memeriksa pelanggaran yang dilakukan oleh anggota kepolisian sehingga berpotensi menghilangkan hak konstitusional Pemohon;
c. Anggapan kerugian hak konstitusional Pemohon akibat berlakunya norma Pasal 39 ayat (2) UU 2/2002 yang menurut Pemohon, telah membatasi hak Pemohon untuk menjadi komisioner Kompolnas karena syarat yang ditentukan dalam pasal a quo tidak mengakomodir Pemohon, baik selaku perseorangan warga negara Indonesia maupun advokat.

[3.6.3] Bahwa berdasarkan ketiga bagian tersebut, maka anggapan kerugian hak konstitusional Pemohon pada huruf a dan huruf b di atas adalah bersifat potensial, sedangkan pada huruf c adalah bersifat aktual. Terhadap anggapan kerugian konstitusional Pemohon yang bersifat potensial, menurut Mahkamah, Pemohon tidak dapat menjelaskan secara spesifik bentuk kerugian yang secara potensial akan diderita atau dialami oleh Pemohon. Dalam hal ini, Pemohon tidak mengajukan bukti atau setidak-tidaknya memberikan argumentasi mengenai bentuk atau tindakan sewenang-wenang seperti apa yang dilakukan oleh anggota kepolisian serta kerugian seperti apa pula yang akan dialami oleh Pemohon berkaitan dengan tidak adanya kewenangan Kompolnas untuk mengawasi dan memeriksa pelanggaran anggota kepolisian sebagaimana yang dijelaskan oleh Pemohon. Dengan demikian, menurut Mahkamah, terhadap anggapan kerugian hak konstitusional Pemohon yang bersifat potensial yang harus dibuktikan adanya kepentingan yang dirugikan berkenaan dengan berlakunya norma yang dimohonkan pengujian, Mahkamah tidak menemukan fakta hukum dimaksud. Sehingga, berdasarkan penalaran yang wajar, anggapan kerugian hak konstitusional Pemohon tersebut belum dapat dipastikan akan terjadi.
Ikhwal bentuk kerugian hak konstitusional sebagaimana dimaksud pada huruf c, yaitu syarat untuk menjadi komisioner Kompolnas, Pemohon juga tidak dapat menjelaskan secara spesifik anggapan kerugian hak konstitusonal yang dialami, baik sebagai perseorangan maupun sebagai advokat. Mahkamah juga tidak menemukan argumentasi Pemohon yang dapat meyakinkan Mahkamah bahwa syarat untuk menjadi komisioner Kompolnas yang berasal dari unsur pemerintah, pakar kepolisian, dan tokoh masyarakat telah menimbulkan kerugian yang spesifik dan aktual terhadap hak konstitusional Pemohon sebagai perseorangan warga negara maupun dalam profesinya sebagai advokat. Sebab, anggapan kerugian hak konstitusional yang didalilkan Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukumnya berkenaan dengan berlakunya norma Pasal 39 ayat (2) UU 2/2002 tidak dijelaskan kriteria unsur masyarakat seperti apa yang dimaksud oleh Pemohon, sehingga tidak diketahui apakah Pemohon memenuhi kriteria unsur masyarakat yang dimaksudkan oleh Pemohon.

[3.6.4] Bahwa terkait dengan hal tersebut di atas, Panel Hakim telah menyampaikan dalam Persidangan Pendahuluan agar Pemohon memperbaiki uraian argumentasi dalam menjelaskan adanya kerugian hak konstitusional yang dialami oleh Pemohon akibat berlakunya pasal-pasal yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya yang bersifat spesifik, baik aktual atau setidak-tidaknya potensial. Selain itu, Panel Hakim juga telah memberikan saran perbaikan untuk melengkapi uraian mengenai kedudukan hukum dengan mencantumkan peristiwa konkret yang dialami oleh Pemohon, misalnya pernah dilaporkan terkait dengan pasal yang sedang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya untuk kemudian dikorelasikan secara causal verband dengan hak konstitusional Pemohon yang dianggap telah dirugikan [vide Risalah Sidang Pemeriksaan Pendahuluan pada 7 November 2022, hlm. 9, hlm. 16, dan hlm. 17]. Namun demikian, hingga lewatnya tenggat waktu penyampaian perbaikan permohonan, Pemohon tidak menyampaikan perbaikan dimaksud. Bahkan, dalam persidangan pendahuluan dengan agenda menyampaikan perbaikan permohonan dan pengesahan alat bukti pada tanggal 21 November 2022, Pemohon juga tidak menghadiri sidang tersebut tanpa alasan yang sah atau tanpa pemberitahuan yang disampaikan terlebih dahulu kepada Mahkamah. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan Pasal 46 ayat (4) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang maka yang menjadi dasar pemeriksaan perkara a quo adalah permohonan Pemohon bertanggal 12 Oktober 2022 yang telah diterima Mahkamah pada tanggal 13 Oktober 2022.

[3.7] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat, Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.

[3.8] Menimbang bahwa walaupun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun oleh karena Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon maka pokok permohonan Pemohon tidak dipertimbangkan.

[3.9] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan oleh Mahkamah karena dipandang tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 106/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-12-2022

Rega Felix (Advokat), untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 196 UU 36/2009

Pasal 28A, Pasal 28B ayat (2), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang beserta jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 196 UU 36/2009 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.10] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca secara saksama permohonan Pemohon beserta bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon, penting bagi Mahkamah untuk terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

[3.10.1] Bahwa kesehatan adalah hak setiap orang karena kesehatan merupakan bagian terpenting bagi kehidupan manusia. Tanpa kesehatan yang baik setiap manusia akan sulit melaksanakan aktivitasnya sehari-hari. Hal ini sejalan dengan maksud Pasal 1 UU 36/2009 yang menyatakan bahwa kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Pada umumnya, dalam keseharian tubuh manusia akan merasakan kondisi sehat dan sakit, apabila dirasakan kondisinya kurang sehat atau sakit maka mengkonsumsi obat merupakan salah satu cara yang ditempuh untuk mengurangi rasa sakit maupun menghilangkan suatu penyakit di dalam tubuh.
Dalam hal pengawasan obat, negara telah menunjuk Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) untuk mengawasi peredaran obat-obatan dan makanan yang beredar di Indonesia. Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan, BPOM mempunyai tugas menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan Obat dan Makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Adapun obat dan makanan tersebut terdiri atas obat, bahan obat, narkotika, psikotropika, prekursor, zat adiktif, obat tradisonal, suplemen kesehatan, kosmetik, dan pangan olahan.
Selain dari segi pengawasan peredaran obat dan makanan, pertanggungjawaban pelaku usaha sebagai pihak yang bertanggung jawab atas suatu produk juga sangat dibutuhkan. Pertanggungjawaban pelaku usaha tersebut telah diatur juga dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang dalam Pasal 19 ayat (1) menyatakan, “Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, negara melakukan berbagai upaya untuk terus memberikan perlindungan dan pengawasan terhadap obat dan makanan yang beredar di masyarakat, demikian pula mengenai perlindungan terhadap konsumen dan pelaku usaha dalam menjalankan usahanya agar kesehatan sebagai bagian dari hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan dapat diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945. Hal ini artinya, bahwa jika terjadi gangguan kesehatan pada masyarakat Indonesia akan menimbulkan kerugian sosial-ekonomi yang besar bagi negara, dan terhadap setiap upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga berarti peningkatan investasi bagi pembangunan negara [vide bagian Konsiderans Menimbang huruf b dan huruf c UU 36/2009].

[3.10.2] Bahwa sejalan dengan tujuan pembangunan kesehatan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis [vide Pasal 3 UU 36/2009], UU 36/2009 juga mengatur upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit menular atau kejadian luar biasa [vide Pasal 156 UU 36/2009]. Sementara itu, berkaitan dengan pengertian kejadian luar biasa adalah salah satu status yang diterapkan di Indonesia untuk mengklasifikasikan peristiwa penyakit yang merebak dan dapat berkembang menjadi wabah penyakit. Tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 949/MENKES/SK/VII/2004, telah diatur dalam peraturan pelaksana dari undang-undang kesehatan sebelumnya mengenai status kejadian luar biasa yang ditentukan sebagai timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu. Kriteria tentang Kejadian Luar Biasa mengacu pada Keputusan Dirjen No. 451/91 tentang Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa. Menurut aturan tersebut, suatu kejadian dinyatakan luar biasa jika ada unsur timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal, peningkatan kejadian penyakit/kematian terus menerus selama 3 (tiga) kurun waktu berturut-turut menurut jenis penyakitnya, peningkatan kejadian penyakit/kematian 2 (dua) kali lipat atau lebih dibandingkan dengan periode sebelumnya, dan jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan 2 (dua) kali lipat atau lebih bila dibandingkan dengan angka rata-rata perbulan dalam tahun sebelumnya. Berkaitan dengan hal tersebut, Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU 6/2018) menyatakan dengan tegas bahwa, “Kedaruratan Kesehatan Masyarakat adalah kejadian kesehatan masyarakat yang luar biasa dengan ditandai penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas negara”.

[3.11] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil Pemohon yang pada pokoknya mempersoalkan ketentuan pemidanaan dalam norma Pasal 196 UU 36/2009 sangat ringan sehingga tidak memiliki efek jera, padahal perbuatan pidana tersebut menurut Pemohon termasuk kategori extraordinary crime. Terhadap dalil Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.11.1] Bahwa berkenaan dengan tindak pidana yang dikategorikan sebagai extraordinary crime telah ditentukan pengaturannya, misalnya, dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU 26/2000). Pasal 7 UU a quo menyatakan pada pokoknya pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibatasi pada dua bentuk yaitu genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Lebih lanjut, ketentuan Pasal 8 UU 26/2000 menyatakan bahwa:
“Kejahatan genosida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:
a. membunuh anggota kelompok;
b. mengakibatkan penderitaan fisik dan mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;
c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau
e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain”.
Sementara, ketentuan Pasal 9 UU 26/2000 menyatakan bahwa:
“Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
a. pembunuhan;
b. pemusnahan;
c. perbudakan;
d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
f. penyiksaan;
g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah di,akui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
i. penghilangan orang secara paksa; atau
j. kejahatan apartheid”.

Selain ketentuan UU 26/2000 di atas, dalam perkembangannya terdapat kejahatan lain yang dikategorikan sebagai extraordinary crime sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU 30/2002) yang mengklasifikasikan kejahatan korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Sebab, korupsi di Indonesia dipandang sudah meluas dan sistematis melanggar hak-hak ekonomi masyarakat sehingga diperlukan cara-cara yang luar biasa pula untuk pemberantasannya. Selain korupsi, berdasarkan Penjelasan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengesahan International Convention For The Suppression Of The Financing Of Terrorism, 1999 (Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme, 1999) terorisme juga merupakan kejahatan luar biasa dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, terutama hak yang paling dasar, yaitu hak hidup.
Terlebih lagi, karena dilakukan secara terencana, sistematis dan terorganisir sebagai kejahatan transboundary yang melibatkan jaringan internasional. Terorisme dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa bukan hanya karena membunuh manusia semata tetapi juga menghancurkan seluruh fasilitas publik, memperburuk ekonomi dan mengganggu stabilitas keamanan nasional.
Sementara itu, dalil Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 196 UU 36/2009 yang dikaitkan dengan kasus konkret jenis penyakit yang belum lama ini ditimbulkan oleh karena penyalahgunaan zat dalam obat untuk dimasukkan dalam kategori kejadian luar biasa, Mahkamah berpendapat ada perbedaan yang prinsipil antara pengertian kejahatan luar biasa (extraordinary crime) dengan kejadian luar biasa. Dengan demikian, apabila yang dimaksud Pemohon adalah menyamakan kejahatan luar biasa dengan kejadian luar biasa, maka apabila dikaitkan dengan kejadian konkret yang didalilkan oleh Pemohon sehingga hal tersebut tidak dapat serta merta dikategorikan sebagai extraordinary crime. Terlebih lagi, UU 6/2018 telah mengatur mengenai jenis kedaruratan kesehatan dan mekanisme penanggulangannya, contohnya memasukkan kategori bioterorisme yang berkaitan erat dengan tindakan terorisme yang termasuk dalam kejahatan luar biasa. Namun demikian, terhadap persoalan yang diajukan oleh Pemohon, Mahkamah tidak menemukan bukti yang meyakinkan berkenaan dengan kejadian luar biasa tersebut. Di samping itu, terhadap kasus konkret tersebut, tanpa Mahkamah bermaksud menilainya, ternyata Pemerintah telah melakukan upaya antara lain, melakukan penarikan terhadap semua obat sirup di masyakarat, menerbitkan Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Nomor HK.02.02/I/3305/2022 tentang Tata Laksana dan Manajemen Klinis Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (Atypical Progressive Acute Kidney Injury) pada Anak di Fasilitas Pelayanan Kesehatan, dan Kementerian Kesehatan juga telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor SR.01.05/III/3461/2022 tentang Kewajiban Penyelidikan Epidemiologi dan Pelaporan Kasus Gangguan Ginjal Akut Atipikal (Atypical Progressive Acute Kidney Injury) Pada Anak, yang ditujukan kepada seluruh dinas kesehatan, fasilitas pelayanan kesehatan, dan organisasi profesi, sehingga persoalan tersebut secara perlahan mulai teratasi dan diobati. Namun demikian, terlepas dari kasus konkret tersebut, Mahkamah melalui Putusan a quo perlu menegaskan agar pemerintah harus terus meningkatkan pengawasan terhadap siapapun yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dalam mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan dan mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat tanpa memenuhi standar mutu pelayanan farmasi yang telah ditetapkan [vide Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) UU 36/2009].
Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, oleh karena undang-undang telah menentukan kategori kejahatan yang dapat dinyatakan sebagai extraordinary crime maka apabila dalam perkembangannya kejadian luar biasa yang berkaitan dengan kesehatan jika akan diperluas cakupannya sebagai kejahatan luar biasa sebagaimana dalil Pemohon, terhadap hal demikian dapat saja dilakukan sepanjang telah melalui proses kajian atau penelitian yang mendalam dengan melibatkan seluruh stakeholders terkait. Sebab, hal demikian merupakan ranah kebijakan pembuat undang-undang untuk menentukannya. Dengan demikian, Mahkamah tidak dapat dengan serta merta menambahkan jenis tindak pidana/kejahatan termasuk dalam hal ini, kejahatan farmasi untuk dimasukkan dalam kategori extraordinary crime.

[3.11.2] Bahwa selanjutnya Pemohon dalam mendalilkan konstitusionalitas norma Pasal 196 UU 36/2009 juga mengaitkan dengan ringannya ketentuan pidana yang diatur sehingga tidak menimbulkan efek jera. Oleh karenanya, Pemohon memohon agar ketentuan pidana dalam norma Pasal a quo diperberat menjadi “dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama 20 (dua puluh) tahun”. Terhadap persoalan tersebut, menurut Mahkamah penting dipahami secara doktriner bahwa perumusan ketentuan tindak pidana dalam suatu undang-undang setidak-tidaknya memuat rumusan tentang: (1) subjek hukum yang menjadi sasaran norma tersebut (addressaat norm); (2) perbuatan yang dilarang (strafbaar), baik berupa dalam bentuk melakukan sesuatu (commission), tidak melakukan sesuatu (omission) dan menimbulkan akibat (kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan); dan (3) ancaman pidana (strafmaat), sebagai sarana memaksakan keberlakuan atau dapat ditaatinya ketentuan tersebut. Sedangkan, perumusan ancaman pidana dalam Buku I KUHP mengacu pada norma pemidanaan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 10 KUHP, yaitu:
Pasal 10
Pidana terdiri atas:
a. pidana pokok:
1. pidana mati;
2. pidana penjara;
3. pidana kurungan;
4. pidana denda;
5. pidana tutupan.

b. pidana tambahan
1. pencabutan hak-hak tertentu;
2. perampasan barang-barang tertentu;
3. pengumuman putusan hakim.

Adapun perbedaan antara hukuman pokok dan hukuman tambahan, adalah hukuman pokok terlepas dari hukuman lain, berarti dapat dijatuhkan kepada terhukum secara mandiri. Hukuman tambahan hanya merupakan tambahan pada hukuman pokok, sehingga tidak dapat dijatuhkan tanpa ada hukuman pokok (tidak mandiri). Hukuman tambahan hanya dapat dijatuhkan bersama-sama dengan hukuman pokok. Penjatuhan hukuman tambahan itu biasanya bersifat fakultatif dan hakim tidak diharuskan menjatuhkan hukuman tambahan. Menurut KUHP, ketentuan pengancaman pidana dideskripsikan sebagai berikut:
1. Pidana Mati, aturan pemidanaanya yaitu sebagai pidana pokok yang terberat yang diancamkan kepada tindak pidana yang sangat berat selalu disertai dengan alternatif pidana sumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun;
2. Pidana Penjara:
a. Lamanya dapat seumur hidup atau selama waktu tertentu (Minimal umum 1 hari, maksimal umum 15 tahun);
b. Boleh 20 tahun berturut-turut, jika ada alternatif pidana mati, penjara seumur hidup, atau penjara selama waktu tertentu dan ada pembarengan, pengulangan, atau kejahatan yang dilakukan oleh pejabat (Pasal 52);
c. Tidak boleh melebihi 20 tahun;
d. Dapat ditambah pidana tambahan
e. Masa percobaan Pasal 492, 504, 505, 506, dan 536 paling lama 3 tahun dan pelanggaran lainnya 2 tahun;
f. Masa percobaan dimulai saat keputusan hakim berkekuatan hukum tetap.
3. Pidana Kurungan:
a. Lamanya minimal umum 1 hari maksimal umum 1 tahun;
b. Jika ada pembarengan, pengulangan, atau dilakukan oleh pejabat maka maksimal 1 tahun 4 bulan;

4. Pidana Denda:
a. Minimal umum Rp 3,75
b. Jika tidak dibayar diganti kurungan pengganti (kurungan pengganti minimal 1 hari maksimal 6 bulan. Tapi jika ada perbarengan, pengulangan, atau dilakukan pejabat maka maksimal 8 bulan)

Bahwa lebih lanjut, antara ”perbuatan yang dilarang” (strafbaar) dan “ancaman pidana” (strafmaat) mempunyai hubungan sebab akibat (kausalitas). Dilihat dari hakikatnya, perbuatan pidana adalah perbuatan yang tercela (tercela karena dilarang oleh undang-undang dan bukan sebaliknya), sedangkan pidana merupakan konkretisasi dari celaan. Bahkan ”larangan” terhadap perbuatan yang termaktub dalam rumusan tindak pidana justru ”timbul” karena adanya ancaman penjatuhan pidana yang ditujukan pada “setiap orang” (sebelumnya disebut barangsiapa) yang melakukan perbuatan tersebut.
Dalam kaitan ini, norma pokok (primer) yang diberikan pengancamannya dalam norma Pasal 196 UU 36/2009 adalah norma Pasal 98 UU 36/2009 yang pada pokoknya menentukan bahwa, “Sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman, berkhasiat/bermanfaat, bermutu, dan terjangkau” [vide Pasal 98 ayat (1) UU 36/2009]. UU a quo melarang setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat karena segala ihwal mengenai perbuatan tersebut harus memenuhi standar mutu pelayanan farmasi yang telah ditetapkan [vide Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) UU 36/2009]. Terhadap norma pokok dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) UU a quo jika dilanggar diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) [vide Pasal 196 UU 36/2009]. Berkenaan dengan ancaman pidana dalam norma Pasal 196 UU 36/2009 yang dipandang ringan oleh Pemohon, Makamah menegaskan bahwa hal tersebut berkaitan dengan strafmaat yang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan kualifikasi delik pidana. Sehingga tidak mungkin kualifikasi delik pidana dimaksud diserahkan ke pembuat undang-undang, sedangkan ancaman pidananya diserahkan ke Mahkamah. Sebab, ancaman pidana merupakan refleksi dari kualitas perbuatan pelaku tindak pidana yang menjadi parameter untuk menjatuhkan berat ringannya pidana yang dijatuhkan. Oleh karenanya, hal demikian seharusnya menjadi kewenangan pembuat undang-undang. Sementara itu, berhubungan dengan jenis ancaman pidana, menurut Mahkamah haruslah diawali dengan kajian-kajian dan penelitian yang komprehensif sehingga tidak boleh melanggar hak asasi manusia, sebagaimana hal ini juga telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XIV/2016, Paragraf [3.12] hlm. 441442, bahwa:
“…Benar pula bahwa Mahkamah melalui putusannya telah berkali-kali menyatakan suatu norma undang-undang konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) ataupun inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) yang mempersyaratkan pemaknaan tertentu terhadap suatu norma undang-undang untuk dapat dikatakan konstitusional, yang artinya jika persyaratan itu tidak terpenuhi maka norma undang-undang dimaksud adalah inkonstitusional. Namun, ketika menyangkut norma hukum pidana, Mahkamah dituntut untuk tidak boleh memasuki wilayah kebijakan pidana atau politik hukum pidana (criminal policy). Pengujian undang-undang yang pada pokoknya berisikan permohonan kriminalisasi maupun dekriminalisasi terhadap perbuatan tertentu tidak dapat dilakukan oleh Mahkamah karena hal itu merupakan salah satu bentuk pembatasan hak dan kebebasan seseorang di mana pembatasan demikian, sesuai dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, adalah kewenangan eksklusif pembentuk undang-undang. Hal ini penting ditegaskan sebab sepanjang berkenaan dengan kebijakan pidana atau politik hukum pidana, hal itu adalah sepenuhnya berada dalam wilayah kewenangan pembentuk undang-undang. Berbeda dengan bidang hukum lainnya, hukum pidana dengan sanksinya yang keras yang dapat mencakup perampasan kemerdekaan seseorang, bahkan nyawa seseorang, maka legitimasi negara untuk merumuskan perbuatan yang dilarang dan diancam pidana serta jenis sanksi yang diancamkan terhadap perbuatan itu dikonstruksikan harus dating dari persetujuan rakyat, yang dalam hal ini mewujud pada organ negara pembentuk undang-undang (Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden yang keduanya dipilih langsung oleh rakyat), bukan melalui putusan hakim atau pengadilan. Hanya dengan undang-undanglah hak dan kebebasan seseorang dapat dibatasi. Sejalan dengan dasar pemikiran ini, Pasal 15 dan Lampiran II, C.3. angka 117 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menegaskan bahwa materi muatan mengenai pidana hanya dapat dimuat dalam produk perundangundangan yang harus mendapatkan persetujuan wakil rakyat di Lembaga perwakilan, yaitu DPR atau DPRD, seperti Undang-Undang dan Peraturan Daerah. Sedangkan Mahkamah berada dalam posisi menguji apakah pembatasan yang dilakukan dengan undang-undang itu telah sesuai dengan Konstitusi atau justru melampaui batas-batas yang ditentukan dalam Konstitusi. Oleh karena itu, sepanjang berkenaan dengan hukum pidana, selama ini permohonan yang diajukan justru memohon agar dilakukan dekriminalisasi terhadap suatu perbuatan yang diatur dalam undang-undang karena dinilai bertentangan dengan hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara sehingga harus dapat diuji konstitusionalitasnya. Sebab, kewenangan pengujian undang-undang memang ditujukan untuk menjaga agar hak dan kebebasan konstitusional warga negara yang dijamin oleh Konstitusi tidak dilanggar oleh kebijakan kriminalisasi yang dibuat oleh pembentuk undang-undang. Oleh karena itu, meskipun secara konstitusional memiliki kewenangan menetapkan kebijakan kriminalisasi, pembentuk undang-undang pun harus sangat berhati-hati. Pembentuk undang-undang harus benar-benar memperhatikan bukan hanya perkembangan hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai pandangan hidup Bangsa Indonesia tetapi juga perkembangan dunia. Simposium Pembaruan Hukum Nasional yang dilakukan di Semarang pada bulan Agustus 1980, untuk menunjuk sebuah referensi, merekomendasikan bahwa untuk menetapkan kebijakan kriminalisasi perlu diperhatikan kriteria umum, yaitu:
a. apakah perbuatan itu tidak disukai atau dibenci oleh masyarakat karena merugikan, atau dapat merugikan, mendatangkan korban atau dapat mendatangkan korban;
b. apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasilnya yang akan dicapai, artinya cost pembuatan undang-undang, pengawasan dan penegakan hukum, serta beban yang dipikul oleh korban dan pelaku kejahatan itu sendiri harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai;
c. apakah akan makin menambah beban aparat penegak hukum yang tidak seimbang atau nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimilikinya;
d. apakah perbuatan-perbuatan itu menghambat atau menghalangi cita-cita bangsa Indonesia, sehingga merupakan bahaya bagi keseluruhan masyarakat…”

Bahwa selain itu, Pemohon mendalilkan adanya kekhawatiran dan rasa takut yang luar biasa terhadap kejadian yang menimpa anak-anak sebagai korban. Menurut Mahkamah, hal tersebut tidaklah harus diatasi dengan memberatkan sanksi pidananya, karena sanksi pidana adalah sanksi terakhir dalam penegakan hukum (ultimum remedium), sehingga penting pula bagi Mahkamah untuk mengingatkan bahwa kasus-kasus epidemi penyakit karena adanya dugaan penyalahgunaan bahan kimia pada produk farmasi yang dimungkinkan akan terus berpotensi untuk muncul. Oleh karena itu, diperlukan evaluasi secara berkala terhadap regulasi dan implementasi izin edar dan pengawasan atas produk-produk kimia dalam makanan, minuman, dan sediaan farmasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, sehingga masyarakat merasa aman pada saat menggunakan produk tersebut.

[3.12] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah dalil Pemohon berkenaan dengan pengujian norma Pasal 196 UU 36/2009 telah ternyata tidak menimbulkan persoalan perlidungan rasa takut dan hak untuk hidup sebagaimana dijamin oleh Pasal 28A, Pasal 28B ayat (2), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, dalil-dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.13] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 107/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-12-2022

Karminah (Ibu Rumah tangga), dalam hal ini memberi kuasa kepada Pho Iwan Salomo, SH., adalah Advokat pada LBH JATI RAGA, yang untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 31 ayat (1) dan Pasal 79 UU MA

Alinea ke-4 Pembukaan, Sila ke-5 PANCASILA dalam Alinea ke-4 Pembukaan, Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 31 ayat (1) dan Pasal 79 UU MA dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.11] Menimbang bahwa setelah membaca dan memeriksa secara saksama permohonan Pemohon dan memerhatikan alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan, terhadap dalil Pemohon yang pada pokoknya menyatakan Pasal 79 UU 14/1985 multitafsir karena memberi wewenang yang tidak terbatas kepada Mahkamah Agung untuk membuat peraturannya sendiri, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.11.1] Bahwa pada umumnya undang-undang tidak mengatur secara rinci atau detail sehingga membutuhkan peraturan pelaksana dari undang-undang tersebut untuk diatur lebih lanjut dalam peraturan yang lebih rendah. Perintah pengaturan lebih lanjut tersebut bertujuan agar ketentuan yang diatur dalam undang-undang bersangkutan dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya, termasuk dalam hal ini hal-hal lain yang tidak atau belum diatur secara detail dalam undang-undang yang bersangkutan sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang dimaksud.

[3.11.2] Bahwa dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011) telah ditentukan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan yang terdiri dari:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Selanjutnya, dalam Pasal 8 UU 12/2011 juga telah ditentukan jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 UU 12/2011, salah satunya peraturan yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung yang diakui keberadaanya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan [vide Pasal 8 UU 12/2011] yang juga menjadi peraturan lebih lanjut dari UU 14/1985 sebagaimana diuraikan dalam pertimbangan Mahkamah dalam Sub-paragraf [3.11.1] tersebut di atas.

[3.11.3] Bahwa Mahkamah Agung sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman di Indonesia memiliki wewenang untuk menentukan bagaimana undangundang dapat dijalankan agar tercipta keadilan bagi masyarakat Indonesia dan juga dapat menyerap aspirasi masyarakat pencari keadilan. Oleh karena itu, dengan mendasarkan pada Pasal 79 UU 14/1985 yang menentukan bahwa Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang ini, maka di dalam menjalankan tugasnya, Mahkamah Agung diberikan wewenang mengambil inisiatif untuk menetapkan peraturan tertulis yang bersifat mengatur, khususnya dalam hal-hal yang menyangkut peran dan pelaksanaan peradilan agar tidak terjadi kekurangan atau kekosongan hukum sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 79 UU 14/1985 menyatakan bahwa, "apabila dalam jalannya peradilan terdapat kekurangan atau kekosongan hukum dalam suatu hal, Mahkamah Agung berwenang membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan tadi”. Berdasarkan UU a quo Mahkamah Agung berwenang menentukan pengaturan tentang cara penyelesaian suatu soal yang belum atau tidak diatur dalam UU 14/1985. Dengan kata lain, Pasal 79 UU 14/1985 merupakan dasar untuk mejalankan salah satu fungsi Mahkamah Agung yakni fungsi mengatur di mana Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang tentang Mahkamah Agung sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan. Dengan demikian, Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif diberikan kewenangan yang bersifat atributif untuk membentuk suatu peraturan pelaksanaan, dengan salah satu cara menyerap aspirasi dari lembaga pengadilan yang ada di bawahnya terkait dengan hal-hal teknis peradilan yang perlu diatur dalam peraturan di lingkungan Mahkamah Agung. Dengan demikian, peraturan di lingkungan Mahkamah Agung tersebut mengikat para pihak yang hendak beracara di pengadilan.

[3.11.4] Bahwa permohonan Pemohon yang memohon kepada Mahkamah di dalam petitumnya agar Mahkamah menyatakan Pasal 79 UU 14/1985 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat (conditionally constitutional) sepanjang dimaknai peraturan mengenai Penundaan Eksekusi, dikarenakan kasus yang dihadapi oleh Pemohon di Pengadilan Agama Semarang berujung pada penundaan eksekusi yang menurut Pemohon penundaan eksekusi tersebut dikeluarkan dengan mendasarkan pada Peraturan Mahkamah Agung sebagaimana ditentukan dalam Pasal 79 UU 14/1985, menurut Mahkamah permohonan Pemohon tersebut tidaklah tepat. Sebab, jika Pasal 79 UU 14/1985 dimaknai sebagaimana dimohonkan oleh Pemohon maka justru hal tersebut akan mempersempit makna dari Pasal a quo dan akan terjadi kekosongan hukum terhadap pengaturan untuk hal-hal lainnya selain eksekusi. Dengan demikian, Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya tidak memiliki acuan atau petunjuk lagi dalam mengadili suatu perkara jika aturannya belum diatur dalam suatu peraturan pelaksana. Selain itu, Pasal 79 UU 14/1985 merupakan dasar hukum yang memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung untuk membuat peraturan lebih lanjut yakni peraturan Mahkamah Agung dan peraturan-peraturan lainnya yang menyangkut fungsi peradilan yang belum diatur dalam undang-undang, sehingga Mahkamah Agung dalam menjalankan fungsi peradilannya tidak menemukan kebuntuan atau ketidakpastian hukum dalam mengambil suatu keputusan untuk para pencari keadilan. Apalagi Peraturan Mahkamah Agung tidaklah hanya mengatur masalah eksekusi saja seperti yang dialami oleh Pemohon, melainkan juga mengatur hal-hal teknis beracara lainnya. Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan tersebut menurut Mahkamah dalil Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum.

[3.12] Menimbang bahwa selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil Pemohon yang pada pokoknya menyatakan Pasal 31 ayat (1) UU 5/2004 yang memberi wewenang kepada Mahkamah Agung untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang termasuk peraturan Mahkamah Agung sendiri adalah tidak objektif, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.12.1] Bahwa terhadap dalil Pemohon terkait dengan kewenangan Mahkamah Agung sebagaimana tercantum dalam Pasal 31 ayat (1) UU 5/2004, Mahkamah telah mempertimbangkan hal tersebut dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 129/PUU-VII/2009 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 2 Februari 2010, yang pada pokoknya sebagai berikut:
[3.8] Menimbang bahwa Bab IX UUD 1945 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur kewenangan Mahkamah Agung dalam Pasal 24A dan Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 24C. Adapun pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji dalam permohonan a quo materinya adalah pemuatan kembali atau pengulangan materi kewenangan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang terdapat dalam Pasal 24A dan Pasal 24C UUD 1945 dan materi yang berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan tersebut (Vide Pasal 55 UU 24/2003);

[3.9] Menimbang bahwa apabila Mahkamah menguji materi pasal-pasal yang dimohonkan dalam permohonan a quo, maka secara tidak langsung Mahkamah akan pula menguji materi yang terdapat dalam Pasal 24A dan Pasal 24C UUD 1945, yang berarti Mahkamah akan menguji konstitusionalitas dari materi UUD 1945. Adapun dipilihnya pasal-pasal lain dari UUD 1945 untuk menjadi dasar batu uji dalam permohonan pengujian materiil yaitu Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945, Mahkamah berpendapat bahwa hal demikian bukan menjadi kewenangan Mahkamah karena keberadaan pasal-pasal dalam UUD 1945 adalah pilihan dari pembuat UUD 1945 dan Mahkamah tidak mempunyai kewenangan untuk menilai pilihan pembuat UUD 1945 tersebut;

[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan kutipan pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 129/PUU-VII/2009 sebagaimana diuraikan di atas, menurut Mahkamah oleh karena esensi permohonan a quo sama dengan permohonan yang telah diputus tersebut, maka pertimbangan putusan Mahkamah tersebut menjadi mutatis mutandis berlaku dalam pertimbangan hukum putusan perkara a quo. Adapun dalil Pemohon yang pada pokoknya menyatakan Pasal 31 ayat (1) UU 5/2004 yang memberi wewenang kepada Mahkamah Agung untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang termasuk peraturan Mahkamah Agung sendiri adalah tidak objektif dan bertentangan dengan asas nemo judex in causa sua, sehingga Pemohon dalam petitumnya memohon kepada Mahkamah agar pengujian peraturan Mahkamah Agung diajukan kepada Mahkamah Konstitusi. Menurut Mahkamah, dalil Pemohon a quo merupakan asumsi Pemohon belaka yang dihubungkan dengan perkara konkret yang sedang dihadapi oleh Pemohon di Pengadilan Agama Semarang yang kebenarannya bukan menjadi kewenangan MK untuk menilainya. Terlebih lagi, berdasarkan Pasal 24A dan Pasal 24C UUD 1945 Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sudah memiliki kewenangannya masing-masing. Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum.

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut mahkamah, telah ternyata Pasal 79 UU 14/1985 dan Pasal 31 ayat (1) UU 5/2004 tidak bersifat multitafsir dan telah menjamin kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh UUD 1945. Dengan demikian, permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Mengabulkan Penarikan Kembali Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 113/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN FORMIL DAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-12-2022

Hj. Merry, S.Ag. yang dikuasakan kepada Gunawan, S.H. dan Fahcrorozi, S.H., M.H., Advokat pada Tim Advokasi Aliansi Anak Bangsa pada kantor Advokat Gunawan & Rekan, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 76H UU 35/2014

Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28F UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

a. …
c. bahwa sesuai dengan Pasal 34 UU MK, Mahkamah telah melakukan Pemeriksaan Pendahuluan terhadap permohonan a quo pada 23 November 2022, namun dalam sidang Pemeriksaaan Pendahuluan pada 7 Desember 2022 dengan agenda Perbaikan Permohonan, Pemohon prinsipal bersama dua kuasa hukumnya menyatakan mencabut atau menarik permohonan a quo dengan alasan akan menunggu terlebih dahaulu Putusan Kasasi dari Mahkamah Agung atas nama Pemohon Prinsipal sebagai terdakwa yang diajukan oleh jaksa penuntut umum atas putusan bebas murni di Pengadilan Negeri Kotabumi [vide Risalah Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 113/PUU-XX/2022, bertanggal 7 Desember 2022];
d. bahwa terhadap penarikan kembali permohonan Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan Permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali;
e. bahwa berdasarkan ketentuan dimaksud pada huruf d di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada 12 Desember 2022 telah menetapkan bahwa pencabutan atau penarikan kembali permohonan Perkara Nomor 113/PUU-XX/2022 adalah beralasan menurut hukum dan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan hukum pada huruf e di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Pemohonan dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada Pemohon;

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 61/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 30-11-2022

Octolin H. Hutagalung, S.H., M.H. dkk, dalam hal ini memberikan kuasa kepada Rika Irianti, S.H.,, dkk, Advokat yang tergabung dalam Pusat Bantuan Hukum PERADI Jakarta Selatan, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 54 UU HAP

Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1), UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal a quo UU HAP dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.16] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan yang pada pokoknya Pasal 54 KUHAP bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan menimbulkan ketidakpastian hukum karena hak pembelaan hukum hanya ditafsirkan dan ditujukan secara limitatif bagi Tersangka dan Terdakwa saja dan tidak mengakomodir Saksi dan Terperiksa. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan selengkapnya, sebagai berikut:
[3.16.1] Bahwa norma Pasal 54 KUHAP yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon menyatakan, “Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini” adalah norma yang mengatur mengenai hak tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum dari penasihat hukum (advokat) dalam rangka kepentingan pembelaan pada semua tingkat pemeriksaan. Pemberian hak tersebut merupakan salah satu perwujudan dari prinsip due process of law yang memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Tersangka atau terdakwa, pada dasarnya ditempatkan dalam posisi yang belum tentu bersalah (presumption of innocence) namun terhadap tersangka atau terdakwa telah dapat dilakukan tindakan upaya hukum yang bersifat memaksa dan berpotensi pada perampasan kemerdekaan terhadap orang ataupun barang. Oleh karena itu, bantuan hukum dalam kaitan dengan pembelaan terhadap tersangka atau terdakwa tersebut merupakan suatu bentuk perlindungan hukum oleh negara terhadap hak asasi tersangka atau terdakwa. Hal ini sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 yang mewajibkan negara untuk memberikan perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan terhadap hak asasi manusia. Perlindungan hukum pada tersangka atau terdakwa sebagaimana diatur dalam Pasal 54 KUHAP a quo diberikan berkenaan dengan posisi tersangka atau terdakwa yang sedang berhadapan dengan hukum yang kepadanya diancam dengan suatu pidana/akibat hukum yang dapat membatasi hak asasi manusianya sehingga tersangka atau terdakwa tersebut perlu mempertahankan hak-haknya dan termasuk dalam hal ini melakukan pembelaan agar dibebaskan dari perbuatan yang disangkakan atau didakwakan atas dirinya.
[3.16.2] Bahwa selanjutnya berkaitan dengan eksistensi saksi, sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon keberadaan Pasal 54 KUHAP menimbulkan ketidakpastian hukum karena hak pembelaan hukum hanya ditafsirkan dan ditujukan secara limitatif bagi tersangka dan terdakwa saja serta tidak mengakomodir saksi dan terperiksa. Terhadap dalil para Pemohon a quo, menurut Mahkamah, saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri [vide Pasal 1 angka 26 KUHAP]. Sedangkan keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu [vide Pasal 1 angka 27 KUHAP]. Oleh karena itu, apabila dicermati secara saksama dari terminologi pengertian tentang saksi dan keterangan saksi tersebut dapat dimaknai saksi adalah subjek hukum atau pihak yang keberadaannya diperlukan untuk memberi keterangan atas adanya suatu tindak pidana yang didengar, dilihat dan dialami sendiri oleh saksi yang bersangkutan. Dengan demikian, pemberian keteranganseseorang sebagai saksi dalam semua tingkatan pemeriksaan (penyidikan, penuntutan, dan peradilan) sesungguhnya secara limitatif dalam perspektif memberi kejelasan atas adanya tindak pidana yang disaksikan oleh saksi yang bersangkutan.
Lebih lanjut, berkaitan dengan saksi, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 8 Agustus 2011, telah memberikan pemaknaan saksi yang lebih luas dalam perspektif saksi yang meringankan tersangka atau terdakwa (saksi a de charge) dan saksi yang memberatkan tersangka atau terdakwa (saksi a charge), Mahkamah berpendirian pada pokoknya, saksi tidak hanya yang mendengar, melihat dan merasakan sendiri atas adanya peristiwa pidana, akan tetapi menjadi kewajiban penyidik sejak tingkat pemeriksaan penyidikan untuk mengakomodir saksi-saksi yang diajukan oleh tersangka atau terdakwa sepanjang dapat membantu meringankan kesalahan tersangka atau terdakwa. Oleh karena itu, sejak di tingkat penyidikan saksi yang meringankan tersangka atau terdakwa meskipun tidak mendengar, melihat dan merasakan sendiri atas peristiwa pidana yang bersangkutan, namun apabila sepanjang yang didengar, dilihat dan dirasakan dapat memberikan keuntungan bagi tersangka atau terdakwa, maka keterangannya dapat dikategorikan sebagai keterangan saksi. Dengan demikian, meskipun telah ada pemaknaan yang lebih luas dari Mahkamah tentang terminologi saksi dan keterangan saksi sebagaimana yang diatur di antaranya dalam Pasal 1 angka 26 dan angka 27 KUHAP, namun dalam perspektif untuk dapat atau tidaknya diberikan bantuan hukum oleh advokat/penasihat hukum bagi saksi sebagaimana yang didalilkan para Pemohon berkaitan dengan Pasal 54 KUHAP adalah tidak ada relevansinya secara langsung dengan putusan Mahkamah Konstitusi tentang perluasan pemaknaan saksi dan keterangan saksi tersebut di atas.
[3.16.3] Bahwa selanjutnya berkaitan dengan dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 54 KUHAP tidak mengakomodir bantuan hukum atau pendampingan oleh penasihat hukum/advokat bagi saksi sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum, menurut Mahkamah kehadiran saksi dalam pemeriksaan di semua tingkatan pemeriksaan adalah untuk memberikan kejelasan tentang adanya peristiwa pidana. Oleh karena itu, saksi sebagai salah satu alat bukti sebagaimana yang dimaksudkan dalam norma Pasal 184 KUHAP mempunyai peran yang fundamental untuk menentukan ada atau tidaknya tindak pidana dan siapa pelakunya. Lebih jauh dari itu, atas keterangan para saksilah sesungguhnya kesalahan seorang tersangka atau terdakwa dapat dirumuskan oleh penyidik, penuntut umum dan pada akhirnya ditentukan oleh hakim. Dengan demikian, dari keterangan saksi itu pula pada akhirnya putusan pemidanaan yang berupa perampasan kemerdekaan dapat djatuhkan oleh hakim.
Bahwa mengingat pentingnya keterangan saksi dalam proses pemeriksaan perkara pidana maka tatacara pemeriksaan saksi dalam semua tingkat pemeriksaan, kecuali pemeriksaan di pengadilan, sebab pemeriksaan saksi di pengadilan telah dilakukan dalam persidangan terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain, perlu dilakukan secara transparan dan mengedepankan asas perlindungan hukum agar saksi selama dalam pemeriksaan di depan penyidik maupun penuntut umum dapat memberikan keterangan secara bebas yang sebenar-benarnya dan tidak dalam tekanan atau paksaan. Sebab, apabila keterangan saksi diberikan dalam keadaan tertekan atau terpaksa maka substansi keterangan yang diberikan oleh saksi tersebut dapat menjadikan putusan pengadilan yang dijatuhkan oleh hakim menjadi putusan yang mengandung kebohongan dan tipu muslihat yang berujung pada keadilan semu (ilusi). Oleh karena itu, urgensi keinginan para Pemohon agar terhadap saksi diperlukan adanya pendampingan atau bantuan hukum adalah sebatas agar dapat diawasinya proses pemeriksaan saksi oleh penyidik dan penuntut umum secara transparan sehingga diperoleh hasil pemeriksaan saksi secara objektif, hal tersebut menjadi substansi yang penting untuk diakomodir dalam KUHAP a quo, sepanjang diatur secara khusus pada bab dan atau pasal yang mengatur tentang tatacara pemeriksaan saksi dan bentuk perlindungan hukumnya.

[3.17] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan pada paragraf-paragraf di atas, setelah Mahkamah mencermati permohonan para Pemohon berkenaan dengan pembelaan terhadap tersangka atau terdakwa sebagaimana yang diatur dalam norma Pasal 54 KUHAP juga dimasukkan pula pembelaan untuk saksi, dengan cara menyisipkan perlindungan hukum untuk saksi agar diperbolehkannya dilakukan bantuan hukum atau setidak-tidaknya pendampingan pada saksi pada saat diperiksa oleh penyidik maupun penuntut umum ke dalam Pasal a quo. Namun demikian, setelah Mahkamah mencermati pula keberadaan Pasal 54 KUHAP yang secara tegas mengatur tentang pembelaan bagi tersangka atau terdakwa yang secara sistematika, Pasal 54 KUHAP berada dalam Bab VI yang mengatur tentang tersangka dan terdakwa, baik mengenai pemeriksaan terhadap tersangka dan terdakwa maupun mengenai hak tersangka dan terdakwa secara keseluruhan. Oleh karena itu, memasukkan pengaturan mengenai hak saksi dalam bab khusus terkait tersangka dan terdakwa tersebut, in casu BAB VI KUHAP, justru akan membuat substansi, format, dan sistematika KUHAP menjadi tidak jelas dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum terkait materi muatan dari Bab VI KUHAP dimaksud. Sebab, pengertian tersangka atau terdakwa mempunyai perbedaan yang signifikan dengan pengertian saksi, baik sifat maupun akibat yuridis atas jenis dan tatacara pemeriksaan serta jika akan diberikan hak perlindungan hukumnya. Dengan demikian, pengaturan saksi yang dijadikan satu dengan tersangka atau terdakwa, selain hal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 juga tidak sejalan dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

[3.18] Menimbang bahwa dengan demikian, berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, sebelum sampai pada kesimpulan Mahkamah berkaitan dengan dalil para Pemohon yang mendalilkan norma Pasal 54 KUHAP bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan menimbulkan ketidakpastian hukum karena hak pembelaan hukum hanya ditafsirkan dan ditujukan secara limitatif bagi tersangka dan terdakwa saja serta tidak mengakomodir saksi dan terperiksa, penting bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
[3.18.1] Bahwa terlepas dalil para Pemohon mengenai norma Pasal 54 KUHAP sebagaimana telah dipertimbangkan Mahkamah pada Paragraf [3.16] dan Paragraf [3.17] di atas, Mahkamah perlu mempertimbangkan lebih lanjut terkait dengan bantuan hukum ataupun pendampingan bagi saksi yang menurut para Pemohon belum terakomodir dalam KUHAP. Terhadap hal tersebut, dapat dijelaskan, bahwa KUHAP merupakan salah satu implementasi dari penegakan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai ketentuan konstitusional dalam UUD 1945 sehingga baik tersangka atau terdakwa maupun saksi seharusnya mendapatkan hak perlindungan hukum yang sama sesuai sifat dan kedudukannya masing-masing. Terlebih, terhadap kedudukan saksi sebagai pihak yang berpotensi menjadi tersangka, sepanjang belum dijadikan tersangka sebagai pelaku tindak pidana, maka dalam pemeriksaan harus menerapkan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) dan asas persamaan di hadapan hukum (equality before the law). Sehingga, dengan adanya asas-asas tersebut maka pemeriksaan saksi harus dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang semestinya dan tanpa adanya pelanggaran terhadap hak asasi saksi dimaksud. Selain itu, sebagai negara hukum, prinsip due process of law sebagai perwujudan pengakuan hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana menjadi asas yang harus dijunjung tinggi oleh semua pihak, terutama bagi lembaga penegak hukum. Sehingga, perlindungan terhadap saksi dalam ranah perlindungan hak asasi manusia sejatinya tidak hanya dilakukan oleh penasihat hukum (advokat) saja melainkan juga oleh penegak hukum lainnya sebagai representasi kepentingan umum dalam penegakan hukum pidana, in casu penegak hukum yang melakukan pemeriksaan baik pada tahap penyidikan maupun penuntutan
[3.18.2] Bahwa perlindungan hukum terhadap saksi, khususnya terkait dengan bantuan hukum ataupun pendampingan, yang dilakukan oleh penasihat hukum (advokat) tidak dapat disamakan dengan bantuan hukum ataupun pendampingan yang dilakukan oleh penasihat hukum (advokat) kepada tersangka atau terdakwa, karena saksi belum menjadi subjek hukum yang dapat dikenakan tindakan paksa (pro justisia) yang dapat berakibat hukum perampasan kemerdekaan atau barang sebagaimana halnya tersangka atau terdakwa. Oleh karena itu, bantuan hukum/pendampingan oleh advokat bagi seorang tersangka atau terdakwa adalah sebuah keniscayaan, terlebih tersangka atau terdakwa diancam dengan ancaman pidana tertentu [vide Pasal 56 KUHAP].
Dengan adanya perbedaan tersebut maka dalam memberikan keterangan pada tahap pemeriksaan saksi, penasihat hukum (advokat) dapat memberikan bantuan hukum kepada saksi, terbatas hanya berupa pendampingan terhadap saksi. Hal ini dikarenakan sejatinya saksi berkewajiban untuk memberikan keterangan sesuai dengan fakta yang terjadi yang dilihat, dirasakan dan dialaminya dalam keadaan bebas tanpa tekanan. Oleh karena itu, kehadiran penasihat hukum (advokat) diperlukan untuk memastikan bahwa pemeriksaan yang dilakukan terhadap saksi dilaksanakan sesuai dengan prosedur dan memastikan bahwa tidak terjadi intimidasi dan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan penegak hukum yang dapat mengakibatkan terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak saksi sehingga saksi dapat memberikan keterangan dalam keadaan bebas dan tenang guna menjadikan suatu perkara pidana menjadi terang. Di sisi lain, terhadap penasihat hukum (advokat) yang mendampingi saksi dalam proses pemeriksaan tidak boleh memengaruhi saksi dalam memberikan keterangan dan harus dalam kerangka menegakkan keadilan secara objektif dengan tetap menjunjung tinggi integritas dan kode etik advokat sebagai salah satu unsur penegak hukum.
[3.18.3] Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum pada Sub-paragraf [3.18.1] dan Sub-paragraf [3.18.2] di atas serta untuk menghindari kemungkinan terjadinya intimidasi dan tindakan sewenang-wenang yang dapat melanggar hak asasi saksi dan karenanya berpengaruh pada tidak tercapainya tujuan peradilan pidana yaitu memeroleh kebenaran materiil maka ketentuan mengenai saksi dan pendampingan saksi harus diatur dalam bab atau sub-bab tersendiri dalam KUHAP. Terkait dengan hal tersebut, DPR dalam keterangannya yang disampaikan dalam persidangan menyatakan bahwa revisi KUHAP telah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2020-2024, Nomor Urut 294 [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 61/PUU-XX/2022, bertanggal 14 Juli 2022, halaman 10] sehingga demi memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum bagi saksi, pembentuk undang-undang dalam melakukan revisi KUHAP penting untuk memasukkan materi mengenai tatacara pemeriksaan saksi dan bantuan hukum atau pendampingan bagi saksi dalam satu bab atau sub-bab tersendiri.

[3.19] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah, pendampingan saksi oleh penasihat hukum (advokat) dalam pemeriksaan perkara pidana adalah sesuatu yang penting untuk diatur, namun materi dimaksud tidak tepat dimuat dalam Pasal 54 KUHAP. Karena, Pasal 54 KUHAP khusus mengatur mengenai bantuan hukum bagi tersangka atau terdakwa. Oleh karena itu, ketentuan norma Pasal 54 KUHAP tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon. Dengan demikian, permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

[3.20] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut, karena dipandang tidak ada relevansinya

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 63/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 30-11-2022

Gumilang Ramadhan (Direktur), dalam hal ini memberikan kuasa kepada Prof. DR. Otto Hasibuan, S.H., M.M. dkk, Advokat dan Konsultan Hukum pada Kantor Hukum Otto Hasibuan & Associates yang bertindak secara bersama-sama dan/atau sendiri-sendiri, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 18, Pasal 30, dan Pasal 122 UU Hak Cipta

Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undnag-Undang beserta jajaran di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal a quo UU Hak Cipta dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.18] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan persoalan konstitusionalitas yang didalilkan Pemohon sebagai berikut:
[3.18.1] Bahwa Pemohon mendalilkan pada pokoknya menyatakan norma Pasal 18 dan Pasal 30 UU 28/2014 menciptakan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan 28H ayat (4) UUD 1945 karena perumusannya yang memerintahkan pengembalian hak cipta kepada pencipta dan/atau pelaku pertunjukan setelah mencapai jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun sejak perjanjian jual putus dan/atau perjanjian pengalihan tanpa batas waktu disepakati. Pemohon juga mendalilkan norma Pasal 18 dan Pasal 30 UU 28/2014 melanggar asas kebebasan berkontrak (freedom of contract). Dalam hal ini, norma Pasal 18 dan Pasal 30 UU 28/2014 pada pokoknya menentukan bahwa adanya sebuah mekanisme yang memerintahkan pengembalian hak cipta, in casu hak ekonomi kepada pencipta dan pelaku pertunjukan yang didasarkan kepada jangka waktu perjanjian pengalihan hak cipta yang telah mencapai 25 (dua puluh lima) tahun. Perjanjian pengalihan hak cipta dimaksud adalah perjanjian dalam bentuk jual putus (sold flat) dan/atau perjanjian tanpa pengalihan batas waktu. Terhadap dalil Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.18.1.1] Bahwa ketentuan norma Pasal 18 UU 28/2014 pada pokoknya menyatakan ciptaan buku dan/atau semua hasil karya tulis lainnya, lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks yang dialihkan dalam perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu, hak ciptanya beralih kembali kepada pencipta pada saat perjanjian tersebut mencapai jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun. Sementara itu, dalam Penjelasannya hanya dinyatakan, “Yang dimaksud dengan "jual putus" adalah perjanjian yang mengharuskan Pencipta menyerahkan ciptaannya melalui pembayaran lunas oleh pihak pembeli sehingga hak ekonomi atas Ciptaan tersebut beralih seluruhnya kepada pembeli tanpa batas waktu, atau dalam praktik dikenal dengan istilah sold flat”. Sejalan dengan pengaturan dalam Pasal 18 UU 28/2014, Pasal 30 UU a quo juga menyatakan bahwa “Karya Pelaku Pertunjukan berupa lagu dan/atau musik yang dialihkan dan/atau dijual hak ekonominya, kepemilikan hak ekonominya beralih kembali kepada Pelaku Pertunjukan setelah jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun”.
Berkenaan dengan ketentuan di atas, sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Paragraf [3.17], tujuan dibentuknya UU 28/2014 salah satunya adalah untuk melindungi para pencipta buku dan/atau semua hasil karya tulis lainnya, lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks, serta pelaku pertunjukan yang memiliki karya berupa lagu dan/atau musik agar tidak terkikis motivasinya untuk berkreasi. Oleh karenanya terhadap perjanjian terkait dengan ciptaan buku dan/atau semua hasil karya tulis lainnya, lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks yang telah diserahkan atau dialihkan seluruhnya kepada pihak pembeli tanpa batas waktu karena pencipta telah menerima sejumlah pembayaran lunas (cash money), sebagaimana konsep perjanjian jual beli pada umumnya, telah ternyata tidaklah memberikan jaminan perlindungan hukum yang seimbang. Dalam konteks perjanjian pengalihan hak cipta, sebelum diberlakukan UU 28/2014, posisi tawar para pencipta dan pelaku pertunjukan seringkali tidak seimbang (lemah) ketika berhadapan dengan produser fonogram, seperti Pemohon, yang pada umumnya memiliki kekuatan ekonomi lebih besar dibanding Pencipta dan Pelaku Pertunjukan. Sementara, saat itu kondisi Pencipta dan Pelaku Pertunjukan pada umumnya tidak sepenuhnya dalam keadaan ekonomi yang baik, sehingga Produser Fonogram cenderung dapat melakukan penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) dengan memanfaatkan posisi tawarnya yang lebih kuat untuk menentukan isi perjanjian kepada Pencipta dan Pelaku Pertunjukan tersebut. Dalam kaitan inilah perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu suatu karya cipta merugikan kepentingan Pencipta dan Pelaku Pertunjukan. Terlebih lagi, di era perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, di mana teknologi dapat dijadikan sebagai alat bagi produser fonogram atau pembeli hak cipta untuk mendistribusikan ciptaan atau salinan yang telah dialihkan kepemilikannya untuk mendapatkan manfaat yang optimal [vide Pasal 11 UU 28/2014]. Artinya, dengan kemajuan teknologi hak ekonomi atas ciptaan dapat dioptimalkan untuk
mendapatkan keuntungan atas pembelian pengalihan hak cipta tersebut. Dalam kaitan inilah, penentuan jangka waktu dalam norma Pasal 18 dan Pasal 30 UU 28/2014 dirumuskan karena telah ternyata perjanjian jual putus telah merugikan kepentingan Pencipta dan Pelaku Pertunjukan. Pihak pembeli hak cipta pada umumnya mempunyai kepentingan untuk mendapatkan keuntungan yang besar dari sistem sold flat karena beralihnya hak ekonomi dari pencipta kepada si pembeli hak cipta. Kondisi inilah yang harus dilindungi dan diseimbangkan dengan cara memberikan pembatasan terhadap perjanjian atau pengalihan hak ekonomi suatu ciptaan buku dan/atau semua hasil karya tulis lainnya, lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks dalam jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun. Setelah jangka waktu tersebut berakhir, kepemilikan hak ekonomi beralih kembali kepada si pencipta.
Dalam praktik internasional pembatasan pengalihan hak ekonomi kepada pencipta dan pelaku pertunjukan dikenal dengan istilah reversionary right. Secara doktrinal, reversionary right adalah pengembalian hak cipta kepada pencipta dalam jangka waktu tertentu setelah diserahkan haknya kepada pihak lain. Artinya, pengembalian hak ekonomi dilakukan terhadap setiap pengalihan hak dalam bentuk perjanjian tertulis maupun tidak tertulis baik berupa perjanjian jual putus dan/atau perjanjian pengalihan tanpa batas waktu. Peralihan kembali hak cipta kepada pencipta maupun pelaku pertunjukan dimaksud merupakan wujud peran negara dalam memberikan jaminan dan perlindungan atas hak eksklusif yang dimiliki oleh pencipta maupun pelaku pertunjukan. Oleh karena itu, pengaturan pembatasan pengalihan hak cipta melalui peralihan kembali hak cipta bukanlah suatu tindakan hukum baru, karena praktik demikian sudah diterapkan di negara-negara pelopor perlindungan kekayaan intelektual khususnya di 181 (seratus delapan puluh satu) negara anggota Konvensi Bern [vide Keterangan Presiden, hlm. 9, yang dibacakan dalam persidangan Mahkamah pada 14 Maret 2022]. Dalam kaitan inilah, pembentuk UU 28/2014 berupaya memberikan jaminan perlindungan dan
keseimbangan kepada pencipta dan pelaku pertunjukan atas hak cipta yang dimilikinya secara eksklusif, khususnya pengembalian hak ekonomi. Sehingga, pencipta dan pelaku pertunjukan juga dapat merasakan manfaat ekonomi dari hasil ciptaannya secara berkelanjutan. Hal ini, dilakukan agar pencipta dan pelaku pertunjukan dapat terus menghasilkan karya cipta atau ciptaan yang berkualitas dan mampu berkompetisi secara nasional maupun internasional.
[3.18.1.2] Bahwa Pemohon juga mendalilkan adanya pengaturan pembatasan jangka waktu perjanjian jual putus dan/atau pengalihan ciptaan bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak karena menurut Pemohon dengan perjanjian yang telah disepakati sebelum berlaku UU 28/2014 hak ekonomi atas ciptaan tersebut telah beralih kepada pembeli hak cipta. Terhadap dalil Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah menegaskan kembali bahwa pada prinsipnya hak cipta dapat beralih atau dialihkan, baik seluruh maupun sebagian karena: pewarisan; hibah; wakaf; wasiat; perjanjian tertulis; atau sebab lain yang dibenarkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan [vide Pasal 16 UU 28/2014]. Dari semua alasan pengalihan hak cipta tersebut, pengalihan melalui perjanjian tertulis merupakan salah satu alasan yang sering digunakan dalam pengalihan hak cipta. Sejalan dengan itu, dalam praktiknya, pengalihan hak cipta dilakukan melalui perjanjian dalam bentuk jual putus (sold flat) dan/atau perjanjian pengalihan tanpa batas waktu. Dalam membuat suatu perjanjian, para pihak tidak dapat melepaskan diri dari pemberlakuan asas kebebasan berkontrak. Artinya, kebebasan bagi para pihak untuk mengikatkan diri dalam suatu perjanjian dan kebebasan para pihak untuk menentukan isi, subjek hingga objek perjanjian. Hingga saat ini asas kebebasan berkontrak tetap menjadi asas penting dalam setiap perjanjian. Namun demikian, seiring dengan perkembangan asas kebebasan berkontrak bukanlah kebebasan tanpa batas (unlimited freedom). Di Indonesia telah terdapat sejumlah pembatasan terhadap pemberlakuan asas kebebasan berkontrak melalui peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Secara doktriner, terdapat beberapa faktor yang memengaruhi terjadinya pembatasan asas kebebasan berkontrak yaitu karena: pertama, menguatnya pengaruh ajaran iktikad baik (good faith), di mana iktikad baik tidak hanya pada pelaksanaan perjanjian, tetapi juga harus ada pada saat dibuatnya perjanjian; kedua, berkembangnya ajaran penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden); ketiga, berkembangnya lapangan ekonomi yang membentuk persekutuan-persekutuan dagang, badan-badan hukum, perseroan-perseroan dan golongan masyarakat lain, seperti buruh, tani, dan musisi; keempat, berkembangnya aliran dalam masyarakat yang menginginkan kesejahteraan sosial; dan kelima, keinginan pemerintah untuk melindungi kepentingan umum atau pihak yang lemah. Selain faktor tersebut, perlu Mahkamah tegaskan, asas kebebasan berkontrak dapat dibatasi oleh undang-undang.
Tidak berbeda halnya dengan perjanjian pada umumnya, faktor-faktor pembatasan asas kebebasan berkontrak juga berlaku bagi perjanjian pengalihan hak cipta dalam bentuk jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu. Sebagai sebuah payung hukum dalam pengalihan hak cipta, perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu juga harus didasarkan pada ajaran iktikad baik yang berlandaskan kepada kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang sebagaimana dimuat dalam Pasal 1338 ayat (3) dan Pasal 1339 KUHPerdata. Jika dikaitkan dengan substansi yang diatur dalam norma Pasal 18 dan Pasal 30 UU 28/2014, dapat dipahami pengaturan pembatasan pengalihan hak cipta tersebut karena objek yang diperjanjikan dalam pengalihan hak cipta sebagai benda bergerak yang tidak berwujud mengandung hal yang bersifat khusus sebagaimana telah diuraikan di atas. Oleh karena itu, pembatasan jangka waktu terhadap perjanjian jual putus atau tanpa batas waktu atas pengalihan ciptaan atau karya pelaku pertunjukan, sekalipun telah diperjanjikan sebelum UU 28/2014, haruslah dipahami secara utuh hanya dalam konteks UU 28/2014, bukan dalam konteks perjanjian atas hak kebendaan pada umumnya. Pengaturan demikian merupakan upaya negara dalam memberikan jaminan perlindungan dan keseimbangan bagi pencipta dan pelaku pertunjukan yang berlandaskan pada faktor-faktor pembatasan asas kebebasan berkontrak.
Dalam hal ini, negara memandang perlu mengatur pembatasan terhadap pemanfaatan hak ekonomi atas ciptaan buku dan/atau semua hasil karya tulis lainnya, lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks sebagaimana ketentuan norma Pasal 18 dan Pasal 30 UU 28/2014. Sebab, sebagaimana fakta hukum yang terungkap dalam persidangan [vide risalah persidangan Perkara Nomor 63/PUUXIX/2021, 27 September 2022, hlm. 7], membuktikan posisi tawar antara pihak pencipta dan/atau pelaku pertunjukan sering kali tidak seimbang karena berada dalam posisi yang lebih lemah dibandingkan dengan pihak produser, sehingga hal tersebut berpotensi menimbulkan penyalahgunaan keadaan yang berujung pada tidak dirasakannya pemanfaatan hak ekonomi secara berkelanjutan, berupa imbalan dalam bentuk royalti oleh pencipta dan/atau pelaku pertunjukan.
Berkenaan dengan pertimbangan di atas, menurut Mahkamah pencipta dan/atau pelaku pertunjukan seharusnya dilindungi hak ciptanya. Salah satu bentuk perlindungan hak ekonomi dan hak moral bagi pencipta dan/atau pelaku pertunjukan adalah dengan adanya pembatasan pengalihan hak ekonomi dalam bentuk jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu. Pembatasan pengalihan dimaksud untuk mencegah praktik penyalahgunaan keadaan dalam perjanjian pengalihan hak cipta dalam bentuk jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu. Oleh karena itu, melalui UU 28/2014, negara menjamin perlindungan dan kepastian hukum hak ekonomi dan hak moral pencipta dan pemilik hak terkait agar tidak mengikis motivasi pencipta dan pemilik hak terkait untuk berkreasi. Oleh karenanya, dalil Pemohon yang mempertentangkan norma Pasal 18 dan Pasal 30 UU 28/2014 dengan prinsip kepastian hukum sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) dan 28H ayat (4) UUD 1945 karena perumusannya yang memerintahkan pengembalian hak cipta kepada pencipta dan/atau pelaku pertunjukan setelah mencapai jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun sejak perjanjian jual putus dan/atau perjanjian pengalihan tanpa batas waktu, disepakati, serta melanggar asas kebebasan berkontrak adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.18.2] Bahwa selanjutnya Pemohon mendalilkan pada pokoknya norma Pasal 122 UU 28/2014 melanggar asas non-retroaktif karena ketentuan untuk mengembalikan hak cipta kepada Pencipta seharusnya tidak dapat diterapkan terhadap perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu yang telah dibuat antara Pemohon dengan Pencipta sebelum UU 28/2014 ini berlaku, sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.
Terhadap dalil Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah menegaskan terlebih dahulu perihal norma Pasal 122 merupakan bagian dari Ketentuan Peralihan yang menyatakan:
“Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, perjanjian atas Ciptaan buku dan/ atau hasil karya tulis lainnya serta lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks yang dialihkan dalam perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu yang telah dibuat sebelum berlakunya Undang-Undang ini dikembalikan kepada Pencipta dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Perjanjian jual putus yang pada saat diberlakukannya Undang-Undang ini telah mencapai jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun dikembalikan Hak Ciptanya kepada Pencipta 2 (dua) tahun sejak berlakunya UndangUndang ini;
b. Perjanjian jual putus yang pada saat diberlakukannya Undang-Undang ini belum mencapai jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun dikembalikan Hak Ciptanya kepada Pencipta setelah mencapai 25 (dua puluh lima) tahun sejak ditanda tanganinya perjanjian jual putus dimaksud ditambah 2 (dua) tahun”.
Berkenaan dengan ketentuan peralihan sebagai bagian materi muatan dari batang tubuh suatu peraturan perundang-undangan adalah bersifat opsional atau pilihan. Dalam perumusan peraturan perundang-undangan, in casu undang-undang dapat dirumuskan ketentuan peralihan tatkala terdapat keperluan sebagai norma transisi. Sebaliknya, tidak perlu dirumuskan jika memang tidak diperlukan, sebagaimana dinyatakan dalam Lampiran II, Bagian C.4. yang berjudul “Ketentuan Peralihan (jika diperlukan)”, khususnya angka 127 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah terakhir kalinya dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 (UU 12/2011). Tujuan dirumuskannya Ketentuan Peralihan adalah untuk:
a. menghindari terjadinya kekosongan hukum;
b. menjamin kepastian hukum;
c. memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan
d. mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara.
Dalam kaitan ini, Ketentuan Peralihan dalam UU 28/2014 tidak hanya diatur dalam norma Pasal 122, namun juga dalam norma Pasal 121 yang berkaitan dengan kondisi ketika diatur berdasarkan UU 19/2002 untuk dihantarkan dalam pengaturan baru dalam UU 28/2014. Hal tersebut sesuai dengan tujuan Ketentuan Peralihan, sehingga ketika norma Pasal 18 dan Pasal 30 UU 28/2014 diterapkan tidak terjadi persoalan hukum di kemudian hari. Misalnya, terkait dengan pencatatan ciptaan dan produk hak terkait yang masih dalam proses pada saat mulai berlaku UU 28/2014 dan perikatan jual beli terhadap hak ekonomi atas ciptaan berupa lagu dan/atau musik yang dilakukan sebelum UU 28/2014 tetap berlaku sampai dengan jangka waktu perikatan berakhir [vide Pasal 121 huruf a dan huruf c UU 28/2014]. Namun, ketentuan dalam norma Pasal 121 huruf c UU a quo masih diikuti dengan norma Ketentuan Peralihan dalam Pasal 122 UU 28/2014 yang pada pokoknya menentukan proses peralihan sebagai akibat berlakunya norma baru berkaitan dengan ciptaan buku dan/atau semua hasil karya tulis lainnya, lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks yang dialihkan dalam perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu, hak cipta tersebut ditentukan beralih kembali kepada Pencipta pada saat perjanjian tersebut mencapai jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun [vide Pasal 18 UU 28/2014]. Begitu pula halnya dengan ketentuan mengenai karya Pelaku Pertunjukan berupa lagu dan/atau musik yang dialihkan dan/atau dijual hak ekonominya maka kepemilikan hak ekonomi tersebut ditentukan juga beralih kembali kepada Pelaku Pertunjukan setelah jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun [vide Pasal 30 UU 28/2014]. Dengan demikian, diberlakukannya Pasal 122 Ketentuan Peralihan merupakan konsekuensi hukum yang logis dari berlakunya ketentuan norma Pasal 18 dan Pasal 30 UU 28/2014 yang memerlukan kepastian hukum agar tidak terjadi kondisi kekosongan ketika harus diimplementasikan. Oleh karena itu, diperlukan ketentuan yang menjembatani kondisi hukum yang terjadi sebelum diberlakukan UU 28/2014, in casu terhadap perjanjian pengalihan ciptaan buku dan/atau hasil karya tulis lainnya serta lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks yang dialihkan dalam perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu yang telah dibuat sebelum berlakunya UU 28/2014 untuk dikembalikan kepada Pencipta. Ketentuan pengembalian tersebut diatur apabila perjanjian jual putus yang pada saat diberlakukannya UU 28/2014 telah mencapai jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun dikembalikan hak ciptanya kepada Pencipta dalam waktu 2 (dua) tahun sejak berlakunya UU 28/2014 [vide Pasal 122 huruf a UU 28/2014]. Berikutnya, apabila perjanjian jual putus yang pada saat diberlakukannya UU 28/2014 belum mencapai jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun dikembalikan Hak Ciptanya kepada Pencipta setelah mencapai 25 (dua puluh lima) tahun sejak ditandatanganinya perjanjian jual putus dimaksud ditambah 2 (dua) tahun” [vide Pasal 122 huruf b UU 28/2014].
Bahwa pengaturan pengembalian hak sebagaimana ketentuan norma Pasal 122 a quo adalah dalam rangka mengembalikan hak ekonomi karena dalam jangka waktu berlangsungnya perjanjian pengalihan hak cipta, penerima pengalihan telah mendapatkan nilai kemanfaatan (hak ekonomi), yang secara konstitusional pencipta juga memeroleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan antara hak moral dan hak ekonomi, sebagaimana dijamin oleh Pasal 28H ayat (2) UUD 1945.
Bahwa pengembalian hak ekonomi berdasarkan hal yang semula belum diatur dengan pengaturan yang telah ada bukan merupakan pelanggaran asas nonretroaktif karena perjanjian atas benda bergerak yang tidak berwujud merupakan bagian dari perjanjian yang bersifat khusus, yang tidak dapat dipersamakan dengan perjanjian kebendaan pada umumnya. Oleh karena itu, keberlakuan norma Pasal 18 dan Pasal 30 UU 28/2014 harus diletakkan dalam konteks UU a quo yang memiliki sifat kekhususan. Dengan demikian, pengalihan kembali karya cipta dan karya pertunjukan yang telah mencapai jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun sebagaimana ditentukan dalam norma Pasal 18 dan Pasal 30 UU 28/2014 yang kemudian ditentukan mekanisme pengalihan kembali dalam masa transisi dari undang-undang yang lama ke UU 28/2014 adalah wujud penegasan perlindungan hukum atas hak moral dan hak ekonomi pencipta dan pelaku pertunjukan. Pengaturan demikian tidak dimaksudkan untuk mengabaikan hak pembeli yang telah menerima nilai manfaat (nilai ekonomi) dalam jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun perjanjian pengalihan. Oleh karena itu, dalil Pemohon yang mengaitkan norma Pasal 122 UU 28/2014 yang memberlakukan surut perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu untuk dikembalikan kepada pencipta dengan batasan waktunya tersebut bukanlah merupakan bentuk kesewenang-wenangan negara. Substansi Pasal a quo sejatinya merupakan bentuk pencegahan akibat pengalihan hak cipta dengan bentuk perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu yang dimaknai secara absolut oleh salah satu pihak dengan memanfaatkan kondisi yang tidak seimbang sebelum diberlakukan UU 28/2014. Dengan demikian, dalil Pemohon berkenaan dengan ketentuan peralihan Pasal 122 UU 28/2014 yang menurut Pemohon merugikan hak konstitusional Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.18.3] Bahwa Pemohon juga mendalilkan ketentuan norma Pasal 18, Pasal 30, dan Pasal 122 UU 28/2014 menimbulkan multitafsir apabila dikaitkan dengan Pasal 63 ayat 1 huruf (b) UU 28/2014 sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Terhadap dalil Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
Bahwa setelah Mahkamah mencermati secara seksama isu konstitusional yang didalilkan Pemohon di atas sesungguhnya masih bermuara pada persoalan perjanjian pengalihan hak cipta sebagai benda bergerak tidak berwujud, sebelum berlaku UU 28/2014, yang merupakan "perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu". Rumusan frasa "perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu" dalam norma Pasal 18 dan Pasal 30 UU 28/2014 adalah bukan untuk mengizinkan praktik pengalihan hak cipta tersebut, namun agar UU a quo memberikan perlindungan hukum yang seimbang antara pencipta yang telah mengalihkan hak ciptanya dengan penerima pengalihan tersebut yang telah menikmati nilai ekonomi atas pengalihan melalui jual putus. Hal ini sejalan dengan maksud “jual putus” dalam Penjelasan Pasal 18 UU 28/2014 adalah perjanjian yang mengharuskan Pencipta menyerahkan ciptaannya melalui pembayaran lunas oleh pihak pembeli sehingga hak ekonomi atas ciptaan tersebut beralih seluruhnya kepada pembeli tanpa batas waktu, atau dalam praktik dikenal dengan istilah sold flat. Ketentuan norma Pasal 18 dan Pasal 30 UU 28/2014 merumuskan pembatasan waktu 25 (dua puluh lima) tahun bagi perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu agar hak ekonomi Pencipta dan Pelaku Pertunjukan dapat kembali seperti semula. Setelah itu, produser fonogram dengan Pencipta atau Pelaku Pertunjukan dapat menyepakati kembali perjanjian dalam posisi yang setara demi mengatur hak dan kewajibannya berlandaskan iktikad baik untuk kemanfaatan bersama sesuai dengan ketentuan UU 28/2014.
Sementara itu, jika dikaitkan dengan substansi norma Pasal 63 ayat (1) huruf b UU 28/2014 pada prinsipnya justru menentukan perlindungan hak ekonomi bagi produser fonogram, yang berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak fonogram difiksasi. Artinya, norma Pasal a quo hanya mengatur mengenai jangka waktu pemberlakuan hak ekonomi produser fonogram. Oleh karenanya, penting untuk diketahui apa yang menjadi hak ekonomi bagi produser fonogram sebagaimana diatur dalam ketentuan norma Pasal 24 ayat (2) UU 28/2014 yang menyatakan:
“(2) Hak ekonomi Produser Fonogram sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hak melaksanakan sendiri, memberi izin, atau melarang pihak lain untuk melakukan:
a. Penggandaan atas fonogram dengan cara atau bentuk apapun;
b. Pendistribusian atas fonogram asli atau salinanya;
c. Penyewaan kepada publik atas salinan fonogram; dan
d. Penyediaan atas fonogram dengan atau tanpa kabel yang dapat diakses publik”
Dengan konstruksi norma hukum demikian, produser fonogram memiliki hak ekonomi sebatas kepada pengaturan ketentuan Pasal a quo, sehingga perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu terhadap hak ekonomi dari pencipta dan pelaku pertunjukan yang selama ini terjadi, jelas tidak memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi pencipta dan pelaku pertunjukan, karena kepemilikan hak ekonomi produser fonogram melebihi ketentuan peraturan perundang-undangan, in casu norma Pasal 24 ayat (2) UU 28/2014. Dalam konteks itu, hak ekonomi produser fonogram diberikan jangka waktu 50 (lima puluh) tahun dalam rangka melakukan fiksasi fonogram, dan bukan pemanfaatan hak ekonomi pencipta dan pelaku pertunjukan secara mutlak (absolut), sebagaimana perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu.
Dalam kaitan ini, perjanjian antara Produser Fonogram dengan Pencipta dan/atau Pelaku Pertunjukan yang sesuai dengan UU 28/2014 adalah perjanjian untuk melakukan fiksasi fonogram, bukan perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu. Dengan adanya perjanjian untuk melakukan fiksasi fonogram, maka Produser Fonogram mendapatkan pelindungan hak ekonomi seperti dimaksud Pasal 24 ayat (2) UU 28/2014 yang berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak fonogram difiksasi sesuai dengan ketentuan Pasal 63 ayat 1 huruf (b) UU 28/2014.
Dalam konteks pertimbangan di atas, menurut Mahkamah keterkaitan ketentuan norma Pasal 18, Pasal 30, dan Pasal 122 UU 28/2014 dengan Pasal 63 ayat (1) huruf b UU 28/2014 adalah upaya negara dalam memberikan pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang seimbang dan adil dalam hubungan hukum antara pencipta dan pelaku pertunjukan dengan produser fonogram. Pada dasarnya, ketentuan norma Pasal 63 ayat (1) huruf b UU 28/2014 memiliki norma yang berbeda dengan ketentuan norma Pasal 18 dan Pasal 30 UU 28/2014. Norma Pasal 63 ayat (1) huruf b UU 28/2014 lebih berkaitan dengan substansi Pasal 58 ayat (1), di mana Pasal 63 ayat (1) huruf b memberikan perlindungan hak ekonomi, sedangkan Pasal 58 ayat (1) memberikan Pelindungan Hak Cipta atas Ciptaan, perlindungan hak ekonomi atas Pertunjukan dan Produser Fonogram selama 50 (lima puluh) tahun. Sedangkan perlindungan Hak Cipta atas Ciptaan berlaku selama hidup Pencipta dan terus berlangsung selama 70 (tujuh puluh) tahun. Oleh karena itu, Pasal 63 ayat (1) huruf b UU 28/2014, sebagai landasan dan kepastian hukum Pelindungan hak ekonomi selama 50 (lima puluh) tahun dan Pasal 58 ayat (1) sebagai landasan dan kepastian hukum Pelindungan Hak Cipta atas Ciptaan selama 70 tahun.
Oleh karena ketentuan Pasal 63 ayat (1) huruf b UU 28/2014 memiliki norma yang berbeda dengan ketentuan Pasal 18 dan Pasal 30 UU 28/2014, maka tidak terdapat kontradiksi pemahaman yang berujung pada multitafsir penerapan norma sebagaimana dalil Pemohon, serta tidak pula merugikan hak konstitusional Pemohon yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.19] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana telah diuraikan di atas, Mahkamah menilai telah ternyata norma Pasal 18, Pasal 30, dan Pasal 122 UU 28/2014 tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Dengan demikian, dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.20] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Di Tolak Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 98/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2019 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 30-11-2022

Irfan Kamil (wartawan) yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Viktor Santoso Tandiasa, S.H., M.H., Advokat dan Konsultan Hukum pada VST and Partners, Advocates & Legal Consultans, untuk selanjutnya disebut Pemohon.

Pasal 273 ayat (1) UU 22/2019

Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal a quo UU 22/2019 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.11] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca secara saksama permohonan Pemohon, memeriksa bukti-bukti yang diajukan, dan mempertimbangkan argumentasi Pemohon, sebagaimana selengkapnya dimuat dalam bagian Duduk Perkara, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa lalu lintas dan angkutan jalan memiliki peran yang sangat strategis dalam mendukung pembangunan serta mengintegrasikan wilayah Indonesia. Oleh karena itu, lalu lintas dan angkutan jalan perlu dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan, kesejahteraan, ketertiban berlalu lintas dan angkutan jalan dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, otonomi daerah, serta akuntabilitas penyelenggara negara [vide Penjelasan Umum UU 22/2009].
Bahwa lalu lintas dan angkutan jalan selain harus dimanfaatkan untuk kesejahteraan umum, juga harus memerhatikan nilai keselamatan semua orang. Oleh karenanya sebagai bagian dari sistem transportasi nasional lalu lintas harus dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanaan, keselamatan, ketertiban dan kelancaran berlalu lintas dan angkutan jalan dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan wilayah [vide Konsiderans Menimbang huruf b UU 22/2009]. Hal ini kemudian dengan tegas diatur dalam Pasal 3 huruf a UU 22/2009 yang pada pokoknya menyatakan salah satu tujuan penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan adalah untuk terwujudnya pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan yang aman, selamat, tertib, lancar dan terpadu dengan moda angkutan lain agar dapat mendorong perekonomian nasional, memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa.
]3.11.2] Bahwa dalam kaitan dengan tujuan di atas, UU 22/2009 telah merumuskan pula mengenai kecelakaan lalu lintas dalam Pasal 1 angka 24 UU 22/2009 yang didefinisikan sebagai suatu peristiwa di jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda. Kecelakaan lalu lintas ini yang kemudian menjadi kekhawatiran Pemohon sebagai pengguna jalan yang sehari-hari bekerja menggunakan kendaraan bermotor di jalan dan menemukan jalanan rusak yang berpotensi menyebabkan kecelakaan. Kecelakaan merupakan potensi kerugian hak konsitusional yang Pemohon anggap potensial akan dialami jika frasa “penyelenggara jalan” dalam Pasal 273 ayat (1) UU 22/2009 tidak mendapat pemaknaan yang kemudian menjadi persoalan konstitusional dalam permohonan a quo;
[3.11.3] Bahwa berkenaan dengan persoalan konstitusional Pemohon tersebut, penting bagi Mahkamah untuk terlebih dahulu mencermati esensi norma Pasal 273 ayat (1) UU 22/2009 yang dimohonkan pengujian yaitu, “Setiap penyelenggara Jalan yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki Jalan yang rusak yang mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) sehingga menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan Kendaraan dan/atau barang dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)”. Ketentuan a quo adalah ketentuan sanksi yang menjadi ancaman atas pelanggaran aturan norma pokok yang diatur dalam Pasal 24 UU 22/2009, yang pada pokoknya menentukan 2 (dua) hal esensial yakni kewajiban bagi penyelenggara jalan untuk segera dan patut memperbaiki jalan yang rusak yang dapat mengakibatkan kecelakaan lalu lintas [vide Pasal 24 ayat (1) UU 22/2009]. Apabila perbaikan jalan yang rusak tersebut belum dapat dilakukan maka penyelenggara jalan wajib memberi tanda atau rambu pada jalan yang rusak untuk mencegah terjadinya kecelakaan lalu lintas [vide Pasal 24 ayat (2) UU 22/2009]. Selanjutnya, Pemohon mempersoalkan siapa yang dimaksud dengan penyelenggara jalan yang menjadi subjek norma dalam Pasal 273 ayat (1) UU 22/2009 juncto Pasal 24 ayat (1) UU 22/2009. Pemohon dalam dalil permohonannya mempersoalkan tidak dijelaskannya siapa yang dimaksud penyelenggara jalan baik dalam Penjelasan Pasal 273 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 24 ayat (1) UU 22/2009, serta pada Bagian Ketentuan Umum UU 22/2009. Oleh karenanya dipertanyakan siapa yang akan dipidana jika melanggar ketentuan Pasal 24 ayat (1) UU 22/2009 dimaksud.
[3.11.4] Bahwa menurut Mahkamah sekalipun Pasal 273 ayat (1) tidak menjelaskan frasa “penyelenggara jalan” dalam Penjelasan pasal dan dalam ketentuan umum tidak serta merta mengakibatkan norma Pasal 273 ayat (1) UU 22/2009 menjadi inkonstitusional. Untuk memahami suatu undang-undang secara komprehensif tidaklah dapat dibaca secara parsial atau terpisah antara norma yang satu dengan lainnya karena dalam sebuah undang-undang norma-norma tersebut saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Bahwa dalam kaitan ini UU 22/2009 telah mengatur mengenai pertanggungjawaban lalu lintas sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 ayat (1) UU 22/2009 bahwa negara bertanggung jawab atas lalu lintas dan angkutan jalan dan pembinaannya dilaksanakan oleh pemerintah. Kemudian, Pasal 5 ayat (3) UU 22/2009 mengatur lebih lanjut pembinaan lalu lintas dan angkutan jalan yang menjadi tanggung jawab negara tersebut di mana pelaksanaannya dilakukan oleh instansi pembina sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing urusan yang dimiliki instansi penanggung jawab. Dalam hal ini, yaitu: urusan pemerintahan di bidang jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang jalan; urusan pemerintahan di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan; urusan pemerintahan di bidang pengembangan industri lalu lintas dan angkutan jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang industri; urusan pemerintahan di bidang pengembangan teknologi lalu lintas dan angkutan jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang pengembangan teknologi; dan urusan pemerintahan di bidang registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor dan pengemudi, penegakan hukum, operasional manajemen dan rekayasa lalu lintas, serta pendidikan berlalu lintas, oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Bahwa pembagian urusan pembinaan tersebut dimaksudkan agar tugas dan tanggung jawab setiap pembina bidang lalu lintas dan angkutan jalan lebih jelas dan transparan sehingga penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan dapat terlaksana dengan selamat, aman, tertib, lancar, dan efisien, serta dapat dipertanggungjawabkan. Lebih lanjut, Pasal 6 ayat (1) UU 22/2009 mengatur mengenai pembinaan yang dilakukan oleh instansi pembina sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) UU a quo yang meliputi: a. penetapan sasaran dan arah kebijakan pengembangan sistem lalu lintas dan angkutan jalan nasional; b. penetapan norma, standar, pedoman, kriteria, dan prosedur penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan yang berlaku secara nasional; c. penetapan kompetensi pejabat yang melaksanakan fungsi di bidang lalu lintas dan angkutan jalan secara nasional; d. pemberian bimbingan, pelatihan, sertifikasi, pemberian izin, dan bantuan teknis kepada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota; dan e. pengawasan terhadap pelaksanaan norma, standar, pedoman, kriteria, dan prosedur yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
Bahwa berdasarkan aturan di atas, kewenangan instansi pembina yakni pemerintah pusat adalah kebijakan-kebijakan di tingkat pusat, sedangkan kewenangan untuk pelaksanaan pembinaan pada tingkatan provinsi dan kabupaten/kota telah ditentukan dalam Pasal 6 ayat (2) UU 22/2009 yang pada pokoknya menyatakan dalam melaksanaan pembinaan, pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusannya kepada pemerintah provinsi dan/atau 29 pemerintah kabupaten/kota. Hal tersebut sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 ayat (3) dan ayat (4) UU 22/2009 yang selengkapnya menyatakan:
Pasal 6
(3) Urusan pemerintah provinsi dalam melakukan pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi:
a. penetapan sasaran dan arah kebijakan sistem Lalu Lintas dan Angkutan Jalan provinsi dan kabupaten/kota yang jaringannya melampaui batas wilayah kabupaten/kota;
b. pemberian bimbingan, pelatihan, sertifikasi, dan izin kepada perusahaan angkutan umum di provinsi; dan
c. pengawasan terhadap pelaksanaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan provinsi.
(4) Urusan pemerintah kabupaten/kota dalam melakukan pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi:
a. penetapan sasaran dan arah kebijakan sistem Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kabupaten/kota yang jaringannya berada di wilayah kabupaten/kota;
b. pemberian bimbingan, pelatihan, sertifikasi, dan izin kepada perusahaan angkutan umum di kabupaten/kota; dan
c. pengawasan terhadap pelaksanaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kabupaten/kota.

Bahwa oleh karena itu telah jelas pemerintah sebagai instansi pembina dapat melakukan pembagian urusan pada pemerintah daerah baik daerah provinsi maupun kabupaten/kota. Hal ini kemudian ditegaskan kembali dalam pengaturan mengenai penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan dalam pelayanan langsung kepada masyarakat yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU 22/2009, yaitu dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, badan hukum, dan/atau masyarakat. Dalam rangka mengatur lebih lanjut pembagian urusan pemerintah pusat ke pemerintah daerah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota tersebut, kemudian ditentukan mengenai rencana induk jaringan lalu lintas dan angkutan jalan yang dibagi menjadi: a. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional; b. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi; dan c. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/Kota [vide Pasal 14 ayat (3) UU 22/2009]. Demikian juga dengan rencana tata ruang wilayah juga dibagi berdasarkan wilayah nasional, wilayah provinsi, dan wilayah kabupaten/kota, serta kewenangan untuk menetapkan kelas jalan juga dibagi berdasarkan jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten dan jalan kota [vide Pasal 20 ayat (1) UU 22/2009].
Bahwa dengan demikian, menurut Mahkamah terhadap persoalan yang didalilkan Pemohon mengenai siapakah yang dimaksud penyelenggara jalan dalam Pasal 273 ayat (1) UU 22/2009, meskipun tidak dapat dirujuk langsung dalam Penjelasan Pasal a quo maupun dalam ketentuan umum, namun dari ketentuan-ketentuan yang telah dijabarkan dalam UU 22/2009 maka pengaturan mengenai penyelenggara jalan telah diakomodasi dengan jelas. Bahwa pengaturan mengenai jalan selain diatur dalam UU 22/2009 sesuai dengan kebutuhan pengaturan dalam lalu lintas angkutan jalan, juga diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (UU 38/2004) sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (UU 2/2022). Sebagai UU yang bersifat lex specialis maka pengaturan mengenai jalan secara lebih spesifik bisa ditemukan dalam UU a quo. Oleh karenanya dalam membaca ketentuan yang terkait dengan jalan dalam UU 22/2009 tidak boleh dilepaskan dengan UU tentang Jalan. Mengenai penyelenggara jalan yang dipersoalkan oleh Pemohon dengan tegas didefinisikan dalam Pasal 1 angka 3 UU 2/2022, yaitu pihak yang melakukan pengaturan pembinaan, pembangunan, pengawasan jalan sesuai dengan kewenangan. Sementara itu, berkenaan dengan pembagian dan pengelompokan jalan juga telah diatur secara terperinci dalam UU 2/2022. Bahkan, pengaturan mengenai pemeliharaan jalan dan perbaikan kerusakan jalan juga diatur dalam UU 2/2022. Persoalan siapa yang akan bertanggung jawab terhadap kerusakan jalan yang Pemohon persoalkan pun terjawab dalam UU 2/2022. Selain UU tentang Jalan, pengaturan teknis mengenai jalan juga telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan (PP 34/2006). Dengan demikian, dalil yang menjadi kekhawatiran Pemohon atas potensi kerugian konstitusional yang potensial akan dialami akibat inkonstitusionalitas norma Pasal 273 ayat (1) UU 22/2009 menurut Mahkamah adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.11.5] Bahwa terhadap petitum Pemohon yang memohon kepada Mahkamah agar memaknai frasa “penyelenggara jalan” menjadi “Bahwa Penyelenggara Jalan antara lain Penyelenggara Jalan Nasional adalah Presiden dan/atau Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang jalan, Penyelenggara Jalan Provinsi adalah Pemerintah Daerah yang dilaksanakan oleh Gubernur, Penyelenggara Jalan Kabupaten/Kota adalah Bupati/Walikota”, menurut Mahkamah justru pemaknaan demikian akan mempersempit subjek hukum dari ketentuan Pasal 24 ayat (1) UU 22/2009 yang mengatur kewajiban penyelenggara jalan untuk memperbaiki kerusakan jalan, dan juga ancaman sanksi yang diatur dalam Pasal 273 ayat (1) UU 22/2009. Terlebih lagi, dalam UU 2/2022 telah diatur mengenai pembagian jalan berdasarkan peruntukannya yaitu jalan umum, dan jalan khusus, dan pembagian jalan umum berdasarkan fungsinya yaitu jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal, dan jalan lingkungan. Sedangkan pembagian jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kota, dan jalan desa yang merupakan pembagian jalan umum berdasarkan statusnya hanya sebagian dari jenis jalan yang diatur dalam UU 2/2022. Sehingga, jika mempersempit subjek hukum terhadap kerusakan jalan sebagaimana petitum Pemohon justru menjadi kontraproduktif dengan keinginan Pemohon sendiri untuk mendapatkan perlindungan sebagai pengguna jalan. Dengan kata lain, petitum Pemohon yang demikian, menjadi bertentangan dengan kehendak Pemohon dalam posita permohonannya.
[3.12] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, telah ternyata norma Pasal 273 ayat (1) UU 22/2009 tidak menimbulkan ketidakpastian hukum yang dijamin dalam UUD 1945 sebagaimana didalilkan Pemohon. Dengan demikian dalil permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.13] Menimbang bahwa berkenaan dengan hal-hal lain dalam permohonan Pemohon tidak dipertimbangkan karena tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak dan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 100/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2008 TENTANG SURAT BERHARGA SYARIAH NEGARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 30-11-2022

Rega Felix (Advokat), untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 25 UU SBSN

Pasal 28 ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 29 ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang beserta jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materill Pasal 25 UU SBSN beserta penjelasannya dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa setelah memeriksa dalil-dalil pokok permohonan Pemohon masalah konstitusional yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah:
1. Apakah benar frasa “prinsip-prinsip syariah” dalam Pasal 25 UU 19/2008 konstitusional apabila dimaknai “prinsip syariah”;
2. Apakah benar frasa “atau lembaga lain yang ditunjuk Pemerintah” dalam Penjelasan Pasal 25 UU 19/2008 bertentangan dengan UUD 1945;
3. Apakah frasa “yang dimaksud dengan “lembaga yang memiliki kewenangan dalam menetapkan fatwa di bidang syariah” adalah Majelis Ulama Indonesia” dalam Penjelasan Pasal 25 UU 19/2008 konstitusional apabila dimaknai “kewenangan Majelis Ulama Indonesia sebagai lembaga yang berwenang menetapkan fatwa di bidang syariah bersifat sementara sampai dengan dibentuknya lembaga negara yang berwenang menetapkan prinsip syariah di bidang ekonomi syariah”.
4.
[3.11] Menimbang bahwa setelah membaca dan memeriksa secara saksama permohonan Pemohon dan memerhatikan alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan, terhadap dalil Pemohon yang menyatakan frasa “prinsip-prinsip syariah” dalam Pasal 25 UU 19/2008 inkonstitusional apabila tidak dimaknai “prinsip syariah”, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa konsep keuangan Islam didasarkan pada prinsip moralitas dan keadilan. Oleh karena itu, sesuai dengan dasar operasionalnya yakni syariah Islam yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadist serta Ijma, instrumen pembiayaan syariah harus selaras dan memenuhi prinsip syariah, yaitu antara lain transaksi yang dilakukan oleh para pihak harus bersifat adil, halal, thayyib, dan maslahat. Selain itu, transaksi dalam keuangan Islam sesuai dengan syariah harus terbebas dari unsur larangan berikut: (1) Riba, yaitu unsur bunga atau return yang diperoleh dari penggunaan uang untuk mendapatkan uang (money for money); (2) Maysir, yaitu unsur spekulasi, judi, dan sikap untung-untungan; dan (3) Gharar, yaitu unsur ketidakpastian yang antara lain terkait dengan penyerahan, kualitas, kuantitas, dan sebagainya. Karakteristik lain dari penerbitan instrumen keuangan syariah yaitu memerlukan adanya transaksi pendukung (underlying transaction), yang tata cara dan mekanismenya bersifat khusus dan berbeda dengan transaksi keuangan pada umumnya. Salah satu bentuk instrumen keuangan syariah yang diterbitkan oleh korporasi maupun negara adalah Surat Berharga berdasarkan prinsip syariah atau lebih dikenal dengan istilah Sukuk. Instrumen keuangan syariah ini berbeda dengan surat berharga konvensional. Salah satu perbedaan prinsipnya adalah digunakannya konsep imbalan dan diperlukannya sejumlah tertentu aset yang digunakan sebagai dasar untuk melakukan transaksi dengan menggunakan akad berdasarkan prinsip syariah [vide Paragraf 3 dan Paragraf 4 Penjelasan Umum UU 19/2008]. Dengan demikian, sukuk atau lebih dikenal sebagai obligasi syariah adalah instrumen keuangan berupa surat berharga yang merupakan bukti kepemilikan atas aset, baik itu berupa tangible, intangible ataupun kontrak proyek dari aktivitas tertentu yang mewajibkan emiten membayar pendapatan bagi hasil kepada pemegang sukuk dan membayar kembali sukuk sesuai dengan tanggal jatuh tempo yang sudah disepakati. Sukuk memiliki karakteristik yang berbeda dengan obligasi konvensional, yaitu dalam kegiatan mulai dari transaksi diterbitkannya sampai pada aktivitas penyerahan hasil harus sesuai dengan prinsip syariah, antara lain transaksi yang dilakukan oleh para pihak harus bersifat adil, halal, thayyib, dan maslahat serta harus terbebas dari berbagai unsur larangan, antara lain riba, maysir, dan gharar. Berdasarkan hal tersebut, maka penerbitan Sukuk Negara atau SBSN harus memenuhi prinsip syariah.
Tujuan penerbitan Sukuk Negara adalah mendapatkan dana masyarakat di luar pajak yang kemudian kumpulan dana tersebut digunakan untuk membiayai program pembangunan nasional. Penerbitan Sukuk Negara tidak hanya bermanfaat bagi negara tetapi juga bagi warga negara karena dapat digunakan sebagai sarana berinvestasi sekaligus membantu pemerintah dalam menyelesaikan program pembangunan nasional. Oleh karena itu, dalam rangka memberikan dasar hukum bagi pemerintah dalam melakukan penerbitan sukuk dan untuk mendukung perkembangan keuangan syariah maka pemerintah kemudian membentuk UU 19/2008 yang mengatur secara khusus mengenai penerbitan dan pengelolaan Sukuk Negara atau SBSN. Dengan berlakunya UU 19/2008 maka menjadi dasar hukum (legal basis) bagi penerbitan dan pengelolaan Sukuk Negara atau SBSN, serta memberikan kepastian hukum bagi masyarakat yang akan menggunakan Sukuk Negara dalam berinvestasi berdasarkan prinsip syariah di mana hak warga negara Indonesia khususnya yang beragama Islam dalam menjalankan sistem ekonominya mengacu pada Al Qur’an, Hadist, dan Ijma pun menjadi lebih dilindungi oleh negara. [3.11.2] Bahwa terkait dengan dalil Pemohon yang mempersoalkan apakah frasa “prinsip-prinsip syariah“ dalam Pasal 25 UU 19/2008 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, menurut Mahkamah, secara umum prinsip syariah dalam transaksi keuangan terdiri dari Ta’awun yaitu prinsip kemitraan, Kemaslahatan yaitu prinsip yang mengutamakan manfaat, Tawazun yaitu prinsip kesatuan dan saling bekerja sama, prinsip saling ridho yaitu tidak ada paksaan dalam menjalani perjanjian yang telah ditetapkan, dan Rahmatan lil ‘Alamiin yaitu prinsip yang mengutamakan manfaat bagi siapa saja. Salah satu prinsip syariah yang diterapkan dalam Sukuk Negara atau SBSN adalah transaksi yang dilakukan oleh para pihak harus bersifat adil, halal, thayyib, dan maslahat sebagaimana yang dimuat dalam Penjelasan Umum UU 19/2008 yang telah diuraikan pada Sub-paragraf [3.11.1]. Sehingga, jika dicermati secara substansi maka frasa “prinsip syariah” atau frasa “prinsip-prinsip syariah” sebenarnya adalah sama, yaitu menunjukan sesuatu yang jamak dan tidak tunggal. Penggunaan frasa “prinsip syariah” dalam arti jamak juga digunakan dalam Peraturan Pelaksanaan dari UU 19/2008, yaitu dalam Pasal 17 ayat (1) huruf e Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118 Tahun 2008 tentang Penerbitan dan Penjualan Surat Berharga Syariah Negara Dengan Cara Bookbuilding Di Pasar Perdana Dalam Negeri menyebutkan bahwa dalam melakukan kegiatan penerbitan dan penjualan SBSN dengan cara bookbuilding harus mencantumkan pernyataan kesesuaian SBSN dengan prinsip syariah dalam dokumennya. Oleh karena itu, UU 19/2008 tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, karena secara substansi keseluruhan UU 19/2008 adalah bentuk pemenuhan kewajiban negara terhadap hak konstitusional warganya yang diamanahkan oleh UUD 1945. Terlebih lagi, frasa “prinsip-prinsip syariah” dalam Pasal 25 UU 19/2008 tidak menjadikan Pemohon tidak dapat melaksanakan hak konstitusionalnya yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Pemohon tetap dapat melakukan transaksi keuangan berupa pembelian Sukuk Negara sesuai dengan prinsip-prinsip syariah sebagai pelaksanaan Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian, menurut Mahkamah, penggunaan frasa “prinsip-prinsip syariah” dalam Pasal 25 UU 19/2008 tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.

[3.12] Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan inkonstitusional frasa “yang dimaksud dengan lembaga yang memiliki kewenangan dalam menetapkan fatwa di bidang syariah adalah Majelis Ulama Indonesia” dan frasa “lembaga lain yang ditunjuk Pemerintah“ dalam Penjelasan Pasal 25 UU 19/2008, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-XIX/2021, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 22 Agustus 2022 dalam pertimbangan hukum halaman 220 menyatakan: “
Bahwa penempatan urusan penentuan prinsip syariah sebagai otoritas agama tidak terlepas dari ketentuan konstitusi, dalam hal ini norma Pasal 29 UUD 1945. Dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa negara menjamin tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya. Sesuai dengan ketentuan Pasal 29 UUD 1945, seluruh umat beragama, termasuk umat Islam berhak menjalankan agama dan beribadah menurut agamanya… dst”
Lebih lanjut dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-XIX/2021, Mahkamah telah pula menjelaskan berkait dengan tugas MUI, yaitu:
Bahwa MUI yang merupakan wadah para ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim adalah lembaga yang berkompeten menjawab dan merespon permintaan fatwa, pertanyaan dari pemerintah, lembaga, atau organisasi sosial mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan. Pemberian atau penetapan fatwa MUI dilakukan atas permintaan (istifta) dari peminta fatwa (mustafti) baik secara pribadi, organisasi masyarakat, atau pemerintah. Dalam menetapkan fatwa di bidang keuangan syariah, hal ini dilakukan secara kolektif oleh suatu lembaga yang dinamakan Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI. Tugas DSN MUI adalah untuk menetapkan fatwa atas sistem, kegiatan, produk, dan jasa di lembaga perekonomian, keuangan, dan bisnis syariah serta mengawasi penerapannya guna menumbuhkembangkan usaha di bidang keuangan, bisnis, dan ekonomi syariah. Selain dilakukan secara kolektif oleh DSN MUI, penetapan fatwa dalam hal tertentu melibatkan tenaga ahli yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas. Adapun DSN MUI ini diisi oleh para ulama, praktisi, dan para pakar yang memenuhi kualifikasi tertentu di bidang Fiqh, Ushul Fiqh, Fiqh Muqorin, keuangan, bisnis, 223 perekonomian syariah, dan berkemampuan dalam penetapan hukum (istinbath hukum). Produk hukum yang dihasilkan oleh DSN MUI kemudian ditetapkan sebagai fatwa MUI yang didasarkan pada Al-Quran, Sunnah (Al-Hadis), Ijma, dan Qiyas serta dalil lain yang kokoh (mu’tabar). Tegasnya penetapan fatwa MUI dilakukan oleh para ahli yang memenuhi kualifikasi mujtahid dan dilakukan secara kolektif. Fatwa DSN MUI bersifat responsif, proaktif, dan antisipatif. Persyaratan, sifat, metode, serta prosedur penetapan fatwa yang sedemikian ketat adalah agar diperoleh hasil yang akan bermanfaat bagi kemaslahatan umum (maslahatul ammah) dan sesuai dengan intisari ajaran agama Islam (maqashid al-syariah)…dst.
Melalui pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUUXIX/2021 tersebut, Mahkamah memberikan penegasan bahwa penempatan urusan penentuan prinsip syariah sebagai otoritas agama merupakan bagian dari pelaksanaan konstitusi khususnya Pasal 29 UUD 1945 yang menjamin warga negara untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya. Terkait dengan hal itu, Mahkamah menegaskan pula bahwa MUI merupakan lembaga yang berkompeten menjawab dan merespon permintaan fatwa, pertanyaan dari pemerintah, lembaga, atau organisasi sosial mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan, salah satunya adalah permasalahan di bidang keuangan syariah. Sehingga, Penjelasan Pasal 25 UU 19/2008 yang menyebutkan lembaga yang memiliki kewenangan dalam menetapkan fatwa di bidang syariah salah satunya MUI adalah sudah tepat karena salah satu tugas MUI adalah memberi fatwa di bidang keuangan syariah. Lebih lanjut, Penjelasan Pasal 25 UU 19/2008 memberi legitimasi kepada Pemerintah untuk menunjuk lembaga yang memiliki kewenangan dalam menetapkan fatwa di bidang syariah selain MUI dan hal itu tidak dimaksudkan untuk membuat ketidakjelasan tetapi justru memberikan kepastian hukum terhadap fatwa yang diberikan dengan syarat sepanjang lembaga tersebut merupakan lembaga yang dimintai pendapatnya oleh Pemerintah.
Setelah Mahkamah membaca secara saksama dalil Pemohon a quo, hal yang diinginkan Pemohon justru telah diakomodir oleh pembentuk undang-undang melalui Penjelasan Pasal 25 UU 19/2008 di mana norma a quo memberikan landasan dan legitimasi kepada Pemerintah ketika akan membentuk lembaga lain selain MUI untuk memberi fatwa dalam rangka penerbitan Sukuk Negara. Sehingga, Penjelasan Pasal 25 UU 19/2008 memberikan kepastian hukum bagi warga negara Indonesia khususnya yang beragama Islam apabila ingin menggunakan Sukuk Negara sebagai instrumen investasinya. Dengan demikian, Penjelasan Pasal 25 UU 19/2008 khususnya frasa “lembaga lain yang ditunjuk Pemerintah“ dan frasa “Yang dimaksud dengan lembaga yang memiliki kewenangan dalam menetapkan fatwa di bidang syariah adalah Majelis Ulama Indonesia” tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.

[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, telah ternyata tidak terdapat persoalan ketidakpastian hukum, ketidakterlindunginya hak dalam menjalankan kebebasan beribadah menurut agama dan kepercayaannya, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian, dalil-dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

[3.14] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan karena dipandang tidak ada relevansinya.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 100/PUU- XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2008 TENTANG SURAT BERHARGA SYARIAH NEGARA / 30-11-2022

Rega Felix, yang berprofesi sebagai Advokat

Pasal 25 UU SBSN beserta penjelasannya

Pasal 28 ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 29 ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

[3.7] Menimbang bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas norma Pasal 25 dan Penjelasan Pasal 25 UU 19/2008, Pemohon mengemukakan dalil-dalil yang pada pokoknya sebagai berikut (alasan-alasan Pemohon selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara Putusan ini):
1. Bahwa menurut Pemohon, pengertian “prinsip-prinsip syariah” dengan melihat kepada penjelasan Pasal 25 UU 19/2008 yang menyatakan, “"lembaga yang memiliki kewenangan dalam menetapkan fatwa di bidang syariah" adalah Majelis Ulama Indonesia atau lembaga lain yang ditunjuk Pemerintah.” memberikan makna yaitu banyaknya jumlah lembaga yang berwenang menetapkan prinsip syariah. Hal ini menunjukan pluralitas prinsip syariah itu ditentukan dari pluralitas lembaga yang mempunyai kewenangan;
2. Bahwa menurut Pemohon, konstruksi berpikir Pasal 25 UU 19/2008 dan penjelasannya sangat rancu karena konteksnya adalah ketika Pemerintah membutuhkan legitimasi prinsip syariah dari otoritas agama, tetapi justru penentuan apakah otoritas agama tersebut memiliki legitimasi menetapkan fatwa prinsip syariah ditentukan oleh penunjukan Pemerintah itu sendiri. Dengan demikian, justru sebenarnya Pemerintah yang memiliki legitimasi untuk menentukan prinsip syariah yang diakui yang tidak lain justru kewenangan untuk menetapkan prinsip syariah itu sendiri;
3. Bahwa menurut Pemohon, Pasal 25 UU 19/2008 mewajibkan menteri untuk meminta fatwa sebelum menerbitkan Sukuk Negara, maka berimplikasi pada fatwa tersebut merupakan penentu sah atau tidak sahnya Sukuk Negara yang diterbitkan. Dalam hal ini dapat dilihat politik hukum UU 19/2008 dengan UU 21/2008 berbeda, dimana dalam UU 21/2008 telah ditentukan lembaga yang berwenang menerbitkan fatwa adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI) sementara dalam UU 19/2008 tidak menentukan demikian;
4. Bahwa menurut Pemohon, berdasarkan amanat konstitusi serta didukung dengan hasil kajian akademis seharusnya makna Pasal 25 UU 19/2008 beserta penjelasannya adalah bukan memberikan kewenangan kepada Pemerintah (negara) untuk menunjuk lembaga fatwa mana yang berwenang menetapkan prinsip syariah. Justru penetapan prinsip syariah terkait dengan ekonomi syariah merupakan bentuk tanggung jawab dari negara itu sendiri. Namun, mengingat saat ini banyak undang-undang yang menyatakan kedudukan MUI, serta belum adanya lembaga negara yang tersedia untuk melaksanakan kewenangan penetapan prinsip syariah dalam konteks ekonomi syariah, maka agar tidak terjadi kekacauan (kekosongan hukum) makna kewenangan MUI tersebut masih dapat dilaksanakan dengan arti bersifat sementara dengan tidak mengurangi kewajiban negara untuk membentuk lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk itu. Kebijakan hukum ini adalah suatu kebijakan yang bersifat terbatas karena hanya bersifat transisional. Negara beralih dari yang sebelumnya hanya sebatas engaged menjadi proactive dalam mengembangkan ekonomi syariah bukanlah sesuatu yang inkonstitusional, melainkan sesuatu yang seharusnya dapat dilakukan.;
5. Bahwa atas uraian di atas, Pemohon memohon kepada Mahkamah, sebagai berikut: 49
a. Menyatakan frasa “prinsip-prinsip syariah” dalam Pasal 25 UU 19/2008 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “prinsip syariah”;
b. b. Menyatakan frasa “atau lembaga lain yang ditunjuk Pemerintah” dalam Penjelasan Pasal 25 UU 19/2008 bertentangan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
c. c. Menyatakan frasa “yang dimaksud dengan “lembaga yang memiliki kewenangan dalam menetapkan fatwa di bidang syariah” adalah Majelis Ulama Indonesia” dalam Penjelasan Pasal 25 UU 19/2008 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “kewenangan Majelis Ulama Indonesia sebagai lembaga yang berwenang menetapkan fatwa di bidang syariah bersifat sementara sampai dengan dibentuknya lembaga negara yang berwenang menetapkan prinsip syariah di bidang ekonomi syariah”;
[3.8] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya, Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P -28.
[3.9] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon telah jelas maka dengan berdasar pada Pasal 54 UU MK menurut Mahkamah tidak terdapat urgensi untuk mendengar keterangan pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 UU MK tersebut.
[3.10] Menimbang bahwa setelah memeriksa dalil-dalil pokok permohonan Pemohon masalah konstitusional yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah:
1. Apakah benar frasa “prinsip-prinsip syariah” dalam Pasal 25 UU 19/2008 konstitusional apabila dimaknai “prinsip syariah”;
2. Apakah benar frasa “atau lembaga lain yang ditunjuk Pemerintah” dalam Penjelasan Pasal 25 UU 19/2008 bertentangan dengan UUD 1945;
3. Apakah frasa “yang dimaksud dengan “lembaga yang memiliki kewenangan dalam menetapkan fatwa di bidang syariah” adalah Majelis Ulama Indonesia” dalam Penjelasan Pasal 25 UU 19/2008 konstitusional apabila dimaknai “kewenangan Majelis Ulama Indonesia sebagai lembaga yang berwenang menetapkan fatwa di bidang syariah bersifat sementara sampai dengan dibentuknya lembaga negara yang berwenang menetapkan prinsip syariah di bidang ekonomi syariah”.
[3.11] Menimbang bahwa setelah membaca dan memeriksa secara saksama permohonan Pemohon dan memerhatikan alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan, terhadap dalil Pemohon yang menyatakan frasa “prinsip-prinsip syariah” dalam Pasal 25 UU 19/2008 inkonstitusional apabila tidak dimaknai “prinsip syariah”, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa konsep keuangan Islam didasarkan pada prinsip moralitas dan keadilan. Oleh karena itu, sesuai dengan dasar operasionalnya yakni syariah Islam yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadist serta Ijma, instrumen pembiayaan syariah harus selaras dan memenuhi prinsip syariah, yaitu antara lain transaksi yang dilakukan oleh para pihak harus bersifat adil, halal, thayyib, dan maslahat. Selain itu, transaksi dalam keuangan Islam sesuai dengan syariah harus terbebas dari unsur larangan berikut: (1) Riba, yaitu unsur bunga atau return yang diperoleh dari penggunaan uang untuk mendapatkan uang (money for money); (2) Maysir, yaitu unsur spekulasi, judi, dan sikap untung-untungan; dan (3) Gharar, yaitu unsur ketidakpastian yang antara lain terkait dengan penyerahan, kualitas, kuantitas, dan sebagainya. Karakteristik lain dari penerbitan instrumen keuangan syariah yaitu memerlukan adanya transaksi pendukung (underlying transaction), yang tata cara dan mekanismenya bersifat khusus dan berbeda dengan transaksi keuangan pada umumnya. Salah satu bentuk instrumen keuangan syariah yang diterbitkan oleh korporasi maupun negara adalah Surat Berharga berdasarkan prinsip syariah atau lebih dikenal dengan istilah Sukuk. Instrumen keuangan syariah ini berbeda dengan surat berharga konvensional. Salah satu perbedaan prinsipnya adalah digunakannya konsep imbalan dan diperlukannya sejumlah tertentu aset yang digunakan sebagai dasar untuk melakukan transaksi dengan menggunakan akad berdasarkan prinsip syariah [vide Paragraf 3 dan Paragraf 4 Penjelasan Umum UU 19/2008]. Dengan demikian, sukuk atau lebih dikenal sebagai obligasi syariah adalah instrumen keuangan berupa surat berharga yang merupakan bukti kepemilikan atas aset, baik itu berupa tangible, intangible ataupun kontrak proyek dari aktivitas tertentu yang mewajibkan emiten membayar pendapatan bagi hasil kepada pemegang sukuk dan membayar kembali sukuk sesuai dengan tanggal jatuh tempo yang sudah disepakati. Sukuk memiliki karakteristik yang berbeda dengan obligasi konvensional, yaitu dalam kegiatan mulai dari transaksi diterbitkannya sampai pada aktivitas penyerahan hasil harus sesuai dengan prinsip syariah, antara lain transaksi yang dilakukan oleh para pihak harus bersifat adil, halal, thayyib, dan maslahat serta harus terbebas dari berbagai unsur larangan, antara lain riba, maysir, dan gharar. Berdasarkan hal tersebut, maka penerbitan Sukuk Negara atau SBSN harus memenuhi prinsip syariah.
Tujuan penerbitan Sukuk Negara adalah mendapatkan dana masyarakat di luar pajak yang kemudian kumpulan dana tersebut digunakan untuk membiayai program pembangunan nasional. Penerbitan Sukuk Negara tidak hanya bermanfaat bagi negara tetapi juga bagi warga negara karena dapat digunakan sebagai sarana berinvestasi sekaligus membantu pemerintah dalam menyelesaikan program pembangunan nasional. Oleh karena itu, dalam rangka memberikan dasar hukum bagi pemerintah dalam melakukan penerbitan sukuk dan untuk mendukung perkembangan keuangan syariah maka pemerintah kemudian membentuk UU 19/2008 yang mengatur secara khusus mengenai penerbitan dan pengelolaan Sukuk Negara atau SBSN. Dengan berlakunya UU 19/2008 maka menjadi dasar hukum (legal basis) bagi penerbitan dan pengelolaan Sukuk Negara atau SBSN, serta memberikan kepastian hukum bagi masyarakat yang akan menggunakan Sukuk Negara dalam berinvestasi berdasarkan prinsip syariah di mana hak warga negara Indonesia khususnya yang beragama Islam dalam menjalankan sistem ekonominya mengacu pada Al Qur’an, Hadist, dan Ijma pun menjadi lebih dilindungi oleh negara. [3.11.2] Bahwa terkait dengan dalil Pemohon yang mempersoalkan apakah frasa “prinsip-prinsip syariah“ dalam Pasal 25 UU 19/2008 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, menurut Mahkamah, secara umum prinsip syariah dalam transaksi keuangan terdiri dari Ta’awun yaitu prinsip kemitraan, Kemaslahatan yaitu prinsip yang mengutamakan manfaat, Tawazun yaitu prinsip kesatuan dan saling bekerja sama, prinsip saling ridho yaitu tidak ada paksaan dalam menjalani perjanjian yang telah ditetapkan, dan Rahmatan lil ‘Alamiin yaitu prinsip yang mengutamakan manfaat bagi siapa saja. Salah satu prinsip syariah yang diterapkan dalam Sukuk Negara atau SBSN adalah transaksi yang dilakukan oleh para pihak harus bersifat adil, halal, thayyib, dan maslahat sebagaimana yang dimuat dalam Penjelasan Umum UU 19/2008 yang telah diuraikan pada Sub-paragraf [3.11.1]. Sehingga, jika dicermati secara substansi maka frasa “prinsip syariah” atau frasa “prinsip-prinsip syariah” sebenarnya adalah sama, yaitu menunjukan sesuatu yang jamak dan tidak tunggal. Penggunaan frasa “prinsip syariah” dalam arti jamak juga digunakan dalam Peraturan Pelaksanaan dari UU 19/2008, yaitu dalam Pasal 17 ayat (1) huruf e Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118 Tahun 2008 tentang Penerbitan dan Penjualan Surat Berharga Syariah Negara Dengan Cara Bookbuilding Di Pasar Perdana Dalam Negeri menyebutkan bahwa dalam melakukan kegiatan penerbitan dan penjualan SBSN dengan cara bookbuilding harus mencantumkan pernyataan kesesuaian SBSN dengan prinsip syariah dalam dokumennya. Oleh karena itu, UU 19/2008 tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, karena secara substansi keseluruhan UU 19/2008 adalah bentuk pemenuhan kewajiban negara terhadap hak konstitusional warganya yang diamanahkan oleh UUD 1945. Terlebih lagi, frasa “prinsip-prinsip syariah” dalam Pasal 25 UU 19/2008 tidak menjadikan Pemohon tidak dapat melaksanakan hak konstitusionalnya yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Pemohon tetap dapat melakukan transaksi keuangan berupa pembelian Sukuk Negara sesuai dengan prinsip-prinsip syariah sebagai pelaksanaan Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian, menurut Mahkamah, penggunaan frasa “prinsip-prinsip syariah” dalam Pasal 25 UU 19/2008 tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. [3.12] Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan inkonstitusional frasa “yang dimaksud dengan lembaga yang memiliki kewenangan dalam menetapkan fatwa di bidang syariah adalah Majelis Ulama Indonesia” dan frasa “lembaga lain yang ditunjuk Pemerintah“ dalam Penjelasan Pasal 25 UU 19/2008, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUUXIX/2021, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 22 Agustus 2022 dalam pertimbangan hukum halaman 220 menyatakan: “Bahwa penempatan urusan penentuan prinsip syariah sebagai otoritas agama tidak terlepas dari ketentuan konstitusi, dalam hal ini norma Pasal 29 UUD 1945. Dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa negara menjamin tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya. Sesuai dengan ketentuan Pasal 29 UUD 1945, seluruh umat beragama, termasuk umat Islam berhak menjalankan agama dan beribadah menurut agamanya… dst”
Lebih lanjut dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-XIX/2021, Mahkamah telah pula menjelaskan berkait dengan tugas MUI, yaitu:
Bahwa MUI yang merupakan wadah para ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim adalah lembaga yang berkompeten menjawab dan merespon permintaan fatwa, pertanyaan dari pemerintah, lembaga, atau organisasi sosial mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan. Pemberian atau penetapan fatwa MUI dilakukan atas permintaan (istifta) dari peminta fatwa (mustafti) baik secara pribadi, organisasi masyarakat, atau pemerintah. Dalam menetapkan fatwa di bidang keuangan syariah, hal ini dilakukan secara kolektif oleh suatu lembaga yang dinamakan Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI. Tugas DSN MUI adalah untuk menetapkan fatwa atas sistem, kegiatan, produk, dan jasa di lembaga perekonomian, keuangan, dan bisnis syariah serta mengawasi penerapannya guna menumbuhkembangkan usaha di bidang keuangan, bisnis, dan ekonomi syariah. Selain dilakukan secara kolektif oleh DSN MUI, penetapan fatwa dalam hal tertentu melibatkan tenaga ahli yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas. Adapun DSN MUI ini diisi oleh para ulama, praktisi, dan para pakar yang memenuhi kualifikasi tertentu di bidang Fiqh, Ushul Fiqh, Fiqh Muqorin, keuangan, bisnis, 223 perekonomian syariah, dan berkemampuan dalam penetapan hukum (istinbath hukum). Produk hukum yang dihasilkan oleh DSN MUI kemudian ditetapkan sebagai fatwa MUI yang didasarkan pada Al-Quran, Sunnah (Al-Hadis), Ijma, dan Qiyas serta dalil lain yang kokoh (mu’tabar). Tegasnya penetapan fatwa MUI dilakukan oleh para ahli yang memenuhi kualifikasi mujtahid dan dilakukan secara kolektif. Fatwa DSN MUI bersifat responsif, proaktif, dan antisipatif. Persyaratan, sifat, metode, serta prosedur penetapan fatwa yang sedemikian ketat adalah agar diperoleh hasil yang akan bermanfaat bagi kemaslahatan umum (maslahatul ammah) dan sesuai dengan intisari ajaran agama Islam (maqashid alsyariah)…dst.
Melalui pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUUXIX/2021 tersebut, Mahkamah memberikan penegasan bahwa penempatan urusan penentuan prinsip syariah sebagai otoritas agama merupakan bagian dari pelaksanaan konstitusi khususnya Pasal 29 UUD 1945 yang menjamin warga negara untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya. Terkait dengan hal itu, Mahkamah menegaskan pula bahwa MUI merupakan lembaga yang berkompeten menjawab dan merespon permintaan fatwa, pertanyaan dari pemerintah, lembaga, atau organisasi sosial mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan, salah satunya adalah permasalahan di bidang keuangan syariah. Sehingga, Penjelasan Pasal 25 UU 19/2008 yang menyebutkan lembaga yang memiliki kewenangan dalam menetapkan fatwa di bidang syariah salah satunya MUI adalah sudah tepat karena salah satu tugas MUI adalah memberi fatwa di bidang keuangan syariah. Lebih lanjut, Penjelasan Pasal 25 UU 19/2008 memberi legitimasi kepada Pemerintah untuk menunjuk lembaga yang memiliki kewenangan dalam menetapkan fatwa di bidang syariah selain MUI dan hal itu tidak dimaksudkan untuk membuat ketidakjelasan tetapi justru memberikan kepastian hukum terhadap fatwa yang diberikan dengan syarat sepanjang lembaga tersebut merupakan lembaga yang dimintai pendapatnya oleh Pemerintah.
Setelah Mahkamah membaca secara saksama dalil Pemohon a quo, hal yang diinginkan Pemohon justru telah diakomodir oleh pembentuk undang-undang melalui Penjelasan Pasal 25 UU 19/2008 di mana norma a quo memberikan landasan dan legitimasi kepada Pemerintah ketika akan membentuk lembaga lain selain MUI untuk memberi fatwa dalam rangka penerbitan Sukuk Negara. Sehingga, Penjelasan Pasal 25 UU 19/2008 memberikan kepastian hukum bagi warga negara Indonesia khususnya yang beragama Islam apabila ingin menggunakan Sukuk Negara sebagai instrumen investasinya. Dengan demikian, Penjelasan Pasal 25 UU 19/2008 khususnya frasa “lembaga lain yang ditunjuk Pemerintah“ dan frasa “Yang dimaksud dengan lembaga yang memiliki kewenangan dalam menetapkan fatwa di bidang syariah adalah Majelis Ulama Indonesia” tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.
[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, telah ternyata tidak terdapat persoalan ketidakpastian hukum, ketidakterlindunginya hak dalam menjalankan kebebasan beribadah menurut agama dan kepercayaannya, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian, dalil-dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.14] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan karena dipandang tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 95/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 23-11-2022

H. Muhammad Ja’far Sukhairi Nasution (Bupati Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatera Utara) dan Atika Azmi Utammi (Wakil Bupati Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatera Utara), dalam hal ini memberikan kuasa kepada Dr. Adi Mansar, SH., M.Hum., dkk, para Advokat dan Penasihat Hukum pada “Adi Masar Law Institute” Legal: Consultant, Election & Research”, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU 10/2016

Pasal 22E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal a quo UU 10/2016 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.11] Menimbang bahwa setelah membaca dan mempelajari secara saksama dalil para Pemohon sebagaimana telah diuraikan pada Paragraf [3.7] di atas, Mahkamah ternyata telah pernah memutus perkara pengujian konstitusionalitas substansi norma Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU 10/2016 yang pada pokoknya mengatur mengenai masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah serta pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah serentak pada bulan November 2024, yaitu antara lain dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 26 Februari 2020, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 20 April 2022, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XX/2022 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 20 April 2022. Oleh karena itu, sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut mengenai pokok permohonan a quo, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan apakah permohonan para Pemohon memenuhi ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK juncto Pasal 78 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021);

[3.12] Menimbang bahwa Pasal 60 UU MK juncto Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan:


Pasal 60 UU MK
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam Undang-Undang yang telah diuji, tidak dapat diajukan pengujian kembali;
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.
Pasal 78 PMK 2/2021
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang atau Perppu yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali;
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda.
Berdasarkan ketentuan tersebut, terhadap pasal yang telah dilakukan pengujian konstitusionalitasnya dan telah diputus oleh Mahkamah hanya dapat dimohonkan pengujian kembali apabila terdapat dasar pengujian dan/atau alasan permohonan yang berbeda. Terhadap hal tersebut, setelah Mahkamah mencermati dengan saksama permohonan para Pemohon, ternyata dasar pengujian yang digunakan dalam permohonan a quo, yaitu Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang belum pernah digunakan sebagai dasar pengujian dalam permohonan yang telah diputus oleh Mahkamah sebagaimana telah disebutkan di atas. Selain itu, terdapat perbedaan alasan permohonan para Pemohon dengan permohonan-permohonan yang telah diputus oleh Mahkamah sebelumnya, antara lain, yang membedakan karena dalam perkara a quo pada pokoknya para Pemohon menguraikan mengenai rezim Pemilu dengan waktu lima tahun sekali dan Pemilihan Kepala Daerah tahun 2024 berpotensi menimbulkan ketidakadilan bagi peserta Pemilihan Kepala Daerah tahun 2020. Dengan demikian, menurut Mahkamah, terdapat perbedaan dasar pengujian dan alasan yang digunakan dalam permohonan a quo dengan permohonan yang telah diputus sebelumnya oleh Mahkamah sebagaimana ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK juncto Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021, sehingga permohonan a quo dapat diajukan kembali;

[3.13] Menimbang bahwa oleh karena terhadap permohonan a quo dapat diajukan kembali, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan persoalan konstitusionalitas yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo, yaitu apakah pengaturan masa jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah serta pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang dilaksanakan serentak secara nasional pada bulan November tahun 2024 berdasarkan Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU 10/2016 berpotensi menimbulkan ketidakadilan bagi para Pemohon sehingga pasal tersebut harus dinyatakan inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD 1945.

[3.14] Menimbang bahwa terhadap dalil-dalil para Pemohon terkait dengan masa jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah serta pelakasanaan Pemilihan Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah serentak pada bulan November tahun 2024 sebagaimana ditentukan dalam Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU 10/2016, Mahkamah telah mempertimbangkan hal tersebut dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021, yang pada pokoknya sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa pengaturan norma mengenai Pilkada dalam BAB VI tentang Pemerintahan Daerah di luar Bab VIIB tentang Pemilihan Umum dalam UUD 1945 memiliki beberapa implikasi. Salah satunya adalah perbedaan terkait waktu penyelenggaraan pemilihan, di mana siklus 5 (lima) tahun sekali yang telah ditentukan oleh konstitusi adalah untuk pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam norma Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 serta untuk pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana ditentukan dalam norma Pasal 18 ayat (3) juncto Pasal 22E ayat (2) UUD 1945. Sedangkan, terkait dengan Pilkada, penetapan waktu pemilihan sepenuhnya diatur dengan undang-undang yang selanjutnya diaktualisasikan dalam UU 10/2016 yang menentukan penyelenggaraan Pilkada secara nasional dilaksanakan secara serentak pada bulan November 2024. Norma a quo merupakan bagian dari ketentuan peralihan (transitional provision) yang memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan peraturan perundang-undangan yang lama, in casu pengaturan mengenai jadwal penyelenggaraan Pilkada serentak nasional yang semula ditetapkan pada tahun 2027 berdasarkan Pasal 201 ayat (7) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU 8/2015) diubah menjadi tahun 2024. Pengaturan norma dalam ketentuan peralihan demikian telah sesuai dengan butir 127 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
[3.12.2] Bahwa dalam rangka penyesuaian tahapan penyelenggaraan Pilkada serentak secara nasional terdapat beberapa daerah yang waktu penyelenggaraan Pilkadanya diundur dan terdapat pula beberapa daerah yang waktu penyelenggaraan Pilkadanya dimajukan. Dalam konteks masa peralihan yang demikian, tidak dapat dihindari dampak adanya penundaan atas pemenuhan hak warga negara untuk memilih (right to vote) dan hak untuk dipilih (right to be candidate) dalam Pilkada. Namun demikian, Mahkamah menilai penundaan atas pemenuhan hak warga negara dimaksud tidak berarti menghilangkan hak warga negara tersebut dan telah sesuai dengan konsep pembatasan hak yang telah diatur dalam ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Sebab, hak warga negara untuk memilih dan dipilih pada hakikatnya merupakan hak yang pemenuhannya dapat dibatasi oleh negara melalui undang-undang. Berkenaan dengan hal tersebut Mahkamah dalam beberapa putusan telah mempertimbangkan terkait konstitusionalitas pembatasan pemenuhan atas hak konstitusional warga negara berdasarkan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 dan ukuran yang selalu digunakan oleh Mahkamah dalam menilai konstitusionalitas pembatasan hak warga negara adalah keseimbangan (balancing) antara pembatasan hak individu warga negara dengan tujuan yang ingin dicapai oleh negara. Dalam konteks demikian, Mahkamah menilai, penundaan atas pemenuhan hak warga negara untuk memilih (right to vote) dan hak untuk dipilih (right to be candidate) pada sebagian Pilkada dalam rangka menuju pelaksanaan Pilkada serentak secara nasional tahun 2024 adalah masih dalam kerangka pembatasan hak konstitusional warga negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Terlebih, setiap warga negara yang telah memenuhi persyaratan untuk mengikuti kontestasi Pilkada, baik sebagai pemilih maupun sebagai calon kepala daerah atau wakil kepala daerah, tetap terakomodir hak konstitusionalnya dalam Pilkada serentak tahun 2024 mendatang.

[3.13.1] Bahwa pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 bertanggal 23 Januari 2014 yang memerintahkan penyelenggaraan pemilu legislatif (Anggota DPR, DPD dan DPRD) serta eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden) dilaksanakan secara serentak mulai tahun 2019 telah mendorong pembentuk undang-undang untuk mendesain ulang penyelenggaraan pemilu, termasuk pula Pilkada. Selanjutnya, melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, pemerintah menyatakan bahwa pembentukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah secara tidak langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah telah mendapatkan penolakan yang luas oleh rakyat karena proses pengambilan keputusannya tidak mencerminkan prinsip demokrasi [vide Alinea ke-3 Penjelasan Umum UU 1/2015] yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang melalui UU 1/2015. Lebih lanjut Pasal 3 ayat (1) UU 1/2015 menentukan bahwa “Pemilihan dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Oleh karena itulah sejak saat itu Pilkada serentak secara nasional beserta segala aspek penyelenggaraannya mulai ditetapkan secara bertahap dari yang awalnya akan dilaksanakan pada tahun 2027 kemudian berdasarkan UU 10/2016 diubah menjadi bulan November tahun 2024;
[3.13.2] Bahwa dalam perkembangannya terkait dengan desain keserentakan penyelenggaraan pemilihan umum, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019, bertanggal 26 Februari 2020 telah memberikan sejumlah pilihan model keserentakan pemilihan umum yang tetap dapat dinilai konstitusional, sebagaimana tertuang dalam pertimbangan hukum Paragraf [3.16] Putusan a quo, sebagai berikut:
1. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan anggota DPRD;
2. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, Gubernur, dan Bupati/Walikota;
3. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, anggota DPRD, Gubernur, dan Bupati/Walikota;
4. Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak lokal untuk memilih anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, pemilihan Gubernur, dan Bupati/Walikota;
5. Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak provinsi untuk memilih anggota DPRD Provinsi dan memilih gubernur; dan kemudian beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum serentak kabupaten/kota untuk memilih anggota DPRD Kabupaten/Kota dan memilih Bupati dan Walikota; dan
6. Pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden.
Bahwa dengan tersedianya berbagai kemungkinan pelaksanaan pemilihan umum serentak sebagaimana dikemukakan di atas, penentuan model yang dipilih menjadi wilayah bagi pembentuk undang-undang untuk memutuskannya. Namun demikian, dalam memutuskan pilihan model atas keserentakan penyelenggaraan pemilihan umum, pembentuk undang-undang perlu mempertimbangkan beberapa hal, antara lain, yaitu: (1) pemilihan model yang berimplikasi terhadap perubahan undang-undang dilakukan dengan partisipasi semua kalangan yang memiliki perhatian atas penyelenggaraan pemilihan umum; (2) kemungkinan perubahan undang-undang terhadap pilihan model-model tersebut dilakukan lebih awal sehingga tersedia waktu untuk dilakukan simulasi sebelum perubahan tersebut benar-benar efektif dilaksanakan; (3) pembentuk undang-undang memperhitungkan dengan cermat semua implikasi teknis atas pilihan model yang tersedia sehingga pelaksanaannya tetap berada dalam batas penalaran yang wajar terutama untuk mewujudkan pemilihan umum yang berkualitas; (4) pilihan model selalu memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih dalam melaksanakan hak untuk memilih sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat; dan (5) tidak acap-kali mengubah model pemilihan langsung yang diselenggarakan secara serentak sehingga terbangun kepastian dan kemapanan pelaksanaan pemilihan umum.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah telah mempertimbangkan bahwa dengan tersedianya berbagai kemungkinan model pemilihan umum serentak sebagaimana dikemukakan di atas, penentuan model yang dipilih menjadi wilayah kewenangan pembentuk undang-undang untuk memutuskannya. Pertimbangan pandangan Mahkamah terhadap penentuan model keserentakan yang dipilih merupakan domain pembentuk Undang-Undang tersebut juga kembali ditegaskan dalam pertimbangan hukum putusan Mahkamah terkait pilihan model keserentakan secara nasional dan lokal sebagaimana pertimbangan hukum Paragraf [3.18] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XIX/2021, bertanggal 24 November 2021, sebagai berikut:
Dalam konteks demikian, keinginan para Pemohon untuk lebih memfokuskan kepada salah satu model tersebut tidak lagi berada dalam kewenangan Mahkamah, tetapi telah diserahkan menjadi kewenangan pembentuk undang-undang. Dengan pendirian demikian, jikalau Mahkamah menentukan salah satu model dari pilihan model yang ditawarkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019, secara implisit, Mahkamah akan terperangkap untuk menyatakan model lain yang tidak dipilih sebagai sesuatu yang bertentangan dengan UUD 1945 (inkonstitusional). Oleh karena itu, sebagaimana dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019, penentuan model yang dipilih menjadi wilayah bagi pembentuk undang-undang untuk memutuskannya. Berkenaan dengan hal tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan, semua pilihan yang dikemukakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 merupakan gagasan yang muncul (original intent) selama perubahan UUD 1945. Sebagai the sole interpreter of the constitution, sekalipun bukan satu-satunya penafsiran yang dipakai untuk menentukan pilihan model atau desain keserentakan pemilihan umum, Mahkamah tidak dapat sepenuhnya melepaskan diri dari penafsiran original intent sebagai salah satu metode untuk memahami konstitusi.
Dengan demikian, menjadi jelas pendirian Mahkamah bahwa pembentuk Undang-Undang memiliki kewenangan untuk menentukan rancang bangun penyelenggaraan pemilu serentak, termasuk juga penyelenggaraan Pilkada serentak secara nasional sesuai dengan batas-batas konstitusional (constitutional boundary) yang telah diatur dan ditetapkan sebagaimana dijelaskan pada Sub-paragraf [3.11.2] di atas;
[3.13.3] Bahwa dalam rangka mewujudkan Pilkada serentak secara nasional, sebenarnya telah disusun desain penyelenggaraan transisi yang terdiri atas 4 (empat) gelombang, yaitu pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2015, tahun 2017, tahun 2018, tahun 2020, dan November 2024. Oleh karena itu, sepanjang Pikada serentak tetap dipertahankan, desain penyelenggaraan Pilkada transisi demikian merupakan proses integrasi jadwal penyelenggaraan Pilkada yang waktunya saling terpisah satu sama lain menuju penyelenggaraan Pilkada serentak secara nasional setiap 5 (lima) tahun yang akan dimulai pada tahun 2024 dan seterusnya. Berdasarkan tahapan transisi tersebut, maka desain pemilihan umum serentak secara nasional yang dipilih oleh pembentuk Undang-Undang pada tahun 2024 adalah pemilu serentak dalam 2 (dua) tahap, yaitu: (i) pemilihan umum serentak untuk memilih Anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan Anggota DPRD serta (ii) beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pilkada serentak secara nasional. Dengan mengacu pada pilihan model keserentakan pemilihan umum sebagaimana dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 tersebut di atas, maka pilihan model pemilihan umum serentak yang ditentukan tersebut termasuk dalam kategori pilihan keenam, yaitu “Pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden”, sehingga pilihan keserentakan tersebut adalah telah sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi dan tentunya tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Kemudian selanjutnya Mahkamah telah mempertimbangkan pula dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XX/2022, yang pada pokoknya mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.10.1] Bahwa waktu penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati dan walikota serentak nasional pada awalnya diatur dalam Pasal 201 ayat (7) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU 8/2015) yang menyatakan, “Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada tahun 2027.” Waktu penyelenggaraan tersebut kemudian diubah dengan ketentuan Pasal 201 ayat (8) UU 10/2016 yang menyatakan, “Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.” Perubahan waktu penyelenggaraan tersebut diikuti dengan perubahan waktu penyelenggaraan pemilihan serentak bertahap yang dimulai pada 2015, 2017, 2018, dan terakhir pada 2020, sehingga berakibat gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota hasil pemilihan pada 2020 hanya menjabat sampai dengan tahun 2024 [vide Pasal 201 ayat (7) UU 10/2016];
[3.10.2] Bahwa keberadaan ayat (7) yang dipersoalkan para Pemohon tidak dapat dipisahkan dari ayat-ayat lainnya dalam Pasal 201 UU 10/2016 yang secara keseluruhan merupakan ketentuan peralihan agar penyelenggaraan kebijakan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota dapat terselenggara secara serentak nasional di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia pada November 2024 [vide Pasal 201 ayat (8) UU 10/2016]. Untuk itu, pada ayat-ayat sebelumnya termasuk yang dipersoalkan para Pemohon ditentukan waktu pelaksanaan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota serentak yang dilakukan secara bertahap pada 2015, 2017, dan 2018 serta 2020 sesuai berakhirnya masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota [vide Pasal 201 ayat (1) sampai dengan ayat (7) UU 10/2016]. Dengan pengaturan tersebut tidak dapat dihindarkan akan terdapat provinsi dan kabupaten/kota yang mengalami kekosongan jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota yang berakhir masa jabatannya pada 2022 dan 2023, yakni yang menyelenggarakan pemilihan pada 2017 dan 2018, sehingga akan diisi oleh penjabat yang berasal dari aparatur sipil negara yang memegang jabatan pimpinan tinggi madya bagi penjabat gubernur dan jabatan pimpinan tinggi pratama bagi penjabat bupati/walikota [vide Pasal 201 ayat (9) sampai dengan ayat (11) UU 10/2016]. Adapun bagi provinsi dan kabupaten/kota yang gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota hasil pemilihan pada 2020 dan dilantik pada 2021 yang seharusnya berakhir masa jabatannya pada 2026 terkena pemotongan (cut off) masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota sehingga tidak sampai 5 (lima) tahun, akan tetapi harus berakhir masa jabatannya pada 2024. Berdasarkan ketentuan peralihan tersebut, pemilihan gubernur, bupati, dan walikota yang diselenggarakan secara serentak nasional dalam rangka untuk meminimalkan biaya baik sosial, politik maupun ekonomi dan diharapkan lebih efisien dari segi waktu dapat terselenggara pada 2024. Dengan demikian, semua provinsi dan kabupaten/kota (kecuali Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) akan mengadakan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota bersamaan waktunya pada November 2024 dan untuk pemilihan seterusnya setiap 5 (lima) tahun sekali secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 ayat (1) UU 10/2016.
Mengenai keserentakan waktu penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menurut Mahkamah tidak hanya merujuk pada waktu pemungutan suara (voting time) melainkan juga waktu pelantikan (inauguration time) yang juga perlu diatur dan disinkronkan keserentakannya. Karena, keserentakan tersebut merupakan langkah awal bagi gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota terpilih untuk mensinergikan kebijakan pemerintah daerah dengan pemerintah pusat serta mensinkronkan tata kelola pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. Dengan disinkronkannya waktu penyelenggaraan baik pemungutan suara maupun pelantikan pasangan calon terpilih maka diharapkan tercipta efektivitas dan efisiensi kebijakan pembangunan antara daerah dan pusat.
[3.10.3] Bahwa berkenaan dengan kebijakan memformulasikan penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota termasuk pemotongan atau pengurangan masa jabatan kepala daerah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 201 UU 10/2016 adalah bersifat transisional atau sementara dan sekali terjadi (einmalig) demi terselenggaranya pemilihan serentak nasional pada 2024, sehingga di pemilihan-pemilihan berikutnya berakhirnya masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota bersamaan dengan periodesasi pemilihan gubernur, bupati, dan walikota yakni setiap 5 (lima) tahun sekali secara serentak nasional.
Bahwa selain merupakan ranah kebijakan pembentuk undang-undang, pemotongan masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati, dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota hasil pemilihan gubernur, bupati, dan walikota pada 2020 sebagaimana dimaksud Pasal 201 ayat (7) UU 10/2016 menurut Mahkamah tidak bertentangan dengan konsepsi hak asasi manusia. Sebagai hak politik maka hak tersebut terkategori sebagai hak yang dapat dikurangi (derogable right) yang berarti hak tersebut boleh dikurangi dan dibatasi pemenuhannya oleh negara berdasarkan alasan-alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, yakni (a) dilakukan dengan undang-undang; (b) untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain; dan (c) untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Menurut Mahkamah, hak untuk memeroleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, in casu masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota karena keadaan atau alasan tertentu dapat dikurangi, termasuk dalam hal ini dalam rangka memenuhi kebijakan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota serentak nasional. Selain itu, pemotongan atau pengurangan masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota juga telah dilakukan melalui undang-undang yakni dalam Pasal 201 ayat (7) UU 10/2016 yang bersifat transisional dan berlaku untuk semua gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota hasil pemilihan gubernur, bupati, dan walikota pada 2020, sehingga oleh karenanya juga tidak bersifat diskriminatif.

[3.10.5] Bahwa sebagai ketentuan peralihan, sebagaimana juga telah dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021 bertanggal 20 April 2022 yang diucapkan sebelumnya, Pasal 201 UU 10/2016 dimaksudkan untuk menghindari kekosongan hukum dan menjamin kepastian hukum serta bersifat transisional dalam rangka penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota serentak nasional pada 2024, sehingga menurut Mahkamah telah memenuhi pemuatan ketentuan peralihan sebagaimana ditentukan dalam Butir 127 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011). Menurut Butir 127 Lampiran II UU 12/2011 ketentuan peralihan memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang lama terhadap Peraturan Perundang-undangan yang baru, yang bertujuan untuk: a. menghindari terjadinya kekosongan hukum; b. menjamin kepastian hukum; c. memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan d. mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara. Khusus mengenai kepastian hukum, adanya pengaturan bahwa masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota yang terpilih berdasarkan hasil pemilihan gubernur, bupati, dan walikota serentak pada 2020 akan berakhir pada penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota serentak nasional pada 2024 telah diatur secara eksplisit dalam Pasal 201 ayat (7) UU 10/2016. Dalam batas penalaran yang wajar ketentuan dimaksud sudah pasti diketahui oleh semua pasangan calon yang ikut berkontestasi dalam pemilihan gubernur, bupati, dan walikota serentak pada 2020. Artinya, pengurangan atau pemotongan waktu masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota sudah diketahui secara pasti oleh masing-masing pasangan calon.
Berkenaan dengan hal di atas, dalam sistem pembentukan peraturan perundang-undangan dikenal adanya fiksi hukum (presumptio iures de iure) yang dijelaskan dengan diundangkannya peraturan perundang-undangan dalam lembaran resmi maka setiap orang dianggap telah mengetahuinya [vide Penjelasan Pasal 81 UU 12/2011]. Menurut Mahkamah para Pemohon telah mengetahui masa jabatan pemilihan bupati dan wakil bupati yang diikuti para Pemohon pada 2020 tidak sampai 5 (lima) tahun, bahkan sebelum mencalonkan diri sebagai pasangan calon, sehingga menjadi tidak relevan untuk dipersoalkan setelah para Pemohon terpilih dan dilantik sebagai Bupati dan Wakil Bupati Halmahera Utara. Terlebih lagi, masa jabatan tidak sampai 5 (lima) tahun juga dialami oleh seluruh gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota hasil pemilihan gubernur, bupati, dan walikota pada 2020, jadi bukan hanya para Pemohon. Mahkamah juga tidak menemukan bukti ketentuan pemotongan atau pengurangan masa jabatan yang dialami para Pemohon sebagai bupati dan wakil bupati hasil pemilihan gubernur, bupati, dan walikota pada 2020 menyebabkan para Pemohon tidak dapat menjalankan visi dan misinya. Terkait dengan hal ini, visi dan misi yang dijanjikan calon kepala daerah yang nantinya akan dijabarkan dalam rencana pembangunan daerah dan alokasi anggaran seharusnya disesuaikan juga dengan masa jabatan yang telah diketahui sebelum penyusunan visi dan misi.
Sementara itu, berkenaan dengan perlindungan hukum sebagai akibat dari tidak terpenuhi masa jabatan sampai dengan 5 (lima) tahun, undang-undang pun telah mengantisipasi secara jelas. Dalam hal ini, pihak yang terkena dampak dari berkurangnya masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah (gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota), menurut Mahkamah bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada kepala daerah dan wakil kepala daerah yang masa jabatannya tidak sampai 5 (lima) tahun, diberikan kompensasi. Berkenaan dengan hal ini, jauh sebelum penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota serentak nasional pada 2024, yaitu sejak pemilihan gubernur, bupati, dan walikota serentak pada 2018, kompensasi yang diterima gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota yang terkurangi masa jabatannya telah diatur dalam Pasal 202 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU 1/2015). Bentuk kompensasi yang akan diperoleh oleh kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2018 berupa diberikan uang sebesar gaji pokok dikalikan jumlah bulan yang tersisa serta mendapatkan hak pensiun untuk satu periode. Selanjutnya untuk penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota serentak nasional pada 2024, kompensasi yang diterima oleh kepala daerah dan wakil kepala daerah yang terkurangi masa jabatannya mengikuti ketentuan Pasal 202 UU 8/2015 yang menyatakan, “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang tidak sampai satu periode akibat ketentuan Pasal 201 diberi kompensasi uang sebesar gaji pokok dikalikan jumlah bulan yang tersisa serta mendapatkan hak pensiun untuk satu periode”.

[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XX/2022 sebagaimana diuraikan di atas, menurut Mahkamah oleh karena esensi permohonan a quo sama dengan permohonan-permohonan yang telah diputus tersebut, maka pertimbangan kedua putusan Mahkamah tersebut menjadi mutatis mutandis berlaku dalam pertimbangan hukum putusan perkara a quo.

[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut mahkamah, telah ternyata Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU 10/2016 sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat, Pilkada yang demokratis, persamaan kedudukan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh UUD 1945. Dengan demikian, permohonan para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

[3.17] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Permohonan Para Pemohon Tidak Dapat Diterima Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 97/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2022 TENTANG PROVINSI SUMATERA BARAT TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 23-11-2022

Dedi Juliasman (Pelajar/Mahasiswa), Wahyu Setiadi (Karyawan Swasta), Dicky Christopher (Petani/Pekebun) dan Basilius Naijiu (Pelajar/Mahasiswa), dalam hal ini memberikan kuasa kepada Dr. Rinto Wardana, S.H., M.H., CRA., dkk., Advokat dan Advokat Magang pada Kantor Advokat dan Konsultan Hukum Rinto Wardana Law Firm untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 5 huruf c UU Provinsi Sumatera Barat

Pasal 18B ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28I ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 29 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang beserta jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 5 huruf c UU Provinsi Sumatera Barat, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.6] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara saksama uraian para Pemohon dalam menjelaskan kerugian hak konstitusionalnya, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.5] di atas, Mahkamah mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut:
Bahwa para Pemohon dalam menjelaskan kualifikasinya sebagai perorangan Warga Negara Republik Indonesia yang sama-sama penduduk dan berdomisili di Kabupaten Kepulauan Mentawai menganggap hak konstitusionalnya sebagaimana dijamin oleh Pasal 18B ayat (2), Pasal 28D ayat (1), serta Pasal 28I ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 dianggap dirugikan karena berlakunya norma Pasal 5 huruf c UU 17/2022 yang menyatakan, “Provinsi Sumatera Barat memiliki salingka nagari yang berlaku, serta kekayaan sejarah, bahasa, kesenian, desa adat/nagari, ritual, upacara adat, situs budaya, dan kearifan lokal yang menunjukkan karakter religius dan ketinggian adat istiadat masyarakat Sumatera Barat”. Para Pemohon menjelaskan selama ini aktif melakukan kegiatan-kegiatan dalam bentuk pengenalan budaya tato Mentawai, pembuatan film dokumenter tentang adat-istiadat budaya Mentawai, serta aktif menyelenggarakan seminar atau diskusi publik terkait dengan pemberdayaan, penguatan adat-istiadat Mentawai, pengelolaan budaya dan pelestarian budaya yang menjadi ciri khas daerah Mentawai. Oleh karena itu, para Pemohon memohon agar Mahkamah mengabulkan permohonannya (petitum) secara bersyarat dengan mengecualikan berlakunya norma Pasal 5 huruf c UU 17/2022 “bagi Kabupaten Kepulauan Mentawai yang memiliki adat-istiadat, nilai falsafah, kekayaan sejarah, bahasa, kesenian, desa adat, ritual, upacara adat, situs budaya dan kearifan lokal yang berbeda karakteristiknya dengan 11 kabupaten dan 7 kota dalam wilayah Provinsi Sumatera Barat”.
Bahwa setelah Mahkamah mencermati secara saksama uraian kedudukan hukum para Pemohon di atas, telah ternyata para Pemohon tidak dapat menguraikan secara spesifik adanya hubungan sebab akibat (causal verband) perihal berlakunya ketentuan Pasal 5 huruf c UU 17/2022 yang dianggap telah merugikan hak konstitusional para Pemohon. Setidak-tidaknya, dalam batas penalaran yang wajar, para Pemohon tidak dapat menguraikan potensi anggapan kerugian hak konstitusional yang dialami dengan berlakunya norma Pasal 5 huruf c UU 17/2022 yang dimohonkan pengujiannya. Terlebih lagi, para Pemohon dalam menjelaskan anggapan kerugian hak konstitusionalnya mengatasnamakan kepentingan Kabupaten Kepulauan Mentawai. Dalam kaitan ini, penting untuk ditegaskan sebagaimana pendirian Mahkamah dalam beberapa putusannya, di antaranya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-XVIII/2020, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 25 November 2020 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XIX/2021, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 15 Desember 2021, yang dapat mengajukan permohonan pengujian atas nama kepentingan pemerintahan daerah, in casu kepentingan Kabupaten Kepulauan Mentawai adalah Pemerintahan Daerah Kabupaten Kepulauan Mentawai, yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Kepulauan Mentawai dan Bupati Kabupaten Kepulauan Mentawai. Selain itu, karena negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang [vide Pasal 18B ayat (2) UUD 1945] maka masyarakat hukum adat berdasarkan Pasal 51 ayat (1) huruf b UU MK dapat mengajukan diri sebagai pemohon sepanjang berkenaan dengan kepentingan masyarakat hukum adat dan kesatuan masyarakat hukum adat tersebut masih hidup sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan yang diatur dalam undang-undang. Berkenaan dengan permohonan a quo, Mahkamah tidak menemukan bukti bahwa para Pemohon adalah kesatuan masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud ketentuan a quo, melainkan hanya perorangan warga negara Indonesia yang concern terhadap adat-istiadat, pengelolaan dan pelestarian budaya yang menjadi ciri khas Mentawai. Oleh karena itu, terlepas dari terbukti atau tidaknya inkonstitusionalitas norma yang dimohonkan pengujian, menurut Mahkamah, para Pemohon bukanlah pihak yang relevan untuk mempersoalkan adanya kerugian hak konstitusional dengan berlakunya norma Pasal 5 huruf c UU 17/2022. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.
[3.7] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak dan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 101/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 23-11-2022

Ghea Giasty Italiane, S.H., Desy Febriani Damanik, S.H., dan Anyelir Puspa Kemala, S.H., untuk selanjutnya disebut Para Pemohon.

Pasal 169 huruf n dalam UU Pemilu

Pasal 7, Pasal 28D ayat (1), dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materiil UU Pemilu dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.6] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara saksama uraian para Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukum dan kerugian hak konstitusionalnya, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.5] di atas, selanjutnya Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.6.1] Bahwa norma yang diajukan para Pemohon berkenaan dengan ketentuan persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang sebelumnya belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama. Dalam mengajukan permohonan pengujian ketentuan tersebut, para Pemohon berkedudukan sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk [vide bukti P-7, P-10, dan P-11]. Para Pemohon menjelaskan memiliki hak konstitusional untuk memilih dan hak untuk memperoleh kepastian hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang dibatasi dan dianggap dirugikan dengan berlakunya Pasal a quo, sehingga para Pemohon membutuhkan kepastian apakah Presiden yang telah menjabat 2 (dua) periode dapat mencalonkan lagi sebagai calon Wakil Presiden.
[3.6.2] Bahwa terkait dengan kualifikasi para Pemohon sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang memiliki hak untuk memilih, menurut Mahkamah norma Pasal 169 huruf n UU 7/2017 sama sekali tidak membatasi atau menghilangkan hak konstitusional para Pemohon untuk menggunakan hak pilihnya karena masih terdapat pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang dapat dipilih oleh para Pemohon, sehingga para Pemohon tetap dapat menggunakan hak pilihnya. Artinya, selama dan sepanjang masih terdapat pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden, para Pemohon sama sekali tidak dibatasi atau kehilangan hak pilihnya untuk memilih pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden dalam pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden.
[3.6.3] Bahwa berkenaan dengan penjelasan syarat kerugian konstitusional para Pemohon apabila permohonan dikabulkan akan menjadikan warga negara memilih pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden tanpa adanya keraguan dan ketidakpastian hukum adalah kekhawatiran yang tidak relevan dikaitkan dengan kedudukan hukum para Pemohon yang berkedudukan sebagai perseorangan warga negara yang tetap dapat menggunakan hak pilihnya sepanjang memenuhi persyaratan yang telah ditentukan peraturan perundang-undangan. Terlebih lagi keberadaan norma Pasal 169 huruf n UU 7/2017 sama sekali tidak menghilangkan hak konstitusional para Pemohon untuk menggunakan hak pilihnya. Karena, norma a quo diperuntukan bagi seseorang yang pernah atau sedang menjabat menjadi Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan yang sama dan memiliki kesempatan untuk dicalonkan kembali menjadi calon Presiden atau calon Wakil Presiden. Dengan demikian, dalam batas penalaran yang wajar, menurut Mahkamah, keraguan dan ketidakpastian hukum yang dijelaskan para Pemohon tersebut hanya mungkin dapat dinilai telah menimbulkan anggapan kerugian konstitusional bagi perseorangan warga negara yang pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama dua kali masa jabatan dan memiliki kesempatan untuk dicalonkan kembali menjadi calon Presiden atau calon Wakil Presiden.
Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, berlakunya Pasal 169 huruf n UU 7/2017 sama sekali tidak merugikan hak konstitusional para Pemohon. Dengan demikian, para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo.

[3.7] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 102/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 23-11-2022

Hendra Juanda, Yuliana Efendi, dan Fredi Supriadi (Perangkat Desa dan Petani), dan Wibowo Nugroho dan Utep Ruspendi (Karyawan Swasta dan Petani) untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 1 angka 1 s.d. angka 4, Pasal 5 s.d Pasal 95 UU 6/2014

Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, Pasal 18, Pasal 18B ayat (2), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1) s.d. ayat (3), Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 1 angka 1 s.d. angka 4, Pasal 5 s.d Pasal 95 UU 6/2014 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.3] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan kedudukan hukum (legal standing) dan pokok permohonan para Pemohon, terlebih dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Bahwa pasal atau norma UU 6/2004 yang di mohon kan para Pemohon untuk diuji konstitusionalitasnya berjumlah 95 (sembilan puluh lima) pasal yang dibagi ke dalam sebelas kelompok. Setelah dicermati secara saksama, dari semua pasal atau norma UU 6/2004 yang diuji konstitusionalitasnya, para Pemohon tidak menguraikan secara jelas pertentangan masing-masing norma atau pasal tersebut dengan UUD 1945. Bahkan, sebagian besar pasal atau norma yang diuji konstitusionalitasnya hanya ditulis redaksional isinya tanpa disertai uraian apapun mengenai isi pasal tersebut. Terlebih lagi para Pemohon tidak menguraikan sama sekali pertentangannya dengan UUD 1945 yang dijadikan sebagai dasar pengujian. Hal demikian, mengakibatkan Mahkamah tidak dapat mengetahui dengan pasti pertentangan semua pasal atau norma yang diuji dengan UUD 1945;
2. Bahwa selain masalah sebagaimana termaktub dalam angka 1 di atas, terdapat ketidaksesuaian antara posita (duduk perkara) dengan petitum. Hal demikian menurut Mahkamah, salah satunya, bermula dari uraian pada bagian posita yang tidak menguraikan secara jelas pertentangan masing-masing norma atau pasal tersebut dengan UUD 1945 sehingga hal yang diinginkan oleh para Pemohon dalam petitum pun menjadi tidak jelas;
3. Bahwa salah satu bukti ketidakjelasan hal yang diinginkan para Pemohon dapat dibaca dari Petitum Nomor 2, yang dalam hal ini para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan, “Bertentangan dengan Pasal 18 dan Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945”, namun para Pemohon tidak menyatakan secara spesifik norma atau pasal dan/atau ayat mana yang dinilai bertentangan dengan Pasal 18 dan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dimaksud;
4. Bahwa selain tidak menyatakan secara spesifik norma atau pasal dan/atau ayat mana yang dinilai bertentangan dengan Pasal 18 dan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, dalam permohonan a quo para Pemohon juga menggunakan dasar pengujian Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/2000 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 128/PUU-XIII/2015, yang menurut Mahkamah keduanya tidak tepat digunakan sebagai dasar pengujian pasal atau norma undang-undang;
5. Bahwa dengan uraian sebagaimana dikemukakan pada angka1, angka2, angka 3, dan angka 4 di atas, secara umum penyusunan permohonan khususnya uraian pada posita dan petitum tidak sesuai dengan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, antara lain para Pemohon tidak menyatakan adanya pertentangan antara pasal dan/atau ayat yang dimohonkan pengujian dengan UUD 1945. Padahal untuk dapatnya suatu pasal dan/atau ayat undang-undang dinyatakan “tidak memiliki kekuatan hukum mengikat”, terlebih dahulu pasal dan/atau ayat tersebut harus terbukti dan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Beberapa hal tersebut di atas mengakibatkan Mahkamah tidak dapat memahami apa sesungguhnya yang dimohonkan para Pemohon, dan karenanya Mahkamah menilai permohonan para Pemohon tidak jelas atau obscuur libel.
[3.4] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah tidak dapat memeriksa dan/atau mempertimbangkan kedudukan hukum dan pokok permohonan para Pemohon.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 103/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2020 TENTANG PERUBAHAN KETIGA UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 23-11-2022

Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, S.H. yang selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 10 ayat (1) huruf a, Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 87 huruf b UU MK

Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 24C ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (4), dan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap Pasal 10 ayat (1) huruf a, Pasal 57 angka 1 dan angka 2 UU 7/2020, dan Pasal 87 huruf b UU MK dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
Dalam Provisi
[3.7] Menimbang bahwa Pemohon mengajukan permohonan provisi yang pada pokoknya menyatakan permohonan Pemohon sangat urgent untuk diputus karena berkaitan dengan independensi Hakim Konstitusi karena berkaitan dengan tindakan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang melakukan pergantian Hakim Konstitusi yang sedang menjabat dengan cara maupun prosedur di luar ketentuan Pasal 23 UU MK, sehingga perkara a quo perlu pemeriksaan sangat prioritas dan segera menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan yang bertujuan mengganti Hakim Konstitusi. Terhadap alasan permohonan Provisi Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat perkara a quo telah diperiksa dan diputus secara cepat, namun Mahkamah tidak sependapat bahwa alasan untuk mempercepat tersebut adalah dikarenakan adanya kasus konkret yang berkaitan dengan pemberhentian hakim yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 23 UU MK. Di samping itu, pendirian Mahkamah selama ini berkenaan dengan putusan provisi adalah dikarenakan adanya kepentingan mendesak untuk menangguhkan berlakunya suatu norma agar tidak semakin berdampaknya norma tersebut apabila dibiarkan tetap berlaku. Oleh karena itu, permohonan Provisi Pemohon tersebut harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.

Dalam Pokok Permohonan
[3.8]…
[3.13] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca secara saksama permohonan Pemohon dan memeriksa bukti-bukti yang diajukan, pada intinya permohonan a quo menguji konstitusionalitas norma Pasal 10 ayat (1) huruf a, Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 87 huruf b UU MK yang menurut Pemohon bertentangan secara bersyarat sebagaimana yang dimohonkan dalam petitum permohonan Pemohon dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 24C ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (4), dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 dengan alasan-alasan sebagaimana terurai pada Paragraf [3.8]. Terhadap dalil-dalil Pemohon tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.13.1] Bahwa berkenaan dengan dalil Pemohon mengenai norma Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK yang pada pokoknya menjelaskan kewenangan Mahkamah untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945 apabila tidak dimaknai termasuk pengaduan konstitusional (constitutional complaint) bertentangan dengan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945. Berkenaan dengan dalil Pemohon a quo penting bagi Mahkamah untuk terlebih dahulu menegaskan bahwa terkait dengan persoalan pengaduan konstitusional, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-XVII/2019 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 28 November 2019, mempertimbangkan sebagai berikut.
[3.12] Menimbang bahwa sebelum memberikan pertimbangan lebih jauh terhadap pokok permohonan para Pemohon, terlebih dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan hal-hal yang berkait dengan fungsi Mahkamah sebagai penafsir konstitusi dan sebagai pelindung hak-hak konstitusional warga negara, dalam hal ini bukan hanya hak-hak konstitusional yang diturunkan dari hak-hak yang tergolong sebagai hak asasi manusia tetapi juga hak-hak lain yang oleh Konstitusi (in casu UUD 1945) dinyatakan sebagai hak konstitusional warga negara, baik secara eksplisit maupun implisit. Pertimbangan terhadap hal-hal tersebut harus diberikan karena para Pemohon menggunakannya sebagai titik tolak dalil-dalil yang dibangun dalam permohonannya. Atas dasar itu para Pemohon kemudian mendalilkan bahwa Mahkamah harus diberi kewenangan mengadili pengaduan konstitusional (constitutional complaint) dengan argumentasi bahwa pengaduan konstitusional adalah bagian dari pengujian undang-undang sehingga Mahkamah dapat “memperluas” kewenangannya yang karenanya mencakup kewenangan mengadili pengaduan konstitusional melalui penafsiran konstitusional terhadap penjelasan undang-undang. Dalam hubungan ini, penting bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan hal-hal berikut:
[3.12.1] Bahwa para Pemohon menyatakan Mahkamah sebagai penafsir konstitusi. Pernyataan demikian adalah benar adanya. Sesuai dengan prinsip supremasi konstitusi (supremacy of the constitution), yang merupakan bagian tak terpisahkan dari syarat negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democratic state), secara umum berlaku postulat bahwa praktik penyelenggaraan negara tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Dengan kata lain, konstitusi harus benar-benar terjelma dalam praktik penyelenggaraan negara, bukan sekedar sebagai “dokumen suci” yang tertulis indah di atas kertas. Pertanyaannya kemudian, siapakah yang akan menjaga bahwa konstitusi benar-benar ditaati dalam praktik penyelenggaraan negara? Kecuali di negara-negara yang menganut prinsip supremasi parlemen (parliamentary supremacy), jawaban atas pertanyaan itu adalah pengadilan – terlepas dari soal apakah pengadilan itu dilembagakan tersendiri ke dalam wujud mahkamah konstitusi atau tidak. Dari dasar pemikiran inilah peran Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir konstitusi (interpreter of the constitution) berasal. Dari dasar pemikiran ini pula lahir ajaran atau doktrin supremasi pengadilan (judicial supremacy), ajaran yang saat ini telah umum diterima sebagai prinsip atau asas di negara demokrasi yang berdasar atas hukum yang menganut atau memberlakukan prinsip supremasi konstitusi, termasuk Indonesia. Prinsip supremasi pengadilan ini diterima dalam penafsiran konstitusi sebab jika semua lembaga negara sama-sama diberi kewenangan untuk menafsirkan masalah-masalah yang berkait dengan konstitusi maka yang akan terjadi adalah pertengkaran atau pertikaian politik (political bickering) tanpa akhir. Hal itu bukan berarti lembaga-lembaga atau organ-organ negara lainnya tidak boleh memberi penafsiran terhadap konstitusi dalam pelaksanaan kewenangannya. Hak demikian tetap ada pada setiap lembaga atau organ negara namun penafsiran terakhir yang mengikat adalah penafsiran yang dibuat oleh pengadilan, in casu Mahkamah Konstitusi.
Peran menafsirkan konstitusi tidaklah dilakukan oleh pengadilan (Mahkamah Konstitusi) sebagai kegiatan tersendiri melainkan bersamaan dengan pelaksanaan kewenangannya mengadili perkara-perkara konstitusi yang termasuk ke dalam ruang lingkup kewenangannya. Menafsirkan konstitusi, secara umum, adalah kegiatan mengelaborasi pengertian-pengertian yang terkandung dalam konstitusi dan tujuan-tujuan yang hendak diwujudkannya melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepada pengadilan, in casu Mahkamah Konstitusi. Dengan kata lain, melalui putusan-putusan Mahkamah Konstitusi atas kasus-kasus yang berada dalam lingkup kewenangannya itulah ditemukan penafsiran Mahkamah Konstitusi atas elaborasinya terhadap pengertian-pengertian yang terkandung dalam konstitusi. Dengan demikian, dalam menafsirkan konstitusi, Mahkamah Konstitusi dibatasi oleh kewenangan yang dimilikinya, meskipun kewenangan itu sendiri juga tunduk pada penafsiran Mahkamah Konstitusi karena acapkali konstitusi tidak memberi pengertian dan batas-batas yang tegas dari kewenangan dimaksud.
[3.12.2] Bahwa para Pemohon menyatakan Mahkamah adalah pelindung hak-hak konstitusional warga negara. Pernyataan ini pun benar adanya. Sebab, tatkala suatu hak ditegaskan oleh atau dimasukkan ke dalam Konstitusi, in casu UUD 1945, hak-hak tersebut menjadi bagian tak terpisahkan dari Konstitusi. Oleh karena itu, seluruh cabang kekuasaan negara dan warga negara terikat oleh kewajiban konstitusional untuk taat kepadanya, dalam pengertian menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak dimaksud. Mahkamah, sebagaimana halnya mahkamah konstitusi di berbagai negara, dibentuk dengan maksud menjamin penaatan terhadap Konstitusi. Oleh karena itu, dengan sendirinya termasuk di dalamnya menjamin penaatan terhadap keberadaan hak-hak konstitusional dimaksud. Namun, dalam melaksanakan peran ini pun Mahkamah dibatasi oleh kewenangan yang diberikan kepadanya oleh Konstitusi.
[3.12.3] Bahwa para Pemohon menyatakan pengaduan konstitusional merupakan bagian dari pengujian undang-undang. Secara akademik, pernyataan ini juga benar adanya. Sebab, baik pengujian konstitusionalitas undang-undang maupun pengaduan konstitusional pada dasarnya adalah bagian dari pengujian konstitusional (constitutional review) yang merupakan fungsi utama mahkamah konstitusi di manapun di dunia. Dari fungsi constitutional review inilah diturunkan dua “tugas” utama Mahkamah Konstitusi. Pertama, menjamin bekerjanya hubungan saling mempengaruhi dan saling mengimbangi antarcabang kekuasaan negara, dengan kata lain menjaga bekerjanya mekanisme “checks and balances” antarcabang kekuasaan negara. Dalam konteks Indonesia, dari tugas inilah diturunkan kewenangan Mahkamah memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Kedua, tugas untuk melindungi hak-hak individu warga negara dari kemungkinan pelanggaran oleh cabang-cabang kekuasaan negara. Dalam konteks Indonesia, dari tugas inilah diturunkan, antara lain, kewenangan Mahkamah menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Dalam sistem hukum sejumlah negara, dari tugas ini pula diturunkan kewenangan mengadili pengaduan konstitusional yang acapkali bertaut erat dengan kewenangan pengujian konstitusionalitas undang-undang.

Mencermati pertimbangan hukum di atas, secara substansial, menurut Mahkamah pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-XVII/2019 telah menjawab secara komprehensif isu konstitusionalitas yang dipermasalahkan oleh Pemohon. Mahkamah dalam kedudukannya adalah sebagai penafsir konstitusi (interpreter of the constitution) dan sekaligus pelindung hak-hak konstitusional (guardian of constitutional rights) memiliki kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Namun demikian, Mahkamah pun menyadari, pengaduan konstitusional merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara. Dalam hal ini, pengaduan konstitusional merupakan suatu wadah bagi warga negara yang merasa hak konstitusionalnya atau hak yang diberikan oleh konstitusi dilanggar atau diabaikan dalam penyelenggaraan negara.
Sekalipun menyadari arti penting pengaduan konstitusional, politik hukum ketentuan judicial review di Indonesia pada dasarnya menganut dua lembaga secara terpisah yang berwenang menilai atau menguji peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 Mahkamah Konstitusi berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Sementara itu, sebagaimana diatur dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Ihwal pengaduan konstitusional sama sekali tidak diatur dalam UUD 1945. Meskipun dalam praktik, sejumlah fakta menunjukkan, beberapa perkara pengujian undang-undang yang diajukan ke Mahkamah, secara substansi merupakan pengaduan konstitusional. Namun dikarenakan UUD 1945 dan UU MK termasuk sejumlah undang-undang dalam rumpun kekuasaan kehakiman tidak mengatur perihal kewenangan untuk menyelesaikan perkara pengaduan konstitusional, Mahkamah menyatakan tidak berwenang untuk memeriksa permohonan-permohonan dimaksud.
Dengan telah adanya sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi yang pada pokoknya telah berpendirian bahwa Mahkamah tidak berwenang untuk memeriksa permohonan pengaduan konstitusional, di satu sisi telah menyebabkan kekosongan hukum untuk memenuhi dan sekaligus menjawab kebutuhan dimaksud. Sementara di sisi lain, kebutuhan menyelesaikan perkara pengaduan konstitusional adalah sebuah keniscayaan dalam melindungi hak-hak konstitusional warga dan sekaligus sebagai salah satu wujud nyata pemenuhan prinsip negara hukum. Keniscayaan demikian tidak dapat dilepaskan dari ketentuan dan sekaligus amanah dari norma Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Oleh karena itu, diperlukan dasar hukum yang jelas dan tegas berkenaan dengan pengaduan konstitusional dimaksud.
Jikalau dibaca secara keseluruhan substansi permohonan perihal norma Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK, Pemohon menghendaki agar norma a quo juga dimaknai termaktub pengaduan konstitusional di dalamnya. Dalam batas penalaran yang wajar, jika dimaknai sebagaimana yang dikehendaki Pemohon tersebut, maka Mahkamah secara langsung akan menambah kewenangan Mahkamah. Berkenaan dengan hal tersebut, untuk saat ini Mahkamah berpendirian, menjadi lebih baik jika kewenangan pengaduan konstitusional dimaksud ditambahkan oleh pembentuk undang-undang dengan cara merevisi UU MK. Pilihan demikian menjadi masuk akal karena pengaduan konstitusional tidak hanya sekadar menambahkan kewenangan tetapi harus dipertimbangkan secara lebih komprehensif kemungkinan-kemungkinan konsekuensinya dalam desain besar penegakan hukum dan kekuasaan kehakiman. Pertimbangan demikian lebih mungkin dilakukan oleh pembentuk undang-undang dengan melibatkan partisipasi berbagai pihak yang memiliki perhatian (concern) terhadap kekuasaan kehakiman.
Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah dalil Pemohon mengenai norma Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK yang pada intinya menghendaki wewenang Mahkamah untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945 termasuk dimaknai pengaduan konstitusional adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.13.2] Bahwa Pemohon juga mendalilkan frasa “amar putusan” dalam Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) UU MK inkonstitusional karena paradigma yang terbentuk saat ini pihak eksekutor hanya menjalankan apa yang ada dalam amar putusan tanpa memperhatikan pertimbangan putusan. Menurut Pemohon, pertimbangan hukum dalam judicial review memiliki kekuatan hukum mengikat yang sama dengan Amar Putusan untuk menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum yang adil. Terhadap permasalahan konstitusionalitas tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
1. Bahwa rumusan norma dalam Pasal 57 ayat (1) UU MK telah jelas dan tegas mengatur Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai menyatakan inkonstitusionalnya pengujian materiil suatu undang-undang terhadap UUD 1945, sedangkan Pasal 57 ayat (2) UU MK adalah mengatur Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai menyatakan inkonstitusionalnya pengujian formil suatu undang-undang. Dengan demikian, jika suatu undang-undang, baik materi muatan maupun pembentukannya, terbukti bertentangan dengan UUD 1945 maka guna menegakkan prinsip supremasi konstitusi yang dilaksanakan melalui pengadilan yang bebas dan merdeka, kepada Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan untuk menyatakan undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuataan hukum mengikat;
2. Bahwa terkait dengan Putusan Mahkamah, berdasarkan Pasal 48 ayat (2) UU MK, Putusan Mahkamah Konstitusi harus memuat a. kepala putusan berbunyi; “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, b. identitas pihak, c. ringkasan permohonan, d. pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan, e. pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan, f. amar putusan; dan g. hari, tanggal putusan, nama hakim konstitusi, dan panitera. Dengan demikian, dalam menentukan Amar Putusan yang bersifat final and binding (terakhir dan mengikat) dibutuhkan dasar putusan yang terletak dalam pertimbangan hukum. Selain itu, pertimbangan hukum tersebut dapat dianggap sebagai tafsir atau interpretasi hakim terhadap suatu perkara berdasarkan UUD 1945;
3. Bahwa terdapat dua jenis pertimbangan hukum, pertama adalah ratio decidendi, yaitu pendapat hukum yang langsung berkaitan dengan kesimpulan dan amar sehingga tidak dapat dipisahkan dari amar putusan serta mempunyai kekuatan mengikat secara hukum dan kedua adalah obiter dictatum, yaitu pendapat hukum yang tidak berkenaan langsung dengan perkara maupun dengan amar putusan serta tidak mengikat. Oleh karenanya, jika dalam pertimbangan hukum telah ditemukan adanya persoalan konstitusionalitas norma maka akan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
4. Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah tidak ada permasalahan konstitusionalitas norma Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) UU MK yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon serta tidak terdapat pula relevansinya dalil Pemohon dengan inkonstitusionalitas norma Pasal a quo. Oleh karenanya telah jelas apabila permohonan Pemohon a quo dikabulkan oleh Mahkamah, justru akan mengubah konstruksi norma UU MK karena berdampak pada norma lainnya. Dengan demikian, dalil Pemohon mengenai norma Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) UU MK adalah tidak beralasan menurut hukum
[3.13.3] Bahwa selanjutnya Pemohon memohon kepada Mahkamah agar norma Pasal 87 huruf b UU MK dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ditafsirkan lain dari yang termaktub dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 96/PUU-XVIII/2020 Paragraf [3.22] hlm. 130, yakni Hakim Konstitusi yang sedang menjabat melanjutkan masa jabatannya tanpa mengenal periodisasi sehingga tidak dapat digantikan atau diberhentikan di luar dari ketentuan dalam Pasal 23 Undang-Undang a quo. Berkenaan dengan permohonan tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
Secara normatif, Pasal 87 huruf b UU MK menyatakan, “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku: b. Hakim konstitusi yang sedang menjabat pada saat Undang-Undang ini diundangkan dianggap memenuhi syarat menurut Undang-Undang ini dan mengakhiri masa tugasnya sampai usia 70 (tujuh puluh) tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 (Iima belas) tahun”. Dalam perkembangannya, norma Pasal 87 huruf b UU MK tersebut diajukan pengujian konstitusionalitasnya oleh beberapa Pemohon, di antaranya dalam Permohonan Nomor 96/PUU-XVIII/2020. Setelah melalui serangkaian persidangan, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan berkenaan dengan norma Pasal 87 huruf b UU MK. Artinya, Mahkamah Konstitusi menyatakan norma Pasal 87 huruf b UU MK adalah tidak bertentangan dengan UUD 1945 (konstitusional). Salah satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi berkenaan dengan norma Pasal 87 huruf b UU MK dapat ditelisik dalam Paragraf [3.18] yang antara lain menyatakan:
“…, Mahkamah dapat memahami bahwa keberadaan Pasal 87 huruf b UU 7/2020 adalah sebagai norma “jembatan/penghubung” dalam rangka memberlakukan ketentuan Pasal 15 UU 7/2020 yang mengubah Pasal 15 UU 8/2011. Dapat juga dikatakan bahwa dari sisi penafsiran sistematis, Pasal 87 huruf b UU 7/2020 merupakan “jembatan” yang mentransformasikan konsep lama menjadi konsep baru. Anutan konsep lama adalah periodisasi jabatan hakim, sedangkan anutan konsep baru adalah non-periodisasi jabatan hakim”.
Berdasarkan pendapat tersebut, politik hukum pembentuk UU MK [Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU 7/2020)] dari masa jabatan hakim yang mengenal periodisasi menjadi non-periodisasi jabatan hakim adalah sesuatu yang konstitusional. Politik hukum yang demikian sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XIV/2016, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 19 Juli 2017, yang antara lain menyatakan independensi dan/atau kemerdekaan kekuasaan kehakiman antara lain ditentukan oleh proses seleksi (the manner of the appointment or the mode of appointing judges) dan masa jabatan (term of office or the tenure judges). Oleh karena itu, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XIV/2016 ditegaskan lebih jauh bahwa masa jabatan (tenure of office) Hakim Konstitusi sebaiknya hanya satu periode dengan tenggat waktu lebih lama. Sebagaimana maksud dan substansi dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XIV/2016, sebagai bagian dari upaya mewujudkan kemandirian kekuasaan kehakiman, in casu Mahkamah Konstitusi, pembentuk UU MK menghapus rezim periodisasi, yaitu masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya satu kali masa jabatan berikutnya.
Dengan hapusnya rezim periodisasi yang pemberlakuannya terhadap hakim yang diangkat berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU 24/2003) dijembatani oleh norma Pasal 87 huruf b UU 7/2020 yang telah dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945 atau konstitusional, Mahkamah merasa perlu memberitahukan berupa konfirmasi kepada masing-masing lembaga pengusul. Dalam hal ini Mahkamah menyatakan:
Tindakan hukum demikian berupa konfirmasi oleh Mahkamah kepada lembaga yang mengajukan hakim konstitusi yang saat ini sedang menjabat. Konfirmasi yang dimaksud mengandung arti bahwa hakim konstitusi melalui Mahkamah Konstitusi menyampaikan pemberitahuan ihwal melanjutkan masa jabatannya yang tidak lagi mengenal adanya periodisasi kepada masing-masing lembaga pengusul (DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung);
Kemudian, beberapa waktu setelah pengucapan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 96/PUU-XVIII/2020, Mahkamah mengirim surat kepada lembaga pengusul (yaitu DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung), dengan perihal “Pemberitahuan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 96/PUU-XVIII/2020”, tertanggal 21 Juli 2022. Dalam surat Pemberitahuan dimaksud, sesuai dengan amar dan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 96/PUU-XVIII/2020, mengharuskan Mahkamah untuk melaksanakan tindakan hukum berupa konfirmasi kepada lembaga yang mengusulkan dan mengajukan hakim konstitusi yang saat ini sedang menjabat. Konfirmasi dimaksud hanya mengandung arti bahwa hakim konstitusi melalui Mahkamah Konstitusi menyampaikan pemberitahuan ihwal melanjutkan masa jabatannya yang tidak lagi mengenal adanya periodisasi kepada masing-masing lembaga pengusul (DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung).
Selain itu, untuk menghindari perdebatan dan kemungkinan adanya kekeliruan dalam memaknai perihal berakhirnya masa jabatan hakim konstitusi sesuai dengan ketentuan Pasal 87 huruf b UU MK, dalam Surat Pemberitahuan dimaksud Mahkamah memberitahukan masa jabatan masing-masing hakim konstitusi berdasarkan UU 24/2003 serta perubahan dan berakhirnya masa jabatan masing-masing hakim konstitusi setelah tidak adanya periodisasi berdasarkan UU MK, yaitu sebagai berikut:
Bagi Hakim Konstitusi yang diajukan DPR, yaitu:
1. Arief Hidayat
- berdasarkan UU 24/2003 menjabat mulai 1 April 2013 sampai dengan 27 Maret 2023
- berdasarkan UU 7 Tahun 2020 menjabat sampai dengan 03 Februari 2026
2. Aswanto
- berdasarkan UU 24/2003 menjabat mulai 21 Maret 2014 sampai dengan 21 Maret 2024
- berdasarkan UU 7 Tahun 2020 menjabat sampai dengan 21 Maret 2029
3. Wahiduddin Adams
- berdasarkan UU 24/2003 menjabat mulai 21 Maret 2014 sampai dengan 21 Maret 2024
- berdasarkan UU 7 Tahun 2020 menjabat sampai dengan 17 Januari 2024.
Bagi Hakim Konstitusi yang diajukan Presiden, yaitu:
1. Saldi lsra
- berdasarkan UU 24/2003 menjabat mulai 11 April 2017 sampai dengan 11 April 2022
- berdasarkan UU 7/2020 menjabat sampai dengan 11 April 2032
2. Enny Nurbaningsih
- berdasarkan UU 24/2003 menjabat 13 Agustus 2018 sampai dengan 13 Agustus 2023
- berdasarkan UU 7/2020 menjabat sampai dengan 27 Juni 2032
3. Daniel Yusmic Pancastaki Foekh
- berdasarkan UU 24/2003 menjabat 7 Januari 2020 sampai dengan 7 Januari 2025
- berdasarkan UU 7/2020 menjabat sampai dengan 15 Desember 2034.
Bagi Hakim Konstitusi yang diajukan Mahkamah Agung, yaitu:
1. Anwar Usman
- berdasarkan UU 24/2003 menjabat mulai 6 April 2011 sampai dengan 7 April 2021
- berdasarkan UU 7/2020 menjabat sampai dengan 7 April 2026
2. Suhartoyo
- berdasarkan UU 24/2003 menjabat mulai 7 Januari 2015 sampai dengan 7 Januari 2025
- berdasarkan UU 7/2020 menjabat sampai dengan 15 November 2029
3. Manahan M.P. Sitompul
- berdasarkan UU 24/2003 menjabat mulai 28 April 2015 sampai dengan 8 Desember 2023
- berdasarkan UU 7/2020 menjabat sampai dengan 8 Desember 2023.

Sekalipun Mahkamah telah menjelaskan dan menegaskan berakhirnya masa jabatan masing-masing hakim konstitusi dimaksud, hal demikian tidak berarti hakim konstitusi tidak dapat diberhentikan sebelum berakhirnya masa jabatan, yaitu sebelum mencapai usia 70 (tujuh puluh) tahun atau sebelum selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 (Iima belas) tahun. Dalam hal ini pemberhentian hakim konstitusi dalam masa jabatannya dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan UU MK. Selain itu, sebagaimana diatur dalam UU MK, mulai dari UU 24/2003 sampai dengan UU 7/2020, pemberhentian hakim konstitusi ditetapkan dengan keputusan presiden atas permintaan Ketua Mahkamah Konstitusi. Ke depan, pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatannya hanya dapat dilakukan karena alasan: mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada ketua Mahkamah Konstitusi, sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, serta diberhentikan tidak dengan hormat karena alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 23 ayat (2) UU MK. Seandainya terjadi alasan pemberhentian dalam masa jabatan tersebut, pemberhentian oleh Presiden baru dilakukan setelah adanya surat permintaan dari Ketua Mahkamah Konstitusi. Penegasan demikian perlu dinyatakan secara tegas karena proses penggantian hakim konstitusi oleh lembaga pengusul baru ditindaklanjuti setelah adanya keputusan presiden mengenai pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatan. Dalam batas penalaran yang wajar, adanya pengaturan yang jelas dan tegas mengenai kemungkinan memberhentikan seorang hakim konstitusi sebelum habis masa jabatan dimaksudkan untuk menjaga independensi dan sekaligus menjaga kemandirian serta kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Artinya, tindakan yang dilakukan di luar ketentuan norma Pasal 23 UU MK adalah tidak sejalan dengan UUD 1945. Hal demikian, selain potensial merusak dan menganggu independensi hakim konstitusi, tindakan di luar ketentuan tersebut juga merusak independensi atau kemandirian kekuasaan kehakiman sebagai benteng utama negara hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945.
Apabila dikaitkan dengan dalil Pemohon, pertimbangan hukum tersebut di atas telah cukup untuk menjelaskan dan menegaskan keberadaan norma Pasal 87 huruf b UU MK dikaitkan dengan pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 96/PUU-XVIII/2020. Pertimbangan hukum dimaksud, sebagaimana pertimbangan hukum Mahkamah dalam putusan lainnya, memiliki kekuatan mengikat sehingga Hakim Konstitusi yang sedang menjabat hanya dapat diberhentikan sebelum berakhir masa jabatannya sepanjang sesuai dengan norma dalam Pasal 23 UU MK. Dengan demikian, norma Pasal 87 huruf b UU MK tidak perlu dan tidak relevan dimaknai sebagaimana yang dimohonkan Pemohon. Selain telah ditegaskan dan dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 96/PUU-XVIII/2020, memberikan penegasan langsung ke dalam norma Pasal 87 huruf b UU MK, sebagaimana yang dimohonkan oleh Pemohon, dapat menggeser makna norma a quo sebagai norma peralihan yang bersifat einmalig. Oleh karena itu, dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana telah diuraikan di atas, Mahkamah menilai tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma mengenai kepastian hukum yang adil dalam menegakkan kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagaimana dijamin oleh Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 24C ayat (3), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a, Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 87 huruf b UU MK, sehingga dengan demikian permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak dan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 27/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2019 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA NASIONAL UNTUK PERTAHANAN NEGARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-10-2022

Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL), Perkumpulan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak kekerasan (KontraS), Yayasan Kebajikan Publik Indonesia, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia, Ikhsan Yosarie, S.IP., Gustika Fardani Jusuf, B.A., (Hons.), Leon Alvinda Putra yang diwakili oleh Tim Advokasi untuk Reformasi Sektor Keamanan, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 20 ayat (1) huruf a, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 46, Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 75, Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 81 dan Pasal 82 UU 23/2019

Pasal 1 ayat (3), Pasal 18 ayat (5), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (4), dan Pasal 30 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 20 ayat (1) huruf a, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 46, Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 75, Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 81 dan Pasal 82 UU 23/2019 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

Dalam Provisi
[3.7] Menimbang bahwa para Pemohon dalam permohonannya mengajukan provisi yang pada pokoknya meminta Mahkamah untuk mengeluarkan putusan provisi (sela) yang menyatakan implementasi UU 23/2019 khususnya yang terkait dengan rekrutmen komponen cadangan ditunda pelaksanaannya sepanjang undang-undang a quo masih dalam proses pengujian di Mahkamah. Bahwa terhadap permohonan provisi para Pemohon tersebut, menurut Mahkamah tidak terdapat urgensinya untuk menunda pelaksanaan UU 23/2019 terutama yang terkait dengan perekrutan komponen cadangan, karena para Pemohon tidak mengajukan bukti yang kuat berkaitan dengan perekrutan komponen cadangan serta dampak negatif yang ditimbulkan oleh perekrutan dimaksud. Selain itu, jika pelaksanaan undang-undang a quo ditunda justru dapat terjadi kekosongan hukum dalam pengelolaan sumber daya nasional untuk mewujudkan sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta, terutama dalam mempersiapkan pengadaan komponen cadangan yang terlatih, apabila suatu waktu dibutuhkan ketika negara dalam keadaan terancam. Oleh karenanya dibutuhkan komponen cadangan yang telah siap sedia, baik dari segi kemampuan dasar militernya maupun kemampuan kesiagaan ketika terjadi ancaman. Terlebih lagi, keterlibatan warga negara sebagai komponen cadangan bersifat sukarela. Dengan demikian, tidak terdapat urgensi untuk menunda pelaksanaan UU 23/2019. Oleh karena itu, menurut Mahkamah permohonan provisi para Pemohon tidaklah beralasan menurut hukum.

Dalam Pokok Permohonan
[3.14.1] Bahwa setelah mencermati secara saksama dalil para Pemohon dalam permohonannya, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan permohonan para Pemohon berkenaan dengan pengujian norma Pasal 75 dan Pasal 79 UU 23/2019. Para Pemohon dalam permohonannya mendalilkan Pasal 75 UU 23/2019 bertentangan dengan prinsip pembagian urusan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah sebagaimana diatur oleh Pasal 18 ayat (5) UUD 1945, serta telah menciptakan situasi ketidakpastian hukum sehingga bertentangan juga dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Terhadap dalil para Pemohon a quo, sebelum mempertimbangkan lebih lanjut, Mahkamah terlebih dahulu mengutip Pasal 74 huruf b Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Udang (PMK 2/2021) yang pada pokoknya menyatakan, Mahkamah dapat menyatakan permohonan tidak jelas atau kabur antara lain karena: b. dalil tidak terdapat dalam posita tetapi ada dalam petitum atau sebaliknya. Dengan mendasarkan pada ketentuan a quo, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon a quo terdapat dalam posita atau pokok permohonan para Pemohon, namun tidak terdapat dalam petitum permohononan para Pemohon. Dengan demikian, dalil para Pemohon berkenaan dengan pengujian norma Pasal 75 UU 23/2019 harus dinyatakan tidak jelas atau kabur sehingga tidak dipertimbangkan lebih lanjut.
Dalam permohonannya, para Pemohon juga mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 79 UU 23/2019, namun dalam petitumnya terdapat ketidaksesuaian petitum, yakni antara petitum angka 5 dan angka 6 dengan petitum angka 7 dan angka 8, di mana dalam Petitum angka 5 dan angka 6, para Pemohon meminta antara lain Pasal 79 UU 23/2019 bertentangan dengan Pasal 30 ayat (2), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dibaca “Warga Negara dan/atau komponen cadangan sumber daya manusia”. Namun, dalam petitum angka 7 dan petitum angka 8 para Pemohon juga meminta, antara lain Pasal 79 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Setelah mencermati secara saksama, pada satu sisi para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk memberikan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 79 UU 23/2019 dan di sisi lain memohon kepada Mahkamah untuk dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Menurut Mahkamah, petitum yang demikian adalah petitum yang saling bertentangan yang hanya dapat dibenarkan kalau di antara keduanya dibuat secara pilihan (alternatif) bukan bersifat kumulatif. Oleh karenanya, petitum demikian menjadi tidak jelas atau kabur, sehingga tidak dipertimbangkan lebih lanjut.
[3.14.2] Bahwa selanjutnya, Mahkamah akan mempertimbangkan persoalan konstitusionalitas norma UU 23/2019 yang dipersoalkan oleh para Pemohon, yang pada pokoknya sebagai berikut:
1. Apakah benar norma Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 29 UU 23/2019 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 30 UUD 1945.
2. Apakah benar norma Pasal 17, Pasal 28, Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 81 dan Pasal 82 UU 23/2019 bertentangan dengan Pasal 30 ayat (2), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.
3. Apakah benar norma Pasal 18 dan Pasal 66 ayat (1), serta Pasal 77 dan Pasal 78 UU 23/2019 bertentangan dengan Pasal 30 ayat (2) dan Pasal 28E ayat (2) UUD 1945.
4. Apakah benar norma Pasal 20 ayat (1) huruf a UU 23/2019 bertentangan dengan Pasal 30 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
5. Apakah benar norma Pasal 46 UU 23/2019 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

[3.15] Menimbang bahwa berkenaan dengan dalil para Pemohon yang pada pokoknya menyatakan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 29 UU 23/2019 telah menciptakan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 30 karena perumusannya ambigu dan tidak mengakomodasi prinsip prediktabilitas, terutama terkait dengan identifikasi bentuk-bentuk ancaman yang terdiri dari militer, nonmiliter, dan hibrida sehingga berpotensi multitafsir dalam implementasinya. Para Pemohon juga 306 mendalikan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 29 UU 23/2019 tidak sejalan atau disharmonis dengan ketentuan Pasal 7 UU 3/2002.

[3.15.1] Bahwa para Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU 23/2019 bertentangan dengan prinsip kepastian hukum karena perumusannya ambigu dan tidak mengakomodasi prinsip prediktabilitas. Selain itu, juga menurut para Pemohon ancaman dalam Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) UU 23/2019 tidak sejalan atau disharmonis dengan pengaturan ancaman dalam ketentuan Pasal 7 UU 3/2002. Dalam hal ini, Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) UU 3/2002 pada pokoknya menentukan 307 bahwa ancaman militer dalam sistem pertahanan negara menempatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai komponen utama dengan didukung oleh komponen cadangan dan komponen pendukung, serta ancaman nonmiliter dalam sistem pertahanan negara menempatkan lembaga pemerintah di luar bidang pertahanan sebagai unsur utama, sesuai dengan bentuk dan sifat ancaman yang dihadapi dengan didukung oleh unsur-unsur lain dari kekuatan bangsa. Sementara itu, dalam ketentuan Pasal 4 UU 23/2019 ditentukan pada pokoknya 3 (tiga) jenis ancaman, yakni: (1) ancaman militer yang merupakan ancaman dengan menggunakan kekuatan bersenjata yang dapat membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa. Ancaman militer terhadap integrasi nasional dapat berasal baik dari luar maupun dalam negeri. Misalnya ancaman dari luar negeri adalah mata-mata (spionase), agresi militer, aksi teror dari jaringan internasional pelanggaran wilayah oleh negara lain, sabotase (perusa akan milik pemerintah, dan sebagainya). Sedangkan, ancaman dari dalam negeri, berupa antara lain pemberontakan bersenjata, aksi kekerasan yang berbau SARA, konflik horisontal, gerakan separatis (upaya pemisahan diri untuk membuat negara baru [vide Penjelasan Pasal 7 ayat (2) UU 3/2002]; (2) ancaman nonmiliter yang merupakan bentuk ancaman yang tidak menggunakan senjata. Namun, jika dibiarkan, bisa membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, serta keselamatan segenap bangsa. Pada hakikatnya, ancaman nonmiliter dinilai berpotensi membahayakan kedaulatan negara, kepribadian bangsa, keutuhan wilayah negara dan keselamatan segenap bangsa. Ancaman ini salah satunya disebabkan oleh pengaruh negatif dari globalisasi yang menghilangkan sekat atau batas pergaulan antarbangsa, disadari atau tidak telah menimbulkan dampak negatif yang berpotensi menjadi ancaman bagi keutuhan sebuah negara. Ancaman nonmiliter mencakup dimensi ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan hingga teknologi dan informasi; (3) ancaman hibrida sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (2) huruf c UU 23/2019 adalah ancaman yang bersifat campuran dan merupakan keterpaduan antara ancaman militer dan ancaman nonmiliter.
Lebih lanjut, setelah Mahkamah mencermati secara saksama substansi Pasal 4 ayat (2) UU 23/2019, pada prinsipnya telah mengakomodasi prinsip prediktabilitas terhadap perkembangan berbagai bentuk ancaman yang sangat dinamis yang tentunya memiliki perbedaan situasi dan kondisi dibandingkan dengan pengaturan jenis ancaman pada saat UU 3/2002 diundangkan. Penambahan jenis ancaman hibrida dalam ketentuan Pasal a quo adalah untuk melengkapi lingkup ancaman yang diatur dalam UU 3/2002 yang belum mengatur perihal ancaman yang bersifat campuran dan merupakan keterpaduan antara ancaman militer dan ancaman nonmiliter. Selain itu, penambahan jenis ancaman dimaksud juga untuk mengantisipasi perkembangan ancaman yang bersifat multidimensional dan strategis sesuai dengan perkembangan global. Bertolak dari pendefinisian ancaman dan jenis-jenis ancaman terhadap negara sebagaimana telah diuraikan di atas, menurut Mahkamah dengan adanya jenis-jenis ancaman terhadap kedaulatan dan keamanan negara yang tidak hanya berupa ancaman militer dan ancaman nonmiliter, termasuk juga ancaman hibrida, hal tersebut merupakan identifikasi terhadap hakikat ancaman yang sangat dinamis yang berbeda situasi dan kondisinya. Ancaman hibrida merupakan jenis ancaman yang juga harus diwaspadai dalam konteks perkembangan kekinian yang sebelumnya tidak diatur dalam UU 3/2002. Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah jika pembentuk undang-undang hanya mengkomodasi pengaturan pengelolaan sumber daya nasional untuk pertahanan negara pada jenis ancaman militer dan ancaman nonmiliter sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) UU 3/2002, maka jika terjadi ancaman yang tidak terdapat dalam kedua jenis ancaman tersebut, hal demikian akan dapat menyebabkan terjadinya kekosongan hukum dalam menanggulangi ancaman yang bersifat multidimensional dan campuran antara ancaman militer dan nonmiliter.

[3.15.2] Bahwa selanjutnya, para Pemohon juga mendalilkan mobilisasi komponen cadangan dan komponen pendukung yang diatur pada Pasal 29 UU 23/2019 hanya dapat dilakukan untuk menghadapi ancaman militer dengan adanya pernyataan keadaan bahaya. Dalam kaitan dengan dalil para Pemohon tersebut, penting untuk 311 dicermati secara saksama keterkaitan antara pasal-pasal dalam UU 23/2019. Dalam hal ini, Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65 UU 23/2019 menyatakan:
Pasal 63
(1) Dalam hal seluruh atau sebagian wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam keadaan darurat militer atau keadaan perang, Presiden dapat menyatakan Mobilisasi.
(2) Dalam menyatakan Mobilisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden harus mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 64
(1) Mobilisasi dikenakan terhadap Komponen Cadangan.
(2) Komponen Pendukung yang dikenai Mobilisasi harus ditingkatkan statusnya menjadi Komponen Cadangan.

Pasal 65
(1) Komponen Pendukung yang tidak ditingkatkan statusnya menjadi Komponen Cadangan wajib memberikan dukungan pada saat Mobilisasi yang dikoordinasikan oleh kementerian/lembaga sesuai dengan tugas dan fungsi.
(2) Komponen Pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat nonkombatan.

Berdasarkan ketentuan tersebut menunjukkan bahwa pernyataan mobilisasi yaitu pengerahan dan penggunaan secara serentak sumber daya nasional serta sarana dan prasarana nasional yang telah dipersiapkan dan dibina sebagai komponen kekuatan pertahanan negara, tidaklah serta merta tetapi harus melewati prosedur yang ketat. Mobilisasi dilakukan dalam hal seluruh atau sebagian wilayah NKRI dalam keadaan darurat militer atau keadaan perang. Dalam menyatakan mobilisasi, Presiden harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Selain itu, Mobilisasi dikenakan terhadap komponen cadangan, dan bagi komponen Pendukung yang dikenai mobilisasi tidaklah serta merta, tetapi statusnya harus ditingkatkan terlebih dahulu menjadi komponen cadangan. Prosedur dalam UU 23/2019 yang menghendaki adanya persetujuan DPR dalam menghadapi ancaman militer telah sejalan pula dengan keberlakuan Pasal 14 UU 3/2002 dan Penjelasan Pasal 7 ayat (2) UU 3/2002. Karena ancaman militer yang dimaksudkan dalam Pasal 7 ayat (2) UU 3/2002 adalah ancaman yang menggunakan kekuatan bersenjata yang terorganisasi yang dinilai mempunyai kemampuan yang membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa. Dengan demikian, menurut Mahkamah dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 29 UU 23/2019 telah menciptakan ketidakpastian hukum karena perumusannya ambigu dan tidak mengakomodasi prinsip prediktabilitas dalam penyusunannya sehingga berpotensi multitafsir dalam implementasinya serta dianggap tidak sejalan atau disharmonis dengan pengaturan ancaman dalam ketentuan Pasal 7 UU 3/2002 adalah dalil yang tidak beralasan menurut hukum.
[3.16] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan penyebutan sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional sebagai unsur komponen pendukung dan komponen cadangan dalam Pasal 17, Pasal 28, Pasal 66 ayat (2), Pasal 81, dan Pasal 82 UU 23/2019 telah menyebabkan kaburnya makna kekuatan utama dan kekuatan pendukung sebagaimana ditentukan dalam Pasal 30 ayat (2) UUD 1945. Lebih lanjut, menurut para Pemohon pengaturan mengenai sumber daya alam, sumber daya buatan dan sarana prasarana lain sebagai komponen cadangan dan komponen pendukung tidak diatur secara rigid dan rinci sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan melanggar prinsip conscientious objection bagi pemilik atau pengelola sumber daya alam, sumber daya buatan dengan alasan pertahanan negara. Oleh karena itu, menurut para Pemohon ketentuan pasal-pasal a quo bertentangan dengan Pasal 30 ayat (2), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.
Terhadap dalil para Pemohon tersebut, menurut Mahkamah dengan memperhatikan norma Pasal 1 angka 2 UU 3/2002 yang pada pokoknya menyatakan sistem pertahanan negara adalah sistem pertahanan yang bersifat semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah dan sumber daya nasional lainnya, maka dengan sifat kesemestaannya tersebut pemerintah harus mempersiapkan secara dini seluruh sumber daya nasional dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala macam ancaman. Sumber daya nasional dimaksud adalah bagian dari komponen cadangan yang terdiri dari warga negara, sumber daya alam, sumber daya buatan dan sarana serta prasarana nasional yang telah ditentukan dalam Pasal 28 UU 23/2019 bahwa:
(1) Komponen Cadangan terdiri atas:
a. Warga Negara;
b. Sumber Daya Alam;
c. Sumber Daya Buatan; dan
d. Sarana dan Prasarana Nasional
(2) Komponen Cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan pengabdian dalam usaha pertahanan negara yang bersifat sukarela.


(3) Komponen Cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sampai dengan huruf d merupakan pemanfaatan dalam usaha Pertahanan Negara.
Pembentukan komponen cadangan sumber daya alam, sumber daya buatan, dan sarana prasarana nasional merupakan wujud dari pemanfaatan dalam usaha pertahanan negara setelah ditetapkan menjadi komponen cadangan melalui tahapan verifikasi dan klasifikasi sebagaimana tercantum dalam Pasal 51 UU 23/2019 yang menyatakan:
Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d ditetapkan menjadi Komponen Cadangan setelah melalui tahapan:
a. verifikasi; dan
b. klasifikasi.

Verifikasi yang dimaksud adalah kegiatan pendataan terhadap sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional yang telah memenuhi syarat sebagai komponen cadangan. Selanjutnya, UU 23/2019 juga telah mengatur mengenai komponen cadangan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 23 dan Pasal 51 sampai dengan Pasal 55 UU 23/2019 yang masing-masing menyatakan sebagai berikut:
Pasal 23:
Penetapan Komponen Pendukung tidak menghilangkan:
Pasal 51
Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d ditetapkan menjadi Komponen Cadangan setelah melalui tahapan:
a. verifikasi; dan
b. klasifikasi.
Pasal 52
(1) Verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a dilaksanakan melalui kegiatan pendataan terhadap Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana Nasional yang memenuhi syarat sebagai Komponen Cadangan.
(2) Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana Nasional yang diverifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana Nasional yang ditetapkan sebagai Komponen pendukung.
Pasal 53
Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana Nasional yang telah diverifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 diklasifikasikan melalui kegiatan pemilahan dan pengelompokan sesuai dengan kematraan Komponen Cadangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 31.



Pasal 54
(1) Setelah tahapan klasifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53, Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana Nasional ditetapkan menjadi Komponen Cadangan.
(2) Penetapan Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri.
(3) Dalam menetapkan Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri terlebih dahulu berkoordinasi dengan menteri/pimpinan lembaga terkait.
(4) Penetapan Komponen Cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberitahukan kepada pemilik atau pengelola Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana Nasional.

Pasal 55
Penetapan Komponen Cadangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 tidak menghilangkan:
a. hak pemilik untuk mengalihkan hak kepemilikan, mengelola, dan/atau menggunakan; dan/atau
b. hak pengelola untuk mengelola dan/atau menggunakan, terhadap Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana Nasional.

Bahwa tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas peraturan pelaksana UU 23/2019, pelaksanaan pembentukan komponen cadangan tersebut juga telah diatur lebih lanjut dalam Pasal 75 sampai dengan Pasal 81 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (PP 3/2021). Merujuk ketentuan-ketentuan tersebut di atas, menjadi jelas bahwa sistem pertahanan yang bersifat semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah dan sumber daya nasional lainnya, selain harus dipersiapkan secara dini oleh pemerintah juga harus diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut tidak lain adalah dalam rangka menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala macam bentuk ancaman. Selain itu, penetapan sumber daya alam, sumber daya buatan, dan sarana prasarana nasional telah dilakukan melalui serangkaian tahapan atau prosedur, antara lain proses verifikasi dan klasifikasi, sehingga penggunaan sumber daya tersebut terukur agar tidak melanggar hak asasi manusia dan hak kepemilikan pribadi atas sumber daya tersebut. Dengan cara tersebut negara tidak boleh mengambil alih kepemilikan properti warga negara secara sewenang-wenang. Dengan kata lain, penetapan Komponen Cadangan berupa sumber daya alam dan sumber daya buatan serta sarana dan prasarana nasional tidak mengabaikan prinsip kesukarelaan karena sumber daya alam dan sumber daya buatan serta sarana dan prasarana nasional yang dikelola dengan baik oleh warga negara telah melewati serangkaian tahapan yang dilakukan oleh Kementerian Pertahanan dengan kesukarelaan dari pemilik, dan tetap memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak properti yang merupakan bagian dari hak asasi manusia. Dengan demikian, tidak akan membuka ruang potensi konflik sumber daya alam dan konflik pertanahan antara negara dan masyarakat. Oleh karena itu, penetapan sumber daya alam dan sumber daya buatan serta sarana dan prasarana nasional sebagai komponen cadangan tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan melanggar prinsip conscientious objection bagi pemilik atau pengelola sumber daya alam, sumber daya buatan dan sarana dan prasarana lain.
Dengan demikian, pembentukan komponen cadangan yang merupakan salah satu wadah keikutsertaan warga negara serta sarana dan prasarana nasional dalam usaha pertahanan negara yang dilaksanakan oleh pemerintah (Kementerian) harus tetap menerapkan sistem tata kelola pertahanan negara yang demokratis, berkeadilan dan menghormati hak asasi manusia serta mentaati peraturan perundang-undangan. Lebih dari itu, untuk melakukan mobilisasi sumber daya nasional hanya dapat ditetapkan oleh Presiden setelah mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) karena keadaan darurat militer atau keadaan perang [vide Pasal 63 UU 23/2019]. Dalam hal telah dinyatakan oleh Presiden mengenai mobilisasi maka mobilisasi dikenakan kepada komponen cadangan. Pengunaan komponen cadangan ini adalah dalam rangka untuk memperbesar dan memperkuat komponen utama [vide Pasal 61 UU 23/2019]. Penting bagi Mahkamah menegaskan kembali bahwa keberadaan warga negara sebagai komponen cadangan dimaksud merupakan pengabdian dalam usaha pertahanan negara yang bersifat sukarela [vide Pasal 28 ayat 2 UU 23/2019].
Selanjutnya, terhadap sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional milik pemerintah dan pemerintah daerah, milik swasta, dan milik perseorangan yang telah selesai dimobilisasi wajib dikembalikan ke fungsi dan status semula melalui demobilisasi dengan disertai kompensasi sesuai dengan kemampuan negara berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Hal tersebut telah ditentukan dalam Pasal 72 ayat (1) sampai dengan ayat (3) UU 23/2019 yang menyatakan:

(1) Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana Nasional milik Pemerintah dan pemerintah daerah, milik swasta, dan milik perseorangan yang telah selesai di-Mobilisasi wajib dikembalikan ke fungsi dan status semula melalui Demobilisasi.
(2) Pemerintah wajib mengembalikan Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana Nasional milik Pemerintah dan pemerintah daerah, milik swasta, milik perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan disertai kompensasi sesuai dengan kemampuan keuangan Negara.
(3) Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikembalikan kepada pemilik dan/atau pengelola setelah Demobilisasi paling lama 3 (tiga) tahun.

Pasal 79 sampai dengan Pasal 83 UU 23/2019 yang dipersoalkan oleh para Pemohon melanggar prinsip conscientious objection karena aturannya yang tidak rigid. Terhadap hal tersebut, sebagaimana telah dikemukakan pada pertimbangan hukum di atas, dalam kaitan dengan ketentuan pidana ini, penting Mahkamah tegaskan bahwa norma hukum pidana tersebut merupakan kategori administrative penal law yakni produk legislatif berupa peraturan perundang undangan dalam lingkup administrasi negara yang memuat sanksi pidana. Hal ini mengingat, keberadaan ketentuan kewajiban yang telah diatur dalam norma Pasal 66 UU 23/2019 harus dibarengi dengan ketentuan pidana yang bertujuan untuk melindungi kepentingan bangsa dan negara, karena kewajiban pemilik dan/atau pengelola menyerahkan pemanfaatan atas sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional telah disepakati untuk ditetapkan statusnya menjadi komponen cadangan. Oleh karena itu, ancaman sanksi pidana merupakan konsekuensi logis untuk menghindari adanya pengingkaran dan tipu muslihat [vide Pasal 77 sampai dengan Pasal 82 UU 23/2019]. Dengan adanya pengaturan sanksi pidana yang jelas dalam penegakannya, menurut Mahkamah akan mendorong percepatan pemulihan kembali keadaan dan demobilisasi. Terlebih lagi, proses penetapan menjadi komponen cadangan melewati prosedur yang ketat dengan adanya pernyataan Presiden untuk mobilisasi karena seluruh atau sebagian wilayah NKRI dalam keadaan darurat militer atau keadaan perang dan pernyataan tersebut harus mendapatkan persetujuan DPR [vide Pasal 63 UU 23/2019]. Keadaan darurat militer atau darurat perang tersebut dapat terjadi karena negara menghadapi ancaman militer atau ancaman hibrida [vide Pasal 29 UU 23/2019]. Dalam kaitan dengan ancaman, khususnya ancaman hibrida untuk menyatakan mobilisasi, menurut Mahkamah pembentuk undang-undang perlu segera mengatur secara lebih rinci dan komprehensif dalam undang-undang dengan cara mengharmoniskan dan mensinkronkan dengan undang-undang lainnya, antara lain UU 3/2002 dan UU 34/2004. Perubahan yang komprehensif tersebut perlu segera dilakukan mengingat ancaman sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) UU 23/2019 tidak terdapat kejelasan pembedaan antara ancaman militer, nonmiliter, dan hibrida. Terlebih lagi, dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (2) huruf c UU 23/2019 dijelaskan bahwa ancaman hibrida adalah sebagai ancaman yang bersifat campuran dan merupakan keterpaduan antara ancaman militer dan nonmiliter. Perubahan demikian menjadi penting karena telah ditetapkan sebagai salah satu RUU dalam Program Legislasi Nasional Prioritas Tahun 2022 [vide Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 8/DPR RI/II/2021-2022 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2022 dan Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Perubahan Ketiga Tahun 2020-2024].
Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 17, Pasal 28, Pasal 66 ayat (2), Pasal 81 dan Pasal 82 UU 23/2019 adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.17] Menimbang bahwa pada pokoknya para Pemohon mendalilkan menjadikan warga negara secara langsung untuk menghadapi ancaman militer dan ancaman hibrida sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 18 dan Pasal 66 ayat (1), serta Pasal 77 dan Pasal 78 UU 23/2019 melanggar ketentuan Pasal 28E ayat (2) dan Pasal 30 ayat (2) UUD 1945 dan juga bertentangan dengan prinsip conscientious objection (hak menolak warga atas dasar keyakinannya), yang merupakan prinsip kardinal dalam pelibatan warga sipil dalam upaya-upaya pertahanan, yang telah diakui oleh berbagai negara dan masyarakat internasional, serta menjadi bagian dari hukum internasional hak asasi manusia.
Terhadap dalil para Pemohon a quo, menurut Mahkamah sebagaimana telah dipertimbangkan pada Paragraf [3.13] mengenai upaya bela negara dan keikutsertaan warga negara dalam pertahanan dan keamanan negara, telah diamanatkan dalam UUD 1945, khususnya dalam ketentuan Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 30 UUD 1945. Dalam kaitan dengan ketentuan dimaksud dan mengingat perjalanan sejarah bangsa Indonesia, maka sebagaimana negara-negara lainnya juga memiliki cara sendiri untuk membangun sistem pertahanan negaranya, yaitu sistem pertahanan yang bersifat semesta dengan melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, yang dipersiapkan secara dini oleh Pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berkelanjutan untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala Ancaman [vide Penjelasan Umum UU 23/2019]. Dalam kaitan ini, lebih lanjut Pasal 9 UU 3/2002 menyatakan bahwa:

(1) Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya bela negara yang diwujudkan dalam penyelenggaraan pertahanan negara.
(2) Keikutsertaan warga negara dalam upaya bela negara, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diselenggarakan melalui:
a. pendidikan kewarganegaraan;
b. pelatihan dasar kemiliteran secara wajib;
c. pengabdian sebagai prajurit Tentara Nasional Indonesia secara sukarela atau secara wajib; dan
(3) Ketentuan mengenai pendidikan kewarganegaraan, pelatihan dasar kemiliteran secara wajib, dan pengabdian sesuai dengan profesi diatur dengan undang-undang.

Ketentuan dimaksud menguatkan bahwa upaya bela negara yang dilakukan oleh warga negara pada dasarnya adalah dalam rangka membentuk sikap dan tindak warga negara yang dilandasi oleh kecintaan kepada negara. Dalam hal ini, seluruh warga negara secara sadar sudah seharusnya cinta kepada negara yang diwujudkan dalam kesediaan untuk melindungi, mempertahankan, dan memajukan kehidupan bersama. Kesadaran bela negara tersebut pada hakikatnya adalah kesediaan berbakti pada negara dan berkorban untuk membela negara yang dapat diwujudkan dalam berbagai hal yang terbaik untuk negara. Persoalannnya adalah apakah bela negara yang dilakukan oleh warga negara yang bergabung sebagai komponen cadangan untuk pertahanan negara tidak memberikan perlindungan bagi warga negara jika ada warga negara yang menolak dengan alasan keyakinan dan hati nurani (conscientious objection) sehingga berpotensi menyebabkan kriminalisasi dan pelanggaran hak-hak asasi warga negara.
Berkenaan dengan persoalan pokok di atas, penting dipahami secara saksama ketentuan dalam UU 3/2002, di mana dalam ketentuan Pasal 8 UU a quo menyatakan:

(1) Komponen cadangan, terdiri atas warga negara, sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat komponen utama.
(2) Komponen pendukung, terdiri atas warga negara, sumber daya alam, sumberdaya buatan, serta sarana dan prasarana nasional yang secara langsung atau tidak langsung dapat meningkatkan kekuatan dan kemampuan komponen utama dan komponen cadangan.
(3) Komponen cadangan dan komponen pendukung, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan undang-undang.

Dengan mendasarkan pada ketentuan tersebut, dibentuklah UU 23/2019 yang mengatur lebih lanjut mengenai keikutsertaan warga negara dalam sistem pertahanan negara sebagaimana amanat Pasal 30 UUD 1945. Warga negara pada pokoknya dapat ikut serta dalam usaha penyelenggaraan pertahanan negara sebagai komponen pendukung atau komponen cadangan [vide Pasal 17 dan Pasal 18 UU 23/2019]. Keikutsertaan demikian ditentukan oleh pembentuk UU a quo bersifat sukarela. Dalam Penjelasan Pasal 17 ayat (2) UU 23/2019 dijelaskan bahwa yang dimaksud sukarela adalah sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh kecintaannya kepada NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dengan demikian, partisipasi warga negara dalam membela negara tidak melanggar prinsip conscientious objection (hak untuk menolak untuk bergabung dalam dinas militer), karena negara tidak mewajibkan warga negaranya untuk menjadi komponen cadangan dan/atau komponen pendukung melainkan secara sukarela dalam usaha penyelenggaraan pertahanan negara sebagaimana ditentukan juga dalam Pasal 28 ayat (2) UU 23/2019 yang menyatakan, “Komponen Cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan pengabdian dalam usaha pertahanan negara yang bersifat sukarela.” Hal tersebut juga tergambar jelas dalam tata cara perekrutan komponen cadangan yang ditentukan dalam Pasal 33 UU 23/2019 yang menyatakan:

(1) Setiap Warga Negara berhak mendaftar menjadi calon Komponen Cadangan.
(2) Setiap Warga Negara yang mendaftar menjadi calon Komponen Cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. setia pada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. berusia minimal 18 (delapan belas) tahun dan maksimal 35 (tiga puluh lima) tahun;
d. sehat jasmani dan rohani; dan
e. tidak memiliki catatan kriminalitas yang dikeluarkan secara tertulis oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Selain itu, ketentuan tentang perekrutan komponen cadangan juga diatur dalam PP 3/2021 yang merupakan pelaksana UU 23/2019. Dengan telah ditentukannya tata cara perekrutan komponen cadangan sebagaimana termuat dalam PP 3/2021 tersebut maka telah jelas bahwa dalam hal perekrutan warga negara untuk bergabung dalam komponen cadangan tidak terdapat paksaan sama sekali kepada kepada warga negara. Dalam kaitan ini, proses perekrutan harus melalui beberapa tahapan, antara lain mendaftarkan diri dan mengikuti seleksi administrasi dan kompetensi. Oleh karena itu, dengan adanya ketentuan yang tidak mewajibkan bagi warga negara untuk ikut mendaftar dan bergabung dalam komponen cadangan dapat dikatakan bahwa UU a quo telah sejalan dengan prinsip conscientious objection (hak menolak warga atas dasar keyakinannya).
Dengan demikian, kriteria atau persyaratan dalam perekrutan komponen cadangan yang telah ditentukan dalam UU 23/2019 tersebut ditujukan kepada setiap warga negara secara sukarela. Artinya, siapapun Warga Negara Indonesia dapat bergabung menjadi anggota komponen cadangan secara sukarela sepanjang memenuhi persyaratan yang telah ditentukan [vide Pasal 32 sampai dengan Pasal 34 UU 23/2019]. Oleh karena itu, menurut Mahkamah sekalipun ada ketentuan yang mengatur proses rekrutmen calon komponen cadangan yang telah dinyatakan lulus administrasi dan kompetensi yang wajib mengikuti pelatihan dasar kemiliteran adalah perwujudan bentuk kesiap-siagaan negara apabila komponen cadangan dimaksud sewaktu-waktu dibutuhkan bagi kepentingan pertahanan dan keamanan negara Indonesia. Kewajiban mengikuti pelatihan dasar kemiliteran tersebut ditentukan dengan tetap menjamin terpenuhinya hak-hak warga negara yang berasal dari unsur aparatur sipil negara, pekerja/buruh, dan mahasiswa. Apabila calon komponen cadangan tersebut dinyatakan lulus dalam pendidikan dasar kemiliteran diangkat dan ditetapkan menjadi komponen cadangan untuk memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan TNI sebagai komponen utama setelah adanya penyataan Presiden mengenai mobilisasi [vide Pasal 38, Pasal 66 dan Penjelasan Umum UU 23/2019].
Sementara itu, terkait dengan kekhawatiran para Pemohon dengan adanya ketentuan Pasal 18 UU 23/2019 yang pada pokoknya menyatakan “Komponen pendukung dapat digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk menghadapi ancaman militer dan ancaman hibrida” bertentangan dengan prinsip conscientious objection dan dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 77 dan Pasal 78 UU 23/2019. Menurut Mahkamah, kekhawatiran para Pemohon a quo dapat dipahami, namun hal demikian telah diantisipasi dengan adanya pengaturan sedemikian rupa mengenai keikutsertaan warga negara untuk dapat dimobilisasi sesuai dengan tahapan-tahapan sebagaimana telah dipertimbangkan di atas. Termasuk juga UU a quo telah sejalan dengan prinsip conscientious objection. Terlebih lagi, penggunaan sumber daya nasional baik berupa sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya buatan dalam kedudukannya sebagai komponen pendukung untuk digunakan bagi kepentingan bangsa dan negara atau kepentingan pertahanan negara dalam konteks sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta, tidaklah serta merta, karena komponen pendukung yang dikenai mobilisasi harus ditingkatkan statusnya terlebih dahulu menjadi komponen cadangan [vide Pasal 64 ayat (2) UU 23/2019]. Dalam konteks sistem kesemestaan semua sumber daya nasional dapat didayagunakan untuk upaya pertahanan negara, baik sebagai komponen pendukung maupun sebagai komponen cadangan. Dalam hal ini, untuk komponen pendukung yang tidak ditingkatkan statusnya menjadi komponen cadangan wajib memberikan dukungan pada saat mobilisasi yang mekanismenya dikoordinasikan oleh kementerian/ lembaga terkait sesuai dengan tugas dan fungsinya [vide Pasal 65 ayat (1) UU 23/2019]. Tujuan pengaturan demikian adalah untuk memberikan batasan-batasan yang jelas dan terukur dalam penggunaan komponen pendukung dan komponen cadangan pada saat mobilisasi. Sementara itu, pengaturan ketentuan pidana yang dipersoalkan oleh para Pemohon adalah berkaitan dengan setiap komponen cadangan yang dengan sengaja membuat dirinya tidak memenuhi panggilan mobilisasi atau melakukan tipu muslihat yang menyebabkan dirinya terhindar dari mobilisasi [Pasal 77 UU 23/2019]. Selanjutnya, Pasal 78 UU 23/2019 berkaitan dengan ketentuan pidana yang ditujukan bagi pemberi kerja/pengusaha atau lembaga pendidikan yang menghambat mobilisasi. Pengaturan sanksi pidana dalam keadaan mobilisasi yang telah dilakukan sesuai dengan tahapan-tahapan tidaklah bertentangan dengan UUD 1945 sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Paragraf [3.16].
Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon yang mempersoalkan keterlibatan warga negara secara langsung untuk menghadapi ancaman militer dan ancaman hibrida sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 18 dan Pasal 66 ayat (1) serta Pasal 77 dan Pasal 78 UU 23/2019 bertentangan dengan ketentuan Pasal 28E dan Pasal 30 ayat (2) UUD 1945 dan dengan prinsip conscientious objection adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.18] Menimbang bahwa selanjutnya para Pemohon mendalilkan pada pokoknya Pasal 20 ayat (1) huruf a UU 23/2019 yang menempatkan anggota Kepolisian Negara RI (Polri) sebagai Komponen Pendukung yang setara dengan warga terlatih, salah satunya adalah anggota organisasi kemasyarakatan, merupakan perumusan norma yang keliru dan telah menciptakan situasi ketidakpastian hukum, karena mencampuradukkan kekuatan utama dan kekuatan pendukung dalam sistem pertahanan dan keamanan negara. Terhadap dalil para Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah menegaskan terlebih dahulu bahwa seiring dengan perubahan pengaturan Pertahanan dan Keamanan Negara dalam UUD 1945, yang juga telah ditentukan dalam Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2000, dan Ketetapan MPR RI Nomor VII/MPR/2000 terjadi perubahan rumusan tugas, fungsi, dan peran Polri serta pemisahan kelembagaan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polri sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing. Fungsi dan peran TNI dan Polri dalam Pasal 30 ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945 adalah:

(3) Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan laut dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.
(4) Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.

Peran dan fungsi TNI dan Polri tersebut selanjutnya dijabarkan dalam undang-undang tersendiri, yakni Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU 2/2002), yang menyatakan, “Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan 323 keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat” [vide Pasal 2 UU 2/2002], dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU 34/2004) yang menyatakan, “TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara” [vide Pasal 5 UU 34/2004]. Adanya ketentuan yang membedakan tugas dan fungsi TNI dan Polri mulai dari UUD 1945 hingga undangundang merupakan wujud paradigma baru TNI dan Polri, di mana Polri tidak lagi menjadi bagian dari TNI, tetapi telah menjadi bagian dari masyarakat sipil (civil society). Adanya pengaturan yang dengan tegas membedakan fungsi TNI dan Polri berimplikasi pada berbagai peraturan terkait lainnya, salah satunya adalah UU 23/2019.
Perubahan tersebut sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 30 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung”. Bertolak pada ketentuan konstitusi tersebut, ditegaskan pula bahwa TNI dan Polri dalam sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta adalah kekuatan utama sesuai dengan fungsinya masing-masing. Fungsi tersebut harus didasarkan pada paradigma baru Polri yang menempatkannya sebagai bagian dari masyarakat sipil, bukan lagi merupakan bagian yang terintegrasi dengan TNI. Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 41 ayat (2) dan ayat (3) UU 2/2002 yang menyatakan:
(2) Dalam keadaan darurat militer dan keadaan perang, Kepolisian Negara Republik Indonesia memberikan bantuan kepada Tentara Nasional Indonesia sesuai dengan peraturan perundangan-undangan.
(3) Kepolisian Negara Republik Indonesia membantu secara aktif tugas pemeliharaan perdamaian dunia di bawah bendera Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Berdasarkan berbagai ketentuan yang telah diuraikan di atas, Polri adalah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Oleh karena itu, dalam komponen pertahanan negara TNI sebagai kekuatan utama adalah Komponen Utama yang berfungsi menangkal terhadap berbagai ancaman militer atau bersenjata dari luar dan dalam negeri terhadap kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI. Sedangkan, Polri sekalipun disebut juga dalam UUD 1945 sebagai kekuatan utama keamanan dan ketertiban masyarakat, namun dalam sistem pertahanan negara bukan merupakan Komponen Utama tetapi Komponen Pendukung. Hal ini telah sejalan dengan paradigma baru Polri yang merupakan bagian dari masyarakat sipil. Oleh karena itu, dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1) UU 23/2019 dan Penjelasannya menyatakan bahwa anggota Polri merupakan bagian dari Komponen Pendukung yang dimaksudkan untuk memperkuat dan memperbesar Komponen Utama sehingga kedudukannya dalam sistem pertahanan negara sama dengan warga negara terlatih yang contohnya antara lain adalah: a. purnawirawan TNI dan Polri; b. anggota resimen mahasiswa; c. anggota satuan polisi pamong praja; d. anggota polisi khusus; e. anggota satuan pengamanan; f. anggota pelindungan masyarakat; dan g. anggota organisasi kemasyarakatan lain yang dapat dipersamakan dengan warga terlatih [vide Penjelasan Pasal 20 ayat (1) huruf b UU 23/2019]. Dengan demikian, menempatkan Polri dalam komponen pertahanan negara sebagai Komponen Pendukung yang disetarakan dengan warga terlatih tidak bertentangan dengan amanat Pasal 30 UUD 1945.
Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon yang mempersoalkan Pasal 20 ayat (1) huruf a UU 23/2019 bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.19] Menimbang bahwa para Pemohon juga mendalilkan Pasal 46 UU 23/2019 bertentangan dengan prinsip-prinsip persamaan di muka hukum dan kepastian hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena terhadap komponen cadangan semestinya tetap diterapkan status subjek hukum sipil, yang sepenuhnya tunduk pada sistem dan mekanisme peradilan sipil (peradilan umum), mengingat kualifikasinya yang berbeda dengan komponen utama yaitu anggota TNI.
Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah terlebih dahulu mengutip kembali Pasal 46 UU 23/2019 yang menyatakan, “Bagi Komponen Cadangan selama masa aktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) diberlakukan hukum militer”. Selanjutnya, dalam Penjelasan Pasal a quo dinyatakan, “Yang dimaksud dengan "diberlakukan hukum militer" adalah Komponen Cadangan selama masa aktif tunduk pada ketentuan yang berlaku bagi militer”. Dengan mendasarkan pada Pasal 44 ayat (1) UU 23/2019 yang dirujuk oleh Pasal 46 UU a quo, terdapat 2 (dua) kriteria Komponen Cadangan yang tunduk pada ketentuan yang berlaku bagi militer, yaitu: (1) Komponen Cadangan pada saat mengikuti pelatihan penyegaran; (2) Komponen Cadangan pada saat mobilisasi.
Dalam kaitan dengan mengikuti pelatihan penyegaran yang dimaksud ditentukan oleh UU a quo sebagai salah satu bentuk kewajiban Komponen Cadangan [vide Pasal 41 UU 23/2019]. Dengan demikian, warga negara yang telah memenuhi seluruh persyaratan Komponen Cadangan tersebut dipersamakan dengan prajurit yang mengabdi secara sukarela dalam usaha pertahanan negara. Dalam hal Komponen Cadangan mengikuti pelatihan penyegaran, hal tersebut ditentukan sebagai masa aktif Komponen Cadangan sehingga terhadap mereka diberlakukan hukum militer. Demikian juga halnya jika Komponen Cadangan dimobilisasi karena seluruh atau sebagian wilayah Indonesia dalam keadaan darurat militer atau keadaan perang sesuai dengan tahapan yang telah ditentukan dalam Pasal 63 UU 23/2019 maka terhadap Komponen Cadangan tersebut juga berlaku hukum militer.
Dengan mendasarkan lebih lanjut pada Penjelasan Pasal 46 UU 23/2019 antara lain dijelaskan bahwa hukum militer adalah semua perundang-undangan nasional yang subjek hukumnya anggota militer atau orang yang dipersamakan sebagai militer berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dalam kaitan ini, penting bagi Mahkamah mengutip norma Pasal 1 angka 15 UU 34/2004 yang menentukan bahwa “Prajurit Sukarela adalah warga negara yang atas kemauan sendiri mengabdikan diri dalam dinas keprajuritan”. Jika norma a quo dikaitkan dengan ketentuan Pasal 9 angka 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (UU 31/1997) telah ditentukan bahwa “Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer berwenang:
1. Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah:
a. Prajurit;
b. yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan Prajurit;
c. anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai Prajurit berdasarkan undang-undang;
d. seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a, huruf b, dan huruf c tetapi atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu Pangadilan dalam lingkungan peradilan militer.

Dalam konteks inilah, norma Pasal 46 UU 23/2019 merupakan unsur yang dimaksudkan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c UU 31/1997. Artinya, pengadilan militer 326 tidak hanya ditujukan kepada Komponen Utama, yaitu TNI yang melakukan tindak pidana, melainkan juga bagi Komponen Cadangan baik pada saat mengikuti pelatihan penyegaran dan/atau pada saat dimobilisasi.
Jika dicermati secara saksama, dalam ketentuan UU 23/2019 telah ternyata terdapat 2 (dua) istilah pelatihan kemiliteran yang diwajibkan bagi Komponen Cadangan, yakni: (1) pelatihan dasar kemiliteran yang merupakan bagian dari tahapan pembentukan Komponen Cadangan yang diwajibkan bagi calon Komponen Cadangan yang telah lulus seleksi administratif dan kompetensi. Di mana pelatihan dasar tersebut dilaksanakan selama 3 bulan [vide Pasal 32 huruf c dan Pasal 35 ayat (1) UU 23/2019]. Jika calon Komponen Cadangan lolos dalam mengikuti pelatihan dasar kemiliteran, dapat diangkat dan ditetapkan menjadi Komponen Cadangan [vide Pasal 38 ayat (1) UU 23/2019]. Artinya, tenggang waktu selama mengikuti pelatihan dasar kemiliteran tersebut didesain sebagai bagian dari proses seleksi calon Komponen Cadangan. Oleh karena itu, bagi mereka tidak diberlakukan hukum militer.
Sementara itu, mengikuti pelatihan penyegaran merupakan kewajiban yang dibebankan kepada Komponen Cadangan yang telah diangkat, ditetapkan dan diambil sumpah/janjinya dan kepada mereka diberikan hak antara lain berupa uang saku selama menjalani pelatihan, rawatan kesehatan dan pelindungan jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian [vide Pasal 42 UU 23/2019]. Tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas PP 3/2021, Komponen Cadangan yang telah dilantik dan mengucapkan sumpah/janji diberikan pangkat yang mengacu pada penggolongan pangkat TNI. Pangkat Komponen Cadangan dimaksud hanya digunakan pada masa aktif Komponen Cadangan [vide Pasal 58 PP 3/2021]. Lebih lanjut, UU 23/2019 menentukan status Komponen Cadangan pada saat mengikuti pelatihan penyegaran tersebut ditentukan sebagai masa aktif pengabdian yang siap digunakan untuk kepentingan pertahanan negara. Pelatihan penyegaran dimaksud merupakan latihan untuk memelihara dan meningkatkan serta menjaga kemampuan dalam bidang pengetahuan dan keterampilan untuk kepentingan pertahanan negara. Adapun masa mengikuti pelatihan penyegaran paling singkat 12 (dua belas) hari dan paling lama 90 (sembilan puluh) hari serta dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan. Terdapat kemungkinan 3 (tiga) lokasi pelaksanaan pelatihan, yaitu di lembaga pendidikan di lingkungan TNI, di daerah latihan militer dan/atau di kesatuan TNI setingkat batalyon [vide Pasal 64 dan Pasal 65 ayat (2) PP 3/2021].
Dalam status masa aktif inilah diberlakukan bagi Komponen Cadangan hukum militer, yakni semua perundang-undangan nasional yang subjek hukumnya adalah anggota militer atau orang yang dipersamakan sebagai militer berdasarkan perundang-undangan yang berlaku. Di samping itu, segala hukum dan ketentuan perundang-undangan yang dipakai sebagai dasar pelaksanaan tugas TNI dalam melaksanakan fungsi pertahanan negara dikategorikan sebagai hukum militer [vide Penjelasan Pasal 64 UU 34/2004]. Hukum militer tersebut dibina dan dikembangkan oleh pemerintah untuk kepentingan penyelenggaraan pertahanan negara. Hingga saat ini, hukum militer yang masih diberlakukan adalah UU 31/1997. Berkenaan dengan UU a quo, menurut Mahkamah perlu dilakukan perubahan yang komprehensif sehingga dapat mengakomodasi berbagai bentuk perubahan dan kebutuhan hukum sesuai dengan semangat reformasi nasional dan reformasi TNI, tanpa mengabaikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan negara. Pentingnya segera dilakukan perubahan inipun sejalan dengan amanat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang menghendaki adanya UU peradilan militer yang sesuai dengan semangat reformasi keamanan. Terlebih lagi, usulan perubahan UU 31/1997 pernah dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional Tahun 2010–2014. Oleh karena itu, Mahkamah mengingatkan pembentuk undang-undang untuk segera merealisasikan reformasi undang-undang peradilan militer.
Dengan demikian, sambil menunggu perubahan UU 31/1997 yang disusun secara komprehensif dan sesuai dengan semangat reformasi, menurut Mahkamah pemberlakuan UU 31/1997 bagi Komponen Cadangan dalam masa aktif baik pada saat mengikuti pelatihan penyegaran dan/atau mobilisasi, masih dapat dibenarkan karena status Komponen Cadangan dimaksud adalah subjek yang dipersamakan sebagai militer berdasarkan ketentuan UU 23/2019.
Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 46 UU 23/2019 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.20] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon berkenaan dengan pengujian norma Pasal 75 dan Pasal 79 UU 23/2019 adalah kabur. Sementara itu, berkaitan dengan norma Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 20 ayat (1) huruf a, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 46, Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 77, Pasal 78, Pasal 81, serta Pasal 82 UU 23/2019 telah ternyata tidak menimbulkan persoalan ketidakpastian hukum, ketidaksamaan kedudukan di muka hukum dan dengan sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta yang dijamin oleh UUD 1945. Dengan demikian, dalil-dalil para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.21] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak dan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 32/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2008 TENTANG PERBANKAN SYARIAH TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-10-2022

PT. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Harta Insan Karimah Parahyangan yang diwakili oleh Martadinata, S.E., Ak., dalam hal ini memberikan kuasa kepada A.H. Wakil Kamal, S.H., M.H., Iqbal Tawakkal Pasaribu, S.H., M.H. dan Guntoro, S.H., M.H., untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 1 angka 9, Pasal 13, Pasal 21 huruf d, Pasal 25 huruf b dan huruf e UU 21/2008

Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 33 ayat (4) dalam UUD NRI Tahun1945.

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materiil UU Perbankan Syariah dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.14] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih jauh dalil-dalil pokok permohonan a quo, penting bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut:
[3.14.1] Bahwa perbankan syariah dibentuk dalam rangka pemenuhan atas permintaan sebagian warga negara akan tersedianya jasa keuangan yang sesuai dengan prinsip syariah untuk mewujudkan sistem perbankan yang terhindar dari praktik yang tidak sejalan dengan prinsip syariah. Prinsip perbankan syariah merupakan bagian dari ajaran Islam yang berkaitan dengan ekonomi. Dalam hal ini, prinsip syariah berlandaskan pada nilai-nilai keadilan, kemanfaatan, keseimbangan, dan keuniversalan (rahmatan lil ‘alamin). Salah satu prinsip dalam ekonomi Islam adalah larangan riba dalam berbagai bentuknya, dan menggunakan sistem antara lain prinsip bagi hasil. Dengan prinsip bagi hasil, Bank Syariah dapat menciptakan iklim investasi yang sehat dan adil karena semua pihak dapat saling berbagi baik keuntungan maupun risiko yang timbul sehingga akan menciptakan posisi yang berimbang antara bank dan nasabahnya. Dalam jangka panjang, hal ini akan mendorong pemerataan ekonomi nasional karena hasil keuntungan tidak hanya dinikmati oleh pemilik modal saja, tetapi juga oleh pengelola modal [vide Penjelasan Umum UU 21/2008].
[3.14.2] Bahwa dengan berlakunya UU 21/2008 tidak lagi menerapkan prinsip bagi hasil sebagaimana diatur dalam UU sebelumnya. Dalam hal ini, UU a quo mengakui keberadaan bank syariah serta membolehkan bank umum konvensional memberikan layanan syariah melalui mekanisme Islamic window dengan membuka unit usaha syariah. Berlakunya undang-undang yang mengakomodir kegiatan perbankan syariah tersebut maka perbankan Indonesia mulai menganut dual system banking di mana bank dapat melakukan dua kegiatan sekaligus yaitu kegiatan perbankan berbasis bunga dan kegiatan perbankan berbasis syariah secara berdampingan di mana pelaksanaannya diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Bagi bank yang mengkonversi dirinya menjadi perbankan syariah, seluruh mekanisme kerja mengikuti prinsip-prinsip perbankan syariah, sedangkan bagi yang melakukan keduanya, mekanisme kerja diatur sedemikian rupa terutama yang menyangkut interaksi kegiatan-kegiatan berbasis bunga yang merupakan kekhasan dari perbankan konvensional dengan kegiatan yang bebas bunga yang merupakan kekhasan dari perbankan syariah sehingga antar keduanya dapat dipisahkan. Oleh karena bank dengan prinsip syariah memiliki tujuan, mekanisme serta ruang lingkup yang berbeda dengan bank konvensional, maka UU 21/2008 memberikan pengaturan secara lebih khusus mengenai kegiatan, produk dan jasa bank syariah. Selain itu, UU a quo juga memperjelas perbedaan antara bank yang menjalankan kegiatan usaha secara konvensional dengan bank yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Dengan demikian, berlakunya UU 21/2008, maka bank syariah dan bank konvensional yang membuka layanan syariah secara khusus tunduk pada pengaturan dalam UU 21/2008.
[3.14.3] Bahwa struktur perbankan syariah yang diatur dalam UU 21/2008 terdiri atas 2 (dua) jenis, yaitu: Bank Umum Syariah (BUS) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) [vide Pasal 18 UU 21/2008]. Struktur tersebut sama dengan model atau struktur yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU 7/1992), yaitu terdiri atas Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat [vide Pasal 5 ayat (1) UU 7/1992]. Oleh karena terdapat perbedaan prinsip perbankan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU Perbankan) dan UU 21/2008, maka nomenklatur dalam UU 21/2008 disesuaikan dengan prinsip syariah. Salah satu nomenklatur yang disesuaikan adalah istilah “perkreditan” pada Bank Perkreditan Rakyat menjadi istilah “pembiayaan” dalam UU 21/2008. Penyesuaian tersebut tidak dapat dilepaskan dari karakteristik transaksi kredit bank dalam perbankan konvensional mengenakan bunga atas pinjaman, sedangkan dalam prinsip syariah bunga atas pinjaman tersebut termasuk dalam kategori riba dan merupakan sesuatu yang bertentangan dengan prinsip syariah. Oleh karena tidak dimungkinkannya penggunaan nomenklatur/istilah “perkreditan” tersebut, UU 21/2008 menggunakan 2 (dua) nomenklatur berbeda, yaitu: bank rakyat yang menjalankan kegiatan usaha secara konvensional disebut dengan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) sedangkan bank rakyat yang menjalankan kegiatan atau usaha berdasarkan prinsip syariah disebut dengan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Perihal nomenklatur BPR dan BPRS tidak hanya diatur dalam UU Perbankan tetapi juga diatur dalam UU 21/2008 sebagai berikut:
Pasal 1 angka 4 UU 10/1998
Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Pasal 1 angka 6 UU 21/2008
Bank Perkreditan Rakyat adalah Bank Konvensional yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Pasal 1 angka 9 UU 21/2008
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Oleh karena ketiga norma tersebut mengatur perihal BPR maupun BPRS memiliki karakteristik yang sama, yaitu keduanya tidak dapat memberikan jasa dalam lalu lintas sistem pembayaran sebagaimana Bank Umum/Bank Umum Syariah. Berdasarkan karakteristik tersebut, UU Perbankan maupun UU 21/2008 mengatur mengenai hal-hal yang berkaitan dengan BPR dan BPRS yang meliputi kegiatan usaha maupun hal-hal yang dilarang bagi BPR dan BPRS sesuai dengan karakteristik dasarnya, yaitu merupakan bank yang tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah selanjutnya akan menilai konstitusionalitas kata “tidak” dalam norma Pasal 1 angka 9, frasa “Melalui Rekening Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang ada di Bank Umum Syariah, Bank Umum Konvensional, dan UUS” dalam norma Pasal 21 huruf d, dan frasa “dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran” dalam norma Pasal 25 huruf b UU 21/2008 yang didalilkan Pemohon bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Dalam hal ini, Pemohon mendalilkan norma a quo tidak relevan lagi karena membatasi BPRS dalam memberikan pelayanan kepada nasabah, menimbulkan perlakuan berbeda terhadap BPRS yang berbentuk perseroan terbatas, dan menghambat BPRS untuk berkembang. Terhadap dalil tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.15.1] Bahwa Perbankan Indonesia menjalankan fungsi utama dalam kegiatan intermediasi dengan mengutamakan prinsip kehati-hatian. Sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat, secara umum eksistensi perbankan bertujuan untuk menunjang pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional dalam rangka peningkatan taraf hidup rakyat. Dalam fungsi demikian, perbankan memiliki peran strategis tidak hanya terkait dengan kegiatan intermediasi, tetapi sekaligus mendukung berbagai program Pemerintah dalam rangka mendukung ekonomi nasional, seperti skema kredit bagi usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), penyaluran dana/bantuan Pemerintah kepada masyarakat, dan sebagainya. Karena itu, UU 7/1992 mengatur dan sekaligus menentukan struktur perbankan berdasarkan pada jenis dan kegiatan usahanya, yaitu meliputi Bank Umum dan BPR.
Sebelum berlaku UU 7/1992 tidak dikenal istilah BPR. Dalam hal ini, terdapat beberapa jenis kegiatan usaha bank, yaitu: bank desa, bank pasar, bank pegawai, badan kredit desa, dan sebagainya. Keberadaan lembaga-lembaga tersebut adalah untuk melayani kebutuhan transaksi keuangan mendasar masyarakat di pelosok Indonesia, yaitu menghimpun dan menyalurkan dana dari dan kepada masyarakat tersebut. Dengan diberlakukannya UU 7/1992, seluruh jenis lembaga keuangan yang diatur sebelumnya disatukan penamaannya menjadi BPR dengan tetap mempertahankan karakteristik, yaitu melayani kebutuhan transaksi keuangan mendasar masyarakat dengan tetap memperhatikan ketentuan terkait kekhasan permodalan, jenis usaha, dan cakupan wilayah usaha. Oleh karena hal tersebut menjadi sesuatu yang tumbuh dan bertahan di tengah masyarakat, karakteristik tersebut kemudian diatur dalam UU 21/2008 dengan menyesuaikan pelaksanaannya berdasarkan prinsip syariah yang tidak hanya mengubah kegiatan tetapi juga penamaan atau nomenklaturnya menjadi BPRS.
Berdasarkan uraian tersebut, UU 21/2008 menentukan bank berdasarkan jenis dan kegiatan usaha menjadi 2 (dua), yaitu BUS dan BPRS. Dalam hal ini, BUS sebagai bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran [vide Pasal 1 angka 3 UU Perbankan], sedangkan BPRS adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran [vide Pasal 1 angka 4 UU Perbankan]. Pembedaan pengertian dan kegiatan usaha antara BUS dan BPRS tersebut dilakukan sesuai dengan filosofi pembentukannya. Dalam hal ini, meskipun kedua jenis bank dimaksud memiliki fungsi intermediasi dengan melakukan penghimpunan dana untuk kemudian menyalurkan dana tersebut dalam bentuk kredit yang bertujuan untuk meningkatkan perekonomian. Namun demikian, pembentukan BPRS lebih ditujukan sebagai “community (rural) bank” yang memiliki segmentasi pasar, yaitu masyarakat di sekitar BPR/BPRS dan UMKM termasuk di daerah yang belum terjangkau oleh layanan bank umum. Pembedaan tersebut memiliki tujuan agar BPR dan BPRS fokus pada kegiatan sebagai community bank yang melayani pembiayaan bagi masyarakat hingga berbagai pelosok. Dengan perbedaan desain antara Bank Umum dengan BPR, hal tersebut tercermin dalam perbedaan cakupan kegiatan usaha termasuk jenis produk yang berbeda.
Berkenaan dengan perbedaan tersebut, lebih lanjut, Penjelasan Pasal 14 UU Perbankan menyatakan larangan kegiatan usaha tertentu bagi BPR yang antara lain larangan untuk menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran yang dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan kegiatan usaha BPR terutama ditujukan untuk melayani usaha-usaha kecil dan masyarakat di pedesaan. Karena filosofi pembentukannya ditujukan untuk kegiatan yang berbeda, pengaturan bagi BPR/BPRS dengan Bank Umum/Bank Umum Syariah tidak dapat disamakan. Dalam hal ini, pengaturan BPR/BPRS yang demikian tidak dimaksudkan sebagai bentuk diskriminasi atau menghambat pengembangan BPR/BPRS. Dalam batas penalaran yang wajar, pembedaan pengaturan tersebut selain lebih dikarenakan proporsionalitas tujuan pembentukannya juga disesuaikan dengan desain, sifat, serta fungsi BPR/BPRS sebagai community bank.
[3.15.2] Bahwa larangan bagi BPR/BPRS untuk memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran tidak dapat dipisahkan dengan larangan bagi BPR/BPRS untuk menerima simpanan berupa giro sebagaimana diatur dalam Pasal 25 huruf b UU 21/2008 dan Pasal 14 huruf a UU Perbankan. Larangan tersebut berkenaan dengan karakteristik lain dari BPR/BPRS yang bukan merupakan Bank Pencipta Uang Giral (BPUG). Dengan penetapan BPR/BPRS bukan termasuk sebagai BPUG maka BPR/BPRS tidak dikenakan kewajiban pemenuhan Giro Wajib Minimum (GWM) dan tidak memiliki rekening giro pada bank sentral, in casu Bank Indonesia (BI). Dalam hal ini, GWM merupakan instrumen kebijakan moneter tidak langsung karena sasaran kebijakannya adalah mempengaruhi kondisi pasar uang. Selain itu, GWM merupakan dana atau simpanan minimum yang harus dipelihara oleh bank dalam bentuk saldo rekening giro yang ditempatkan di BI, dengan besarannya ditetapkan BI berdasarkan persentase dana dari pihak ketiga yang dihimpun perbankan. Pemenuhan GWM tersebut dilakukan agar likuiditas keuangan perbankan menjadi lebih terjaga terutama untuk terhindar dari krisis. Tanpa kepemilikan rekening giro di BI, BPR/BPRS sebagai non-BPUG, tidak dapat melakukan lalu lintas pembayaran secara langsung pada infrastruktur Sistem Pembayaran BI karena rekening giro di BI tersebut juga digunakan untuk aktivitas kliring dan settlement, sebagaimana yang dapat dilakukan oleh Bank Umum. Konsekuensi lanjutannya adalah BPR/BPRS tidak dapat menjadi peserta Operasi Moneter (OM) yaitu pelaksanaan kebijakan moneter oleh BI dalam rangka pengendalian moneter melalui Operasi Pasar Terbuka dan Standing Facilities, termasuk tidak bisa melakukan aktivitas di pasar uang antarbank dan tidak berhak atas fasilitas OM, serta tidak dapat menjadi peserta Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (Sistem BI-RTGS). Oleh karena itu, apabila BPR yang statusnya bukan sebagai BPUG diperbolehkan memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran hal tersebut potensial meningkatkan risiko liquidity mismatch dalam hal terdapat perbedaan perhitungan dalam proses penyelesaian transaksi (settlement process) sehubungan dengan dilakukannya transaksi nasabah yang dapat mengganggu stabilitas moneter dan sistem keuangan.
[3.15.4] Bahwa pesatnya perkembangan teknologi informasi (TI) menuntut BPR dan BPRS dapat mengikuti perubahan ekosistem perekonomian. Namun, menurut Pemohon, BPRS tidak dapat menggunakan TI sebagaimana yang dilakukan oleh Bank Umum dan BUS. Keberlakuan Pasal 21 huruf d UU 21/2008, sebagaimana didalilkan Pemohon, membatasi BPRS untuk ikut serta dalam kegiatan transaksi keuangan.
Berkenaan dengan hal tersebut, pembatasan dalam layanan lalu lintas pembayaran sebagaimana yang diatur dalam UU Perbankan dan UU 21/2008, yang merupakan larangan bagi BPR/BPRS yang bukan merupakan BPUG untuk terlibat dalam proses giralisasi tidak dapat dilepaskan dari lalu lintas giral yang hanya dilakukan melalui kliring di BI untuk Cek dan Bilyet Giro sebagai instrumen pembayaran yang dapat melakukan overdraft di bank. Dalam perjalanannya, produk tabungan perbankan berkembang dan dapat dilakukan transfer dana antar-rekening tabungan tanpa melalui kliring BI, melainkan dengan cara switching. Dalam hal ini, BPR/BPRS diperkenankan untuk memindahkan dana antar bank melalui rekening BPRS di Bank Umum Konvensional, BUS dan UUS (indirect participant) sebagaimana diatur dalam Pasal 21 huruf d UU 21/2008. Dengan demikian, sesungguhnya BPR dan BPRS dapat mengoptimalkan pelaksanaan transfer dana dengan memanfaatkan infrastruktur dan kerjasama dengan lembaga lain, seperti Bank Umum/BUS dan UUS. Bahkan, berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No. 23/6/PBI/2021 tentang Penyedia Jasa Pembayaran (PBI PJP), layanan jasa pembayaran yang dapat diberikan oleh Penyedia Jasa Pembayaran lain selain bank juga dilakukan melalui Bank Umum (indirect) dengan memenuhi persyaratan yang ditetapkan termasuk manajemen risiko dan performa dalam penyelenggaraan sesuai dengan peraturan perundang-undangan [vide Keterangan BI, hlm 10]. Sehingga, dengan demikian BPR/BPRS juga dapat memberikan layanan dalam sistem pembayaran melalui kolaborasi dengan Bank Umum/BUS. Saat ini, berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 25/POJK.03/2021 tentang Penyelenggaraan Produk Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (POJK Produk BPR-BPRS), yang memenuhi persyaratan diperkenankan untuk memiliki layanan perbankan elektronik, seperti mobile banking dan internet banking, maupun penyelenggaraan akses ke sumber dana untuk pembayaran berupa penerbitan instrumen pembayaran seperti penerbitan kartu Anjungan Tunai Mandiri (ATM) dan kartu debit.
Selain itu, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 75/POJK.03/2016 tentang Standar Penyelenggaraan Teknologi Informasi bagi BPR dan BPRS (POJK 75/2016) memungkinkan BPR dan BPRS dapat bekerja sama dengan lembaga penyelenggara TI untuk mendukung pelaksanaan transfer dana seperti penyelenggara payment gateway, penyelenggara transfer dana, penerbit uang dan/atau dompet elektronik, atau Penyedia Jasa Teknologi Informasi (PJTI). Namun, dalam mengoptimalkan kegiatan transfer dana, BPRS perlu memerhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan serta tetap memastikan adanya langkah mitigasi risiko yang mungkin timbul terkait pelaksanaan kerja sama maupun risiko terkait sistem TI yang digunakan. Merujuk pada Roadmap Pengembangan Industri BPR dan BPRS 2021-2025, optimalisasi pemanfaatan TI oleh BPR dan BPRS dapat dilakukan melalui kolaborasi dengan lembaga atau institusi lain. Salah satu bentuk optimalisasi dimaksud, BPR/BPRS dalam kegiatan penyaluran dana dapat berkolaborasi dengan platform fintech lending atau penyelenggara layanan pinjam-meminjam uang secara langsung antara pemberi pinjaman dan penerima pinjaman berbasis TI, seperti yang dilakukan PT BPR Lestari Bali dengan platform fintech lending Investree. Selain itu, pemanfaatan TI untuk optimalisasi layanan transaksi keuangan oleh BPR/BPRS dalam menghimpun dana pihak ketiga dapat dilakukan melalui aplikasi marketplace, seperti aplikasi DepositoBPR by Komunal. [vide Roadmap Pengembangan Industri BPR dan BPRS 2021-2025, hlm. 61 sampai dengan hlm. 69]
[3.15.6] Bahwa selain pertimbangan hukum tersebut di atas, khusus berkaitan dengan norma Pasal 1 angka 9 UU 21/2008, karena berkaitan dengan ketentuan umum sebuah undang-undang, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
Secara normatif, Lampiran II, huruf C.1 angka 98 dan 107 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011), menjelaskan bahwa ketentuan umum berisi: (a) batasan pengertian atau definisi; (b) singkatan atau akronim yang dituangkan dalam batasan pengertian atau definisi; dan/atau (c) hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal atau beberapa pasal berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan tanpa dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab. Dengan demikian, ketentuan tersebut merupakan landasan bagi pasal-pasal berikutnya dalam suatu undang-undang, sehingga jika ketentuan umum diubah, baik langsung maupun tidak langsung, akan berakibat mengubah materi pasal-pasal yang diwadahi dengan ketentuan umum dimaksud. Apabila diikuti jalan pemikiran Pemohon untuk menghilangkan kata “tidak” dalam Pasal 1 angka 9 UU 21/2008, secara filosofi mengubah sifat karakteristik BPRS, sehingga dapat mengaburkan perbedaan antara BUS dan BPRS.
[3.15.7] Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, telah ternyata BPR/BPRS dapat ikut serta dalam lalu lintas pembayaran melalui kerjasama dengan bank umum. Tidak hanya itu, BPR/BPRS juga dapat melakukan optimalisasi tranksaksi lalu lintas pembayaran melalui lembaga jasa keuangan lain dan penyelenggara layanan keuangan lain yang berbasis TI dengan memperhatikan karakteristik BPR/BPRS. Dalam hal ini, apabila Pemohon ingin menyelenggarakan kegiatan usaha lalu lintas pembayaran secara langsung, BPRS dapat meningkatkan kelembagaannya menjadi BUS sehingga tingkat kesehatan bank tetap terjaga, risiko liquidity mismatch dan risiko lain dapat dimitigasi, serta memiliki teknologi informasi yang handal yang jika digunakan tetap dapat menjaga kepercayaan masyarakat. Artinya, norma dalam pasal-pasal a quo tidak dimaksudkan untuk memperlakukan berbeda antara Bank Umum/BUS dengan BPR/BPRS tetapi lebih dimaksudkan sebagai pelaksanaan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan dana masyarakat. Dengan demikian, dalil yang menyatakan norma Pasal 1 angka 9, Pasal 21 huruf d dan Pasal 25 huruf b UU 21/2008 membatasi hak konstitusional Pemohon dalam memberikan pelayanan kepada nasabah, menimbulkan perlakuan berbeda terhadap BPRS yang berbentuk perseroan terbatas, dan menghambat BPRS untuk berkembang adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.16] Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon berkenaan dengan konstitusionalitas kata “umum“ dalam norma Pasal 13 UU 21/2008 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Pemohon mendalilkan norma Pasal 13 UU 21/2008 a quo merupakan norma yang memberikan batasan bagi BPRS untuk melakukan penawaran umum efek dan oleh karenanya merugikan Pemohon karena sumber permodalan atau keuangan BPRS menjadi terbatas yang mengakibatkan BPRS kesulitan menjaga kesehatan keuangannya. Terhadap dalil tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
Secara normatif, berdasarkan Pasal 13 UU 21/2008 membolehkan BUS melakukan penawaran umum efek melalui pasar modal sepanjang memenuhi syarat tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. Berdasarkan ketentuan tersebut, ketika akan melakukan penawaran umum, BUS terlebih dahulu harus memenuhi syarat-syarat menjadi emiten atau perusahaan publik yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, salah satunya memenuhi prinsip keterbukaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Namun berbeda dengan BUS, UU 21/2008 melarang BPRS melakukan penawaran umum efek melalui pasar modal. Oleh karena itu, menghapus kata “umum“ dalam Pasal 13 UU 21/2008 sebagaimana yang didalilkan Pemohon tidak serta merta menjadikan BPRS sebagai perusahaan emiten yang dapat melepas saham di pasar modal. Hal demikian terjadi karena ketentuan norma Pasal 9 ayat (2) UU 21/2008 menentukan BPRS hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh: (a) warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya warga negara Indonesia; (b) pemerintah daerah; atau (c) dua pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b. Dengan demikian, ketentuan Pasal 9 ayat (2) UU 21/2008 telah mengatur secara tegas bahwa BPRS hanya boleh dimiliki Warga Negara Indonesia. Sehingga, ketika BPRS menjadi emiten dan saham BPRS dilepas di pasar modal, maka terbuka kemungkinan untuk dimiliki pihak asing, baik oleh warga negara asing maupun badan hukum asing karena kegiatan jual beli saham di pasar modal tidak hanya melibatkan warga negara Indonesia dan badan hukum Indonesia melainkan juga melibatkan warga negara asing dan badan hukum asing. Apabila kata “umum“ dihapus sebagaimana didalilkan Pemohon, larangan kepemilikan oleh warga negara asing dan badan hukum asing sebagaimana ditentukan Pasal 9 ayat (2) UU 21/2008 tidak dapat dipenuhi. Padahal kehadiran dan tujuan pembentukan BPRS dalam melayani transaksi keuangan masyarakat dan UMKM serta ketentuan mengenai kepemilikan BPRS oleh WNI dan badan hukum Indonesia yang sepenuhnya dimiliki oleh WNI. Karena itu, sumber permodalan BPRS sengaja dirancang berasal dari pemegang saham pendiri, investor lokal lain di luar pasar modal, dan penguatan konsolidasi melalui proses penggabungan dan peleburan. Jika dana hasil penawaran umum efek di pasar modal digunakan untuk memperkuat modal BPRS sebagaimana keinginan Pemohon, maka penerbitan efek yang bersifat utang dan/atau sukuk tersebut justru tidak diperbolehkan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 5 ayat (2) huruf d Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 66/POJK.03/2016 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dan Pemenuhan Modal Inti Minimum Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
Berkenaan dengan keterbatasan penyediaan modal BPRS tidaklah serta merta menyebabkan usaha BPRS perlahan menjadi hilang. Merujuk fakta empiris sebagaimana dijelaskan OJK, sampai dengan Mei 2022, aset industri BPR dan BPRS tumbuh sebesar 9.5% (sembilan koma lima persen) dengan rasio kecukupan modal (Capital Adequaty Ratio, CAR) BPR sebesar 32.47% (tiga puluh dua koma empat puluh tujuh persen) dan CAR BPRS sebesar 23.35% (dua puluh tiga koma tiga puluh lima persen). Selain itu, secara year-on-year, terdapat peningkatan jumlah dana pihak ketiga BPR dan BPRS sebesar 10.7% (sepuluh koma tujuh persen) dan penyaluran kredit/pembiayaan sebesar 8.6% (delapan koma enam persen). Begitu pula, sebagai community bank, penyaluran kredit dan pembiayaan oleh BPR dan BPRS kepada sektor UMKM mencapai 50.6% (lima puluh koma enam persen) [vide Keterangan OJK, hlm. 14 sampai dengan hlm. 15]. Dari fakta tersebut, rasio permodalan BPR dan BPRS menunjukkan ketahanan yang cukup baik dan mampu menopang risiko kredit dan pembiayaan yang menunjukkan kecenderungan meningkat. Sejalan dengan hal tersebut, rasio likuiditas dan profitabilitas BPR dan BPRS juga mencatatkan kinerja yang masih relatif terjaga. Lebih lanjut, sebagaimana keterangan OJK dalam persidangan, selama periode tahun 2016 hingga 2022, justru semakin banyak BPR/BPRS dengan modal yang lebih besar yang menunjukkan semakin kuatnya BPR/BPRS dalam mengembangkan bisnis dan memitigasi risiko kegiatan usahanya. Jikalaupun terdapat BPR/BPRS yang dicabut izin usahanya, tidak satupun disebabkan oleh ketidakcukupan modal namun dikarenakan adanya permasalahan tata kelola internal (mismanagement) BPR/BPRS yang tidak dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian dan asas perbankan yang sehat serta adanya fraud yang dilakukan oleh pejabat atau pegawai BPR/BPRS [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 32/PUU-XX/2022, tanggal 5 September 2022 dan Keterangan OJK hlm. 29].
Berdasarkan uraian pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, dalil Pemohon yang menyatakan kata “umum” dalam norma Pasal 13 UU 21/2008 menyebabkan sumber permodalan atau keuangan BPRS menjadi terbatas yang mengakibatkan BPRS kesulitan menjaga kesehatan keuangannya adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.17] Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon ihwal frasa “pada lembaga yang dibentuk untuk menanggulangi kesulitan likuiditas” dalam norma Pasal 25 huruf e UU 21/2008 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Dalam hal ini, Pemohon mendalilkan frasa dalam norma a quo menyebabkan BPRS kesulitan memenuhi persyaratan permodalan dan hal tersebut memperlakukan secara berbeda antara BUS dengan BPRS yang berbentuk perseroan terbatas. Berkenaan dengan dalil Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.17.1] Bahwa berkenaan dengan kegiatan penyertaan modal, Pasal 1 angka 3 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 36/POJK.03/2017 tentang Prinsip Kehatian-hatian Dalam Kegiatan Penyertaan Modal, menyatakan penyertaan modal adalah penanaman dana Bank dalam bentuk saham pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan, termasuk penanaman dalam bentuk surat utang konversi wajib (mandatory convertible bonds) atau surat investasi konversi wajib (mandatory convertible sukuk) atau jenis transaksi tertentu yang berakibat Bank memiliki atau akan memiliki saham pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan. Berdasarkan pengertian tersebut, oleh karena itu, Pasal 25 huruf e UU 21/2008 melarang BPRS melakukan penyertaan modal kecuali pada lembaga yang dibentuk untuk menanggulangi kesulitan likuiditas. Menurut Mahkamah, norma yang berisi larangan tersebut bukan dimaksudkan untuk membatasi BPRS sebagaimana didalikan Pemohon, melainkan suatu bentuk perlindungan agar BPRS terhindar dari berbagai masalah yang berisiko tinggi terhadap kelangsungan usaha sebagai akibat dari alokasi permodalan BPRS yang tidak sesuai dengan arah pengembangannya. Penyertaan Modal BPRS tersebut merupakan upaya negara membentuk jaring pengaman bagi bank pada saat mengalami kesulitan likuiditas. Apabila dibuka larangan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 huruf e UU 21/2008, hal ini juga perlu diikuti penyesuaian atas beberapa peraturan perundang-undangan terkait dengan permodalan BPRS.
Tidak hanya itu, norma Pasal 25 huruf e UU 21/2008 adalah upaya untuk melindungi keberlanjutan BPRS serta perlindungan nasabah serta pihak-pihak lain yang memiliki hubungan hukum dengan BPRS. Dengan demikian, Pemohon telah salah dalam menyikapi maksud dari norma Pasal 25 huruf e UU 21/2008. Dalam batas penalaran yang wajar, terutama dalam posisi sebagai community bank, larangan dimaksud bukanlah usaha negara untuk menghalangi BPRS mendapatkan sumber modal dari BPRS lainnya, melainkan upaya antisipasi negara dalam melindungi BPRS dan masyarakat yang menjadi nasabah BPRS. Terlebih lagi, norma Pasal 25 huruf e UU 21/2008 tidaklah menutup kemungkinan bagi BPRS untuk mendapatkan modal dari pihak lain, termasuk dari BUS selama memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil Pemohon ihwal frasa “pada lembaga yang dibentuk untuk menanggulangi kesulitan likuiditas” dalam Pasal 25 huruf e UU 21/2008 menyebabkan BPRS kesulitan memenuhi persyaratan permodalan dan diperlakukan secara berbeda BPRS yang berbentuk perseroan terbatas dengan BUS adalah dalil yang tidak dapat dibenarkan. Sebab, norma a quo merupakan norma yang diatur dengan mengikuti sifat kekhasan BPRS yang justru bertujuan memberikan perlindungan kepada BPRS serta nasabahnya. Dengan demikian, dalil Pemohon a quo adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon mengenai konstitusionalitas norma Pasal 1 angka 9, Pasal 13, Pasal 21 huruf d, serta Pasal 25 huruf b dan huruf e UU 21/2008 telah ternyata tidak menimbulkan ketidakpastian hukum, tidak menghambat pengembangan diri, dan tidak membatasi untuk mendapatkan kesempatan yang sama sehingga tidak menghalangi BPRS untuk mencapai tujuan perekonomian nasional. Oleh karena itu, dalil-dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

[3.19] Menimbang bahwa berkenaan dengan hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena tidak terdapat relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 51/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PERDAGANGAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-10-2022

Muhammad Hasan Basri untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 29 ayat (1) UU 7/2014

Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 29 ayat (1) UU 7/2014 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.12] Bahwa berdasarkan dalil-dalil yang dikemukakan oleh Pemohon sebagaimana dalam Paragraf [3.7] di atas, maka permasalahan konstitusionalitas yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah apakah frasa “dalam jumlah dan waktu tertentu” dalam Pasal 29 ayat (1) UU 7/2014 bertentangan dengan UUD 194. Namun, sebelum mempertimbangkan permasalahan tersebut, Mahkamah perlu terlebih dahulu mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan tujuan dan cita-cita pembentukan negara Indonesia yaitu menciptakan masyarakat adil dan Makmur. Cita-cita bangsa Indonesia ini, misalnya, dijabarkan ke dalam Pasal 33 UUD 1945 yang mengatur terkait penguasaan negara terhadap cabang-cabang produksi yang penting dan mengusai hajat hidup orang banyak serta bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Selanjutnya, upaya mewujudkan cita-cita bangsa juga mendasar pada falsafah Pancasila yang dilakukan melalui sistem demokrasi, termasuk dalam hal perekonomian, yaitu melalui sistem demokrasi ekonomi. Sistem demokrasi ekonomi Pancasila berdasarkan kekeluargaan dan dijiwai oleh semangat gotong royong yang dibangun dalam pilar pembangunan ekonomi yang berorientasi keadilan, pemenuhan hak sosial rakyat, kesempatan yang sama bagi seluruh masyarakat, pemerataan pembangunan, dan menciptakan persatuan bangsa;
Sistem ekonomi Pancasila tidak bersifat mengejar keberhasilan material dan kesejahteraan individu semata, mengejar keberhasilan material dan kesejahteraan bersama. Basis material yang dimiliki dimanfaatkan untuk memajukan kepentingan dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia melalui pengembangan kualitas hidup manusia serta memberikan akses yang adil terhadap upaya pencapaian. Oleh karena itu, mekanisme kerja demokrasi ekonomi Pancasila harus mendahulukan kepentingan rakyat di atas kepentingan individu/golongan atau pemilik modal demi terciptanya kondisi kehidupan yang layak bagi seluruh rakyat Indonesia dan menciptakan pemerataan pembangunan dengan tetap menjaga persatuan bangsa;
[3.12.2] Bahwa pelaksanaan demokrasi ekonomi dilakukan melalui kegiatan perdagangan yang merupakan penggerak utama dalam pembangunan perekonomian nasional serta dapat memberikan daya dukung dalam meningkatkan produksi memeratakan pendapatan serta memperkuat daya saing produk dalam negeri [vide Konsideran Menimbang huruf b UU 7/2014]. Secara historis, perdagangan diatur dalam produk hukum masa kolonial Belanda yang selanjutnya dibentuk berbagai peraturan perundang-undangan di bidang perekonomian yang bersifat parsial. Oleh karena itu peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perdagangan memerlukan adanya harmonisasi dan sinkronisasi dalam kerangka kesatuan ekonomi nasional guna menyikapai perkembangan situasi perdagangan era globalisasi saat ini dan masa yang akan datang. Alasan-alasan tersebut yang melandasi terbentuknya UU 7/2014 yang berdasarkan asas kepentingan nasional, kepastian hukum, adil dan sehat, keamanan berusaha, akuntabel dan transparan, kemandirian, kemitraan, kemanfaatan, kesederhanaan, kebersamaan, dan berwawasan lingkungan [vide Penjelasan Umum UU 7/2014];
Salah satu fokus dalam mewujudkan tujuan dibentuknya UU 7/2014 adalah pengendalian terhadap ketersediaan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jumlah yang memadai mutu yang baik, dan harga yang terjangkau oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah bahkan dalam kondisi tertentu Pemerintah menetapkan Langkah pemenuhan ketersediaan, stabilisasi harga, dan distribusi barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting [vide Pasal 25 dan Pasal 26 UU 7/2014]. Hal ini terkait erat dengan hakikat perlindungan konsumen bagi seluruh masyarakat Indonesia. Upaya untuk meningkatkan kesajahteraan masyarakat masyarakat memiliki posisi sejajar dengan upaya melindungi konsumen dari hal-hal yang menurunkan tingkat kesejahteraan konsumen itu sendiri;
[3.13] Bahwa setelah menegaskan hal-hal tersebut, selanjutnya Mahkamah mempertimbangkan masalah konstitusionalitas norma Pasal 29 ayat (1) UU 7/2014 sepanjang frasa “dalam jumlah dan waktu tertentu” yang menurut Pemohon telah menimbulkan ketidakpastian hukum karena pada waktu dan situasi terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang, frasa tersebut mangandung unsur kebolehan untuk menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting. Terhadap permasalahan konstitusionalitas norma yang dipersoalkan oleh Pemohon tersebut, menurut Mahkamah dalam mempertimbangkan rumusan frasa “dalam jumlah dan waktu tertentu” dalam Pasal 29 ayat (1) UU 7/2014 maka ketentuan norma a quo harusnya dibaca secara menyeluruh dalam satu kesatuan meliputi Pasal 29 ayat (1) UU 7/2014 maka ketentuan norma a quo harusnya dibaca secara menyeluruh dalam satu kesatuan meliputi Pasal 29 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 7/2014 termasuk juga Penjelasan serta ketentuan pidana yang mengaturnya. Dibentuknya norma Pasal 29 ayat (1) UU 7/2014 ini telah ternyata dimaksudkan untuk menghindari adanya praktik penimbunan terhadap barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting yang akan menyulitkan konsumen dalam memperoleh barang-barang yang menguasai hajat hidup orang banyak tersebut. Dikarenakan penekanan dari Pasal 29 ayat (1) UU 7/2014 adalah menghindari adanya praktik penimbunan, maka hal penting yang harus diperhatikan adalah bagaimana dapat mengetahui bahwa pelaku usaha itu sedang melakukan penyimpanan dan bukan penimbunan. Dengan demikian, perlu dipahami terlebih dahulu perbedaan pengertian antara kata “menyimpan” yang dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) UU 7/2014 dan pengertian kata “menimbun” yang menjadi dasar dinormakan Pasal a quo;
Berkenan dengan kedua pengertian tersebut, berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata” menyimpan” berasal dari kata dasar simpan yang artinya menaruh di tempat yang aman supaya jangan rusak, hilang, dan sebagainya. Sedangkan kata “menimbun” berasal dari kata timbun yang artinya tumpukan sesuatu. Adapun arti kata penimbunan adalah (1) proses, cara, perbuatan menimbun, pengumpulan barang-barang, (2) tempat menimbun. Berdasarkan pengertian kedua kata tersebut dapat dipahami bahwa kegiatan menyimpan barang lebih menekankan kepada perlakuan terhadap barang dengan baik agar barang tersebut tetap dalam kondisi aman, baik dan tidak rusak atau hilang. Sedangkan kegiatan menimbun lebih bermakna kepada pengumpulan ataupun penyimpanan barang dalam jumlah besar;
Dalam konteks perdangan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting terdapat perbedaan mendasar antara Tindakan penyimpanan dan Tindakan penimbunan. Penyimpanan adalah kegiatan menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting oleh pelak usaha yang akan digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam proses produksi atau juga bahan persediaan untuk didistribusikan. Adapun Penimbunan adalah : kegiatan menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dengan maksud spekulasi untuk memperoleh keuntungan yang melebihi kewajaran terutama pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang. Penimbunan dilakukan dengan melebihi stok atau persediaan selama 3 (tiga) bulan berdasarkan rata-rata kebutuhan atau penjualan dalam kondisi normal, dengan berbagai cara termasuk dengan melakukan manipulasi data dan/atau informasi mengenai barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting (vide Risalah Sidang Perkara 51/PUU-XX/2022, Pada 28 Juni 2022 hlm. 5);
Berdasarkan pemaknaan kata “menyimpan” dan kata “menimbun” sebagaimana dijelaskan di atas, dapat dipahami bahwa diperlukan adanya Batasan kualifikasi terkait kapan pelaku usaha dapat dikatakan menyimpan barang dan kapan dikatakan menyimpan barang. Menurut Mahkamah, kualifikasi yang tepat untuk membedakan dua kegiatan ini adalah melalui perbedaan dari segi jumlah barang serta pemberian Batasan waktu. Ditinjau dari segi jumlah barang, diperlukan adanya pembatasan seberapa banyak jumlah barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting yang dapat dikategorikan merupakan Batasan yang wajar untuk dilakukan penyimpanan dengan tujuan memperlancar kegiatan perdagangan sehari-hari maupun sebagai bahan penolong kelanjutan proses produksi, sehingga jika jumlah barang ini telah melebihi batas yang ditentukan maka dapat dikategorikan telah terjadi penimbunan. Sementara itu, ditinjau dari segi Batasan waktu, diperlukan pembatasan berupa lama suatu barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dapat disimpan oleh para pelaku usaha sehingga Batasan waktu tersebut tidak menganggu jumlah peredaran barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting tersebut di pasar dan tidak mengganggu kesinambungan proses produksi. Selanjutnya, terkait dengan berupa banyaknya jumlah barang serta berapa lama suatu barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dapat disimpan sehingga tidak dikategorikan sebagai bentuk penimbunan yang merupakan Tindakan kejahatan ekonomi dan terancam pidana, menurut Mahkamah, hal ini harus diserahkan pengaturannya secara teknis kepada Lembaga terkait yang membidangi masing-masing komoditas yang termasuk dalam kriteria barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting. Hal ini dikarenakan daya tahan khususnya dari segi penyimpanan masing-masing komoditas barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting adalah berbeda-beda, dan instansi terkaitlah yang paling memahami keadaan ini;
Bahwa Mahkamah dapat memahami permasalahan yang dialami Pemohon, sehingga Pemohon berkesimpulan bahwa frasa “dalam jumlah dan waktu tertentu” telah menyebabkan para pelaku usaha dapat melakukan penimbunan, khususnya penimbunan minyak goreng dalam keadaan tidak normal yang berakibat mengganggu usaha Pemohon. Dalam kaitan ini, perlu Mahkamah tegaskan bahwa UU 7/2014 dibentuk untuk mengakomodir cakupan yang luas, karena terdapat berbagai varian komoditas dalam perdagangan. Oleh karena, UU 7/2014 tidak dapat mengatur segala sesuatunya dengan sangat rinci dan mendetail karena jika diatur secara detail hal tersebut justru akan mengurangi fleksibilitas varian komoditas yang diatur. Dengan maksud untuk dapat menjangkau banyak hal maka pengaturan norma dalam UU 7/2014 harus dibuat lebih umum sedangkan pelaksanaannya diatur dalam produk hukum di bawahnya. Dengan demikian pula dengan ketentuan frasa “dalam jumlah dan waktu tertentu” dalam Pasal 29 ayat (1) harus dipandang sebagai pengaturan secara umum terhadap berbagai jenis barang yang ditetapkan sebagai barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting, yang mana masing-masing komoditas barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting memiliki karakteristik berbeda satu dan lainnya. Oleh karena itu, pengertian “jumlah dan waktu tertentu” bagi penyimpanan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting menjadi substansi yang harus diatur dalam peraturan pelaksanaan UU 7/2014;
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, apabila Mahkmah mengakomodir permohonan Pemohon untuk menghilangkan frasa “jumlah dan waktu tertentu” dalam Pasal 29 ayat (1) UU 7/2014 maka segala bentuk penyimpanan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam situasi kelangkaan, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas menjadi dilarang tanpa pengecualian apapun. Hal demikian justru akan menimbulkan kekacauan dalam masyarakat serta menimbulkan ketidak pastina hukum karena tidak terdapat kriteria yang jelas kapan suatu penyimpanan itu dapat dikatakan sebagai suatu penimbunan dan hal tersebut dapat dikenakan sanksi pidana [vide Pasal 107 UU 7/2014];
Namun demikian, terhadap pelaksanaan norma tersebut berpotensi menimbulkan persoalan di lapangan, oleh karena itu perlu Mahkamah tegaskan pentingnya pengawasan yang ketat terhadap penyimpanan dan pendistribusian khususnya terhadap barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam kondisi terjadinya kelangkaan barang, gejolak harga harga dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang. Pengawasan demikian diperlukan karena secaram umum masih terdapat celah bagi pelaku usaha maupun oknum penegakan hukum untuk menyalahgunakan ketentuan Pasal a quo. Oleh karena itu, diperlukan adanya pegawasan oleh penegakan hukum yang berintegritas dengan melibatkan peran serta masyarakat, khusus dalam hal ini adalah satuan sebagimana yang telah ditentukan dalam UU a quo;
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, norma Pasal 29 ayat (1) UU 7/2014 telah ternyata memberikan jaminan atas pekerjaan yang layak dan tidak menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum;

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 62/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SUSUN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-10-2022

Rini Wulandari, S.E.,M.BA., Herman Saleh, Ir. Budiman Widyatmoko, Kristyawan Dwibhakti dengan memberi kuasa kepada Dr. Auliya Khasanofa,S.H.,M.H. dkk, advokat, konsultan, dan mahasiswa fakultas hukum kantor hukum ADHINATA LAW OFFICE, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 50 UU 20/2011

Pasal 28G ayat (1) dan 28H ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal a quo UU 20/2011 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.13] Menimbang bahwa menurut Mahkamah, permasalahan utama yang harus dijawab berdasarkan dalil permohonan para Pemohon sebagaimana telah diuraikan pada Paragraf [3.8] di atas adalah apakah norma Pasal 50 UU 20/2011 yang tidak mengakomodir fungsi “bukan hunian” bertentangan dengan konstitusi, khususnya Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Namun, sebelum menjawab permasalahan konstitusional tersebut, Mahkamah terlebih dahulu perlu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
[3.13.1] Bahwa norma Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 telah memberikan jaminan kepada setiap orang atas hak untuk hidup sejahtera lahir batin, “bertempat tinggal”, mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Pengakuan hak atas tempat tinggal sebagai bagian dari hak setiap orang yang diatur dalam Konstitusi dilandasi pada pemikiran rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar setiap insan, baik sebagai pribadi maupun sebagai suatu kesatuan dengan sesama dan lingkungan sekitar. Prinsip tempat tinggal sebagai bagian dari hak asasi manusia juga telah diakomodir dalam Agenda 21 (Fact Sheet Number 21) dari United Nation Centre for Human Settlement (UNCHS Habitat) mengenai The Right to Adequate Housing yang pada pokoknya menyatakan bahwa rumah merupakan kebutuhan dasar manusia dan menjadi hak bagi semua orang untuk menempati hunian yang layak dan terjangkau (adequate and affordable shelter for all). Selanjutnya pengakuan hak untuk bertempat tinggal ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU 39/1999) yang menentukan setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak [vide Pasal 40 UU 39/1999]. Pengaturan hak untuk bertempat tinggal dalam berbagai instrumen hukum tersebut menunjukkan bahwa rumah atau tempat tinggal, tidak dapat hanya dilihat sebagai sarana kebutuhan hidup semata, tetapi lebih dari itu merupakan proses bermukim manusia dalam menciptakan tatanan hidup dan sangat berkait erat dengan pembentukan watak serta kepribadian suatu bangsa. Oleh karena itu, negara wajib melindungi hak setiap orang untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak dan menjamin penyelenggaraan perumahan yang layak bagi masyarakat, termasuk di dalamnya perlindungan atas hak milik serta perlakuan yang tidak diskriminatif terhadap akses setiap orang untuk memenuhi kebutuhan akan bertempat tinggal.
[3.13.2] Bahwa mengacu kepada keberadaan rumah yang berkait erat dengan pembentukan watak serta kepribadian suatu bangsa, serta prinsip pemenuhan kebutuhan akan rumah adalah merupakan tanggung jawab setiap masyarakat, maka peran negara atau pemerintah adalah lebih sebagai fasilitator dan pendorong dalam upaya penyelenggaraan perumahan untuk memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal yang layak dan terjangkau sesuai dengan perkembangan sosial dan budaya yang semakin kompleks. Isu strategis yang saat ini dihadapi adalah semakin meningkatnya kebutuhan lahan bagi perumahan di wilayah perkotaan yang cenderung mahal, sehingga keberadaan, misalnya, rumah susun yang dibangun secara vertikal dan dihuni bersama dalam jumlah relatif besar di lokasi yang relatif sempit dapat menjadi pilihan baru sebagai salah satu instrumen untuk membentuk struktur tata ruang perkotaan dengan tingkat kepadatan yang tinggi sekaligus sebagai suatu cara untuk peremajaan penataan wilayah perkotaan yang selalu dihadapkan dengan masalah pemukiman kumuh (slum area). Berdasarkan amanat konstitusi dan instrumen hukum yang mengatur hak untuk bertempat tinggal sebagaimana telah dijelaskan di atas serta untuk menyelenggarakan pembangunan perumahan bagi masyarakat sesuai dengan tantangan sosial dan budaya yang semakin berkembang, khususnya di wilayah perkotaan, maka dibentuklah UU 20/2011 sebagai perubahan atas UU 16/1985 yang dianggap sudah tidak dapat lagi mengakomodir penyelenggaraan rumah susun sesuai dengan perkembangan tatanan sosial, budaya dan ekonomi yang keadaannya telah jauh berbeda dengan pada saat UU 16/1985 diberlakukan. Terhadap perubahan undang-undang yang mengatur mengenai rumah susun tersebut, selain dalam rangka memenuhi kebutuhan hukum berdasarkan dinamika masyarakat, lebih penting lagi menurut Mahkamah, adalah keberadaan undang-undang rumah susun untuk memberikan jaminan dan memprioritas kan pengadaan rumah atau tempat tinggal yang layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang sangat berpotensi termajinalisasi oleh meluasnya penguasaan sektor pembangunan perumahan oleh pengembang besar. Oleh karena itu, penyelenggaraan rumah susun berdasarkan UU 20/2011 diharapkan dapat mempercepat pemenuhan kebutuhan perumahan dan permukiman yang layak dan terjangkau di kawasan perkotaan bagi seluruh lapisan masyarakat sehingga mendorong perkembangan perkotaan yang serasi, seimbang yang memperhatikan prinsip pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan sehingga akan mengurangi terjadinya kesenjangan sosial di masyarakat, khususnya di wilayah perkotaan.
[3.14] Menimbang bahwa selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan apakah tidak diakomodirnya fungsi “bukan hunian” dalam norma Pasal 50 UU 20/2011 adalah bertentangan dengan UUD 1945. Terhadap permasalahan tersebut, Mahkamah berpendapat, secara yuridis historis fungsi bukan hunian untuk rumah susun memang pernah diterapkan dalam UU 16/1985 sebagaimana diatur dalam beberapa ketentuan penjelasan, seperti dalam Penjelasan Umum, Penjelasan Pasal 1 angka 1, Penjelasan Pasal 3 ayat (2), serta Penjelasan Pasal 24 UU 16/1985. Desain pengaturan mengenai fungsi bukan hunian dalam UU 16/1985 a quo, menurut Mahkamah, merupakan fungsi pelengkap atau komplementer yang tidak dapat dipisahkan dari fungsi utama rumah susun, yaitu sebagai fungsi hunian. Artinya, pembangunan rumah susun dengan fungsi bukan hunian yang dibangun secara terpisah adalah dimaksudkan untuk melengkapi secara fungsional sarana rumah susun utama (hunian) guna memenuhi kebutuhan hidup masyarakat dalam satu pemukiman. Namun demikian, masih terbuka ruang bagi rumah susun yang dipergunakan untuk keperluan lain dalam rezim UU 16/1985 karena berdasarkan Bab Ketentuan-Ketentuan Lain, Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UU 16/1985 pada pokoknya menentukan ketentuan-ketentuan dalam UU 16/1985 berlaku dengan penyesuaian menurut kepentingannya terhadap rumah susun yang dipergunakan untuk keperluan lain yang pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Ketentuan tersebut ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 24 ayat (1) UU 16/1985 yang menyatakan:
“Undang-undang ini mengatur rumah susun terutama untuk tempat hunian. Mengingat bahwa dalam kenyataannya ada kebutuhan akan rumah susun yang bukan untuk hunian yang mendukung fungsi pemukiman dalam rangka menunjang kehidupan masyarakat, antara lain misalnya untuk tempat usaha, tempat perbelanjaan, pertokoan, perkantoran, perindustrian, maka untuk dapat menampung kebutuhan tersebut ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini dinyatakan berlaku juga terhadap rumah susun bagi keperluan lain dengan penyesuaian seperlunya”.

Selanjutnya, pengakuan atas fungsi bukan hunian bagi rumah susun dalam UU 16/1985 semakin jelas pasca diundangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun (selanjutnya disebut PP 4/1988) yang di dalamnya secara tegas mengatur rumah susun untuk hunian dan bukan hunian secara terpisah, sehingga dimungkinkan pembangunan rumah susun dalam suatu lingkungan yang digunakan sebagai bukan hunian saja. Dengan demikian, terlepas dari politik hukum serta kondisi dan situasi masyarakat pada saat UU 16/1985 dibentuk, rumah susun dengan fungsi bukan hunian seperti tempat usaha, tempat perbelanjaan, pertokoan, perkantoran, perindustrian, termasuk kondotel sebagaimana yang dimiliki oleh para Pemohon memiliki alas hukum berdasarkan UU 16/1985 dan PP 4/1988.
[3.15] Menimbang bahwa seiring dengan dinamika masyarakat, khususnya di wilayah perkotaan, ternyata semakin menunjukkan adanya peningkatan laju urbanisasi dan industrialisasi sehingga menyebabkan kepadatan penduduk karena ketersediaan tanah untuk permukiman semakin terbatas. Rumah susun yang dalam UU 16/1985 didesain untuk mengatasi hal tersebut ternyata belum efektif dan malah salah sasaran. Penerima manfaat (beneficiary) dari keberlakuan UU 16/1985 ternyata lebih didominasi oleh kalangan masyarakat berpenghasilan menengah atas. Oleh karena itu, dibutuhkan perubahan UU 16/1985 karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum, kebutuhan setiap orang dalam penghunian, kepemilikan, dan pemanfaatan rumah susun….
Fungsi bukan hunian dalam UU 20/2011 sebenarnya bukan tidak diakomodir, tetapi diletakkan sebagai fungsi pendukung (supporting) dari fungsi rumah susun yang utama yaitu sebagai hunian. Lebih lanjut, Penjelasan Pasal 50 huruf b menyatakan, “Yang dimaksud dengan “fungsi campuran” adalah campuran antara fungsi hunian dan bukan hunian.” Bagi rumah susun dengan fungsi campuran maka ia merupakan hunian (fungsi utama). dan sekaligus memiliki fungsi lain (mix used) dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup masyarakat di rumah susun. Pemanfaatan fungsi rumah susun yang hanya terbagi atas hunian atau campuran tersebut bersandar pada pengertian rumah susun sebagaimana diatur dalam norma Pasal 1 angka 1 UU 20/2011 yang utamanya difungsikan sebagai hunian. Oleh karena itu, telah jelas bahwa fungsi bukan hunian bagi rumah susun yang dikonstruksikan dalam UU 20/2011 tidak berdiri sendiri sebagaimana dikotomi pemanfaatan rumah susun yang dianut dalam rezim pengaturan UU 16/1985 dan PP 4/1988. Perubahan pemanfaatan rumah susun menjadi fungsi campuran dalam UU 20/2011 adalah untuk mengatasi kurangnya ketersediaan rumah susun umum bagi masyarakat berpenghasilan menengah-rendah serta untuk menghilangkan “rumah tidak berpenghuni” (“ghost-building”) di mana banyak ditemui bangunan gedung atau rumah susun yang tidak terdapat aktivitas pada malam hari dikarenakan tidak memiliki fungsi sebagai hunian. Dalam kaitan ini, penting Mahkamah tegaskan, rumah susun dengan fungsi bukan hunian tidak menghilangkan fungsi utama rumah susun sebagai fungsi hunian dan tidak boleh menghilangkan sifat komplementer dari rumah susun tersebut. Dengan demikian, menurut Mahkamah, tidak diakomodirnya fungsi “bukan hunian” dalam norma Pasal 50 UU 20/2011 adalah tidak bertentangan dengan norma Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.
[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan uraian mengenai desain pemanfaatan rumah susun dalam UU 20/2011 di atas, pertanyaan selanjutnya adalah apakah kondotel dapat dimasukkan dalam rezim pengaturan rumah susun berdasarkan UU 20/2011. Menurut Mahkamah, pengertian rumah susun sebagaimana diatur dalam norma Pasal 1 angka 1 UU 20/2011 harus diartikan secara keseluruhan, mulai dari struktur bangunan, kepemilikan hingga pemanfaatannya yaitu terutama sebagai fungsi hunian. Berdasarkan Lampiran Keterangan DPR, Mahkamah menemukan pembahasan mengenai pemanfaatan rumah susun dengan fungsi bukan hunian telah dilakukan pada saat proses pembentukan UU 20/2011, yaitu sebagaimana pembahasan dalam Rapat Panitia Kerja Tim Perumus RUU tentang Rumah Susun yang pada pokoknya memberikan contoh misalnya terdapat suatu bangunan Gedung yang memiliki struktur dan kepemilikan sebagaimana pengertian rumah susun, namun dari 10 lantai, hanya 2 atau 3 lantai yang difungsikan sebagai hunian, maka bangunan gedung tersebut tidak termasuk dalam pengertian rumah susun [vide Risalah Rapat Panitia Kerja Tim Perumus RUU tentang Rumah Susun Komisi V DPR RI, tanggal 28 Juni 2011, hlm. 23 –31].
Berdasarkan risalah rapat pembahasan tersebut, maka UU 20/2011 memang mengkonstruksikan pengertian rumah susun yang mensyaratkan dominasi fungsi hunian, sedangkan fungsi lainnya adalah sebagai pendukung. Pemahaman demikian juga telah sesuai dengan pengertian bangunan Gedung sebagaimana diatur dalam norma Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung sebagaimana sebagiannya telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang pada pokoknya menentukan bangunan gedung memiliki fungsi yaitu sebagai hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus. Dalam kaitan ini, keberadaan kondotel sebagai bangunan Gedung yang memiliki fungsi usaha ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas PP dimaksud) yang menyatakan, “Yang dimaksud fungsi usaha meliputi: e. Bangunan Gedung perhotelan, seperti wisma, losmen, hostel, motel, rumah kos, hotel, dan kondotel.” Oleh karena itu, kondotel yang lebih memiliki fungsi kegiatan usaha memang tidak sesuai dengan pengertian rumah susun berdasarkan UU 20/2011 dan apabila dengan menambahkan fungsi bukan hunian dalam norma Pasal 50 UU 20/2011 sebagaimana permohonan para Pemohon, hal demikian justru akan menyebabkan ketidakharmonisan ketentuan dalam UU 20/2011 serta dengan peraturan perundang-undangan lain yang dapat berujung pada ketidakpastian hukum karena desain UU 20/2011 menempatkan fungsi utama rumah susun adalah sebagai tempat tinggal. Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil permohonan para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.17] Menimbang bahwa Mahkamah memahami keberadaan kondotel sebagai jenis usaha atau bentuk investasi baru yang terus akan berkembang seiring dengan peningkatan kebutuhan akan layanan jasa perhotelan di Indonesia menjadikan kondotel harus memiliki payung hukum tersendiri sesuai dengan karakteristiknya. Berdasarkan pertimbangan sebagaimana telah diuraikan di atas, telah nampak bahwa kondotel memiliki struktur bangunan dan model kepemilikan yang sama dengan rumah susun. Akan tetapi, perbedaannya terletak pada fungsi kondotel yaitu sebagai salah satu kegiatan usaha. Keberadaan karakteristik yang demikian ternyata secara spesifik tidak terakomodir dalam hukum positif sehingga terdapat kekosongan hukum dalam pengaturannya. Oleh karena itu, Mahkamah mendorong pembentuk undang-undang untuk dapat segera menyusun undang-undang maupun peraturan pelaksana yang dapat dijadikan dasar hukum bagi penyelenggaraan rumah susun yang memiliki fungsi bukan hunian di Indonesia.
[3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, norma Pasal 50 UU 20/2011 tidak menyebabkan hilangnya hak atas perlindungan harta benda yang berada di bawah penguasaan, termasuk dalam hal ini hak kepemilikan, secara sewenang-wenang sebagaimana ditentukan dalam norma Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Oleh karenanya, permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Seluruhnya Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN FORMIL UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2022 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-10-2022

Ir. H. Said Iqbal, M.E. (Presiden) dan Febri Nurzarli, S.E., S.H. (Sekretaris Jenderal) dan Ramidi (Karyawan Swasta), Riden Hatam Aziz, S.H. (Karyawan Swasta), R. Abdullah (Karyawan Swasta), Agus Ruli Ardiansyah (Karyawan Swasta), Ilhamsyah (Karyawan Swasta), Sunandar (Karyawan Swasta), Didi Suprijadi (Dosen), dan Hendrik Hutagalung (Karyawan Swasta), yang dalam hal ini memberikan kuasa Said Salahudin, dkk. merupakan kuasa hukum/advokat, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

aspek formil proses pembentukan UU 13/2022

aspek formil proses pembentukan UU 13/2022

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian aspek formil proses pembentukan UU 13/2022 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.14] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan proses pembentukan UU 13/2022 telah melanggar “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan” karena materi perubahan UU 13/2022 sangat terbatas untuk memberikan legitimasi terhadap UU 11/2020. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.14.1] Bahwa Penjelasan Pasal 5 huruf e UU 13/2022 memberi pengertian yang dimaksud dengan “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan” adalah setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
[3.14.2] Bahwa menurut Mahkamah, untuk melihat secara saksama tentang sejauhmana UU 13/2022 dibutuhkan dan juga bermanfaat bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah dengan membaca secara komprehensif seluruh dokumen yang terkait dengan proses pembentukan UU 13/2022, serta keseluruhan bagian dari UU a quo mulai dari bagian konsiderans menimbang sebagai dasar filosofis, sosiologis, dan yuridis serta bagian penjelasan umum yang mendeskripsikan latar belakang pembentukan suatu UU, apakah benar memang mengabaikan asas tersebut;
[3.14.3] Bahwa dalam Konsiderans Menimbang UU 13/2022 ditentukan pembentukan peraturan perundang-undangan dilaksanakan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan untuk mewujudkan kepastian hukum dan kedaulatan berada di tangan rakyat sebagaimana diamanatkan UUD 1945 dalam mendukung tercapainya arah dan tujuan pembangunan hukum nasional [vide Konsiderans Menimbang huruf a UU 13/2022]. Kemudian, ditentukan pula UU a quo dibentuk untuk mewujudkan pembentukan peraturan perundang-undangan yang terencana, terpadu, dan berkelanjutan sehingga dibutuhkan penataan dan perbaikan mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan sejak perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, atau penetapan hingga pengundangan dengan menambahkan antara lain pengaturan mengenai metode omnibus dalam pembentukan peraturan perundang-undangan serta memperkuat keterlibatan dan partisipasi masyarakat yang bermakna. Berdasarkan pertimbangan tersebut, diperlukan adanya perubahan atas UU 12/2011 jo. UU 15/2019 [vide Konsiderans Menimbang huruf b dan huruf c UU 13/2022];
[3.14.4] Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan Sub-paragraf [3.14.3], Mahkamah berpendapat substansi Penjelasan Pasal 5 huruf e UU 13/2022 bukanlah substansi yang baru karena sejak diberlakukan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 10/2004), kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011) telah ditentukan adanya asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, salah satunya adalah asas kedayagunaan dan kehasilgunaan.
Berkenaan dengan asas tersebut setidaknya terdapat 2 (dua) kriteria untuk menilai apakah pembentukan suatu UU memenuhi asas dimaksud, yakni benar-benar dibutuhkan dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; Berkenaan dengan kriteria “benar-benar dibutuhkan”, kebutuhan dalam pembentukan undang-undang yaitu sebagai: pengaturan lebih lanjut dari perintah UUD 1945; perintah undang-undang untuk diatur lebih lanjut dengan undang-undang; pengesahan perjanjian internasional tertentu; tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat [vide Pasal 10 UU 12/2011). Khusus berkenaan dengan tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi, pembentukan UU 13/2022 adalah perintah dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Dalam hal ini, Sub-paragraf [3.20.3] Putusan Mahkamah Konstitusi a quo pada pokoknya menyatakan agar segera dibentuk landasan hukum yang baku untuk dapat menjadi pedoman di dalam pembentukan undang-undang dengan menggunakan metode omnibus law yang mempunyai sifat kekhususan tersebut;
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon bahwa proses pembentukan UU 13/2022 telah melanggar “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan” sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf e UU 13/2022 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.15] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan proses pembentukan UU 13/2022 telah melanggar “asas kejelasan rumusan” karena dalam Penjelasan Pasal 72 ayat (1a) yang dimaksud dengan “kesalahan teknis penulisan” antara lain adalah huruf yang tidak lengkap, rujukan pasal atau ayat yang tidak tepat, salah ketik, dan/atau judul atau nomor urut bab, bagian, paragraf, pasal, ayat, atau butir yang tidak sesuai, yang bersifat tidak substansial. Berkenaan dengan dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.15.1] Bahwa Penjelasan Pasal 5 huruf f UU 13/2022 memberi pengertian yang dimaksud dengan “asas kejelasan rumusan” adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya;
[3.15.2] Bahwa berkenaan dengan dalil para Pemohon a quo penting bagi Mahkamah untuk mengutip terlebih dahulu norma Pasal 72 ayat (1a) UU 13/2022 yang menyatakan, “Dalam hal Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih terdapat kesalahan teknis penulisan, dilakukan perbaikan oleh pimpinan alat kelengkapan DPR yang membahas Rancangan Undang-Undang tersebut dan Pemerintah yang diwakili oleh kementerian yang membahas Rancangan Undang-Undang tersebut”. Selanjutnya dalam Penjelasannya dinyatakan bahwa:
“yang dimaksud dengan “kesalahan teknis penulisan” antara lain adalah huruf yang tidak lengkap, rujukan pasal atau ayat yang tidak tepat, salah ketik, dan/atau judul atau nomor urut bab, bagian, paragraf, pasal, ayat, atau butir yang tidak sesuai, yang bersifat tidak substansial.”
Penormaan Pasal 72 ayat (1a) UU 13/2022 dibentuk karena perintah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang secara substansi memerlukan adanya pengaturan jikalau dalam proses perumusan norma dalam undang-undang terdapat kesalahan teknis penulisan maka diperlukan adanya batas toleransi kesalahan teknis penulisan tersebut. Hal demikian, karena Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 telah menegaskan dalam Subparagraf [3.17.6] hlm. 391, sebagai berikut, “… jikapun terpaksa dilakukan perubahan, hanyalah bersifat format atau penulisan karena adanya kesalahan pengetikan (typo) dan perubahan tersebut tidak boleh mengubah makna norma pasal atau substansi rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama”. Pertimbangan hukum tersebut telah diakomodir dalam Pasal 72 ayat (1a) dan Penjelasan UU 13/2022.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon bahwa pembentukan UU 13/2022 telah melanggar “asas kejelasan rumusan” sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf f UU 13/2022 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.16] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan proses pembentukan UU 13/2022 telah melanggar “asas keterbukaan”, karena proses perubahan UU 13/2022 tidak menerapkan partisipasi masyarakat dalam arti sesungguhnya (meaningful participation) sebagaimana dimaksud pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Hal ini didalilkan oleh para Pemohon dengan pembahasan perubahan undang-undang yang terbilang cepat hanya dibahas selama 6 (enam) hari di Badan Legislasi DPR RI. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.16.1] Bahwa berdasarkan Penjelasan Pasal 5 huruf g UU 13/2022, yang dimaksud dengan asas keterbukaan adalah bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan, termasuk pemantauan dan peninjauan memberikan akses kepada publik yang mempunyai kepentingan dan terdampak langsung untuk mendapatkan informasi dan/atau memberikan masukan pada setiap tahapan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilakukan secara lisan dan/atau tertulis dengan cara daring (dalam jaringan) dan/atau luring (luar jaringan). Secara substansial, materi asas keterbukaan telah diatur sejak berlakunya UU 10/2004. Kemudian, materi dimaksud diatur kembali dalam UU 12/2011 yang menyatakan, “asas keterbukaan adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan” [vide Penjelasan Pasal 5 huruf g UU 12/2011]. Menurut Mahkamah, substansi Penjelasan berkenaan dengan asas keterbukaan dalam UU 13/2022 jauh lebih luas dibandingkan dengan UU 12/2011. Penjelasan lebih luas demikian tidak dapat dilepaskan dari makna partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan undang-undang sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020;
[3.16.2] Bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama Keterangan DPR yang telah disampaikan dalam persidangan pada 8 September 2022 berkenaan dengan partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan UU 13/2022, Mahkamah menemukan fakta sebagai berikut:
1. Telah dilakukan diskusi dan konsultasi publik pada tahap penyusunan Naskah Akademik dan RUU a quo yang melibatkan berbagai pakar di Provinsi Jawa Barat, Provinsi Lampung, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Provinsi Sulawesi Selatan [vide Keterangan DPR hlm. 19 - 22];
2. Telah dilakukan konsultasi publik dengan agenda mendengar paparan para narasumber dan diskusi yang diselenggarakan secara terbuka dan dihadiri oleh kelompok masyarakat yang terdampak langsung dengan perubahan materi pengaturan terkait dengan rancangan perubahan undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan [vide Keterangan DPR Lampiran IX, Lampiran X, Lampiran XII, Lampiran XIV, dan Lampiran XV];
3. Telah dilakukan konsultasi publik terkait dengan isu-isu yang berkembang di berbagai media dan diskusi serta seminar yang diadakan oleh berbagai kalangan, seperti Indonesian Center for Legislative Drafting, Pusat Studi Hukum Konstitusi, dan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial [vide Keterangan DPR hlm. 22 – 23];
4. Telah diberikan akses bagi masyarakat untuk mengunduh konsep awal Naskah Akademik dan RUU a quo dalam laman https://pusatpuu.dpr.go.id/simaspuu/detail-na/id/187 dan https://pusatpuu.dpr.go.id/simas-puu/detail-ruu/id/188 [vide Keterangan DPR hlm. 28];
5. Telah dilakukan rapat penyusunan dan pembahasan UU 13/2022 secara terbuka dan disiarkan secara langsung melalui kanal Youtube dan tautan https://www.dpr.go.id/uu/detail/id/276 [vide Keterangan DPR hlm. 28];
Berdasarkan fakta hukum tersebut di atas, keterangan disertai dengan bukti-bukti yang diajukan DPR telah menunjukkan bahwa selama proses pembentukan UU 13/2022 telah dilakukan secara terbuka dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Terlebih lagi, bukti-bukti yang diajukan oleh para Pemohon tidak dapat meyakinkan Mahkamah bahwa proses pembentukan UU 13/2022 telah melanggar asas keterbukaan. Keraguan Mahkamah makin bertambah karena para Pemohon mendalilkan bahwa proses pembentukan UU 13/2022 dilakukan hanya selama 6 (enam) hari di Badan Legislasi DPR. Padahal, Badan Legislasi DPR sesuai dengan tugas dan fungsinya adalah salah satunya memberikan pertimbangan terhadap rancangan undang-undang yang diajukan oleh anggota DPR [vide Pasal 105 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah juncto Pasal 66 Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib]. Artinya, dalil para Pemohon yang menyatakan rancangan UU 13/2022 dibahas di Badan Legislasi DPR adalah tidak sesuai dengan proses pembentukan undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 22A UUD 1945 dan peraturan pelaksananya. Di samping itu, penting bagi Mahkamah menegaskan bahwa pembentukan UU 13/2022 adalah merupakan tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
Berdasarkan uraian fakta hukum di atas, menurut Mahkamah, pembentuk UU 13/2022 telah melakukan partisipasi publik sesuai dengan asas keterbukaan. Dengan demikian, dalil para Pemohon berkenaan dengan pembentukan UU 13/2022 tidak sesuai dengan Pasal 5 huruf g UU 13/2022 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon berkenaan dengan UU 13/2022 telah ternyata proses pembentukannya tidak bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, UU 13/2022 tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, dalil-dalil para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.19] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak dan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 88/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-10-2022

Sulistya Tirtoutomo yang membeirkan kuasa kepada Dr. I Wayan Suka Wirawan, S.H., M.H., advokat pada Digesta Law Firm, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 2 ayat (4), Pasal 6 ayat (3) huruf e, Pasal 17 huruf g, Pasal 17 huruf angka 3, Pasal 20 ayat (1), Pasal 38 ayat (2), Pasal 45 dan Pasal 52 UU Keterbukaan Informasi Publik

Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 33 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materiil UU Keterbukaan Informasi Publik dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.12] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca secara saksama permohonan Pemohon, memeriksa bukti-bukti yang diajukan, dan mempertimbangkan argumentasi Pemohon, sebagaimana selengkapnya dimuat dalam bagian Duduk Perkara, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa Pemohon mendalilkan frasa "hak-hak pribadi" dalam Pasal 6 ayat (3) huruf c, frasa "isi akta otentik yang bersifat pribadi" dalam Pasal 17 huruf g, frasa "rahasia pribadi, yaitu kondisi keuangan, aset, pendapatan" dalam Pasal 17 huruf h angka 3, dan Pasal 20 ayat (1) UU 14/2008 inkonstitusional sepanjang dimaknai mengecualikan setiap informasi publik yang tercantum dalam sertifikat dan/atau warkah tanah yang dikuasai oleh setiap badan publik yang berwenang menyelenggarakan kegiatan pendaftaran tanah, atau setidak-tidaknya tidak dimaknai mengecualikan bagi setiap subjek hukum yang berhak atas tanah termasuk berdasarkan titel harta bersama. Dalam mendalilkan inkonstitusionalitas tersebut Pemohon mengaitkannya dengan Pasal 2 ayat (4) UU 14/2008. Berkenaan dengan dalil-dalil Pemohon a quo penting bagi Mahkamah menegaskan terlebih dahulu bahwa norma Pasal 2 ayat (4) UU 14/2008 telah pernah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-XIV/2016 yang dalam pertimbangan hukum Sub-paragraf [3.7.2] menyatakan bahwa:
[3.7.2] Bahwa selanjutnya sebelum mempertimbangkan tentang nota pemeriksaan PPK yang bersifat rahasia Mahkamah terlebih dahulu mempertimbangkan, apakah Pasal 2 ayat (4) UU 14/2008 merugikan hak konstitusional para Pemohon untuk mendapatkan informasi sehingga bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945. Terhadap hal tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
1 Dalam Penjelasan Umum UU 14/2008 disebutkan tujuan dibentuknya UU 14/2008 adalah untuk memberikan jaminan terhadap semua orang dalam memperoleh informasi, mengingat hak untuk memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia sebagai salah satu wujud dari kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis. Keberadaan Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik sangat penting sebagai landasan hukum yang berkaitan dengan: (1) hak setiap orang untuk memperoleh Informasi; (2) kewajiban Badan Publik menyediakan dan melayani permintaan informasi secara cepat, tepat waktu, biaya ringan/proporsional, dan cara sederhana; (3) pengecualian bersifat ketat dan terbatas; (4) kewajiban Badan Publik untuk membenahi sistem dokumentasi dan pelayanan Informasi. Dari Penjelasan Umum tersebut dapat disimpulkan bahwa keterbukaan informasi publik perlu bagi pemenuhan hak asasi manusia, namun keterbukaan informasi publik tersebut tidak berarti sebebas-bebasnya tetapi ada pengecualian keterbukaan informasi publik yang bersifat ketat dan terbatas.
2 Pasal 2 ayat (4) UU 14/2008 memuat asas bahwa Informasi Publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan Undang-Undang, kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbangkan dengan saksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya. Adapun kriteria informasi yang bersifat rahasia ditentukan dalam Pasal 17 UU 14/2008 yang menyatakan:
Setiap Badan Publik wajib membuka akses bagi setiap Pemohon Informasi Publik untuk mendapatkan Informasi Publik, kecuali:
a. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat menghambat proses penegakan hukum, yaitu informasi yang dapat:
1 menghambat proses penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana;
2 mengungkapkan identitas informan, pelapor, saksi, dan/atau korban yang mengetahui adanya tindak pidana;
3 mengungkapkan data intelijen kriminal dan rencanarencana yang berhubungan dengan pencegahan dan penanganan segala bentuk kejahatan transnasional;
4 membahayakan keselamatan dan kehidupan penegak hukum dan/atau keluarganya; dan/atau
5 membahayakan keamanan peralatan, sarana, dan/atau prasarana penegak hukum.
b. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat;
c. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat membahayakan pertahanan dan keamanan negara, yaitu:
1 informasi tentang strategi, intelijen, operasi, taktik dan teknik yang berkaitan dengan penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanan negara, meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengakhiran atau evaluasi dalam kaitan dengan ancaman dari dalam dan luar negeri;
2 dokumen yang memuat tentang strategi, intelijen, operasi, teknik dan taktik yang berkaitan dengan penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanan negara yang meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengakhiran atau evaluasi;
3 jumlah, komposisi, disposisi, atau dislokasi kekuatan dan kemampuan dalam penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanan negara serta rencana pengembangannya;
4 gambar dan data tentang situasi dan keadaan pangkalan dan/atau instalasi militer;
5 data perkiraan kemampuan militer dan pertahanan negara lain terbatas pada segala tindakan dan/atau indikasi negara tersebut yang dapat membahayakan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan/atau data terkait kerjasama militer dengan negara lain yang disepakati dalam perjanjian tersebut sebagai rahasia atau sangat rahasia;
6 sistem persandian negara; dan/atau
7 sistem intelijen negara.
d. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat mengungkapkan kekayaan alam Indonesia;
e. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik, dapat merugikan ketahanan ekonomi nasional:
1 rencana awal pembelian dan penjualan mata uang nasional atau asing, saham dan aset vital milik negara;
2 rencana awal perubahan nilai tukar, suku bunga, dan model operasi institusi keuangan;
3 rencana awal perubahan suku bunga bank, pinjaman pemerintah, perubahan pajak, tarif, atau pendapatan negara/daerah lainnya;
4 rencana awal penjualan atau pembelian tanah atau properti;
5 rencana awal investasi asing;
6 proses dan hasil pengawasan perbankan, asuransi, atau lembaga keuangan lainnya; dan/atau
7 hal-hal yang berkaitan dengan proses pencetakan uang.
f. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik, dapat merugikan kepentingan hubungan luar negeri :
1 posisi, daya tawar dan strategi yang akan dan telah diambil oleh negara dalam hubungannya dengan negosiasi internasional;
2 korespondensi diplomatik antarnegara;
3 sistem komunikasi dan persandian yang dipergunakan dalam menjalankan hubungan internasional; dan/atau
4 perlindungan dan pengamanan infrastruktur strategis Indonesia di luar negeri.
g. Informasi Publik yang apabila dibuka dapat mengungkapkan isi akta otentik yang bersifat pribadi dan kemauan terakhir ataupun wasiat seseorang;
h. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat mengungkap rahasia pribadi, yaitu:
1 riwayat dan kondisi anggota keluarga;
2 riwayat, kondisi dan perawatan, pengobatan kesehatan fisik, dan psikis seseorang;
3 kondisi keuangan, aset, pendapatan, dan rekening bank seseorang;
4 hasil-hasil evaluasi sehubungan dengan kapabilitas, intelektualitas, dan rekomendasi kemampuan seseorang; dan/atau
5 catatan yang menyangkut pribadi seseorang yang berkaitan dengan kegiatan satuan pendidikan formal dan satuan pendidikan nonformal
i. memorandum atau surat-surat antar Badan Publik atau intra Badan Publik, yang menurut sifatnya dirahasiakan kecuali atas putusan Komisi Informasi atau pengadilan;
j. informasi yang tidak boleh diungkapkan berdasarkan Undang-Undang.

Ketentuan Pasal 2 ayat (4) UU 14/2008 tersebut merupakan derivasi dari Pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan. mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Selain itu, Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang a quo juga telah sesuai dengan International Covenant on Civil and Political Right 1966 Pasal 19 ayat (2) yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik) yang isinya menyatakan: “Everyone shall have the right to freedom of expression; this right shall include freedom to seek, receive and impart information and ideas of all kinds, regardless of frontiers, either orally, in writing or in print, in the form of art, or through any other media of his choice”.
Hal senada juga terdapat di Amerika Serikat yang mengatur pengecualian terhadap informasi yang tidak dapat diakses, yaitu di dalam Freedom of Information Act yang digolongkan ke dalam sembilan pengecualian (exemption), yaitu:
1) keamanan nasional (National Security) dan politik luar negeri a) rencana militer, b) persenjataan, c) data iptek yang menyangkut keamanan nasional, dan data CIA,
2) ketentuan internal lembaga,
3) informasi yang secara tegas dikecualikan oleh Undang-Undang untuk dapat diakses publik,
4) informasi bisnis yang bersifat rahasia,
5) memo internal pemerintah,
6) informasi pribadi (personal privacy),
7) data yang berkenaan dengan penyidikan,
8) informasi lembaga keuangan, dan
9) informasi dan data geologis dan geofisik mengenai sumbernya.
Harus diingat bahwa kekecualian di atas bersifat diskresioner, tidak wajib, dan diserahkan pada lembaga yang bersangkutan.
Di Asia yang memiliki ketentuan serupa dengan di Amerika Serikat antara lain Thailand, yang dikenal dengan Official Information Act Tahun 1997, yang mengatur informasi yang tidak dapat di akses publik yaitu:
a) dapat membahayakan istana,
b) yang dapat membahayakan keamanan nasional, hubungan internasional atau keuangan nasional,
c) menghambat penegakan hukum,
d) merupakan informasi atau nasihat dari lembaga negara yang bersifat internal,
e) yang dapat membahayakan keselamatan atau nyawa seseorang,
f) informasi pribadi atau rekam medik yang publikasinya akan mengancam the right of privacy, dan
g) informasi resmi yang dilindungi perundang-undangan atau yang diberikan oleh seseorang dan harus dijaga kerahasiaannya.
3 Pembatasan terhadap informasi yang dapat diakses seperti yang diatur dalam Pasal 2 ayat (4) UU 14/2008 merupakan hal yang wajar dan dibolehkan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 19 ayat (3) International Covenant on Civil and Political Right yang telah diratifikasi oleh Indonesia yang menyatakan The exercise of the rights provided for in paragraph 2 of this article carries with it special duties and responsibilities. It may therefore be subject to certain restrictions, but these shall only be such as are provided by law and are necessary:
(1) For respect of the rights or reputations of others;
(2) For the protection of national security or of public order (ordre public), or of public health or morals.
Hal yang sama juga ditentukan dalam Pasal 28J UUD 1945 yang menyatakan:
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Dengan demikian, dalam mempergunakan hak memperoleh informasi, setiap orang juga tidak dapat sebebas-bebasnya memperoleh informasi dengan alasan hak tersebut diberikan langsung oleh UUD 1945, tetapi hak tersebut juga dibatasi dengan alasan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, ketertiban umum, dan hukum dalam suatu masyarakat demokratis. Oleh karena itu, dengan mendasarkan pada pertimbangan di atas, Pasal 2 ayat (4) UU 14/2008 merupakan ketentuan yang tidak bertentangan dengan UUD 1945;
Bahwa terkait dengan pertimbangan hukum di atas, sekalipun Pemohon dalam permohonannya memberikan alasan yang berbeda dengan Perkara Nomor 3/PUU-XIV/2016, namun pada intinya memiliki kesamaan esensi yang menghendaki tidak adanya pengecualian terhadap informasi publik sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 ayat (3) huruf c dan Pasal 17 huruf h angka 3 UU 14/2008. Dalam kaitan ini, penting ditegaskan bahwa Mahkamah tetap pada pendiriannya sebagaimana telah dipertimbangkan dalam kutipan pertimbangan hukum di atas bahwa pengecualian dalam norma Pasal 2 ayat (4) UU 14/2008 merupakan hal yang dapat dibenarkan dalam rangka memberikan perlindungan yang adil sebagaimana dijamin oleh UUD 1945. Dengan demikian, meskipun setiap Badan Publik mempunyai kewajiban untuk membuka akses atas Informasi Publik yang berkaitan dengan Badan Publik untuk masyarakat luas, namun terdapat pengecualian yang bersifat ketat dan terbatas terhadap informasi publik yang tidak dapat diberikan oleh Badan Publik sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 dan Pasal 17 UU 14/2008. Salah satu informasi yang tidak dapat diberikan oleh Badan Publik adalah “informasi yang berkaitan dengan hak-hak pribadi”. Menurut Mahkamah, apabila Informasi Publik dimaksud dibuka hal ini justru dapat menimbulkan dampak negatif. Dengan demikian, dalil Pemohon berkenaan dengan pengujian norma Pasal 2 ayat (4) UU 14/2008 adalah tidak beralasan menurut hukum.
Bahwa dengan telah dinyatakan oleh Mahkamah norma Pasal 2 ayat (4) UU 14/2008 konstitusional, maka dalil Pemohon berkenaan dengan frasa "hak-hak pribadi" dalam Pasal 6 ayat (3) huruf c, frasa "isi akta otentik yang bersifat pribadi" dalam Pasal 17 huruf g, frasa "rahasia pribadi, yaitu kondisi keuangan, aset, pendapatan" dalam Pasal 17 huruf h angka 3, dan Pasal 20 ayat (1) UU 14/2008 yang dimohonkan Pemohon agar diberi pemaknaan oleh Mahkamah untuk mengecualikan informasi publik yang telah dikecualikan dalam UU 14/2008, sesuai dengan kasus konkret yang dialami Pemohon, menurut Mahkamah tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan lebih lanjut. Terlebih lagi, bukan merupakan ranah kewenangan Mahkamah untuk menyelesaikan kasus konkret yang dialami Pemohon. Dengan demikian, menurut Mahkamah permohonan Pemohon berkenaan dengan Pasal 6 ayat (3) huruf c, Pasal 17 huruf g, Pasal 17 huruf h angka 3, dan Pasal 20 ayat (1) UU 14/2008 adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.12.2] Bahwa Pemohon juga mendalilkan kata "dapat" dalam Pasal 38 ayat (2) UU 14/2008 inkonstitusional karena menyebabkan berlarut-larutnya proses penyelesaian sengketa informasi publik yang diajukan oleh Pemohon. Oleh karenanya, Pemohon memohon kepada Mahkamah agar kata ”dapat” dinyatakan inkonstitusional. Berkenaan dengan dalil Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
1 Norma Pasal 38 ayat (2) UU 14/2008 pada pokoknya menyatakan proses penyelesaian sengketa informasi publik paling lambat dapat diselesaikan dalam waktu 100 (seratus) hari kerja. Menurut Pemohon frasa "paling lambat dapat" dalam Pasal 38 ayat (2) UU 14/2008 mengandung pertentangan dalam dirinya sendiri, karena frasa "paling lambat" jelas bermakna "harus", sedangkan kata "dapat" jelas bermakna "tidak harus". Menurut Mahkamah meskipun Pasal 38 ayat (2) UU 14/2008 dirumuskan dengan kata “dapat” telah direalisasikan melalui berbagai prosedur beracara dalam rangka memberikan jaminan penyelesaian sengketa paling lambat dalam waktu 100 (seratus) hari kerja. Terlebih lagi, secara doktriner penggunaan kata “dapat” dalam penormaan undang-undang merupakan hal yang lazim dilakukan karena “operator norma” tidak selalu dirumuskan dengan kata wajib atau harus, di mana norma wajib atau harus berkaitan dengan kewajiban yang telah ditetapkan dan apabila tidak dipenuhi kewajiban tersebut dikenakan sanksi. Sementara itu, secara normatif kata “dapat” mengandung sifat diskresioner (vide angka 267 dan angka 268 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 13 Tahun 2022, selanjutnya disebut UU 12/2011). Karena, sifat diskresioner tersebut maka norma “dapat” dalam pelaksanaannya dapat menjadi wajib untuk direalisasikan karena ada faktor-faktor yang mengharuskannya (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XVIII/2020, hlm. 121-122, yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 25 November 2020).
2 Sementara, berkaitan dengan sengketa informasi publik yang diajukan oleh Pemohon kepada Komisi Informasi, merupakan informasi publik yang telah dikecualikan oleh UU 14/2008 sebagaimana telah dipertimbangkan di atas. Namun demikian, perlu dijelaskan, proses pengajuan sengketa informasi publik ke Komisi Informasi dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagaimana telah ditentukan dalam Bab VIII tentang Keberatan dan Penyelesaian Sengketa Melalui Komisi Informasi UU 14/2008. Artinya, tahapan keberatan harus dilalui terlebih dahulu, di mana setiap pemohon informasi Publik pada pokoknya dapat mengajukan keberatan secara tertulis kepada atasan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi berdasarkan alasan yang salah satunya adalah karena adanya penolakan atas permintaan informasi berdasarkan alasan pengecualian sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 17 UU 14/2008 [vide Pasal 35 UU 14/2008]. Keberatan tersebut diajukan oleh Pemohon Informasi Publik dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah ditemukannya alasan yang telah ditentukan dalam Pasal 35 ayat (1) UU 14/2008. Selanjutnya, atasan pejabat memberikan tanggapan atas keberatan yang diajukan oleh Pemohon Informasi Publik dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya keberatan secara tertulis [vide Pasal 36 UU 14/2008]. Berkenaan dengan keberatan tersebut, UU a quo memberikan ruang untuk diadakannya penyelesaian secara musyawarah terlebih dahulu oleh pihak pemohon dan pejabat pengelola informasi publik atas keberatan yang diajukan karena alasan: (1) tidak disediakannya informasi berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 UU 14/2008; (2) tidak ditanggapinya permintaan informasi; (3) permintaan informasi ditanggapi tidak sebagaimana yang diminta; (4) tidak dipenuhinya permintaan informasi; pengenaan biaya yang tidak wajar; (5) dan/atau penyampaian informasi yang melebihi waktu yang diatur dalam UU 14/2008. Sedangkan, terhadap penolakan atas permintaan informasi karena alasan dikecualikan oleh UU tidak dibuka ruang musyawarah antar para pihak [vide Pasal 35 ayat (2) UU 14/2008]. Dalam hal permintaan informasi publik telah dilakukan sesuai dengan ketentuan maka atasan pejabat tersebut menyampaikan alasan tertulis disertakan dengan tanggapan yang menguatkan putusan yang telah ditetapkan oleh bawahannya [vide Pasal 36 ayat (3) UU 14/2008].
3 Tahapan selanjutnya, pengajuan penyelesaian sengketa melalui Komisi Informasi baru dilakukan apabila tanggapan atasan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi dalam proses keberatan tidak memuaskan Pemohon Informasi Publik [vide Pasal 37 ayat (1) UU 14/2008]. Dalam kaitan ini ditentukan, upaya penyelesaian Sengketa Informasi Publik diajukan dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah diterimanya tanggapan tertulis dari atasan pejabat tersebut. Dalam konteks inilah, UU a quo merealisasikan asas penyelenggaraan informasi publik, salah satunya menghendaki setiap Informasi Publik harus dapat diperoleh oleh setiap Pemohon Informasi Publik dengan cepat dan tepat waktu, biaya ringan, dan cara sederhana [vide Pasal 2 ayat (3) UU 14/2008]. Oleh karenanya, berkaitan dengan penyelesaian sengketa informasi publik Pasal 38 ayat (1) UU 14/2008 menegaskan bahwa “Komisi Informasi Pusat dan Komisi Informasi provinsi dan/atau Komisi Informasi kabupaten/kota harus mulai mengupayakan penyelesaian Sengketa Informasi Publik melalui Mediasi dan/atau Ajudikasi nonlitigasi paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima permohonan penyelesaian Sengketa Informasi Publik”. Dalam kaitan ini, jika dikorelasikan dengan tidak dibukanya ruang untuk mediasi terhadap keberatan pemohon informasi atas permintaan informasi yang dinyatakan sebagai informasi yang dikecualikan maka dalam konteks ini pula mediasi dan ajudikasi pun tidak dilakukan untuk sengketa informasi publik yang diajukan karena informasi tersebut telah dikecualikan sebagaimana telah ditegaskan secara expressis verbis dalam Pasal 6 dan Pasal 17 UU 14/2008. Dengan demikian, norma Pasal 38 ayat (2) UU 14/2008 yang menurut Pemohon dilaksanakan secara berlarut-larut melebihi waktu 100 (seratus) hari merupakan dalil yang tidak beralasan karena proses penyelesaian sengketa informasi publik dilakukan sesuai dengan tahapan yang telah ditentukan sepanjang hal tersebut bukan merupakan informasi publik yang memang dikecualikan. Namun demikian, sesuai dengan asas pelayanan yang cepat dan tepat, Komisi Informasi seharusnya memberikan pelayanan berupa tanggapan yang memadai terhadap setiap permohonan yang diajukan, termasuk terhadap informasi yang dikecualikan. Dengan demikian, dalil Pemohon berkenaan dengan Pasal 38 ayat (2) UU 14/2008 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.12.3] Bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) UU 14/2008 hanya memberikan kewenangan kepada badan publik untuk melakukan uji konsekuensi sebelum mengambil keputusan terhadap setiap permohonan dan menjadi tidak berwenang melakukan uji konsekuensi setelah badan publik menolak permohonan informasi. Berkenaan dengan dalil a quo, ketentuan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) UU 14/2008 pada intinya telah menentukan Badan Publik harus membuktikan hal-hal yang mendukung pendapatnya apabila menyatakan tidak dapat memberikan informasi dengan alasan informasi tersebut termasuk dalam kriteria informasi yang dikecualikan sebagaimana diatur dalam Pasal 17 dan Pasal 35 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf g UU 14/2008. Dalam hal ini, tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pengklasifikasian Informasi Publik (selanjutnya disebut Perki Nomor 1 Tahun 2017) dan Peraturan Komisi Informasi Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2021 tentang Standar layanan Informasi Publik (selanjutnya disebut Perki Nomor 1 Tahun 2021) sebagai peraturan pelaksana UU 14/2008 menentukan dalam Pasal 4 ayat (1) Perki Nomor 1 Tahun 2017 bahwa dalam hal Badan publik menyatakan informasi publik tertentu yang dikecualikan maka pengecualian informasi publik tersebut harus didasarkan pada pengujian konsekuensi. Jika dilihat dari pengertiannya yang dimaksud pengujian konsekuensi adalah pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat dengan mempertimbangkan secara saksama bahwa menutup informasi publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya [vide Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 6 Perki Nomor 1 Tahun 2017]. Berdasarkan ketentuan Pasal 49 ayat (1) Perki Nomor 1 Tahun 2021, pengujian Konsekuensi dapat dilakukan: a. sebelum adanya permohonan Informasi Publik; b. pada saat adanya permohonan Informasi Publik; atau c. pada saat penyelesaian sengketa Informasi Publik atas perintah Majelis Komisioner. Pejabat yang melaksanakan pengujian konsekuensi adalah Pejabat Pengelola Informasi Dan Dokumentasi (selanjutnya disingkat PPID) atas persetujuan pimpinan badan publik [vide Pasal 4 ayat (2) Perki Nomor 1 Tahun 2017 dan Pasal 10 ayat (1) huruf g Perki Nomor 1 Tahun 2021].
Bahwa terhadap dalil Pemohon yang meminta agar Komisi Informasi memerintahkan badan publik yang telah menolak memberikan informasi untuk melakukan uji konsekuensi berlaku surut, maka dalam kaitan ini telah diatur tugas dan wewenang Komisi Informasi dalam ketentuan Pasal 26 dan Pasal 27 UU 14/2008, sementara berdasarkan ketentuan Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) UU 14/2008 telah ditentukan pula Putusan Komisi Informasi berupa:
(1) Putusan Komisi Informasi tentang pemberian atau penolakan akses terhadap seluruh atau sebagian informasi yang diminta berisikan salah satu perintah di bawah ini:
a. membatalkan putusan atasan Badan Publik dan memutuskan untuk memberikan sebagian atau seluruh informasi yang diminta oleh Pemohon Informasi Publik sesuai dengan keputusan Komisi Informasi; atau
b. mengukuhkan putusan atasan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi untuk tidak memberikan informasi yang diminta sebagian atau seluruhnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17.
(2) Putusan Komisi Informasi tentang pokok keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf b sampai dengan huruf g, berisikan salah satu perintah di bawah ini:
a. memerintahkan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi untuk menjalankan kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini;
b. memerintahkan Badan Publik untuk memenuhi kewajibannya dalam jangka waktu pemberian informasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini; atau
c. mengukuhkan pertimbangan atasan Badan Publik atau memutuskan mengenai biaya penelusuran.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, menurut Mahkamah ketentuan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) UU 14/2008, adalah merupakan bentuk prinsip kehati-hatian, agar badan publik tidak dengan serta-merta dapat menyatakan tidak dapat memberikan informasi dengan alasan informasi tersebut dikategorikan sebagai informasi yang dikecualikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 35 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf g UU 14/2008. Dalam hal ini, sebuah badan publik harus menyertakan alasannya mengenai tidak dapat diberikannya informasi publik yang dimohonkan. Begitu juga dengan putusan Komisi Informasi, telah diatur putusan apa yang dapat dijatuhkan oleh Komisi Informasi, baik bagi badan publik ataupun PPID, termasuk jika di dalam putusan yang bersangkutan mengandung perintah sebagaimana yang dimintakan oleh pemohon informasi publik.
Jika dikaitkan dengan dalil Pemohon, yang menginginkan agar uji konsekuensi dapat juga dilakukan setelah sebuah badan publik menolak permohonan informasi yang diajukan seseorang dan meminta agar Komisi Informasi memerintahkan badan publik yang telah menolak memberikan informasi untuk melakukan uji konsekuensi berlaku surut, menurut Mahkamah dalil-dalil a quo adalah dalil yang berdasarkan pada kasus konkret Pemohon, sehingga tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan lebih lanjut karena bukan merupakan kewenangan Mahkamah untuk menyelesaikan kasus konkret yang dialami Pemohon. Dengan demikian, dalil Pemohon berkenaan dengan ketentuan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) UU 14/2008 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.12.4] Bahwa Pemohon selanjutnya mendalilkan frasa "pidana denda paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah)" dalam Pasal 52 UU 14/2008 inkonstitusional karena nilai denda tersebut lebih kecil jumlahnya daripada kerugian yang ditimbulkan oleh badan publik, hal ini akan mengakibatkan badan publik menghindari hukum secara tanpa hak dan hal ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Berkenaan dengan dalil a quo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada buku kesatu dalam BAB I Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada. Sementara, berdasarkan Pasal 15 ayat (1) UU 12/2011 ditentukan materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam undang-undang dan peraturan daerah. Berdasarkan kedua ketentuan a quo dimungkinkan untuk adanya ketentuan pidana dalam sebuah undang-undang, in casu UU 14/2008. Menurut Mahkamah, dengan adanya ketentuan pidana dalam Pasal 52 UU 14/2008 memberikan perlindungan kepada setiap orang yang dirugikan oleh perbuatan badan publik yang telah dengan sengaja tidak menyediakan, tidak memberikan, dan/atau tidak menerbitkan Informasi Publik berupa Informasi Publik secara berkala, Informasi Publik yang wajib diumumkan secara serta-merta, Informasi Publik yang wajib tersedia setiap saat, dan/atau Informasi Publik yang harus diberikan atas dasar permintaan sesuai dengan UU 14/2008, ada batasan dan sanksi yang jelas ketika perbuatan-perbuatan tersebut dilanggar.
Menurut Mahkamah, jika dikaitkan dengan dalil Pemohon bahwa frasa "pidana denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah)" dalam Pasal 52 UU 14/2008 inkonstitusional karena nilai denda tersebut lebih kecil jumlahnya daripada kerugian yang ditimbulkan oleh badan publik, ketentuan ini justru melindungi pihak-pihak yang membutuhkan informasi publik dari perbuatan badan publik yang dilakukan secara sengaja tidak menyediakan data informasi publik, dan hal ini tidak melanggar hak konstitusional untuk memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang dilindungi dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karenanya telah jelas apabila permohonan Pemohon a quo dikabulkan oleh Mahkamah, maka justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Terlebih lagi, selama ini Mahkamah selalu berpendirian, antara lain dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-XVIII/2020, yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 25 November 2020, Sub-paragraf [3.13.2], bahwa terhadap norma yang mengatur sanksi pidana dalam sebuah undang-undang merupakan bagian kebijakan pemidanaan (criminal policy) yang menjadi ranah kewenangan pembentuk undang-undang menentukannya. Sebab, hal yang berkaitan dengan perampasan kemerdekaan atau pembatasan hak asasi warga negara diperlukan representasi dari kehendak rakyat melalui lembaga perwakilan rakyat untuk menentukannya. Dengan demikian, dalil Pemohon berkenaan dengan Pasal 52 UU 14/2008 adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, norma Pasal 2 ayat (4), Pasal 6 ayat (3) huruf c, Pasal 17 huruf g, Pasal 17 huruf h angka 3, Pasal 20 ayat (1), Pasal 38 ayat (2), Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 52 UU 14/2008 telah ternyata tidak menimbulkan ketidakadilan, ketidakpastian hukum, dan tidak terlindunginya hak pribadi yang dijamin dalam UUD 1945 sebagaimana didalilkan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.14] Menimbang bahwa berkenaan dengan hal-hal lain dalam permohonan Pemohon tidak dipertimbangkan karena tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak dan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 58/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2022 TENTANG PROVINSI KALIMANTAN SELATAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-09-2022

Kamar Dagang dan Industri Kota Banjarmasin (KADIN Kota Banjarmasin) yang diwakili oleh Muhammad Akbar Utomo Setiawan, Syarifuddin Nisfuady, Ali, Hamdani dan Khariadi. untuk selanjutnya disebut Para Pemohon.

Bahwa Pemohon dalam permohonannya mengujikan proses Pembentukan UU Provinsi Kalimantan Selatan ketentuan sebagai berikut:
• Proses pembentukan UU 8/2022 yang dianggap oleh Pemohon tidak melibatkan partisipasi masyarakat
• Pembentukan UU 8/2022 yang dianggap oleh Pemohon bertentangan dengan beberapa asas kejelasan tujuan; asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; dan asas keterbukaan.

Bahwa pengujian formil UU Provinsi Kalimantan Selatan dianggap Pemohon bertentangan dengan ketentuan proses pembentukan karena dinilai tidak melibatkan partisipasi masyarakat dan bertentangan dengan beberapa asas pembentukan peraturan perundang-undangan, yakni asas kejelasan tujuan; asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; dan asas keterbukaan

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Formil UU Provinsi Kalimantan Selatan dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.15] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan proses pembentukan UU 8/2022 telah melanggar asas kejelasan tujuan karena ternyata terdapat 3 (tiga) versi RUU Provinsi Kalimantan Selatan dalam proses penyusunannya yang terpublikasi. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.15.1] Bahwa Penjelasan Pasal 5 huruf a UU 12/2011 telah memberikan pengertian perihal apa yang dimaksud dengan asas kejelasan tujuan, yaitu setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. Dalam kerangka politik hukum nasional, maka tujuan dari pembentukan suatu peraturan perundangan-undangan, apapun bentuk peraturannya, harus diarahkan pada pemenuhan cita-cita bangsa dan tujuan negara sebagaimana tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945 sesuai dengan dinamika perkembangan yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Oleh karena itu, keberadaan asas kejelasan tujuan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan memberikan kewajiban bagi pembentuk undang-undang untuk, paling tidak, menjelaskan adanya kebutuhan atau urgensi dibentuknya suatu peraturan perundang-undangan tersebut. Terkait hal demikian, Mahkamah perlu mengutip kembali pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XVIII/2019 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 26 Oktober 2020 sebagai berikut:
[3.15.4] … Berkenaan dengan asas kejelasan tujuan maka hal tersebut terlihat dari Penjelasan Umum yang telah menguraikan latar belakang, maksud dan tujuan penyusunan undang-undang…
… menurut Mahkamah, hal tersebut haruslah dilihat secara keseluruhan norma undang-undang yang apabila dianggap dapat merugikan hak konstitusional atau menyimpangi dari tujuan dibentuknya undang-undang maka dapat dilakukan pengujian secara materiil terhadap norma dimaksud ke Mahkamah Konstitusi, dengan demikian sesungguhnya dengan telah dicantumkannya maksud dan tujuan penyusunan undang-undang di Penjelasan Umum maka telah memenuhi asas kejelasan tujuan, terlepas bahwa norma undang-undang tersebut apakah menyimpangi tujuan penyusunan undang-undang dan dikhawatirkan akan merugikan hak konstitusional warga negara tersebut terhadap hal demikian haruslah dipertimbangkan oleh Mahkamah melalui pengujian materiil suatu undang-undang di Mahkamah Konstitusi bukan melalui pengujian formil.

Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, maka secara teknis, penjelasan pembentuk undang-undang berkaitan dengan keterpenuhan asas kejelasan tujuan dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan dapat dilihat pada bagian konsiderans atau penjelasan umum suatu peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, sepanjang peraturan perundang-undangan telah menjelaskan maksud, tujuan, atau urgensi penyusunannya secara jelas dalam bagian konsiderans atau penjelasan umum, maka telah terpenuhi pula asas kejelasan tujuan dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut.
[3.15.2] Bahwa UU 8/2022 telah memuat maksud dan tujuan serta urgensi atau kebutuhan diperlukannya UU a quo sebagaimana tercantum dalam Konsiderans menimbang huruf c dan huruf d yang menyatakan:
Menimbang: c. bahwa Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Propinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum sehingga perlu diganti;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang-Undang tentang Provinsi Kalimantan Selatan;

Selain itu, penjelasan terkait dengan maksud, tujuan dan urgensi penyusunan UU 8/2022 juga terdapat dalam Penjelasan Umum UU a quo yang menyatakan:
Penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sejatinya adalah untuk mewujudkan salah satu tujuan Negara yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu untuk melindungi segenap banga Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum.
Dalam rangka mencapai tujuan tersebut dan penyesuaian terhadap dinamika perubahan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintahan daerah, serta peraturan perundang-undangan terkait lainnya, diperlukan upaya untuk menegaskan kembali kedudukan provinsi, khususnya Provinsi Kalimantan Selatan dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Repiblik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk republik.”
Berkaitan dengan itu, Undang-Undang ini dibentuk untuk mengganti Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Provinsi Kalimantan Barat Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur yang memuat penyempurnaan dasar hukum, penyesuaian cakupan wilayah, penegasan karakteristik, serta sinkronisasi peraturan perundang-undangan.

Dengan demikian, menurut Mahkamah, maksud, tujuan dan urgensi pembentukan UU 8/2022 telah jelas diuraikan dalam bagian konsiderans dan Penjelasan Umum UU 8/2022, antara lain, adanya kebutuhan untuk menyesuaikan dasar hukum pembentukan provinsi yang masih berdasar kepada Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 yang sudah tidak cocok dengan konsep otonomi daerah saat ini serta dengan mencerminkan kekhasan dan arah pembangunan berdasarkan potensi dan karakteristik daerah. Sehingga, dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa proses pembentukan UU 8/2022 telah melanggar asas kejelasan tujuan adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.15.3] Bahwa terkait dengan dalil para Pemohon yang menyatakan proses pembentukan UU 8/2022 telah melanggar asas kepastian hukum karena dalam proses penyusunannya terdapat 3 (tiga) versi RUU Provinsi Kalimantan Selatan. Terhadap dalil para Pemohon a quo, meskipun hal demikian tidak berkaitan dengan asas kejelasan tujuan dalam proses pembentukan undang-undang, Mahkamah memandang perlu menjelaskan kembali secara singkat tahapan-tahapan dalam proses pembentukan undang-undang sesuai dengan UUD 1945 sebagaimana telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 25 November 2021 sebagai berikut:
[3.17.2] Bahwa merujuk pengaturan dalam UUD 1945, pembentukan undang-undang (lawmaking process) adalah merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan secara berkesinambungan yang terdiri dari 5 (lima) tahapan, yaitu: (i) pengajuan rancangan undang-undang; (ii) pembahasan bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden, serta pembahasan bersama antara DPR, Presiden, dan DPD sepanjang terkait dengan Pasal 22D ayat (1) dan (2) UUD 1945; (iii) persetujuan bersama antara DPR dan presiden; (iv) pengesahan rancangan undang-undang menjadi undang-undang; dan (v) pengundangan;

Secara teknis, pembentukan undang-undang (lawmaking process) sebagaimana diatur dalam UUD 1945 tersebut kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam UU 12/2011 dan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang kemudian menentukan proses pembentukan peraturan perundang-undangan terdiri dari 5 (lima) tahapan, yaitu: (i) perencanaan, (ii) penyusunan, (iii) pembahasan, (iv) pengesahan, dan (v) pengundangan. Pada tahapan penyusunan rancangan undang-undang, dalam hal ini yang diajukan atau atas usul inisiatif DPR, maka setelah ditetapkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) terdapat beberapa proses yang harus dilalui oleh sebuah RUU untuk dapat diteruskan pada tahapan pembahasan, baik untuk RUU yang berasal dari anggota DPR maupun dari komisi, gabungan komisi, atau badan legislasi. Proses tersebut dimulai dari penyiapan RUU dan naskah akademik yang kemudian dilanjutkan pada kegiatan penyusunan konsep, pembahasan konsep hingga penyebarluasan RUU untuk selanjutnya dimintakan masukan dari masyarakat hingga diserahkan kepada badan legislasi guna dilakukan pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsep RUU untuk kemudian disetujui oleh rapat paripurna agar dilakukan pembahasan dengan Presiden. Dalam setiap proses yang dilalui tersebut, masih terbuka ruang bagi DPR sebagai inisiator pengusul untuk melakukan penyempurnaan atas konsep RUU yang akan dibahas bersama dengan Presiden sehingga kemungkinan terdapat beberapa versi konsep RUU dalam tahapan penyusunan adalah merupakan rangkaian proses penyempurnaan RUU. Baru dalam tahapan pembahasan, khususnya setelah pembicaraan tingkat I yang telah ditentukan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) oleh Presiden, maka setiap perubahan substansial RUU harus melalui pembahasan bersama antara DPR dan Presiden. Dalam tahapan ini pun masih berpotensi muncul versi RUU baru sebagai hasil dari kesepakatan dalam pembahasan oleh pembentuk undang-undang. Oleh karenanya, menurut Mahkamah, keberadaan lebih dari satu versi RUU dalam proses pembentukannya merupakan suatu yang tidak dapat dihindari sebagai akibat dari serangkaian proses penyempurnaan yang harus dilalui oleh sebuah RUU untuk kemudian menjadi undang-undang.
[3.15.4] Bahwa berkaitan dengan pertimbangan hukum tersebut di atas, setelah Mahkamah mencermati dengan saksama bukti salinan RUU yang diajukan oleh para Pemohon dan Lampiran Keterangan DPR, Mahkamah menemukan fakta memang benar terdapat 3 (tiga) versi RUU Provinsi Kalimantan Selatan dalam proses pembentukan UU 8/2022. Pertama, RUU Provinsi Kalimantan Selatan yang terdiri atas 58 Pasal dan sebanyak 50 halaman [vide bukti P-2b dan Lampiran 8 Keterangan DPR] merupakan draft RUU yang diserahkan oleh Komisi II selaku pengusul RUU kepada Baleg DPR pada 16 September 2021. Kedua, RUU Provinsi Kalimantan Selatan yang terdiri atas 50 Pasal dan sebanyak 45 halaman [vide bukti P-4b dan Lampiran 14 Keterangan DPR] merupakan draft RUU hasil harmonisasi Baleg DPR pada 23 September 2021. Ketiga, RUU Provinsi Kalimantan Selatan yang terdiri atas 8 Pasal [vide bukti P-9 dan Lampiran 24 Keterangan DPR] merupakan RUU yang disampaikan dalam rapat paripurna pada 15 Februari 2022 untuk diambil keputusan tingkat II. Dengan demikian menjadi jelas bahwa keberadaan tiga versi RUU sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon dalam proses pembentukan UU 8/2022 adalah merupakan hasil proses penyempurnaan RUU menjadi sebuah undang-undang sesuai dengan tahapan pembentukan suatu undang-undang. Selain itu, Mahkamah juga menemukan fakta bahwa dalam proses pembahasan, berdasarkan DIM yang disampaikan oleh Presiden, terlihat banyaknya posisi penolakan materi pasal RUU yang diusulkan. Hal demikian sekaligus menjawab pertanyaan dalam persidangan terkait adanya perbedaan jumlah pasal yang signifikan, antara RUU Provinsi Kalimantan Selatan awalnya berjumlah 50 Pasal kemudian hanya menjadi 8 Pasal dalam UU 8/2022. Dengan demikian, menurut Mahkamah, menjadi jelas bahwa proses pembentukan UU 8/2022 telah sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan sehingga dalil para Pemohon adalah tidak berlasan menurut hukum.

[3.16] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan proses pembentukan UU 8/2022 telah melanggar asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat serta asas kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan. Berkenaan dengan dalil para Pemohon a quo, Mahkamah memahami maksud dan tujuan para Pemohon yang pada pokoknya mendalilkan bahwa instrumen hukum yang seharusnya digunakan untuk pemindahan ibukota adalah dengan “Peraturan Pemerintah” sesuai dengan dengan ketentuan Pasal 48 ayat (3) UU 23/2014, bukan dengan “Undang-Undang” sebagaimana yang diatur dalam UU 8/2022, in casu Pasal 4 UU 8/2022. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.16.1] Bahwa sejak berlakunya UU 23/2014, segala bentuk penyelenggaraan pemerintahan daerah harus merujuk pada UU 23/2014, termasuk juga ketentuan mengenai penyesuaian daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 48 ayat (3) UU 23/2014 yang menentukan “Perubahan nama Daerah, pemberian nama dan perubahan nama bagian rupa bumi, pemindahan ibu kota, serta perubahan nama ibu kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sampai dengan huruf e ditetapkan dengan peraturan pemerintah.” Sedangkan dalam UU 8/2022, pembentuk undang-undang memuat norma yang menentukan bahwa Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan adalah Kota Banjarbaru, yang sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Propinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur (selanjutnya disebut UU 25/1956) bertempat di Kota Banjarmasin. Dengan adanya perubahan materi undang-undang tersebut, maka secara tidak langsung pembentuk undang-undang juga sekaligus memindahkan Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan tanpa sebelumnya menggunakan prosedur pemindahan Ibukota sebagaimana diatur dalam UU 23/2014 beserta turunannya, yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian Nama Daerah, Pemberian Nama Ibu Kota, Perubahan Nama Daerah, Perubahan Nama Ibu Kota, Dan Pemindahan Ibu Kota (selanjutnya disebut Permendagri 30/2012). Terhadap permasalahan tersebut, menurut Mahkamah, prosedur pemindahan Ibukota sebagaimana ditentukan dalam UU 23/2014 dan Permendagri 30/2012 berlaku bagi pemindahan ibukota suatu daerah yang tanpa diikuti atau dibarengi dengan perubahan atas undang-undang daerah tersebut. Atau dengan perkataan lain, apabila hendak memindahkan lokasi ibukota di suatu daerah tanpa adanya perubahan terhadap undang-undang pembentukan daerah tersebut, maka berlaku prosedur sebagaimana ditentukan dalam UU 23/2014 dan Permendagri 30/2012. Namun apabila terdapat proses perubahan undang-undang suatu daerah yang di dalamnya mengatur perubahan lokasi ibukota suatu daerah, maka prosedur yang berlaku adalah pembentukan undang-undang sebagaimana diatur dalam UU 12/2011.
Berkenaan dengan perubahan undang-undang a quo, berdasarkan Butir 223 Lampiran II UU 12/2011 menyatakan bahwa “Peraturan Perundang-undangan hanya dapat dicabut melalui Peraturan Perundang-undangan yang setingkat atau lebih tinggi”. Berdasarkan hal tersebut, telah jelas bahwa untuk dapat mengubah materi muatan yang sudah tidak sejalan dalam suatu peraturan perundang-undangan maka peraturan perundang-undangan tersebut dapat dicabut dengan peraturan perundang-undangan yang setingkat atau dapat dicabut dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Oleh karena itu, menurut Mahkamah, karena perubahan ibukota bersamaan dengan perubahan UU tentang Provinsi Kalimantan Selatan, in casu perubahan ibukota Provinsi Kalimantan Selatan dari Kota Banjarmasin ke Kota Banjarbaru melalui UU 8/2022, maka hal tersebut dapat dibenarkan.
[3.16.2] Bahwa berkenaan dengan pemindahan Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan berdasarkan Pasal 4 UU 8/2022, menurut Mahkamah bukanlah merupakan sebuah proses pemindahan ibukota yang baru ditentukan berdasarkan UU 8/2022 karena sebenarnya materi muatan Pasal 4 UU 8/2022 yang menentukan Kota Banjarbaru sebagai Ibukota lebih merupakan pemberian dasar hukum terhadap status Kota Banjarbaru sebagai pusat pemerintahan sebagaimana yang telah berjalan selama ini. Mahkamah menemukan fakta berdasarkan Laporan Hasil Pengumpulan Data Dalam Rangka Penyusunan Naskah Akademik dan Draft RUU tentang Provinsi Kalimantan Selatan [vide Lampiran 1 Keterangan DPR, bagian Latar Belakang] secara faktual, walaupun ibukota di Kota Banjarmasin, namun sejak tanggal 14 Agustus 2011, sebagian aktivitas pemerintahan Provinsi Kalimantan Selatan berpindah ke Kota Banjarbaru. Bahkan secara historis, gagasan untuk memindahkan Ibukota ke Kota Banjarbaru telah diinisiasi oleh dr. Murdjani, Gubernur ke-2 Provinsi Kalimantan Selatan pada tahun 1950-an [vide keterangan DPR RI, hlm. 42] dan pada tahun 1964 usulan pemindahan Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan dituangkan dalam resolusi DPRD-GR Kalimantan Selatan tertanggal 27 Juli 1964 No. 18a/DPRD-GR/KPT/1964 terkait realisasi penetapan Kota Banjarbaru menjadi Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan [vide Keterangan Pihak Terkait Walikota Banjarbaru, hlm. 22]. Oleh karena itu, rencana pemindahan Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan ke Kota Banjarbaru sebenarnya bukanlah merupakan proses yang baru dilaksanakan dan pemberlakuan UU 8/2022 adalah dalam rangka memberikan dasar hukum atas dinamika dan kebutuhan yang berkembang di masyarakat, khususnya masyarakat di Kalimantan Selatan. Selain itu, secara faktual, kantor-kantor pemerintahan telah dibangun dan aktivitas pemerintahan telah pula berjalan, sebagai bentuk “ibukota baru” sebelum pembentukan UU 8/2022. Bahkan secara faktual pula telah dilakukan pemindahan pusat pemerintahan ke Kota Banjarbaru yang proses pemindahannya melibatkan tim yang terdiri dari 2 (dua) Walikota dan 11 (sebelas) Bupati serta 13 (tiga belas) DPRD Kabupaten/Kota se-Kalimantan Selatan [vide hlm. 40, Perbaikan Permohonan para Pemohon].
[3.16.3] Bahwa selain pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat, penggunaan instrumen hukum berupa undang-undang dalam hal pemindahan ibukota sekaligus pada saat perubahan undang-undang tentang Provinsi Kalimantan Selatan memiliki kedudukan hukum yang lebih kuat daripada Peraturan Pemerintah. Selain itu, dari sisi materi muatan suatu undang-undang juga lebih umum dan kompleks daripada materi muatan suatu Peraturan Pemerintah sehingga membutuhkan pembahasan yang lebih substantif dan partisipasif. Terlebih lagi secara faktual, rencana pemindahan Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan dari Kota Banjarmasin ke Kota Banjarbaru ternyata telah termuat juga dalam Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 17 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2005- 2025 [vide bukti P.T-4]. Selain itu, berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 9 Tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2015-2035 juga telah mencerminkan bahwa Kota Banjarbaru telah dipersiapkan untuk menjadi Ibu Kota Provinsi Kalimantan Selatan dengan fungsi sebagai pusat pemerintahan provinsi, industri nasional, perdagangan regional dan nasional, jasa transportasi udara nasional, dan pendidikan tinggi. Berdasarkan fakta tersebut, menurut Mahkamah, proses pemindahan Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan ke Kota Banjarbaru bukanlah merupakan hal baru yang muncul pada saat pembentukan UU 8/2022, melainkan secara faktual telah dipersiapkan dan dilakukan secara bertahap oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan. Dengan demikian, pengaturan mengenai pemindahan ibukota dalam proses pembentukan UU 8/2022 merupakan proses yang telah sesuai dengan prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan yang menjadi kewenangan pembentuk undang-undang berdasarkan UU 12/2011, sehingga dalil permohonan para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.17] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan proses pembentukan UU 8/2022 telah melanggar asas keterbukaan karena tidak melibatkan tim yang terdiri dari 2 (dua) Walikota dan 11 (sebelas) Bupati serta 13 (tiga belas) DPRD Kabupaten/Kota se-Kalimantan Selatan sebagaimana proses pemindahan pusat pemerintahan Provinsi Kalimantan Selatan ke Kota Banjarbaru yang dibentuk dan ditetapkan oleh Gubernur Kalimantan Selatan. Sedangkan dalam pemindahan Ibukota ke Kota Banjarbaru dilakukan tanpa melibatkan tim sebagaimana pemindahan pusat pemerintahan dimaksud serta tanpa konsep yang jelas dan kajian yang transparan dengan memperhatikan aspirasi masyarakat. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.17.1] Bahwa berdasarkan Penjelasan Pasal 5 huruf g UU 12/2011, yang dimaksud dengan asas keterbukaan adalah dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan pengertian tersebut, maka keterpenuhan asas keterbukaan secara formil dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, menurut Mahkamah, adalah bertumpu pada sifat transparan dan terbukanya setiap tahapan pembentukannya. Sifat transparan tersebut membutuhkan adanya tindakan dari pembentuk undang-undang untuk memberitahukan, mengumumkan, atau mempublikasikan informasi dalam tahapan proses pembentukan undang-undang. Sedangkan sifat keterbukaan memberikan kewajiban bagi pembentuk undang-undang untuk tidak sekedar memberikan informasi, namun juga membuka ruang komunikasi 2 (dua) arah melalui diskusi atau dialog untuk mendapatkan saran dan masukan dari masyarakat. Oleh karena itu, untuk menentukan apakah asas keterbukaan secara formil telah terpenuhi, dapat dilihat dari upaya apa saja yang telah dilakukan oleh pembentuk undang-undang untuk melakukan penyebaran informasi sekaligus membuka ruang diskursus publik, atau sebaliknya, ada atau tidaknya upaya dari pembentuk undang-undang yang dengan sengaja menghalangi atau menghambat upaya penyebaran informasi atau membuka ruang diskursus publik dalam proses pembentukan undang-undang, in casu UU 8/2022. Berkenaan dengan hal tersebut, ketentuan Pasal 96 ayat (2) UU 12/2011 menentukan beberapa pilihan metode atau sarana partisipasi masyarakat yang dapat dilakukan, yaitu dalam bentuk rapat dengar pendapat, kunjungan kerja, sosialisasi dan/atau seminar, lokakarya, atau diskusi.
[3.17.2] Bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama Lampiran Keterangan DPR yang merupakan satu kesatuan dengan keterangan tertulis DPR yang telah disampaikan dalam persidangan pada 19 Juli 2022, Mahkamah menemukan fakta berkaitan dengan upaya penyebarluasan informasi dan penyediaan ruang diskursus publik dalam proses pembentukan UU 8/2022 sebagai berikut:
1 Pemuatan alur atau proses tahapan pembentukan UU 8/2022 disertai dengan dokumen berupa naskah akademik, RUU, dan beberapa laporan dalam laman resmi DPR sehingga masyarakat setiap saat dapat mengakses secara mudah seluruh data tersebut;
2 Diskusi pengumpulan data dalam rangka penyusunan Naskah Akademik dan Draf RUU Provinsi Kalimantan Selatan di Provinsi Kalimantan Selatan dengan Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, DPRD Provinsi Kalimantan Selatan, Akademisi FH dan FISIP Universitas Lambung Mangkurat, dan LSM Sasangga Banua yang diselenggarakan tanggal 20-23 Oktober 2020 [vide Lampiran 1 Keterangan DPR];
3 Diskusi uji konsep RUU Provinsi Kalsel dengan Biro Hukum Sekretariat Daerah Provinsi Kalimantan Selatan dan Akademisi FH Universitas Lambung Mangkurat dalam tahap penyusunan Naskah Akademik dan Draf RUU Provinsi Kalimantan Selatan di Kalimantan Selatan pada 23 Maret 2021 [vide Lampiran 4 dan Lampiran 5 Keterangan DPR];
4 Kunjungan Panitia Kerja Komisi II DPR terkait pembahasan 7 Rancangan Undang-Undang tentang Provinsi di Kalimantan, tepatnya di Kantor Gubernur Provinsi Kalimantan Selatan, di Provinsi Kalimantan Selatan pada 26 Januari 2022 dengan Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, DPRD Kalimantan Selatan, dan perwakilan dari Kementerian Dalam Negeri dalam tahap pembahasan RUU Provinsi Kalimantan Selatan [vide Lampiran 18 Keterangan DPR].
Berdasarkan uraian fakta-fakta tersebut di atas, menurut Mahkamah, telah jelas pembentuk undang-undang telah melakukan upaya dan kegiatan dalam rangka penyebaran informasi sekaligus membuka ruang diskursus publik dalam proses pembentukan UU 8/2022 sehingga dalil permohonan para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.17.3] Bahwa berkaitan dengan dalil para Pemohon yang menyatakan pemindahan Ibukota ke Kota Banjarbaru dilakukan tanpa adanya konsep yang jelas dan kajian yang transparan dengan memperhatikan aspirasi masyarakat karena tidak membentuk tim khusus dengan melibatkan 2 Walikota dan 11 Bupati serta 13 DPRD Kabupaten/Kota se-Kalimantan Selatan, Mahkamah memahami keinginan para Pemohon agar dalam pembentukan UU 8/2022 dilakukan dengan mendengarkan berbagai pendapat, saran dan masukan dari semua stakeholders, khususnya terkait dengan materi yang mengatur tentang pemindahan Ibukota ke Kota Banjarbaru. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, menurut Mahkamah, pada tataran yang ideal, semua pihak yang berkaitan dengan undang-undang yang akan dibentuk, didengarkan pendapatnya oleh pembentuk undang-undang. Namun secara teknis prosedural, hal tersebut tidak mungkin dapat dilakukan secara maksimal dan justru menyebabkan proses pembentukannya menjadi tidak efektif dan efisien. Oleh karena itu, berkaitan dengan siapa saja pihak yang dapat didengar masukannya dalam proses pembentukan undang-undang, ketentuan Pasal 96 ayat (3) UU 12/2011 telah membatasi hanya kepada orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan. Kemudian Penjelasan Pasal 96 ayat (3) UU 12/2011 menentukan yang termasuk dalam kelompok orang, antara lain, kelompok/organisasi masyarakat, kelompok profesi, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat adat. Berdasarkan fakta sebagaimana diuraikan pada Sub-paragraf [3.17.2] di atas, menurut Mahkamah, secara formal kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh DPR dengan melibatkan pemerintah provinsi, DPRD provinsi, akademisi, serta LSM telah sesuai dengan prosedur dan tata cara pembentukan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam UU 12/2011. Mahkamah juga perlu menegaskan, sekalipun tidak membentuk tim khusus dengan melibatkan 2 Walikota dan 11 Bupati serta 13 DPRD Kabupaten/Kota se-Kalimantan Selatan, tidak menyebabkan proses pembentukan UU 8/2022 menjadi cacat formil. Adapun terkait dengan bukti berupa dokumen yang menunjukkan adanya penolakan pemindahan Ibukota dari berbagai unsur elemen masyarakat yang diajukan oleh para Pemohon [vide bukti P-8, bukti P-18 dan bukti P-19], menurut Mahkamah, hal demikian merupakan bagian dari dinamika berdemokrasi dan tidak dapat menentukan keabsahan formalitas dalam proses pembentukan suatu undang-undang karena akan selalu saja terbuka kemungkinan adanya kelompok yang pro dan kontra terhadap lahirnya suatu undang-undang yang merupakan bentuk kebebasan berpendapat, karena faktanya terdapat juga beberapa surat dukungan pemindahan Ibukota ke Kota Banjarbaru sebagaimana bukti P.T-6 sampai dengan bukti P.T-10.10.
Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, dalil permohonan para Pemohon mengenai tidak dilibatkannya tim yang terdiri dari 2 (dua) Walikota dan 11 (sebelas) Bupati serta 13 (tiga belas) DPRD Kabupaten/Kota se-Kalimantan Selatan sebagaimana proses pemindahan pusat pemerintahan Provinsi Kalimantan Selatan ke Kota Banjarbaru, dan pemindahan pusat pemerintahan dimaksud dilakukan tanpa konsep dan kajian yang jelas, serta tidak memperhatikan aspirasi masyarakat adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat, pembentukan UU 8/2022 telah memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang menurut UUD 1945 sehingga dengan demikian, dalil para Pemohon yang menyatakan proses penyusunan UU 8/2022 tidak sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 5 huruf a, huruf b, huruf c dan huruf g UU 12/2011 adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 59/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2022 TENTANG PROVINSI KALIMANTAN SELATAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-09-2022

Kamar Dagang dan Industri Kota Banjarmasin, dkk., dalam hal ini memberi kuasa kepada Dr. Muhamad Pazri, S.H., M.H., Muhammad Mauliddin Afdie, S.H., M.H., Hidayatullah, S.H., Matrosul, S.H., dan Muhammad Iqbal, S.H., M.H., kesemuanya Advokat, Pengacara, Konsultan Hukum berkantor pada Kantor Hukum BORNEO LAW FIRM untuk selanjutnya disebut Para Pemohon.

Pasal 4 UU 8/2022

Pasal 1 ayat (1), Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 4 UU 8/2022 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum pada pokoknya sebagai berikut:

[3.13] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara saksama permohonan para Pemohon bukti surat/tulisan, keterangan ahli dan saksi yang diajukan para Pemohon, kesimpulan para Pemohon, keterangan DPR, keterangan Presiden, keterangan Pihak Terkait Walikota Banjarbaru, bukti surat/tulisan Pihak Terkait, kesimpulan Pihak Terkait, pada intinya permohonan a quo menguji konstitusionalitas norma Pasal 4 UU 8/2022 yang menurut para Pemohon bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1), Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dengan alasan-alasan sebagaimana yang terurai pada Paragraf [3.8]. Terhadap dalil-dalil para Pemohon tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
Bahwa pemindahan ibukota merupakan bagian dari penataan daerah. Berdasarkan Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU 23/2014), penataan daerah sebagai pelaksanaan desentralisasi bertujuan untuk mewujudkan efektivitas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat, mempercepat peningkatan kualitas pelayanan publik, meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan, meningkatkan daya saing nasional dan daya saing daerah, serta memelihara keunikan adat istiadat, tradisi dan budaya daerah, yang terdiri atas Pembentukan Daerah dan Penyesuaian Daerah. Penyesuaian Daerah dapat berupa perubahan batas wilayah daerah, perubahan nama daerah, pemberian nama dan perubahan nama bagian rupa bumi, pemindahan ibukota, dan/atau perubahan nama ibukota [vide Pasal 48 ayat (1) UU 23/2014];
Bahwa secara historis, Provinsi Kalimantan Selatan adalah bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur (UU 25/1956). Provinsi Kalimantan Selatan pernah dipecah menjadi Provinsi Kalimantan Selatan dan Provinsi Kalimantan Tengah berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 10 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah Swatantra Provinsi Kalimantan Tengah. Selanjutnya sebagian wilayah Kabupaten Kotabaru dimasukkan ke dalam wilayah Kalimantan Timur berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1959 tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 tentang Perpanjangan Pembentukan Daerah Tingkat II Di Kalimantan Sebagai Undang-Undang. Kemudian pada akhirnya Provinsi Kalimantan Selatan memiliki undang-undang baru yakni Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2022 tentang Provinsi Kalimantan Selatan (UU 8/2022);
Dalam Naskah Akademik RUU Provinsi Kalimantan Selatan, UU 8/2022 disusun dengan latar belakang dasar pembentukannya yang telah kadaluwarsa karena dibentuk pada masa Indonesia masih menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 sehingga banyak materi muatan yang tidak sesuai dengan perkembangan ketatanegaraan. Beberapa materi muatan yang sudah tidak sejalan lagi di antaranya adalah mengenai nomenklatur status daerah, susunan pemerintahan, dan pola relasi dengan pemerintahan pusat. Oleh karena itu, perlu membentuk undang-undang yang secara khusus mengatur tentang Provinsi Kalimantan Selatan sehingga pembangunan di Provinsi Kalimantan Selatan dapat terselenggara secara terpola, menyeluruh, terencana, dan terintegrasi dalam satu kesatuan wilayah untuk mewujudkan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, berkepribadian dan berkebudayaan. Lebih lanjut, dalam Bab V, Jangkauan, Arah Pengaturan, dan Ruang Lingkup Materi Muatan, disebutkan bahwa Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan berkedudukan di Kota Banjarbaru [vide Keterangan DPR hlm. 30].
Berkenaan dengan perubahan undang-undang Provinsi Kalimantan Selatan, berdasarkan Butir 223 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011) menyatakan bahwa:

“Peraturan Perundang-undangan hanya dapat dicabut melalui Peraturan Perundang-undangan yang setingkat atau lebih tinggi”.

Berdasarkan hal tersebut di atas, telah jelas bahwa untuk dapat mengubah materi muatan yang sudah tidak sejalan dalam suatu peraturan perundang-undangan maka peraturan perundang-undangan tersebut dapat dicabut dengan peraturan perundang-undangan yang setingkat atau dapat dicabut dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dengan demikian menurut Mahkamah, pengaturan perubahan mengenai Provinsi Kalimantan Selatan yang dituangkan dalam bentuk undang-undang telah sesuai dengan ketentuan dalam UU 12/2011.
Kemudian berdasarkan Pasal 5 dan Pasal 20 UUD 1945, Presiden dan DPR mempunyai kewenangan untuk membentuk Undang-Undang. Pembentukan UU 8/2022 telah dilakukan melalui persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Salah satu fokus utama bagi pembentuk undang-undang adalah melakukan penyesuaian sehingga pembangunan di Provinsi Kalimantan Selatan dapat terselenggara secara terpola, menyeluruh, terencana, dan terintegrasi dalam satu kesatuan wilayah untuk mewujudkan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dan berkebudayaan. [vide Keterangan Presiden, hlm. 15]. Adapun materi muatan mengenai pengaturan ibukota Provinsi Kalimantan Selatan merupakan salah satu kesepakatan pembentuk undang-undang pada saat pembahasan, dan bukan merupakan satu-satunya materi muatan dalam UU 8/2022. Oleh karena itu, menurut Mahkamah pengaturan pembaruan mengenai Provinsi Kalimantan Selatan dalam UU 8/2022 yang juga di dalamnya mencantumkan Kota Banjarbaru sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Selatan, meskipun hal tersebut adalah baru dan berbeda dengan UU 25/1956 karena letak ibukota berada di Banjarmasin, hal demikian itu adalah tetap konstitusional.
Sementara itu, terkait dengan pemindahan ibukota Provinsi Kalimantan Selatan, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU-XX/2022 yang telah diputus sebelumnya, pada Sub-paragraf [3.16.2] mempertimbangkan sebagai berikut:
Bahwa berkenaan dengan pemindahan Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan berdasarkan Pasal 4 UU 8/2022, menurut Mahkamah bukanlah merupakan sebuah proses pemindahan ibukota yang baru ditentukan berdasarkan UU 8/2022 karena sebenarnya materi muatan Pasal 4 UU 8/2022 yang menentukan Kota Banjarbaru sebagai Ibukota lebih merupakan pemberian dasar hukum terhadap status Kota Banjarbaru sebagai pusat pemerintahan sebagaimana yang telah berjalan selama ini. Mahkamah menemukan fakta berdasarkan Laporan Hasil Pengumpulan Data Dalam Rangka Penyusunan Naskah Akademik dan Draft RUU tentang Provinsi Kalimantan Selatan [vide Lampiran 1 Keterangan DPR, bagian Latar Belakang] secara faktual, walaupun ibukota di Kota Banjarmasin, namun sejak tanggal 14 Agustus 2011, sebagian aktivitas pemerintahan Provinsi Kalimantan Selatan berpindah ke Kota Banjarbaru. Bahkan secara historis, gagasan untuk memindahkan Ibukota ke Kota Banjarbaru telah diinisiasi oleh dr. Murdjani, Gubernur ke-2 Provinsi Kalimantan Selatan pada tahun 1950-an [vide keterangan DPR RI, hlm. 42] dan pada tahun 1964 usulan pemindahan Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan dituangkan dalam resolusi DPRD-GR Kalimantan Selatan tertanggal 27 Juli 1964 No. 18a/DPRD-GR/KPT/1964 terkait realisasi penetapan Kota Banjarbaru menjadi Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan [vide Keterangan Pihak Terkait Walikota Banjarbaru, hlm. 22]. Oleh karena itu, rencana pemindahan Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan ke Kota Banjarbaru sebenarnya bukanlah merupakan proses yang baru dilaksanakan dan pemberlakuan UU 8/2022 adalah dalam rangka memberikan dasar hukum atas dinamika dan kebutuhan yang berkembang di masyarakat, khususnya masyarakat di Kalimantan Selatan. Selain itu, secara faktual, kantor-kantor pemerintahan telah dibangun dan aktivitas pemerintahan telah pula berjalan, sebagai bentuk “ibukota baru” sebelum pembentukan UU 8/2022.
Dengan demikian, berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, dalil para Pemohon perihal pemindahan ibukota Provinsi Kalimantan Selatan dari Kota Banjarmasin ke Kota Banjarbaru sebagaimana substansi Pasal 4 UU 8/2022 bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum;

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat ketentuan norma Pasal 4 UU 8/2022 telah ternyata tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan telah memberikan perlindungan hukum sebagaimana dijamin oleh UUD 1945. Dengan demikian, permohonan para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Sedangkan, terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan karena dipandang tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 76/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-09-2022

Ir. Barid Effendi, Dedy Dani Ardi, S.E., M.E., Riris Munadiya, S.E., M.E., untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 34 ayat (2) dan ayat (4) UU 5/1999

Pasal 1 ayat (3), Pasal 4 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 34 ayat (2) dan ayat (4) UU 5/1999 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum pada pokoknya sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan Pemohon beserta bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon, sebelum menilai konstitusionalitas Pasal 34 ayat (2) dan ayat (4) UU 5/1999 terlebih dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan permohonan Pemohon dikaitkan dengan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), sehingga terhadap norma a quo dapat diajukan kembali.
Pasal 60 UU MK menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.

Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda.

Bahwa pengujian norma Pasal 34 ayat (2) dan ayat (4) UU 5/1999 pernah diajukan pengujian ke Mahkamah dan telah diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XVIII/2020 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 26 Oktober 2020 dengan amar putusan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Dalam perkara Nomor 54/PUU-XVIII/2020 yang dimohonkan adalah pengujian Pasal 34 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) UU 5/1999 terhadap Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Sedangkan, untuk permohonan Pemohon a quo yang dimohonkan pengujiannya adalah Pasal 34 ayat (2) dan ayat (4) UU 5/1999, tidak termasuk ayat (1), terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 4 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, meskipun terdapat pasal yang diujikan sama yakni Pasal 34 ayat (2) dan ayat (4) UU 5/1999 namun permohonan a quo tidak menguji ayat (1) dan terdapat pula dasar pengujian yang berbeda yakni terhadap Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Selain itu, terdapat pula perbedaan pada rumusan petitum inkonstitusional bersyarat dalam permohonan a quo dengan permohonan sebelumnya. Oleh karena perkara a quo memiliki dasar pengujian yang berbeda dan juga memiliki alasan yang berbeda, maka terlepas terbukti atau tidaknya secara substansial permohonan a quo, secara formal permohonan a quo berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 PMK 2/2021, dapat diajukan kembali.

[3.11] Menimbang bahwa pokok permohonan yang didalilkan Pemohon telah ternyata pada pokoknya berkenaan dengan status kelembagaan sekretariat KPPU dan pengaturan lebih lanjut sekretariat KPPU dengan Keputusan Komisi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 34 ayat (2) dan ayat (4) UU 5/1999. Untuk itu penting bagi Mahkamah terlebih dahulu mengutip Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XVIII/2020 terkait dengan sekretariat KPPU yang mempertimbangkan sebagai berikut:
“ …, sekretariat KPPU merupakan unit organisasi untuk mendukung atau membantu pelaksanaan tugas KPPU yang susunan organisasi, tugas dan fungsi sekretariat dan kelompok kerja diatur berdasarkan keputusan Komisi. Oleh karena itu, adanya keinginan para Pemohon yang meminta agar sekretariat KPPU dimaksud ditafsirkan sebagai sekretariat jenderal, menurut Mahkamah, dalam menentukan pembentukan unit organisasi sekretariat jenderal, diperlukan kajian yang mendalam dari segala sisi yang dikaitkan dengan fungsi, tugas, dan wewenang KPPU, karena pada dasarnya pembentukan sekretariat jenderal memiliki konsekuensi yang luas, bukan hanya terkait dengan anggaran, yang dalam hal ini adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, tetapi juga mengakibatkan ruang lingkup kewenangan organisasi menjadi lebih besar.
Bahwa dengan pertimbangan hukum sebagaimana tersebut di atas, apabila Mahkamah mengabulkan permohonan para Pemohon yakni dengan meningkatkan status kesekretariatan jenderal pada KPPU, quod non, hal tersebut sama halnya memaksa Mahkamah harus melakukan analisa tentang ruang lingkup kewenangan kelembagaan dan jabatan-jabatan yang melekat terkait dengan kesekretariatan-jenderal KPPU, namun sesungguhnya hal tersebut bukanlah menjadi kewenangan Mahkamah. Selain itu, Mahkamah juga tidak dapat menggambarkan konsekuensi anggaran atau biaya yang akan dikeluarkan oleh negara jika permohonan para Pemohon dikabulkan. Dengan kata lain, hal ini menegaskan bahwa permasalahan kesekretariatan KPPU akan ditingkatkan menjadi kesekretariatan jenderal ataukah bukan, hal tersebut bukan menjadi kewenangan Mahkamah untuk menentukannya, melainkan menjadi kewenangan pemerintah dan lembaga terkait untuk menentukannya. Oleh karena itu, setelah secara kelembagaan kesekretariatan dapat ditingkatkan menjadi sekretariat jenderal maka hal tersebut baru mempunyai korelasi dengan peraturan yang mengaturnya, apakah tetap diatur dengan keputusan presiden ataukah dengan peraturan presiden, penyesuaian tersebut sangat tergantung pada sifat dan kebutuhan kelembagaannya.
Bahwa penegasan berkenaan penentuan status kelembagaan kesekretariatan KPPU yang bukan menjadi kewenangan Mahkamah, sesungguhnya juga dipahami oleh para Pemohon sebagaimana disampaikan para Pemohon dalam salah satu dalil permohonannya yang menyatakan penyempurnaan UU 5/1999 merupakan wilayah kewenangan pembentuk undang-undang, oleh karena itu para Pemohon memohon agar Mahkamah setidak- tidaknya dapat memberikan landasan konstitusional sebagai arah penyempurnaan UU 5/1999, sehingga rancangan undang-undang tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat masuk dalam daftar prolegnas rancangan undang-undang prioritas dan segera dilaksanakan (vide permohonan para Pemohon hlm. 28, huruf e). Terhadap hal tersebut, Mahkamah dapat memahami bahwa oleh karena penyempurnaan UU 5/1999 dapat juga merupakan bagian penegasan terhadap kedudukan dan kewenangan kelembagaan kesekretariatan KPPU maka dengan mempertimbangkan, bahwa lembaga KPPU dibentuk dengan tujuan untuk mencegah dan menindak adanya praktik monopoli dan untuk menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat kepada para pelaku usaha di Indonesia, KPPU sebagai lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah serta pihak lain dan bertanggung jawab kepada Presiden seperti yang disebutkan pada Pasal 30 UU 5/1999, dan ditambah dalam perjalanannya selama ini KPPU mampu menjawab tantangan untuk mengawal penerapan UU 5/1999 dan mencegah adanya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di berbagai sektor perekonomian Indonesia. Maka, melalui putusan ini Mahkamah penting menegaskan status kelembagaan KPPU, apabila memiliki urgensi dan telah dilakukan pengkajian yang komprehensif serta telah disesuaikan dengan kebutuhan kewenangan, ruang lingkup tugas dan fungsinya, dapat saja disesuaikan dan tidak menjadi penghalang KPPU untuk berkembang menjadi lembaga yang sesuai dengan kebutuhan.”

Lebih lanjut, dalam Putusan a quo Mahkamah juga telah mempertimbangkan terkait dengan pendelegasian pengaturan lebih lanjut mengenai susunan organisasi, tugas, dan fungsi sekretariat KPPU, sebagai berikut:
“Bahwa uraian pertimbangan hukum Mahkamah di atas juga berlaku (mutatis mutandis) terhadap dalil para Pemohon yang meminta agar frasa “keputusan Komisi” dalam Pasal 34 ayat (4) UU 5/1999 ditafsirkan sebagai “Peraturan Presiden.” Hal ini dikarenakan norma yang diatur dalam Pasal 34 ayat (4) UU 5/1999 juga bersifat konkret, individual, dan sekali selesai, yakni terkait dengan susunan organisasi, tugas dan fungsi sekretariat dan kelompok kerja dalam KPPU yang merupakan kewenangan komisi untuk mengaturnya. Dengan demikian tidaklah tepat apabila mempermasalahkan norma dari Pasal 34 ayat (1) dan ayat (4) UU 5/1999 yang merupakan norma delegasi dari undang-undang, sementara substansi yang diperintahkan adalah memang berkaitan dengan hal yang bersifat individual, konkret, dan sekali selesai. Dengan kata lain norma Pasal 34 ayat (1) dan ayat (4) UU 5/1999 merupakan delegasi untuk pembentukan komisi dan susunan organisasi, tugas dan fungsi lembaga KPPU serta ketentuan mengenai susunan organisasi, tugas dan fungsi sekretariat dan kelompok kerja dalam KPPU. Sehingga apabila norma pasal-pasal a quo pada frasa “Keputusan Presiden” dalam Pasal 34 ayat (1) UU 5/1999 dan frasa “keputusan Komisi” dalam Pasal 34 ayat (4) UU 5/1999 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai selain “Peraturan Presiden”, maka hal tersebut sama saja dengan menggeser pembentukan KPPU serta susunan organisasi, tugas, dan fungsinya serta susunan organisasi, tugas, dan fungsi sekretariat dan kelompok kerja pada lembaga KPPU diatur dengan perpres, maka akan menggeser pula alasan historis dan substansi pembentukan KPPU yang dijadikan rujukan ketika dibentuk. Di mana oleh pembentuk undang-undang berkenaan pembentukan komisi cukup diatur dengan keppres sebagaimana diatur dalam Pasal 34 ayat (1) UU 5/1999, sedangkan berkaitan dengan ketentuan mengenai susunan organisasi, tugas dan fungsi sekretariat dan kelompok kerja diatur dengan keputusan Komisi, sebagaimana diatur dalam norma Pasal 34 ayat (4) UU 5/1999. Di samping hal tersebut bertentangan dengan sifat dari perpres yang merupakan ketentuan pengaturan terhadap hal-hal yang bersifat umum, abstrak dan terus-menerus, juga terdapat “contradictio in terminis” antara substansi yang diatur dengan norma yang semestinya mengatur dalam norma yang bersangkutan. Terlebih, tidak semua keppres dapat serta-merta dimaknai dan diberlakukan sebagaimana perpres, karena hanya terhadap keppres yang bersifat “mengatur” (regeling) yang dapat dimaknai sebagai perpres. Sementara itu frasa “Keputusan Presiden” dalam Pasal 34 ayat (1) UU 5/1999 yang berkaitan dengan pembentukan lembaga KPPU serta susunan organisasi, tugas, dan fungsinya merupakan keppres yang berisi norma bersifat “mengatur” (regeling) ataukah “menetapkan” (beschikking) hal tersebut bukan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menilainya.”

Berkenaan dengan pokok permohonan Pemohon a quo, menurut Mahkamah, pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XVIII/2020 sesungguhnya telah secara jelas dan tegas menjawab bahwa mengenai penentuan status kelembagaan sekretariat KPPU dan substansi pengaturan lebih lanjut sekretariat KPPU bukan menjadi kewenangan Mahkamah untuk menentukannya. Meskipun Mahkamah menyatakan demikian, namun pada bagian lain dalam pertimbangan hukum putusan tersebut Mahkamah juga memerintahkan secara implisit kepada addressat putusan Mahkamah agar menindaklanjutinya.
Bahwa putusan Mahkamah tidak hanya berupa amar putusan, namun terdiri dari identitas putusan, duduk perkara, pertimbangan hukum, dan amar putusan bahkan berita acara persidangan yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, sehingga dapat saja Mahkamah memberikan perintah (judicial order) di dalam bagian pertimbangan hukum yang harus dilaksanakan juga oleh addressat putusan Mahkamah. Dalam konteks perkara a quo, meskipun dalam bagian amar putusan tersebut Mahkamah menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya, namun dalam bagian pertimbangan hukum Mahkamah terdapat perintah kepada pemerintah dan lembaga terkait. Perintah tersebut yakni untuk terlebih dahulu melakukan penilaian atau kajian yang komprehensif mengenai urgensi perlunya penyesuaian kebutuhan lembaga KPPU.
Lebih lanjut, agar lembaga KPPU termasuk sekretariatnya berkembang sesuai dengan kebutuhan, pemerintah dan lembaga terkait sesuai dengan kewenangannya dapat melakukan harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan mengingat rujukan pembentukan KPPU termasuk kesekretariatannya tidak dapat dilepaskan dari saat dibentuknya ketentuan tersebut, sehingga eksistensi lembaga KPPU dan sekretariat KPPU saat ini masih memberlakukan UU 5/1999. Sementara itu, sekarang ini rujukan yang berkaitan dengan UU 5/1999 tersebut sudah berubah dan berkembang, seperti terkait dengan nomenklatur yang digunakan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan terdapat perubahan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Demikian juga berkenaan dengan pegawai suatu lembaga atau institusi-institusi negara sekarang ini telah berlaku ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
Berdasarkan hal tersebut, menurut Mahkamah berkenaan dengan penentuan status kesekretariatan KPPU termasuk juga status pegawai KPPU selain menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XVIII/2020 maka melalui putusan ini Mahkamah menambahkan perlunya segera dilakukan penyesuaian penataan kelembagaan sekretariat KPPU oleh pembentuk undang-undang dengan mendasarkan pada perkembangan sekretariat suatu lembaga atau institusi-institusi negara dengan menggunakan rujukan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penyesuaian tersebut sejalan dengan maksud pembentuk undang-undang yang telah memasukkan rencana perubahan atau penyempurnaan UU 5/1999 dalam Program Legislasi Nasional periode 2014-2019 sebagaimana disebutkan dalam Keputusan DPR Nomor 19/DPR RI/I/2018-2019 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2019 dan Perubahan Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Tahun 2015-2019 dan disebutkan lagi dalam Keputusan DPR RI Nomor 8/DPR RI/II/2021-2022 tentang Prolegnas Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2022 dan Prolegnas RUU Perubahan Ketiga Tahun 2020-2024. Terlebih lagi, dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 dan disebutkan lagi dalam Perpres Nomor 18 Tahun 2020 tentang RPJMN 2020-2024 yang menegaskan pentingnya penguatan kelembagaan KPPU sehingga dapat semakin berperan mendorong pertumbuhan ekonomi dan merangsang penciptaan lingkungan yang kondusif bagi kegiatan ekonomi di pasar domestik atau luar negeri. Oleh karenanya, menurut Mahkamah proses perencanaan legislasi penyempurnaan UU 5/1999 dapat disegerakan sesuai dengan target Prolegnas.

[3.12] Menimbang bahwa berkenaan dengan petitum Pemohon yang memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan kata “sekretariat” dalam Pasal 34 ayat (2) UU 5/1999 adalah inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai “sekretariat yang ditetapkan oleh Presiden”. Demikian juga frasa “keputusan Komisi” dalam Pasal 34 ayat (4) UU 5/1999 adalah inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Peraturan Komisi setelah mendapat persetujuan dari Presiden”, tidak dapat dikabulkan oleh Mahkamah karena rumusan petitum demikian tidaklah lazim. Namun demikian, substansi apa yang dimohonkan Pemohon merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari penyesuaian yang nantinya akan dilakukan terhadap kelembagaan KPPU sebagaimana pertimbangan hukum di atas.

[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak dan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 77/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2005 TENTANG GURU DAN DOSEN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-09-2022

Ahmad Amin, SST., untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

pengujian terhadap Konsideran Mengingat UU 14/2005

Pasal 1 ayat (3), Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materiil Konsideran Mengingat UU 14/2005 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.3] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo, namun sebelum mempertimbangkan kedudukan hukum Pemohon dan pokok permohonan, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan permohonan Pemohon sebagai berikut:
[3.3.1] Bahwa Mahkamah telah memeriksa permohonan a quo dalam sidang Pemeriksaan Pendahuluan pada 22 Agustus 2022. Berdasarkan ketentuan Pasal 39 UU MK ayat (2), Majelis Panel sesuai dengan kewajibannya telah memberikan nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki sekaligus memperjelas hal-hal yang berkaitan dengan permohonan Pemohon sesuai dengan sistematika permohonan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UU MK serta Pasal 10 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (selanjutnya disebut PMK 2/2021);
[3.3.2] Bahwa Pemohon telah memperbaiki permohonannya sebagaimana telah diterima Mahkamah pada 5 September 2022 dan diperiksa dalam sidang pemeriksaan perbaikan permohonan pada 5 September 2022 dan Pemohon dalam perbaikan permohonannya menguraikan dengan sistematika: Judul, Identitas Pemohon, Kewenangan Mahkamah Konstitusi, Kedudukan Hukum Pemohon, Alasan Permohonan (Posita), dan Petitum;
[3.3.3] Bahwa meskipun format perbaikan permohonan Pemohon sebagaimana dimaksud pada Sub-paragraf [3.3.2] pada dasarnya telah sesuai dengan format permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UU MK serta Pasal 10 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d PMK 2/2021, namun setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama pada bagian kedudukan hukum, Pemohon tidak menguraikan secara spesifik adanya hubungan kausalitas berlakunya UU 14/2005 yang dimohonkan pengujian dan yang dianggap merugikan hak konstitusional Pemohon sebagai warga negara Indonesia selaku Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang berkaitan dengan konsideran UU 14/2005. Selain itu menurut Pemohon, UU 14/2005 merupakan usulan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) terkait dengan pendidikan telah menimbulkan kerugian hak konstitusional Pemohon untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945.
[3.3.4] Bahwa uraian dimaksud sama sekali tidak menjelaskan kerugian hak konstitusional Pemohon dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian tetapi sebaliknya Pemohon justru menguraikan adanya ketidakpastian hukum kewenangan antarlembaga tinggi negara yang berkaitan dengan pendidikan, yaitu berkenaan dengan kewenangan DPD dalam mengajukan rancangan undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Apabila dikaitkan dengan kewajiban untuk menguraikan kerugian hak konstitusional sebagai salah satu syarat formal yang harus diuraikan Pemohon, dalam kapasitas apa sesungguhnya Pemohon menguraikan proses pembentukan dan keberadaan UU 14/2005 yang dimohonkan pengujian dikaitkan dengan kewenangan lembaga negara, in casu DPD. Dalam hal ini, Mahkamah merujuk pada dalil permohonan Pemohon (perbaikan permohonan hlm. 5 angka 18 huruf c) yang antara lain menyatakan:
“…Pemohon memutuskan untuk memilih isu kewenangan legislasi lembaga negara DPD dalam perannya mengusulkan Rancangan Undang-undang Guru dan Dosen a quo, terkait pendidikan. Hal ini dengan mempertimbangkan berikut:
1) Peran DPD dalam pembentukan UU 14/2005 a quo secara jelas tertulis dalam materi muatan bagian dasar hukum yang menyatakan sebagai lembaga yang berwenang menyusun Undang-Undang terkait pendidikan yaitu Pasal 31 UUD 1945.
2) Kewenangan legislasi DPD dalam mengajukan RUU kepada DPR telah diatur dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945.
3) Materi muatan UU 14/2005 a quo yang menyatakan peran DPD pembentukan UU 14/2005 a quo dapat diuji langsung dengan materi muatan norma Konstitusi Pasal 22D ayat (1) UUD 1945.”
4) Mahkamah belum merumuskan tata cara pengujian undang-undang yang diduga melanggar Pasal 22D UUD 1945 kewenangan lembaga negara maka Pemohon berpedoman pada Indonesia adalah negara hukum, dimana lembaga negara menjalankan kekuasaan negara berdasar ketentuan UUD 1945, sehingga melakukan kekuasaan negara di luar ketentuan UUD 1945 dianggap perbuatan melanggar Konstitusi UUD 1945.”
[3.3.5] Bahwa setelah membaca dan mencermati secara saksama uraian dalam kedudukan hukum dan alasan-alasan mengajukan permohonan tersebut, menurut Mahkamah uraian kerugian hak konstitusional tidak berkaitan dengan alasan-alasan permohonan Pemohon dimaksud. Terlebih lagi, jika alasan-alasan permohonan dimaksud dikaitkan dengan Petitum Pemohon, permohonan a quo lebih mengesankan sebagai pengujian formil dibandingkan dengan pengujian materiil. Hal ini dapat dibaca dalam petitum Pemohon yang memohonkan agar Mahkamah menyatakan UU 14/2005 adalah inkonstitusional dan batal demi hukum serta tidak berkekuatan hukum mengikat. Menurut Mahkamah Petitum demikian sesungguhnya Pemohon lebih mempersoalkan kewenangan lembaga negara pembentuk undang-undang, in casu DPD, dalam mengajukan rancangan undang-undang di bidang pendidikan, yang apabila diletakkan dalam kerangka doktriner pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar yang menyangkut kewenangan lembaga adalah merupakan pengujian formil. Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, permohonan Pemohon adalah tidak jelas (kabur) karena tidak memenuhi syarat formil permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf a dan Pasal 31 ayat (1) UU MK serta Pasal 10 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d PMK 2/2021.
[3.4] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, meski Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun karena permohonan Pemohon tidak jelas (kabur) sehingga tidak memenuhi persyaratan formil permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf a dan Pasal 31 ayat (1) UU MK serta Pasal 10 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d PMK 2/2021. Oleh karena itu, Mahkamah tidak mempertimbangkan permohonan Pemohon lebih lanjut.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 78/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-09-2022

Partai Buruh yang diwakili oleh Ir. Said Iqbal, M.E. (Presiden Partai Buruh) dan Ferri Nurzali (Sekretaris Jenderal Partai Buruh) yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Said Ssalahudin, M.J, dkk, Kuasa Hukum/Advokat, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017

Pasal 1 ayat (2), Pasal 22E ayat (1), Pasal 22E ayat (5), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 28I ayat (4) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 sebagaimana telah dimaknai oleh Mahkamah Konstitusi Dalam Putusan Nomor 55/PUU-XVIII/2020, Pasal 177 huruf f, Pasal 75 ayat (4), Pasal 145 ayat (4), dan Pasal 161 ayat (2) UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan Pemohon, oleh karena terhadap pengujian konstitusionalitas khusus norma Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 yang telah dimaknai oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020, telah pernah diajukan permohonan pengujian, maka Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan apakah permohonan a quo memenuhi ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), sehingga terhadap norma a quo dapat dilakukan pengujian kembali.
[3.10.1] Bahwa terkait dengan pertimbangan pada Paragraf [3.11] di atas, Pasal 60 UU MK menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.
Kemudian Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang atau Perppu yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda.
[3.10.2] Bahwa sehubungan dengan hal tersebut, Mahkamah beberapa kali telah pernah memutus pengujian norma Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 yang telah dimaknai oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020. Selain itu, pernah diajukan sebelumnya dan telah diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XIX/2021 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 24 November 2021, dengan amar putusan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-XX/2022 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 7 Juli 2022, dengan amar putusan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya, serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-XX/2022 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 31 Agustus 2022, dengan amar putusan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya, yang amar putusan-putusan tersebut memperkuat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020.
Selanjutnya, setelah Mahkamah mempelajari secara saksama, Perkara Nomor 48/PUU-XIX/2021 menggunakan dasar pengujian Pasal 1 ayat (2) juncto Pasal 22E ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945; Perkara Nomor 57/PUU-XX/2022 menggunakan dasar pengujian Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; serta Perkara Nomor 64/PUU-XX/2022 menggunakan dasar pengujian Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Adapun permohonan a quo menggunakan dasar pengujian Pasal 1 ayat (2), Pasal 22E ayat (3) dan ayat (5), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), serta Pasal 28I ayat (4) UUD 1945.
Kemudian berkenaan dengan alasan konstitusional yang digunakan dalam Perkara Nomor 48/PUU-XIX/2021 menggunakan alasan syarat verifikasi partai politik menciptakan perlakuan yang berbeda (unequal treatment) antara partai politik yang lolos ambang batas parlemen dengan partai politik peserta pemilu 2019 yang tidak lolos ambang batas parlemen, baik partai politik yang memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan yang tidak memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota. Selanjutnya, alasan konstitusional dalam Perkara Nomor 57/PUU-XX/2022 adalah syarat verifikasi partai politik menciptakan perlakuan yang berbeda (unequal treatment) antara partai politik peserta pemilu 2019 yang lolos ambang batas parlemen dan memiliki wakil-wakil di DPR RI dengan partai politik yang sama sekali baru dan belum pernah mengikuti pemilu. Sementara, alasan kontitusional dalam permohonan 64/PUU-XX/2022 adalah pembedaan metode verifikasi faktual antara parpol yang lolos/memenuhi ketentuan parliamentary threshold pada pemilu tahun 2019 dan parpol yang tidak lolos/memenuhi ketentuan parliamentary threshold pada pemilu tahun 2019 merupakan bentuk diskriminasi. Sedangkan, alasan konstitusional dalam permohonan a quo adalah secara doktriner dalam perspektif toetsingrecht (hak uji materiil) dan wettelijk regeling (peraturan perundang-undangan) [vide perbaikan permohonan Pemohon angka 38, hlm. 26], pemaknaan yang telah diberikan Mahkamah Konstitusi dalam putusannya dalam batas tertentu sesungguhnya dapat dikatakan sebagai norma hukum positif baru.
Berdasarkan uraian di atas, terdapat perbedaan dasar pengujian dalam permohonan Perkara Nomor 48/PUU-XIX/2021, Perkara Nomor 57/PUU-XX/2022, dan Perkara Nomor 64/PUU-XX/2022 dengan dasar pengujian permohonan a quo, yaitu dalam permohonan a quo, menggunakan dasar pengujian Pasal 22E ayat (5), Pasal 28E ayat (3), serta Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 yang tidak digunakan sebagai dasar pengujian dalam Perkara Nomor 48/PUU-XIX/2021, Perkara Nomor 57/PUUXX/2022, dan Perkara Nomor 64/PUU-XX/2022. Selain itu, terdapat pula perbedaan alasan konstitusional dalam permohonan Perkara Nomor 48/PUU-XIX/2021, Perkara Nomor 57/PUU-XX/2022, serta Perkara Nomor 64/PUU-XX/2022 dengan alasan konstitusional permohonan a quo. Oleh karena itu, terlepas secara substansial permohonan Pemohon beralasan menurut hukum atau tidak, berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021, permohonan a quo dapat diajukan kembali.

[3.11] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon berdasarkan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 PMK 2/2021 dapat diajukan kembali, Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon lebih lanjut.

[3.12] Menimbang bahwa setelah membaca dan memeriksa secara saksama permohonan Pemohon dan memperhatikan alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan, maka isu konstitusional yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah:
1. Apakah ketentuan norma Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 yang telah dimaknai oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020 sepanjang kata “verifikasi” harus dinyatakan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 22E ayat (1), dan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “verifikasi secara administrasi”, sehingga ketentuan Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 yang telah dimaknai oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020 berbunyi: “Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang telah lulus verifikasi secara administrasi oleh KPU”;
2. Apakah frasa “Penduduk pada setiap kabupaten/kota” dalam ketentuan Pasal 177 huruf f UU 7/2017 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 secara bersyarat apabila tidak dimaknai “Penduduk yang beralamat di satu Kabupaten/Kota sesuai dengan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-el) atau Kartu Keluarga (KK) atau Penduduk yang berdomisili di satu Kabupaten/Kota sesuai dengan surat keterangan kependudukan dari instansi yang berwenang di bidang Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil”;
3. Apakah ketentuan norma Pasal 75 ayat (4), Pasal 145 ayat (4), dan Pasal 161 ayat (2) UU 7/2017 yang kesemuanya berkenaan dengan frasa “Wajib berkonsultasi dengan DPR” bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat apabila tidak dimaknai “dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya tidak bersifat mengikat”.
Terhadap isu konstitusional tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa berkenaan dengan dalil Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017, Mahkamah perlu mengutip kembali pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUUXVIII/2020 dalam Paragraf [3.15], Paragraf [3.16], dan Paragraf [3.17], sebagai berikut:
[3.15] … bahwa posisi Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012, bertanggal 29 Agustus 2012 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017, bertanggal 11 Januari 2018 terkait dengan verifikasi partai politik sudah sangat jelas, yakni semua partai politik diharuskan mengikuti verifikasi untuk menjadi peserta Pemilu selanjutnya. Hal ini dilakukan untuk menghindari pemberlakuan syarat yang berbeda (unequal treatment) kepada peserta suatu kontestasi (pemilihan umum) yang sama. Posisi dan standing Mahkamah dalam memberlakukan ketentuan terkait kewajiban verifikasi terhadap semua partai politik, baik yang telah lolos ketentuan parliamentary threshold maupun yang tidak lolos ketentuan ini, tetapi telah menjadi peserta Pemilu pada Pemilu sebelumnya dengan partai politik baru yang akan mengikuti Pemilu selanjutnya merupakan upaya untuk menegakkan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) akan tetapi cenderung abai pada penegakan prinsip keadilan karena memandang sama terhadap sesuatu yang seharusnya diperlakukan secara berbeda;
[3.16] … bahwa pada prinsipnya, verifikasi terhadap partai politik untuk menjadi peserta Pemilu menjadi bagian yang sangat penting dan strategis. Sebab, partai politik merupakan manifestasi perwujudan aspirasi rakyat. Melalui partai politik ini lah rakyat menyalurkan aspirasinya. Hal ini merupakan suatu hal yang wajar dalam sebuah negara yang menganut sistem demokrasi perwakilan seperti hal nya Indonesia. Namun demikian, tidak semua partai politik dapat menjadi peserta Pemilu. Hanya partai politik yang memenuhi syarat lah yang memiliki kesempatan menjadi peserta Pemilu. Di dalam Pasal 173 ayat (2) UU 7/2017, partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan sebagai berikut:
….
[3.17] Bahwa persyaratan untuk menjadi partai politik peserta Pemilu sebagaimana diuraikan di atas, merupakan ujian yang cukup berat. Sebab, partai politik peserta Pemilu merefleksikan aspirasi rakyat dalam skala besar dan bersifat nasional (terkecuali partai politik lokal di Provinsi Aceh). Oleh karena itu, struktur kepengurusan partai politik harus berada di seluruh provinsi (skala nasional), memiliki kepengurusan di 75% jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan, memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan, mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu dan persyaratan lainnya. Tantangannya tidak selesai sampai di situ, setelah menjadi peserta Pemilu pada Pemilu serentak 2019, ada partai politik yang lolos Parliamentary Threshold sehingga memiliki wakil di DPR dan ada pula partai politik yang tidak lolos parliamentary threshold sehingga tidak memiliki wakil di DPR, tetapi boleh jadi memiliki wakil di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan ada pula partai politik peserta Pemilu yang tidak memiliki wakilnya baik di tingkat DPR maupun di tingkat DPRD Prov/Kabupaten/Kota. Melihat dinamika dan perkembangan capaian perolehan suara dan tingkat keterwakilan suatu partai politik pada suatu kontestasi Pemilu, maka pertanyaannya adalah apakah adil ketiga varian capaian perolehan suara dan tingkat keterwakilan suatu partai politik disamakan dengan partai politik baru yang akan menjadi peserta Pemilu pada “verifikasi” kontestasi Pemilu selanjutnya? Dalam perspektif keadilan, hal ini tidak dapat dikatakan adil karena esensi keadilan adalah memperlakukan sama terhadap sesuatu yang seharusnya diperlakukan sama dan memperlakukan berbeda terhadap sesuatu yang seharusnya diperlakukan berbeda. Memperlakukan verifikasi secara sama terhadap semua partai politik peserta Pemilu, baik partai politik peserta Pemilu pada Pemilu sebelumnya maupun partai politik baru merupakan suatu ketidakadilan. Oleh karena itu, terhadap partai politik yang lolos/memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold tetap diverifikasi secara adimistrasi namun tidak diverifikasi secara faktual, adapun partai politik yang tidak lolos/tidak memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold, partai politik yang hanya memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan partai politik yang tidak memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, diharuskan dilakukan verifikasi kembali secara administrasi dan secara faktual hal tersebut sama dengan ketentuan yang berlaku terhadap partai politik baru. Dengan demikian Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 yang menyatakan,”Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang lulus verifikasi oleh KPU” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Partai Politik yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 dan lolos/memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold pada Pemilu 2019 tetap diverifikasi secara administrasi namun tidak diverifikasi secara faktual, adapun partai politik yang tidak lolos/tidak memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold, partai politik yang hanya memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan partai politik yang tidak memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, diharuskan dilakukan verifikasi kembali secara administrasi dan secara faktual, hal tersebut sama dengan ketentuan yang berlaku terhadap partai politik baru”. Dengan demikian berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.

[3.12.2] Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum atas Perkara Nomor 55/PUU-XVIII/2020 di atas dan telah diperkuat kembali melalui beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi yang terakhir dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-XX/2022, telah ternyata Mahkamah dalam pendiriannya sebagaimana amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Sementara itu, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XIX/2021, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-XX/2022, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-XX/2022, Mahkamah telah menolak permohonan Pemohon dan memperkuat kembali Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020. Dengan demikian, pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020 tersebut mutatis mutandis berlaku dalam pertimbangan hukum Putusan a quo. Oleh karenanya, permohonan Pemohon sepanjang norma Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 yang telah dimaknai oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020 adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.13] Menimbang bahwa selanjutnya Pemohon mendalilkan sepanjang frasa “Penduduk pada setiap kabupaten/kota” dalam ketentuan Pasal 177 huruf f UU 7/2017 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 secara bersyarat apabila tidak dimaknai “Penduduk yang beralamat di satu Kabupaten/Kota sesuai dengan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-el) atau Kartu Keluarga (KK) atau Penduduk yang berdomisili di satu Kabupaten/kota sesuai dengan surat keterangan kependudukan dari instansi yang berwenang di bidang Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil”.
Lebih lanjut, Pemohon mendalilkan bahwa berkaitan dengan keanggotaan partai politik hanya dapat dibuktikan dengan KTP-el atau KK [vide Pasal 7 dan Pasal 8 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 4 Tahun 2022 tentang Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah], walaupun pada kenyataannya ada masyarakat yang berdomisili atau bertempat tinggal di luar wilayah KTP-el atau KK yang bersangkutan, sehingga menurut Pemohon telah terjadi hambatan hak konstitusional untuk berserikat atau berkumpul yang dijamin UUD 1945.
Bahwa berkaitan dengan dalil Pemohon tersebut, penting bagi Mahkamah mempertimbangkan terlebih dahulu ihwal Penduduk yang pengertiannya adalah warga negara Indonesia yang berdomisili di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar negeri [vide Pasal 1 angka 32 UU 7/2017]. Penduduk yang mempunyai hak untuk terlibat dalam Partai Politik adalah penduduk yang telah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin [vide Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik]. Berdasarkan ketentuan tersebut, seharusnya setiap anggota partai politik diwajibkan memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau Kartu Tanda Penduduk Elekronik (KTP-el). Hal demikian dikarenakan KTP-el merupakan identitas resmi penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang. KTP-el ini untuk menunjukkan sebagai jati diri tunggal, sehingga dapat digunakan sebagai identitas diri selama berada di wilayah geografis Republik Indonesia. Kaitannya dengan keanggotaan partai politik adalah bahwa Pasal 177 huruf f UU 7/2017 telah menentukan salah satu dokumen persyaratan pendaftaran bagi partai politik untuk menjadi peserta pemilu adalah kewajiban menyerahkan bukti keanggotaan partai minimal 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah penduduk pada setiap kabupaten/kota;
Bahwa terhadap argumentasi Pemohon agar Surat Keterangan Tempat Tinggal/domisili dapat digunakan sebagai bukti keanggotaan partai, Mahkamah berpendapat bahwa surat keterangan tempat tinggal tersebut hanyalah digunakan dalam keadaan sementara. Oleh karena itu, dalam waktu yang bersamaan tidak tertutup kemungkinan pemegang surat keterangan tempat tinggal juga memiliki KTP-el atau KK di kabupaten/kota lain. Apabila surat keterangan tempat tinggal diterima sebagai bukti keanggotaan partai, maka dalam batas penalaran yang wajar hal tersebut akan memberi peluang terjadinya keanggotaan ganda partai politik yang didasarkan pada surat keterangan tempat tinggal/domisili dan juga berdasarkan KTP-el atau KK dari yang bersangkutan sehingga dapat mengacaukan proses verifikasi faktual partai politik. Hal demikian justru dapat menimbulkan ketidakpastian hukum;
Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat ketentuan norma Pasal 177 huruf f UU 7/2017 telah ternyata tidak menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidakadilan, dan ketidakbebasan bagi Pemohon dalam mendaftarkan partai politik sebagai peserta pemilu yang dijamin oleh UUD 1945 sebagaimana didalilkan oleh Pemohon. Dengan demikian, dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.14] Menimbang bahwa selanjutnya berkenaan dengan dalil Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 75 ayat (4), Pasal 145 ayat (4), dan Pasal 161 ayat (2) UU 7/2017 yang kesemuanya berkenaan dengan frasa “Wajib berkonsultasi dengan DPR” bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat apabila tidak dimaknai “dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya tidak bersifat mengikat”. Terhadap dalil a quo penting bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.14.1] Bahwa dalam kaitan dengan dalil a quo terlebih dahulu Mahkamah akan menilai norma Pasal 75 ayat (4) UU 7/2017 berkenaan dengan frasa “wajib berkonsultasi dengan DPR”, yang dikaitkan dengan kemandirian KPU di mana secara substansial telah pernah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 10 Juli 2017. Dalam pertimbangan hukum pada Sub-paragraf [3.9.9], Sub-paragraf [3.9.10], dan Sub-paragraf [3.9.11] putusan a quo, Mahkamah antara lain menyatakan sebagai berikut:
[3.9.9] Bahwa secara faktual, hanya peraturan KPU dan peraturan Bawaslu saja yang proses pembentukannya mensyaratkan mekanisme konsultasi yang putusannya bersifat mengikat. Sementara peraturan yang diterbitkan oleh lembaga independen lainnya sama sekali tidak ada keharusan melalui proses konsultasi dengan Pemerintah dan DPR. Perlakuan berbeda terhadap proses pembentukan peraturan oleh lembaga yang bersifat mandiri secara langsung akan membedakan derajat kemandirian lembaga tersebut. Di mana, lembaga yang dalam proses pembentukan peraturan diharuskan berkonsultasi yang keputusannya bersifat mengikat, akan mendegradasi tingkat kemandiriannya dibanding lembaga serupa lainnya. Padahal, penyelenggaraan Pemilu merupakan ranah yang paling rentan untuk diintervensi. Walaupun demikian, sejauh pembedaan dalam proses pembentukan peraturan yang dikeluarkan lembaga independen tidak mengganggu kemandiriannya, pembedaan perlakuan terhadap proses pembentukan peraturan dimaksud dapat ditoleransi dan tidak harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Salah satu contoh pembedaan perlakuan dimaksud adalah adanya mekanisme konsultasi dalam rapat dengar pendapat dengan DPR dan Pemerintah dalam pembentukan peraturan KPU. Langkah tersebut sama sekali tidak diatur sebagai prosedur pembentukan peraturan yang dibentuk oleh lembaga independen lainnya. Sekalipun terdapat perlakuan berbeda, namun proses konsultasi dalam pembentukan peraturan KPU merupakan sebuah mekanisme biasa dalam rangka menampung masukan sekaligus konfirmasi terhadap norma yang akan diatur lebih lanjut dalam peraturan KPU. Sepanjang hasil konsultasi tersebut tidak dipaksakan kepada KPU sebagai institusi yang berwenang membentuk peraturan, norma yang mengatur keberadaan konsultasi sebagai salah satu tahapan pembentukan peraturan KPU tidak dapat dikategorikan bertentangan dengan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945. Namun ketika hasil konsultasi dikategorikan sebagai sesuatu yang wajib dan mengikat bagi KPU, maka sifat memaksa dan mengikat dari hasil konsultasi itulah yang mesti dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945;
[3.9.10] Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas, frasa “setelah berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah dalam forum dengar pendapat” dalam Pasal 9 huruf a UU 10/2016 tidaklah bertentangan dengan prinsip kemandirian KPU sebab konsultasi demikian, menurut penalaran yang wajar, dibutuhkan bagi pelaksanaan fungsi KPU, in casu dalam menyusun peraturan KPU dan pedoman teknis yang menjadi kewenangannya, guna mencapai tujuan terselenggaranya Pemilu dan pemilihan kepala daerah yang demokratis. Konsultasi dimaksud merupakan kebutuhan karena norma Undang-Undang (yang merupakan produk bersama antara DPR dan Presiden) tidak selamanya memuat rumusan yang jelas yang mencerminkan maksud pembentuknya yang dapat menimbulkan kesulitan pada pihak KPU untuk mengimplementasikannya dalam praktik melalui kewenangan yang diberikan kepada KPU dalam merumuskan peraturan KPU dan pedoman teknis yang diturunkan dari norma Undang-Undang. Oleh karena itu, kesamaan pandangan dan pengertian atau interpretasi terhadap norma Undang-Undang demikian antara KPU dan pembentuk undang-undang merupakan keniscayaan. Namun, dalam kaitan ini penting ditekankan bahwa kedudukan KPU dan pembentuk undang-undang dalam konsultasi di forum dengar pendapat itu adalah setara; [3.9.11] Bahwa, namun demikian, adanya frasa “yang keputusannya bersifat mengikat” dalam Pasal 9 huruf a UU 10/2016 tersebut membawa implikasi teoretik maupun praktik yang dapat bermuara pada tereduksinya kemandirian KPU dan sekaligus tidak memberi kepastian hukum. Ada beberapa alasan dalam hubungan ini. Pertama, bukan tidak mungkin bahwa dalam forum dengar pendapat dimaksud tidak tercapai keputusan yang bulat atau bahkan tidak ada kesimpulan sama sekali. Hal itu dapat terjadi, misalnya, karena di satu pihak tidak terdapat kesepakatan di antara fraksi-fraksi yang ada di DPR atau antara DPR dan Pemerintah atau antara DPR dan KPU atau antara KPU dan Pemerintah. Dalam keadaan demikian, frasa “yang keputusannya bersifat mengikat” telah menyandera KPU dalam melaksanakan kewenangannya untuk merumuskan peraturan KPU dan pedoman teknis sehingga kewenangan itu menjadi tidak dapat dilaksanakan sebab menjadi tidak jelas keputusan mana atau apa yang harus dilaksanakan oleh KPU padahal peraturan KPU dan pedoman teknis demikian mutlak ada agar Pemilu dan pemilihan kepala daerah dapat terselenggara. Kebuntuan demikian dapat mengancam agenda ketatanegaraan yang keberlanjutannya bergantung pada peraturan KPU dan pedoman teknis KPU. Kedua, adanya frasa “yang keputusannya bersifat mengikat” secara teknis perundang-undangan juga menjadi berlebihan sebab tanpa frasa itu pun apabila konsultasi dalam forum dengar pendapat tercapai kesepakatan maka dengan sendirinya KPU akan melaksanakannya. Ketiga, adanya frasa “yang keputusannya bersifat mengikat” telah menghilangkan, atau setidak-tidaknya mengaburkan, makna “konsultasi” dalam Pasal 9 huruf a UU 10/2016 tersebut. Sebagai forum konsultasi, dalam hal tidak terdapat kesepakatan maka KPU sebagai lembaga yang dijamin kemandiriannya oleh UUD 1945 tidak boleh tersandera dalam melaksanakan kewenangannya dalam membuat peraturan KPU dan pedoman teknis sebab lembaga inilah yang bertanggung jawab untuk menjamin bahwa Pemilu dan pemilihan kepala daerah terlaksana secara demokratis.

[3.14.2] Bahwa terkait dengan norma Pasal 145 ayat (4) dan Pasal 161 ayat (2) UU 7/2017 yang kesemuanya berkenaan dengan frasa “Wajib berkonsultasi dengan DPR”, yang dikaitkan dengan kemandirian Bawaslu dan DKPP, secara substansial telah pernah diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XI/2013 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 3 April 2014, di mana Mahkamah telah mempertimbangkan dalam Paragraf [3.17] sebagai berikut:
[3.17] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut mengenai pokok permasalahan konstitusional tersebut, Mahkamah perlu terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
a. Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 menyatakan, “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri”;
b. Mengenai penafsiran terhadap frasa “suatu komisi pemilihan umum” yang tercantum dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945, Mahkamah dalam pertimbangan hukum paragraf [3.18] Putusan Mahkamah Nomor 11/PUU- VIII/2010, tanggal 18 Maret 2010, antara lain, menyatakan:
“... Bahwa untuk menjamin terselenggaranya pemilihan umum yang luber dan jurdil, Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 menentukan bahwa, “Pemilihan umum di diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri”. Kalimat “suatu komisi pemilihan umum” dalam UUD 1945 tidak merujuk kepada sebuah nama institusi, akan tetapi menunjuk pada fungsi penyelenggaraan pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Dengan demikian, menurut Mahkamah, fungsi penyelenggaraan pemilihan umum tidak hanya dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), akan tetapi termasuk juga lembaga pengawas pemilihan umum dalam hal ini Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Pengertian ini lebih memenuhi ketentuan UUD 1945 yang mengamanatkan adanya penyelenggara pemilihan umum yang bersifat mandiri untuk dapat terlaksananya pemilihan umum yang memenuhi prinsip-prinsip luber dan jurdil. Penyelenggaraan pemilihan umum tanpa pengawasan oleh lembaga independen, akan mengancam prinsip-prinsip luber dan jurdil dalam pelaksanaan Pemilu. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebagaimana diatur dalam Bab IV Pasal 70 sampai dengan Pasal 109 UU 22/2007, harus diartikan sebagai lembaga penyelenggara Pemilu yang bertugas melakukan pengawasan pelaksanaan pemilihan umum, sehingga fungsi penyelenggaraan Pemilu dilakukan oleh unsur penyelenggara, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan unsur pengawas Pemilu, dalam hal ini Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Bahkan, Dewan Kehormatan yang mengawasi perilaku penyelenggara Pemilu pun harus diartikan sebagai lembaga yang merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilihan umum. Dengan demikian, jaminan kemandirian penyelenggara pemilu menjadi nyata dan jelas ...”. Berdasarkan pertimbangan tersebut, jelas bahwa DKPP adalah organ yang merupakan bagian dan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu yang dimaksud Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yaitu yang mengawasi perilaku penyelenggara Pemilu;

Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat ketentuan norma Pasal 75 ayat (4), Pasal 145 ayat (4), dan Pasal 161 ayat (2) UU 7/2017 yang kesemuanya berkenaan dengan frasa “Wajib berkonsultasi dengan DPR” telah ternyata tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 sebagaimana didalilkan oleh Pemohon. Terlebih lagi, dalam norma Pasal 75 ayat (4), Pasal 145 ayat (4), dan Pasal 161 ayat (2) UU 7/2017 yang kesemuanya dimohonkan oleh Pemohon tidak terdapat kata “mengikat”, sehingga tidak terdapat alasan untuk menambah frasa “tidak mengikat” sebagaimana yang dimohonkan oleh Pemohon. Dengan demikian, dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah menilai telah ternyata ketentuan norma Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 yang telah dimaknai oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020, dan Pasal 177 huruf f, Pasal 75 ayat (4), Pasal 145 ayat (4), serta Pasal 161 ayat (2) UU 7/2017 adalah tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 22E ayat (3) dan ayat (5), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), serta Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 sehingga dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

[3.16] Menimbang bahwa terhadap pengujian norma Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 yang telah dimaknai oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUUXVIII/2020 dan kemudian ditegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 64/PUU-XX/2022, terdapat 3 (tiga) orang Hakim Konstitusi, yaitu Hakim Konstitusi Suhartoyo, Hakim Konstitusi Saldi Isra, dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion) yang dalam putusan a quo menjadi alasan berbeda (concurring opinion), yaitu tetap berpendirian untuk dilakukan verifikasi baik secara administratif maupun secara faktual untuk semua partai calon peserta pemilu.

[3.17] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dari permohonan Pemohon yang dipandang tidak relevan sehingga tidak dipertimbangkan lebih lanjut.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 83/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-09-2022

Leonardo Siahaan, untuk sselanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 39 ayat (3) UU 35/2014

Pasal 28B ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1), UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 35/2014 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.11] ... Bahwa pembentukan UU 35/2014 tidak dapat dilepaskan dari tujuan negara sebagaimana dimaktubkan dalam Pembukaan UUD 1945, antara lain, untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Perlindungan terhadap segenap masyarakat Indonesia harus dimaknai sebagai perlindungan yang komprehensif bagi seluruh warga negara Indonesia tanpa kecuali, termasuk anak. Dalam hal ini, Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Oleh karenanya, negara berkewajiban menjamin dan melindungi hak-hak anak [vide Konsideran Menimbang huruf a dan huruf b UU 35/2014]. Bahwa anak, di samping merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang di dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya yang nantinya akan menjadi tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa yang memiliki peran strategis serta mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara. Dalam kaitan inilah, anak perlu memperoleh kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia. Dalam pemenuhan hak-hak anak tidak diperbolehkan adanya perlakuan yang diskriminatif. Hal ini sejalan dengan pengertian “Perlindungan anak” adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi [vide Pasal 1 angka 2 UU 35/2014]. Oleh karena itu, setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi;eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; penelantaran; kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; ketidakadilan; dan perlakuan salah lainnya [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XV/2017]. Dalam kaitan dengan perlindungan anak, Indonesia sebagai negara pihak (state party) dalam Konvensi tentang Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) telah meratifikasi Konvensi dimaksud dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak).
[3.12.1] Bahwa untuk memahami secara komprehensif esensi norma Pasal 39 ayat (3) UU 35/2014 tidaklah dapat dibaca berdiri sendiri tetapi harus dikaitkan dengan ayat-ayat lainnya di mana secara lengkap Pasal 39 UU 35/2014 a quo menyatakan:
(1) Pengangkatan Anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi Anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pengangkatan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memutuskan hubungan darah antara Anak yang diangkat dan Orang Tua kandungnya.
(2a) Pengangkatan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicatatkan dalam akta kelahiran, dengan tidak menghilangkan identitas awal Anak.
(3) Calon Orang Tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon Anak Angkat.
(4) Pengangkatan Anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
(4a) Dalam hal Anak tidak diketahui asal usulnya, orang yang akan mengangkat Anak tersebut harus menyertakan identitas Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (4).
(5) Dalam hal asal usul Anak tidak diketahui, agama Anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat.
Pada pokoknya UU 35/2014 menghendaki pengangkatan anak hanya dapat dilakukan jika hal tersebut sejalan dengan prinsip “kepentingan terbaik bagi anak”. Artinya, dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan legislatif, dan badan yudikatif maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama [vide Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU 23/2002)]. Bahkan, kepentingan terbaik bagi anak tersebut dilakukan tanpa meninggalkan adat kebiasaan setempat. Hal demikian dimaksudkan agar hak-hak anak untuk tumbuh dan berkembang dapat tetap dijamin dan dilindungi. Sekalipun, anak diangkat oleh orang tua angkat yang telah memenuhi persyaratan namun pengangkatan tersebut tidak pula boleh menghilangkan atau memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya. Sebab, anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan [vide Pasal 1 angka 9 UU 35/2014].
[3.12.2] Bahwa ketentuan Pasal 39 ayat (3) UU 35/2014 merupakan pengejawantahan nilai-nilai Pancasila yang tidak dapat disandingkan begitu saja dengan negara lain yang sekuler sebagaimana dalil Pemohon. Dalam hal ini, pengangkatan anak yang merupakan bagian dari pengaturan perlindungan anak bertujuan untuk memberikan kepentingan terbaik bagi anak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak dan perlindungan anak, yang dilaksanakanberdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, dalam menerapkan hak asasi manusia tidak hanya dilihat secara universalitas tetapi juga harus melihat karakteristik yang hidup di tengah masyarakat Indonesia. Meskipun hak asasi manusiaditerima oleh semua negara sebagai sesuatu yang universal, namun pelaksanaan pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia mempertimbangkan pula kekhususan-kekhususan baik yang timbul pada tingkat nasional, regional maupun yang timbul karena faktor-faktor sejarah, budaya, dan agama (partikularitas). Oleh karenanya, hal ini menegaskan bahwa pelaksanaan dan penegakan hak asasi manusia di setiap negara dapat berbeda-beda disesuaikan dengan kondisi sosio-kultural, termasuk agama, dan juga sistem hukum negara yang bersangkutan sebagai esensi dari prinsip partikularitas. Dalam kaitan ini, pengaturan Pasal 39 ayat (3) UU 35/2014 bukan untuk mengekang hak asasi manusia yang satu dengan mengabaikan hak yang lainnya. Ketentuan norma Pasal a quo pada hakikatnya merupakan perwujudan nilai filosofis-ideologis bangsa Indonesia, yaitu Pancasila karena Negara Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam konstitusi, rumusan dasar falsafah negara tersebut tercermin dari adanya Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Prinsip negara hukum Indonesia harus dilihat dengan cara pandang UUD 1945, yaitu negara hukum yang menempatkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai prinsip utama, serta nilai-nilai agama yang melandasi gerak kehidupan bangsa dan negara, bukan negara yang memisahkan hubungan antara agama dan negara (separation of state and religion), serta tidak semata-mata berpegang pada prinsip individualisme maupun prinsip komunalisme (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 140/PUU-VII/2009). Dengan demikian, pengaturan calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat tidak dimaksudkan untuk mengekang kebebasan beragama calon orang tua angkat tetapi justru melindungi kepentingan agama masing-masing pihak, in casu calon anak angkat dan calon orang tua angkat. Dalam kaitan ini, UU 35/2014 juga menyatakan jika hak asal usul anak tidak diketahui maka agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat. Maksudnya, untuk anak yang belum berakal dan belum mampu bertanggung jawab maka penyesuaian agamanya dilakukan oleh mayoritas penduduk setempat (setingkat desa atau kelurahan) secara musyawarah, dan telah diadakan penelitian mendalam dan sungguh-sungguh [vide Pasal 39 ayat (5) dan Penjelasannya UU 35/2014].
[3.12.3] Bahwa setelah Mahkamah membaca dan mencermati secara saksama norma Pasal 39 UU 35/2014 telah terang adanya ketentuan calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat [vide Pasal 39 ayat (3) UU 35/2014] yang saat ini sedang dipersoalkan oleh Pemohon merupakan norma yang sesungguhnya telah dirumuskan sejak awal mula dibentuknya UU 23/2002 dan tetap dipertahankan dalam undang-undang perubahannya (UU 35/2014). Norma Pasal a quo, menurut Mahkamah sama sekali tidak menghalangi, menghambat, atau membatasi hak orang untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah yang dijamin oleh Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 sebagaimana didalilkan Pemohon. Keberadaan Pasal 39 ayat (3) UU 35/2014 justru merupakan pengejawantahan kepentingan terbaik bagi anak. Demikian pula, menurut Mahkamah Pasal 39 ayat (3) UU 35/2014 juga tidak menghalangi hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Sebaliknya, norma Pasal a quo justru merupakan bagian dari upaya negara untuk melindungi dan memastikan agar anak mendapatkan hak-haknya dan demi kepentingan terbaik bagi anak sesuai dengan tujuan yang hendak diwujudkan melalui Undang-Undang Perlindungan Anak.
[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, menurut Mahkamah, telah ternyata tidak terdapat pertentangan norma Pasal 39 ayat (3) UU 35/2014 dengan Pasal 28B ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Sedangkan, terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan karena dipandang tidak relevan dan oleh karena itu harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.
[3.14] Menimbang bahwa, setelah Mahkamah mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon sebagaimana tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan mengenai kedudukan hukum Pemohon dalam permohonan pengujian norma Pasal 39 ayat (3) UU 35/2014 terhadap UUD 1945 sebagai berikut:
Bahwa berdasarkan uraian Pemohon mengenai kedudukan hukum dan alat bukti yang diajukan, Mahkamah berpendapat Pemohon benar adalah perorangan Warga Negara Indonesia yang belum menikah [vide bukti P-1], yang memiliki hak-hak sebagaimana dijamin oleh UUD 1945 dan menganggap hak-hak konstitusional tersebut terabaikan karena berlakunya norma Pasal 39 ayat (3) UU 35/2014, sehingga menghalangi Pemohon untuk mengangkat anak sebab diharuskan anak yang diangkat seagama dengan orang tua yang mengangkatnya.
Bahwa Pemohon dalam menguraikan anggapan kerugian hak konstitusionalnya telah ternyata tidak mengaitkan dengan persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon orang tua angkat sebelum melakukan pengangkatan anak sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Sehingga Pemohon tidak dapat menjelaskan kepada Mahkamah bahwa Pemohon telah memenuhi keseluruhan persyaratan calon orang tua angkat yang bersifat kumulatif sebagaimana diuraikan dalam Sub-paragraf [3.12.1]. Meskipun persyaratan tersebut diatur dalam peraturan pelaksana, namun peraturan tersebut tidak dapat dipisahkan dari UU a quo [vide UU 23/2002 dan UU 35/2014]. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, Pemohon tidak dapat menjelaskan anggapan kerugian hak konstitusional Pemohon yang bersifat aktual, spesifik atau setidak-tidaknya potensial serta adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara anggapan kerugian hak konstitusional Pemohon dengan berlakunya norma yang dimohonkan pengujian. Dengan demikian, menurut Mahkamah, Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam perkara a quo.
[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan. Seandainyapun Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian norma Pasal 39 ayat (3) UU 35/2014, quod non, telah ternyata dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Menolak Permohonan Pemohon Untuk Seluruhnya Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 84/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PERDAGANGAN YANG SEBAGIANNYA TELAH DIUBAH OLEH UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-09-2022

Rizky Puguh Wibowo, Zainal Hudha Purnama, dan Minggus Umboh yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Eliadi Hulu, S.H., Oktoriusman Halawa, S.H., Deddy Rizaldy Arwin Gommo, S.H., dan Nikita Johanie, S.H, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 1 angka 5 dan Penjelasan Pasal 9 UU Perdagangan

Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang beserta jaajrannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 1 angka 5 dan Penjelasan Pasal 9 UU Perdagangan dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.8] Menimbang bahwa terhadap pengujian norma Pasal 1 angka 5 dan Penjelasan Pasal 9 UU 7/2014, sebelum Mahkamah mempertimbangkan pokok permohonan para Pemohon, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
[3.8.1] Bahwa Mahkamah telah memeriksa permohonan para Pemohon dalam persidangan Pendahuluan pada Selasa, 6 September 2022 dan dalam persidangan tersebut Majelis Panel Hakim sesuai dengan kewajibannya yang diatur dalam Pasal 39 ayat (2) UU MK dan Pasal 41 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Pengujian Undang-Undang telah memberikan nasihat kepada para Pemohon untuk memperbaiki dan memperjelas hal-hal yang di antaranya berkaitan dengan bagian perihal Permohonan, Posita, dan Petitum Permohonan. Selanjutnya sesuai dengan ketentuan hukum acara, para Pemohon diberi waktu 14 (empat belas) hari untuk memperbaiki permohonan a quo (vide risalah Sidang Perkara Nomor 84/PUU-XX/2022 tanggal 6 September 2022). Terhadap nasihat Majelis Hakim Panel tersebut, para Pemohon telah melakukan perbaikan permohonan yang diterima Mahkamah pada 19 September 2022 yang kemudian pada 19 September 2022 dilaksanakan pemeriksaan pendahuluan dengan agenda memeriksa perbaikan permohonan;
[3.8.2] Bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama perbaikan permohonan para Pemohon, telah ternyata para Pemohon dalam bagian Petitum angka 3, angka 4, dan angka 5 meminta pemaknaan yang tidak lazim dalam perumusan suatu Petitum berkenaan dengan Penjelasan Pasal 9 UU 7/2014, yang mengakibatkan rumusan Petitum demikian tidak konsisten, koheren, dan berkorelasi antara satu Petitum dengan Petitum lainnya. Hal demikian menyebabkan apa yang sesungguhnya dimohonkan oleh para Pemohon menjadi tidak jelas dan kabur, padahal fungsi Penjelasan dari suatu pasal atau ayat dalam undang-undang merupakan sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh dan tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud;
[3.8.3] Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah, permohonan para Pemohon sepanjang pengujian konstitusionalitas Penjelasan Pasal 9 UU 7/2014 adalah kabur atau tidak jelas;
[3.9] Menimbang bahwa selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil para Pemohon sepanjang pengujian konstitusionalitas Pasal 1 angka 5 UU 7/2014 yang menurut para Pemohon norma tersebut telah berkorelasi dengan Penjelasan Pasal 9 UU 7/2014 khususnya terkait dengan definisi kata “Barang”. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, menurut Mahkamah, norma yang diujikan oleh para Pemohon merupakan ketentuan umum dalam UU 7/2014 yang terkait dengan batasan pengertian atau definisi dari suatu kata yaitu kata “Barang” yang akan berlaku bagi pasal atau beberapa pasal berikutnya. Norma yang terdapat dalam bagian ketentuan umum akan menjadi payung hukum terhadap norma-norma di bawahnya sehingga pemaknaan terhadap norma dalam bagian ketentuan umum harus dilakukan secara saksama karena hal tersebut terkait dengan ketentuan norma dasar dari suatu undang-undang di mana jika norma dasar tersebut akan mengalami perubahan harus dipertimbangkan juga keharmonisannya dengan pasal-pasal di bawahnya yang memiliki keterkaitan, apakah pemaknaan yang baru tersebut tidak menimbulkan kerancuan bagi pasal-pasal terkait berikutnya;
Bahwa dikaitkan dengan Permohonan para Pemohon yang meminta pemaknaan terhadap Pasal 1 angka 5 UU 7/2014 dengan menambahkan frasa “termasuk buku elektronik dan robot trading”, menurut Mahkamah hal demikian akan mempengaruhi struktur batang tubuh UU 7/2014 khususnya pasal-pasal yang berhubungan dengan definisi kata “Barang”. Selain itu, secara doktriner penambahan frasa a quo dalam Pasal 1 angka 5 UU 7/2014 sebagaimana dimohonkan oleh para Pemohon, bukanlah rumusan yang tepat untuk dimasukkan dalam bagian ketentuan umum, hal ini dikarenakan frasa a quo bukan merupakan uraian yang bersifat umum dari batasan pengertian maupun suatu definisi, bahkan rumusan frasa a quo membutuhkan penjelasan lebih lanjut terkait apakah yang dimaksud dengan buku elektronik maupun robot trading. Dengan demikian, penambahan frasa “termasuk buku elektronik dan robot trading” dalam Pasal 1 angka 5 UU 7/2014 justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap kata “Barang” itu sendiri;
Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon yang memohon pemaknaan terhadap norma Pasal 1 angka 5 UU 7/2014 menjadi “Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, dan dapat diperdagangkan, dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau Pelaku Usaha termasuk buku elektronik dan robot trading” adalah tidak beralasan menurut hukum;
[3.10] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, terkait pengujian Penjelasan Pasal 9 UU 7/2014, telah ternyata dalil permohonan para Pemohon adalah kabur atau tidak jelas. Sedangkan terkait dengan pengujian norma Pasal 1 angka 5 UU 7/2014, menurut Mahkamah, tidak menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, oleh karenanya dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. Adapun hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 72/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2021 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2020 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-09-2022

Prof. Dr. Zainal Arifin Hoesain, S.H., M.H., Fardiaz Muhammad, S.H., dan Resti Fujianti Paujiah, S.H., dalam hal ini memberikan kuasa kepada Zainudin Paru, S.H., M.H., Anggi Aribowo, S.H., M.H., Ahmar Ihsan Rangkuti, S.H., Ruli Margianto, S.H., Faudjan Muslim, S.H. dan Aristya Kusuma Dewi, S.H., para Advokat yang tergabung dalam Negara Hukum Institute, untuk selanjutnya disebut sebagai para Pemohon.

Pasal 7A ayat (1) UU 7/2020

Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap Pasal 7A ayat (1) UU 7/2020 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.12] Menimbang bahwa setelah membaca dan mempelajari secara saksama dalil para Pemohon sebagaimana telah diuraikan pada Paragraf [3.8] di atas, Mahkamah ternyata telah pernah memutus perkara pengujian konstitusionalitas substansi norma Pasal 222 UU 7/2017 yang pada pokoknya mengatur mengenai adanya ambang batas pencalonan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden (presidential threshold) oleh partai politik atau gabungan partai politik yaitu antara lain dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 11 Januari 2018, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-XVI/2018 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 25 Oktober 2018, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XVI/2018 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 25 Oktober 2018. Oleh karena itu, sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut mengenai pokok permohonan a quo, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan apakah permohonan para Pemohon memenuhi ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK juncto Pasal 78 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021);
[3.13] Menimbang bahwa Pasal 60 UU MK juncto Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan:
Pasal 60 UU MK
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam Undang-Undang yang telah diuji, tidak dapat diajukan pengujian kembali;
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.

Pasal 78 PMK 2/2021
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang atau Perppu yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali;
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda.
Berdasarkan ketentuan tersebut, terhadap pasal yang telah dilakukan pengujian konstitusionalitasnya dan telah diputus oleh Mahkamah hanya dapat dimohonkan pengujian kembali apabila terdapat dasar pengujian dan/atau alasan permohonan yang berbeda. Terhadap hal tersebut, setelah Mahkamah mencermati dengan saksama permohonan para Pemohon, ternyata dasar pengujian yang digunakan dalam permohonan a quo, yaitu Pasal 1 ayat (2), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945, sebagian dasar pengujian tersebut belum pernah digunakan sebagai dasar pengujian dalam permohonan yang telah diputus oleh Mahkamah sebagaimana telah disebutkan di atas. Selain itu, terdapat perbedaan alasan permohonan para Pemohon dengan permohonan-permohonan yang telah diputus oleh Mahkamah sebelumnya, antara lain, yang membedakan karena dalam perkara a quo pada pokoknya para Pemohon setuju dengan pandangan Mahkamah yang menyatakan bahwa presidential threshold merupakan open legal policy, tetapi perlu diberikan batasan besaran angka yang lebih proporsional, rasional, dan implementatif sehingga tidak merugikan hak konstitusional para Pemohon. Oleh karenanya, para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk mempersempit (narrowing) pembatasan pelaksanaan open legal policy melalui interval range angka ambang batas, menyeimbangkan penguatan sistem presidensial dan demokrasi/kedaulatan rakyat, serta penentuan interval range angka ambang batas berbasis kajian ilmiah melalui penghitungan indeks Effective Numbers of Parliamentary Parties (ENPP), yang mana alasan ini tidak pernah disinggung dalam permohonan-permohonan sebelumnya. Dengan demikian, menurut Mahkamah, terdapat perbedaan dasar pengujian dan alasan yang digunakan dalam permohonan a quo dengan permohonan yang telah diputus sebelumnya oleh Mahkamah sebagaimana ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK juncto Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021, sehingga permohonan a quo dapat diajukan kembali;
[3.14] Menimbang bahwa oleh karena terhadap permohonan a quo dapat diajukan kembali, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan persoalan konstitusionalitas yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo, yaitu apakah pengaturan besaran angka Presidential Threshold dalam Pasal 222 UU 7/2017 telah memberikan ketidakadilan kepada para Pemohon dan secara nyata melahirkan kebuntuan hukum dalam pencalonan Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik sehingga inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD 1945.
[3.15] Menimbang bahwa terhadap persoalan ambang batas pengusulan calon presiden dan wakil presiden oleh partai dan gabungan partai politik sebagaimana ditentukan dalam Pasal 222 UU 7/2017, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 11 Januari 2018 Mahkamah telah memiliki pendirian yang pada pokoknya sebagai berikut:
[3.14]…
1 ...
5 Bahwa, di satu pihak, tidak atau belum terwujudnya penyederhanaan jumlah partai politik secara alamiah sebagaimana diinginkan padahal penyederhanaan jumlah partai politik tersebut merupakan kebutuhan bagi berjalan efektifnya sistem pemerintahan Presidensial, sementara itu, di lain pihak, prinsip multipartai tetap (hendak) dipertahankan dalam sistem kepartaian di Indonesia telah ternyata melahirkan corak pemerintahan yang kerap dijadikan kelakar sinis dengan sebutan “sistem Presidensial rasa Parlementer.” Sebutan yang merujuk pada keadaan yang menggambarkan di mana, karena ada banyak partai, Presiden terpilih ternyata tidak didukung oleh partai yang memperoleh kursi mayoritas di DPR, bahkan dapat terjadi di mana Presiden hanya didukung oleh partai yang memperoleh kursi sangat minoritas di DPR. Keadaan demikian dapat dipastikan menyulitkan Presiden dalam menjalankan pemerintahan, lebih-lebih untuk mewujudkan program-programnya sebagaimana dijanjikan pada saat kampanye. Ini membuat seorang Presiden terpilih (elected President) berada dalam posisi dilematis: apakah ia akan berjalan dengan programnya sendiri dan bertahan dengan ciri sistem Presidensial dengan mengatakan kepada DPR “You represent your constituency, I represent the whole people,” sebagaimana acapkali diteorisasikan sebagai perwujudan legilitimasi langsung Presiden yang diperolehnya dari rakyat, ataukah ia akan berkompromi dengan partai-partai pemilik kursi di DPR agar program pemerintahannya dapat berjalan efektif. Jika alternatif pertama yang ditempuh, pada titik tertentu dapat terjadi kebuntuan pemerintahan yang disebabkan oleh tidak tercapainya titik temu antara Presiden dan DPR dalam penyusunan undang-undang padahal, misalnya, undang-undang tersebut mutlak harus ada bagi pelaksanaan suatu program Presiden. Berbeda halnya dengan praktik di Amerika Serikat di mana kebuntuan dalam pembentukan suatu undang-undang tidak akan terjadi sebab meskipun Presiden Amerika Serikat memiliki hak untuk memveto rancangan undang-undang yang telah disetujui Kongres, namun veto Presiden tersebut dapat digugurkan oleh tercapainya suatu suara mayoritas bersyarat di Kongres. Mekanisme demikian tidak terdapat dalam prosedur pembahasan rancangan Undang-Undang menurut UUD 1945. Setiap rancangan Undang-Undang mempersyaratkan adanya persetujuan bersama DPR dan Presiden. Jika persetujuan bersama dimaksud tidak diperoleh maka rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu [Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945]. Artinya, secara teoretik, terdapat kemungkinan di mana Presiden tidak setuju dengan suatu rancangan undang-undang meskipun seluruh fraksi yang ada di DPR menyetujuinya, sehingga undang-undang dimaksud tidak akan terbentuk. Atau sebaliknya, di mana seorang Presiden sangat berkepentingan akan hadirnya suatu undang-undang karena hal itu merupakan bagian dari janji kampanye yang harus diwujudkannya namun hal itu tidak mendapatkan persetujuan DPR semata-mata karena Presiden tidak memiliki cukup partai pendukung di DPR, akibatnya undang-undang itu pun tidak akan terbentuk. Keadaan demikian dapat pula terjadi dalam hal penyusunan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang rancangannya harus diajukan oleh Presiden. Oleh karena itu, jika seorang Presiden terpilih ternyata tidak mendapatkan cukup dukungan suara partai pendukungnya di DPR maka kecenderungan yang terjadi adalah bahwa seorang Presiden terpilih akan menempuh cara yang kedua, yaitu melakukan kompromi-kompromi atau tawar-menawar politik (political bargaining) dengan partai-partai pemilik kursi di DPR. Cara yang paling sering dilakukan adalah dengan memberikan “jatah” menteri kepada partai-partai yang memiliki kursi di DPR sehingga yang terjadi kemudian adalah corak pemerintahan yang serupa dengan pemerintahan koalisi dalam sistem Parlementer.
Kompromi-kompromi demikian secara esensial jelas kontradiktif dengan semangat menguatkan sistem pemerintahan Presidensial sebagaimana menjadi desain konstitusional UUD 1945. Seberapa besar pun dukungan atau legitimasi yang diperoleh seorang Presiden (dan Wakil Presiden) terpilih melalui suara rakyat yang diberikan secara langsung dalam Pemilu, hal itu tidak akan menghilangkan situasi dilematis sebagaimana digambarkan di atas yang pada akhirnya secara rasional-realistis “memaksa” seorang Presiden terpilih untuk melakukan kompromi-kompromi politik yang kemudian melahirkan corak pemerintahan “Presidensial rasa Parlementer” di atas. Keadaan demikian hanya dapat dicegah apabila dibangun suatu mekanisme yang memungkinkan Presiden (dan Wakil Presiden) terpilih memiliki cukup dukungan suara partai-partai politik yang memiliki kursi di DPR.
Menurut Mahkamah, rumusan ketentuan Pasal 222 UU Pemilu adalah dilandasi oleh semangat demikian. Dengan sejak awal diberlakukannya persyaratan jumlah minimum perolehan suara partai politik atau gabungan partai politik untuk dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden berarti sejak awal pula dua kondisi bagi hadirnya penguatan sistem Presidensial diharapkan terpenuhi, yaitu, pertama, upaya pemenuhan kecukupan dukungan suara partai politik atau gabungan partai politik pendukung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden di DPR dan, kedua, penyederhanaan jumlah partai politik.
Dalam konteks yang pertama, dengan memberlakukan syarat jumlah minimum perolehan suara bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden maka sejak awal pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang bersangkutan telah memiliki cukup gambaran atau estimasi bukan saja perihal suara yang akan mendukungnya di DPR jika terpilih tetapi juga tentang figur-figur yang akan mengisi personalia kabinetnya, yang tentunya sudah dapat dibicarakan sejak sebelum pelaksanaan Pemilu melalui pembicaraan intensif dengan partai-partai pengusungnya, misalnya melalui semacam kontrak politik di antara mereka. Benar bahwa belum tentu partai-partai pendukung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden akan menguasai mayoritas kursi di DPR sehingga pada akhirnya tetap harus dilakukan kompromi-kompromi politik dengan partai-partai peraih kursi di DPR, namun dengan cara demikian setidak-tidaknya kompromi-kompromi politik yang dilakukan itu tidak sampai mengorbankan hal-hal fundamental dalam program-program pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang bersangkutan yang ditawarkan kepada rakyat pemilih dalam kampanyenya. Dengan demikian, fenomena lahirnya “sistem Presidensial rasa Parlementer” dalam penyelenggaraan pemerintahan dapat direduksi.
Sementara itu, dalam konteks yang kedua, yaitu bahwa dengan memberlakukan persyaratan jumlah minimum perolehan suara partai politik atau gabungan partai politik untuk dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden akan mendorong lahirnya penyederhanaan jumlah partai politik, penjelasannya adalah sebagai berikut: dengan sejak awal partai-partai politik bergabung dalam mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden berarti sesungguhnya sejak awal pula telah terjadi pembicaraan ke arah penyamaan visi dan misi partai-partai politik bersangkutan yang bertolak dari platform masing-masing yang kemudian secara simultan akan dirumuskan baik ke dalam program-program kampanye pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusung maupun dalam program-program kampanye partai-partai pengusung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tersebut yang akan ditawarkan kepada rakyat pemilih. Dengan cara demikian, pada saat pelaksanaan Pemilu, rakyat pemilih akan memiliki referensi sekaligus preferensi yang sama ketika memilih pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dan ketika memilih calon anggota DPR dari partai-partai pengusung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden itu sebab Pemilu akan dilaksanakan secara serentak. Artinya, rakyat pemilih telah sejak awal memiliki gambaran bahwa jika memilih pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tertentu karena setuju dengan program-program yang ditawarkannya maka secara rasional juga harus memilih anggota DPR dari partai politik yang akan mendukung tercapainya program-program tersebut yang tidak lain adalah partai-partai politik pengusung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tersebut. Pada perkembangan selanjutnya, apabila partai-partai politik yang bergabung dalam mengusung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tersebut berhasil menjadikan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusungnya itu terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden maka dengan sendirinya partai-partai politik tersebut menjadi partai-partai yang memerintah (the ruling parties) yang secara logika politik telah berada dalam satu kesatuan pandangan dalam tujuan-tujuan politik yang hendak dicapai atau diwujudkan. Pada titik itu sesungguhnya secara etika dan praktik politik partai-partai politik tersebut telah bermetamorfosis menjadi satu partai politik besar sehingga dalam realitas politik telah terwujud penyederhanaan jumlah partai politik kendatipun secara formal mereka tetap memiliki identitas tertentu sebagai pembeda namun hal itu tidak lagi secara mendasar mempengaruhi kerjasama mereka dalam pencapaian tujuan-tujuan mereka yang tercemin dalam program-program dan kinerja pasangan Presiden dan Wakil Presiden yang mereka usung bersama. Sesungguhnya dalam kedua konteks itulah frasa “sebelum pelaksanaan pemilihan umum” dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 didesain dan karenanya dalam kedua konteks itu pula seharusnya diimplementasikan. Dengan kata lain, Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang selengkapnya berbunyi, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum” adalah norma Konstitusi yang memuat desain konstitusional penguatan sistem Presidensial dengan semangat, di satu pihak, mendorong tercapainya keparalelan perolehan suara pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dengan peroleh suara partai-partai politik pendukung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tersebut di DPR serta, di pihak lain, mendorong terwujudnya penyederhanaan partai, di mana kedua hal itu merupakan penopang utama bekerjanya sistem Presidensial dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan negara. Bahwa dalam praktik hingga saat ini keadaan demikian belum terwujud, hal itu bukanlah berarti kelirunya desain konstitusional di atas melainkan terutama karena belum berjalannya fungsi-fungsi partai politik sebagai instrumen pendidikan dan komunikasi politik;
6 Bahwa, berdasarkan pertimbangan sebagaimana diuraikan pada angka 1 sampai dengan angka 5 di atas, terlepas dari fakta bahwa Pemohon tidak membuktikan lebih lanjut dalil permohonannya, sebagaimana telah disinggung pada paragraf [3.7] di atas, Mahkamah tetap akan mempertimbangkan dalil Pemohon sebagai berikut:
a. terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan presidential threshold dalam Pasal 222 UU Pemilu adalah manipulasi dan tarik-menarik kepentingan politik partai-partai pendukung pemerintah, partai-partai oposisi, dan pemerintah dengan merujuk pada adanya sejumlah fraksi di DPR yang walk out pada saat disahkannya pengambilan putusan terkait rancangan Undang-Undang Pemilu yang kemudian menjadi Undang-Undang a quo, Mahkamah berpendapat bahwa pembentukan suatu undang-undang adalah keputusan politik dari suatu proses politik lembaga negara yang oleh Konstitusi diberi kewenangan membentuk undang-undang, dalam hal ini DPR bersama Presiden. Oleh sebab itu Mahkamah tidak berwenang menilai praktik dan dinamika politik yang terjadi selama berlangsungnya proses pembentukan suatu undang-undang selama tata cara pembentukan undang-undang dimaksud tidak bertentangan dengan tata cara atau prosedur yang ditentukan dalam UUD 1945, khususnya sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945. Fakta tentang adanya sejumlah fraksi yang walk out dimaksud tidaklah menyebabkan substansi atau materi muatan suatu undang-undang menjadi inkonstitusional melainkan hanya menunjukkan tingkat penerimaan materi muatan undang-undang yang bersangkutan dalam pengertian bahwa persetujuan terhadap materi muatan undang-undang tersebut tidak diperoleh secara aklamasi;
b. …
c. terhadap dalil Pemohon yang menyatakan ketentuan presidential threshold dalam Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan logika keserentakan Pemilu 2019, yaitu bahwa Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD dilaksanakan serentak bersamaan dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, sebagaimana dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: Mahkamah Konstitusi dalam putusan sebelumnya, yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, bertanggal 18 Februari 2009, dalam pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum (UU 42/2008), telah menegaskan bahwa penentuan ambang batas minimum perolehan suara partai politik (atau gabungan partai politik) untuk dapat mengusulkan calon Presiden dan Wakil Presiden adalah kebijakan hukum pembentuk undang-undang. Dalam pertimbangan hukum Putusan a quo, Mahkamah menyatakan antara lain:
[3.16.3] Menimbang bahwa dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, pembentuk Undang-Undang juga telah menerapkan kebijakan ambang batas untuk pengusulan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang memenuhi persyaratan kursi paling sedikit 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 20% (dua puluh persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu Anggota DPR sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Kebijakan threshold semacam itu juga telah diterapkan sebagai kebijakan hukum (legal policy) dalam electoral threshold (ET) dengan tujuan untuk mencapai sistem multipartai yang sederhana, kebijakan mana dalam Putusan Nomor 16/PUU-V/2007 bertanggal 23 Oktober 2007, serta kebijakan parliamentary threshold (PT) tentang syarat perolehan suara sebesar 2,5% (dua koma lima per seratus) dari suara sah secara nasional untuk ikut memperebutkan kursi di DPR, dengan Putusan Nomor 3/PUU-VII/2009, oleh Mahkamah telah dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945, karena merupakan kebijakan yang diamanatkan oleh UUD 1945 yang sifatnya terbuka;
Dengan demikian, Mahkamah sesungguhnya telah menyatakan pendiriannya berkenaan dengan presidential threshold atau persyaratan perolehan suara minimal partai politik (atau gabungan partai politik) untuk dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.
Namun, pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan tersebut diberikan ketika Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dipisahkan pelaksanaannya dengan Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD di mana Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden diselenggarakan setelah selesainya penyelenggaraan Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD. Sementara itu, dalam perkembangan selanjutnya, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi 14/PUU-XI/2013, bertanggal 23 Januari 2014, Mahkamah telah menyatakan bahwa Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan secara serentak. Maka timbul pertanyaan, apakah dengan demikian pertimbangan Mahkamah sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 masih relevan dijadikan sebagai acuan pertimbangan untuk Permohonan a quo di mana UU Pemilu yang dipersoalkan konstitusionalitasnya mengatur bahwa Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden diselenggarakan secara serentak?
Terhadap pertanyaan ini, Mahkamah berpendapat bahwa pertimbangan Mahkamah sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 adalah tetap relevan dengan penjelasan sebagai berikut:
Pertama, pertimbangan hukum mengenai ambang batas minimum perolehan suara partai politik (atau gabungan partai politik) untuk dapat mengusulkan calon Presiden dan Wakil Presiden (yang saat itu diatur dalam Pasal 9 UU 42/2008) sebagai kebijakan pembentuk undang-undang (legal policy) sama sekali tidak dikaitkan dengan keberadaan norma Undang-Undang yang mengatur tentang dipisahkannya penyelenggaraan Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dengan Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD [sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (5) UU 42/2008], yang juga dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya pada saat itu.
Kedua, argumentasi teoretik konstitusionalitas persyaratan mengenai ambang batas minimum perolehan suara partai politik (atau gabungan partai politik) untuk dapat mengusulkan calon Presiden dan Wakil Presiden bukanlah diturunkan dari logika disatukan atau dipisahkannya Pemilu untuk memilih Presiden/Wakil Presiden dengan Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD melainkan dari argumentasi teoretik untuk memperkuat sistem Presidensial dalam pengertian mewujudkan sistem dan praktik pemerintahan yang makin mendekati ciri/syarat ideal sistem pemerintahan Presidensial sehingga tercegahnya praktik yang justru menunjukkan ciri-ciri sistem Parlementer.
Ketiga, sementara itu, argumentasi sosio-politik konstitusionalitas persyaratan mengenai ambang batas minimum perolehan suara partai politik (atau gabungan partai politik) untuk dapat mengusulkan calon Presiden dan Wakil Presiden adalah memperkuat lembaga Kepresidenan sebagai lembaga yang mencerminkan legitimasi sosio-politik representasi masyarakat Indonesia yang berbhinneka;
d. … bahwa ketentuan yang termuat dalam Pasal 222 UU Pemilu justru bersesuaian dengan gagasan penguatan sistem Presidensial yang menjadi desain konstitusional UUD 1945. Sementara itu, jika yang dimaksud dengan “mengeliminasi evaluasi penyelenggaraan Pemilu” adalah anggapan Pemohon tentang adanya ketidakpuasan rakyat terhadap kinerja DPR dan Presiden-Wakil Presiden yang terpilih dalam Pemilu 2014 dengan asumsi bahwa rakyat akan dihadapkan pada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang sama yang akan berkompetisi dalam Pemilu 2019 sebagaimana ditegaskan Pemohon dalam Permohonannya, anggapan demikian terlalu prematur sebab belum tentu pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang akan berkompetisi dalam Pemilu 2019 adalah pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang sama dengan mereka yang berkontestasi dalam Pemilu 2014. Anggapan demikian baru akan terbukti secara post factum. Lagi pula, kalaupun anggapan demikian benar, quod non, hal itu tidaklah serta-merta menjadikan norma yang terkandung dalam Pasal 222 UU Pemilu menjadi tidak konstitusional;
e. terhadap dalil Pemohon bahwa ketentuan presidential threshold dalam Pasal 222 UU Pemilu bersifat diskriminatif karena memangkas hak Pemohon sebagai partai politik peserta Pemilu untuk mengusulkan ketuanya (in casu Rhoma Irama) sebagai calon Presiden, Mahkamah berpendapat bahwa dalil diskriminasi tidak tepat digunakan dalam hubungan ini karena tidak setiap perbedaan perlakuan serta-merta berarti diskriminasi. Diskriminasi baru dikatakan ada atau terjadi manakala terhadap hal yang sama diperlakukan secara berbeda dan pembedaan itu semata-mata didasari oleh pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan, pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan, baik individual maupun kolektif, dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam kasus a quo, perbedaan perlakuan yang dialami Pemohon bukanlah didasarkan pada alasan-alasan yang terkandung dalam pengertian diskriminasi sebagaimana diuraikan di atas melainkan karena Pemohon adalah partai politik baru yang baru akan berkontestasi dalam Pemilu 2019 sedangkan norma yang terkandung dalam Pasal 222 UU Pemilu adalah diberlakukan terhadap partai-partai politik yang telah pernah mengikuti Pemilu dan telah memperoleh dukungan suara tertentu. Bahkan, andaikatapun terhadap partai-partai politik yang telah pernah mengikuti Pemilu itu diberlakukan ketentuan yang berbeda, hal itu juga tidak serta-merta dapat dikatakan sebagai diskriminasi sepanjang pembedaan itu tidak didasari semata-mata oleh alasan-alasan sebagaimana termaktub dalam pengertian diskriminasi di atas;
f. …

[3.16] Menimbang bahwa selanjutnya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-XX/2022 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 7 Juli 2022, Mahkamah telah menegaskan kembali pendiriannya terhadap ketentuan Pasal 222 UU 7/2017 yang pada pokoknya mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.16] … Terlebih lagi, setelah membaca semua putusan Mahkamah yang berkaitan dengan isu ambang batas pencalonan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik, pada pokoknya Mahkamah menyatakan syarat ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden adalah konstitusional, sedangkan berkenaan dengan besar atau kecilnya persentase presidential threshold merupakan kebijakan terbuka (open legal policy) dalam ranah pembentuk undang-undang. Pendirian Mahkamah tersebut berpijak pada perlunya penguatan sistem pemerintahan Presidensial berdasarkan UUD 1945 sehingga dapat mewujudkan pemerintahan yang efektif. Dalam pandangan Mahkamah, pemilu Presiden dan Wakil Presiden perlu dirancang untuk mendukung penguatan sistem pemerintahan Presidensial, tidak hanya terkait legitimasi Presiden dan Wakil Presiden terpilih, namun juga dalam hubungannya dengan institusi DPR sehingga akan mendorong efektivitas proses-proses politik di DPR menjadi lebih sederhana dan efisien dalam kerangka checks and balances secara proporsional. Dalam kerangka tersebut, adanya syarat ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik menjadi salah satu cara untuk menyeimbangkan hubungan Presiden dengan DPR secara proporsional dalam sistem pemerintahan presidensial yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi Indonesia serta hak konstitusional warga negara dan hal tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi…
[3.17] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas menurut Mahkamah terhadap ketentuan Pasal 222 UU 7/2017 yang mengatur mengenai ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik dan gabungan partai politik, Mahkamah tetap pada pendiriannya yakni hal tersebut merupakan kebijakan terbuka (open legal policy) dalam ranah pembentuk undang-undang. Adapun adanya perbedaan antara argumentasi dalil para Pemohon a quo dengan permohonan-permohonan sebelumnya yakni yang pada pokoknya menyatakan bahwa ketentuan presidential threshold tersebut perlu diberikan batasan yang lebih proporsional, rasional dan implementatif sehingga tidak merugikan hak konstitusional para Pemohon, menurut Mahkamah hal tersebut bukanlah menjadi ranah kewenangan Mahkamah untuk menilai kemudian mengubah besaran angka ambang batas. Sebab, hal tersebut pun juga ditegaskan oleh para Pemohon dalam permohonanannya [vide permohonan para Pemohon hlm. 26] merupakan kebijakan terbuka sehingga menjadi kewenangan para pembentuk undang-undang, yakni antara DPR dengan Presiden untuk menentukan lebih lanjut kebutuhan proses legislasi mengenai besaran angka ambang batas tersebut. Oleh karenanya, berkenaan dengan dalil para Pemohon yang memohon kepada Mahkamah untuk mempersempit (narrowing) pembatasan pelaksanaan open legal policy melalui interval range angka ambang batas, menyeimbangkan penguatan sistem presidensial dan demokrasi/kedaulatan rakyat, serta penentuan interval range angka ambang batas berbasis kajian ilmiah melalui penghitungan indeks Effective Numbers of Parliamentary Parties (ENPP), pada pokoknya Mahkamah mengapresiasi apapun bentuk kajian ilmiah yang akan digunakan oleh pembentuk undang-undang dalam menentukan besaran angka ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik dan gabungan partai politik. Namun demikian, hal tersebut bukan ranah kewenangan Mahkamah untuk memutusnya. Oleh karena itu, berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, telah ternyata tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma Pasal 222 UU 7/2017, sehingga Mahkamah berpendapat, tidak terdapat alasan mendasar yang menyebabkan Mahkamah harus mengubah pendiriannya. Dengan demikian, menurut Mahkamah, permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya dan terhadap dalil-dalil serta hal-hal lain, tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena tidak terdapat relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 71/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006 SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-09-2022

Emir Dhia Isad, S.H., Syukrian Rahmatul’ula, S.H. dan Rahmat Ramdani, S.H. untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Penjelasan Pasal 35 huruf a UU Administrasi Kependudukan

Pasal 27 ayat (1), Pasal 28B ayat (1), Pasal 28B ayat (2), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28I ayat (1), Pasal 28I ayat (2), Pasal 28J ayat (1), Pasal 28J ayat (2), Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang beserta jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

[3.6] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara saksama uraian para Pemohon dalam menjelaskan kerugian hak konstitusionalnya, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.5] di atas, Mahkamah mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut:
Bahwa para Pemohon dalam menguraikan profesinya sebagai pemerhati Hukum Keluarga tidak memberikan bukti yang cukup sehingga dapat menyakinkan Mahkamah bahwa para Pemohon telah aktif melakukan kegiatan-kegiatan yang berkenaan dengan isu konstitusionalitas yang dimohonkan pengujiannya yaitu Penjelasan Pasal 35 huruf a UU 23/2006 yang pada pokoknya mengatur mengenai administrasi pencatatan perkawinan beda agama yang dilakukan oleh pengadilan.
Selain itu, anggapan kerugian hak konstitusional para Pemohon atas berlakunya Penjelasan Pasal 35 huruf a UU 23/2006 yang dianggap sebagai legitimasi atas perkawinan beda agama sehingga menyebabkan para Pemohon merasa resah, menurut Mahkamah, hal tersebut merupakan asumsi yang tidak dapat dibuktikan pula kebenarannya. Adapun terkait dengan anggapan kerugian hak konstitusional Pemohon III yang menerangkan telah memiliki keturunan sehingga setidak-tidaknya berpotensi anaknya akan tercatat dalam perkawinan beda agama, hal itu tidak dapat dibuktikan oleh Pemohon III karena dalam bukti P-3 berupa KTP Pemohon III masih berstatus belum menikah. Dengan demikian, menurut Mahkamah para Pemohon tidak mampu menguraikan secara spesifik, aktual, maupun potensial hak konstitusionalnya yang menurut anggapan para Pemohon dirugikan oleh berlakunya Penjelasan Pasal a quo. Terlebih lagi, dalam permohonan para Pemohon sama sekali tidak menyampaikan argumentasi tentang pertentangan antara pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dengan pasal-pasal dalam UUD 1945 yang menjadi dasar pengujian.
Bahwa terkait dengan hal tersebut di atas, dalam sidang Pemeriksaan Pendahuluan pada 21 Juli 2022, Majelis Hakim Panel telah memberi nasihat kepada para Pemohon agar memperbaiki uraian kedudukan hukumnya sehingga Mahkamah dapat meyakini bahwa para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan. Namun dalam perbaikan permohonan, para Pemohon masih belum dapat menguraikan kerugian hak konstitusional yang bersifat khusus atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan terjadi. Para Pemohon juga tidak dapat menjelaskan hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang dialaminya dengan berlakunya Penjelasan Pasal 35 huruf a UU 23/2006;
Bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat para Pemohon tidak mengalami kerugian hak konstitusional baik secara langsung maupun tidak langsung dengan berlakunya Penjelasan Pasal 35 huruf a UU 23/2006 serta tidak terdapat pula hubungan sebab akibat antara anggapan kerugian hak konstitusional dengan berlakunya Penjelasan Pasal a quo yang dimohonkan pengujian. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.

[3.7] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak dan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 38/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-08-2022

Heintje Gronstson Mandagie, Hans M Kawengian, dan Soegiharto Santoso, yang memberikan kuasa kepada Dr. Umbu Rauta, S.H., M.Hum, dkk, advokat dan konsultan hukum pada kantor hukum Mustuka Raja Law Office, untuk selanjutnya disebut sebagai para Pemohon.

Pasal 15 ayat (2) huruf f dan Pasal 15 ayat (5) UU Pers

Pasal 28, Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 15 ayat (2) dan Pasal 15 ayat (5) UU Pers dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.15] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih jauh dalil-dalil pokok permohonan a quo, penting bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut:
Landasan konstitusional pers di Indonesia adalah berdasarkan Pasal 28 UUD 1945 yang menyatakan, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 UUD 1945 haruslah dijamin.
Sejarah pers di Indonesia mencatat Ketetapan MPRS RI Nomor XXXII/MPRS/1966 pada awal Orde Baru merupakan cikal bakal lahirnya ketentuan pengaturan tentang pers. Ketetapan MPRS RI Nomor XXXIII/MPRS/1966 mengatur tentang Pembinaan Pers Indonesia. Selanjutnya dibuatlah Undang-Undang yang mengatur tentang pers yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers (selanjutnya disebut UU 11/1966) yang merupakan penjabaran dari Ketetapan MPRS RI Nomor XXXII/MPRS/1966. UU 11/1966 mengalami perubahan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1967 tentang Penambahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers, dan kemudian UU 11/1966 diubah dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1967 (selanjutnya disebut UU 21/1982). Pada saat berlakunya UU 11/1966 dan perubahannya yaitu UU 21/1982, pengendalian kehidupan pers oleh pemerintah tampak dengan adanya beberapa ketentuan, antara lain yaitu:
1) Ketua Dewan Pers adalah Menteri Penerangan [vide Pasal 7 ayat (1) UU 11/1966];
2) Anggota Dewan Pers terdiri dari wakil organisasi pers, wakil Pemerintah dan wakil masyarakat dalam hal ini ahli-ahli di bidang pers serta ahli-ahli di bidang lain [vide Pasal 6 ayat (2) UU 21/1982];
3) Setiap penerbitan pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers memerlukan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang dikeluarkan oleh Pemerintah [vide Pasal 13 ayat (5) UU 21/1982];
4) Ancaman pidana dan atau denda bagi yang menyelenggarakan penerbitan pers tanpa SIUPP [vide Pasal 19 ayat (2) UU 21/1982];
Sementara itu, Pasal 4 UU 11/1966 memang menyebutkan bahwa terhadap Pers Nasional tidak dikenakan sensor dan pembredelan, namun pemerintah saat itu tetap dapat mencabut SIUPP media massa yang artinya juga tindakan pembredelan. Apalagi meskipun ketentuan-ketentuan tentang SIUPP diatur oleh Pemerintah setelah mendengar pertimbangan Dewan Pers [vide Pasal 13 ayat (5)
UU 21/1982], akan tetapi sesuai dengan ketentuan UU 11/1966 dan UU 21/1982, Dewan Pers sendiri haruslah diketuai oleh Menteri Penerangan yang merupakan wakil dari pemerintah.
Adanya reformasi dan bergantinya orde baru di tahun 1998 menjadi momen perubahan kehidupan pers di Indonesia. Terjadi amandemen/perubahan terhadap UUD 1945 sehingga ada pasal lain selain Pasal 28 UUD 1945 yang berkaitan dengan pers yaitu Pasal 28E yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”, serta Pasal 28F yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Adanya pasal-pasal UUD 1945 tersebut menambah sekaligus mempertegas jaminan kebebasan pers di Indonesia setelah reformasi. Bersamaan setelah reformasi tahun 1998, lahir pula undang-undang baru mengenai pers yaitu UU 40/1999 yang membawa perubahan politik hukum pers di Indonesia yang semula meletakkan kontrol penuh terhadap pers di tangan pemerintah/eksekutif, berubah menjadi politik hukum jaminan kebebasan pers. UU 40/1999 yang diundangkan pada 23 September 1999 menjadi tonggak lahirnya kemerdekaan dan kebebasan pers di Indonesia. Dalam memorie van toelichting UU Pers disebutkan bahwa tujuan kebebasan pers adalah dalam upaya untuk meningkatkan kualitas demokrasi ke arah yang lebih baik sehingga dapat memperluas hak masyarakat untuk menyampaikan pendapat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, meningkatkan pendidikan sosial untuk masyarakat, meningkatkan kontrol sosial masyarakat dalam semua sektor kehidupan berbangsa dan bernegara, serta meningkatkan kreatifitas masyarakat dengan peningkatan wawasan melalui informasi yang lebih luas. Dengan demikian, maka kebebasan pers dapat menciptakan masyarakat yang tertib dan adil, yang pada akhirnya akan mempercepat pembangunan kesejahteraan bangsa [vide bukti PK-1 memorie van toelichting UU Pers, hlm. 6-7]. Beberapa ketentuan dalam UU 40/1999 yang mengatur jaminan kebebasan pers yaitu:
1) Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum [vide Pasal 2 UU 40/1999].
2) Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara [vide Pasal 4 ayat (1) UU 40/1999].
3) Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran [vide Pasal 4 ayat (2) UU 40/1999];
4) Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi [vide Pasal 4 ayat (3) UU 40/1999];
5) Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak [vide Pasal 4 ayat (4) UU 40/1999];
6) Wartawan bebas memilih organisasi wartawan [vide Pasal 7 ayat (1) UU 40/1999];
7) Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum [vide Pasal 8 UU 40/1999];
8) Dewan Pers bebas dari intervensi Pemerintah sebagaimana terlihat dari komposisi Dewan Pers yang tidak ada wakil pemerintah [vide Pasal 15 ayat (3) UU 40/1999];
9) Pengaturan mandiri (self regulation) dalam penyusunan peraturan di bidang pers dengan memberikan ruang bagi organisasi-organisasi pers dalam menyusun sendiri peraturan-peraturan di bidang pers dengan difasilitasi oleh Dewan Pers yang independen [vide Pasal 15 ayat (2) huruf f UU 40/1999].
Meskipun UU 40/1999 telah menjamin kemerdekaan pers serta penerapan self regulation, namun kini justru muncul kecenderungan pers yang terlalu bebas. Oleh karena itu, Mahkamah perlu mengingatkan kembali bahwa pers tidak cukup hanya berpegang pada prinsip kemerdekaan, kebebasan, dan independensi semata, namun juga mampu menjalankan fungsinya sebagai salah satu pilar demokrasi secara bertanggung jawab. Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah [vide Pasal 5 ayat (1) UU 40/1999]. Selain itu, dalam menjalankan profesinya, wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik [vide Pasal 7 ayat (2) UU 40/1999]. Semangat reformasi pers di Indonesia menghendaki pers mampu bersuara untuk kepentingan rakyat dalam negara hukum yang demokratis sesuai dengan UUD 1945 dan ideologi Pancasila, bukan pers yang bebas sebebas-bebasnya sebagaimana pers di negara-negara yang menganut paham individualistik-liberalistik.
Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memeroleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus
mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan
paksaan dari manapun. Pers nasional juga diharapkan berperan ikut menjagaketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial [vide konsiderans Menimbang UU 40/1999].
[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan di atas, Mahkamah selanjutnya akan menilai konstitusionalitas norma Pasal 15 ayat (2) huruf f dan Pasal 15 ayat (5) UU 40/1999. Terhadap hal tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.16.1] Bahwa para Pemohon mendalilkan fungsi Dewan Pers sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 ayat (2) huruf f UU 40/1999 terutama kata “memfasilitasi” telah menimbulkan ketidakjelasan tafsir sehingga menjadikan Dewan Pers memonopoli pembentukan peraturan-peraturan di bidang pers. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan bahwa tujuan dibentuknya Dewan Pers adalah untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kualitas serta kuantitas pers nasional [vide Pasal 15 ayat (1) UU 40/1999]. Tujuan tersebut dicapai antara lain dengan adanya peraturan-peraturan di bidang pers yang menjadi acuan dan standarisasi. Namun demikian, agar tetap menjaga independensi dan kemerdekaan pers maka peraturan di bidang pers disusun sedemikian rupa tanpa ada intervensi dari pemerintah maupun dari Dewan Pers itu sendiri. Dalam hal ini, Pasal 15 ayat (2) huruf f UU 40/1999 mengatur bahwa Dewan Pers melaksanakan fungsi, salah satunya, adalah memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan. Maksud dari “memfasilitasi” adalah menegaskan bahwa Dewan Pers hanya menyelenggarakan tanpa ikut menentukan isi dari peraturan di bidang pers tersebut. Fungsi “memfasilitasi” tersebut menurut Mahkamah telah sejalan dengan semangat independensi dan kemandirian organisasi pers.
Latar belakang dan cita-cita pembentukan UU 40/1999 menghendaki kelembagaan, struktur, keanggotaan dan kegiatan Dewan Pers disesuaikan dengan semangat reformasi, serta bersifat independen [vide bukti PK-1 memorie van toelichting UU Pers]. Peran dan fungsi Dewan Pers memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers adalah agar masing-masing organisasi pers tidak membentuk peraturan secara sendiri-sendiri sehingga berpotensi bertentangan antara peraturan yang satu dengan peraturan yang lainnya. Dengan adanya fungsi memfasilitasi tersebut maka hak organisasi pers tetap terjamin untuk mengeluarkan pikiran dan pendapatnya terhadap substansi peraturan yang akan dibentuk di bidang pers.
Selain pertimbangan hukum tersebut, tanpa Mahkamah bermaksud menilai kasus konkret, Mahkamah menemukan fakta yang terungkap di persidangan terdapat keterangan dari organisasi pers yang terdaftar di dalam Dewan Pers yang menerangkan bahwa Dewan Pers memfasilitasi pembuatan peraturan terkait pers hasil pembahasan bersama dengan melibatkan organisasi pers dalam membentuk peraturan di bidang pers dan tidak pernah memonopoli pembuatan peraturan, apalagi mengambil alih peran organisasi pers sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon [vide Risalah Sidang 11 Januari 2022 mengenai keterangan Pihak Terkait PWI] sebagaimana didukung oleh keterangan Ahli Pihak Terkait Dewan Pers [vide Risalah Sidang 24 Maret 2022 mengenai keterangan Ahli Pihak Terkait Dewan Pers yaitu Rajab Ritonga]. Artinya, Dewan Pers bertindak sebagai fasilitator dalam penyusunan peraturan-peraturan di bidang pers, dan bukan sebagai lembaga pembentuk peraturan (regulator).
Jikapun benar terdapat peraturan-peraturan pers yang pembentukannya dimonopoli oleh Dewan Pers untuk kepentingan Dewan Pers, atau disusun tidak sesuai dengan fungsi Dewan Pers, sebagaimana didalilkan para Pemohon, hal tersebut adalah persoalan implementasi norma dan bukan persoalan konstitusionalitas norma sehingga bukan merupakan kewenangan Mahkamah untuk menilainya. Demikian pula terhadap dalil para Pemohon mengenai pelaksanaan uji kompetensi atau sertifikasi kompetensi, menurut Mahkamah, hal tersebut adalah persoalan konkret yang sudah pula diselesaikan melalui Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 235/Pdt.G/2018/PN.Jkt.Pst juncto Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 331/PDT/2019/PT DKI [vide Bukti PT-5, Bukti PT-6, Bukti P.Interv-31, Bukti P.Interv-32, Bukti PK-2b].
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para Pemohon bahwa Pasal 15 ayat (2) huruf f UU 40/1999 menimbulkan ketidakjelasan tafsir kata “memfasilitasi” sehingga menjadikan Dewan Pers memonopoli peraturan-peraturan di bidang pers, adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.16.2] Bahwa para Pemohon mendalilkan Pasal 15 ayat (5) UU 40/1999 menimbulkan ketidakjelasan tafsir sehingga mengakibatkan para Pemohon tidak mendapatkan penetapan sebagai Anggota Dewan Pers melalui Keputusan Presiden. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan, keanggotaan Dewan Pers yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden tidaklah mengurangi independensi Dewan Pers mengingat proses pemilihan anggota Dewan Pers telah ditentukan dalam Pasal 15 ayat (3) UU 40/1999 bahwa Anggota Dewan Pers terdiri dari:
1. wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan;
2. pimpinan perusahaan pers yang dipilih oleh organisasi perusahaan pers;
3. tokoh masyarakat, ahli di bidang pers dan atau komunikasi wartawan dan organisasi perusahaan pers.
Selanjutnya, penentuan Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pers dipilih dari dan oleh anggota [vide Pasal 15 ayat (4) UU 40/1999]. Dengan proses pemilihan yang demikian artinya Anggota Dewan Pers ditentukan sendiri oleh insan pers yang berkecimpung di dunia pers. Keberadaan Keputusan Presiden hanya sebagai pengesahan dan keputusan (beschikking) yang bersifat individual, konkret, dan berlaku satu kali (einmalig) terhadap Anggota Dewan Pers yang terpilih. Artinya, Presiden tidak dapat campur tangan dalam proses penentuan keanggotaan dan ketua Dewan Pers.
Adapun petitum para Pemohon yang memohon kepada Mahkamah agar Pasal 15 ayat (5) UU 40/1999 dimaknai “Keputusan Presiden bersifat administratif sesuai usulan atau permohonan dari organisasi-organisasi pers, perusahaan-perusahaan pers dan wartawan yang terpilih melalui mekanisme kongres pers yang demokratis”, justru dapat menimbulkan ketidakseragaman ketika masing-masing organisasi pers melaksanakan pemilihan Anggota Dewan Pers sendiri-sendiri. Jikapun para Pemohon merasa keberatan dengan tidak ditetapkannya dirinya sebagai anggota Dewan Pers melalui Keputusan Presiden maka hal tersebut merupakan persoalan konkret dan bukanlah persoalan konstitusionalitas norma. Apalagi Presiden dalam menerbitkan Keputusan Presiden tersebut hanya bersifat administratif untuk pengesahan Keanggotaan Dewan Pers yang telah dipilih melalui proses sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 ayat (3) UU 40/1999.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para Pemohon mengenai Pasal 15 ayat (5) UU 40/1999 menimbulkan ketidakjelasan tafsir sehingga mengakibatkan para Pemohon tidak mendapatkan penetapan sebagai Anggota Dewan Pers, adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.17] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat ketentuan norma Pasal 15 ayat (2) huruf f dan Pasal 15 ayat (5) UU 40/1999 telah ternyata tidak melanggar kemerdekaan berserikat dan berkumpul serta tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan diskriminasi sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon berdasarkan Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian, permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.18] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan karena dipandang tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 74/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PEMILIHAN UMUM DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-08-2022

Septriwajyudi (Mitra Kerja Swasta) untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 19 ayat (1) UU 8/2012 dan Pasal 27 ayat (1) UU 42/2008.

UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 19 ayat (1) UU 8/2012 dan Pasal 27 ayat (1) UU 42/2008 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
a. bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan bertanggal 1 Juni 2022, yang diajukan oleh Septriwahyudi, yang diterima Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada 1 Juli 2022 berdasarkan Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 65/PUU/PAN.MK/AP3/07/2022, bertanggal 1 Juli 2022 dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) pada 15 Juli 2022 dengan Nomor 74/PUU-XX/2022 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK), terhadap Permohonan Nomor 74/PUU-XX/2022 tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1) Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 74.74/PUU/TAP.MK/Panel/07/2022 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Perkara Nomor 74/PUU-XX/2022, bertanggal 15 Juli 2022;
2) Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 74.74/PUU/TAP.MK/HS/07/2022 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama untuk memeriksa Perkara Nomor 74/PUU-XX/2022, bertanggal 15 Juli 2022;
c. bahwa sesuai dengan Pasal 34 UU MK, Mahkamah telah melakukan Pemeriksaan Pendahuluan terhadap permohonan a quo melalui Sidang Panel pada 27 Juli 2022 dan sesuai dengan Pasal 39 UU MK serta Pasal 41 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, Panel Hakim telah memberi nasihat kepada Pemohon untuk memenuhi syarat formil permohonan dan memperbaiki permohonannya. Selanjutnya, Panel Hakim memberikan nasihat perihal norma yang dimohonkan pengujiannya adalah norma yang sudah tidak berlaku lagi karena telah dicabut dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 74/PUU-XX/2022, tanggal 27 Juli 2022];
d. bahwa pada sidang Pemeriksaan Pendahuluan bertanggal 27 Juli 2022 di atas, Pemohon (Septriwahyudi) setelah mendengar nasihat dari Panel Hakim menyatakan tidak mengetahui bahwa norma yang diajukan permohonan pengujian tidak lagi berlaku, sehingga terhadap permohonan Pemohon a quo, Pemohon melakukan penarikan permohonan [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 74/PUU-XX/2022, tanggal 27 Juli 2022];
e. bahwa terhadap penarikan kembali permohonan Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan Permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali;
f. bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf e di atas, RPH pada 8 Agustus 2022 telah menetapkan bahwa pencabutan atau penarikan kembali permohonan Perkara Nomor 74/PUU-XX/2022 adalah beralasan menurut hukum dan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo;
g. bahwa berdasarkan pertimbangan hukum pada huruf f di atas, Mahkamah memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada Pemohon.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 38/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-08-2022

Tommy Chandra Kurniawan, Daniel Maringantua Warren Haposan Gultom, Mira Sylvania Setianingrum, Lingga Nugraha, yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Rendy Anggara Puta, S.H., dkk, advokat dan konsultan hukum pada “Law Office RAP & Co”, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.12.1] bahwa sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon dalam permohonan a quo, para Pemohon dalam permohonannya masih mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004 yang telah diberi makna baru oleh Mahkamah, karena pemaknaan demikian menimbulkan permasalahan baru yaitu adanya kekosongan hukum berupa belum diaturnya landasan/dasar hukum bagi tugas-tugas dan/atau tindakan Pengurus PKPU berikut konsekuensi finansial (biaya pengurusan atau imbalan jasa). Terlebih lagi, jika hakim tingkat kasasi mebatalkan putusan PKPU dari pengadilan tingkat pertama.
Berkenaan dengan hal tersebut dapat Mahkamah jelaskan bahwa secara universal adanya perubahan sebuah undang-undang atau perubahan norma sebuah undang-undang, baik yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang maupun dilakukan melalui putusan Mahkamah Konstitusi, tidak dapat dilepaskan dari adanya dampak atau konsekuensi yuridis atas perubahan tersebut. Oleh karena itu, diperlukan aturan peralihan atau ketentuan peralihan untuk menjembatani pemberlakuan norma baru tersebut, baik tanpa pengaturan dalam salah satu pasal pada undang-undang yang bersangkutan maupun salah satu pertimbangan hukum apabila perubahan melalui Putusan Mahkamah Kontitusi, akan menimbulkan konsekuensi yuridis yang apabila tidak diberikan ketentuan peralihan dapat berakibat terjadinya kekosongan hukum yang pada akhirnya menimbulkan ketidakpastian hukum.
[3.12.2] bahwa dalam prespektif perkara a quo sebagaimana yang dimohonkan oleh para Pemohon, terdapat putusan Mahkamah Konstitus berkenaan dengan pengujian konstitusionalitas norma Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004, yaitu Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 23/PUU-XIX/2022. Putusan tersebut telah memberikan pemaknaan baru terhadap ketentuan norma Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004, yang pada pokoknya “terhadap putusan PKPU yang diajukan upaya hukum kasasi.” Dengan demikian, terhadap putusan PKPU yang semula tidak tersedia upaya hukum apapun menjadi tersedia upaya hukum meskipun secara terbatas.
Oleh karena itu, sebagai konsekuensi yuridis atau Putusan Mahkamah Konstitusi a quo diperlukan pengaturan lebih lanjut hal-hal yang berkenaan dengan diperbolehkan upaya hukum kasasi atas putusan PKPU dimaksud. Hal-hal demikan diantaranya dimohonkan oleh para Permohon dalam perkara ini.
Bahwa berkenaan dengan hal tersebut, apabila dicermati dengan seksama, pertimbangan hukum Putusan Mahkamah terdahulu berkaitan dengan ketentuan Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004 telah jelas menegaskan posisi upaya hukum kasasi atau putusan PKPU merupakan ketentuan hukum baru yang belum diatur dalam UU 37/2004. Sebagai ketentuan hukum baru, ketentuan mengenai upaya hukum kasasi atas putusan PKPU pun belum diikuti dengan pengaturan yang lengkap mengenai tata laksana upaya hukum kasasi maupun pengaturan berbagai hal yang merupakan konsekuensi yuridis atas upaya hakum kasasi tersebut. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan belum diaturnya berbagai konsekuensi dari upaya hukum kasasi dimaksud, Mahkamah telah memberian pertimbangan hukum dalam putusan terdahulu yaitu Paragraf [3.19]
Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 23/PUU-XIX/2021, yang selengkapnya menyatakan:
“[3.19] Menimbang bahwa oleh karena terhadap permohonan PKPU yang diajukan oleh kreditor dan tidak diterimanya tawaran perdamaian yang diajukan oleh debitor dapat diajukan upaya hukum Kasasi, oleh karena itu sebagai konsekuensi yuridisnya terhadap pasal-pasal lain yang terdapat dalam UU 37/2004 yang tidak dilakukan pengujian dan terdampak dengan putusan a quo maka pemberlakuannya harus menyesuaikan dengan putusan perkara ini. Demikian halnya, guna mengatur lebih lanjut berkenaan dengan mekanisme pengajuan upaya hukum kasasi sebagaimana dipertimbangkan tersebut di atas, maka Mahkamah Agung secepatnya membuat regulasi berkaitan dengan tata cara pengajuan upaya hukum kasasi terhadap putusan PKPU yang diajukan oleh kreditor dimana tawaran perdamaian dari debitor telah ditolak oleh kreditor.”
Berdasarkan kutipan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut diatas, telah jelas dan tegas Mahkamah meminta kepada institusi Mahkamah Agung untuk secepatnya membuat regulasi berkaitan dengan tata cara pengajuan upaya hukum kasasi atau putusan PKPU dimaksud. Sebab, Mahkamah Agung sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan mengadili perkara di tingkat kasasi, adalah institusi yang paling mengetahui akan kebutuhan regulasi yang dimaksud.
Dengan demikian, pengaturan atau regulasi dimaksud sudah sewajarnya meliputi namun tidak terbatas pada hal-hal antara lain: batas waktu pegurusan; keabsahan perbuatan pegurus sejak pengurus bersangkutan ditunjuk oleh pengadilan hingga jika ada putusan kasasi yang membatalkan putusan pengadilan atas putusan PKPU; penetapan biaya kepengurusan. Meskipun berkenaan dengan biaya kepengurusan a quo secara universal kewenangan penghitungan biayanya tidak dapat dipisahkan dengan kewenangan yang berada di pengadilan, namun Mahkamah meyakini hal tersebut secara komprehensif dapat diatur dengan regulasi yang dibuat oleh Mahkamah Agung.
[3.14] Menimbang bahwa para Pemohon memohonkan agar pengaturan mengenai konsekuensi pengajuan kasasi atas putusan PKPU dipersamakan pengaturannya (dalam arti mutatis mutandis) dengan pengaturan konsekuensi kasasi atas putusan pailit [vide Pasal 16 dan Pasal 17 UU 37/2004]. Terhadap hal demikian Mahkamah berpendapat bahwa, dari sisi pembentukan undang-undang, pengaturan mekanisme terkait PKPU dapat dilakukan/dirumuskan oleh pembentuk undang-undang dapat mendelegasikan/menyerahkan kewenangan pengaturan tersebut kepada Mahkamah Agung. Kewenangan Mahkamah Agung untuk mengatur hal-hal tertentu demi kelancaran peradilan dapat dilandaskan pada Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA).
Bahwa berkaitan dengan dalil para Pemohon tersebut, dalam perkara ini Mahkamah masih berpegangan pada putusan terdahulu yang berpendapat bahwa pengaturan demikian lebih tepat dilakukan oleh Mahkmah Agung sebagai peradilan yang diserah kewenangan mengadili permohonan PKPU di tingkat pertama maupun di tingkat kasasi, dengan memperhatikan kewenangan kementerian terkait yang diserahi kewenangan oleh UU 37/2004 untuk Menyusun/membuat pedoman imbalan jasa bagi pengurus [vide Pasal 234 ayat (5) UU 37/2004]. Namun demikian pengaturan dimaksud harus tetap memperhatikan dan/atau melindungi hak-hak yang melekat pada Pengurus PKPU yang ditunjukan oleh pengadilan untuk mengurus harta debitor yang terkena penundaan kewajiban pembayaran utang.
Bahwa dengan adanya penyerahan (pendelegasian) pengaturan lebih lanjut kepada Mahkamah Agung dengan memperhatikan kewenangan kementerian terkait, menurut Mahkamah secara normatif telah meniadakan potensi kerugian konstitusional akibat belum diaturnya konsekuensinya upaya hukum bagi Pengurus PKPU, terutama para Pemohon. Seandainya pun belum ada peraturan atau regulasi yang disusun oleh Mahkamah Agung terkait konsekuensi upaya hukum kasasi atas putusan PKPU, hal demikian menurut Mahkmah tidak serta merta mengakibatkan norma yang dimohonkan pengujian menjadi bertentangan dengan konstitusi. Telebih, Mahkamah Agung dengan kewenangannya sebagai peradilan yang mengadili perkara kasasi sekaligus pengawasan badan peradilan di bawahnya dapat mewujudkan suatu perlindungan hukum kepada Pengurus PKPU melalui putusan kasasi tanpa harus menunggu terbitnya peraturan atau regulasi dimaksud.
[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut Mahkamah berpendapat telah ternyata hal-hal yang didalilkan ole para Permohon dalam permohonan a quo, telah terserap (terarbsobsi) dalam amanat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 23/PUU-XIX/2021. Terlebih, setelah dicermati oleh Mahkamah terdapat banyak hal dalam permohonan ini yang sebenarnya secara substansial telah dipertimbangkan dalam putusan terdahulu, sehingga, sekali lagi, untuk memahami secara komprehensif pertimbangan hukum putusan ini harus dirujuk/dibaca pula pertimbangan hukum Putusan Mahkmah Konstitusi Nomor 23/PUU-XIX/2021. Oleh karena itu, ketentuan norma Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004 yang telah diberi makna baru oleh Mahkamah Konstitusi tersebut tidak mengakibatkan adanya kepastian hukum serta tidak pula menimbulkan kerugian terkait pengakuan, jaminan, dan perlindungan hukum bagi para Pemohon. Dengan demikian, menurut Mahkmah kedua norma yang dimohonkan pengujian sebagaimana telah dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 23/PUU-XIX/2021 tidak bertentangan dengann Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima dan Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 43/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2021 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2001 TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-08-2022

E. Ramos Petege dan Yanuarius Mote, yang selanjutnya disebut para Pemohon.

Pasal 6 ayat (1) huruf b, Pasal 6A ayat (1) huruf b, Pasal 68A ayat (1), Pasal 68A ayat (2), Pasal 75 ayat (4), Pasal 76 ayat (2), dan Pasal 76 ayat (3) UU 43/2021

Pasal 18 ayat (1), Pasal 18 ayat (2), Pasal 18 ayat (3), Pasal 18 ayat (5), Pasal 18 ayat (6), Pasal 22E ayat (1), Pasla 22E ayat (2), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 6 ayat (1), Pasal 6A ayat (1) huruf b, Pasal 68A ayat (1), Pasal 68A ayat (2), Pasal 75 ayat (4), Pasal 76 ayat (2), dan Pasal 76 ayat (3) UU 2/2021 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.11] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan para Pemohon beserta bukti-bukti yang diajukan, terhadap permohonan para Pemohon a quo Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa berkaitan dengan pengujian norma Pasal 6 ayat (1) huruf b dan Pasal 6A ayat (1) huruf b UU 2/2021, telah diputus oleh Mahkamah dalam Perkara Nomor 47/PUU-XIX/2021, dengan pertimbangan hukum yang pada pokoknya sebagai berikut:
[3.13.1] Bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 6 ayat (1) huruf b, ayat (2), ayat (3), dan ayat (6), serta Pasal 6A ayat (1) huruf b, ayat (2), ayat (3), dan ayat (6) UU 2/2021 telah merugikan Orang Asli Papua karena pengangkatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK) dari unsur Orang Asli Papua bersifat diskriminatif di antara Orang Asli Papua sendiri dalam persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan serta jaminan kepastian bagi semua orang dalam memperoleh kesempatan yang sama. Selain itu, menurut Pemohon, adanya frasa “sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” dalam norma Pasal 6 ayat (4) dan ayat (5), serta Pasal 6A ayat (4) dan ayat (5) UU 2/2021 dapat menciptakan ketidakpastian hukum sehingga seharusnya frasa “sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” dimaksud dimaknai menjadi “perdasus” dan “perdasi”.
Apabila dipelajari secara saksama, berkenaan dengan isu konstitusionalitas norma pasal-pasal yang dimohonkan pengujiannya oleh Pemohon a quo pada pokoknya bermuara karena adanya unsur anggota DPRP dan DPRK yang diangkat dari unsur Orang Asli Papua. Substansi UU 21/2001 belum mengatur ketentuan mengenai adanya anggota DPRK (kabupaten/kota) yang diangkat dari Orang Asli Papua. Dalam rangka melindungi dan meningkatkan harkat dan martabat Orang Asli Papua, UU 2/2021 sebagai perubahan dari UU 21/2001, menambahkan pasal baru terkait dengan komposisi DPRK yang sebelumnya hanya terdiri atas anggota DPRD kabupaten/kota yang dipilih melalui pemilihan umum, diubah menjadi terdiri atas anggota DPRK yang dipilih melalui pemilihan umum dan yang diangkat dari Orang Asli Papua [vide Penjelasan Umum UU 2/2021]. Dengan demikian, setelah berlakunya UU 2/2021 lembaga perwakilan rakyat daerah di Provinsi Papua, yaitu DPRP di provinsi serta DPRK di kabupaten/kota ditentukan sebanyak ¼ (satu per empat) kali dari jumlah anggota DPRP atau anggota DPRK adalah diangkat dari unsur Orang Asli Papua [vide Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 6A ayat (2) UU 2/2021].
Berkenaan dengan dalil Pemohon mengenai Pasal 6 ayat (1) huruf b, ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 6A ayat (1) huruf b, ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) UU 2/2021, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.13.1.1] Bahwa terhadap dalil Pemohon mengenai Pasal 6 ayat (1) huruf b dan Pasal 6A ayat (1) huruf b UU 2/2021 menurut Pemohon dengan adanya unsur yang diangkat dari Orang Asli Papua dalam lembaga dewan perwakilan rakyat menimbulkan diskriminasi di antara Orang Asli Papua sendiri dalam persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan serta jaminan kepastian bagi semua orang untuk memperoleh kesempatan yang sama. Berkenaan dengan hal ini penting bagi Mahkamah untuk menegaskan terlebih dahulu pertimbangan hukum beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi dalam menguji konstitusionalitas norma Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 116/PUU-VII/2009 yang telah diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 1 Februari 2010, Mahkamah telah memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.16.3] Bahwa pemberian otonomi khusus bagi Provinsi Papua pada dasarnya adalah pendelegasian kewenangan yang lebih luas bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan tersebut berarti pula kewenangan untuk memberdayakan potensi sosial-budaya dan perekonomian masyarakat Papua, termasuk memberikan peran yang memadai bagi masyarakat Papua untuk ikut serta merumuskan kebijakan daerah dan menentukan strategi pembangunan. Salah satu peran serta masyarakat asli Papua dalam merumuskan kebijakan daerah dan menentukan strategi pembangunan terutama dalam bidang sosial politik adalah menjadi anggota DPRP. Sehubungan dengan hal tersebut, Penjelasan Umum UU 21/2001 secara tegas mendorong orang asli Papua untuk terlibat baik dalam pemikiran maupun tindakan bagi kepentingan Provinsi Papua dengan harapan akan terjadi perubahan kualitas orang asli Papua dalam menguasai dan mengelola sumber daya alam, sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Penjelasan Umum UU 21/2001 tersebut dengan tegas menunjukkan adanya kebijakan afirmatif (affirmative action policy) yakni pengistimewaan untuk sementara waktu yang bertujuan memberikan peluang kepada masyarakat asli Papua untuk memiliki wakil di DPRP melalui pengangkatan;
[3.16.4] Bahwa UU 21/2001 sebagai pengejawantahan dari Pasal 18B ayat (1) UUD 1945, di dalamnya memuat pasal-pasal tertentu yang mengatur kekhususan dimaksud. Salah satunya adalah pembentukan DPRP sebagai lembaga perwakilan rakyat dari pemerintahan daerah Papua yang bersifat khusus dan berbeda dengan daerah provinsi lainnya. Kekhususan tersebut, antara lain, adanya sebagian anggota DPRP yang diangkat.
[3.16.5] Bahwa keanggotaan DPRP yang diangkat dengan kuota ditentukan oleh Pasal 6 ayat (4) UU 21/2001 yang menyatakan bahwa jumlah anggota DPRP adalah 1¼ (satu seperempat) kali dari jumlah anggota DPRD Provinsi Papua, adalah bentuk perlakuan khusus yang tidak bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”, merupakan kebijakan afirmatif. Perlakuan khusus seperti itu diterapkan juga untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yaitu diberikannya hak bagi masyarakat Aceh untuk mendirikan partai politik lokal;
Selanjutnya, berkenaan dengan Orang Asli Papua yang diangkat dalam keanggotaan lembaga perwakilan di Papua, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-XVIII/2020 yang telah diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 26 Februari 2020, Mahkamah telah pula memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa dalam Permohonannya, Pemohon mendalilkan, pengangkatan anggota DPRP dan DPRPB yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah merupakan tindakan penyimpangan terhadap demokrasi yang telah dianut dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, menegasikan prinsip kedaulatan rakyat, menciptakan diskriminasi, ketidakadilan, dan berpotensi menimbulkan konflik.
Berkenaan dengan dalil dimaksud, Mahkamah perlu menjelaskan bahwa kata “diangkat” dalam Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001 yang menyatakan, “DPRP terdiri atas anggota yang dipilih dan diangkat berdasarkan peraturan perundang-undangan”, apabila diletakkan dalam status otonomi khusus yang diberikan pada Papua (termasuk Papua Barat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Menjadi Undang-Undang) adalah bagian dari pengakuan negara terhadap bentuk kekhususan daerah ini dalam bingkai NKRI. Pengakuan demikian sesuai dengan Penjelasan Umum UU 21/2001 yang menyatakan:
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan yang lebih luas berarti pula tanggung jawab yang lebih besar bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Provinsi Papua untuk sebesar-besamya bagi kemakmuran rakyat Papua sebagai bagian dari rakyat Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan ini berarti pula kewenangan untuk memberdayakan potensi sosial-budaya dan perekonomian masyarakat Papua, termasuk memberikan peran yang memadai bagi orang-orang asli Papua melalui para wakil adat, agama, dan kaum perempuan. Peran yang dilakukan adalah ikut serta merumuskan kebijakan daerah, menentukan strategi pembangunan dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan masyarakat Papua, melestarikan budaya serta lingkungan alam Papua, yang tercermin melalui perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua, lambang daerah dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah sebagai bentuk aktualisasi jati diri rakyat Papua dan pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat, adat, masyarakat adat, dan hukum adat.
Merujuk Penjelasan Umum dimaksud, pengisian Anggota DPRP melalui mekanisme “pengangkatan” sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001 merupakan bagian dari upaya memberikan peran dan pengakuan yang lebih besar kepada orang asli Papua dalam penyelenggaraan pemerintahan termasuk dalam perumusan kebijakan di lembaga perwakilan, in casu, DPRP dan DPRPB;
Jikalau upaya memberikan peran dan pengakuan lebih besar melalui mekanisme pengangkatan tersebut diubah atau dimaknai “dipilih oleh masyarakat asli Papua”, sebagaimana dimohonkan oleh Pemohon, menurut Mahkamah tidak sejalan dengan semangat otonomi khusus sebagaimana diamanatkan UUD 1945;
Berdasarkan kutipan pertimbangan-pertimbangan hukum tersebut di atas pada pokoknya Mahkamah telah menyatakan pendiriannya bahwa pengaturan mengenai anggota DPRP yang diangkat merupakan pengejawantahan dari Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undangundang”. Salah satu bentuk kekhususan dimaksud adalah adanya keberadaan unsur Orang Asli Papua pada DPRP, sebagai salah satu unsur penyelenggara pemerintahan daerah Papua, yang dilakukan berdasarkan sistem kolektif/kolegial bukan melalui pemilihan umum, sebagaimana kelaziman untuk pengisian lembaga perwakilan rakyat. Hal ini menunjukkan sifat khusus yang berbeda dengan provinsi lainnya. Selain itu, adanya norma pengisian anggota DPRP yang diangkat dimaksudkan sebagai salah satu wujud kebijakan afirmatif (affirmative action policy). Oleh karena itu, ketentuan norma Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 6A ayat (1) UU 2/2021 yang mengatur bahwa DPRP dan DPRK terdiri atas anggota yang: a. dipilih dalam pemilihan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; dan b. diangkat dari unsur Orang Asli Papua, merupakan suatu bentuk kekhususan Provinsi Papua. Adanya ketentuan anggota DPRP/DPRK yang diangkat dari unsur Orang Asli Papua justru memberikan kepastian hukum, dukungan dan sekaligus mengakomodasi representasi Orang Asli Papua di lembaga perwakilan pada tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota, sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 116/PUU-VII/2009 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-XVIII/2020.
Terlebih lagi jika dikaitkan dengan Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf b dan Pasal 6A ayat (1) huruf b UU 2/2021 telah menegaskan bahwa yang dimaksud dengan "dari unsur Orang Asli Papua" adalah perwakilan masyarakat adat di wilayah provinsi atau kabupaten/kota dan tidak sedang menjadi anggota partai politik sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebelum mendaftar sebagai calon anggota DPRP atau DPRK. Dalam hal ini, apabila Mahkamah mengikuti petitum Pemohon yang memohon agar pengangkatan anggota DPRP dan DPRK dihapuskan sehingga anggota DPRP dan DPRK hanya berasal dari hasil pemilihan umum, maka hal demikian justru potensial menghilangkan sifat kekhususan Provinsi Papua yang merupakan salah satu bentuk kebijakan afirmatif dan sekaligus berpotensi mengancam keterwakilan Orang Asli Papua di DPRP dan DPRK. Bahkan lebih dari itu, dengan hilangnya unsur Orang Asli Papua yang diangkat sebagaimana yang dimohonkan Pemohon justru akan meniadakan maksud dan politik hukum perubahan UU 2/2021 yang mempertegas keberpihakan pembentuk undang-undang kepada Orang Asli Papua dalam rangka melindungi dan meningkatkan harkat dan martabatnya. Oleh karena itu, dengan adanya kepastian unsur Orang Asli Papua yang diangkat sebanyak ¼ (satu per empat) kali dari jumlah anggota DPRP atau anggota DPRK dalam lembaga perwakilan pada tingkat provinsi atau kabupaten/kota, dan dengan masa jabatan yang sama dengan anggota DPRP/DPRK yang dipilih yaitu 5 (lima) tahun akan memberikan keadilan dan kepastian bagi mereka dalam menjalankan peran merumuskan berbagai kebijakan daerah dan menentukan strategi pembangunan, terutama dalam bidang sosial politik dan budaya. Oleh karenanya, menurut Mahkamah adanya unsur Orang Asli Papua yang diangkat tersebut merupakan salah satu wujud dari kebijakan afirmatif yang merupakan bentuk perlakuan khusus yang sesuai dan tidak bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945.
[3.13.1.2] Bahwa dengan telah dinyatakannya ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf b dan Pasal 6A ayat (1) huruf b UU 2/2021 tidak bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, dalam batas penalaran yang wajar, oleh karena norma Pasal a quo memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan Pasal 6 ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 6A ayat (2) dan ayat (3) UU 2/2021, maka menurut Mahkamah dalil Pemohon mengenai Pasal 6 ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 6A ayat (2) dan ayat (3) UU 2/2021 karena substansinya memiliki kesamaan sehingga tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan lebih lanjut. Oleh karenanya, dalil Pemohon berkaitan dengan Pasal 6 ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 6A ayat (2) dan ayat (3) UU 2/2021 tidak terdapat adanya pertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945.
[3.11.2] Bahwa selanjutnya berkenaan dengan dalil para Pemohon mengenai pengujian norma Pasal 68A ayat (1) dan ayat (2) UU 2/2021, khususnya terkait dengan pengujian norma Pasal 68A ayat (2) UU 2/2021, telah diputus oleh Mahkamah dalam Perkara Nomor 47/PUU-XIX/2021. Oleh karena pengujian terhadap norma Pasal 68A ayat (2) UU 2/2021 berkaitan erat dengan norma Pasal 68A ayat (1) yang mengatur mengenai pembentukan badan khusus maka menurut Mahkamah pertimbangan hukum terhadap pengujian norma Pasal 68A ayat (2) UU 2/2021 dalam Perkara Nomor 47/PUU-XIX/2021 juga sekaligus memuat pertimbangan hukum terhadap ketentuan norma Pasal 68A ayat (1) UU 2/2021, yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut:
[3.13.5] Bahwa Pemohon mendalilkan norma Pasal 68A ayat (2) UU 2/2021 dalam hal pembentukan badan khusus yang diketuai oleh Wakil Presiden menyebabkan ketidakpastian hukum, bertentangan dengan prinsip desentralisasi, pembagian kekuasaan, kekhususan dan keragaman daerah, serta prinsip negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus berdasarkan UUD 1945.
Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan bahwa pembentukan badan khusus bertujuan untuk melakukan sinkronisasi, harmonisasi, evaluasi, dan koordinasi pelaksanaan Otonomi Khusus dan pembangunan di wilayah Papua sebagai upaya meningkatkan efektivitas dan efisiensi pembangunan di Papua [vide Pasal 68A ayat (1) dan Penjelasan Umum UU 2/2021]. Badan khusus tersebut terdiri atas seorang ketua dan beberapa orang anggota dengan susunan yaitu: a. Wakil Presiden sebagai ketua; b. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional, dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan sebagai anggota; dan c. 1 (satu) orang perwakilan dari setiap provinsi di Provinsi Papua sebagai anggota. Adanya komposisi perwakilan dari provinsi Papua dapat dipahami sebagai upaya membuka saluran aspirasi terhadap kinerja badan khusus di Papua. Bahkan untuk menjamin independensi atas keterlibatan langsung masyarakat Papua terlihat karena yang dimaksud dengan "perwakilan" dari setiap provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68A ayat (2) huruf c UU 2/2021 adalah mereka yang tidak boleh berasal dari pejabat pemerintahan, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, DPRP, MRP, DPRK, dan anggota partai politik [vide Penjelasan Pasal 68A ayat (2) huruf c UU 2/2021].
Adapun maksud pembentukan badan khusus adalah untuk mempercepat pembangunan kesejahteraan dan peningkatan kualitas pelayanan publik serta kesinambungan dan keberlanjutan pembangunan di wilayah Papua agar sejalan dengan tujuan diberikannya otonomi khusus [vide konsiderans Menimbang huruf a UU 2/2021]. Oleh karena itu, badan khusus tersebut bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden. Tanggung jawab langsung kepada Presiden ini sejalan dengan kedudukan Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan berdasarkan Pasal 4 UUD 1945. Dalam konteks itu, menurut Mahkamah, penunjukkan Wakil Presiden sebagai Ketua “badan khusus” tersebut justru membuktikan perhatian dari pemerintah pusat dalam upaya akselerasi perwujudan otonomi khusus Papua, dengan tetap memerhatikan aspirasi masyarakat Papua. Sebab, komposisi dan susunan “badan khusus” yang dimaksudkan dalam Pasal 68A ayat (2) UU 2/2021 tetap sejalan dengan esensi sistem desentralisasi karena mengakomodasi kepentingan masyarakat Orang Asli Papua dalam bingkai NKRI.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil Pemohon ihwal norma Pasal 68A ayat (2) UU 2/2021 menimbulkan ketidakpastian hukum, bertentangan dengan prinsip desentralisasi, pembagian kekuasaan, kekhususan dan keragaman daerah, serta prinsip negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus berdasarkan Pasal 18B UUD 1945, adalah tidak beralasan menurut hukum.
Berdasarkan kutipan pertimbangan hukum tersebut di atas, terhadap permohonan pengujian norma Pasal 68A ayat (1) UU 2/2021 telah ternyata justru memberi dorongan percepatan pembahasan otonomi khusus Papua untuk peningkatan efektifitas dan efisiensi pembangunan di Papua, sehingga perlu dilakukan sinkronisasi, harmonisasi, evaluasi dan koordinasi pelaksanaan otonomi khusus agar sejalan dengan tujuan diberikannya otonomi khusus bagi Papua. Oleh karena itu, tidak terdapat eliminasi prinsip otonomi daerah, serta tidak terdapat pula pertentangan dengan asas desentralisasi dan tugas pembantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), ayat (2), dan ayat (5) UUD 1945. Dengan demikian, dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
[3.11.3] Bahwa selanjutnya terhadap dalil para Pemohon terkait pengujian ketentuan Pasal 76 ayat (2) dan ayat (3) UU 2/2021, ketentuan a quo telah diputus oleh Mahkamah dalam Perkara Nomor 47/PUU-XIX/2021, yang pada pokoknya sebagai berikut:
[3.13.6] Bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 76 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU 2/2021 telah mematikan dan mengebiri kewenangan MRP sebagai representatif kultural orang asli Papua dalam memberikan persetujuan pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota. Menurut Pemohon, Pasal 76 ayat (1) UU 2/2021 seharusnya dimaknai “Pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota menjadi provinsi-provinsi dan kabupaten/kota hanya dapat dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP”. Selain itu, frasa “tanpa dilakukan melalui tahapan daerah persiapan” dalam Pasal 76 ayat (3) UU 2/2021 seharusnya dimaknai “wajib dilakukan melalui tahapan daerah persiapan”.
Terhadap dalil Pemohon mengenai Pasal 76 ayat (1) dan ayat (2) UU 2/2021, Mahkamah menilai bahwa salah satu tujuan dari perubahan dalam UU 2/2021 diarahkan untuk mengurangi kesenjangan antarwilayah di Papua dengan menggunakan pendekatan penataan daerah yang bottom up dan top down dengan tetap mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi dan efisiensi [vide Penjelasan Umum UU 2/2021]. Penerapan pendekatan bottom up dan top down oleh pembentuk undang-undang perlu dilihat sebagai bentuk pilihan kebijakan dalam menjaga perpaduan yang seimbang dan proporsional antara peran pemerintah pusat dan pemerintahan daerah dalam menentukan kebijakan penataan daerah tertentu dengan tetap menjaga kepentingan nasional sebagai negara kesatuan, sepanjang hal tersebut juga tidak mengabaikan perlindungan Orang Asli Papua. Terlebih lagi, pengakuan terhadap satuan-satuan pemerintahan yang bersifat khusus dan istimewa sebagai bagian cara untuk mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat adat serta hak-hak tradisionalnya diatur dalam undang-undang [vide Pasal 18B UUD 1945].
Adapun terhadap dalil Pemohon yang memohonkan rumusan “hanya dapat” dalam Pasal 76 ayat (1) UU 2/2021, Mahkamah mempertimbangkan bahwa secara doktriner isi kaedah hukum pada prinsipnya meliputi gebod (suruhan) yaitu kaedah yang berisi suruhan atau kewajiban untuk berbuat sesuatu; verbod (larangan) yaitu kaedah yang berisi larangan melakukan sesuatu; serta mogen (kebolehan) yaitu kaedah yang berisi kebolehan yang artinya sesuatu boleh dilakukan dan boleh tidak dilakukan. Sementara itu, dari sifat kaedah hukum dikenal adanya kaedah imperatif yaitu bersifat memaksa (gebod dan verbod), serta kaedah fakultatif yaitu bersifat kebolehan dan tidak harus dilakukan (mogen). Sementara itu, dalil dan petitum Pemohon yang memohon agar rumusan “dapat” dimaknai menjadi “hanya dapat” dalam Pasal 76 ayat (1), menurut Mahkamah, justru menimbulkan ketidakjelasan makna yang termuat dalam pasal a quo yaitu antara imperatif ataukah fakultatif, karena kata “hanya” adalah bersifat memaksa sedangkan kata “dapat” adalah bersifat kebolehan. Jika menggunakan frasa “hanya dapat” maka rumusan kaedah tersebut menjadi tidak lazim dalam penyusunan kaedah norma (penormaan) peraturan perundang-undangan. Penggunaan kata “dapat” tersebut justru memiliki kejelasan maksud, yakni hendak menyatakan adanya sifat diskresioner dari suatu kewenangan yang diberikan kepada lembaga [vide Lampiran II angka 267 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, selanjutnya disebut UU 12/2011]. Dengan rumusan kata “dapat” bagi MRP dalam memberikan persetujuan pemekaran daerah, tidak menyebabkan kewenangan MRP sebagaimana diatur dalam UU 2/2021 menjadi terhalangi atau terkurangi.
Lebih lanjut, Pemohon juga mempersoalkan frasa “tanpa dilakukan melalui tahapan daerah persiapan” dalam norma Pasal 76 ayat (3) UU 2/2021, menurut Pemohon inkonstitusional jika tidak dimaknai “wajib dilakukan melalui tahapan daerah persiapan”. Dalam kaitan dengan dalil Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah mempertimbangkan terlebih dahulu desain usulan atau prakarsa pemekaran Papua menjadi daerah otonom yang ditentukan dalam UU 2/2021, yaitu: (1) pemekaran sebagai usulan pemerintah daerah [vide Pasal 76 ayat (1) UU 2/2021] dan (2) pemekaran sebagai prakarsa pemerintah pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) [vide Pasal 76 ayat (2) UU 2/2021]. Jika usulan tersebut berasal dari pemerintah daerah untuk memekarkan provinsi dan kabupaten/kota menjadi provinsi-provinsi dan kabupaten/kota dapat dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP. Dalam hal ini, peran daerah terkait dengan pembentukan daerah persiapan tidaklah dihilangkan sama sekali sepanjang usulan pemekaran tersebut dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP, karena hal demikian sesuai dengan UU 23/2014. Berkenaan dengan hal tersebut, Mahkamah perlu menegaskan, sekalipun pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota yang berasal dari prakarsa Pemerintah dan DPR dilakukan tanpa melalui tahapan pembentukan daerah persiapan namun tetap harus dilakukan kajian yang mendalam dan komprehensif. Dalam hal ini, pemekaran daerah harus tetap memperhatikan aspek politik, administratif, hukum, kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia, infrastruktur dasar, kemampuan ekonomi, perkembangan di masa yang akan datang, dan/atau aspirasi masyarakat Papua [vide Pasal 76 ayat (2) UU 2/2021]. Dengan demikian, pemekaran daerah sekalipun dilakukan atas prakarsa Pemerintah dan DPR tetap dapat menjamin adanya ruang bagi Orang Asli Papua dalam melakukan aktivitas politik, pemerintahan, perekonomian, dan sosial-budaya.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil Pemohon ihwal norma Pasal 76 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU 2/2021 telah mematikan dan mengebiri kewenangan MRP telah ternyata tidak bertentangan dengan Pasal 18B UUD 1945 sehingga dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.12] Menimbang bahwa dengan mengutip pertimbangan hukum di atas, oleh karena substansi norma Pasal 6 ayat (1) huruf b, Pasal 6A ayat (1) huruf b, Pasal 68A ayat (2), serta Pasal 76 ayat (2) dan ayat (3) UU 2/2021 yang dipersoalkan oleh para Pemohon pada hakikat/esensinya sama dengan apa yang telah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 47/PUU-XIX/2021. Oleh karena itu, pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 47/PUU-XIX/2021 mutatis mutandis berlaku terhadap pertimbangan hukum permohonan a quo. Dengan demikian, berkenaan dengan norma Pasal 6 ayat (1) huruf b, Pasal 6A ayat (1) huruf b, Pasal 68A ayat (2), serta Pasal 76 ayat (2) dan ayat (3) UU 2/2021 yang dinilai inkonstitusional oleh para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.13] Menimbang bahwa berkenaan dengan dalil para Pemohon berkaitan dengan Pasal 75 ayat (4) UU 2/2021 perihal Perdasus dan Perdasi yang dapat diambil alih oleh Pemerintah telah mengabaikan semangat dari pembentukan UU 2/2021 dan menunjukkan pula otonomi khusus yang diberikan kepada Provinsi Papua merupakan hal yang semu karena Pemerintah berkeinginan mengontrol kehidupan rakyat di Provinsi Papua secara sentralistik. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan terlebih dahulu esensi yang terkait dengan ketentuan pasal a quo yang merupakan bagian dari BAB XXIII tentang KETENTUAN PERALIHAN yang menghendaki agar Perdasus dan Perdasi untuk melaksanakan ketentuan dalam UU 2/2021 harus ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak UU 2/2021 diundangkan [vide Pasal 75 ayat (3) UU 2/2021]. Dalam hal, Perdasus dan Perdasi tidak diundangkan setelah melewati jangka waktu yang telah ditentukan tersebut, yaitu paling lambat 1 (satu) tahun sejak UU 2/2021 diundangkan, pada 19 Juli 2022 maka berlaku ketentuan dalam Pasal 75 ayat (4) UU 2/2021 bahwa Pemerintah dapat mengambil alih pelaksanaan kewenangan yang telah ditentukan dalam Perdasus dan Perdasi. Dilakukannya pengambilalihan tersebut karena mengingat penting dan strategisnya kewenangan yang harus diatur dalam Perdasus dan Perdasi bagi pelaksanaan Otonomi Khusus Papua. Sebagaimana dapat terlihat dari kewenangan yang harus diatur dalam Perdasus yang meliputi: (1) pengaturan tata cara pemberian pertimbangan oleh Gubernur mengenai Perjanjian internasional yang dibuat oleh Pemerintah yang hanya terkait dengan kepentingan Provinsi Papua [vide Pasal 4 ayat (8) UU 2/2021]; (2) pengaturan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang MRP [vide Pasal 20 ayat (2) UU 2/2021]; (3) pengaturan mengenai sumber-sumber penerimaan provinsi dan kabupaten/kota di Provinsi Papua yang merupakan pembagian Dana Perimbangan bagi hasil sumber daya alam dan penerimaan provinsi dan Kabupaten/kota dalam rangka Otonomi Khusus sektor pertambangan minyak bumi sebesar 70% (tujuh puluh persen) dan dari pertambangan gas alam sebesar 70% (tujuh puluh persen). Di mana pembagiannya harus diatur secara adil, transparan, dan berimbang dengan Perdasus dengan memberikan perhatian khusus pada daerah-daerah yang tertinggal dan Orang Asli Papua [vide Pasal 34 ayat (7) UU 2/2021]; (4) pengaturan mengenai usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua yang memanfaatkan sumber daya alam yang dilakukan dengan tetap menghormati hakhak masyarakat adat, memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha, serta prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, dan pembangunan yang berkelanjutan [vide Pasal 38 ayat (2) UU 2/2021]. Sementara itu, untuk materi muatan yang diatur dalam Perdasi meliputi perubahan dan perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Provinsi Papua dan tata cara penyusunan dan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi, perubahan dan perhitungannya, serta pertanggungjawaban dan pengawasannya [vide Pasal 36 UU 2/2021]. Pada pokoknya, hal-hal yang diatur dalam Perdasus dan Perdasi tersebut merupakan bagian yang tidak terlepaskan dari diberikannya otonomi khusus bagi Provinsi Papua. Oleh karena itu, jika tidak terdapat kepastian hukum atas pengaturan lebih lanjut dari UU 2/2021 dalam Perdasus dan Perdasi dalam batas waktu yang telah ditentukan maka Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan sesuai dengan amanat Pasal 4 UUD 1945 berkewajiban untuk menentukan lebih lanjut hal yang seharusnya dilakukan dalam pelaksanaan Otonomi Khusus di Provinsi Papua dalam sistem NKRI. Terlebih lagi, norma yang dipersoalkan konstitusionalitasnya oleh para Pemohon berkaitan dengan esensi Ketentuan Peralihan yang bertujuan antara lain memberikan kepastian hukum dan menghindari terjadinya kekosongan hukum [vide Lampiran II angka 127 huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan]. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan ketentuan peralihan tersebut maka jika dalam batas waktu yang telah ditentukan (paling lambat 1 tahun) Perdasus dan Perdasi tidak diundangkan maka kewenangan yang seharusnya diatur dalam Perdasus dan Perdasi diambil alih oleh Pemerintah untuk segera diatur sehingga kekhususan yang diberikan kepada Provinsi Papua dapat direalisasikan sesuai dengan maksud dan tujuan ditetapkannya Otonomi Khusus dalam UU 21/2001 dan UU 2/2021. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa norma Pasal 75 ayat (4) UU 2/2021 menimbulkan otonomi khusus yang bersifat semu, karena Pemerintah berkeinginan mengontrol kehidupan rakyat di Provinsi Papua secara sentralistik bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.14] Menimbang bahwa, setelah Mahkamah mempertimbangkan pokok permohonan para Pemohon sebagaimana tersebut di atas, Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon dalam permohonan pengujian norma Pasal 75 ayat (4) serta Pasal 76 ayat (2) dan ayat (3) UU 2/2021, sebagai berikut: a. Bahwa Pasal 75 ayat (4) UU 2/2021 merupakan ketentuan yang mengatur mengenai pengundangan Perdasi dan Perdasus dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak UU 2/2021 diundangkan, jika tidak dilakukan maka Pemerintah dapat mengambil alih pelaksanaan kewenangan tersebut. Hal demikian tidak berkaitan secara langsung dengan para Pemohon sebagai perorangan warga negara Indonesia dan merupakan Orang Asli Papua, pihak yang berkaitan langsung dengan penyusunan Perdasus dan Perdasi adalah MRP, DPRP, DPRK, dan Gubernur. Apalagi dalam permohonannya, para Pemohon hanya menitikberatkan pada ketentuan norma Pasal 75 ayat (4) a quo, yang menurut para Pemohon membuka celah sistem desentralisasi menjadi sistem sentralistik karena adanya pengambilalihan kewenangan oleh Pemerintah Pusat dalam membentuk Perdasus dan Perdasi, namun para Pemohon tidak dapat menjelaskan anggapan kerugian hak konstitusional tersebut baik yang bersifat aktual, spesifik atau bersifat potensial serta adanya hubungan sebabakibat (causal verband) antara anggapan kerugian hak konstitusional para Pemohon dengan berlakunya norma yang dimohonkan pengujian. b. Bahwa Pasal 76 ayat (2) dan ayat (3) UU 2/2021 adalah ketentuan yang mengatur mengenai pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota di Papua, di mana persetujuan pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota tidak hanya diberikan oleh MRP saja melainkan persetujuan bersama-sama dengan DPRP. Dengan demikian, jika para Pemohon mengajukan permohonan pengujian Pasal 76 ayat (2) dan ayat (3) UU 2/2021 maka para Pemohon harus merupakan anggota MRP atau DPRP, karena yang berhak mengajukan adalah MRP bersama-sama dengan DPRP. Selain itu, para Pemohon juga tidak dapat menjelaskan anggapan kerugian hak konstitusional tersebut baik yang bersifat aktual, spesifik atau bersifat potensial serta hubungan sebab-akibat (causal verband) antara anggapan kerugian hak konstitusional para Pemohon dengan berlakunya norma yang dimohonkan pengujian.
[3.15] Menimbang bahwa terhadap kedudukan hukum para Pemohon dalam permohonan pengujian Pasal 75 ayat (4) serta Pasal 76 ayat (2) dan ayat (3) UU 2/2021, setelah Mahkamah mempertimbangkan pokok permohonan, telah ternyata substansi dari permohonan para Pemohon tersebut juga telah berkenaan dengan kepentingan pemerintah daerah, oleh karena itu pengajuan permohonan pengujian terhadap pasal-pasal a quo tidak dapat hanya diajukan oleh para Pemohon sebagai perorangan warga negara Indonesia. Terlebih, para Pemohon tidak dapat menjelaskan anggapan kerugian hak konstitusional tersebut baik yang bersifat aktual, spesifik atau setidak-tidaknya potensial serta adanya hubungan sebabakibat (causal verband) antara anggapan kerugian hak konstitusional para Pemohon dengan berlakunya norma pasal-pasal yang dimohonkan pengujian. Oleh karenanya terhadap permohonan pengujian norma Pasal 75 ayat (4) serta Pasal 76 ayat (2) dan ayat (3) UU 2/2021 adalah tidak memenuhi persyaratan untuk dapat diberikan kedudukan hukum sehingga Mahkamah berpendapat para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam pengujian pasal-pasal a quo. Bahwa andaipun para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian norma Pasal 75 ayat (4) serta Pasal 76 ayat (2) dan ayat (3) UU 2/2021, quod non, dalil permohonan para Pemohon mengenai pasal-pasal a quo tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya, sebagaimana telah dipertimbangkan oleh Mahkamah pada bagian pertimbangan hukum pokok permohonan dalam Paragraf [3.13] dan Sub-paragraf [3.11.3].
[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat norma Pasal 6 ayat (1) huruf b, Pasal 6A ayat (1) huruf b, Pasal 68A ayat (1) dan ayat (2), Pasal 75 ayat (4) serta Pasal 76 ayat (2) dan ayat (3) UU 2/2021, telah ternyata tidak menimbulkan ketidakadilan, ketidakpastian hukum, dan diskriminasi yang dijamin dalam UUD 1945 sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon. Dengan demikian, permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya dan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum pula untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 75 ayat (4) serta Pasal 76 ayat (2) dan ayat (3) UU 2/2021.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Menolak Permohonan Pemohon Untuk Seluruhnya Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 64/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-08-2022

Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang diwakili oleh Giring Ganesha Djumaryo selaku Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia dan Dea Tunggaesti selaku Sekretaris Jenderal Partai Solidaritas Indonesia dalam hal ini memberikan kuasa kepada Rian Ernest Tanudjaja, S.H., M.P.A., dkk. Yang tergabung dalam Lembaga Bantuan Hukum (LBH) PSI, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu dan Putusan Nomor 55/PUU-XVIII/2020

Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3) dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 64/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu dan Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 55/PUU-XVIII/2020 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.11] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon berdasarkan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021 dapat diajukan kembali, Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon lebih lanjut.
[3.12] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan Pemohon beserta bukti-bukti yang diajukan, terhadap permohonan Pemohon a quo Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa persoalan konstitusional dalam permohonan a quo adalah adanya pembedaan perlakuan terkait dengan verifikasi partai politik, khususnya verifikasi secara faktual yaitu antara partai politik yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 dan lolos/memenuhi ketentuan parliamentary threshold pada Pemilu 2019 dengan Pemohon yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 namun tidak lolos/memenuhi ketentuan parliamentary threshold pada Pemilu 2019 ataupun dengan partai politik baru.
[3.12.2] Bahwa berkaitan dengan persoalan konstitusional dimaksud dalam permohonan a quo, Mahkamah telah menyatakan pendiriannya terkait verifikasi partai politik peserta Pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 yang telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020, yang pada pokoknya sebagai berikut:
[3.13] Menimbang bahwa permohonan Pemohon berkenaan dengan Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 yang menyatakan,“Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang telah ditetapkan/lulus verifikasi oleh KPU”, yang kemudian ketentuan tersebut sepanjang frasa “telah ditetapkan/” telah dinyatakan bertentangan dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017, bertanggal 11 Januari 2018. Dengan demikian bunyi ketentuan Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 tersebut menjadi, ”Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang lulus verifikasi oleh KPU.” Selain itu, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUUXV/2017, Mahkamah juga membatalkan keberlakuan Pasal 173 ayat (3) UU 7/2017 yang menyatakan, ”Partai politik yang telah lulus verifikasi dengan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diverifikasi ulang dan ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu”. Pembatalan keberlakuan Pasal 173 ayat (3) UU 7/2017 berdampak pada penyamarataan terhadap semua partai politik untuk dilakukan verifikasi dalam Pemilu serentak 2019 dan partai politik yang lolos verifikasi memiliki hak konstitusional sebagai peserta Pemilu.
[3.14] Menimbang bahwa dalam perkembangannya pasca Pemilu serentak 2019, Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 ini dimohonkan kembali pengujiannya oleh Pemohon (Partai Garuda) melalui Perkara Nomor 55/PUU-XVIII/2020 yang pada petitumnya Pemohon meminta kepada Mahkamah agar Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 dinyatakan inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) sepanjang tidak dimaknai “Partai yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 tidak diverifikasi kembali untuk Pemilu selanjutnya”. Artinya, Pemohon meminta kepada Mahkamah agar pada Pemilu serentak 2024, terhadap partai politik peserta Pemilu 2019 tidak perlu lagi dilakukan verifikasi ulang.
[3.15] Menimbang bahwa posisi Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012, bertanggal 29 Agustus 2012 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017, bertanggal 11 Januari 2018 terkait dengan verifikasi partai politik sudah sangat jelas, yakni semua partai politik diharuskan mengikuti verifikasi untuk menjadi peserta Pemilu selanjutnya. Hal ini dilakukan untuk menghindari pemberlakuan syarat yang berbeda (unequal treatment) kepada peserta suatu kontestasi (pemilihan umum) yang sama. Posisi dan standing Mahkamah dalam memberlakukan ketentuan terkait kewajiban verifikasi terhadap semua partai politik, baik yang telah lolos ketentuan parliamentary threshold maupun yang tidak lolos ketentuan ini, tetapi telah menjadi peserta Pemilu pada Pemilu sebelumnya dengan partai politik baru yang akan mengikuti Pemilu selanjutnya merupakan upaya untuk menegakkan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) akan tetapi cenderung abai pada penegakan prinsip keadilan karena memandang sama terhadap sesuatu yang seharusnya diperlakukan secara berbeda.
[3.16] Menimbang bahwa pada prinsipnya, verifikasi terhadap partai politik untuk menjadi peserta Pemilu menjadi bagian yang sangat penting dan strategis. Sebab, partai politik merupakan manifestasi perwujudan aspirasi rakyat. Melalui partai politik ini lah rakyat menyalurkan aspirasinya. Hal ini merupakan suatu hal yang wajar dalam sebuah negara yang menganut sistem demokrasi perwakilan seperti hal nya Indonesia. Namun demikian, tidak semua partai politik dapat menjadi peserta Pemilu. Hanya partai politik yang memenuhi syarat lah yang memiliki kesempatan menjadi peserta Pemilu. Di dalam Pasal 173 ayat (2) UU 7/2017, partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai Politik;
b. Memiliki kepengurusan di seluruh provinsi;
c. Memiliki kepengurusan di 75% (tujuh puluh lima persen) jumlah kabupaten/kota di Proivinsi yang bersangkutan;
d. Memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan;
e. Menyertakan paling sedikit 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat;
f. Memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud pada huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota;
g. Mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu;
h. Mengajukan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik kepada KPU; dan
i. Menyerahkan nomor rekening dana Kampanye Pemilu atas nama partai politik kepada KPU.
[3.17] Menimbang bahwa persyaratan untuk menjadi partai politik peserta Pemilu sebagaimana diuraikan di atas, merupakan ujian yang cukup berat. Sebab, partai politik peserta Pemilu merefleksikan aspirasi rakyat dalam skala besar dan bersifat nasional (terkecuali partai politik lokal di Provinsi Aceh). Oleh karena itu, struktur kepengurusan partai politik harus berada di seluruh provinsi (skala nasional), memiliki kepengurusan di 75% jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan, memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan, mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu dan persyaratan lainnya. Tantangannya tidak selesai sampai di situ, setelah menjadi peserta Pemilu pada Pemilu serentak 2019, ada partai politik yang lolos Parliamentary Threshold sehingga memiliki wakil di DPR dan ada pula partai politik yang tidak lolos parliamentary threshold sehingga tidak memiliki wakil di DPR, tetapi boleh jadi memiliki wakil di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan ada pula partai politik peserta Pemilu yang tidak memiliki wakilnya baik di tingkat DPR maupun di tingkat DPRD Prov/Kabupaten/Kota. Melihat dinamika dan perkembangan capaian perolehan suara dan tingkat keterwakilan suatu partai politik pada suatu kontestasi Pemilu, maka pertanyaannya adalah apakah adil ketiga varian capaian perolehan suara dan tingkat keterwakilan suatu partai politik disamakan dengan partai politik baru yang akan menjadi peserta Pemilu pada “verifikasi” kontestasi Pemilu selanjutnya? Dalam perspektif keadilan, hal ini tidak dapat dikatakan adil karena esensi keadilan adalah memperlakukan sama terhadap sesuatu yang seharusnya diperlakukan sama dan memperlakukan berbeda terhadap sesuatu yang seharusnya diperlakukan berbeda. Memperlakukan verifikasi secara sama terhadap semua partai politik peserta Pemilu, baik partai politik peserta Pemilu pada Pemilu sebelumnya maupun partai politik baru merupakan suatu ketidakadilan. Oleh karena itu, terhadap partai politik yang lolos/memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold tetap diverifikasi secara adimistrasi namun tidak diverifikasi secara faktual, adapun partai politik yang tidak lolos/tidak memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold, partai politik yang hanya memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan partai politik yang tidak memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, diharuskan dilakukan verifikasi kembali secara administrasi dan secara faktual hal tersebut sama dengan ketentuan yang berlaku terhadap partai politik baru. Dengan demikian Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 yang menyatakan,”Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang lulus verifikasi oleh KPU” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Partai Politik yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 dan lolos/memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold pada Pemilu 2019 tetap diverifikasi secara administrasi namun tidak diverifikasi secara faktual, adapun partai politik yang tidak lolos/tidak memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold, partai politik yang hanya memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan partai politik yang tidak memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, diharuskan dilakukan verifikasi kembali secara administrasi dan secara faktual, hal tersebut sama dengan ketentuan yang berlaku terhadap partai politik baru”. Dengan demikian berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.12.3] Bahwa terhadap pertimbangan hukum yang dijadikan dasar dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020 sebagaimana diuraikan pada Sub-paragraf [3.12.2] di atas, terdapat 3 (tiga) orang Hakim Konstitusi yang mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni Hakim Konstitusi Saldi Isra, Hakim Konstitusi Suhartoyo, dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih. Selanjutnya, ketiga hakim konstitusi tersebut juga mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam putusan a quo. Namun demikian, terlepas dari adanya pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020 dan pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam putusan a quo, Mahkamah berpendirian bahwa terhadap Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 yang menyatakan,”Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang lulus verifikasi oleh KPU” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Partai Politik yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 dan lolos/memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold pada Pemilu 2019 tetap diverifikasi secara administrasi namun tidak diverifikasi secara faktual, adapun partai politik yang tidak lolos/tidak memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold, partai politik yang hanya memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan partai politik yang tidak memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, diharuskan dilakukan verifikasi kembali secara administrasi dan secara faktual, hal tersebut sama dengan ketentuan yang berlaku terhadap partai politik baru”.
[3.13] Menimbang bahwa dengan mengutip pertimbangan hukum di atas, oleh karena substansi yang dipersoalkan oleh Pemohon pada hakikatnya sama dengan apa yang telah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020, meskipun dengan dasar pengujian serta alasan konstitusional yang berbeda, namun esensi dan hakikat yang dimohonkan dalam perkara a quo adalah sama dengan perkara terdahulu yakni mempersoalkan mengenai verifikasi partai politik, baik secara administrasi maupun secara faktual. Dengan demikian, pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020 tersebut mutatis mutandis berlaku dalam pertimbangan hukum Putusan a quo.

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Adapun terhadap hal-hal lain dari permohonan Pemohon yang dipandang tidak relevan tidak dipertimbangkan lebih lanjut oleh Mahkamah.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Diterima Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 65/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2008 TENTANG PERBANKAN SYARIAH TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-08-2022

Rega Felix (advokat) untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 1 angka 12 dan Pasal 26 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU 21/2008

Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2) dan ayat (4), dan Pasal 28I ayat (5) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian pasal-pasal a quo UU 21/2008 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.13] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan perihal dalil Pemohon berkenaan dengan: (a) konsep hak milik menjadi sangat penting dalam menentukan keabsahan suatu transaksi di perbankan syariah, (b) UU 21/2008 tidak mengatur terkait hak milik padahal dalam pelaksanaan transaksi perbankan syariah sering terjadi perpindahan hak milik, dan (c) pengaturan terkait hak milik sudah seharusnya menjadi materi muatan yang terdapat dalam UU 21/2008, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan isu konstitusionalitas yang dipersoalkan oleh Pemohon yaitu norma Pasal 1 angka 12 dan Pasal 26 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 21/2008. Sebagaimana didalilkan Pemohon, Pasal 1 angka 12 UU 21/2008 sepanjang frasa “berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah” adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “yang ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia atau Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan kewenangannya”, norma Pasal 26 ayat (1) UU 21/2008 sepanjang frasa “prinsip syariah” adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “prinsip syariah yang ditetapkan oleh Bank Indonesia atau Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan kewenangannya”, norma Pasal 26 ayat (2) UU 21/2008 sepanjang frasa “Prinsip Syariah sebagaimana pada ayat (1) difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia” adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Bank Indonesia atau Otoritas Jasa Keuangan dalam menetapkan prinsip syariah memperhatikan fatwa yang ditetapkan Majelis Ulama Indonesia dan/atau lembaga lain yang berwenang menetapkan fatwa” dan norma Pasal 26 ayat (3) UU 21/2008 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
Bahwa sebelum mempertimbangkan lebih jauh isu konstitusionalitas yang berkenaan dengan norma Pasal 1 angka 12 dan Pasal 26 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 21/2008, terlebih dahulu perlu dipertimbangkan beberapa hal sebagai berikut. Pertama, ihwal keberadaan perbankan syariah yang diatur dalam UU 21/2008. Dalam hal ini, diadopsinya pengaturan perbankan syariah dalam sistem hukum, in casu dalam sistem perbankan Indonesia, tidak dapat dilepaskan dari fakta empirik tingginya kebutuhan sebagian masyarakat Indonesia terhadap jasa perbankan syariah. Sebagai sebuah entitas perbankan yang didesain berbeda dengan bank-bank lain yang telah lama dikenal, keberadaan perbankan syariah memiliki sejumlah perbedaan atau kekhususan dibanding dengan perbankan konvensional. Salah satu bentuk kekhususan perbankan syariah dimaksud adalah keharusan proses perbankan tunduk pada sistem syariah Islam. Adapun mengenai penentuan standar syariah dalam usaha perbankan tersebut bukanlah otoritas perbankan, melainkan otoritas agama;
Bahwa penempatan urusan penentuan prinsip syariah sebagai otoritas agama tidak terlepas dari ketentuan konstitusi, dalam hal ini norma Pasal 29 UUD 1945. Dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa negara menjamin tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya. Sesuai dengan ketentuan Pasal 29 UUD 1945, seluruh umat beragama, termasuk umat Islam berhak menjalankan agama dan beribadah menurut agamanya. Dalam kaitannya dengan bank syariah, bagi umat Islam, menjalankan aktivitas perbankan sesuai dengan syariat agama tentu menjadi bagian dari cara menjalankan kehidupan dalam bidang ekonomi sesuai dengan agama yang diyakininya. Sehubungan dengan hal itu, pada saat pembentuk undang-undang memfasilitasi kebutuhan demikian dengan cara menyediakan bank syariah, maka hal-hal yang berkaitan dengan penentuan prinsip syariah dalam penyelenggaraan perbankan tentunya harus tetap diserahkan kepada pemegang otoritas agama Islam, bukan sebaliknya diambil alih oleh negara melalui organ yang diberi kewenangan menyelenggarakan perbankan. Sebab, prinsip syariah dimaksud terkait dengan prinsip hukum Islam yang penetapannya hanya boleh dilakukan oleh ulama yang memiliki kapasitas, dan bukan oleh pengelola perbankan yang memiliki kewenangan, “kapasitas”, dan pengetahuan terbatas di bidang syariah;
Kedua, konstruksi norma Pasal 26 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 21/2008 mengandung dua materi muatan utama, yaitu: penentuan substansi prinsip syariah, dan berkenaan dengan bentuk hukum penuangan prinsip syariah dalam peraturan perundang-undangan. Berkenaan dengan kedua hal tersebut, penentuan substansi prinsip syariah ditempatkan sebagai kewenangan MUI, sedangkan penuangan prinsip syariah ke dalam peraturan perundang-undangan ditempatkan sebagai wewenang BI/OJK. Secara doktriner, substansi peraturan perundanganundangan, yang disebut dengan sumber hukum dalam pengertian materiil, dapat berasal dari berbagai sumber seperti dari hukum-hukum agama, hukum adat dan lain-lain. Meskipun dapat berasal dari berbagai sumber materiil, ketika dituangkan ke dalam bentuk peraturan perundang-undangan, materi tersebut hanya dapat dituangkan oleh lembaga yang secara eksplisit diperintahkan suatu peraturan perundang-undangan atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Masalahnya, ketika pembentuk undang-undang, in casu pembentuk UU 21/2008 menyerahkan otoritas penentuan prinsip syariah dalam kegiatan usaha perbankan syariah kepada MUI, apakah hal demikian merupakan bentuk kesalahan yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga harus dinyatakan sebagai bertentangan dengan UUD 1945;
Bahwa terkait dengan persoalan tersebut, pada dasarnya sudah terjawab dengan prinsip dan posisi perbankan syariah yang memiliki kekhususan dibandingkan dengan perbankan konvensional. Kekhususan tersebut berkenaan dengan penerapan prinsip syariah dalam penyelenggaraan perbankan, di mana otoritas agama Islam yaitu MUI terlibat di dalamnya. Bahkan, guna menjamin kepastian hukum bagi stakeholders dan sekaligus memberikan keyakinan kepada masyarakat dalam menggunakan produk dan jasa bank syariah, diatur jenis usaha, ketentuan pelaksanaan syariah, kelayakan usaha, penyaluran dana, dan larangan bagi bank syariah maupun unit usaha syariah yang menjadi bagian dari bank konvensional. Sementara itu, untuk memberikan keyakinan pada masyarakat yang masih meragukan prinsip-prinsip syariah dalam operasionalisasi perbankan syariah, diatur pula kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah meliputi kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur-unsur riba, maisir, gharar, haram, dan zalim (vide Penjelasan Umum UU 21/2008). Jika prinsip syariah dalam perbankan syariah tersebut ditempatkan sebagai kekhususan, maka pelibatan MUI sama sekali tidak mengandung persoalan hukum sepanjang hanya sebatas mengeluarkan fatwa terkait prinsip syariah, yang memang menjadi kewenangannya sebagai salah satu otoritas agama dalam masyarakat Islam Indonesia;
Selanjutnya, fatwa terkait prinsip syariah dimaksud baru akan menjadi peraturan apabila BI/OJK telah menuangkannya ke dalam Peraturan BI/Peraturan OJK. Dalam konteks ini, fatwa MUI akan menjadi sumber hukum materiil dari peraturan BI/OJK berkaitan dengan perbankan syariah. Jika hal ini hendak dilihat dalam perspektif sistem hukum Indonesia, maka ia juga dapat dibenarkan. Sebab, dalam pembentukan hukum perundang-undangan, salah satu sumbernya adalah hukum Islam. Ketika hukum Islam yang dituangkan dalam fatwa MUI dijadikan sumber materiil dari peraturan BI/peraturan OJK, maka hal tersebut sama sekali tidak dapat dianggap memiliki masalah konstitusional;
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan uraian di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan isu konstitusionalitas sejumlah norma dalam UU 21/2008 yang dimohonkan pengujiannya oleh Pemohon. Namun demikian, sebelum mempertimbangkan lebih lanjut dalil-dalil Pemohon, oleh karena norma Pasal 1 angka 12 dan Pasal 26 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 21/2008 adalah saling berkaitan dengan keberlakuan prinsip syariah dalam perbankan syariah, oleh karena itu Mahkamah akan mempertimbangkan konstitusionalitas norma-norma a quo secara bersamaan sebagai berikut:
[3.14.1] Bahwa terkait keberadaan fatwa MUI dalam penentuan prinsip syariah pada penyelenggaraan usaha perbankan syariah, perlu disadari sebagai bagian dari sistem ekonomi nasional yang mengupayakan penggalian potensi dan wujud kontribusi masyarakat demi tercapainya tujuan pembangunan nasional sebagaimana diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945, perbankan syariah memerlukan berbagai sarana pendukung agar dapat memberikan kontribusi maksimal bagi pengembangan ekonomi nasional. Salah satu sarana pendukung yang mendasar bagi perbankan syariah adalah peran dari fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga terpercaya dan terjaga kredibilitasnya di tengah umat muslim demi tegaknya prinsip syariah dalam segala kegiatan perbankan syariah yang akan memberikan jaminan kepastian hukum bagi stakeholders;
Bahwa MUI yang merupakan wadah para ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim adalah lembaga yang berkompeten menjawab dan merespon permintaan fatwa, pertanyaan dari pemerintah, lembaga, atau organisasi sosial mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan. Pemberian atau penetapan fatwa MUI dilakukan atas permintaan (istifta) dari peminta fatwa (mustafti) baik secara pribadi, organisasi masyarakat, atau pemerintah. Dalam menetapkan fatwa di bidang keuangan syariah, hal ini dilakukan secara kolektif oleh suatu lembaga yang dinamakan Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI. Tugas DSN MUI adalah untuk menetapkan fatwa atas sistem, kegiatan, produk, dan jasa di lembaga perekonomian, keuangan, dan bisnis syariah serta mengawasi penerapannya guna menumbuhkembangkan usaha di bidang keuangan, bisnis, dan ekonomi syariah. Selain dilakukan secara kolektif oleh DSN MUI, penetapan fatwa dalam hal tertentu melibatkan tenaga ahli yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas. Adapun DSN MUI ini diisi oleh para ulama, praktisi, dan para pakar yang memenuhi kualifikasi tertentu di bidang Fiqh, Ushul Fiqh, Fiqh Muqorin, keuangan, bisnis, perekonomian syariah, dan berkemampuan dalam penetapan hukum (istinbath hukum). Produk hukum yang dihasilkan oleh DSN MUI kemudian ditetapkan sebagai fatwa MUI yang didasarkan pada Al-Quran, Sunnah (Al-Hadis), Ijma, dan Qiyas serta dalil lain yang kokoh (mu’tabar). Tegasnya penetapan fatwa MUI dilakukan oleh para ahli yang memenuhi kualifikasi mujtahid dan dilakukan secara kolektif. Fatwa DSN MUI bersifat responsif, proaktif, dan antisipatif. Persyaratan, sifat, metode, serta prosedur penetapan fatwa yang sedemikian ketat adalah agar diperoleh hasil yang akan bermanfaat bagi kemaslahatan umum (maslahatul ammah) dan sesuai dengan intisari ajaran agama Islam (maqashid al-syariah) yang selanjutnya dituangkan dalam jenis peraturan perundang-undangan yaitu PBI/POJK;
Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, baik BI maupun OJK tidak memiliki fungsi ataupun kewenangan yang dapat ditafsirkan sebagai kewenangan untuk menetapkan prinsip syariah khususnya dalam perbankan syariah sebagaimana yang dimohonkan oleh Pemohon. Dengan tidak terdapatnya kewenangan dalam menetapkan prinsip syariah sebagai landasan fundamental bagi kegiatan perbankan syariah, sehingga BI dan OJK tidak memiliki kompetensi maupun sumber daya untuk menilai, dan memberikan penjelasan terkait dengan hukum Islam sebagaimana kompetensi yang dimiliki oleh para ahli hukum Islam (fuqaha). Seandainya penetapan prinsip syariah diserahkan kepada BI/OJK dalam PBI atau POJK dengan mengikuti tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan pada umumnya, BI/OJK akan kesulitan dalam merumuskan substansi dari PBI/POJK tersebut karena memiliki pengetahuan yang terbatas terkait dengan substansi atau prinsip syariah. Artinya, menyerahkan penetapan prinsip syariah dalam perbankan syariah kepada BI/OJK dapat dinilai sebagai tindakan sewenang-wenang pembentuk undang-undang yang dapat berujung pada terjadinya kekacauan dalam penentuan substansi peraturan yang memuat prinsip-prinsip syariah. Pada gilirannya, hal demikian juga dapat menciderai keyakinan dan cara umat Islam menjalankan agamanya;
[3.14.2] Bahwa apabila fatwa berkenaan dengan prinsip syariah tidak diatur untuk dikeluarkan oleh satu otoritas agama Islam yang mewakili mayoritas umat Islam Indonesia, in casu MUI, maka sangat mungkin akan menimbulkan kekacauan. Saat ini, di Indonesia terdapat sekitar 60 organisasi kemasyarakatan Islam yang memiliki lembaga fatwa dengan metode pembentukan fatwa yang khas dan berbeda antara satu organisasi dengan organisasi lainnya [vide Keterangan tertulis Presiden bertanggal 14 Maret 2022 hlm.15 dan Keterangan tertulis MUI bertanggal 21 Maret 2022 hlm. 17]. Masing-masing memiliki basis keilmuan agama sendiri-sendiri yang sangat mungkin memiliki perbedaan satu sama lain. Apabila fatwa berkenaan dengan prinsip syariah dalam kegiatan usaha perbankan syariah tidak diatur secara eksplisit dalam undang-undang, in casu UU 21/2008, untuk ditentukan oleh otoritas agama yang mewakili umat Islam, maka hal tersebut berpotensi menimbulkan perbedaan fatwa terhadap permasalahan yang sama, termasuk di bidang ekonomi dan perbankan syariah. Pada akhirnya, hal demikian justru akan membingungkan masyarakat yang menggunakan jasa perbankan syariah dan hal demikian akan menimbulkan ketidakpastian hukum;
Bahwa secara historis, pembentukan bank syariah merupakan perwujudan dari hasil Musyawarah Nasional MUI pada tahun 1990. Berkenaan dengan hal tersebut, MUI telah aktif mengeluarkan fatwa terkait dengan kegiatan perbankan syariah jauh sebelum diperintahkan oleh UU 21/2008. Pada perkembangan perbankan syariah selanjutnya, MUI berperan aktif dan ikut serta melakukan pembinaan, pengawasan, dan arahan bagi pengembangan perbankan syariah;
[3.15] Menimbang bahwa apabila otoritas penetapan prinsip syariah dalam penyelenggaraan perbankan syariah tidak lagi diserahkan kepada MUI melainkan diserahkan kepada BI atau OJK sebagaimana dimohonkan oleh Pemohon, hal demikian potensial menimbulkan sejumlah persoalan yang dapat berujung pada ketidakpastian hukum. Pertama, kekhususan penyelenggaraan perbankan syariah akan hilang. Sebab, aspek kekhususan pengaturan perbankan syariah justru pada aspek adanya organ lain yang terlibat dalam penentuan prinsip syariah. Kedua, penetapan prinsip syariah akan dikeluarkan langsung oleh negara, bukan oleh otoritas agama yang mengayomi kepentingan mayoritas umat Islam. Sebagaimana diketahui, Indonesia bukanlah negara Islam, melainkan negara yang berdasarkan pada Pancasila yang menjadikan ajaran agama dan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai salah satu sumber hukum. Oleh karena bukan negara Islam, lalu bagaimana mungkin otoritas negara yang menentukan prinsip syariah yang notabene merupakan bagian dari penentuan hukum Islam. Sekalipun negara memiliki wewenang penuh dalam membentuk hukum, namun ketika bersentuhan dengan penetapan hukum agama, in casu perbankan syariah, negara perlu membatasi dirinya dengan cara menyerahkan penetapan materi hukum tersebut kepada pemegang otoritas agama. Dalam hal ini, negara mengambil peran mengadopsi hukum agama yang telah ditetapkan oleh pemegang otoritas agama menjadi hukum positif yang diberlakukan dalam penyelenggaraan urusan negara di bidang pengelolaan perbankan syariah;
[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berkesimpulan norma Pasal 1 angka 12 dan Pasal 26 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 21/2008 sama sekali tidak menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum sebagaimana didalilkan Pemohon. Bahkan keberadaan norma a quo telah ditempatkan secara tepat dan proporsional ihwal penentuan prinsip syariah dan pemuatannya dalam peraturan perundang-undangan. Proporsionalitas tersebut dapat dijelaskan karena menyangkut substansi prinsip syariah ditentukan berdasarkan fatwa MUI sebagai salah satu pemegang otoritas agama yang diakui umat Islam Indonesia serta diberikan mandat oleh negara. Sedangkan pemuatan fatwa tersebut ke dalam bentuk hukum peraturan perundang-undangan dilakukan oleh organ yang mewakili otoritas negara di bidang jasa keuangan atau perbankan syariah, in casu BI/OJK. Prinsip syariah yang ditetapkan melalui fatwa dan dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa, dalam hal ini DSN MUI, justru merupakan bentuk jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum bagi umat Islam yang menginginkan kehidupan ekonomi yang dijalankan sesuai dengan syariah Islam sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Negara dalam hal ini memberikan jaminan bahwa prinsip syariah yang mendasari pembentukan peraturan perbankan syariah merupakan hasil fatwa para ulama yang tergabung dalam MUI dengan kemampuan khusus di bidang masing-masing yang berasal dari berbagai organisasi dengan latar belakang yang berbeda dan juga masukan dari tim ahli di bidang perbankan, ekonomi, akuntansi, pasar modal, asuransi, BI, OJK, hukum, maupun Mahkamah Agung. Sehingga, dalam menetapkan fatwa telah dilihat dari berbagai sudut pandang, hal ini memberikan kepastian hukum dan keamanan bagi stakeholders dalam melaksanakan kegiatan perbankan syariah. Pembentuk undang-undang dalam hal ini telah menempatkan sesuatu pada posisi yang seharusnya yaitu menyerahkan penetapan prinsip syariah kepada para ulama yang ahli di bidang syariah kemudian menuangkan prinsip tersebut dalam peraturan perundang-undangan (PBI/POJK) agar prinsip syariah hasil fatwa para ulama tersebut dapat berlaku dan mengikat secara umum. Penetapan prinsip syariah melalui fatwa oleh DSN MUI yang kemudian dituangkan dalam PBI atau POJK merupakan perwujudan bahwa negara mengakui, menghormati, melindungi, dan memfasilitasi umat Islam dalam menjalankan ibadahnya sesuai dengan keyakinannya sebagaimana termuat dalam Pasal 29 UUD 1945. Dengan demikian, dalil permohonan Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas ketentuan Pasal 1 angka 12 UU 21/2008 sepanjang frasa “berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah” dan inkonstitusionalitas ketentuan Pasal 26 ayat (1) UU 21/2008 sepanjang frasa “prinsip syariah”, inkonstitusionalitas norma Pasal 26 ayat (2) UU 21/2008 sepanjang frasa “Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia” serta inkonstitusionalitas Pasal 26 ayat (3) UU 21/2008 adalah tidak beralasan menurut hukum;
[3.17] Menimbang bahwa berkenaan dengan petitum Pemohon yang meminta kepada Mahkamah untuk memerintahkan pembuat undang-undang melakukan perubahan terhadap UU 21/2008 berkenaan dengan hak kebendaan dalam transaksi perbankan syariah atau melakukan pembentukan undang-undang yang di dalamnya mengatur mengenai hak kebendaan dalam transaksi perbankan syariah. Dalam hal ini, seperti telah dikemukakan pada Paragraf [3.13] di atas, Petitum demikian bermuara dari dalil Pemohon, yaitu (a) konsep hak milik menjadi sangat penting dalam menentukan keabsahan suatu transaksi di perbankan syariah, (b) UU 21/2008 tidak mengatur terkait hak milik padahal dalam pelaksanaan transaksi perbankan syariah sering terjadi perpindahan hak milik, dan (c) pengaturan terkait hak milik sudah seharusnya menjadi materi muatan yang terdapat dalam UU 21/2008. Berkenaan dengan Petitum demikian, dapat dikatakan bahwa Pemohon telah keliru menafsirkan kewenangan Mahkamah dalam menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Terlebih lagi, dalil-dalil yang bermuara pada Petitum tersebut tidak memiliki kejelasan relevansi dengan norma Pasal 1 angka 12, Pasal 26 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 21/2008 yang diajukan pengujian konstitusionalitasnya oleh Pemohon. Dengan demikian, Petitum dan dalil-dalil demikian serta hal-hal lain yang terkait adalah tidak relevan dipertimbangkan oleh Mahkamah;
[3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat ketentuan norma Pasal 1 angka 12 dan Pasal 26 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 21/2008 telah ternyata tidak menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidakadilan, ketidakmanfaatan, dan hambatan bagi Pemohon dalam mengakses layanan perbankan syariah seperti yang dijamin oleh UUD 1945 sebagaimana di dalilkan oleh Pemohon. Dengan demikian, permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya, sedangkan hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan karena dipandang tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dan Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 67/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-08-2022

Yayasan Mubaligh Indonesia Surabaya; Lembaga Algemene Research and Legal Development; Yayasan Pendidikan At-Taqwa; Yayasan Lentera Yatim Indonesia; Yayasan Pondok Pesantren Al Machmudi Bantani; Dr. Oheo Kaimuddin Haris, S.H., LL.M. M.Sc; Dr. Mohammad Mukhrojin, S.H., S.Pdi., M.Si; Dr. Prawitra Thalib, S.H., M.H; Insinyur H. Mohammad Aminudin Dahlan; Raden Mas Djoko Pikukuh Gunadi Hardjo Kusumo, Muhammad Afrizal Firmansyah, Sapto Yonara, S.E; Bambang Asmaradjati, Nailul Khuril Aini, Hj. Kesih Sukaesih, Fatimatul Fauziah; Yuyun Roikhatul Jannah, Fida Nisrina Iftiani, Lutfinida Kurniawati, Muhammad Ardian Ferdiansyah, Nodiva Yosi, Sigit Pramono, dan Bambang Miswanto, S.E, yang memberikan kuasa kepada Dr. HM. Anwar Rachman, S.H., M.H., Fahd Thoricky, S.H., M.H., dkk, Advokat dan Konsultan Hukum yang tergabung pada kantor hukum Anwar Rachman & Rekan, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 5 ayat (3), Pasal 6, Pasal 29 ayat (1), Pasal 35, Pasal 42, dan Pasal 48 UU 33/2014 j.o UU 11/2020

Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 4 ayat (1), Pasal 17 ayat (3), Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29, Pasal 33 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), dan Pasal 34 ayat (3) dan ayat (4) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 33/2014 dan UU 11/2020 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.6] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara saksama uraian para Pemohon dalam menjelaskan anggapan kerugian hak konstitusionalnya, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.5] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut:
[3.11] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan para Pemohon, oleh karena terhadap pengujian konstitusionalitas norma Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 6 UU 33/2014 telah pernah diajukan permohonan pengujian, maka Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan apakah permohonan a quo memenuhi ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), sehingga terhadap norma a quo dapat dilakukan pengujian kembali;
[3.11.1] Bahwa terkait dengan pertimbangan pada Paragraf [3.10] di atas, Pasal 60 UU MK menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.
Kemudian Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang atau Perppu yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda.
[3.11.2] Bahwa Mahkamah pernah memutus pengujian norma Pasal 5 dan Pasal 6 UU 33/2014, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-XVII/2019, yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 30 September 2019, dengan amar menyatakan mengabulkan permohonan penarikan kembali. Dasar pengujian yang digunakan para Pemohon dalam perkara Nomor 49/PUU-XVII/2019 adalah Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C, Pasal 28E ayat (2), Pasal 29 ayat (2) dan Alinea Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, sedangkan untuk permohonan para Pemohon a quo yang dilakukan pengujian adalah Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 6 UU 33/2014 terhadap Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 4 ayat (1), Pasal 17 ayat (3), Pasal 27, Pasal 28E ayat (1), Pasal 28 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 29 ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Bahwa terhadap persoalan di atas, setelah Mahkamah mencermati dalil permohonan para Pemohon dan pasal yang diujikan terdapat perbedaan karena untuk permohonan para Pemohon pasal yang diuji adalah Pasal 5 ayat (3) UU 33/2014, dan persamaannya ada pada Pasal 6 UU 33/2014 dan permohonan a quo menggunakan dasar pengujian Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 4 ayat (1), Pasal 17 ayat (3), Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 yang tidak digunakan sebagai dasar pengujian dalam Perkara Nomor 49/PUU-XVII/2019. Terlebih lagi, terhadap permohonan sebelumnya, Mahkamah juga belum menilai dalil pokok permohonan. Dengan demikian, terlepas secara substansial permohonan a quo beralasan atau tidak, secara formal permohonan a quo berdasarkan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021 beralasan untuk dapat diajukan kembali. Oleh karenanya, Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan lebih lanjut.
[3.12] Menimbang bahwa isu konstitusionalitas yang dipersoalkan oleh para Pemohon pada pokoknya berkenaan dengan kedudukan dan kewenangan BPJPH berdasarkan Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 6 UU 33/2014 yang menurut para Pemohon adalah inkonstitusional. Terhadap hal tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.12.1] Bahwa para Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 5 ayat (3) UU 33/2014 yang menyatakan “Untuk melaksanakan penyelenggaraan JPH sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dibentuk BPJPH yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri”, bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 4 ayat (1), Pasal 17 ayat (3), Pasal 28E ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Dalam mendalilkan pertentangan tersebut para Pemohon berargumentasi bahwa berdasarkan Pasal 17 UUD 1945 yang berada di bawah Presiden adalah menteri yang menjalankan urusan pemerintahan. Keberadaan BPJPH yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Agama RI yang membidangi urusan agama, menurut para Pemohon tidak tepat karena jika dilihat dari adanya unit kerja pada BPJPH, yakni Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal, Pusat Kerja Sama dan Standardisasi Halal, dan Pusat Pembinaan dan Pengawasan Jaminan Produk Halal, merupakan hal yang tidak terkait dengan urusan pemerintahan bidang agama yang berada di bawah Kementerian Agama.
Terhadap dalil para Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah menegaskan terlebih dahulu bahwa diberlakukannya UU 33/2014 pada pokoknya hendak mengejawantahkan kehendak UUD 1945 yaitu menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Untuk itulah kemudian negara berkewajiban memberikan pelindungan dan jaminan terhadap kehalalan produk yang dikonsumsi dan digunakan masyarakat. Pemerintah menyadari jika selama ini produk yang beredar di masyarakat belum semuanya terjamin kehalalannya. Untuk itulah perlu dibentuk undang-undang yang secara khusus dan komprehensif mengatur jaminan produk halal, in casu UU 33/2014 [vide konsiderans Menimbang huruf a, huruf b, dan huruf c UU 33/2014]. Produk halal yang dimaksud adalah produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam karena bertujuan memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk halal yang akan dikonsumsi atau digunakan masyarakat. Dengan adanya jaminan produk halal tersebut akan meningkatkan nilai tambah bagi pelaku usaha yang memproduksi dan menjual produk halal [vide Pasal 1 angka 2 dan Penjelasan Umum UU 33/2014]. Oleh karena itu, jaminan mengenai produk halal ini tidak dapat dilihat dari sisi teknis adanya pembidangan kerja dalam BPJPH dalam rangka proses memperoleh sertifikasi halal. Sebab, untuk memperoleh produk halal yang bersertifikasi tidak dapat dilepaskan dari bekerjanya Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal, Pusat Kerja Sama dan Standardisasi Halal, dan Pusat Pembinaan dan Pengawasan Jaminan Produk Halal.
Bahwa dikarenakan penentuan produk halal merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari syariat Islam sebagaimana pertimbangan hukum di atas, dengan demikian maka tidak terdapat persoalan konstitusionalitas dengan adanya penempatan BPJPH sebagai penyelenggara jaminan produk halal di bawah urusan Kementerian Agama sebagai bagian unsur pendukung. Dalam hal ini, tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2015 tentang Kementerian Agama (Perpres 83/2015) dan Peraturan Menteri Agama Nomor 42 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama (Permen 42/2016) telah dinyatakan bahwa Kementerian Agama mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama, dalam melaksanakan tugasnya, Kementerian Agama menyelenggarakan berbagai fungsi di antaranya adalah menyelenggarakan fungsi pelaksanaan penyelenggaraan jaminan produk halal [vide Pasal 3 Perpres 83/2015 dan Pasal 3 Permen 42/2016].
Berkenaan dengan dalil para Pemohon yang mengatakan tugas pokok, fungsi dan kewenangan BPJPH bukanlah masalah agama yang menjadi tugas pokok, fungsi kewenangan Menteri Agama, khususnya terkait dengan tugas, fungsi dan kewenangan BPJPH mengenai standardisasi, akreditasi dan sertifikasi produk halal, menurut Mahkamah, telah jelas bahwa yang memiliki fungsi pelaksanaan penyelenggaraan jaminan produk halal adalah Kementerian Agama yang dalam pelaksanaannya diserahkan kepada sebuah badan yang merupakan unsur pendukung dari organisasi Kementerian agama yaitu BPJPH. Sementara itu, standardisasi, akreditasi, dan sertifikasi produk halal merupakan bagian kewenangan BPJPH dalam rangka proses pemberian jaminan produk halal. Oleh karenanya, jika ketentuan Pasal 5 ayat (3) UU 33/2014 dihilangkan karena dinyatakan inkonstitusional sebagaimana dalil para Pemohon, justru hal tersebut akan menyebabkan tidak terlindunginya hak-hak yang terdapat dalam ketentuan Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Oleh karena itu, dalil para Pemohon yang menyatakan norma Pasal 5 ayat (3) UU 33/2014 inkonstitusional adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.12.2] Bahwa para Pemohon mendalilkan juga ketentuan Pasal 6 UU 33/2014 yang menyatakan “Dalam penyelenggaraan JPH, BPJPH berwenang: a. merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH; b. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH; c. menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal dan Label Halal pada Produk; d. melakukan registrasi Sertifikat Halal pada Produk luar negeri; e. melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi Produk Halal; f. melakukan akreditasi terhadap LPH; g. melakukan registrasi Auditor Halal; h. melakukan pengawasan terhadap JPH; i. melakukan pembinaan Auditor Halal; dan j. melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri di bidang penyelenggaraan JPH, telah menyebabkan adanya kekaburan atau kerancuan antara fungsi regulasi, fungsi administratif dalam penyelenggaraan sertifikasi halal, dan fungsi substantif. Menurut para Pemohon yang berwenang menetapkan norma, standar, dan kriteria kehalalan produk sebagai wilayah substantif keagamaan adalah kewenangan Lembaga Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), sedangkan untuk urusan standardisasi adalah kewenangan Badan Standardisasi Nasional (BSN), dan untuk urusan Sertifikasi adalah kewenangan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), sehingga menurut para Pemohon karena hal di atas bukan merupakan kewenangan BPJPH maka BPJPH telah melakukan tindakan di luar kewenangannya dan monopolitif. Hal ini bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 17 ayat (3), Pasal 27, Pasal 28, Pasal 33 UUD 1945.
Terhadap dalil para Pemohon a quo, setelah mencermati seluruh ketentuan UU 33/2014 secara komprehensif, menurut Mahkamah UU 33/2014 telah mendesain hubungan kelembagaan BPJPH dalam pelaksanaan wewenangnya. BPJPH tidak berdiri sendiri tetapi bekerjasama dengan kementerian dan/atau lembaga terkait. Berdasarkan ketentuan Pasal 8 UU 33/2014, kerjasama BPJPH dengan kementerian dan/atau lembaga lain dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi kementerian dan/atau lembaga terkait.
Bahwa jika dijabarkan lebih lanjut kerjasama BPJPH dengan kementerian/lembaga terkait dapat dicermati dari tata cara memperoleh Sertifikat Halal yang diawali dengan pengajuan permohonan Sertifikat Halal oleh Pelaku Usaha kepada BPJPH. Selanjutnya, BPJPH melakukan pemeriksaan kelengkapan dokumen. Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk dilakukan oleh LPH [vide Pasal 9 UU 33/2014]. LPH tersebut harus memperoleh akreditasi dari BPJPH yang bekerjasama dengan MUI [vide Pasal 10 UU 33/2014]. Penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh MUI melalui sidang fatwa halal MUI yang didasarkan pada Fatwa MUI dalam bentuk keputusan Penetapan Halal Produk yang ditandatangani oleh MUI. Dengan demikian, dalil para Pemohon yang meminta keterlibatan Lembaga Fatwa Majelis Ulama Indonesia sesungguhnya telah terakomodir karena lembaga yang dimaksud oleh para Pemohon tersebut adalah merupakan bagian dari MUI. Selanjutnya, BPJPH menerbitkan Sertifikat Halal berdasarkan keputusan Penetapan Halal Produk dari MUI tersebut [vide Penjelasan Umum UU 33/2014]. Berkaitan dengan proses atau tata cara dimaksud, tidak terbukti adanya sifat monopoli kewenangan BPJPH dalam menerbitkan sertifikasi halal produk. Bahkan, untuk menjaga agar jaminan produk halal tersebut tidak disalahgunakan, para Pemohon sebagai bagian dari kelompok masyarakat semestinya dapat turut berperan serta mengawasi penyelenggaraan jaminan produk halal, termasuk mengawasi produk dan produk halal yang berbeda, dengan misalnya melakukan sosialisasi melalui kegiatan lembaga atau organisasinya masing-masing sebagaimana hal tersebut ditentukan pula dalam UU 33/2014 [vide Pasal 53 UU 33/2014].
Oleh karena itu, dalil para Pemohon yang menyatakan norma Pasal 6 UU 33/2014 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 17 ayat (3), Pasal 27, Pasal 28, Pasal 33 UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.13] Menimbang bahwa selanjutnya berkenaan dengan permohonan pengujian Pasal 48 angka 10 UU 11/2020 yang memuat perubahan atas norma Pasal 29 ayat (1) UU 33/2014, Pasal 48 angka 15 UU 11/2020 yang memuat perubahan atas norma Pasal 35 UU 33/2014, Pasal 48 angka 19 UU 11/2020 yang memuat perubahan atas norma Pasal 42 UU 33/2014, dan Pasal 48 angka 21 UU 11/2020 yang mengubah ketentuan norma Pasal 48 UU 33/2014, Mahkamah perlu menegaskan kembali berkenaan dengan UU 11/2020 yang telah diputus pengujian formilnya oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 25 November 2021, yang amarnya menyatakan:
1. Menyatakan permohonan Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat diterima;
2. Mengabulkan permohonan Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, dan Pemohon VI untuk sebagian;
3. Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”;
4. Menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini;
5. Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) menjadi inkonstitusional secara permanen;
6. Menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) dinyatakan berlaku kembali;
7. Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UndangUndang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
8. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
9. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 berkenaan dengan pengujian formil UU 11/2020 tersebut, terdapat 4 (empat) orang Hakim Konstitusi yang mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Hakim Konstitusi Anwar Usman, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, dan Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul.
Mahkamah juga telah menegaskan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-XIX/2021, yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 25 Januari 2022, Paragraf [3.11] yaitu:
[3.11] Menimbang bahwa terhadap dalil para Pemohon dalam permohonan a quo yang menyatakan walaupun Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dalam pengujian formil UU 11/2020 menyatakan UU a quo adalah inkonstitusional bersyarat, namun pengujian materiil masih dapat dilakukan sebab UU 11/2020 masih tetap berlaku. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, menurut Mahkamah, secara formil UU 11/2020 telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 sehingga secara formal tidak sah berlaku sampai ada perbaikan formil selama masa tenggang waktu 2 (dua) tahun dimaksud. Masa 2 (dua) tahun tersebut adalah masa perbaikan formil. Hal itu disebabkan karena dalam masa perbaikan formil tersebut tidak tertutup kemungkinan adanya perubahan atau perbaikan substansi yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Terlebih lagi, dalam amar Putusan a quo angka 7 Mahkamah menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dengan demikian, menurut Mahkamah permohonan para Pemohon menjadi prematur. Pertimbangan demikian disebabkan oleh karena permohonan a quo diajukan setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, bertanggal 25 November 2021.
Berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi di atas, telah jelas bahwa permohonan para Pemohon terhadap pengujian materiil Pasal 48 angka 10 UU 11/2020 yang memuat perubahan atas norma Pasal 29 ayat (1) UU 33/2014, Pasal 48 angka 15 UU 11/2020 yang memuat perubahan atas norma Pasal 35 UU 33/2014, Pasal 48 angka 19 UU 11/2020 yang memuat perubahan atas norma Pasal 42 UU 33/2014, dan Pasal 48 angka 21 UU 11/2020 yang mengubah ketentuan norma Pasal 48 UU 33/2014 adalah prematur karena diajukan selama masa tenggang waktu 2 (dua) tahun perbaikan formil UU 11/2020, dan tidak menutup kemungkinan adanya perubahan atau perbaikan substansi yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang.

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, terkait pengujian norma Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 6 UU 33/2014 menurut Mahkamah telah ternyata sesuai dengan prinsip checks and balances dan prinsip-prinsip good governance serta tidak menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 4 ayat (1), Pasal 17 ayat (3), Pasal 28E ayat (1), Pasal 27, Pasal 28 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 29 ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Oleh karenanya, dalil para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum. Sedangkan, terkait dengan pengujian Pasal 48 angka 10 UU 11/2020 yang memuat perubahan atas norma Pasal 29 ayat (1) UU 33/2014, Pasal 48 angka 15 UU 11/2020 yang memuat perubahan atas norma Pasal 35 UU 33/2014, Pasal 48 angka 19 UU 11/2020 yang memuat perubahan atas norma Pasal 42 UU 33/2014, dan Pasal 48 angka 21 UU 11/2020 yang mengubah ketentuan norma Pasal 48 UU 33/2014, telah ternyata dalil permohonan para Pemohon adalah prematur.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Ditolak Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 47/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2001 TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2001 TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2021 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2001 TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-08-2022

Majelis Rakyat Papua diwakili oleh Timotius Murib (Ketua merangkap Anggota MRP); Yoel Luiz Mulait, S.H (Wakil Ketua I merangkap Anggota MRP); Debora Mote, S.Sos (Wakil Ketua II merangkap Anggota MRP), dalam hal ini memberikan kuasa kepada Saor Siagian, S.H., M.H., dkk yang terbagung dalam Tim Hukum dan Advokasi MRP untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 6 ayat (1) huruf b, ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) UU 2/2021; Pasal 6A ayat (1) huruf b, ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) UU 2/2021; Pasal 28 ayat (1), ayat (2) dan ayat (4) UU 2/2021; Pasal 38 ayat (2) UU 2/2021; Pasal 59 ayat (3) UU 2/2021; Pasal 68A ayat (2) UU 2/2021; Pasal 76 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU 2/2021; dan Pasal 77 UU 21/2001.

Pasal 17 ayat (3), Pasal 18, Pasal 18A ayat (1), Pasal 18B ayat (1), Pasal 22D, Pasal 22E ayat (3), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 34 UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

ayat (5) dan ayat (6) UU 2/2021; Pasal 6A ayat (1) huruf b, ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) UU 2/2021; Pasal 28 ayat (1), ayat (2) dan ayat (4) UU 2/2021; Pasal 38 ayat (2) UU 2/2021; Pasal 59 ayat (3) UU 2/2021; Pasal 68A ayat (2) UU 2/2021; Pasal 76 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU 2/2021; dan Pasal 77 UU 21/2001 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.12] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih jauh dalil-dalil pokok permohonan a quo, penting bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa otonomi khusus bagi Papua pada dasarnya merupakan kewenangan khusus yang diakui dan diberikan bagi provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Otonomi khusus Provinsi Papua pertama kali ditetapkan berdasarkan UU 21/2001 adalah dalam rangka melaksanakan amanat Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004 dan Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, yang antara lain, menekankan pentingnya segera merealisasikan otonomi khusus melalui penetapan suatu Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Provinsi Irian Jaya dengan memperhatikan aspirasi masyarakat. Pemberian Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua tersebut merupakan kebutuhan sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan, penegakan supremasi hukum, penghormatan terhadap HAM, percepatan pembangunan ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua dalam rangka kesetaraan dan keseimbangan dengan kemajuan provinsi lain [vide Penjelasan Umum UU 21/2001].
Kekhususan yang diberikan bagi Provinsi Papua tersebut pada prinsipnya merupakan bentuk kebijakan afirmatif, oleh karenanya pemberian otonomi khusus bagi Provinsi Papua semestinya tidak bersifat permanen. Sebab, kebijakan afirmatif pada prinsipnya hanya diterapkan kepada kelompok tertentu dan dalam waktu tertentu yang mengalami ketidaksetaraan atau ketidakadilan sehingga dengan adanya perlakuan khusus tersebut kelompok/golongan tertentu memeroleh peluang yang setara dengan kelompok/golongan lain sehingga apabila ketidaksetaraan dan ketidakadilan dimaksud telah berhasil diatasi, berarti raison d’etre bagi kebijakan afirmatif itu pun menjadi tiada [vide Pertimbangan Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 14 Juli 2016, hlm. 26]. Untuk mengimplementasikan kebijakan afirmatif tersebut pembentuk undang-undang sesuai dengan amanat Ketetapan MPR menghendaki agar menempatkan Orang Asli Papua dan penduduk Papua pada umumnya sebagai subjek utama dalam penyelenggaraan otonomi khusus. Oleh karena itu, kepada mereka perlu diberikan pelayanan dan kesempatan yang memadai serta pemberdayaan rakyat karena mengingat pelaksanaan pembangunan sebelum diberikannya otonomi khusus belum setara dengan daerah-daerah otonom lainnya. Dengan demikian, diperlukan langkah strategis yang tepat dan cepat untuk mengejar kesetaraan dan keseimbangan di Provinsi Papua melalui kebijakan afirmatif.

[3.12.2] Bahwa UU 21/2001 yang mengatur pelaksanaan otonomi khusus Papua telah dilakukan perubahan pertama melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua Menjadi Undang-Undang (UU 35/2008), karena adanya kebutuhan untuk mengatur pemberian otonomi khusus bagi Provinsi Papua Barat [vide konsiderans Menimbang huruf b UU 35/2008]. Selanjutnya, setelah otonomi khusus Papua berjalan selama lebih dari 20 (dua puluh) tahun, perlu dilakukan penyempurnaan kembali beberapa substansi yang terkait dengan kekhususan Papua, termasuk dalam hal ini adalah jaminan keberlanjutan pemberian dana otonomi khusus untuk Provinsi Papua. Hal ini dikarenakan Pasal 34 ayat (3) huruf e juncto ayat (6) UU 21/2001 menentukan penerimaan anggaran dalam rangka otonomi khusus yang besarnya setara dengan 2% (dua persen) dari plafon Dana Alokasi Umum Nasional, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan, berlaku selama 20 (dua puluh) tahun. Batas waktu 20 (dua puluh) tahun dimaksud dihitung sejak UU 21/2001 diundangkan, yaitu pada 21 November 2001.
Dalam hal ini, UU 2/2021 sebagai penyempurnaan atas UU 21/2001 menentukan kembali batas waktu pemberian dana otonomi khusus untuk seluruh provinsi dan kabupaten/kota di wilayah Papua sampai dengan tahun 2041 [vide Pasal 34 ayat (8) UU 2/2021]. Dengan adanya alokasi dana otonomi khusus tersebut diharapkan makin mempercepat pembangunan, meningkatkan kesejahteraan, dan meningkatkan kualitas pelayanan publik serta kesinambungan dan keberlanjutan pembangunan di wilayah Papua [vide konsiderans Menimbang huruf b UU 2/2021]. Dalam upaya percepatan tersebut maka melalui UU 2/2021 ditambahkan materi baru untuk menyesuaikan dengan perkembangan kondisi politik, ekonomi, dan sosial budaya di masyarakat, termasuk materi baru yang diatur adalah berkaitan dengan anggota DPRK yang dipilih melalui pemilihan umum dan diangkat dari unsur Orang Asli Papua [vide Penjelasan Umum UU 2/2021].

[3.12.3] Bahwa perubahan kedua UU 21/2001 melalui UU 2/2021 dimaksudkan juga untuk memberikan kepastian hukum dalam rangka melindungi, menjunjung harkat martabat, memberi afirmasi, dan melindungi hak dasar Orang Asli Papua, baik dalam bidang ekonomi, politik, maupun sosial-budaya. Orang Asli Papua dimaksud adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri atas suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai Orang Asli Papua oleh Masyarakat Adat Papua yang memiliki keragaman kebudayaan, sejarah, adat istiadat, dan bahasa sendiri [vide konsiderans Menimbang huruf a juncto Pasal 1 angka 22 UU 2/2021].

[3.12.4] Bahwa sebagai implikasi diberikannya Otonomi Khusus Provinsi Papua berarti memberikan tanggung jawab yang lebih besar bagi provinsi dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Provinsi Papua untuk sebesar-sebesarnya bagi kemakmuran rakyat Papua sebagai bagian dari rakyat Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan ini berarti pula kewenangan untuk memberdayakan potensi sosial budaya dan perekonomian masyarakat Papua termasuk memberikan peran yang memadai bagi orang-orang asli Papua melalui para wakil adat, agama, dan kaum perempuan yang diwujudkan melalui Majelis Rakyat Papua (MRP) [vide Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2004 tentang Majelis Rakyat Papua].
[3.12.5] Bahwa berkenaan dengan kelembagaan MRP, kedudukannya merupakan organisasi yang dibentuk berdasarkan undang-undang dan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah, sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29/PUU-IX/2011 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 29 September 2011, di mana dalam Paragraf [3.21] menyatakan bahwa:
[3.21] Menimbang bahwa, menurut Mahkamah, dengan pemberian otonomi khusus bagi Provinsi Papua seharusnya akan diakui, dijamin, dan dilindungi hak-hak masyarakat hukum adat yang ada dan tetap hidup di Provinsi Papua. Hak masyarakat hukum adat tersebut seharusnya tidak boleh dikurangi atau dieliminasi dengan adanya keberadaan MRP, karena MRP bukanlah bentuk dari kesatuan masyarakat hukum adat yang lahir secara alamiah dan MRP tidak membawahi berbagai kesatuan masyarakat hukum adat yang ada di Provinsi Papua, tetapi merupakan salah satu lembaga pemerintahan daerah bentukan negara berdasarkan Undang-Undang. Selain itu, menurut Mahkamah, MRP tersebut dibentuk oleh negara sebagai perwakilan kultural yang mewakili masyarakat adat, kelompok agama, dan kelompok perempuan yang ada di Provinsi Papua sehingga tidak mungkin mewakili seluruh masyarakat hukum adat yang ada di Papua. Oleh karena itu, menurut Mahkamah hak-hak kesatuan masyarakat hukum adat mengenai kriteria, mekanisme, dan prosedur seseorang untuk menjadi anggota kesatuan masyarakat hukum adat haruslah didasarkan pada ketentuan internal dari kesatuan masyarakat hukum adat yang bersangkutan dan bukan atas keputusan MRP. Keberadaan MRP akan bertentangan dengan semangat lahirnya otonomi khusus bagi Provinsi Papua, jika dalam menjalankan tugas dan kewenangannya justru mengabaikan hak-hak asli masyarakat hukum adat yang ada di Provinsi Papua. Pengakuan atas hak-hak tradisional suku-suku asli sebagai kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Papua adalah salah satu bentuk perlindungan konstitusional atas kekhususan Provinsi Papua sebagaimana diatur dalam UU 21/2001 dan sesuai dengan Pasal 18B ayat (2) serta Pasal 28I ayat (3) UUD 1945;.

[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan uraian-uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah selanjutnya akan menilai konstitusionalitas norma Pasal 6 ayat (1) huruf b, ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6); Pasal 6A ayat (1) huruf b, ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6); Pasal 28 ayat (1), ayat (2) dan ayat (4); Pasal 38 ayat (2), Pasal 59 ayat (3), Pasal 68A ayat (2), dan Pasal 76 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU 2/2021, serta Pasal 77 UU 21/2001, yang dipersoalkan oleh Pemohon. Terhadap persoalan konstitusionalitas tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.13.1] Bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 6 ayat (1) huruf b, ayat (2), ayat (3), dan ayat (6), serta Pasal 6A ayat (1) huruf b, ayat (2), ayat (3), dan ayat (6) UU 2/2021 telah merugikan Orang Asli Papua karena pengangkatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK) dari unsur Orang Asli Papua bersifat diskriminatif di antara Orang Asli Papua sendiri dalam persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan serta jaminan kepastian bagi semua orang dalam memperoleh kesempatan yang sama. Selain itu, menurut Pemohon, adanya frasa “sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” dalam norma Pasal 6 ayat (4) dan ayat (5), serta Pasal 6A ayat (4) dan ayat (5) UU 2/2021 dapat menciptakan ketidakpastian hukum sehingga seharusnya frasa “sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” dimaksud dimaknai menjadi “perdasus” dan “perdasi”.
Apabila dipelajari secara saksama, berkenaan dengan isu konstitusionalitas norma pasal-pasal yang dimohonkan pengujiannya oleh Pemohon a quo pada pokoknya bermuara karena adanya unsur anggota DPRP dan DPRK yang diangkat dari unsur Orang Asli Papua. Substansi UU 21/2001 belum mengatur ketentuan mengenai adanya anggota DPRK (kabupaten/kota) yang diangkat dari Orang Asli Papua. Dalam rangka melindungi dan meningkatkan harkat dan martabat Orang Asli Papua, UU 2/2021 sebagai perubahan dari UU 21/2001, menambahkan pasal baru terkait dengan komposisi DPRK yang sebelumnya hanya terdiri atas anggota DPRD kabupaten/kota yang dipilih melalui pemilihan umum, diubah menjadi terdiri atas anggota DPRK yang dipilih melalui pemilihan umum dan yang diangkat dari Orang Asli Papua [vide Penjelasan Umum UU 2/2021]. Dengan demikian, setelah berlakunya UU 2/2021 lembaga perwakilan rakyat daerah di Provinsi Papua, yaitu DPRP di provinsi serta DPRK di kabupaten/kota ditentukan sebanyak ¼ (satu per empat) kali dari jumlah anggota DPRP atau anggota DPRK adalah diangkat dari unsur Orang Asli Papua [vide Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 6A ayat (2) UU 2/2021].
Berkenaan dengan dalil Pemohon mengenai Pasal 6 ayat (1) huruf b, ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 6A ayat (1) huruf b, ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) UU 2/2021, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.13.1.1] Bahwa terhadap dalil Pemohon mengenai Pasal 6 ayat (1) huruf b dan Pasal 6A ayat (1) huruf b UU 2/2021 menurut Pemohon dengan adanya unsur yang diangkat dari Orang Asli Papua dalam lembaga dewan perwakilan rakyat menimbulkan diskriminasi di antara Orang Asli Papua sendiri dalam persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan serta jaminan kepastian bagi semua orang untuk memperoleh kesempatan yang sama. Berkenaan dengan hal ini penting bagi Mahkamah untuk menegaskan terlebih dahulu pertimbangan hukum beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi dalam menguji konstitusionalitas norma Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 116/PUU-VII/2009 yang telah diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 1 Februari 2010, Mahkamah telah memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.16.3] Bahwa pemberian otonomi khusus bagi Provinsi Papua pada dasarnya adalah pendelegasian kewenangan yang lebih luas bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan tersebut berarti pula kewenangan untuk memberdayakan potensi sosial-budaya dan perekonomian masyarakat Papua, termasuk memberikan peran yang memadai bagi masyarakat Papua untuk ikut serta merumuskan kebijakan daerah dan menentukan strategi pembangunan. Salah satu peran serta masyarakat asli Papua dalam merumuskan kebijakan daerah dan menentukan strategi pembangunan terutama dalam bidang sosial politik adalah menjadi anggota DPRP. Sehubungan dengan hal tersebut, Penjelasan Umum UU 21/2001 secara tegas mendorong orang asli Papua untuk terlibat baik dalam pemikiran maupun tindakan bagi kepentingan Provinsi Papua dengan harapan akan terjadi perubahan kualitas orang asli Papua dalam menguasai dan mengelola sumber daya alam, sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Penjelasan Umum UU 21/2001 tersebut dengan tegas menunjukkan adanya kebijakan afirmatif (affirmative action policy) yakni pengistimewaan untuk sementara waktu yang bertujuan memberikan peluang kepada masyarakat asli Papua untuk memiliki wakil di DPRP melalui pengangkatan;
[3.16.4] Bahwa UU 21/2001 sebagai pengejawantahan dari Pasal 18B ayat (1) UUD 1945, di dalamnya memuat pasal-pasal tertentu yang mengatur kekhususan dimaksud. Salah satunya adalah pembentukan DPRP sebagai lembaga perwakilan rakyat dari pemerintahan daerah Papua yang bersifat khusus dan berbeda dengan daerah provinsi lainnya. Kekhususan tersebut, antara lain, adanya sebagian anggota DPRP yang diangkat.
[3.16.5] Bahwa keanggotaan DPRP yang diangkat dengan kuota ditentukan oleh Pasal 6 ayat (4) UU 21/2001 yang menyatakan bahwa jumlah anggota DPRP adalah 1¼ (satu seperempat) kali dari jumlah anggota DPRD Provinsi Papua, adalah bentuk perlakuan khusus yang tidak bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”, merupakan kebijakan afirmatif. Perlakuan khusus seperti itu diterapkan juga untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yaitu diberikannya hak bagi masyarakat Aceh untuk mendirikan partai politik lokal;

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 106/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-07-2022

Dwi Pertiwi, Santi Warasyuti, Nafiah Murhayanti, S.Md, Perkumpulan Rumah Cemara, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat atau Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), yang dalam hal ini memberika kuasa kepada Erasmus Abraham Todo Napitupulu, dkk Advokat yang tergabung dalam kantor Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), untuk selanjutnya disebut Para Pemohon.

Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika

Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28H ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU Narkotika dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.12] Menimbang bahwa berkaitan dengan isu konstitusionalitas yang dipersoalkan oleh para Pemohon pada esensinya adalah berkenaan dengan inkonstitusionalitas Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU 35/2009 sebagaimana selengkapnya dinyatakan dalam Petitum Permohonan para Pemohon pada Paragraf [3.7] angka 6 di atas. Namun demikian, sebelum lebih lanjut mempertimbangkan isu konstitusionalitas yang dimohonkan oleh para Pemohon tersebut di atas, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan hal-hal sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa semangat yang terkandung dalam UU 35/2009 sebagaimana diuraikan dalam Konsideran dan Penjelasan Umum Undang-Undang a quo, antara lain menegaskan bahwa untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, maka kualitas sumber daya manusia Indonesia sebagai salah satu modal pembangunan nasional perlu dipelihara dan ditingkatkan secara terus-menerus, termasuk derajat kesehatannya. Selain itu, untuk meningkatkan derajat kesehatan sumber daya manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat perlu dilakukan upaya peningkatan di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara lain dengan mengusahakan ketersediaan narkotika jenis tertentu yang dimungkinkan dibutuhkan sebagai obat dan/atau terapi pada penyakit tertentu serta melakukan pencegahan dan pemberantasan bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, terlebih jenis narkotika tertentu. Berkaitan dengan pemanfaatan narkotika, di satu sisi narkotika untuk jenis tertentu merupakan obat atau bahan yang bermanfaat untuk pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, sedangkan di sisi lain narkotika jenis tertentu dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat tinggi pada pengguna dan dapat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama.
Bahwa lebih lanjut dalam Penjelasan Umum UU 35/2009 juga ditegaskan, narkotika jenis tertentu merupakan zat atau obat yang bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu. Namun, jika disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi perseorangan atau masyarakat, khususnya generasi bangsa. Terlebih, terhadap narkotika jenis tertentu lainnya yang oleh undang- undang benar-benar masih dilarang penggunaannya, selain apa yang secara tegas diperbolehkan, seperti halnya jenis Narkotika Golongan I yang hanya diperbolehkan untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Hal tersebut akan sangat merugikan jika pembatasan tersebut justru ada penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara yang pada akhirnya akan dapat merusak generasi bangsa dan bahkan melemahkan ketahanan nasional.
[3.12.2] Bahwa meskipun pemanfaatan narkotika telah digunakan secara sah dan diakui secara hukum sebagai bagian dari pelayanan kesehatan setidaknya di beberapa negara, antara lain Argentina, Australia, Amerika Serikat, Jerman, Yunani, Israel, Italia, Belanda, Norwegia, Peru, Polandia, Romania, Kolombia, Swiss, Turki, Inggris, Bulgaria, Belgia, Prancis, Portugal, Spanyol, Selandia Baru, dan Thailand, namun fakta hukum tersebut tidak serta-merta dapat dijadikan parameter, bahwa seluruh jenis narkotika dapat dimanfaatkan untuk pelayanan kesehatan yang dapat diterima dan diterapkan oleh semua negara. Hal ini disebabkan adanya karakter yang berbeda, baik jenis bahan narkotikanya, struktur dan budaya hukum masyarakat dari negara yang bersangkutan, termasuk sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Dalam perspektif ini, untuk negara Indonesia, walaupun diperoleh fakta hukum banyak orang yang menderita penyakit-penyakit tertentu dengan fenomena yang mungkin “dapat” disembuhkan dengan pengobatan yang memanfaatkan jenis narkotika golongan tertentu, namun hal tersebut tidak berbanding lurus dengan akibat besar yang ditimbulkan apabila tidak ada kesiapan, khususnya terkait dengan struktur dan budaya hukum masyarakat, termasuk sarana dan prasarana yang dibutuhkan belum sepenuhnya tersedia. Terlebih, berkenaan dengan pemanfaatan jenis Narkotika Golongan I termasuk dalam kategori narkotika dengan dampak ketergantungan yang sangat tinggi. Oleh karena itu, pemanfaatan Narkotika Golongan I di Indonesia harus diukur dari kesiapan unsur-unsur sebagaimana diuraikan tersebut di atas sekalipun terdapat kemungkinan keterdesakan untuk pemanfaatannya.
[3.13] Menimbang bahwa setelah menguraikan hal-hal sebagaimana tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan isu konstitusionalitas yang dipersoalkan oleh para Pemohon, yaitu berkaitan dengan Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU 35/2009, yang menurut para Pemohon bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dibaca “Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan Narkotika Golongan I adalah Narkotika yang dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan pelayanan kesehatan dan/atau terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan”, serta ketentuan norma Pasal 8 ayat (1) UU 35/2009 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Terhadap hal tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.13.1] Bahwa terhadap dalil para Pemohon terkait dengan inkonstitusionalitas Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU 35/2009 agar dibaca “Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan Narkotika Golongan I adalah Narkotika yang dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan pelayanan kesehatan dan/atau terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan”, menurut Mahkamah pengelompokkan narkotika ke dalam tiga jenis golongan sebagaimana dimaksud dalam UU 35/2009, yaitu Narkotika Golongan I, Narkotika Golongan II, dan Narkotika Golongan III merupakan hal yang penting dilakukan, mengingat sifat dari ketiga jenis golongan narkotika tersebut mempunyai dampak yang berbeda. Demikian halnya berkenaan dengan akibat hukum yang ditimbulkan, jika terjadi penyalahgunaan pemanfaatan narkotika yang dapat menimbulkan bahaya, tidak hanya berkaitan dengan ancaman jiwa, akan tetapi juga kehidupan manusia yang lebih luas. Oleh karenanya, sangat relevan pembagian jenis golongan narkotika tersebut tetap dipertahankan untuk dijadikan rujukan dalam membuat regulasi terkait dengan penggunaan, pengkajian dan penelitian, serta penegakan hukumnya ketika terjadi penyalahgunaan.
Bahwa oleh karena setiap jenis golongan narkotika memiliki dampak yang berbeda-beda, khususnya dalam hal tingkat ketergantungannya, maka di dalam menentukan jenis-jenis narkotika yang ditetapkan ke dalam suatu jenis golongan narkotika tertentu dibutuhkan metode ilmiah yang sangat ketat. Dengan demikian, terkait dengan adanya keinginan untuk menggeser/mengubah pemanfaatan jenis narkotika dari golongan yang satu ke dalam golongan yang lain maka hal tersebut juga tidak dapat secara sederhana dilakukan. Oleh karena itu, untuk melakukan perubahan sebagaimana tersebut di atas dibutuhkan kebijakan yang sangat komprehensif dan mendalam dengan melalui tahapan penting yang harus dimulai dengan penelitian dan pengkajian ilmiah.
Bahwa lebih lanjut dapat dijelaskan berkaitan dengan jenis Narkotika Golongan I telah ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU 35/2009 hanya dapat dipergunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Oleh karena itu, dari pembatasan imperatif dimaksud secara sederhana dapat dipahami bahwa Narkotika Golongan I adalah jenis narkotika yang mempunyai dampak paling serius dibandingkan dengan jenis narkotika golongan lainnya. Dengan demikian, dalam hal pemanfaatan Narkotika Golongan I tidak dapat dilepaskan dari keterpenuhan syarat-syarat yang sangat ketat tersebut, terlebih apabila akan dilakukan perubahan pemanfaatannya ke dalam pemanfaatan lain (berbeda) yang potensial menimbulkan korban nyawa manusia, jika tidak dilakukan terlebih dahulu pengkajian dan penelitian secara ilmiah.
Bahwa berkaitan dengan pemanfaatan jenis Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan dan/atau terapi, sebagaimana yang dimohonkan oleh para Pemohon, hal tersebut sama halnya dengan keinginan untuk mengubah pemanfaatan jenis Narkotika Golongan I yang secara imperatif hanya diperbolehkan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan. Pembatasan pemanfaatan demikian tidak terlepas dari pertimbangan bahwa jenis Narkotika Golongan I tersebut mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Oleh karena itu, berdasarkan fakta-fakta hukum yang diperoleh dalam persidangan, telah ternyata keinginan para Pemohon untuk diperbolehkannya jenis Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan dan/atau terapi belum terdapat bukti telah dilakukan pengkajian dan penelitian bersifat komprehensif dan mendalam secara ilmiah di Indonesia. Dengan belum adanya bukti ihwal pengkajian dan penelitian secara komprehensif tersebut, maka keinginan para Pemohon sulit dipertimbangkan dan dibenarkan oleh Mahkamah untuk diterima alasan rasionalitasnya, baik secara medis, filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Sementara itu, berkenaan dengan fakta- fakta hukum dalam persidangan yang menegaskan bahwa beberapa negara telah secara sah menurut undang-undangnya memperbolehkan pemanfaatan narkotika secara legal, hal tersebut tidak serta-merta dapat digeneralisasi bahwa negara- negara yang belum atau tidak melegalkan pemanfaatan narkotika secara bebas kemudian dapat dikatakan tidak mengoptimalkan manfaat narkotika dimaksud.
Di samping pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah dapat memahami dan memiliki rasa empati yang tinggi kepada para penderita penyakit tertentu yang “secara fenomenal” menurut para Pemohon dapat disembuhkan dengan terapi yang menggunakan jenis Narkotika Golongan I, sebagaimana yang dialami oleh anak Pemohon I, Pemohon II, dan Pemohon III. Namun, mengingat hal tersebut belum merupakan hasil yang valid dari pengkajian dan penelitian secara ilmiah maka dengan mengingat efek atau dampak yang dapat ditimbulkan apabila Mahkamah menerima argumentasi para Pemohon a quo. Oleh karenanya tidak ada pilihan lain bagi Mahkamah untuk mendorong penggunaan jenis Narkotika Golongan I dengan sebelumnya dilakukan pengkajian dan penelitian secara ilmiah berkaitan dengan kemungkinan pemanfaatan jenis Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan dan/atau terapi. Selanjutnya, hasil pengkajian dan penelitian secara ilmiah tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi pembentuk undang-undang di dalam merumuskan kemungkinan perubahan kebijakan berkenaan dengan pemanfaatan jenis Narkotika Golongan I.
Bahwa pengkajian dan penelitian sebagaimana dimaksud di atas dapat diselenggarakan oleh Pemerintah ataupun swasta setelah mendapat izin dari Menteri Kesehatan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (1) UU 35/2009, yang menyatakan “Lembaga ilmu pengetahuan yang berupa lembaga pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan oleh pemerintah ataupun swasta dapat memperoleh, menanam, menyimpan, dan menggunakan Narkotika untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi setelah mendapatkan izin Menteri”. Lebih lanjut ditegaskan mengenai syarat dan tata cara untuk mendapatkan izin dan penggunaan Narkotika sebagaimana dimaksud didasarkan pada Peraturan Menteri, sesuai dengan semangat Pasal 13 ayat (2) UU 35/2009. Artinya, lembaga pemerintah dan swasta secara bersama-sama atau pemerintah secara tersendiri melakukan pengkajian dan penelitian untuk menelaah secara ilmiah berkaitan dengan jenis Narkotika Golongan I untuk kepentingan pelayanan kesehatan ataupun terapi. Lebih lanjut, pengkajian dan penelitian yang dilakukan terhadap jenis Narkotika Golongan I secara konkret dilakukan berdasarkan standar profesi penelitian kesehatan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Di samping hasil pengkajian dan penelitian tersebut dapat memberikan telaahan secara ilmiah yang membuktikan kebenaran “hipotesis” tersebut, yaitu penggunaan atau pemanfaatan jenis Narkotika Golongan I dapat diperuntukkan guna keperluan pelayanan kesehatan dan/atau terapi untuk pengobatan penyakit tertentu, yang kemudian dilanjutkan dengan menguji penerapannya untuk kepentingan praktis.
[3.13.2] Bahwa selanjutnya penting dijelaskan, diperlukannya kepastian jenis Narkotika Golongan I dapat digunakan untuk keperluan pelayanan kesehatan dan/atau terapi melalui pengkajian dan penelitian dimaksud, di satu sisi juga bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum dan keselamatan kepada masyarakat dari bahaya penggunaan jenis Narkotika Golongan I yang berpotensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Oleh karena itu, secara imperatif sebelum ada hasil pengkajian dan penelitian, jenis Narkotika Golongan I hanya benar-benar digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan untuk pelayanan kesehatan dan/atau terapi. Bahkan bagi penyalahguna jenis Narkotika Golongan I yang secara tidak sah diancam dengan pidana penjara sangat berat (vide Pasal 111 sampai dengan Pasal 116 UU 35/2009). Sanksi ancaman pidana penjara yang sangat berat dimaksud disebabkan karena negara benar-benar ingin melindungi keselamatan bangsa dan negara dari bahaya penyalahgunaan narkotika, khususnya jenis Narkotika Golongan I. Dengan demikian, perlindungan kepada masyarakat dapat benar-benar diwujudkan karena jenis Narkotika Golongan I tetap harus dipandang sebagai jenis narkotika paling berbahaya, khususnya apabila dikaitkan dengan dampak ketergantungannya yang sangat tinggi.
Bahwa oleh karena tingkat ketergantungan jenis Narkotika Golongan I sangat tinggi dan berbahaya untuk kesehatan, maka sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Narkotika Golongan I dilarang juga digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau terapi. Sebab, pemberian pelayanan kesehatan yang aman kepada masyarakat merupakan tanggung jawab Negara sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 54 ayat (1) dan ayat (2) Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang menyatakan, “Penyelenggaraan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara bertanggung jawab, aman, bermutu, serta merata dan nondiskriminatif” dan “Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”. Oleh karena itu, Negara dalam konteks pemanfaatan jenis Narkotika Golongan I khususnya, dan jenis Narkotika Golongan II serta jenis Narkotika Golongan III pada umumnya, wajib melakukan pengawasan secara ketat agar penggunaan narkotika tidak disalahgunakan. Di samping pertimbangan hukum tersebut di atas, negara juga wajib menjamin setiap warga negara untuk mendapatkan pemenuhan hak dalam pelayanan kesehatan, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Dalam konteks inilah rasionalitas sesungguhnya yang menjadi salah satu alasan sangat penting dilakukannya pengkajian dan penelitian jenis Narkotika Golongan I yang dimungkinkan untuk pelayanan kesehatan dan/atau terapi, termasuk dalam hal ini untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan dari Menteri Kesehatan dan rekomendasi dari Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) UU 35/2009 (vide keterangan Presiden bertanggal 22 Juni 2021, hlm. 17).
Bahwa lebih lanjut dapat dijelaskan, sesungguhnya kebutuhan akan adanya kepastian dapat atau tidaknya jenis Narkotika Golongan I digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau terapi sudah sejak lama menjadi kebutuhan yang sangat mendesak. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya fakta hukum dalam Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU 35/2009 yang sudah mencantumkan “larangan secara tegas penggunaan jenis Narkotika Golongan I untuk terapi”. Dengan kata lain, sesungguhnya “fenomena” perihal kebutuhan terhadap jenis Narkotika Golongan I untuk dapat dimanfaatkan guna keperluan terapi sudah muncul sejak sebelum UU 35/2009 diundangkan. Dengan demikian, melalui Putusan a quo, Mahkamah perlu menegaskan agar pemerintah segera menindaklanjuti Putusan a quo berkenaan dengan pengkajian dan penelitian jenis Narkotika Golongan I untuk keperluan pelayanan kesehatan dan/atau terapi, yang hasilnya dapat digunakan dalam menentukan kebijakan, termasuk dalam hal ini dimungkinkannya perubahan undang-undang oleh pembentuk undang-undang guna mengakomodir kebutuhan dimaksud. Sebab, penyerahan kewenangan oleh Mahkamah kepada pembentuk undang-undang didasarkan karena UU 35/2009 a quo tidak hanya mengatur tentang penggolongan jenis narkotika akan tetapi termasuk di dalamnya juga mengatur tentang sanksi-sanksi pidana. Oleh karena terhadap undang-undang yang di dalamnya memuat substansi hal-hal yang berkenaan dengan pemidanaan (kriminalisasi/dekriminalisasi), Mahkamah dalam beberapa putusannya telah berpendirian hal-hal tersebut menjadi kewenangan pembentuk undang-undang (open legal policy). Sehingga, terhadap UU 35/2009 inipun oleh karena di samping mengatur tentang pemanfaatan narkotika yang diperlukan pengaturan yang sangat rigid dan secara substansial narkotika adalah persoalan yang sangat sensitif, serta karena alasan UU 35/2009 memuat sanksi-sanksi pidana, maka cukup beralasan apabila pengaturan norma-normanya diserahkan kepada pembentuk undang-undang untuk menindaklanjutinya.
[3.13.3] Bahwa terhadap hasil pengkajian dan penelitian apabila ternyata jenis Narkotika Golongan I dapat dimanfaatkan untuk pelayanan kesehatan dan/atau terapi dan diperlukannya peraturan-peraturan pelaksana, maka pemerintah bersama-sama dengan para pemangku kepentingan harus mengatur secara detail tentang antisipasi kemungkinan adanya penyalahgunaan jenis Narkotika Golongan I. Oleh karena itu, melalui Putusan a quo Mahkamah juga mengingatkan agar pembentuk undang-undang, termasuk pembuat peraturan pelaksana harus benar-benar cermat dan hati-hati dalam mengantisipasi hal-hal tersebut, mengingat kultur dan struktur hukum di Indonesia masih memerlukan edukasi secara terus menerus.
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berkesimpulan telah ternyata ketentuan Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU 35/2009 telah memberikan kemanfaatan dan kepastian hukum berkaitan dengan hak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, hak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, serta demi meningkatkan kualitas hidup dan demi kesejahteraan umat manusia sebagaimana di antaranya dimaksud dalam Pasal 28C ayat (1) UUD 1945. Di samping itu, ketentuan tersebut juga telah memberikan kepastian hukum berkaitan dengan hak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan sebagaimana di antaranya dimaksud dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, dalill permohonan para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas ketentuan Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU 35/2009 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.15] Menimbang bahwa selanjutnya dalil para Pemohon berkaitan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 8 ayat (1) UU 35/2009 yang menurut para Pemohon telah mengakibatkan hilangnya hak para Pemohon untuk mendapatkan manfaat dari pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berupa manfaat kesehatan dari jenis Narkotika Golongan I sebagaimana diatur dalam Pasal 28C ayat (1) UUD 1945. Terhadap dalil permohonan para Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan, sebagai berikut:
[3.15.1] Bahwa dalam menilai inkonstitusionalitas norma Pasal 8 ayat (1) UU 35/2009 sebagaimana didalilkan para Pemohon, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan, berkaitan dengan penilaian konstitusionalitas keberlakuan norma Pasal a quo tidak dapat dipisahkan dengan ketentuan Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU 35/2009 yang telah dipertimbangkan sebelumnya oleh Mahkamah. Adapun ketentuan Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU 35/2009 masing-masing selengkapnya sebagai berikut:
Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU 35/2009:
“Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ‘Narkotika Golongan I’ adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan”
Pasal 8 ayat (1) UU 35/2009:
“Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan”
[3.15.2] Bahwa oleh karena ketentuan norma Pasal 8 ayat (1) UU 35/2009 esensinya adalah menegaskan tentang larangan pemanfaatan jenis Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan, sementara itu Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU 35/2009 menegaskan tentang pembatasan pemanfaatan narkotika hanya untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan larangan penggunaan atau pemanfaatan jenis Narkotika Golongan I untuk terapi. Dengan demikian, oleh karena di dalam mempertimbangkan konstitusionalitas Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU 35/2009, Mahkamah telah berpendirian agar segera dilakukan pengkajian dan penelitian terhadap jenis Narkotika Golongan I untuk dapat atau tidaknya dimanfaatkan untuk pelayanan kesehatan dan/atau terapi, di mana terapi juga merupakan bagian dari kesehatan maka penegasan Mahkamah tersebut berkaitan agar segera dilakukannya pengkajian dan penelitian terhadap jenis Narkotika Golongan I, yang dimungkinkan dapat dipergunakan untuk pelayanan kesehatan dan/atau terapi, maka hal tersebut juga berlaku di dalam mempertimbangkan konstitusionalitas norma Pasal 8 ayat (1) UU 35/2009 a quo. Sehingga, Mahkamah berpendapat pertimbangan hukum di dalam menilai konstitusionalitas Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU 35/2009 dimaksud menjadi satu kesatuan dan dipergunakan dalam mempertimbangkan konstitusionalitas norma Pasal 8 ayat (1) UU 35/2009. Dengan demikian, oleh karena Mahkamah telah berpendirian Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU 35/2009 adalah konstitusional maka sebagai konsekuensi yuridisnya terhadap ketentuan norma Pasal 8 ayat (1) UU 35/2009 inipun harus dinyatakan konstitusional.
[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berkesimpulan telah ternyata ketentuan norma Pasal 8 ayat (1) UU 35/2009 telah memberikan kepastian hukum berkaitan dengan hak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar, hak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, serta demi meningkatkan kualitas hidup dan demi kesejahteraan umat manusia, sebagaimana di antaranya dimaksud dalam Pasal 28C ayat (1) UUD 1945. Di samping itu, ketentuan tersebut juga telah memberikan kepastian hukum berkaitan dengan hak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan, sebagaimana di antaranya dimaksud dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, dalil permohonan para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas ketentuan norma Pasal 8 ayat (1) UU 35/2009 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.17] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berkesimpulan permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Sedangkan dalil-dalil dan hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 25/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN FORMIL UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2022 TENTANG IBU KOTA NEGARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-07-2022

Dr. Abdullah Hehamahua, M.H; Dr. Marwan Batubara, M.Sc; Dr. H. Muhyiddin Junaidi, M.A; Habib Muhsin Ahmad Alatas; KH. Agus Solachul AAM; Jend. TNI (Purn) Tyasono Sudarto; Letjen. TNI Mar (Purn) Suharto; Jend. TNI (Purn) Yayat Suderajat; Mayjen TNI (Purn) Prijanto; Mayjen TNI (Purn) Soenarko MD; Kol. TNI (Purn) Sugeng Waras; Prof. Ir. Daniel Mohammad Rosyid, Ph.D; Dr. Syamsul Balda, S.E., M.M. MBA; Dr. Taufik Bahaudin, S.E; Dr. Masri Sitanggang, MP; Ir. Irwansyah; Didin S. Maolani, S.H; Agus Muhammad Maksum; Drs. H. M. Mursalim R; H. M. Rizal Fadillah, S.H; Agung Mozin; Gigih Guntoro; Mudrick Setiawan M. Sangidu; dan Muhammad Haikal Firzuni yang memberikan kuasa kepada Viktor Santoso Tandiasa, S.H., M.H., dkk., yang tergabung dalam kantor Poros Nasional Kedaulatan Negara (PNKN), untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

pengujian formil UU 3/2022

-

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian formil UU 3/2022 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

DALAM PROVISI:
[3.15] Terhadap permohonan provisi para Pemohon tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa pengujian undang-undang bukanlah bersifat adversarial dan bukan merupakan perkara yang bersifat interpartes atau bukan merupakan sengketa kepentingan para pihak, melainkan menguji keberlakuan suatu undang-undang yang bersifat umum yang berlaku bagi seluruh warga negara. Oleh karena itu, terhadap permohonan provisi a quo, haruslah dipertimbangkan secara tersendiri dan kasuistis sepanjang hal tersebut relevan dan mendesak untuk dilakukan. Namun, setelah Mahkamah mencermati secara saksama alasan permohonan provisi yang diajukan oleh para Pemohon lebih berkaitan erat dengan materi muatan UU 3/2022 sehingga tidak tepat apabila dijadikan sebagai alasan permohonan provisi dalam pengujian formil. Terlebih lagi, Mahkamah tidak menemukan adanya alasan yang kuat untuk menunda keberlakuan UU a quo. Di samping itu, Mahkamah juga telah memberikan batasan waktu yang singkat untuk memutus perkara pengujian formil sebagaimana telah dipertimbangkan pada Paragraf [3.9] di atas. Dengan demikian, permohonan provisi para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

DALAM POKOK PERMOHONAN:
[3.22] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan pembentukan UU 3/2022 tidak disusun dan dibentuk dengan perencanaan yang berkesinambungan yaitu mulai dari dokumen perencanaan pembangunan, perencanaan regulasi/legislasi, perencanaan keuangan negara dan pelaksanaan pembangunannya sehingga pembentukan UU 3/2022 bertentangan dengan asasasas pembentukan peraturan perundang-undangan, khususnya bertentangan dengan “asas kejelasan tujuan” sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf a UU 12/2011.
Terhadap dalil para Pemohon a quo, terlebih dahulu Mahkamah akan menegaskan maksud “asas kejelasan tujuan” sebagaimana ditentukan dalam UU 12/2011 adalah setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai [vide Penjelasan Pasal 5 huruf a UU 12/2011]. Sekalipun UU Nomor 12 Tahun 2011 diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 (selanjutnya disebut UU 13/2022) namun pengertian asas kejelasan tujuan tersebut masih tetap dirumuskan sama [vide Pasal 5 huruf a UU 13/2022]. Tanpa Mahkamah bermaksud menilai konstitusionalitas norma UU 3/2022, karena berkenaan dengan keterpenuhan syarat formil pembentukan undang-undang tidak dapat dilepaskan dari asas kejelasan tujuan. Berkaitan dengan hal ini, dalam UU 3/2022 telah dicantumkan tujuan dibentuknya UU a quo sebagaimana termaktub dalam Pasal 2 yang menyatakan bahwa:

“Ibu Kota Nusantara memiliki visi sebagai kota dunia untuk semua yang dibangun dan dikelola dengan tujuan untuk:
a. menjadi kota berkelanjutan di dunia;
b. sebagai penggerak ekonomi Indonesia di masa depan; dan
c. menjadi simbol identitas nasional yang merepresentasikan keberagaman bangsa Indonesia, berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

Terkait dengan tujuan tersebut dijelaskan pula dalam Penjelasan Umum UU 3/2022 yang menyatakan bahwa:
“Pembangunan dan pengelolaan Ibu Kota Nusantara memiliki visi Ibu Kota Negara sebagai kota dunia untuk semua yang bertujuan utama mewujudkan kota ideal yang dapat menjadi acuan (role model) bagi pembangunan dan pengelolaan kota di Indonesia dan dunia. Visi besar tersebut bertujuan untuk mewujudkan Ibu Kota Nusantara sebagai:
a. kota berkelanjutan di dunia, yang menciptakan kenyamanan, keselarasan dengan alam, ketangguhan melalui efisiensi penggunaan sumber daya dan rendah karbon;
b. penggerak ekonomi Indonesia di masa depan, yang memberi peluang ekonomi untuk semua melalui pengembangan potensi, inovasi, dan teknologi; serta
c. simbol identitas nasional, merepresentasikan keharmonisan dalam keragaman sesuai dengan Bhinneka Tunggal Ika” [vide Penjelasan Umum UU 3/2022].
Lebih lanjut, masih berkaitan dengan tujuan pembentukan UU 3/2022 pada Penjelasan Pasal 2 huruf a UU a quo dijelaskan maksud dari "kota berkelanjutan di dunia" adalah kota yang mengelola sumber daya secara tepat guna dan memberikan pelayanan secara efektif dalam pemanfaatan sumber daya air dan energi yang efisien, pengelolaan sampah berkelanjutan, moda transportasi terpadu, lingkungan layak huni dan sehat, dan lingkungan alam dan binaan yang sinergis, yang di dalamnya juga menetapkan Ibu Kota Nusantara sebagai kota di dalam hutan (forest city) untuk memastikan kelestarian lingkungan dengan minimal 75% (tujuh puluh lima persen) kawasan hijau, serta rencana Ibu Kota Nusantara dijalin dengan konsep masterplan yang berkelanjutan untuk menyeimbangkan ekologi alam kawasan terbangun, dan sistem sosial yang ada secara harmonis. Demikian pula dengan Penjelasan Pasal 2 huruf b UU 3/2022 yang berkaitan dengan tujuan "penggerak ekonomi Indonesia di masa depan" dijelaskan maksudnya adalah sebagai kota yang progresif, inovatif, dan kompetitif dalam aspek teknologi, arsitektur, tata kota, dan sosial. Artinya, IKN menetapkan strategi ekonomi superhub yang terkait dengan strategi tata ruang untuk melampaui potensi saat ini, memastikan sinergi yang produktif antara tenaga kerja, infrastruktur, sumber daya, dan jaringan, serta memaksimalkan peluang kerja bagi seluruh penduduk kota. Terakhir, berkaitan dengan tujuan pembentukan UU 3/2022 sebagai “simbol identitas nasional" dijelaskan maksudnya adalah kota yang mewujudkan jati diri, karakter sosial, persatuan, dan kebesaran bangsa yang mencerminkan kekhasan Indonesia [vide Penjelasan Pasal 2 huruf a, huruf b, dan huruf c UU 3/2022].

[3.22.1] Bahwa berkenaan dengan tujuan pembentukan IKN sebelum dituangkan dalam UU 3/2022 telah dicantumkan atau masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang pada prinsipnya menjabarkan secara bertahap Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 (vide Keterangan Pemerintah hlm. 19-20) dan Visi Indonesia 2033 yang secara eksplisit menyatakan adanya pemindahan episentrum Nusantara ke Kalimantan (vide bukti PK-20), yang pada pokoknya menyatakan pembentukan Ibu Kota Negara masuk sebagai salah satu rencana Proyek Prioritas Strategis (Major Project) RPJMN 2020-2024 (vide Lampiran I Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020- 2024 selanjutnya disebut Perpres 18/2020). Pembentukan Ibu Kota Negara tersebut dilatarbelakangi salah satunya guna meningkatkan pembangunan kawasan timur Indonesia untuk pemerataan wilayah. Selain itu, RUU IKN juga masuk dalam agenda pembangunan pengembangan wilayah untuk mengurangi kesenjangan antar wilayah di Indonesia [vide Bab IX Kaidah Pelaksanaan Bagian Kerangka Regulasi Lampiran I Perpres 18/2020 pada hlm. 273 = IX.7]

[3.22.2] Bahwa lebih lanjut, berkaitan dengan dalil para Pemohon yang mempersoalkan RUU IKN tidak memiliki perencanaan legislasi, penting pula bagi Mahkamah untuk menjelaskan terlebih dahulu maksud perencanaan legislasi dalam UU 12/2011 yang tidak dapat dilepaskan dari pengertian Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yaitu instrumen perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis [vide Pasal 1 angka 9 UU 12/2011]. Berkenaan dengan hal tersebut, UU 12/2011 menghendaki penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam Prolegnas yang merupakan skala prioritas program pembentukan Undang-Undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional [vide Pasal 16 dan Pasal 17 UU 12/2011]. Prolegnas dimaksud memuat program pembentukan undang-undang dengan judul rancangan undang-undang, materi yang diatur, dan keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya [vide Pasal 19 ayat (1) UU 12/2011]. Dengan merujuk pada Lampiran I Perpres 18/2020 menyatakan pada pokoknya untuk pembentukan Ibu Kota Negara perlu dasar hukum. Sebagai tindak lanjutnya, Pemerintah mengusulkan kepada DPR untuk memasukkan RUU tentang Ibu Kota Negara dalam Prolegnas yang kemudian diundangkan menjadi UU 3/2022 sebagai landasan pelaksanaan perpindahan Ibu Kota Negara. Terkait dengan pencantuman RUU IKN ke dalam Prolegnas, DPR menerangkan bahwa RUU IKN telah masuk Prolegnas jangka menengah 2020-2024 berdasarkan Surat Keputusan DPR RI Nomor 46/DPR RI/I/2019-2020 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Tahun 2020-2024 yang ditetapkan tanggal 17 Desember 2019 [vide Lampiran 1. Keterangan DPR] sebagaimana tercantum pada nomor 131. Selanjutnya, setiap tahun selalu masuk dalam Prolegnas prioritas tahunan yaitu pada tahun 2020 dimasukkan dalam Prolegnas Prioritas sebagaimana tercantum pada Nomor 46 [vide Lampiran 2 Surat Keputusan DPR RI Nomor 1/DPR RI/II/2019-2020 ditetapkan tanggal 22 Januari 2020 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan UndangUndang Prioritas Tahun 2020 = PK-1.Pemerintah]; pada tahun 2021 diajukan kembali sebagai Prolegnas Prioritas sebagaimana tercantum dalam nomor 28 [vide Lampiran 3 Surat Keputusan DPR RI Nomor 1/DPR RI/IV/2020-2021 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2021 ditetapkan tanggal 23 Maret 2021 dan Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Perubahan Tahun 2020-2024 = PK-25.Pemerintah]. Ketika ada pembahasan evaluasi Prolegnas Prioritas tahun 2021, RUU IKN tetap diprioritaskan sebagaimana tercantum dalam nomor 29 [vide Lampiran 4 Surat Keputusan DPR RI Nomor 9/DPR RI/I/2021-2022 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2021 yang ditetapkan tanggal 30 September 2021 dan Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Perubahan Kedua Tahun 2020-2024]; dan pada saat pembahasan prioritas tahunan 2022, RUU IKN dimasukkan kembali dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2022 sebagaimana tercantum dalam Nomor 33 [vide Lampiran 5 berdasarkan Surat Keputusan DPR RI Nomor 8/DPR RI/II/2021-2022 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2022 ditetapkan tanggal 7 Desember 2021 dan Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Perubahan Ketiga Tahun 2020-2024 = PK-25.Pemerintah]. Seluruh proses pangajuan Prolegnas Prioritas tahunan ini pun dilakukan sesuai dengan ketentuan UU 12/2011 yakni diajukan sebelum penetapan Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU APBN) [vide Pasal 20 ayat (5) UU 12/2011]. Hal ini dimaksudkan agar pembentukan suatu undang-undang mendapatkan kejelasan dari sisi penganggarannya, tidak hanya berkaitan dengan anggaran pembentukan undang-undangnya, namun juga diperhitungkan dampak undang-undang tersebut bagi keuangan negara, oleh karenanya harus dibahas dan ditetapkan usulan RUU dalam Prolegnas sebelum RUU APBN ditetapkan.
Terlebih lagi, dalam keterangannya, Pemerintah dan DPR menerangkan bahwa pemindahan Ibu Kota Negara ke luar Jawa diharapkan dapat mendorong percepatan pengurangan kesenjangan dan peningkatan pertumbuhan perekonomian daerah di luar Jawa terutama Kawasan Timur Indonesia. Selain itu, hadirnya UU 3/2022 merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia, juga untuk mewujudkan Ibu Kota Negara yang aman, modern, berkelanjutan, dan berketahanan serta menjadi acuan bagi pembangunan dan penataan wilayah lainnya di Indonesia dan hal tersebut juga merupakan bagian dari upaya untuk mewujudkan tujuan bernegara, sekaligus sebagai upaya mewujudkan salah satu cita-cita dalam visi Indonesia 2045 [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 25/PUU-XX/2022, tanggal 21 April 2022].

[3.22.3] Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut di atas telah ternyata perencanaan pembentukan IKN merupakan bagian dari program sistem perencanaan pembangunan nasional yang telah tercantum dalam Lampiran Perpres 18/2020 dan telah pula dituangkan dalam Prolegnas jangka menengah 2020-2024 dan telah diprioritaskan setiap tahunnya sejak tahun 2020 sehingga semakin menegaskan bahwa pembentukan IKN telah benar-benar memiliki kejelasan tujuan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf a UU 12/2011. Terlepas dari adanya dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa rencana pembentukan IKN ini seolah-olah “disusupkan” dalam RPJMN tahun 2020-2025, menurut Mahkamah alat bukti yang diajukan oleh para Pemohon tidak cukup membuktikan bahwa dalil a quo benar adanya, apalagi untuk dapat mematahkan argumentasi atau fakta hukum serta bukti-bukti yang diajukan oleh Pemerintah dan DPR. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, untuk melihat secara menyeluruh tujuan dan kejelasan sebuah undang-undang haruslah dilihat secara keseluruhan norma undang-undang tersebut yang selanjutnya apabila dianggap dapat merugikan hak konstitusional atau menyimpangi dari tujuan dibentuknya undang-undang maka dapat dilakukan pengujian secara materiil terhadap norma dimaksud ke Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, sesungguhnya dengan telah dicantumkannya maksud dan tujuan penyusunan undang-undang dalam UU 3/2022 dan dijelaskan secara komprehensif dalam Penjelasan Umum sebagaimana hal tersebut juga telah dinyatakan dalam Perpres 18/2020 mengenai RPJMN maka tujuan pembentukan UU 3/2022 pada prinsipnya telah memenuhi “asas kejelasan tujuan” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a UU 12/2011.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa pembentukan UU 3/2022 telah melanggar “asas kejelasan tujuan” sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf a UU 12/2011 adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.23] Menimbang bahwa selanjutnya para Pemohon mendalilkan UU 3/2022 banyak mendelegasikan materi yang berkaitan dengan IKN dalam peraturan pelaksana, sehingga menurut para Pemohon pembentukan UU 3/2022 bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, khususnya bertentangan dengan “asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan” sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf c UU 12/2011.
Terhadap dalil a quo, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan terlebih dahulu maksud asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan [vide Penjelasan Pasal 5 huruf c UU 12/2011]. Berkaitan dengan jenis dan hierarki dimaksud harus dikaitkan dengan Pasal 7 UU 12/2011 yang menyatakan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundangundangan terdiri atas: a). UUD 1945; b). Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c). Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d). Peraturan Pemerintah; e). Peraturan Presiden; f). Peraturan Daerah Provinsi; dan g). Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Sedangkan, berkaitan dengan materi muatan untuk masing-masing jenis peraturan perundang-undangan tersebut ditentukan dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal 15 UU 12/2011. Dalam hal ini, khusus terkait dengan materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang berisi: a) pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b) perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang; c) pengesahan perjanjian internasional tertentu; d) tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau e) pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Sementara itu, materi muatan peraturan pemerintah berisi materi untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Hal ini dijelaskan maksudnya bahwa penetapan peraturan pemerintah untuk melaksanakan perintah undang-undang atau untuk menjalankan undang-undang sepanjang diperlukan dengan tidak menyimpang dari materi yang diatur dalam undang-undang yang bersangkutan [vide Pasal 12 UU 12/2011 dan Penjelasannya]. Berkenaan dengan peraturan presiden ditentukan muatannya berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. Artinya, Peraturan Presiden dibentuk untuk menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut perintah Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah secara tegas maupun tidak tegas diperintahkan pembentukannya [vide Pasal 13 UU 12/2011 dan Penjelasannya].
Berkaitan dengan aturan pendelegasian yang didalilkan para Pemohon merupakan segala hal yang bersifat strategis sehingga seharusnya diatur dalam materi muatan undang-undang bukan dalam aturan pelaksana. Berkenaan dengan dalil a quo, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan cakupan pendelegasian yang terdapat dalam UU 3/2022, apakah benar materi muatannya memang harus ada dalam undang-undang bukan dalam peraturan pelaksana. Setelah Mahkamah memeriksa secara saksama keseluruhan ketentuan dalam UU 3/2022 yang terdiri dari 44 (empat puluh empat) pasal di mana pendelegasian pengaturan lebih lanjut terdapat di antaranya dalam (tanpa Mahkamah bermaksud menilai konstitusionalitas norma pasal-pasal UU 3/2022):
1. Pasal 7 ayat (4) yang memerintahkan pengaturan perincian Rencana Induk Ibu Kota Nusantara diatur dengan Peraturan Presiden.
2. Pasal 7 ayat (6) yang memerintahkan perubahan Rencana Induk Ibu Kota Nusantara diatur dengan Peraturan Presiden.
3. Pasal 12 ayat (3) ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan khusus Otorita Ibu Kota Nusantara diatur dalam Peraturan Pemerintah setelah berkonsultasi dengan DPR.
4. Pasal 14 ayat (2) ketentuan mengenai pembagian wilayah Ibu Kota Nusantara ke dalam beberapa wilayah yang bentuk, jumlah, dan strukturnya diatur dalam Peraturan Presiden.
5. Pasal 15 ayat (2) memerintahkan ketentuan lebih lanjut mengenai Rencana Tata Ruang KSN Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diatur dengan Peraturan Presiden. Dengan penjelasan bahwa Rencana Induk Ibu Kota Nusantara menjadi acuan bagi penyusunan pengaturan penataan ruang Rencana Tata Ruang KSN Ibu Kota Nusantara.
6. Pasal 22 ayat (5) memerintahkan mengenai pemindahan Lembaga Negara, aparatur sipil negara, perwakilan negara asing, dan perwakilan organisasi/lembaga internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Presiden.
7. Pasal 24 ayat (7) memerintahkan mengenai pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
8. Pasal 25 ayat (3) memerintahkan pengaturan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kerja dan anggaran Ibu Kota Nusantara diatur dalam Peraturan Pemerintah.
9. Pasal 26 ayat (2) memerintahkan tata cara pelaksanaan dan pertanggungjawaban anggaran Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (l) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
10. Pasal 35 memerintahkan ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Barang Milik Negara dan aset dalam penguasaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
11. Pasal 36 ayat (7) memerintahkan ketentuan lebih lanjut mengenai pengalihan barang milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sampai dengan ayat (6) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Dengan merujuk pada Lampiran II UU 12/2011, pada angka 198 ditentukan bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat mendelegasikan kewenangan mengatur lebih lanjut kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Selanjutnya, pada angka 199 ditentukan bahwa pendelegasian kewenangan dapat dilakukan dari suatu Undang-Undang kepada Undang-Undang yang lain, dari Peraturan Daerah Provinsi kepada Peraturan Daerah Provinsi yang lain, atau dari Peraturan Daerah Kabupaten/Kota kepada Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang lain. Sementara itu, pada angka 200 Lampiran II a quo ditentukan pula bahwa pendelegasian kewenangan mengatur harus menyebut dengan tegas: a) ruang lingkup materi muatan yang diatur; dan b) jenis Peraturan Perundang-undangan [vide Lampiran II UU 12/2011 dalam Bab II Hal-Hal Khusus, Huruf A. PENDELEGASIAN KEWENANGAN].
Dengan mendasarkan pada ketentuan teknik pendelegasian dalam UU 12/2011, pengaturan pendelegasian oleh UU 3/2022 telah sejalan dengan teknik pendelegasian dimaksud. Dalam hal ini, jika yang dipersoalkan oleh para Pemohon mengenai pengaturan Rencana Induk Ibu Kota Nusantara maka materi muatan pokok atas Rencana Induk Ibu Kota Nusantara telah ditentukan sebagai materi muatan UU a quo yang meliputi paling sedikit: a. pendahuluan; b. visi, tujuan, prinsip dasar, dan indikator kinerja utama; c. prinsip dasar pembangunan; dan d. penahapan pembangunan dan skema pendanaan. Materi muatan Rencana Induk Ibu Kota Nusantara tersebut telah tercantum dalam Lampiran II UU 3/2022 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari UU a quo. Sementara itu, pembentuk undang-undang menghendaki pengaturan lebih lanjut yang bersifat rincian dari materi muatan pokok dalam UU a quo agar diatur dengan peraturan presiden. Pendelegasian demikian ini telah sejalan dengan teknik pendelegasian sebagaimana dimaksud dalam UU 12/2011. Artinya, apabila segala hal ihwal teknis seluruhnya harus diatur dalam UU maka justru akan timbul persoalan di kemudian hari, jika ihwal demikian tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan ke depannya. Terlebih lagi, proses mengubah suatu undang-undang jauh lebih sulit dibandingkan dengan mengubah peraturan pelaksana. Oleh karena itu, berkaitan dengan dalil para Pemohon yang mempersoalkan adanya peraturan pelaksana yang tidak seharusnya mengatur muatan undang-undang tanpa memberi dasar argumentasi dan bukti-bukti yang meyakinkan bagi Mahkamah, maka apa yang para Pemohon persoalkan tersebut lebih merupakan bentuk kekhawatiran atas implementasi UU 3/2022. Dalam kaitan ini, hal yang terpenting adalah peraturan pelaksana tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang mendelegasikannya (dari peraturan yang lebih tinggi). Andaipun ada persoalan pertentangan demikian, quod non, sistem hukum pengujian peraturan perundang-undangan di Indonesia pun telah mengatur penyelesaiannya oleh lembaga yang diberi kewenangan untuk itu [vide Pasal 24A UUD 1945]. Berkaitan dengan hal ini, Mahkamah memandang penting pula untuk menegaskan bahwa dengan telah diberlakukannya UndangUndang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas UU 12/2011 (UU 13/2022) DPR, Presiden, dan DPD diberi kewenangan untuk melakukan pemantauan dan peninjauan atas pelaksanaan undang-undang yang berlaku [vide Pasal 95A UU 13/2022].
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, dalil para Pemohon bahwa pembentukan UU 3/2022 bertentangan dengan “asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan” sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf c UU 12/2011 adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.24] Menimbang bahwa para Pemohon juga mendalilkan, pembentukan UU 3/2022 telah bertentangan dengan “asas dapat dilaksanakan” sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf d UU 12/2011. Hal tersebut menurut para Pemohon, salah satunya akibat adanya pandemi Covid-19 yang berdampak juga terhadap perekonomian nasional dan global sehingga faktor ekonomi mestinya turut dipertimbangkan oleh Pemerintah dalam menyusun kebijakan pemindahan IKN. Selain itu, menurut para Pemohon, UU 3/2022 dalam pembentukannya tidak memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan dalam masyarakat secara sosiologis.
Terhadap dalil para Pemohon a quo, penting pula bagi Mahkamah untuk menjelaskan terlebih dahulu maksud “asas dapat dilaksanakan” dalam Pasal 5 huruf d UU 12/2011 bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Terkait dengan hal tersebut sebagaimana telah Mahkamah pertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XVII/2019 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 4 Mei 2021 yang pada pokoknya terkait dengan asas dapat dilaksanakan haruslah didalami lebih lanjut pasal demi pasal yang apabila menurut para Pemohon tidak jelas atau memiliki penafsiran yang berbeda atau bertentangan isinya antara pasal yang satu dengan pasal lainnya sehingga tidak dapat dilaksanakan, maka terkait dengan norma tersebut bukan merupakan bagian dari penilaian Mahkamah dalam pengujian formil a quo [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XVII/2019 hlm. 366-367].
Terlepas dari pertimbangan di atas, setelah Mahkamah mencermati secara saksama argumentasi dan bukti yang diajukan, telah ternyata para Pemohon dalam mendalilkan adanya persoalan asas dapat dilaksanakan yang tidak diterapkan dalam pembentukan UU 3/2022, tanpa memberikan bukti-bukti yang dapat meyakinkan Mahkamah. Karena, setelah Mahkamah mencermati Naskah Akademik RUU IKN telah dengan jelas menguraikan kebutuhan UU 3/2022 baik secara filosofis, sosiologis, dan yuridis. Dalam hal ini, secara sosiologis pada pokoknya diuraikan dalam Naskah Akademik adalah:
Bahwa perpindahan IKN disebabkan adanya beberapa permasalahan karena IKN yang saat ini berkedudukan di Provinsi DKI Jakarta, sudah tidak lagi dapat mengemban perannya secara optimal. Jakarta tidak secara optimal menjadi kota yang menjamin warganya senantiasa aman, terhindar dari bencana alam, atau untuk mendapatkan kondisi hidup layak dan berkelanjutan. Hal itu disebabkan dengan semakin pesatnya pertambahan penduduk yang tidak terkendali, penurunan kondisi dan fungsi lingkungan, dan tingkat kenyamanan hidup yang semakin menurun. Selain itu, juga terdapat masalah ketidakmerataan persebaran pertumbuhan ekonomi di luar Jakarta dan Pulau Jawa dengan wilayah lain. Ketidakmerataan tersebut perlu diatasi agar tidak menimbulkan konflik. Kondisi-kondisi tersebut tak lain adalah beban yang bersumber dari sejarah yang panjang, yang telah menjadikan Jakarta sebagai pusat segalanya sejak dahulu kala. Beban itu bertambah ketika Jakarta menjalankan fungsi ganda, selain sebagai daerah otonom provinsi juga disematkan fungsi sebagai IKN. Alhasil, tata kelola IKN harus senantiasa menyesuaikan kondisi Jakarta, tidak bisa serta merta mengatur secara utuh dan ideal. Dengan demikian ada kebutuhan menyelesaikan permasalahan IKN secara komprehensif, yang sekiranya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat secara umum dalam aspek ekonomi dan bisnis, penataaan ruang, penatagunaan tanah, pemerintahan, lingkungan hidup, ketahanan terhadap bencana yang mumpuni, dan kebutuhan lainnya. Lebih besar lagi ada kebutuhan negara untuk mengadakan tata kelola IKN yang lebih baik lagi sehingga jalannya pemerintahan secara keseluruhan dapat menjadi lebih baik lagi [vide Lampiran 7.DPR = PK-2. Pemerintah - Naskah Akademik RUU IKN]

Selain itu, berkaitan dengan dalil para Pemohon yang mengaitkan aspek sosiologis tersebut dengan adanya trend kenaikan penularan Covid-19 karena menyatakan pembentuk undang-undang seolah-olah tidak memiliki perhatian terhadap semakin meningginya penularan Covid-19 pada saat dilakukannya pembahasan UU a quo. Terhadap dalil ini pun para Pemohon tidak memberikan argumentasi dan bukti yang dapat meyakinkan Mahkamah korelasi antara kenaikan penularan Covid-19 dengan pembahasan RUU IKN. Menurut Mahkamah, dengan mencermati tujuan dibentuknya UU 3/2022 sebagaimana telah dipertimbangkan di atas serta uraian aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis dalam Naskah Akademik RUU IKN, Pembentuk Undang-Undang telah memperhitungkan dampak pembangunan IKN terhadap masyarakat setempat yang sudah mendiami wilayah tersebut sebelum rencana pemindahan IKN dilakukan, sehingga pembangunan dan pengelolaan IKN dapat berlangsung secara terukur sesuai dengan tujuan dibentuknya IKN. Berdasarkan fakta hukum yang terungkap dalam persidangan hal tersebut telah dilakukan oleh Pemerintah dengan membuat kajian secara komprehensif perihal rencana pemindahan ibu kota tersebut [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 25/PUU-XX/2022, tanggal 21 April 2022];
Dengan demikian menurut Mahkamah dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa pembentukan UU 3/2022 telah melanggar “asas dapat dilaksanakan” sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf d UU 12/2011 adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.25] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan pembentukan UU 3/2022 bertentangan dengan “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan”. Hal tersebut dikarenakan, tingginya penolakan masyarakat terhadap perpindahan IKN yang juga didasarkan pada hasil survei dari Kedai Kopi, sehingga menurut para Pemohon UU 3/2022 tidak benar-benar dibutuhkan karena yang dibutuhkan masyarakat adalah pemulihan ekonomi masyarakat di masa pandemi Covid-19 yang hingga saat ini belum jelas kapan akan berakhir. Oleh karena itu, menurut para Pemohon UU 3/2022 bertentangan dengan “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan” sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf e UU 12/2011.
Terhadap dalil para Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah menjelaskan terlebih dahulu maksud "asas kedayagunaan dan kehasilgunaan" bahwa setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara [vide Penjelasan Pasal 5 huruf e UU 12/2011]. Menurut Mahkamah, untuk melihat secara saksama tentang sejauhmana IKN dibutuhkan dan juga bermanfaat bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah dengan membaca secara komprehensif seluruh dokumen yang terkait dengan pembentukan UU 3/2022, serta keseluruhan bagian dari UU a quo mulai dari bagian konsiderans menimbang sebagai dasar filosofis dan sosiologis serta bagian penjelasan umum yang mendeskripsikan latar belakang pembentukan suatu UU, apakah benar memang mengabaikan asas tersebut. Dalam kaitan ini pun para Pemohon tidak memberikan bukti-bukti yang dapat meyakinkan Mahkamah atas tidak berdayaguna dan berhasilgunanya UU 3/2022.

[3.25.1] Bahwa jika dikaitkan dengan hasil survei yang dilakukan oleh Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (Kedai Kopi) sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon dalam permohonannya yang pada pokoknya hasil survei tersebut mengindikasikan bahwa sebanyak 61,9% orang tidak setuju Ibu Kota dipindahkan dengan alasan utama adanya potensi pemborosan anggaran negara. Menurut Mahkamah, survei tersebut tidak dapat dijadikan acuan bahwa UU 3/2022 telah melanggar asas kedayagunaan dan kehasilgunaan. Mahkamah dapat memahami kekhawatiran dari para Pemohon berkenaan dengan penularan Covid-19, namun kekhawatiran tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak dilakukannya atau menghentikannya pembahasan atas suatu RUU. Terlebih lagi, di tengah kondisi pandemi Covid-19 di mana setiap orang harus mematuhi ketentuan atau protokol kesehatan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah maka upaya yang dapat dilakukan salah satunya dengan menjaga jarak (physical distancing). Oleh karenanya, pembahasan atas suatu RUU pun tetap dapat dilakukan secara daring (dalam jaringan), tanpa harus menghentikan seluruh proses yang telah ditentukan. Selain itu, berkenaan dengan pendanaan pembangunan IKN yang dikhawatirkan para Pemohon akan menghambat pemulihan ekonomi masyarakat akibat pandemi Covid-19, sesungguhnya tidaklah berkorelasi dengan persoalan konstitusionalitas proses pembentukan UU 3/2022, di mana proses tersebut harus didasarkan pada undang-undang pembentukan peraturan perundang-undangan yang merupakan amanat Pasal 22A UUD 1945.

[3.25.2] Bahwa selanjutnya, penting pula bagi Mahkamah untuk menjelaskan penggunaan APBN sebagai salah satu sumber pendanaan dalam rangka mendukung persiapan, pembangunan, dan pemindahan serta penyelenggaraan pemerintahan khusus IKN merupakan hal yang lazim dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, sepanjang hal tersebut dilakukan dengan benar dan telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Terlebih lagi menurut Mahkamah, dalam Lampiran II UU 3/2022 telah memberikan gambaran secara utuh bahwa pendanaan IKN tidak sepenuhnya menggunakan anggaran dari APBN, namun juga dengan menggunakan skema kerja sama pemerintah dan badan usaha, skema partisipasi badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki negara, termasuk BUMN/swasta murni, skema dukungan pendanaan/pembiayaan internasional, skema pendanaan lainnya (creative financing), dan skema melalui pemanfaatan Barang Milik Negara (BMN), seperti sewa, kerja sama pemanfaatan, Bangun Guna Serah (BGS), dan Bangun Serah Guna (BSG) [vide Lampiran II UU 3/2022 hlm. 123-124]. Dalam kaitan ini, Mahkamah perlu menegaskan bahwa seluruh kerja sama yang berkaitan dengan pendanaan IKN, jika hal tersebut benar maka berkaitan dengan pendanaan tersebut seyogyanya tidak mengurangi kedaulatan dan kemandirian negara dalam mengambil keputusan terhadap setiap kebijakan strategis negara.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon bahwa pembentukan UU 3/2022 telah melanggar “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan” sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf e UU 12/2011 adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.26] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan pula pembentukan UU 3/2022 telah bertentangan dengan “asas keterbukaan” sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf g UU 12/2011. Hal tersebut menurut para Pemohon, dibuktikan dengan adanya 28 (dua puluh delapan) tahapan/agenda pembahasan RUU IKN di DPR, di mana hanya ada 7 (tujuh) agenda yang dokumen dan informasinya dapat diakses, sedangkan 21 (dua puluh satu) agenda lainnya informasi dan dokumennya tidak dapat diakses publik sehingga representasi masyarakat yang terlibat dalam pembahasan RUU IKN sangatlah parsial dan tidak holistik.
Terhadap dalil para Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah untuk menjelaskan terlebih dahulu maksud "asas keterbukaan" yang semula dijelaskan dalam Pasal 5 huruf g UU 12/2011 adalah bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Terkait hal tersebut, tanpa Mahkamah bermaksud menilai substansinya, dengan telah diberlakukannya UU 13/2022 terdapat perubahan maksud asas keterbukaan tersebut menjadi adalah bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan, termasuk pemantauan dan peninjauan, memberikan akses kepada publik yang mempunyai kepentingan dan terdampak langsung untuk mendapatkan informasi dan/atau memberikan masukan pada setiap tahapan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilakukan secara lisan dan/atau tertulis dengan cara daring (dalam jaringan) dan/atau luring (luar jaringan) [vide Penjelasan Pasal 5 huruf g UU 13/2022].

[3.26.1] Bahwa ketentuan Pasal 5 huruf g UU 12/2011 sebagaimana telah diubah dengan UU 13/2022 tidak dapat dilepaskan dari ketentuan Pasal 96 UU 12/2011 yang semula mengatur mengenai partisipasi publik sebagai berikut:
(1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
(2) Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui:
a. rapat dengar pendapat umum;
b. kunjungan kerja;
c. sosialisasi; dan/atau
d. seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.
(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan.
(4) Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.

Sementara itu, sekali lagi, tanpa Mahkamah bermaksud menilai substansinya, dengan berlakunya UU 13/2022 ketentuan Pasal 96 UU 12/2011 telah diubah seluruhnya sehingga menjadi sebagai berikut:
(1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam setiap tahapan Pembentukan Peraturan Perundangundangan.
(2) Pemberian masukan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara daring dan/atau luring.
(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan orang perseorangan atau kelompok orang yang terdampak langsung dan/atau mempunyai kepentingan atas materi muatan Rancangan Peraturan Perundang-undangan.
(4) Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Naskah Akademik dan/atau Rancangan Peraturan Perundang-undangan, dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
(5) Dalam melaksanakan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembentuk Peraturan Perundang-undangan menginformasikan kepada masyarakat tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan.
(6) Untuk memenuhi hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembentuk Peraturan Perundang-undangan dapat melakukan kegiatan konsultasi publik melalui:
a. rapat dengar pendapat umum;
b. kunjungan kerja;
c. seminar, lokakarya, diskusi; dan/ atau
d. kegiatan konsultasi publik lainnya.
(7) Hasil kegiatan konsultasi publik sebagaimana dimaksud pada ayat (6) menjadi bahan pertimbangan dalam perencanaan, penyusunan, dan pembahasan Rancangan Peraturan Perundang-undangan.
(8) Pembentuk Peraturan Perundang-undangan dapat menjelaskan kepada masyarakat mengenai hasil pembahasan masukan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (8) diatur dalam Peraturan DPR, Peraturan DPD, dan Peraturan Presiden.
Namun demikian, dikarenakan UU 13/2022 diundangkan pada 16 Juni 2022, jauh setelah UU 3/2022 diundangkan pada 15 Februari 2022 maka untuk menilai proses pembentukan UU 3/2022 apakah telah memenuhi asas keterbukaan tetap mendasarkan pada UU 12/2011.

[3.26.2] Bahwa berkenaan dengan keterpenuhan asas keterbukaan ini, penting bagi Mahkamah terlebih dahulu mengungkapkan fakta-fakta hukum dalam persidangan sebagai berikut:
1. Bahwa pada tahun 2017-2019, Pemerintah (Bappenas) telah melakukan kajian pemindahan ibu kota negara yang ditindaklanjuti dengan melaksanakan dialog nasional secara tematik untuk memperoleh masukan dari berbagai stakeholders, pakar-pakar, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi dan juga lembagalembaga kajian terkait Penyusunan Rencana Induk Ibu Kota Negara dilakukan dengan Kelakukan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) [vide PK1.Pemerintah].
2. Bahwa Pemerintah telah menerima berbagai masukan dan aspirasi dari publik terkait IKN baik yang disampaikan langsung ke Pemerintah Pusat maupun yang disampaikan melalui Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten di lokasi Ibu Kota Nusantara dan telah pula melakukan lokakarya yang mengundang pakar-pakar hukum ketatanagaraan untuk memberikan masukan dari sudut pandang konstitusi dan proses pembentukan undang-undang. [vide bukti PK-5, PK6.Pemerintah]
3. Bahwa Dewan Perwakilan Rakyat telah melakukan beberapa kegiatan guna menjaring masukan dari masyarakat baik secara lisan/tulisan yaitu kegiatan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dan kunjungan kerja dalam rangka pembahasan RUU IKN yang merupakan salah satu proses pembentukan UU IKN, di antaranya:
a. RDPU Pansus RUU tentang Ibu Kota Negara dengan Pakar (5 orang Pakar), yakni Dr. Wicipto Setiadi (Perspektif Hukum Tata Negara); Dr. Hendricus Andy Simarmata (perspektif hukum lingkungan); Wicaksono Sarosa (perspektif hukum lingkungan); Dr. Asep Sofyan (perspektif lingkungan); dan Dr. Nurkholis (perspektif ilmu ekonomi) yang diselenggarakan tanggal 8 Desember 2021 (vide Lampiran 11).
b. RDPU Pansus RUU tentang Ibu Kota Negara dengan Pakar (5 orang Pakar), yakni Prof Paulus (Perspektif Sosial Kemasyarakatan); Anggito Abimanyu (Perspektif Ekonomi dan Pendanaan Berkelanjutan); Erasmus Cahyadi Terre (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara); Dr. Fadhil Hasan (Perspektif Ekonomi dan Governance); dan Avianto Amri (Masyarakat Peduli Bencana Indonesia) yang diselenggarakan tanggal 9 Desember 2021 (vide Lampiran 17).
c. RDPU Pansus RUU tentang Ibu Kota Negara dengan Pakar (5 orang Pakar), yakni Robert Endi Jaweng (ex KPPOD) dalam Perspektif Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal serta Kelembagaan Daerah Virtual; Dr. Master P. Tumangor dalam Perspektif Ekonomi, Investasi Pendanaan dan Pengalihan Aset Pansus B; Dr. Mukti Ali, Dosen FT Univ Hasanuddin dalam Perspektif Perencanaan Wilayah dan GIS Virtual; M. Djailani, AORDA Kalteng (Audiensi) Pansus B; dan Suharyono, IMPI (Audiensi) Virtual yang diselenggarakan pada tanggal 10 Desember 2021 (vide Lampiran 23).
d. RDPU Pansus RUU tentang Ibu Kota Negara dengan Pakar (4 orang Pakar), yakni Prof. Satya Arinanto, SH.MH Pakar Hukum HTN FHUI IKN dalam Perspektif Hukum Tata Negara Hadir/Virtual; Dr. Chazali H. Situmorang Pakar Kebijakan Publik Unas IKN dalam Perspektif Kebijakan Publik; Dr. Aminuddin Kasim, SH.MH Pakar HTN Universitas Tadulako Sulteng IKN dalam Perspektif Kelembagaan Negara Virtual; dan Dr. Pratama Dahlian Persadha Chairman Lembaga Riset Keamanan Si dan Komunikasi CISSReC (Communication and Information System Security Research Center Virtual), yang diselenggarakan tanggal 11 Desember 2021 (vide Lampiran 29).
e. RDPU tentang Ibu Kota Negara dengan 7 orang pakar, yakni Prof. Maria S.W. Soemardjono, S.H., MCL, MPA selaku Pakar Hukum Pertanahan UGM; Ananda B. Kusuma selaku Pakar Sejarah Ketatanegaraan IKN; Dr. Yayat Supriatna selaku Pakar Tata Ruang Univ. Trisakti; Dr. Arief Anshory Yusuf selaku Pakar Ekonomi; Prof. Haryo Winarso selaku Pakar Planologi ITB; Siti Jamaliah Lubis selaku Presiden Kongres Advokat Januari; Juniver Girsang selaku Ketua Perhimpunan Advokat Januari-Suara Advokat Januari yang diselenggarakan pada tanggal 12 Desember 2021 (vide Lampiran 34);
f. Audiensi dengan Forum Dayak Bersatu tanggal 17 Desember 2021 (vide Lampiran 47);
g. Konsultasi Publik Anggota Pansus dengan Civitas Akademik Universitas Mulawarman – Januari Timur yang diselenggarakan tanggal 11 Januari 2022 (vide Lampiran 55).
h. Konsultasi Publik Anggota Pansus dengan Civitas Akademik Universitas Hasanuddin – Sulawesi Selatan dan Universitas Sumatera Utara yang diselenggarakan tanggal 12 Januari 2022 (vide Lampiran 57).
i. Kunjungan Anggota Pansus ke kawasan calon Ibu Kota Negara di Penajam Paser Utara – Januari Timur yang diselenggarakan pada tanggal 14 Januari 2022 (vide Lampiran 61).
4. Bahwa data terkait dengan proses pembentukan UU IKN dapat diakses di laman Dewan Perwakilan Rakyat yakni https//:www.dpr.go.id/uu/detail/kt/368.
5. Bahwa dalam penyusunan UU 3/2022 telah dilakukan public hearing dengan mengundang masyarakat dan akademisi yang bertempat di beberapa Universitas di Indonesia, antara lain Universitas Sam Ratulangi, Universitas Indonesia, UPN Veteran Jakarta, Universitas Mulawarman, Universitas Hasanuddin, Universitas Sumatera Utara [vide lampiran keterangan tambahan Pemerintah PK-6 sampai dengan PK-19, PK-24] yang dapat di akses melalui laman youtube sebagai berikut:
[3.26.3] Bahwa berdasarkan uraian fakta-fakta hukum tersebut di atas, terbukti Pemerintah dan DPR telah melakukan berbagai kegiatan untuk menyerap aspirasi yang berkembang di masyarakat, baik dari tokoh masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), akademisi, pakar hukum tata negara, dan kelompok masyarakat adat. Terkait dengan adanya berbagai kegiatan tersebut, Mahkamah tidak menemukan fakta hukum bahwa para Pemohon berupaya untuk melibatkan diri dan/atau terlibat secara pro-aktif dan responsif dalam memberikan masukan terhadap proses pembentukan UU 3/2022, yang sebenarnya hal demikian tanpa diminta atau diundang pun para stakeholders tetap dapat bertindak dan bersikap pro-aktif untuk berperan serta sebagai bagian dari upaya mewujudkan partisipasi masyarakat.

Menurut Mahkamah, keterlibatan masyarakat untuk terlibat secara aktif dalam proses pembentukan undang-undang merupakan suatu keniscayaan dalam upaya mengawal agar undang-undang yang akan dibentuk benar-benar sesuai dengan harapan masyarakat. Terkait dengan keterlibatan secara aktif masyarakat dalam proses pembentukan undang-undang seringkali pembebanan tanggung jawab untuk melakukan hal tersebut dalam proses pembentukan undang-undang dibebankan kepada masyarakat yang berpotensi terkena imbas dari pembentukan sebuah undang-undang, padahal seharusnya masyarakat secara keseluruhan justru juga harus mengambil beban tanggung jawab bersama untuk terlibat secara aktif, tanpa terkecuali para Pemohon dalam perkara a quo, kecuali undang-undang menentukan lain. Hal tersebut bertujuan agar efek negatif yang kemungkinan akan timbul akibat dibentuknya sebuah undang-undang dapat dihindari sehingga undang-undang yang dibentuk oleh pembentuk undang-undang telah melewati verifikasi secara menyeluruh oleh seluruh lapisan masyarakat sebagai pemilik kedaulatan rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.

[3.26.4] Bahwa terlepas dari ada atau tidaknya fakta para Pemohon untuk terlibat aktif memberikan masukan perihal pembentukan UU 3/2022, Mahkamah juga tidak menemukan adanya rangkaian bukti lain dari para Pemohon yang dapat membuktikan bahwa Pemerintah dan DPR telah benar-benar berupaya menutup diri atau tidak terbuka kepada publik terkait dengan pembentukan UU 3/2022. Berkenaan dengan 2 (dua) alat bukti yang diajukan oleh para Pemohon yakni screenshoot laman Rekam Jejak Pembentukan UU 3/2022 di website DPR RI (vide bukti P-43) dan bukti Surat Permohonan Data/Berkas bertanggal 9 Mei 2022 tentang pembentukan UU IKN ke Menteri PPN/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Menteri Hukum dan HAM dan DPR RI melalui sekretaris Jenderal DPR RI [vide bukti P-44], tidak cukup membuktikan adanya tendensi bahwa Pemerintah dan DPR telah melanggar asas keterbukaan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf g UU 12/2011.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa pembentukan UU 3/2022 telah melanggar “asas keterbukaan” adalah tidak beralasan menurut menurut hukum;

[3.27] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan tahapan pembentukan UU 3/2022 dilakukan dengan pola “Fast Track Legislation” yang tergambarkan dalam tabel yang dapat diakses pada laman https://www.dpr.go.id/uu/detail/id/368 di mana menurut para Pemohon tahapan pembentukan UU 3/2022 dari sejak tanggal 3 November 2021 sampai dengan 18 Januari 2022 hanya memakan waktu 42 hari. Menurut para Pemohon, tahapan ini tergolong sangat cepat untuk pembahasan sebuah RUU yang berkaitan dengan IKN yang sangat strategis dan berdampak luas dan tidak memperhatikan partisipasi publik yang bermakna sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
Selain itu, menurut Pemohon, pembahasan UU 3/2022 yang menggunakan pola “Fast Track Legislation”, menambah panjang daftar UU yang dibuat dengan cara cepat oleh Pemerintah yaitu UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi UndangUndang, UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Lebih lanjut menurut para Pemohon, pola fast track legislation berimplikasi pada tidak terwujudnya proses deliberatif dalam pembentukan undang-undang sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Terhadap dalil para Pemohon a quo, terlepas dari tidak adanya bukti yang relevan yang diajukan oleh para Pemohon, menurut Mahkamah proses pembentukan suatu undang-undang tidak tergantung dari berapa lama atau cepat dan lambatnya pembahasan, namun proses pembentukan undang-undang wajib mengikuti kaidah proses pembentukan undang-undang sebagaimana diatur dalam UU 12/2011 dan perubahannya yang meliputi proses dalam tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan pengundangan.
Menurut Mahkamah, sepanjang semua proses dalam tahapan tersebut telah terpenuhi dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan penuh kehati-hatian oleh pembentuk undang-undang dengan berpatokan kepada asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, meliputi asas: kejelasan tujuan, kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan dan keterbukaan [vide Pasal 5 UU 12/2011], maka terkait dengan waktu penyelesaian dan pembahasan yang terkesan seperti cepat atau fast track legislation merupakan bagian dari upaya pembentuk undang-undang untuk menyelesaikan undang-undang pada umumnya, termasuk dalam hal ini UU 3/2022, yaitu sejak suatu RUU diusulkan masuk dalam Prolegnas jangka menengah. Terlebih lagi, menurut Mahkamah, terkait dengan frame waktu pembentukan sebuah undang-undang, UU 12/2011 dan perubahannya sampai saat ini tidak memberikan ketentuan yang definitif kapan suatu RUU yang telah masuk dalam Prolegnas akan diselesaikan.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon mengenai digunakannya pola “fast track legislation” dalam pembentukan UU 3/2022 sehingga bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN FORMIL UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2022 TENTANG IBU KOTA NEGARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-07-2022

Prof. Dr. Azyumardi Azra, M. Sirajuddin Syamsuddin, Prof. Dr. Nurhayati Djamas, Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, Jilal Mardhani, Drs. Mas Achmad Daniri, TB. Massa Djaafar, Abdurahman Syebubakar, Achmad Nur Hidayat, M.PP., Dr. Shabriati Aziz, M.Pd.I., Ir. Moch. Nadjib. YN, M.Sc., Dr. Engkur, SIP., M.M., Dr. Mohamad Noer, M. Hatta Taliwang, Reza Indragiri Amriel, Mufidah Said Bawazir, S.E., M.M, M Ramli Kamidin, Nazaruddin Sjamsuddin, Iroh Siti Zahroh, M.Si., Faidal Yuri Bintang, Achmed Roy, yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Prof. Dr. Syaiful bakhri, S.H., M.H, dkk, untuk selanjutnya disebut Para Pemohon.

Pengujian Formil

-

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian proses pembentukan UU 3/2022 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.20] Menimbang bahwa sebelum menjawab dalil para Pemohon, Mahkamah memandang perlu untuk mempertimbangkan beberapa hal yang berkaitan dengan pembentukan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam UU 12/2011 dan perubahannya. Adapun hal-hal tersebut telah diuraikan dan dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XX/2022 yang telah diucapkan sebelumnya dan dengan demikian segala uraian dan pertimbangan hukum Mahkamah berkenaan dengan hal tersebut, khususnya Paragraf [3.21] dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XX/2022 tersebut mutatis mutandis berlaku pula sebagai bagian dari pertimbangan hukum putusan ini. Selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil para Pemohon sebagai berikut:
[3.20.1] Bahwa para Pemohon mendalilkan dalam proses pembentukan UU 3/2022 tidak terpenuhi hak untuk dipertimbangkan (right to be considered) dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained). Berkenaan dengan hal tersebut, persoalan mengenai hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan sangat berkaitan dengan pelaksanaan asas keterbukaan dalam proses pembentukan undang-undang. Dalam pembentukan UU 3/2022, persoalan asas keterbukaan telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XX/2022 yang telah diucapkan sebelumnya, khususnya pada Paragraf [3.26], sehingga pertimbangan tersebut mutatis mutandis berlaku pula untuk putusan ini.

[3.20.2] Bahwa selanjutnya berkenaan dengan dalil para Pemohon yang mempersoalkan tidak dipertimbangkannya pendapat ahli oleh pembentuk undang-undang dalam proses pembentukan UU 3/2022, terhadap dalil tersebut berdasarkan keterangan DPR yang terungkap dalam persidangan, bahwa dalam pembentukan UU 3/2022, DPR dalam upaya memudahkan masyarakat memberikan masukan telah membuka akses kepada masyarakat untuk mendapatkan Naskah Akademik dan RUU IKN sebagaimana diperintahkan oleh Pasal 96 ayat (4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011). Dalam hal ini, Naskah Akademik dan RUU tersebut dapat diakses dan diunduh pada situs resmi DPR, yaitu pada tautan https://www.dpr.go.id/uu/detail/id/368. Dalam laman situs internet tersebut, masyarakat dapat membaca dan mengunduh dokumen-dokumen terkait dengan pembentukan RUU IKN. Informasi yang dapat dibaca dan dipelajari dalam laman tersebut termasuk informasi RUU, Rekam Jejak dan dilengkapi dengan form masukan atau feedback.
Selain itu, DPR menerangkan dengan didukung dokumen yang terlampir dalam keterangannya bahwa pembahasan UU a quo telah dilakukan secara terbuka, transparan, melibatkan berbagai pihak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan sesuai dengan fakta-fakta sebagaimana telah diuraikan di dalam persidangan. Terkait dengan hal tersebut, maka pembentuk undang-undang telah melibatkan partisipasi publik/masyarakat dengan mempertimbangkan pihak-pihak mana saja yang dimintai pendapat/pemikirannya dalam penyusunan Naskah Akademik dan RUU IKN, karena tidak mungkin jika setiap orang atau setiap kelompok masyarakat/organisasi diundang hadir dalam suatu rapat besar untuk menyusun suatu kebijakan. Dengan demikian, pelibatan atau partisipasi masyarakat telah dilakukan oleh pembentuk undang-undang.
Dari keterangan dan lampiran keterangan DPR a quo, dapat diketahui bahwa dalam proses pembentukan UU 3/2022, pembentuk undang-undang telah berusaha untuk memenuhi kriteria partisipasi yang lebih bermakna sebagaimana pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, dengan melakukan kegiatan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), audiensi, konsultasi publik, dan kunjungan kerja khususnya dengan stakeholder masyarakat yang memiliki kepentingan atas substansi RUU IKN dan telah langsung menindaklanjutinya ke dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Fraksi. Hal itu membuktikan bahwa pembentuk undang-undang telah berupaya memenuhi hak masyarakat untuk didengar dan dipertimbangkan pendapatnya, serta dijelaskan atau dijawab atas pendapat yang diberikan. Dalam keterangan tertulisnya DPR juga telah menguraikan dalam tabel yang berisi berbagai pendapat dan masukan dari masyarakat serta ahli yang ditanggapi dan ditindaklanjuti oleh DPR [vide Keterangan DPR hlm. 47 sampai dengan hlm. 71]. Pada tabel tersebut, terdapat uraian mengenai berbagai pendapat/masukan masyarakat yang diakomodir oleh DPR dalam DIM dan dipertimbangkan dalam pembahasan RUU IKN. Fakta tersebut menunjukkan bahwa DPR telah melakukan kegiatan dalam rangka memenuhi hak untuk dipertimbangkan (right to be considered) terhadap keterangan atau pendapat ahli serta masyarakat dalam pembentukan undang-undang. Telah disediakannya akses terhadap Naskah Akademik dan RUU IKN berarti masyarakat diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan tanggapan dan masukan terhadap RUU tersebut. Dalam konteks hak untuk berpartisipasi dan memberikan pendapat dalam pembentukan undang-undang, sepanjang masyarakat telah diberikan akses terhadap Naskah Akademik dan RUU IKN maka yang selanjutnya harus dilakukan adalah masyarakat tersebut diharapkan secara aktif menyampaikan pendapat terhadap RUU tersebut, akses inipun telah diberikan dalam laman resmi DPR dalam bentuk pengisian form pendapat dan masukan secara daring (online).
Sedangkan, berkenaan dengan bagaimana pembentuk undang-undang seharusnya menanggapi pendapat serta tanggapan yang masuk dalam rangka memenuhi hak untuk mendapatkan penjelasan, menurut Mahkamah selanjutnya menjadi kewenangan pembentuk undang-undang untuk menindaklanjuti tanggapan atau pendapat-pendapat tersebut dalam proses pembahasan RUU. Dalam hal ini, menurut Mahkamah pembentuk undang-undang tidak terbukti telah mengesampingkan hak untuk dipertimbangkan dan hak untuk mendapatkan penjelasan, karena telah dibukanya akses kepada masyarakat sebagaimana diuraikan di atas. Dengan demikian, dalil para Pemohon berkenaan dengan tidak dipenuhinya hak untuk dipertimbangkan (right to be considered) dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained) dalam proses pembentukan RUU IKN yang kemudian disahkan sebagai UU 3/2022 adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.20.3] Bahwa selanjutnya para Pemohon mendalilkan dalam pembentukan UU 3/2022, Lampiran II UU 3/2022 tidak pernah ada (terlampir) dan/atau tidak pernah dibahas serta tersedia pada saat persetujuan bersama. Terhadap dalil tersebut Mahkamah perlu menguraikan mengenai posisi Lampiran II UU 3/2022 dalam proses pembentukan UU 3/2022 sebagaimana fakta hukum yang terungkap dalam persidangan sebagai berikut:

[3.20.3.1] Bahwa RUU IKN pada awalnya disampaikan oleh Pemerintah melalui Surat Presiden Nomor R-44/Pres/09/2021 tertanggal 29 September 2021. Dalam RUU IKN yang disampaikan tersebut, hanya terdapat 1 lampiran yang melekat dengan RUU IKN, yaitu terkait dengan Peta Delineasi Kawasan Strategis Nasional Ibu Kota Negara. Adapun mengenai Rencana Induk IKN pada awalnya akan diatur dengan Peraturan Presiden sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 7 ayat (2) RUU IKN yang disampaikan oleh Pemerintah [vide Lampiran 8 Keterangan DPR]. Selanjutnya, dalam Rapat Panja Pansus RUU IKN pada tanggal 14 Desember 2021, Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (Dr. (H.C.) Ir. H. Suharso Monoarfa) menyampaikan pendapatnya mengenai Rencana Induk IKN yang memungkinkan mengalami perubahan. Dalam rapat tersebut, terdapat pertanyaan mengenai apakah rencana induk tersebut sebaiknya dibahas sebagai bagian yang melekat dengan undang-undang atau diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya dan jika disepakati dalam bentuk peraturan perundang-undangan lainnya, apa sebaiknya bentuk peraturan tersebut, apakah peraturan pemerintah atau peraturan presiden.

[3.20.3.2] Bahwa selanjutnya dalam Rapat Tim Perumus Pansus RUU IKN yang dilaksanakan pada 11 Januari 2022 dan bersifat terbuka, Pemerintah menyampaikan bahwa terdapat rumusan yang mengalami perubahan berdasarkan masukan dari fraksi, salah satunya adalah berkaitan dengan Pasal 7 ayat (3) yang pada pokoknya mengatur mengenai pelekatan atau penempatan Rencana Induk IKN dalam Lampiran II RUU IKN. Oleh karena perubahan rumusan dalam Pasal 7 tersebut bersifat substansi, maka pembahasan dan pendalaman lebih lanjut dilakukan dalam Rapat Panja. Dalam Rapat Panja RUU IKN pada 13 Januari 2022, pembentuk undang-undang kembali membahas substansi RUU IKN yang dibagi ke dalam 4 (empat) klaster, yaitu kelembagaan otorita dan implikasinya, pendanaan atau anggaran, rencana induk, dan pertanahan [vide Lampiran 59 dan 60 Keterangan DPR]. Selanjutnya, dalam Rapat Panja RUU IKN pada tanggal 17 Januari 2022, DPR, DPD, dan Pemerintah telah menyetujui klaster rencana induk dalam Pasal 1 angka 13, Pasal 7, dan Pasal 15 dengan catatan [vide Lampiran 62 Keterangan DPR]. Adapun terkait dengan pelekatan rencana induk IKN dalam Lampiran II dirumuskan dalam Pasal 7 ayat (3). Dalam Rapat Panja tersebut, DPR dan Pemerintah menyepakati Rencana Induk Ibu Kota Negara ditetapkan sebagai lampiran yang menjadi satu kesatuan dengan RUU IKN agar memiliki posisi hukum yang kuat sebagai acuan pelaksanaan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara. Namun demikian, disepakati bahwa terhadap rencana induk tersebut tetap dibuka ruang untuk dapat dilakukan perubahan sesuai dengan perkembangan kebutuhan di masa mendatang. Hal tersebut mengacu pada rumusan Pasal 7 ayat (5) huruf a RUU IKN. Berdasarkan ketentuan tersebut, apabila Rencana Induk Ibu Kota Negara akan dilakukan perubahan, maka perlu dikonsultasikan dengan DPR.
Terbentuknya rumusan Pasal 7 ayat (3) dan Pasal 7 ayat (5) RUU IKN tersebut juga menunjukkan telah terjadi perubahan yang signifikan dari rumusan Pasal 7 draft RUU IKN yang disampaikan pada awalnya bersamaan dengan Surat Presiden Nomor R-44/Pres/09/2021 perihal penyampaian Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara [vide Lampiran 8 Keterangan DPR] yang semula terdiri atas 2 (dua) ayat menjadi 6 (enam) ayat [vide Lampiran 51 Keterangan DPR]. Dengan demikian, isi Rencana Induk sebagaimana dalam Lampiran II RUU IKN telah mengalami perubahan dalam pembahasan RUU IKN. Selanjutnya, Lampiran II UU 3/2022 yang berupa Rencana Induk IKN tersebut telah terlampir dan dapat diakses pada laman resmi Sekretariat Negara, yaitu pada tautan: https://jdih.setneg.go.id/Produk dan pada laman resmi DPR, yaitu pada tautan: https://www.dpr.go.id/jdih/index/id/1791.

[3.20.3.3] Bahwa berdasarkan fakta hukum tersebut, dapat disimpulkan Lampiran II UU 3/2022 merupakan Rencana Induk Ibu Kota Negara di mana rencana tersebut pada tahap awal diusulkan akan diatur dalam Peraturan Presiden kemudian disepakati bersama sebagai bagian dari Lampiran II UU 3/2022. Rencana Induk tersebut telah disampaikan oleh Presiden kepada DPR dan telah dibahas oleh Panja Pansus RUU IKN bersama Presiden diwakili oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Meskipun dalam Laporan Pansus tanggal 18 Januari 2022 terdapat fraksi yang menyatakan bahwa Lampiran II tersebut belum dibahas, namun demikian berdasarkan risalah Rapat Paripurna tertanggal 18 Januari 2022, dapat diketahui bahwa seluruh peserta sidang paripurna menyetujui RUU IKN beserta lampirannya untuk disahkan menjadi undang-undang. [vide Lampiran 64 hlm. 73 Keterangan DPR]. Lagipula dalam pembahasan tingkat II, agenda yang dilakukan adalah persetujuan dan pengesahan RUU IKN, bukan pembahasan norma pasal secara terperinci, termasuk substansi Lampiran RUU a quo.
Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon bahwa Lampiran II RUU IKN yang kemudian disahkan sebagai UU 3/2022 tidak pernah dibahas pada saat persetujuan bersama adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.21] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil permohonan para Pemohon berkenaan dengan pengujian formil UU 3/2022 adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya dan dengan demikian proses pembentukan UU 3/2022 a quo tidak bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, UU 3/2022 tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat.

[3.22] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dinyatakan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 36/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-07-2022

Eriko Fahri Ginting, S.H., Leon Maulana Mirza Pasha, S.H., Ferdinand Sujanto, S.H. , Andi Redani Suryanata, Belgis Shafira, Sandra Nabila Diya Ul-Haq, Tria Noviantika, Benaya Marcel Devara Taka, Desty Puteri Hardyati, Jennifer Gabriella Hardi, Dara Manista Harwika, Isrotul Munawaroh, Maylita Evely Kandalina, Sultan Fadillah Effendi, Raihan Azalia, Ghina Gatrialiananda, Nukhbah Salsabila, Elizza Rizky Mauri, Arum Mahdavika, Muhammad Adjrin, Jennyver Willyanto, Yusa Rahman Sanjani, Nisrina Hasnia, M. Ainun Fitria Maulana, Salsabilah Anton Subijanto, Agatha Vinci Goran, I Made Dwi Gayatri, Aryadi Kristianto Simanjuntak, Fransiska Naomi Sitanggang. Yang dalam hal ini memberikan kuasa khusus kepada Faisal Al Haq Harahap, dkk, kesemuanya merupakan tim pada Kantor Hukum Leo & Partners, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE

dengan Pasal 1 ayat (2) dan (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28F, Pasal 28G ayat (1), Pasal 28I ayat (1), (2), dan (4), Pasal 28J ayat (1) dan (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.10] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan para Pemohon, oleh karena terhadap pengujian konstitusionalitas norma Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE telah pernah diajukan permohonan pengujian, maka Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan apakah permohonan a quo memenuhi ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), sehingga terhadap norma a quo dapat dilakukan pengujian kembali.
[3.10.1] Bahwa terkait dengan pertimbangan pada Paragraf [3.10] di atas, Pasal 60 UU MK menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang- undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.
Kemudian Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang- undang atau Perppu yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda.
[3.10.2] Bahwa Mahkamah pernah memutus pengujian norma Pasal 27 ayat (3) UU ITE, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 5 Mei 2009. Dasar pengujian yang digunakan dalam putusan tersebut adalah Pasal 28E ayat (2), ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28F UUD 1945. Sementara itu, berkaitan dengan pengujian norma Pasal 28 ayat (2) UU ITE, Mahkamah juga telah memutus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-XI/2013 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 28 Agustus 2013. Adapun dasar pengujian yang digunakan untuk putusan tersebut adalah Pasal 28E ayat (2) dan Pasal 28F UUD 1945. Selain itu, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XV/2017 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 28 Maret 2018, Mahkamah juga telah memutus berkenaan dengan Pasal 28 ayat (2) UU ITE dengan menggunakan dasar pengujiannya adalah Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Sedangkan, para Pemohon dalam perkara a quo, baik terkait dengan pengujian norma Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE menggunakan dasar pengujian yang sama yaitu Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28F, Pasal 28G ayat (1), Pasal 28I ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), serta Pasal 28J ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian, terdapat perbedaan dasar pengujian dalam perkara a quo yaitu Pasal 1 ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28I ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), serta Pasal 28J ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Adapun berkenaan dengan alasan pengujian, setelah Mahkamah mencermati secara saksama perkara a quo terdapat perbedaan dengan yang telah diputus oleh Mahkamah karena para Pemohon mendalilkan pasal yang dimohonkan pengujian merupakan “pasal karet“ walaupun sudah diputus oleh Mahkamah, tetapi faktanya menurut para Pemohon putusan Mahkamah tersebut tidak dilaksanakan oleh aparat penegak hukum sehingga tidak memberikan kepastian hukum atas hak-hak yang telah dijamin oleh UUD 1945, sehingga para Pemohon memohon agar pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XV/2017 dinyatakan dalam amar putusan atau dituangkan dalam revisi UU ITE;
[3.10.3] Bahwa walaupun objek permohonan yang diajukan oleh para Pemohon a quo sama dengan Perkara Nomor 50/PUU-VI/2008, Perkara Nomor 52/PUU- XI/2013, Perkara Nomor 76/PUU-XV/2017, namun oleh karena perkara a quo memiliki dasar pengujian yang berbeda dan juga memiliki alasan yang berbeda, maka terlepas terbukti atau tidaknya secara substansial permohonan a quo, secara formal permohonan a quo berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 PMK 2/2021, dapat diajukan kembali.
[3.11] Menimbang bahwa setelah membaca dan memeriksa secara saksama permohonan para Pemohon dan memperhatikan alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan, maka isu konstitusional yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah apakah benar ketentuan Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE merupakan “pasal karet” yang tidak memberikan jaminan dalam penerapannya sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28F, Pasal 28G ayat (1), Pasal 28I ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), serta Pasal 28J ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Terhadap isu konstitusional tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa berkenaan dengan dalil para Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 27 ayat (3) UU ITE karena dalam implementasinya menurut para Pemohon seperti “pasal karet” tidak melindungi hak-hak para Pemohon yang dijamin oleh UUD 1945 karena aparat penegak hukum tidak menerapkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008, maka penting bagi Mahkamah untuk terlebih dahulu mengutip kembali pertimbangan hukum dalam putusan tersebut yang telah mempertimbangkan konstitusionalitas norma Pasal 27 ayat (3) UU ITE sebagaimana yang dimaksudkan dalam Sub-paragraf [3.16.3], Sub-paragraf [3.16.4], Sub-paragraf [3.16.5], Sub-paragraf [3.16.7], Paragraf [3.17], dan Sub-paragraf [3.17.1] [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 5 Mei 2009, hlm. 106-110] sebagai berikut:
[3.16.3] Bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 27 ayat (3) UU ITE bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum. Menurut Mahkamah, salah satu ciri negara hukum adalah perlindungan terhadap hak-hak asasi setiap orang. Rumusan Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan dan perlindungan individu, keluarga, kehormatan, dan martabat, dengan kebebasan orang lain untuk berbicara, berekspresi, mengemukakan pendapat dan pikiran serta mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dalam suatu masyarakat demokratis. Keseimbangan tersebut diperlukan untuk menghindari terjadinya “hukum rimba” dalam dunia maya (cyberspace) karena banyaknya pelanggaran yang tidak dapat diselesaikan sebab tidak ada hukum yang mengaturnya, sebagaimana dikemukakan oleh Geeta Anand (1997: A28), “the growing public awareness of the internet is unwieldy and chaotic side has led to calls for regulation and governance” (meningkatnya kesadaran masyarakat akan internet dalam sisi buruknya telah melahirkan tuntutan bagi perlunya peraturan dan penataan), dimana setiap pengguna internet (netter) atau warga pengguna jaringan internet (netizen) secara leluasa boleh berperilaku membabi buta, memaki, memfitnah dan mencemarkan nama baik pihak lain tanpa disertai data dan informasi akurat, sebagaimana yang diungkapkan para saksi yang diajukan Pemerintah dalam persidangan. Dengan demikian, sebagaimana di dalam dunia nyata, kebebasan bagi pengguna internet atau warga pengguna jaringan internet adalah kebebasan yang bertanggung jawab. Mahkamah berpendapat, dalil Pemohon yang menyatakan bahwa rumusan Pasal a quo bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum, adalah tidak beralasan;
[3.16.4] Bahwa Pemohon mendalilkan rumusan Pasal 27 ayat (3) UU ITE berpotensi disalahgunakan. Menurut Mahkamah, potensi penyalahgunaan justru lebih besar dilakukan oleh pihak-pihak yang bermain di ranah dunia maya daripada penyalahgunaan yang dilakukan oleh penegak hukum dengan alasan bahwa keunggulan dalam dunia teknologi dan informasi yang ditandai dengan kecepatan dalam transfer data, informasi dan karakter yang sangat terbuka, serta hamper tanpa batas. Di sisi lain dapat juga menimbulkan dampak negatif yang ekstrim apabila norma-norma hukum, norma-norma agama, dan norma-norma moral ditinggalkan oleh para pengguna dunia maya. Oleh karenanya semakin tinggi kemampuan seseorang dalam berinteraksi secara cepat maka semakin tinggi pula tuntutan kehati-hatian karena tidak adanya penyaring atau pembatas yang dapat menangkal nilai-nilai negatif (self-censorship) ketika berinteraksi dengan pihak lawan interaksi. Undang- Undang a quo telah memberikan batasan sisi-sisi yang merupakan domain publik dan sisi-sisi yang melanggar hak-hak privasi orang lain;
[3.16.5] Bahwa Pemohon mendalilkan rumusan Pasal 27 ayat (3) UU ITE mempunyai efek jangka panjang yang menakutkan. Menurut Mahkamah, perkembangan teknologi informasi seperti internet dan sejenisnya, hanya merupakan alat bantu untuk mempermudah kehidupan manusia yang hidup dan saling berpengaruh dalam dunia nyata guna mencapai kesejahteraan umat manusia, sehingga fokus akhir dari pengaturan dan pembatasan hukum in casu undang-undang a quo adalah untuk menjaga ketertiban hukum dalam lalu lintas interaksi manusia pada media siber yang secara langsung atau tidak langsung berakibat dalam dunia nyata. Tindak pidana yang terjadi dengan menggunakan sarana dunia maya menyebabkan korban menderita untuk waktu yang lama dan dampak yang luas karena tidak adanya batas ruang dan rentang waktu. Setiap orang dapat membuka fitur-fitur yang dimuat di dalamnya kapanpun dan dimanapun, sehingga justru korban dari tindak pidana di dunia maya-lah yang mengalami efek dalam jangka panjang, bukan pelakunya. Berdasarkan pandangan terhadap nilai hukum di atas, maka dalil Pemohon tidak beralasan;
[3.16.7] Bahwa ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE, menurut Mahkamah, tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena meskipun ada ketentuan Pasal 28F UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”, tetapi dalam pelaksanaannya, kemerdekaan pers tidaklah sebebas-bebasnya. Dengan kata lain, negara dibenarkan membatasi atau mengatur agar kebebasan pers tersebut tidak melanggar hak-hak asasi orang lain, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28G ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 28J ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi…;
[3.17] Menimbang bahwa baik DPR maupun Ahli yang diajukan Pemerintah telah menerangkan di depan persidangan Mahkamah bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak mengatur norma hukum pidana baru, melainkan hanya mempertegas berlakunya norma hukum pidana penghinaan dalam KUHP ke dalam Undang-Undang baru karena ada unsur tambahan yang khusus yaitu adanya perkembangan di bidang elektronik atau siber dengan karakteristik yang sangat khusus. Oleh karena itu, penafsiran norma yang termuat dalam Pasal 27 ayat (3) UU a quo mengenai penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, tidak bisa dilepaskan dari norma hukum pidana yang termuat dalam Bab XVI tentang Penghinaan yang termuat dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP, sehingga konstitusionalitas Pasal 27 ayat (3) UU ITE harus dikaitkan dengan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP;
[3.17.1] Bahwa terlepas dari pertimbangan Mahkamah yang telah diuraikan dalam paragraf terdahulu, keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP sebagai genus delict yang mensyaratkan adanya pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut, harus juga diperlakukan terhadap perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, sehingga Pasal a quo juga harus ditafsirkan sebagai delik yang mensyaratkan pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut di depan Pengadilan.
[3.11.2] Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum atas Perkara Nomor 50/PUU-VI/2008, telah ternyata Mahkamah dalam pendiriannya sebagaimana amarnya menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Dengan kata lain, Mahkamah telah menyatakan bahwa norma yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo dalam putusan sebelumnya telah dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan karenanya tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat;
[3.11.3] Bahwa setelah Mahkamah mencermati secara saksama alasan permohonan para Pemohon dan dasar pengujian yang diajukan sekalipun terdapat perbedaan dengan perkara yang telah diputus sebelumnya, namun yang dipersoalkan oleh para Pemohon pada intinya adalah mengenai kekaburan atau ketidakjelasan norma Pasal 27 ayat (3) UU ITE sehingga tidak memberikan perlindungan hukum atas hak kebebasan menyatakan pendapat, di mana dalam penegakannya pun tidak sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008. Oleh karena itu, para Pemohon dalam petitumnya yang bersifat alternatif memohon kepada Mahkamah, khususnya pada petitum huruf b, agar menyatakan Pasal 27 ayat (3) UU ITE bertentangan dengan UUD 1945. Namun demikian, setelah Mahkamah mencermati secara saksama argumentasi yang dibangun oleh para Pemohon untuk menyatakan inkonstitusionalitas norma Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak memiliki dasar yang kuat maka tidak terdapat alasan yang fundamental bagi Mahkamah untuk mengubah pendirian sebagaimana telah diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008, oleh karenanya Mahkamah tetap pada pendiriannya. Sementara itu, jika dikaitkan dengan petitum alternatif huruf b berikutnya, pada pokoknya para Pemohon memohon hal-hal yang telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 agar dinyatakan dalam amar putusan atau dimasukkan dalam revisi UU ITE. Dalam kaitan dengan apa yang dimohonkan oleh para Pemohon, penting bagi Mahkamah menegaskan kembali bahwa ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE merupakan penegasan atas norma hukum pidana penghinaan yang terdapat dalam KUHP ke dalam norma hukum baru sesuai dengan perkembangan di dunia siber karena KUHP tidak dapat menjangkau delik penghinaan dan pencemaran yang dilakukan secara online, dikarenakan adanya unsur “di muka umum“. Oleh karena itu, penerapan norma Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dilepaskan dari norma penghinaan dalam KUHP yaitu Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP sebagai norma pokoknya (genus delict). Berkaitan dengan hal ini pun telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 Sub-paragraf [3.16.1] hlm. 104 sebagai berikut:
“Bahwa menurut Mahkamah, penghinaan yang diatur dalam KUHP (penghinaan off line) tidak dapat menjangkau delik penghinaan dan pencemaran nama baik yang dilakukan di dunia siber (penghinaan on line) karena ada unsur “di muka umum”.
Dapatkah perkataan unsur “diketahui umum”, “di muka umum”, dan “disiarkan” dalam Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP mencakup ekspresi dunia maya? Memasukkan dunia maya ke dalam pengertian “diketahui umum”, “di muka umum”, dan “disiarkan” sebagaimana dalam KUHP, secara harfiah kurang memadai, sehingga diperlukan rumusan khusus yang bersifat ekstensif yaitu kata “mendistribusikan” dan/atau “mentransmisikan” dan/atau “membuat dapat diakses”. Rumusan Pasal a quo telah cukup jelas memberikan pengertian “mendistribusikan” sebagai “penyalinan” sebagaimana keterangan Ahli Pemohon Andika Triwidada. Pengertian mentransmisikan adalah interaksi sekejap antara pihak pengirim dan penerima dan interaksi tersebut merupakan bagian dari distribusi. Begitu juga dengan batasan “membuat dapat diakses” dapat berupa memberikan akses terhadap muatan secara langsung dan memberikan akses berupa alamat tautan, sebagaimana pendapat Ahli dari Pemohon. Dengan demikian, terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal a quo memperlihatkan adanya ketidakjelasan ukuran dan makna, tumpang tindih yang berarti mengandung ketidakpastian hukum, adalah tidak tepat menurut hukum”
[3.11.4] Bahwa terlepas dari kekhawatiran para Pemohon atas penerapan norma Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang sesungguhnya bukan merupakan ranah kewenangan Mahkamah untuk menilainya, Pemerintah sesungguhnya telah menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 tersebut dengan menerbitkan Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 229 Tahun 2021, Nomor 154 Tahun 2021, dan Nomor KB/2/VI/2021 tentang Pedoman Implementasi Atas Pasal Tertentu Dalam Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut Keputusan Bersama). Dalam Keputusan Bersama tersebut telah dirumuskan pedoman untuk pelaksanaan atau implementasi pasal-pasal tertentu dari UU ITE, yaitu Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 29, dan Pasal 36 UU ITE, tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas dari Keputusan Bersama dimaksud, Keputusan Bersama a quo dimaksudkan agar dalam pelaksanaan pasal-pasal tertentu UU ITE tidak lagi menimbulkan multitafsir dan kontroversi di masyarakat, sehingga disusunlah pedoman implementasi bagi aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya [vide Menimbang huruf b Keputusan Bersama]. Berkaitan dengan ihwal Keputusan Bersama inipun sesungguhnya telah dirujuk pula oleh para Pemohon dalam permohonannya [vide Permohonan para Pemohon hlm. 15]. Dengan adanya pedoman tersebut maka aparat penegak hukum telah mendapatkan panduan atau pedoman agar dalam mengimplementasikan ketentuan norma pasal yang dimohonkan pengujiannya tersebut tidak bersifat represif namun secara hati-hati sehingga implementasinya dapat dipertanggungjawabkan, sebagaimana hal ini ditentukan dalam Keputusan Bersama, khususnya dalam memberikan pedoman implementasi Pasal 27 ayat (3) UU ITE [Lampiran Keputusan Bersama, hlm. 9-14], yang dipersoalkan oleh para Pemohon. Adapun substansi pedoman dimaksud sebagai berikut:
a. Sesuai dasar pertimbangan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 Tahun 2008, dan Penjelasan Pasal 27 ayat (3) UU ITE, pengertian muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik merujuk dan tidak bisa dilepaskan dari ketentuan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Pasal 310 KUHP merupakan delik menyerang kehormatan seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal agar diketahui umum. Sedangkan Pasal 311 KUHP berkaitan dengan perbuatan menuduh seseorang yang tuduhannya diketahui tidak benar oleh pelaku.
b. Dengan pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU- VI/2008 Tahun 2008 tersebut maka dapat disimpulkan, bukan sebuah delik pidana yang melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE, jika muatan atau konten yang ditransmisikan, didistribusikan, dan/atau dibuat dapat diaksesnya tersebut adalah berupa penghinaan yang kategorinya cacian, ejekan, dan/atau kata-kata tidak pantas. Untuk perbuatan yang demikian dapat menggunakan kualifikasi delik penghinaan ringan sebagaimana dimaksud Pasal 315 KUHP yang menurut Penjelasan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 dan Putusan Mahkamah Konstitusi, tidak termasuk acuan dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE.
c. Bukan delik yang berkaitan dengan muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, jika muatan atau konten yang ditransmisikan, didistribusikan, dan/atau dibuat dapat diaksesnya tersebut adalah berupa penilaian, pendapat, hasil evaluasi atau sebuah kenyataan.
d. Dalam hal fakta yang dituduhkan merupakan perbuatan yang sedang dalam proses hukum maka fakta tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu kebenarannya sebelum Aparat Penegak Hukum memproses pengaduan atas delik penghinaan dan/atau pencemaran nama baik UU ITE.
e. Delik pidana Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah delik aduan absolut sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 45 ayat (5) UU ITE. Sebagai delik aduan absolut, maka harus korban sendiri yang mengadukan kepada Aparat Penegak Hukum, kecuali dalam hal korban masih di bawah umur atau dalam perwalian.
f. Korban sebagai pelapor harus orang perseorangan dengan identitas spesifik, dan bukan institusi, korporasi, profesi atau jabatan.
g. Fokus pemidanaan Pasal 27 ayat (3) UU ITE bukan dititikberatkan pada perasaan korban, melainkan pada perbuatan pelaku yang dilakukan secara sengaja (dolus) dengan maksud mendistribusikan/ mentransmisikan/membuat dapat diaksesnya informasi yang muatannya menyerang kehormatan seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal supaya diketahui umum (Pasal 310 KUHP).
h. Unsur “supaya diketahui umum” (dalam konteks transmisi, distribusi, dan/atau membuat dapat diakses) sebagaimana harus dipenuhi dalam unsur pokok (klacht delict) Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP yang menjadi rujukan Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang harus terpenuhi.
i. Kriteria “supaya diketahui umum” dapat dipersamakan dengan “agar diketahui publik”. Umum atau publik sendiri dimaknai sebagai kumpulan orang banyak yang sebagian besar tidak saling mengenal.
j. Kriteria “diketahui umum” dapat berupa unggahan pada akun sosial media dengan pengaturan bisa diaskes publik, unggahan konten atau mensyiarkan sesuatu pada aplikasi grup percakapan dengan sifat grup terbuka dimana siapapun bisa bergabung dalam grup percakapan, serta lalu lintas isi atau informasi tidak ada yang mengendalikan, siapapun bisa upload dan berbagi (share) keluar, atau dengan kata lain tanpa adanya moderasi tertentu (open group).
k. Bukan merupakan delik penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dalam hal konten disebarkan melalui sarana grup percakapan yang bersifat tertutup atau terbatas, seperti grup percakapan keluarga, kelompok pertemanan akrab, kelompok profesi, grup kantor, grup kampus, atau institusi pendidikan.
l. Untuk pemberitaan di internet yang dilakukan institusi Pers, yang merupakan kerja jurnalistik yang sesuai dengan ketentuan Undang- Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, diberlakukan mekanisme sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sebagai lex specialis, bukan Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Untuk kasus terkait Pers perlu melibatkan Dewan Pers. Tetapi jika wartawan secara pribadi mengunggah tulisan pribadinya di media sosial atau internet, maka tetap berlaku UU ITE termasuk Pasal 27 ayat (3).
[3.11.5] Bahwa dengan demikian, tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas Keputusan Bersama sebagaimana diuraikan di atas maka persoalan mengenai implementasi penegakan norma Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang merupakan bentuk kekhawatiran para Pemohon telah terjawab melalui pedoman bagi aparat penegak hukum dalam Keputusan Bersama yang saat ini menjadi pegangan dalam menerapkan norma pasal a quo. Oleh karena itu, tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma, maka terhadap permohonan para Pemohon yang memohon agar pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 dinyatakan dalam amar putusan adalah tidak beralasan menurut hukum. Sementara itu, berkenaan dengan petitum para Pemohon yang memohon agar segera merevisi UU ITE bukan merupakan kewenangan Mahkamah tetapi merupakan kewenangan pembentuk undang-undang.
[3.12] Menimbang bahwa selanjutnya berkenaan dengan dalil para Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang dianggap para Pemohon telah menimbulkan kesewenang-wenangan sehingga menyimpang dari pembatasan hak yang telah ditentukan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Terhadap dalil a quo penting bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa berkenaan dengan norma Pasal 28 ayat (2) UU ITE, telah pernah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU- XI/2013 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 28 Agustus 2013, di mana dalam pertimbangan hukum pada Paragraf [3.11], Paragraf [3.12], Paragraf [3.13], Paragraf [3.14], Mahkamah antara lain menyatakan sebagai berikut:
[3.11] Menimbang bahwa Pemohon mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 28 ayat (2) UU 11/2008 yang menyatakan, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”, yang menurut Pemohon bertentangan dengan Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”, dan Pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”;
[3.12] Menimbang bahwa Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menegaskan, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. Menurut Mahkamah, ketentuan dalam Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 yakni hak setiap orang untuk meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya, dapat dibatasi dengan Undang-Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis;
[3.13] Menimbang bahwa menurut Mahkamah, apabila seseorang menyebarkan informasi dengan maksud untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) adalah sesuatu yang bertentangan dengan jaminan pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan bertentangan pula dengan tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis;
[3.14] Menimbang bahwa Mahkamah berpendapat bahwa hak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta hak untuk menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia, tidak boleh berisi informasi yang kemudian disebarkan untuk tujuan menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan baik antarindividu maupun masyarakat. Menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU 11/2008 yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh Pemohon justru bersesuaian dengan perlindungan, termasuk perlindungan kehormatan segenap bangsa Indonesia, paralel dengan prinsip ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial; sejalan dengan Ketuhanan Yang Maha Esa, karena tidak ada agama yang membenarkan penyebaran kebencian; sesuai dengan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, sebab kemanusiaan mengharuskan perlakuan sama serta penghormatan kepada sesama manusia; setujuan dengan Persatuan Indonesia, oleh karena penyebaran kebencian dan permusuhan akan mengikis persatuan; seiring dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika, karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk namun dalam persatuan dan kesatuan Indonesia;
[3.12.2] Bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-XI/2013, Mahkamah menyatakan dalam amar putusannya bahwa norma Pasal 28 ayat (2) UU ITE tidak bertentangan dengan UUD 1945. Selanjutnya, dalam Perkara Nomor 76/PUU-XV/2017 yang mempersoalkan frasa “antargolongan” dalam norma Pasal 28 ayat (2) UU ITE juga telah diputus oleh Mahkamah dalam sidang terbuka untuk umum pada 28 Maret 2018, di mana dalam pertimbangan hukum pada Sub-Paragraf [3.13.2], Paragraf [3.14], Sub-Paragraf [3.14.1], Sub-Paragraf [3.14.2], Paragraf [3.15], Paragraf [3.16], Mahkamah antara lain menyatakan:
“…Problem konstitusional justru timbul tatkala istilah “antargolongan” tersebut ditiadakan, yaitu adanya kekosongan hukum yang membawa akibat ketidakpastian hukum, sebab dalam konteks permohonan a quo akan timbul pertanyaan: apakah seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE dapat dipidana jika perbuatan itu tidak ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu yang tidak termasuk ke dalam pengertian suku, agama, dan ras?
Pertanyaannya kemudian bagaimanakah jika dikaitkan dengan Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945? Pasal 28E ayat (3) juncto Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk mengeluarkan pendapat serta dilindungi dalam menjalankan hak asasi. Frasa “mengeluarkan pendapat” meliputi juga penyebaran informasi baik secara lisan maupun melalui media tertentu, termasuk di dalamnya melalui sarana teknologi komputer berjaringan yang secara populer dikenal sebagai media sosial (social media). Namun kebebasan demikian bukanlah tanpa batas. Kebebasan mengeluarkan pendapat dibatasi oleh kewajiban untuk menghormati hak asasi orang lain sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (1) UUD 1945. Menurut Mahkamah Pasal 28E ayat (3) juncto Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan bahwa setiap pendapat harus disertai tanggung jawab secara moral dan hukum untuk selalu menyajikan kebenaran. Hal ini juga sejalan dengan makna negara hukum dan perlindungan hukum yang dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
[3.14] Menimbang bahwa istilah “antargolongan” karena mewadahi berbagai entitas yang belum diatur oleh undang-undang, maka justru ketika dihilangkan/ dihapus dari Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE akan meniadakan/menghilangkan perlindungan hukum bagi berbagai entitas di luar tiga kategori yaitu suku, agama, dan ras. Ketiadaan perlindungan hukum demikian berpotensi melanggar Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
[3.14.1] Bahwa istilah “antargolongan” terbentuk dari gabungan kata “antar” dan kata “golongan”, yang kata “golongan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sama artinya dengan kelompok (Hasan Alwi dkk, 2001:368). Ketika kelompok dimaknai sebagai kumpulan (orang) yang memiliki kesamaan atribut atau ciri tertentu, maka istilah golongan/kelompok ini akan meliputi/mencakup juga suku, agama, dan ras. Padahal dalam frasa SARA, kedudukan hukum istilah “suku”, istilah “agama”, istilah “ras”, dan istilah “antargolongan” diletakkan sederajat yang artinya masing-masing tidak saling meliputi atau yang satu tidak menjadi sub-ordinat yang lain.
Menurut Mahkamah pengulangan atau adanya kesan tumpang-tindih tidak dapat dielakkan karena keterbatasan kosakata yang dapat mewakili fenomena keragaman entitas akibat proses diferensiasi sosial. Hal tersebut bukanlah merupakan pelanggaran terhadap UUD 1945. Sebab tujuannya justru untuk mengisi kekosongan hukum agar tidak terjadi pelanggaran terhadap UUD 1945. Namun demikian bila diperlukan untuk mempertegas dan bila telah ditemukan adanya kosakata yang paling tepat maka dimungkinkan untuk dilakukan perubahan atau penggantian istilah “antargolongan” oleh pembentuk undang-undang di kemudian hari, yang selanjutnya akan dipergunakan sebagai terminologi hukum sesuai dengan konteks keberlakuannya.
[3.14.2] Bahwa dari uraian pertimbangan paragraf [3.14.1], seandainya pun tidak dilakukan perubahan atau penggantian istilah “antargolongan”, bagi Mahkamah hal demikian tidak pula menjadikan istilah norma Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE yang memuat istilah “antargolongan” menjadi norma yang kabur (vague norm). Untuk menjadikan ketentuan tersebut lebih jelas atau terang, menurut Mahkamah cukup dengan memberikan penjelasan, bahkan melalui putusan Mahkamah ini dipertegas bahwa istilah “antargolongan” tidak hanya meliputi suku, agama, dan ras, melainkan meliputi lebih dari itu yaitu semua entitas yang tidak terwakili atau terwadahi oleh istilah suku, agama, dan ras.
[3.15] Menimbang bahwa selanjutnya para Pemohon mendalilkan adanya kekhawatiran bahwa ketidakjelasan makna istilah “antargolongan” akan dipergunakan oleh golongan koruptor, golongan narapidana, golongan penjahat, dan golongan anti Pancasila untuk menuntut orang yang dituduh menyebarkan informasi yang dapat menimbulkan kebencian terhadap golongan mereka. Terhadap dalil para Pemohon tersebut Mahkamah berpendapat kekhawatiran para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. Sebab hukum, khususnya hukum pidana, diciptakan bukan untuk melindungi sifat maupun tindakan/perbuatan jahat.
Bahkan dalam ilmu hukum pidana dikatakan bahwa salah satu unsur objektif tindak pidana adalah adanya sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid). Tindakan/perbuatan korupsi, anti Pancasila, mencuri, merampok, sebagai contoh, adalah tindakan yang melanggar hukum. Orang-orang yang terbukti melakukan berbagai tindakan tersebut dan telah dijatuhi putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, tentu tidak masuk akal untuk merasa tersinggung atau dirugikan, serta tidak mungkin meminta perlindungan hukum dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE. Lain halnya ketika seseorang atau golongan tertentu disangka atau disebarluaskan informasi bahwa dirinya adalah penjahat atau koruptor atau anti Pancasila tanpa ada pembuktian secara hukum. Orang atau golongan yang disangka demikian memiliki hak untuk dilindungi dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE.
[3.16] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan adanya kerancuan makna “golongan” karena selain dipergunakan dalam Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE, kata “golongan” juga dipergunakan dalam Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Terhadap dalil tersebut Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE merupakan peraturan yang sifatnya lebih khusus dibandingkan dengan ketentuan Pasal 156 KUHP. Menurut Mahkamah penggunaan istilah/kata yang sama oleh dua undang-undang yang berbeda bukanlah sebuah kesalahan apalagi pelanggaran konstitusi, selama keduanya memiliki konteks yang berbeda dan perbedaan demikian dapat dengan mudah diketahui melalui penafsiran kontekstual. Dalam hal ini pertimbangan hukum Mahkamah pada paragraf [3.14] berlaku pula sebagai pertimbangan hukum terhadap dalil para Pemohon a quo.
Hal demikian apabila dicermati akan tampak jelas dalam rumusan masing- masing pasal dimana Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE mengatur pidana dalam konteks penyebaran informasi elektronik, sementara Pasal 156 KUHP menekankan pada pernyataan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan di muka umum. Dengan demikian Mahkamah berpendapat bahwa penggunaan istilah/kata “golongan” dalam UU ITE maupun dalam KUHP tidak menimbulkan kerancuan karena keduanya memiliki perbedaan konteks yang jelas.
Namun demikian andaikata penggunaan istilah/kata “golongan” di dalam Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE serta di dalam Pasal 156 KUHP memungkinkan adanya kerancuan, quod non, menurut Mahkamah hal demikian adalah permasalahan harmonisasi istilah/kata yang merupakan bagian dari sebuah norma pada peraturan perundang- undangan yang sebenarnya tidak mengakibatkan pergeseran arti masing- masing istilah/kata yang ada pada peraturan perundang-undangan bersangkutan, sehingga hal tersebut bukanlah merupakan permasalahan konstitusionalitas norma”.
[3.13] Menimbang bahwa berkenaan dengan permohonan para Pemohon yang mengkhawatirkan implementasi penegakan hukum norma Pasal 28 ayat (2) UU ITE, oleh karenanya dalam petitum alternatif huruf b, khusus terhadap Pasal 28 ayat (2) UU ITE, para Pemohon memohon kepada Mahkamah agar menyatakan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XV/2017 dalam amar putusan perkara a quo. Terhadap kekhawatiran dan permohonan para Pemohon tersebut sesungguhnya telah terjawab pula dengan ditindaklanjutinya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XV/2017 dalam Keputusan Bersama sebagaimana telah dipertimbangkan di atas dalam Sub-Paragraf [3.11.4]. Dalam Keputusan Bersama tersebut ditentukan pula pedoman penerapan atau implementasi Pasal 28 ayat (2) UU ITE agar tidak menimbulkan multitafsir atau kontroversi di masyarakat [vide Konsideran Menimbang huruf b Keputusan Bersama]. Adapun pedoman implementasi, khususnya Pasal 28 ayat (2) UU ITE menyatakan sebagai berikut:
a. Delik utama Pasal 28 ayat (2) UU ITE adalah perbuatan menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu atau kelompok masyarakat berdasar suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
b. Bentuk informasi yang disebarkan dapat berupa gambar, video, suara, atau tulisan yang bermakna mengajak, atau mensyiarkan pada orang lain agar ikut memiliki rasa kebencian dan/atau permusuhan terhadap individu atau kelompok masyarakat berdasar isu sentimen atas SARA.
c. Kriteria “menyebarkan” dapat dipersamakan dengan agar “diketahui umum” bisa berupa unggahan pada akun media sosial dengan pengaturan bisa diakses publik, atau mensyiarkan sesuatu pada aplikasi grup percakapan dengan sifat terbuka dimana siapapun bisa bergabung dalam grup percakapan, lalu lintas isi atau informasi tidak ada yang mengendalikan, siapapun bisa upload dan berbagi (share) keluar, atau dengan kata lain tanpa adanya moderasi tertentu (open group).
d. Perbuatan yang dilarang dalam pasal ini motifnya membangkitkan rasa kebencian dan/atau permusuhan atas dasar SARA. Aparat Penegak Hukum harus membuktikan motif membangkitkan yang ditandai dengan adanya konten mengajak, memengaruhi, menggerakkan masyarakat. Menghasut/mengadu domba dengan tujuan menimbulkan kebencian, dan/atau permusuhan.
e. Frasa “antargolongan” adalah entitas golongan rakyat di luar suku, agama, dan ras sebagaimana pengertian antar golongan mengacu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XV/2017.
f. Penyampaian pendapat, pernyataan tidak setuju atau tidak suka pada individu atau kelompok masyarakat tidak termasuk perbuatan yang dilarang, kecuali yang disebarkan itu dapat dibuktikan ada upaya melakukan ajakan, memengaruhi dan/atau menggerakkan masyarakat, menghasut/mengadu domba untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan berdasar isu sentimen perbedaan SARA.
Dengan demikian, tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas Keputusan Bersama yang substansi pokoknya telah menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi, maka sesungguhnya tidak ada relevansinya kekhawatiran para Pemohon atas implementasi norma Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Oleh karena itu, dalil para Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum.
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan pada paragraf-paragraf sebelumnya, Mahkamah menilai telah ternyata ketentuan norma Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan telah memberikan perlindungan hukum kepada setiap orang sebagaimana dijamin oleh UUD 1945. Oleh karena itu, permohonan para Pemohon berkenaan dengan Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum. Sedangkan, terhadap dalil dan hal-hal lain tidak dipertimbangkan karena dipandang tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Menolak Permohonan Pemohon Untuk Seluruhnya Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 49/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2022 TENTANG IBU KOTA NEGARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-07-2022

Ir. SM Phiodias Marthias, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

pengujian formil terhadap UU Ibu Kota Negara.

Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU Ibu Kota Negara dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.14.1] Bahwa naskah akademik sebagaimana dimaksud dalam UU 12/2011 adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat [vide Pasal 1 angka 11 UU 12/2011]. Lebih lanjut, berkenaan dengan pembentukan undang-undang dijelaskan pula oleh UU 12/2011 alasan-alasan perlunya penyusunan naskah akademik sebagai acuan dalam pembentukan Rancangan Undang-Undang (RUU). Oleh karena itu, pada bagian latar belakang naskah akademik menjelaskan mengapa pembentukan RUU memerlukan suatu kajian yang mendalam dan komprehensif mengenai teori atau pemikiran ilmiah yang berkaitan dengan materi muatan RUU yang akan dibentuk. Pemikiran ilmiah tersebut mengarah kepada penyusunan argumentasi filosofis, sosiologis, serta yuridis guna mendukung perlu atau tidak perlunya penyusunan RUU [vide Lampiran I UU 12/2011]. Karena posisi naskah akademik sebagai acuan maka dalam perkembangan pembahasan suatu RUU dalam rangka mendapatkan persetujuan bersama dari pembentuk undang-undang maka tidak serta merta hal-hal yang termuat dalam naskah akademik kemudian masuk dalam materi undang-undang. Dengan kata lain, walaupun telah termuat dalam naskah akademik kemudian dalam pembahasan rancangan undang-undang ternyata mengalami perubahan maka hal tersebut tidak serta merta menyebabkan proses pembentukan undang-undang menjadi inkonstitusional.

[3.14.2] Bahwa keberadaan naskah akademik memang diharuskan dalam pembentukan undang-undang. Pasal 43 ayat (3) UU 12/2011 menyatakan, “Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD harus disertai Naskah Akademik”. Dalam perkara a quo telah terdapat Naskah Akademik UU 3/2022 sebagaimana diajukan oleh Pemohon [vide bukti P-12], sehingga pada tahapan penyusunan dalam pembentukan UU 3/2022 telah ternyata disertai dengan naskah akademik. Adapun mengenai muatan naskah akademik sebagaimana dipersoalkan Pemohon, menurut Mahkamah berdasarkan pertimbangan hukum paragraf di atas adalah tidak tepat dipersoalkan konstitusionalitasnya, mengingat penyusunan naskah akademik pada tahapan penyusunan pembentukan undang-undang harus melalui tahapan pembahasan pembentukan undang-undang yang dimungkinkan adanya perkembangan atau perubahan. Oleh karena itu, dalil Pemohon mengenai penyusunan dan muatan naskah akademik bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak tepat karena seharusnya yang dipersoalkan oleh Pemohon adalah mengenai proses atau prosedur pembentukan UU 3/2022 yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Sementara itu, mengenai proses atau prosedur pembentukan UU 3/2022 telah dinilai Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XX/2022 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XX/2022 yang diucapkan sebelum pengucapan putusan perkara a quo yang pada pokoknya menyatakan proses pembentukan UU 3/2022 tidak bertentangan dengan UUD 1945, oleh karenanya dalil-dalil para Pemohon untuk kedua perkara tersebut tidak beralasan menurut hukum. Dengan demikian, terhadap dalil Pemohon a quo karena berkaitan dengan proses pembentukan UU 3/2022, in casu naskah akademik UU 3/2022 maka harus dinyatakan pula tidak beralasan menurut hukum.

[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil permohonan Pemohon berkenaan dengan pengujian formil UU 3/2022 adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Sedangkan, terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan karena dipandang tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditarik Kembali Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 65/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-07-2022

Mochammad Mashuri yang memberikan kuasa kepada Ayyusita Nurcholissa, dkk, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 12 ayat (2) huruf b UU 20/2003

Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap penarikan kembali permohonan pengujian Pasal 12 Ayat (2) huruf b UU 20/2003 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
a. …
c. bahwa sesuai dengan Pasal 34 UU MK, Mahkamah telah melakukan Pemeriksaan Pendahuluan terhadap permohonan a quo melalui Sidang Panel pada 22 Juni 2022 dan sesuai dengan Pasal 39 UU MK serta Pasal 41 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, Panel Hakim telah memberi nasihat kepada Pemohon untuk memenuhi syarat formil permohonan dan memperbaiki permohonannya [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 65/PUU-XX/2022, tanggal 22 Juni 2022];
d. bahwa Mahkamah telah menerima Surat Pemohon, bertanggal 30 Juni 2022 perihal Penarikan Permohonan Pengujian Materiil Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 dengan Nomor Perkara 65/PUUXX/2022;
e. bahwa pada 6 Juli 2022 Mahkamah melaksanakan sidang Panel dengan agenda Konfirmasi Penarikan Permohonan 3 dan di dalam persidangan salah seorang kuasa hukum Pemohon (Marcellino Hariadi Nugroho) membenarkan adanya penarikan permohonan [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 65/PUU-XX/2022, tanggal 6 Juli 2022];
f. bahwa terhadap penarikan kembali permohonan Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan Permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali;
g. bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf f di atas, RPH pada 13 Juli 2022 telah menetapkan bahwa pencabutan atau penarikan kembali permohonan Perkara Nomor 65/PUU-XX/2022 adalah beralasan menurut hukum dan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo;
h. bahwa berdasarkan pertimbangan hukum pada huruf g di atas, Mahkamah memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada Pemohon;

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Penarikan Kembali Perkara Pengujian Undang-Undang Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 66/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2022 TENTANG IBU KOTA NEGARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-07-2022

M. Yuhiqqul Haqqa Gunadi, Hurriyah Ainaa Mardiyah, Ackas Depry Aryando, Rafi Muhammad, Dea Karisna, dan Nanda Trisua Hardianto, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 5 ayat (4), Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 13 ayat (1) UU 3/2022

Pasal 28E ayat (3), Pasal 28D ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28J ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal Pasal 5 ayat (4), Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 13 ayat (1) UU 3/2022 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
a. …
c. bahwa sesuai dengan Pasal 34 UU MK, Mahkamah telah melakukan pemeriksaan pendahuluan terhadap permohonan a quo melalui Sidang Panel pada 27 Juni 2022 dan sesuai dengan Pasal 39 UU MK serta Pasal 41 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, Panel Hakim telah memberi nasihat kepada para Pemohon untuk memperbaiki permohonannya [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 66/PUU-XX/2022, tanggal 27 Juni 2022];
d. bahwa Mahkamah telah menyelenggarakan Sidang Panel dengan acara pemeriksaan Perbaikan Permohonan para Pemohon pada 13 Juli 2022. Dalam persidangan dimaksud para Pemohon menyatakan menarik kembali Permohonan Nomor 66/PUU-XX/2022. Selanjutnya, pada hari yang sama Mahkamah menerima Surat para Pemohon perihal Pencabutan Permohonan Nomor 66/PUU-XX/2022, bertanggal 13 Juli 2022;
e. bahwa terhadap penarikan kembali permohonan para Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali;
f. bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf e di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada 14 Juli 2022 telah menetapkan bahwa pencabutan atau penarikan kembali Permohonan Nomor 66/PUU-XX/2022 adalah beralasan menurut hukum dan para Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo;
g. bahwa berdasarkan pertimbangan hukum pada huruf f di atas, Mahkamah memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan para Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada para Pemohon.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Diterima Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 63/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN FORMIL UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2022 TENTANG PROVINSI SULAWESI UTARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 07-07-2022

Immanuel Mahole, S.H., untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pengujian Formil

UUD 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian formil a quo UU 5/2022 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.3] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon adalah pengujian formil undnag-undang, in casu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2022 tentang Provinsi Sulawesi Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 65, Tambahan Lembaran negara Republik Indonesia Nomor 6776, selanjutnya disebut UU 5/2022) terhadap UUD 1945, maka Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, dan selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan keterpenuhan tenggang waktu pengujian formil.

Tenggang Waktu Pengajuan Pengujian Formil

[3.4] Menimbang bahwa terkait dengan tenggang waktu pengajuan permohonan pengujian formil, Mahkamah melalui beberapa putusannya telah menyatakan pendiriannya yang terakhir dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XVIII/2020 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 20 Juni 2022, yang pada pokoknya menegaskan berkenaan dengan tenggang waktu pengajuan permohonan pengujian formil maka makna “sejak” lebih bersifat pasti dan konkret dibanding makna “setelah”. Oleh karena itu, demi kepastian hukum, Mahkamah berpendirian pengajuan permohonan pengujian formil undang-undang terhadap UUD 1945 diajukan dalam waktu 45 (empat puluh lima) hari dihitung sejak undang-undang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia.

[3.5] Menimbang bahwa setelah Mahkamah mencermati secara saksama telah ternyata permohonan Pemohon diajukan ke Mahkamah pada 30 April 2022 sebagaimana Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 57/PUU/PAN.MK/ AP3/05/2022 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) pada 19 Mei 2022 dengan Nomor 63/PUU-XX/2022. Sementara itu, UU 5/2022 diundangkan pada 16 Maret 2022 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6776, maka dengan demikian permohonan Pemohon diajukan pada hari ke 46 (empat puluh enam) sejak UU 5/2022 diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 65 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6776;

[3.6] Menimbang bahwa terkait dengan permohonan a quo, Pemohon dalam Persidangan Pemeriksaan dengan agenda sidang Pemeriksaan Perbaikan Permohonan pada 22 Juni 2022 pun menyatakan telah mengakui pengajuan permohonannya telah melewati syarat tenggang waktu pengajuan permohonan pengujian formil sebagaimana diatur dalam dalam Pasal 9 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 63/PUU-XX/2022, tanggal 22 Juni 2022];

[3.7] Menimbang bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut di atas, oleh karena itu permohonan Pemohon berkaitan dengan pengujian formil UU 5/2022 terhadap UUD 1945 diajukan telah melewati tenggang waktu 45 (empat puluh lima) hari sejak UU 5/2022 diundangkan, yaitu diajukan pada hari ke-46 (empat puluh enam) sejak UU a quo diundangkan. Dengan demikian, permohonan Pemohon adalah tidak memenuhi syarat tenggang waktu dalam pengajuan pengujian formil di Mahkamah Konstitusi.

[3.8] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan Pemohon a quo, namun oleh karena permohonan Pemohon diajukan melewati tenggang waktu pengajuan permohonan pengujian formil maka kedudukan hukum dan pokok permohonan Pemohon, serta hal-hal lainnya tidak dipertimbangkan.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Di Tolak Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 19/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2021 TENTANG HARMONISASI PERATURAN PERPAJAKAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 07-07-2022

Dr. Ir. Priyanto, S.H., M.H., M.M., C.L.A., untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 7 ayat (3) UU Pajak Penghasilan beserta Penjelasan sebagaimana dimuat dalam Pasal 3 angka 3 UU 7/2021;

Pasal 17 ayat (2) UU Pajak Penghasilan sebagaimana dimuat dalam Pasal 3 angka 7 UU 7/2021;

Pasal 4A ayat (2) huruf b UU Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimuat dalam Pasal 4 angka 1 UU 7/2021 beserta Penjelasannya;

Pasal 4A ayat (3) huruf a UU Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimuat dalam Pasal 4 angka 1 UU 7/2021 beserta Penjelasannya;

Pasal 4A ayat (3) huruf b UU Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimuat dalam Pasal 4 angka 1 UU 7/2021 beserta Penjelasannya;

Pasal 4A ayat (3) huruf g UU Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimuat dalam Pasal 4 angka 1 UU 7/2021 beserta Penjelasannya;
Pasal 7 ayat (1) UU Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dalam Pasal 4 angka 2 UU 7/2021;

Pasal 7 ayat (4) UU Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dalam Pasal 4 angka 2 UU 7/2021;

Pasal 16B ayat (1a) huruf j angka 1, angka 2, angka 3, dan angka 6 UU Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah beserta Penjelasannya dalam Pasal 4 angka 6 UU 7/2021;

Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 dalam Bab V Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak UU 7/2021;

Pasal 13 ayat (4) UU 7/2021

Pasal 13 ayat (10), ayat (11), dan ayat (15) UU 7/2021 beserta Penjelasan;
• Pasal 4 ayat (2) UU Cukai beserta Penjelasan Pasal 14 angka 1 UU 7/2021;

Pasal 40B ayat (3) UU Cukai sebagaimana dimuat dalam Pasal 14 angka 2 UU 7/2021;

Pasal 64 ayat (1) UU Cukai sebagaimana dimuat dalam Pasal 14 angka 3 UU 7/2021.

Pasal 22D ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28H ayat (1), dan ayat (2), Pasal 28I ayat (1), Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian pasal-pasal a quo UU 7/2021 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.11] Menimbang bahwa sebelum lebih jauh mempertimbangkan substansi pokok permohonan a quo, penting bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan terlebih dahulu permohonan Pemohon berkenaan dengan Pasal 4A ayat (2) huruf b sebagaimana dimuat dalam Pasal 4 angka 1 beserta penjelasannya, Pasal 4A ayat (3) huruf b sebagaimana dimuat dalam Pasal 4 angka 1 beserta Penjelasannya, Pasal 4A ayat (3) huruf g sebagaimana dimuat dalam Pasal 4 angka 1 beserta Penjelasannya, Pasal 7 ayat (1) dalam Pasal 4 angka 2, Pasal 16B ayat (1a) huruf j angka 1, angka 2, angka 3, dan angka 6 beserta Penjelasannya dalam Pasal 4 angka 6, Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 dalam Bab V Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak, kata “dapat” dalam Pasal 40B ayat (3) dalam Pasal 14 angka 2 dan kata “dapat” dalam Pasal 64 ayat (1) dalam Pasal 14 angka 3 UU 7/2021 yang menurut Pemohon bertentangan dengan UUD 1945 sehingga harus dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
[3.11.1] Bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama alasan-alasan permohonan Pemohon terkait pasal-pasal sebagaimana disebutkan dalam Paragraf [3.11] di atas, menurut Mahkamah, dalam permohonannya, Pemohon sama sekali tidak menyampaikan argumentasi tentang pertentangan antara pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dengan UUD 1945 serta tidak menunjukkan argumentasi bagaimana pertentangan antara pasal-pasal a quo dengan pasal-pasal yang menjadi dasar pengujian dalam UUD 1945. Selain itu, Pemohon juga tidak menguraikan mengenai kaitan antara kerugian hak konstitusional yang dialami oleh Pemohon dengan inkontitusionalitas norma, akan tetapi justru lebih banyak menguraikan adanya potensi kerugian dalam kasus konkret yang nantinya berpotensi akan dialami oleh Pemohon dan juga mengarahkan Mahkamah untuk merumuskan norma baru (positive legislature) dengan menyatakan pasal yang telah dihapus dalam UU a quo untuk dihidupkan kembali dengan meminta untuk menambahkan pemaknaan sebagaimana telah Pemohon uraikan dalam petitum permohonan a quo.
Terlebih lagi, argumentasi Pemohon justru belum menggambarkan secara utuh dan jelas adanya pertentangan norma antara pasal yang diuji dengan UUD 1945, khususnya terkait dengan diberlakukannya PPN bagi jasa pendidikan, kebutuhan pokok, jasa medis dan jasa pelayanan sosial, pengampunan pajak dan cukai yang menurut Pemohon telah menyebabkan tidak adanya jaminan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dalam UUD 1945. Di samping itu, menurut Mahkamah uraian tersebut juga tidak didukung oleh alat bukti yang cukup dan relevan yang mendukung permohonan a quo sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (2) UU MK.
Padahal, Mahkamah dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan pada tanggal 8 Maret 2022 telah memberikan nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya sesuai dengan ketentuan Pasal 39 ayat (2) UU MK dan menguraikan argumentasi kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon dalam menguraikan kedudukan hukum serta memperjelas argumentasi dalam pokok permohonan terkait dengan mengapa norma undang-undang yang dimohonkan pengujian tersebut dianggap bertentangan dengan UUD 1945, akan tetapi permohonan Pemohon tetap sebagaimana diuraikan di atas [vide Risalah Sidang Pemeriksaan Pendahuluan tanggal 8 Maret 2022].
[3.11.2] Menimbang bahwa dengan demikian, Mahkamah tidak dapat memahami alasan permohonan Pemohon jika dikaitkan dengan petitum permohonan yang memohon agar pasal-pasal yang diuji konstitusionalitasnya bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sehingga meminta kepada Mahkamah agar beberapa pasal a quo yang telah dihapus untuk kembali dinyatakan memiliki kekuatan hukum mengikat serta menambahkan frasa yang dibuat oleh Pemohon sendiri seperti apa yang diuraikan Pemohon dalam petitum angka 5 berkenaan dengan Pasal 4A ayat (2) huruf b sebagaimana dimuat dalam Pasal 4 angka 1 beserta Penjelasannya, Pasal 4A ayat (3) huruf a sebagaimana dimuat dalam Pasal 4 angka 1 beserta Penjelasannya, Pasal 4A ayat (3) huruf b sebagaimana dimuat dalam Pasal 4 angka 1 beserta Penjelasannya, Pasal 4A ayat (3) huruf g sebagaimana dimuat dalam Pasal 4 angka 1 beserta Penjelasannya dalam UU 7/2021. Hal demikian menurut Mahkamah lebih tepat jika dijadikan alasan untuk mengajukan usul legislative review kepada pembentuk undang-undang dan bukan pengujian undang-undang (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi.
[3.11.3] Menimbang bahwa oleh karena ketidakjelasan dimaksud, menurut Mahkamah permohonan Pemohon berkenaan dengan Pasal 4A ayat (2) huruf b sebagaimana dimuat dalam Pasal 4 angka 1 beserta penjelasannya, Pasal 4A ayat (3) huruf a sebagaimana dimuat dalam Pasal 4 angka 1 beserta penjelasannya, Pasal 4A ayat (3) huruf b sebagaimana dimuat dalam Pasal 4 angka 1 beserta Penjelasannya, Pasal 4A ayat (3) huruf g sebagaimana dimuat dalam Pasal 4 angka 1 beserta Penjelasannya, Pasal 7 ayat (1) dalam Pasal 4 angka 2, Pasal 16B ayat (1a) huruf j angka 1, angka 2, angka 3, dan angka 6 beserta Penjelasannya dalam Pasal 4 angka 6, Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 dalam BAB V PROGRAM PENGUNGKAPAN SUKARELA WAJIB PAJAK, kata “dapat” dalam Pasal 40B ayat (3) dalam Pasal 14 angka 2 dan kata “dapat” dalam Pasal 64 ayat (1) dalam Pasal 14 angka 3 UU 7/2021 adalah menjadi tidak jelas atau kabur.
[3.12] Menimbang bahwa selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan Pasal 7 ayat (3) dalam Pasal 3 angka 3 beserta Penjelasannya, Pasal 17 ayat (2) dalam Pasal 3 angka 7, Pasal 7 ayat (4) dalam Pasal 4 angka 2 beserta Penjelasannya, Pasal 13 ayat (4), Pasal 13 ayat (10) beserta Penjelasannya, Pasal 13 ayat (11) beserta Penjelasannya, Pasal 13 ayat (15) beserta Penjelasannya dan Pasal 4 ayat (2) dalam Pasal 14 angka 1 beserta Penjelasannya dalam UU 7/2021 yang menurut Pemohon bertentangan dengan UUD 1945 oleh karena tidak melibatkan atau mengikutsertakan DPD dalam berbagai proses pembentukan peraturan perundangan di bawah undang-undang yang terkait dengan pajak serta mengesampingkan fungsi, tugas dan peranan DPD dalam hal memberikan pertimbangan dan pengawasan di bidang perpajakan sehingga melanggar ketentuan Pasal 22D ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Terhadap hal-hal tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa terkait dalil a quo, persoalan konstitusionalitas yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah apakah dengan tidak dilibatkannya DPD dalam proses pembentukan peraturan di bawah undang-undang terkait dengan pajak telah mengesampingkan fungsi, tugas, dan peranan DPD sebagaimana diatur dalam Pasal 22D ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.
[3.12.2] Bahwa terkait dengan persoalan tersebut Mahkamah perlu kembali menegaskan pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 27 Maret 2013, yang pada pokoknya menyatakan bahwa DPD dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran daerah, serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai dengan pilihan dan kepentingan DPD sebagaimana telah ditegaskan dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945.
Selain itu, dalam pertimbangan tersebut, Mahkamah juga menegaskan bahwa DPD memiliki hak dan/atau kewenangan yang sama dengan DPR dan Presiden dalam membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran daerah, serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah sebagaimana telah diatur Pasal 22D ayat (2) UUD 1945. Begitupun dalam penyusunan prolegnas, keterlibatan DPD dalam penyusunan prolegnas juga semakin menegaskan bahwa DPD juga memiliki hak dan/atau kewenangan yang sama dengan DPR.
Hal utama yang menurut Mahkamah penting untuk kembali ditegaskan terkait dengan persoalan konstitusionalitas dalam permohonan a quo adalah bahwa DPD sudah diberikan hak untuk memberikan pertimbangan dalam pembahasan atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama, namun makna memberikan pertimbangan tersebut tidak sama dengan bobot kewenangan DPD untuk ikut membahas RUU. Hal terpenting menurut Mahkamah adalah bahwa adanya kewajiban dari DPR dan Presiden untuk meminta pertimbangan DPD atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, Pendidikan dan agama. Hal tersebut telah ditegaskan oleh Mahkamah dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 dalam Sub-paragraf [3.18.5], sehingga dengan demikian keikutsertaan dalam pembentukan peraturan perundangan-undangan di bawah undang-undang terkait dengan pajak bukanlah menjadi bagian dari kewenangan DPD untuk ikut membahasnya.
[3.12.3] Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, secara konstitusional DPD hanya diberi hak untuk memberikan pertimbangan dalam membahas rancangan UU APBN, pajak, pendidikan, dan agama. Sementara itu, keterlibatan DPR dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang berkenaan dengan pajak telah dibatasi secara eksplisit hanya sebatas konsultasi [vide Pasal 7 ayat (3) dalam Pasal 3 angka 3 dan Pasal 13 ayat (10) UU 7/2021]. Hal utama yang harus juga ditegaskan oleh Mahkamah terkait dalil Pemohon a quo adalah bahwa DPD tetap dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang terkait dengan pajak yang hasil pengawasan tersebut disampaikan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Hal tersebut telah sejalan dengan Pasal 22D ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan “Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai: otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti”.
Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, dalil Pemohon tentang UU 7/2021 bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak melibatkan atau mengikutsertakan DPD dalam berbagai proses pembentukan peraturan perundangan di bawah undang-undang yang terkait dengan pajak serta mengesampingkan fungsi, tugas, dan peranan DPD dalam hal memberikan pertimbangan dan pengawasan di bidang perpajakan adalah tidak bertentangan dengan Pasal 22D ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, sehingga dengan demikian permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.13] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak dan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 33/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2004 TENTANG SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 07-07-2022

Samiani, yang diwakili oleh Muhammad Sholeh, S.H., dkk., para Advokat pada Kantor Advokat ”Sholeh and Partners”, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 35 ayat (2) dan Pasal 37 ayat (1) UU 40/2004

Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 35 ayat (2) dan Pasal 37 ayat (1) UU 40/2004 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.10] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan Pemohon beserta bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.10.1] Bahwa persoalan konstitusionalitas norma yang dipermasalahkan oleh Pemohon berkaitan dengan penafsiran norma Pasal 35 ayat (2) juncto Pasal 37 ayat (1) UU 40/2004. Di dalam kedua pasal yang saling terkait tersebut diatur bahwa program “jaminan hari tua” ditujukan untuk menjamin peserta program menerima manfaat jaminan hari tua berupa uang tunai apabila memasuki masa pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia. Kemudian pencapaian tujuan demikian dipertegas dengan pengaturan bahwa pembayaran uang jaminan hari tua dilakukan secara sekaligus;
Bahwa Pasal 35 ayat (2) dan Pasal 37 ayat (1) UU 40/2004 beserta Penjelasan, selengkapnya menyatakan sebagai berikut:
Pasal 35 ayat (2)
“Jaminan hari tua diselenggarakan dengan tujuan untuk menjamin agar peserta menerima uang tunai apabila memasuki masa pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia.”
Pasal 37 ayat (1)
“Manfaat jaminan hari tua berupa uang tunai dibayarkan sekaligus pada saat peserta memasuki usia pensiun, meninggal dunia, atau mengalami cacat total tetap.”

Penjelasan Pasal 35 ayat (2)
“Jaminan hari tua diterimakan kepada peserta yang belum memasuki usia pensiun karena mengalami cacat total tetap sehingga tidak bisa lagi bekerja dan iurannya berhenti.”
Penjelasan Pasal 37 ayat (1)
“Cukup jelas”
Bahwa menurut Pemohon ketentuan norma-norma a quo tidak mencerminkan keadilan dan kepastian hukum, serta bersifat diskriminatif, karena norma tersebut tidak mengakomodir pembayaran jaminan hari tua bagi pekerja yang mengundurkan diri atau terkena pemutusan hubungan kerja. Norma pasal-pasal tersebut hanya mengakomodir pembayaran jaminan hari tua bagi pekerja yang memasuki masa pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia.
Bahwa terkait dengan dalil Pemohon tersebut, setelah dicermati secara saksama Pasal 35 ayat (2) dan Pasal 37 ayat (1) UU 40/2004 pada hakikatnya adalah ketentuan yang mengatur tujuan jaminan hari tua dan tata cara pembayaran jaminan hari tua. Oleh karena itu, sebelum menjawab persoalan dasar yang didalilkan oleh Pemohon, penting bagi Mahkamah menjelaskan terlebih dahulu esensi dasar berkenaan dengan hakikat jaminan hari tua bagi pekerja sebagaimana dimaksudkan dalam UU 40/2004.
Bahwa program jaminan hari tua adalah tabungan wajib yang dibebankan negara kepada pemberi kerja dan pekerja untuk masa depan pekerja. Oleh karena itu, terdapat perbedaan fundamental dengan tabungan personal ataupun komersial yang dananya ditempatkan pada perbankan, baik mengenai sifat maupun tujuannya. Dalam tabungan yang bersifat personal atau komersial, uang tabungan dapat diambil setiap saat atau setiap waktu dibutuhkan karena memang hanya untuk mengantisipasi kebutuhan personal pemilik tabungan bersangkutan tanpa negara dapat melibatkan diri dalam urusan privat tersebut. Sedangkan tabungan jaminan hari tua yang dibebankan kepada pemberi kerja dan pekerja adalah kewajiban yang dibebankan oleh negara dalam rangka mengejawantahkan perlindungan konstitusional bagi warga negara, khususnya terkait masa depan pekerja. Dengan demikian, jaminan hari tua mempunyai karakteristik berbeda dalam pelaksanaannya, termasuk mengenai tata cara pembayaran jaminan hari tua dimaksud.
Bahwa dalam konteks tata cara pembayaran jaminan hari tua, negara dengan kewenangan yang dimiliki dapat mengatur skema tata cara pembayaran jaminan hari tua dimaksud. Pengaturan demikian harus selalu mengedepankan kepentingan yang bersifat umum daripada mengutamakan kepentingan yang bersifat perorangan atau individu. Dengan demikian, berangkat dari esensi yang terdapat dalam semangat norma-norma undang-undang yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon terdapat korelasi antara alasan yang membatasi pembayaran jaminan hari tua hanya terbatas karena pensiun, meninggal dunia atau cacat total tetap sebelum pensiun (vide Pasal 37 UU 40/2004) dengan alasan cacat total tetap, sehingga berhenti bekerja dan iurannya juga berhenti (vide Pasal 35 UU 40/2004).
[3.10.2] Bahwa selanjutnya dengan uraian fakta hukum tersebut di atas, persoalan konstitusionalitas yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah, apakah dengan demikian norma-norma yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon menjadi tidak berkeadilan dan tidak berkepastian hukum serta diskriminatif karena tidak mengakomodir pekerja, yang terkena pemutusan hubungan kerja dan mengundurkan diri, untuk mendapatkan pembayaran/pemberian jaminan hari tua.
Terhadap persoalan tersebut Mahkamah mempertimbangkan bahwa esensi mendasar tujuan jaminan hari tua adalah diperolehnya manfaat uang tunai yang dibayarkan sekaligus pada saat peserta memasuki usia pensiun, meninggal dunia, dan cacat total tetap. Sehingga dengan demikian bagi peserta yang sudah tidak mempunyai penghasilan lagi, disebabkan karena pensiun, atau bagi yang meninggal dunia untuk keluarga yang ditinggalkan, dan peserta yang mengalami cacat total tetap, uang pembayaran jaminan hari tua tersebut sesungguhnya dapat menjadi bekal bagi peserta yang bersangkutan atau ahli warisnya dalam mempertahankan derajat kehidupan yang layak.
Bahwa oleh karena itu, titik krusial manfaat dari jaminan hari tua sebenarnya terletak pada saat peserta menghadapi masa pensiun, meninggal dunia, atau cacat total tetap yang berakibat “tertutupnya” kemungkinan untuk mendapatkan kesempatan bekerja kembali. Dengan demikian, pembayaran uang tunai yang berasal dari jaminan hari tua sangat bermanfaat untuk menyambung biaya kehidupan peserta dan keluarga/ahli warisnya, khususnya dalam mempertahankan derajat kehidupan yang layak. Hal ini berbeda dengan peserta yang berhenti bekerja karena alasan-alasan lain, seperti karena pemutusan hubungan kerja atau mengundurkan diri, yang masih dimungkinkan mendapatkan kesempatan bekerja di tempat lain.
Bahwa oleh karena itu lebih lanjut dapat dipertimbangkan, menjadi tidak sepadan apabila pembayaran jaminan hari tua yang diproyeksikan sebagai bekal dalam menyongsong kehidupan setelah peserta tidak mampu lagi bekerja karena usia lanjut atau cacat total tetap, bahkan meninggal dunia, dipersamakan dengan yang berhenti karena alasan-alasan lain. Namun demikian, karena iuran yang dipergunakan untuk membayar jaminan hari tua sejatinya sebagian juga dari pekerja, maka terhadap pekerja yang berhenti membayar iuran jaminan hari tua karena terkena pemutusan hubungan kerja atau mengundurkan diri haruslah tetap dipertimbangkan untuk diberikan haknya sepanjang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan, dalam arti pemberian pembayaran jaminan hari tua tersebut tidak menggeser tata cara pembayaran sebagaimana ditentukan dalam skema pembayaran yang diatur dalam peraturan pelaksana atau dalam norma pasal-pasal yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon. Penegasan Mahkamah tersebut didasarkan pertimbangan hukum, yaitu apabila peserta yang berhenti bekerja karena terkena pemutusan hubungan kerja atau mengundurkan diri dipersamakan dengan peserta yang diberikan pembayaran jaminan hari tua karena pensiun, meninggal dunia, atau cacat total tetap.
Bahwa mempersamakan kedua hal demikian dikhawatirkan Mahkamah akan berdampak pada pergeseran makna jaminan hari tua. Bahkan kebijakan mempersamakan demikian bisa berkembang menjadi “modus” peserta untuk mendapatkan pembayaran jaminan hari tua dan dipergunakan untuk keperluan lain yang tidak sejalan dengan tujuan jaminan hari tua sebagai bentuk perlindungan konstitusional terhadap nasib pekerja yang perlu dicampuri urusannya oleh negara, meskipun konsep jaminan hari tua termasuk ranah privat.
[3.10.3] Bahwa dengan merujuk uraian fakta-fakta hukum tersebut di atas, selanjutnya penting bagi Mahkamah untuk mengaitkan persoalan yang berpotensi dialami oleh Pemohon dengan eksistensi Pasal 35 ayat (2) juncto Pasal 37 ayat (1) UU 40/2004. Lebih lanjut apabila dicermati, konteks berhenti bekerja selain karena meninggal dunia, pensiun, atau cacat total tetap, dapat pula disebabkan karena mengundurkan diri atau karena terkena pemutusan hubungan kerja. Dalam perspektif ini UU 40/2004 tidak mengatur secara tegas bahwa yang dimaksud berhenti bekerja adalah termasuk mengundurkan diri atau karena terkena pemutusan hubungan kerja, namun istilah pensiun pada UU 40/2004 apabila merujuk pada pengertian pensiun secara umum adalah suatu kondisi ketika seseorang “tidak bekerja lagi krn masa tugasnya sudah selesai” [vide Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (Depdiknas, 2008:1047)]. Dengan demikian, adalah kurang tepat jika mengundurkan diri dari pekerjaan atau terkena pemutusan hubungan kerja yang mendasarkan pada kontrak/perjanjian kerja berjangka waktu relatif pendek akan dikategorikan sebagai pensiun. Adapun frasa “mengalami cacat total” atau “meninggal dunia” jelas tidak mungkin ditafsirkan meliputi makna mengundurkan diri dari pekerjaan atau pemutusan hubungan kerja.
[3.11] Menimbang bahwa dalam kaitannya dengan potensi permasalahan yang dihadapi Pemohon, Mahkamah berpendapat meskipun UU 40/2004 tidak secara tegas mengakomodir permasalahan yang berpotensi merugikan peserta jaminan hari tua yang mengundurkan diri atau terkena pemutusan hubungan kerja, namun apabila ditelisik lebih detail permasalahan tersebut telah terakomodir di dalam peraturan pelaksana UU 40/2004, yaitu Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara Dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua, bertanggal 2 Februari 2022, yang diundangkan pada 4 Februari 2022. Peraturan a quo kemudian dicabut dan digantikan oleh Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2022 tentang Tata Cara Dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua, bertanggal 26 April 2022 (selanjutnya disebut Permenaker 4/2022), dan diundangkan pada tanggal yang sama.
Bahwa sebelum lebih lanjut mengutip dan mempertimbangkan substansi Permenaker tersebut, Mahkamah harus menegaskan bahwa pengutipan dan pertimbangan demikian bukan berarti Mahkamah menilai legalitas peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, apalagi menjadikan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang sebagai parameter/batu uji bagi pengujian konstitusionalitas undang-undang. Pengutipan dan/atau rujukan yang demikian diperlukan Mahkamah untuk mengetahui keberagaman penafsiran atas suatu undang-undang, terutama penafsiran oleh pelaksana undang-undang yang dalam hal ini Pemerintah. Dengan kata lain, pengutipan dan/atau rujukan demikian diletakkan oleh Mahkamah sebagai substansi yang dapat dipertimbangkan sebagai bagian dari fakta hukum yang mengemuka dalam persidangan terkait dengan perkara pengujian undang-undang.
Bahwa terkait peraturan dimaksud, dalam Pasal 4 junctis Pasal 5, Pasal 8, dan Pasal 9 Permenaker 4/2022 diatur sebagai berikut:
Pasal 4
“Manfaat JHT dibayarkan kepada Peserta jika:
a. mencapai usia pensiun;
b. mengalami cacat total tetap; atau
c. meninggal dunia.”
Pasal 5
“ (1) Peserta yang mencapai usia pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a termasuk juga Peserta yang berhenti bekerja.
(2) Peserta yang berhenti bekerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Peserta yang mengundurkan diri;
b. Peserta yang terkena pemutusan hubungan kerja; dan
c. Peserta yang meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.”
Pasal 8
“Manfaat JHT bagi Peserta yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a dapat dibayarkan secara tunai dan sekaligus setelah melewati masa tunggu 1 (satu) bulan terhitung sejak diterbitkan keterangan pengunduran diri dari pemberi kerja.”
Pasal 9
“Pengajuan pembayaran manfaat JHT bagi Peserta yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 disampaikan oleh Peserta kepada BPJS Ketenagakerjaan, dengan melampirkan:
a. Kartu Peserta BPJS Ketenagakerjaan;
b. kartu tanda penduduk atau bukti identitas lainnya; dan
c. keterangan pengunduran diri dari pemberi kerja tempat Peserta bekerja.”
Bahwa beberapa ketentuan tersebut menunjukkan bahwa Pemerintah melalui Menteri Tenaga Kerja memaknai istilah “pensiun” dalam UU 40/2004 meliputi pula seseorang “yang berhenti bekerja”. Sehingga, konsep peserta BPJS Ketenagakerjaan yang pensiun meliputi juga peserta BPJS Ketenagakerjaan yang berhenti bekerja. Selanjutnya, konsep berhenti bekerja tersebut dimaknai meliputi peserta BPJS Ketenagakerjaan yang mengundurkan diri, terkena pemutusan hubungan kerja, atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
Bahwa dengan adanya pengaturan yang demikian, maka permasalahan yang dihadapi Pemohon dalam perkara a quo, secara normatif sebenarnya sudah terselesaikan. Artinya, pencairan dana/manfaat jaminan hari tua bagi peserta yang mengundurkan diri dari pekerjaan dapat dilakukan dalam waktu relatif singkat, jika dilakukan sesuai prosedur yang diatur Permenaker 4/2022. Namun demikian, sekali lagi Mahkamah harus menegaskan bahwa norma Permenaker bukan merupakan norma undang-undang, yang artinya kekuatan hukum norma Permenaker lebih rendah dibandingkan dengan norma undang-undang. Dalam kaitannya dengan perbedaan hierarki norma tersebut, fungsi/kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi adalah menguji konstitusionalitas undang-undang terhadap UUD 1945. Artinya, dalam suatu perkara pengujian konstitusionalitas undang-undang, ketika suatu undang-undang tidak mengatur isu tertentu namun peraturan pelaksana undang-undang tersebut mengatur atau menafsirkan dengan lebih rinci isu tersebut, hal demikian tetap tidak dapat dianggap sebagai materi/substansi undang-undang.
[3.12] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan keberadaan UU 40/2004 yang tidak mengatur pencairan manfaat/dana jaminan hari tua bagi peserta jaminan hari tua yang berhenti bekerja karena mengundurkan diri atau mengalami pemutusan hubungan kerja sebelum waktu pensiun, serta telah mempertimbangkan pula keberadaan Permenaker yang memungkinkan adanya perubahan makna/tafsir terkait pencairan manfaat/dana jaminan hari tua di atas, Mahkamah berpendapat tidak perlu adanya perluasan makna Pasal 35 ayat (2) juncto Pasal 37 ayat (1) UU 40/2004.
Namun demikian, melalui putusan ini Mahkamah menegaskan agar solusi hukum atas hal-hal yang potensial dialami Pemohon diakomodir dalam peraturan pelaksana, dengan tidak boleh merugikan hak peserta jaminan hari tua sepanjang pengunduran diri dan pemutusan hubungan kerja yang dialaminya benar-benar berakibat terhentinya yang bersangkutan untuk tidak bekerja kembali atau karena alasan-alasan yang bersifat adanya “keadaan memaksa” (force majeure), seperti halnya dalam kondisi pandemi Covid-19. Lebih lanjut, perluasan makna lebih detail dalam peraturan pelaksana demikian ditujukan agar dapat mengakomodir hak peserta jaminan hari tua, yaitu hak untuk mendapatkan manfaat jaminan hari tua dalam hal peserta dimaksud berhenti bekerja karena mengundurkan diri atau karena mengalami pemutusan hubungan kerja sebelum tercapai usia pensiun sewajarnya.
[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat ketentuan norma Pasal 35 ayat (2) dan Pasal 37 ayat (1) UU 40/2004 telah ternyata tidak menimbulkan ketidakadilan, ketidakpastian hukum, dan diskriminasi yang dijamin dalam UUD 1945 sebagaimana didalilkan oleh Pemohon. Dengan demikian, permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya, sedangkan hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan karena dipandang tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 35/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 07-07-2022

Partai Gelombang Rakyat Indoensia (Partai Gelora Indonesia) yang diwakili oleh H. M. Anis Matta, LC (Ketua Umum Partai Gelora Indonesia) dan Drs. Mahfuz Sidik, M.Si. (Sekretaris Jenderal Partai Gelora Indonesia) dengan memberikan kuasa kepada Dr. Guntur F. Prisanto, S.E., S.H., M.Hum., M.H., dkk, advokat, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Para Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian frasa “secara serentak” pada Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU 7/2017

Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 167 ayat (3), dan Pasal 347 ayat (1) UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.9] Menimbang bahwa oleh karena permohonan a quo telah jelas maka dengan bersandar pada Pasal 54 UU MK, Mahkamah berpendapat tidak terdapat urgensi dan relevansinya untuk mendengar keterangan pihak-pihak sebagaimana disebut dalam Pasal 54 UU MK dimaksud;

[3.10] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut dalil permohonan Pemohon a quo Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan permohonan Pemohon berkaitan dengan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), sehingga terhadap norma a quo dapat dimohonkan kembali.

Pasal 60 UU MK menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.
Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda.

Terhadap persoalan tersebut Mahkamah mempertimbangkan ketentuan Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU 7/2017 pernah diajukan sebelumnya dan telah diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-XVII/2019 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 26 Februari 2020, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 26 Februari 2020, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XIX/2021 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 24 November 2021, dengan masing-masing amarnya menyatakan Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Setelah dipelajari secara saksama, telah ternyata Perkara Nomor 37/PUU-XVII/2019 menggunakan dasar pengujiannya adalah Alinea 4 Pembukaan UUD 1945, Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945, Perkara Nomor 55/PUU-XVII/2019 dasar pengujiannya adalah Pasal 1 ayat (2), Pasal 4 ayat (1), dan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, dan Perkara Nomor 16/PUU-XIX/2021 dasar pengujiannya adalah Pasal 1 ayat (2), Pasal 22E ayat (1), Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945. Sementara itu, Pemohon a quo menggunakan dasar pengujiannya adalah Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;

Selanjutnya, berkenaan dengan alasan konstitusional yang digunakan, Perkara Nomor 37/PUU-XVII/2019 adalah penyelenggaraan Pemilu Serentak Tahun 2019 yang dinilai tidak memberikan perlindungan atas diri pribadi bagi masyarakat dan pembengkakan anggaran Pemilu Serentak Tahun 2019 sehingga mengancam agenda pemerintahan dalam peningkatan kesejahteraan. Kemudian, Perkara Nomor 55/PUU-XVII/2019 menggunakan alasan penyelenggaraan Pemilu Serentak Lima Kotak sebagaimana yang diselenggarakan tahun 2019 adalah inkonstitusional karena tidak dilakukan antara pemisahan Pemilu Nasional dengan Pemilu lokal. Sementara itu, Perkara Nomor 16/PUU-XIX/2021 menggunakan alasan pemilihan lima kotak secara bersamaan pada Pemilu Tahun 2024 menyebabkan beratnya beban kerja yang dialami oleh petugas penyelenggara pemilu. Sedangkan, alasan konstitusional dalam permohonan a quo adalah penyelenggaraan Pemilu serentak Tahun 2024 yang dilaksanakan pada hari yang sama telah menghalangi Pemohon untuk mengusulkan calon Presiden dan Wakil Presiden;

Berdasarkan uraian di atas, terdapat perbedaan dasar pengujian maupun alasan konstitusional dalam permohonan Perkara Nomor 37/PUU-XVII/2019, Nomor 55/PUU-XVII/2019, dan Nomor 16/PUU-XIX/2021 dengan dasar pengujian maupun alasan konstitusional permohonan a quo. Dalam perkara a quo, salah satunya menggunakan dasar pengujian Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang tidak digunakan sebagai dasar pengujian dalam Perkara Nomor 37/PUU-XVII/2019, Nomor 55/PUU-XVII/2019, dan Nomor 16/PUU-XIX/2021. Sementara itu, alasan pengujian “penyelenggaraan Pemilu serentak Tahun 2024 yang dilaksanakan pada hari yang sama telah menghalangi Pemohon untuk mengusulkan calon Presiden dan Wakil Presiden” pun belum digunakan dalam ketiga permohonan a quo. Oleh karena itu, terlepas secara substansial permohonan Pemohon beralasan menurut hukum atau tidak, berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021, permohonan a quo dapat diajukan kembali;

[3.12] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca dan mempelajari secara
saksama permohonan Pemohon, memeriksa bukti-bukti yang diajukan, dan mempertimbangkan argumentasi pokok yang didalilkan, telah ternyata yang intinya dipersoalkan oleh Pemohon adalah berkenaan dengan inkonstitusionalitas frasa “secara serentak” yang termaktub dalam norma Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU 7/2017. Sebagaimana didalilkan Pemohon, frasa dalam kedua norma a quo potensial menghalangi memajukan diri dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negara guna mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Bagi Pemohon, waktu Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD yang diselenggarakan berbeda dari waktu penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah tetap konstitusional sepanjang dilaksanakan pada tahun yang sama, meskipun bukan pada hari yang sama. Model yang demikian tetap dapat dikatakan sebagai model Pemilu Serentak dengan basis keserentakan tahun penyelenggaraan. Ihwal permasalahan konstitusionalitas tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

Bahwa berkenaan dengan penyelenggaraan pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD serta pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah perlu menegaskan kembali perkembangannya sejak pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan secara langsung berdasarkan ketentuan Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.” Karena reformasi konstitusi (1999-2002) tuntas pada tahun 2002, amanat Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 tersebut dilaksanakan dalam Pemilu 2004. Dalam praktiknya, waktu penyelenggaraan Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD dilaksanakan terpisah dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Ketika itu, Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD dilaksanakan lebih awal (dahulu) dibandingkan dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Setelah Pemilu 2004 tersebut, waktu penyelenggaraan Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD yang dipisahkan dari waktu penyelenggaraan Pemilu Presiden dan wakil Presiden dipersoalkan atau diuji konstitusionalitasnya ke Mahkamah melalui Perkara Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008. Setelah perkara tersebut diperiksa, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 18 Februari 2009, Mahkamah pada intinya menyatakan Pemilu anggota lembaga perwakilan (anggota DPR, DPD, dan DPRD) yang dilaksanakan lebih dulu dari Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebagai sesuatu yang konstitusional. Karena pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 tersebut, Pemilu 2009 dan Pemilu 2014 tetap diselenggarakan seperti Pemilu 2004, yaitu Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD diselenggarakan lebih awal (dahulu) dibandingkan dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Perkembangan selanjutnya, meskipun Pemilu 2014 penyelenggaraannya tetap terpisah antara Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, namun beberapa waktu menjelang penyelenggaraan Pemilu 2014, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 23 Januari 2014, Mahkamah menggeser pendiriannya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008. Pada intinya, Mahkamah menyatakan penyelenggaraan Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD yang terpisah (tidak serentak) dengan penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tidak sejalan dengan prinsip konstitusi. Oleh karena itu, penyelenggaraan Pemilu yang terpisah tersebut dinyatakan inkonstitusional. Namun demikian, sekalipun penyelenggaraan Pemilu yang terpisah tersebut dinyatakan inkonstitusional, secara faktual Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 diucapkan berdekatan dengan tahap pemungutan suara untuk Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD Tahun 2014, sehingga Mahkamah mempertimbangkan dan menyatakan penyelenggaraan Pemilu serentak tersebut baru dilaksanakan pada Pemilu 2019.

Kemudian, setelah berbagai pengalaman penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019, Mahkamah tetap dengan pendiriannya ihwal keserentakan penyelenggaraan Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah konstitusional dengan memberikan beberapa alternatif pilihan model pelaksanaan Pemilu serentak sebagaimana termaktub dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 26 Februari 2020, dalam Paragraf [3.16], sebagai berikut:
“Bahwa setelah menelusuri kembali original intent perihal pemilihan umum serentak; keterkaitan antara pemilihan umum serentak dalam konteks penguatan sistem pemerintahan presidensial; dan menelusuri makna pemilihan umum serentak dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, terdapat sejumlah pilihan model keserentakan pemilihan umum yang tetap dapat dinilai konstitusional berdasarkan UUD 1945, yaitu:
1. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan anggota DPRD;
2. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, Gubernur, dan Bupati/Walikota;
3. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, anggota DPRD, Gubernur, dan Bupati/Walikota;
4. Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak lokal untuk memilih anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, pemilihan Gubernur, dan Bupati/Walikota;
5. Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak provinsi untuk memilih anggota DPRD Provinsi dan memilih gubernur; dan kemudian beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum serentak kabupaten/kota untuk memilih anggota DPRD Kabupaten/Kota dan memilih Bupati dan Walikota;
6. Pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden.

Berdasarkan uraian di atas, meskipun Mahkamah memberikan beberapa kemungkinan alternatif pilihan model pelaksanaan Pemilu serentak, namun demikian pilihan model pelaksanaan Pemilu serentak tersebut tetap harus menjaga sifat keserentakan Pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPD dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Sikap dan pendirian Mahkamah demikian telah didasarkan kepada original intent UUD 1945, doktriner dan praktik dengan basis argumentasi keserentakan Pemilu untuk memilih anggota lembaga perwakilan rakyat di tingkat pusat dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden merupakan konsekuensi logis dari upaya penguatan sistem pemerintahan presidensial. Artinya, meskipun terbuka kemungkinan untuk menggeser pendiriannya, namun sampai sejauh ini Mahkamah belum memiliki alasan yang kuat untuk menggeser pendiriannya sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 dimaksud. Terlebih lagi, keinginan Pemohon untuk “memisahkan waktu penyelenggaraan Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tidak dilaksanakan pada hari yang sama tetapi pada tahun yang sama dengan penyelenggaraan Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD dilaksanakan lebih dahulu dibandingkan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden” sama saja dengan mengembalikan kepada model penyelenggaraan Pemilu 2004, Pemilu 2009, dan Pemilu 2014 yang telah tegas dinilai dan dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah. Bahkan, sikap demikian telah Mahkamah tegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XIX/2021 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 24 November 2021. Oleh karena itu, belum terdapat alasan hukum dan kondisi yang secara fundamental berbeda bagi
Mahkamah untuk menggeser pendiriannya terhadap isu pokok yang berkaitan
dengan frasa “secara serentak” sehingga norma Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347
ayat (1) UU 7/2017 haruslah tetap dinyatakan konstitusional;

[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 37/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 07-07-2022

A. Komarudin, Eny Rochayati, Hana Lena Mabel, Festus Manasye Asso, Yohanes G. Raubaba, dan Prilia Yustiati Uruwaya, dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya Nurkholis Hidayat, S.H., L.L., M. dkk, Advokat dan Konsultan hukum tergabung dalam Lokataru Kantor Hukum dan Hak Asasi Manusia, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 201 ayat (9), Penjelasan Pasal 201 ayat (9), Pasal 201 ayat (10), dan Pasal 201 ayat (11) UU 10/2016

Pasal 1 ayat (2), Pasal 18 ayat (4), Pasal 18A ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 201 ayat (9), Penjelasan Pasal 201 ayat (9), Pasal 201 ayat (10), dan Pasal 201 ayat (11) UU 10/2016 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.13] Menimbang bahwa sebelum lebih jauh mempertimbangkan permohonan a quo, oleh karena norma pasal undang-undang yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon berkaitan erat dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XX/2022, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XX/2022, kesemuanya diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 20 April 2022. Dari ketiga putusan a quo, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XX/2022 sebagian substansi yang dimohonkan para Pemohon adalah sama dengan norma yang dimohonkan dalam permohonan a quo, yaitu norma Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016. Sekalipun Pemohon dalam Perkara Nomor 15/PUU-XX/2022 tidak memohonkan pengujian norma Pasal 201 ayat (9) UU 10/2016 dan Penjelasannya, namun dalam pertimbangannya, karena keterkaitan substansi yang tidak dapat dipisahkan sama sekali, Mahkamah pun telah mempertimbangkan norma Pasal 201 ayat (9) UU 10/2016 dimaksud. Pertimbangan Mahkamah terhadap ketiga norma a quo dapat dibaca dalam Sub-paragraf [3.14.1], Sub-paragraf [3.14.2], dan Subparagraf [3.14.3] sebagai berikut:
[3.14.1] Bahwa pengaturan adanya penjabat gubernur/bupati/walikota untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah yang pemilihannya ditunda sampai dengan pelaksanaan Pilkada serentak secara nasional pada tahun 2024 telah diatur dalam Pasal 201 ayat (9) sampai dengan ayat (11) UU 10/2016. Berdasarkan norma a quo, maka untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang telah berakhir masa jabatannya pada tahun 2022 dan tahun 2023, akan diangkat penjabat gubernur/bupati/walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota berdasarkan hasil Pilkada serentak secara nasional pada tahun 2024. Untuk itu telah ditentukan pengisian Penjabat Gubernur berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya, sedangkan Penjabat Bupati atau Walikota berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama;
[3.14.2] Bahwa di era otonomi daerah saat ini, kewenangan yang dimiliki oleh kepala daerah sangat besar dalam mengambil keputusan pemerintahan sehingga kepala daerah memegang peran dan posisi sentral dalam memajukan daerahnya. Kepemimpinan kepala daerah dalam birokrasi memegang peran penting untuk menciptakan governance yang kuat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosial. Oleh karenanya, keberhasilan suatu pemerintah daerah di dalam menjalankan tugas-tugasnya sangat ditentukan oleh pemimpinnya. Dalam doktrin universal hukum ketatanegaraan, pengisian jabatan negara merupakan salah satu unsur penting dalam hukum tata negara dan administrasi negara. Tanpa adanya pejabat yang mengisi jabatan, maka fungsi dari jabatan tersebut tidak dapat dijalankan. Berdasarkan hal tersebut, maka pengisian jabatan kepala daerah yang kosong merupakan sebuah keniscayaan dalam rangka menjamin tetap terpenuhinya pelayanan publik dan tercapainya kesejahteraan masyarakat di daerah. Berbagai instrumen hukum juga telah mengakomodir adanya pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang kosong, mulai dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah hingga Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, Dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Perangkat hukum tersebut juga telah diaplikasikan dalam praktik pengisian kekosongan jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah selama ini. Justru dengan adanya pengisian jabatan kepala daerah yang kosong tersebut, hak warga negara untuk mendapatkan layanan publik akan tetap terakomodir serta stabilitas politik dan keamanan daerah akan tetap terjaga. Sementara itu, terkait dengan kekhawatiran para Pemohon terhadap penjabat kepala daerah tidak memiliki legitimasi politik untuk memimpin suatu daerah, Mahkamah mempertimbangkan bahwa legitimasi dalam konteks penjabat kepala daerah diturunkan dari amanat atau perintah undang-undang [vide Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016]. Oleh karena itu, meskipun secara terbatas makna legitimasi artinya memperoleh dukungan langsung dari pemilih, namun dalam perspektif yang luas, legitimasi dapat diperoleh dari undang-undang yang dibentuk oleh wakil rakyat yang merupakan representasi rakyat. Dengan demikian, dalam hal untuk mengisi penjabat kepala daerah yang merupakan keniscayaan untuk mengisi jabatan pada masa transisional dan sepanjang penjabat yang ditunjuk adalah yang memenuhi kualifikasi oleh undang-undang serta kinerjanya dapat dievaluasi oleh pejabat yang berwenang setiap waktu dan bahkan mungkin dapat dilakukan penggantian apabila dipandang tidak mempunyai kapabilitas untuk memberikan pelayanan publik, maka Mahkamah berpendapat pengisian penjabat kepala daerah tersebut dapat dibenarkan;
[3.14.3] Bahwa terkait dengan pengisian penjabat kepala daerah untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa proses pengisian kekosongan jabatan kepala daerah juga masih dalam ruang lingkup pemaknaan “secara demokratis” sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Oleh karenanya, perlu menjadi pertimbangan dan perhatian bagi pemerintah untuk menerbitkan peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut Pasal 201 UU 10/2016, sehingga tersedia mekanisme dan persyaratan yang terukur dan jelas bahwa pengisian penjabat tersebut tidak mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi dan sekaligus memberikan jaminan bagi masyarakat bahwa mekanisme pengisian penjabat berlangsung terbuka, transparan, dan akuntabel untuk menghasilkan pemimpin yang kompeten, berintegritas, sesuai dengan aspirasi daerah serta bekerja dengan tulus untuk rakyat dan kemajuan daerah. Selain itu, dengan peran sentral yang dimiliki oleh kepala daerah dan wakil kepala daerah serta dengan mempertimbangkan lamanya daerah dipimpin oleh penjabat kepala daerah maka perlu dipertimbangkan pemberian kewenangan penjabat kepala daerah dalam masa transisi menuju Pilkada serentak secara nasional yang sama dengan kepala daerah definitif. Sebab, dengan kewenangan penuh yang dimiliki penjabat kepala daerah yang ditunjuk maka akselerasi perkembangan pembangunan daerah tetap dapat diwujudkan tanpa ada perbedaan antara daerah yang dipimpin oleh penjabat kepala daerah maupun yang definitif.
Selanjutnya, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUUXX/2022, terkait dengan norma Pasal 201 ayat (10) dan Pasal 201 ayat (11) UU 10/2016, pertimbangan Mahkamah pada pokoknya adalah sebagai berikut:
[3.13.1] Bahwa dalam menjelaskan persoalan konstitusional norma yang didalilkan para Pemohon, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan terlebih dahulu mengenai pasal yang dimohonkan pengujian tersebut merupakan bagian dari “Ketentuan Peralihan” yang telah mengalami tiga kali perubahan, semula diatur dalam UU 1/2015 diubah dengan UU 8/2015 dan terakhir diubah dengan UU 10/2016. Dengan merujuk pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan (UU 12/2011), dinyatakan dalam Lampiran II ihwal “Ketentuan Peralihan” sebagaimana dimaktubkan pada angka 127 bahwa:
“Ketentuan Peralihan memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan Peraturan Perundangundangan yang lama terhadap Peraturan Perundang-undangan yang baru, yang bertujuan untuk:
a. menghindari terjadinya kekosongan hukum;
b. menjamin kepastian hukum;
c. memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan
d. mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara.
Artinya, sejalan dengan tujuan “Ketentuan Peralihan” tersebut, keberadaan Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016 pada prinsipnya dimaksudkan untuk menuju pada kebijakan hukum Pilkada serentak nasional tahun 2024 karena telah ternyata masa jabatan kepala daerah tidak berakhir pada waktu yang sama sehingga perlu desain konstitusional yang dituangkan dalam materi muatan ketentuan peralihan agar dapat menghantarkan pada tujuan yang dimaksud. Oleh karenanya, berlakunya ketentuan peralihan tidak untuk selamanya namun bersifat transisional atau sementara dan sekali saja serta dengan memberi perlindungan hukum bagi pihak yang terdampak karena berlakunya kebijakan hukum pilkada serentak nasional tahun 2024. Jika masa jabatan kepala daerah tidak sampai 5 (lima) tahun sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 162 UU 10/2016 maka kepala daerah yang bersangkutan sebagai kepala daerah yang terdampak memeroleh kompensasi. Oleh karena itu pula jika masa jabatan kepala daerah tersebut pada akhirnya berkurang maka harus pula oleh ketentuan peralihan ditentukan pengaturan yang dapat menjamin tidak terjadinya kekosongan hukum.
[3.13.2] Bahwa berkenaan dengan hak konstitusional para Pemohon dalam menentukan pilihan kepala daerah sesungguhnya telah diimplementasikan pada waktu penyelenggaraan Pilkada di masing-masing daerah sejalan dengan asas-asas pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam rangka mengaktualisasikan prinsip kedaulatan rakyat dan demokrasi. Namun, tidak dilaksanakannya Pilkada berikut setelah masa jabatan kepala daerah berakhir untuk Pilkada tahun 2022 dan 2023 sesuai dengan agenda menuju kenormalan karena adanya kebijakan hukum Pilkada serentak nasional 2024, di mana hal demikian tidaklah melanggar hak konstitusional para Pemilih. Terlebih, Mahkamah telah pula menyatakan Pilkada serentak nasional adalah konstitusional sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019, bertanggal 26 Februari 2020 pada Paragraf [3.18]. Oleh karena itu, bagi kepala daerah yang telah dipilih oleh para Pemohon dan berakhir masa jabatannya pada tahun 2022 dan tahun 2023 dan tidak diangkat sebagai penjabat kepala daerah untuk mengisi kekosongan hukum jabatan kepala daerah hingga Pilkada serentak nasional 2024 sebagaimana dalil para Pemohon, bukanlah merupakan persoalan konstitusionalitas norma. Hal ini disebabkan sejatinya masa jabatan kepala daerah terpilih tersebut telah berakhir. Terlebih lagi, kepala daerah yang berakhir masa jabatan pada 2022 dan tahun 2023 dan para pemilih telah mengetahui sedari awal desain pilkada serentak nasional sebagaimana ditentukan dalam ketentuan peralihan mulai dari UU 1/2015 yang diubah dengan UU 8/2015 dan terakhir diubah dengan UU 10/2016. Sebagai ketentuan peralihan yang sifatnya transisional atau sementara, apabila ketentuan peralihan tersebut telah dilaksanakan maka untuk Pilkada selanjutnya kembali menerapkan keseluruhan ketentuan umum penyelenggaraan Pilkada, termasuk di dalamnya penentuan masa jabatan yang kembali pada ketentuan Pasal 162 UU 10/2016, yakni 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. Demikian pula halnya jika terjadi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah berhalangan sehingga terjadi kekosongan jabatan telah pula ditentukan mekanisme normal pengisian jabatan yang kosong tersebut tidak lagi menggunakan ketentuan peralihan [vide Pasal 173, Pasal 174, Pasal 175, dan Pasal 176 UU 1/2015 yang diubah dengan UU 8/2015 dan terakhir diubah dengan UU 10/2016].
[3.13.3] Bahwa berkenaan dengan dalil para Pemohon yang memohon kepada Mahkamah agar pengisian jabatan kepala daerah yang berakhir tahun 2022 dan tahun 2023 diisi oleh kepala daerah terpilih yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 dan tahun 2023 menjadi penjabat kepala daerah agar kebijakan di daerah dapat terus dilaksanakan sesuai dengan RPJP daerah dan penjabat yang bersangkutan dapat mempersiapkan pilkada serentak 2024, sehingga hak konstitusional para Pemohon tetap dijamin karena jabatan tersebut diisi oleh kepala daerah hasil pemilihan sebelumnya. Terkait dengan dalil para Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah menegaskan bahwa pengisian penjabat kepala daerah dalam masa transisi menuju pilkada serentak nasional 2024 oleh pejabat pimpinan tinggi madya untuk jabatan gubernur [vide Pasal 201 ayat (10) UU 10/2016] dan oleh pejabat pimpinan tinggi pratama untuk jabatan bupati/walikota [vide Pasal 201 ayat (11) UU 10/2016] merupakan kebijakan pembentuk undangundang. Mahkamah dapat memahami kebijakan dimaksud karena pada prinsipnya masa jabatan kepala daerah terpilih telah berakhir sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Namun demikian, dalam kaitan dengan pengangkatan pejabat pimpinan tinggi madya untuk jabatan gubernur dan pejabat pimpinan tinggi pratama untuk jabatan bupati/walikota, Mahkamah perlu terlebih dahulu merujuk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU 5/2014), yang menentukan jabatan pimpinan tinggi madya dan pimpinan tinggi pratama dimaksud adalah bagian dari jabatan pimpinan tinggi yang termaktub dalam ketentuan Bab V UU 5/2014 yang mengatur mengenai jabatan ASN [vide Pasal 19 ayat (1) UU 5/2014]. Dalam kaitan ini pula Mahkamah dapat memahami istilah yang para Pemohon gunakan dalam menguraikan alasan-alasan permohonan (posita) dengan menggunakan istilah “pejabat ASN”, padahal yang dimaksud adalah jabatan ASN. Lebih lanjut, UU 5/2014 menyatakan “Jabatan ASN diisi dari Pegawai ASN dan Jabatan ASN tertentu dapat diisi dari prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Pengisian Jabatan ASN tertentu yang berasal dari prajurit TNI dan anggota Polri dilaksanakan pada Instansi Pusat sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU 34/2004) dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU 2/2002) [vide Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UU 5/2014]. Jika merujuk pada ketentuan Pasal 47 UU 34/2004 ditentukan pada pokoknya prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Sementara itu, prajurit TNI aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung. Dalam hal prajurit aktif tersebut akan menduduki jabatan-jabatan tersebut harus didasarkan atas permintaan pimpinan kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian serta tunduk pada ketentuan administrasi yang berlaku dalam lingkungan departemen (kementerian) dan lembaga pemerintah nondepartemen dimaksud. Sedangkan, dalam ketentuan Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 ditentukan anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. “Jabatan di luar kepolisian" dimaksud adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari Kepala Polri.
Ketentuan ini sejalan dengan UU 5/2014 yang membuka peluang bagi kalangan non-PNS untuk mengisi jabatan pimpinan tinggi madya tertentu sepanjang dengan persetujuan Presiden dan pengisiannya dilakukan secara terbuka dan kompetitif serta ditetapkan dalam Keputusan Presiden [vide Pasal 109 ayat (1) UU 5/2014]. Selain yang telah ditentukan di atas, UU 5/2014 juga membuka peluang pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi yang dapat diisi oleh prajurit TNI dan anggota Polri setelah mengundurkan diri dari dinas aktif apabila dibutuhkan dan sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan melalui proses secara terbuka dan kompetitif [vide Pasal 109 ayat (2) UU 5/2014]. Jabatan pimpinan tinggi dimaksud dapat pimpinan tinggi utama, pimpinan tinggi madya dan pimpinan tinggi pratama [vide Pasal 19 ayat (1) UU 5/2014]. Artinya, sepanjang seseorang sedang menjabat sebagai pimpinan tinggi madya atau pimpinan tinggi pratama, yang bersangkutan dapat diangkat sebagai penjabat kepala daerah.
Berkenaan dengan jabatan pimpinan tinggi tersebut, UU 5/2014 juga telah menentukan fungsinya yaitu:1) memimpin dan memotivasi setiap pegawai ASN pada instansi pemerintah melalui kepeloporan dalam bidang keahlian profesional, analisis dan rekomendasi kebijakan, dan kepemimpinan manajemen; 2) pengembangan kerja sama dengan instansi lain; dan 3) keteladanan dalam mengamalkan nilai dasar ASN dan melaksanakan kode etik dan kode perilaku ASN [vide Pasal 19 ayat (2) UU 5/2014]. Artinya, pejabat pimpinan tinggi madya yang diangkat sebagai penjabat gubernur dan pejabat pimpinan tinggi pratama yang diangkat sebagai penjabat bupati/walikota harus dapat menjalankan amanat fungsi tersebut dalam lingkup jabatannya, termasuk ketika diangkat sebagai penjabat gubernur/bupati/walikota, agar roda penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat berjalan sebagaimana mestinya. Selain itu, penjabat gubernur/bupati/walikota sebagai bagian dari jabatan ASN terikat pada asasasas ASN dalam menjalankan fungsinya yang salah satunya adalah asas netralitas yakni setiap pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun dan menjadi tanggung jawab penjabat kepala daerah untuk menjamin terjaganya netralitas ASN tersebut.
Bahwa dari semua hal tersebut di atas hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam pengangkatan penjabat kepala daerah yang akan mengisi kekosongan posisi gubernur/bupati/walikota adalah tidak boleh mengangkat penjabat yang tidak memiliki pemahaman utuh terhadap ideologi Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta pemahaman terhadap politik nasional yang baik. Selain itu, yang bersangkutan juga harus memiliki kompetensi manajerial pemerintahan yang baik, sehingga dalam melaksanakan tugasnya sebagai pimpinan daerah sementara dapat memenuhi harapan dan keinginan masyarakat di daerahnya masing-masing sehingga masyarakat dapat mengapresiasi kepemimpinan penjabat tersebut meskipun kepemimpinannya hanya sementara. Terlebih lagi, penjabat gubernur/bupati/walikota harus dapat bekerjasama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, dalam proses mengangkat penjabat kepala daerah sebagaimana dimaksud oleh Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016 pemerintah terlebih dahulu harus membuat pemetaan kondisi riil masing-masing daerah dan kebutuhan penjabat kepala daerah yang memenuhi syarat sebagai penjabat kepala daerah dan memerhatikan kepentingan daerah dan dapat dievaluasi setiap waktu secara berkala oleh pejabat yang berwenang. Sehingga, dengan demikian akan menghasilkan para Penjabat Daerah yang berkualitas dalam memimpin daerahnya masingmasing untuk waktu sementara sampai adanya kepala daerah dan wakil kepala daerah definitif berdasarkan hasil Pilkada serentak nasional tahun 2024.
Sementara itu, penerapan prinsip “secara demokratis” dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, dalam Sub-paragraf [3.14.3] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 20 April 2022, Mahkamah antara lain mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.14.3] Bahwa terkait dengan pengisian penjabat kepala daerah untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa proses pengisian kekosongan jabatan kepala daerah juga masih dalam ruang lingkup pemaknaan “secara demokratis” sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Oleh karenanya, perlu menjadi pertimbangan dan perhatian bagi pemerintah untuk menerbitkan peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut Pasal 201 UU 10/2016, sehingga tersedia mekanisme dan persyaratan yang terukur dan jelas bahwa pengisian penjabat tersebut tidak mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi dan sekaligus memberikan jaminan bagi masyarakat bahwa mekanisme pengisian penjabat berlangsung terbuka, transparan, dan akuntabel untuk menghasilkan pemimpin yang kompeten, berintegritas, sesuai dengan aspirasi daerah serta bekerja dengan tulus untuk rakyat dan kemajuan daerah. Selain itu, dengan peran sentral yang dimiliki oleh kepala daerah dan wakil kepala daerah serta dengan mempertimbangkan lamanya daerah dipimpin oleh penjabat kepala daerah maka perlu dipertimbangkan pemberian kewenangan penjabat kepala daerah dalam masa transisi menuju Pilkada serentak secara nasional yang sama dengan kepala daerah definitif. Sebab, dengan kewenangan penuh yang dimiliki penjabat kepala daerah yang ditunjuk maka akselerasi perkembangan pembangunan daerah tetap dapat diwujudkan tanpa ada perbedaan antara daerah yang dipimpin oleh penjabat kepala daerah maupun yang definitif.
[3.14] Menimbang bahwa pertimbangan hukum sebagaimana dikutip dalam Paragraf [3.13] yang pada pokoknya berasal dari pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUUXX/2022, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XX/2022 telah cukup jelas menjawab isu konstitusional yang dipersoalkan oleh para Pemohon dalam perkara a quo, menurut Mahkamah, para Pemohon seharusnya bisa memahami secara utuh ketiga putusan Mahkamah a quo sehingga kekhawatiran para Pemohon mengenai adanya ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi para Pemohon akibat penunjukan penjabat Kepala Daerah, tidaklah akan terjadi. Sebab, pada prinsipnya Mahkamah telah memberikan guidelines terkait mekanisme dan prosedur penunjukan Kepala Daerah yang akan dilakukan oleh Pemerintah.
[3.15] Menimbang bahwa sekalipun para Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukumnya dalam mengajukan permohonan a quo lebih dikarenakan oleh adanya kepentingan para Pemohon sebagai pemilih yang tidak dapat mengawal terselenggaranya penunjukan penjabat kepala daerah yang demokratis, tidak ada legitimasi dari masyarakat terhadap penunjukan penjabat kepala daerah, adanya potensi pembangunan daerah yang tidak berkesinambungan dan tidak efektif akibat ditunjuknya penjabat kepala daerah, adanya potensi masa jabatan penjabat kepala daerah yang menggantikan melebihi masa jabatan kepala daerah definitif, serta adanya potensi tidak mempertimbangkan kekhususan untuk penjabat kepala daerah yang ditunjuk di Provinsi Papua dan Papua Barat. Namun, berdasarkan putusan-putusan Mahkamah tersebut, substansi norma Pasal 201 ayat (9) dan Penjelasannya, Pasal 201 ayat (10) dan Pasal 201 ayat (11) UU 10/2016 justru untuk memberikan kepastian hukum dalam hal pengisian jabatan kepala daerah yang kosong dalam rangka menjamin tetap terpenuhinya pelayanan publik dan tercapainya kesejahteraan masyarakat di daerah. Maka, dalam masa peralihan, sebagaimana salah satu substansi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XX/2022, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XX/2022, menegaskan perihal pengisian jabatan kepala daerah yang kosong merupakan keniscayaan dalam rangka menjamin tetap terpenuhinya pelayanan publik dan tercapainya kesejahteraan masyarakat di daerah.
[3.16] Menimbang bahwa berkenaan dengan pengisian Penjabat Kepala Daerah pada masa peralihan (transisi) menuju penyelenggaraan Pilkada Serentak Nasional 2024, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XX/2022, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XX/2022, Mahkamah telah menegaskan beberapa hal mendasar yang harus dijadikan sebagai pertimbangan dalam pengisian penjabat kepala daerah. Hal tersebut harus dituangkan Pemerintah dengan menerbitkan peraturan pelaksana sehingga tersedia mekanisme dan persyaratan yang terukur dan jelas. Pertimbangan mendasar tersebut antara lain:
1. Penjabat kepala daerah harus memiliki pemahaman utuh terhadap ideologi Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta pemahaman terhadap politik nasional yang baik;
2. Penjabat yang ditunjuk memenuhi kualifikasi dan syarat yang ditentukan undangundang;
3. Pejabat yang berwenang dapat mengevaluasi penjabat kepala daerah setiap waktu (terus-menerus) dan dapat dilakukan penggantian apabila tidak mempunyai kapabilitas untuk memberikan pelayanan publik;
4. Pengisian penjabat tidak mengabaikan (memperhatikan) prinsip demokrasi dan pengisian berlangsung secara terbuka, transparan, dan akuntabel;
5. Penjabat kepala daerah merupakan pemimpin yang kompeten, berintegritas, sesuai dengan aspirasi daerah serta bekerja untuk rakyat demi mencapai kemajuan daerah;
6. Dengan lamanya daerah dipimpin oleh penjabat kepala daerah maka perlu dipertimbangkan untuk memberi kewenangan kepada penjabat kepala daerah yang sama dengan kewenangan yang dimiliki kepala daerah definitif;
7. Penjabat kepala daerah harus memiliki kompetensi manajerial pemerintahan yang baik, sehingga dalam melaksanakan tugasnya sebagai pimpinan daerah dapat memenuhi harapan dan keinginan masyarakat di daerahnya masingmasing;
8. Penjabat kepala daerah harus dapat bekerjasama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; dan
9. Sebelum pengisian penjabat kepala daerah, terlebih dahulu dibuat pemetaan kondisi riil masing-masing daerah dan kebutuhan penjabat kepala daerah yang memenuhi syarat sebagai penjabat kepala daerah dan memerhatikan kepentingan daerah, sehingga mampu menjalankan visi, misi, dan RPJP daerah bersangkutan.
[3.17] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan pengisian penjabat kepala daerah sebagaimana dikemukakan dalam Paragraf [3.16] di atas, tidak terdapat keraguan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XX/2022, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XX/2022 telah mempertimbangkan secara komprehensif konstitusionalitas ketentuan peralihan menuju Pilkada Serentak Secara Nasional Tahun 2024. Dengan demikian, tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon.
[3.18] Menimbang bahwa sebelum sampai pada kesimpulan, Mahkamah perlu mempertimbangkan bagian Petitum permohonan a quo. Ihwal ini, para Pemohon dalam Petitum angka 2 memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan: frasa “diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur, dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota melalui Pemilihan serentak nasional pada tahun 2024” dalam Pasal 201 ayat (9) UU 10/2016 bertentangan dengan UUD 1945. Begitu pula dalam Petitum angka 3, para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan “Penjelasan Pasal 201 ayat (9) UU 10/2016 bertentangan dengan UUD 1945. Namun di sisi lain, berkenaan dengan Pasal 201 ayat (9) UU 10/2016 dan Penjelasannya, pada Petitum angka 5 para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan frasa “diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur, dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota melalui Pemilihan serentak nasional pada tahun 2024” dalam Pasal 201 ayat (9) dan Penjelasan Pasal 201 ayat (9) UU 10/2016 konstitutional bersyarat (conditionally constitutional) sepanjang dimaknai:
a. diangkat melalui mekanisme pengisian Penjabat Kepala Daerah yang demokratis yang diatur kembali dalam UU atau Perppu;
b. Calon Penjabat Kepala Daerah memiliki legitimasi dan penerimaan yang paling tinggi dari masyarakat;
c. Penjabat Gubernur dan Bupati/Walikota merupakan Orang Asli Papua untuk Pejabat Kepala Daerah di Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Papua dan Papua Barat;
d. Melalui proses penilaian yang mempertimbangkan usulan dan rekomendasi dari Majelis Rakyat Papua, Dewan Perwakilan Rakyat Papua, DPRD, Lembaga Masyarakat Hukum Adat, dan tokoh agama;
e. Ada ketentuan yang jelas yang mengatur persyaratan-persyaratan sejauh mana peran, tugas dan kewenangan dari Penjabat Kepala Daerah yang ditunjuk;
f. Dapat memperpanjang masa jabatan kepala Daerah yang sedang menjabat dan/atau habis masa baktinya pada tahun 2022 dan 2023; dan
g. Independen dan bukan merupakan merepresentasikan kepentingan politik tertentu dari Presiden atau Pemerintah Pusat.
Dalam batas penalaran yang wajar, konstruksi perumusan petitum demikian, dapat dikatakan sebagai permohonan (petitum) yang saling bertentangan. Karena, di satu sisi para Pemohon menghendaki agar Mahkamah menyatakan Pasal 201 ayat (9) UU 10/2016 dan Penjelasannya bertentangan dengan UUD 1945, sementara di sisi lain para Pemohon menghendaki Pasal 201 ayat (9) UU 10/2016 dan Penjelasannya dinyatakan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional). Oleh karena itu, menurut Mahkamah, Petitum demikian hanya dapat dibenarkan jika dibuat atau diformulasikan secara alternatif. Tidak hanya terhadap Pasal 201 ayat (9) UU 10/2016 dan Penjelasannya, petitum yang saling bertentangan juga terjadi dalam permohonan terhadap Pasal 201 ayat (10) dan Pasal 201 ayat (11) UU 10/2016. Dengan penyusunan petitum demikian, permohonan tidak memenuhi syarat formil permohonan.
[3.19] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, permohonan para Pemohon tidak memenuhi syarat formil sehingga permohonan a quo harus dinyatakan kabur. Andaipun permohonan tidak kabur, quod non, berdasarkan pertimbangan pada Paragraf [3.13] sampai dengan Paragraf [3.17] telah ternyata norma Pasal 201 ayat (9) dan Penjelasannya, Pasal 201 ayat (10) dan Pasal 201 ayat (11) UU 10/2016 tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon, sehingga permohonan para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dinyatakan Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 44/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIL UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 07-07-2022

E. Ramos Petege, Yanuarius Mote, Elko Tebai dan Muhammad Helmi Fahrozi yang yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, S.H. dkk, yang kesemuanya merupakan tim pada dari Kantor Hukum “Leo & Partners”, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 29 ayat (1) huruf c dan huruf d dan ayat (2) UU 2/2011

Pasal 6A ayat (1) dan ayat (2), Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 28D ayat (3) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal Pasal 29 ayat (1) huruf c dan huruf d dan ayat (2) UU 2/2011 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca dengan saksama permohonan para Pemohon dan memeriksa bukti-bukti yang diajukan, isu konstitusional yang dipersoalkan oleh para Pemohon dalam permohonan a quo adalah apakah ketentuan Pasal 29 ayat (1) huruf c dan huruf d, serta ayat (2) UU 2/2011 bertentangan dengan UUD 1945 dikarenakan penentuan bakal calon presiden dan wakil presiden serta bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah melalui partai politik dinilai mengabaikan prinsip demokratis dan terbuka sesuai dengan Anggaran Dasar (AD)/Anggaran Rumah Tangga (ART) partai politik serta peraturan perundang-undangan.
[3.11] Menimbang bahwa terhadap dalil para Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 29 ayat (1) huruf c yang menentukan rekrutmen bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah melalui partai politik yang hanya ditentukan oleh elite partai politik tanpa melibatkan pemilih dalam pemilihan pendahuluan, menurut Mahkamah dalam kaitan dengan dalil tersebut, penting bagi Mahkamah menegaskan terlebih dahulu bahwa Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 23 Juli 2007, pada Sub-paragraf [3.15.8], Sub-paragraf [3.15.9], Subparagraf [3.15.10], Sub-paragraf [3.15.11], Sub-paragraf [3.15.13], Sub-paragraf [3.15.16], dan Sub-paragraf [3.15.17], telah mempertimbangkan terkait dengan diperbolehkannya pengajuan bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah tanpa harus melalui partai politik/gabungan partai politik yang pada pokoknya sebagai berikut:

[3.15.8] Bahwa terhadap ketentuan yang terdapat dalam Pasal 67 Ayat (1) huruf d UU Pemerintahan Aceh yang membuka kesempatan bagi calon perseorangan dalam proses pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah, Mahkamah berpendapat hal demikian tidaklah bertentangan dengan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945. Pemberian kesempatan kepada calon perseorangan bukan merupakan suatu perbuatan yang dilakukan karena keadaan darurat ketatanegaraan yang terpaksa harus dilakukan, tetapi lebih sebagai pemberian peluang oleh pembentuk undang-undang dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah agar lebih demokratis. Pembentuk undang-undang baik dalam merumuskan Pasal 56 Ayat (1) UU Pemda maupun Pasal 67 Ayat (2) UU Pemerintahan Aceh tidak melakukan pelanggaran terhadap Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945. Suatu perbuatan dilakukan karena adanya keadaan darurat ketatanegaraan apabila perbuatan tersebut perlu untuk dilakukan, padahal perbuatan itu sendiri pada dasarnya merupakan perbuatan onrecht, sehingga perbuatan karena keadaan darurat adalah perbuatan yang onrecht word recht.
[3.15.9] Bahwa Mahkamah berpendapat, antara Pasal 56 Ayat (2) juncto Pasal 59 Ayat (1) dan Ayat (2) UU Pemda dan Pasal 67 Ayat (2) UU Pemerintahan Aceh keduanya bersumber pada dasar hukum yang sama yaitu Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945. Hubungan antara pasal yang terdapat dalam UU Pemerintahan Aceh dan yang terdapat dalam UU Pemda tersebut tidaklah dapat diposisikan sebagai hubungan antara hukum yang khusus di satu pihak, yaitu Pasal 67 Ayat (2) UU Pemerintahan Aceh, dan hukum yang umum di pihak lain, yaitu Pasal 56 Ayat (2), juncto Pasal 59 Ayat (1) dan Ayat (2), karena ketentuan Pasal 67 Ayat (2) bukan termasuk dalam keistimewaan Pemerintahan Aceh menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999. Oleh karena tidak dalam posisi hubungan antara hukum yang khusus dengan hukum yang umum, adanya Pasal 67 Ayat (2) harus dimaknai sebagai penafsiran baru oleh pembentuk undang-undang terhadap 55 ketentuan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945. Apabila kedua ketentuan tersebut berlaku bersama-sama tetapi untuk daerah yang berbeda maka akan menimbulkan akibat adanya dualisme dalam melaksanakan ketentuan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945. Dualisme tersebut dapat mengakibatkan ketiadaan kedudukan yang sama antara warga negara Indonesia yang bertempat tinggal di Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam dan yang bertempat tinggal di wilayah provinsi Indonesia lainnya. Warga Negara Indonesia yang bertempat tinggal di provinsi lain selain Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam akan menikmati hak yang lebih sedikit karena tidak dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah secara perseorangan dan oleh karenanya berarti tidak terdapatnya perlakuan yang sama di depan hukum dan pemerintahan sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D Ayat (1) dan Ayat (3) UUD 1945;

[3.15.10] Mahkamah berpendapat agar supaya terdapat persamaan hak warga negara sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D Ayat (1) dan Ayat (3) UUD 1945 tidaklah dapat dilakukan dengan cara menyatakan bahwa pengajuan calon perseorangan yang ditentukan oleh Pasal 67 Ayat (2) UU Pemerintahan Aceh sebagai bertentangan dengan UUD 1945 sehingga harus dinyatakan tidak berlaku, karena memang senyatanya pencalonan secara perseorangan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Namun, persamaan hak tersebut dapat dilakukan dengan mengharuskan UU Pemda menyesuaikan dengan perkembangan baru yang telah dilakukan oleh pembentuk undang-undang sendiri yaitu dengan memberikan hak kepada perseorangan untuk dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah tanpa harus melalui parpol atau gabungan parpol sebagaimana ditentukan oleh Pasal 67 Ayat (2) UU Pemerintahan Aceh.

[3.15.11] Bahwa Pasal 256 UU Pemerintahan Aceh yang menyatakan ketentuan yang mengatur calon perseorangan dalam Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, atau walikota/wakil walikota sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 67 Ayat (1) huruf d, berlaku dan hanya dilaksanakan untuk pemilihan pertama kali sejak undang-undang ini diundangkan. Dengan adanya Pasal tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa apabila pasal tersebut dilaksanakan justru akan menimbulkan perlakuan yang tidak adil karena jelas pasal ini akan menguntungkan pihakpihak perseorangan tertentu yang dapat mencalonkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah pada saat pertama kali 56 dilaksanakan pemilihan. Lebih-lebih lagi apabila ketentuan tersebut memang dimaksudkan demikian, karena akan merugikan perseorangan yang akan mencalonkan secara perseorangan pada pemilihan kedua dan seterusnya. Pembatasan yang ditentukan oleh Pasal 256 UU Pemerintahan Aceh dapat menimbulkan akibat terlanggarnya hak warga negara yang bertempat tinggal di Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam yang dijamin oleh Pasal 28D Ayat (1) dan Ayat (4) UUD 1945. Sebagaimana pendapat Mahkamah yang telah dinyatakan di atas bahwa membuka kesempatan bagi perseorangan untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah tanpa melalui parpol, bukan suatu hal yang bertentangan dengan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 dan bukan pula merupakan suatu tindakan dalam keadaan darurat (staatsnoodrecht);

[3.15.13] Bahwa menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik dinyatakan dalam Konsideran ”Menimbang” huruf d yang berbunyi, ”bahwa partai politik merupakan salah satu wujud partisipasi masyarakat yang penting dalam mengembangkan kehidupan demokrasi...”, sehingga adalah wajar apabila dibuka partisipasi dengan mekanisme lain di luar parpol untuk penyelenggaraan demokrasi, yaitu dengan membuka pencalonan secara perseorangan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah jabatan perseorangan, sehingga syarat-syarat yang ditentukan oleh Pasal 58 UU Pemda adalah syarat bagi perseorangan. Terlebih lagi, dalam Pasal 59 Ayat (3) dinyatakan bahwa parpol atau gabungan parpol wajib membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dan selanjutnya memproses bakal calon dimaksud melalui mekanisme yang demokratis dan transparan;

[3.15.16] … pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah selain melalui parpol, sebagaimana telah diatur oleh UU Pemda dalam Pasal 56 Ayat (2), juga harus dibuka pencalonan secara perseorangan…

[3.15.17] Bahwa agar calon perseorangan tanpa melalui parpol atau gabungan parpol dimungkinkan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, maka menurut Mahkamah beberapa pasal UU Pemda yang dimohonkan pengujian harus dikabulkan sebagian dengan cara menghapuskan seluruh bunyi ayat atau bagian pasal sebagai berikut:
a. Pasal 56 Ayat (2) berbunyi, ”Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik” dihapus seluruhnya, 58 karena menjadi penghalang bagi calon perseorangan tanpa lewat parpol atau gabungan parpol. Sehingga, dengan hapusnya Pasal 56 Ayat (2), Pasal 56 menjadi tanpa ayat dan berbunyi, ”Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”;
b. Pasal 59 Ayat (1) dihapus pada frasa yang berbunyi, ”yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik”, karena akan menjadi penghalang bagi calon perseorangan tanpa lewat parpol atau gabungan parpol. Sehingga, Pasal 59 Ayat (1) akan berbunyi, ”Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon”;
c. Pasal 59 Ayat (2) dihapus pada frasa yang berbunyi, ”sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”, hal ini sebagai konsekuensi berubahnya bunyi Pasal 59 Ayat (1), sehingga Pasal 59 Ayat (2) akan berbunyi, ”Partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan”. Dengan demikian, Pasal 59 Ayat (2) ini merupakan ketentuan yang memuat kewenangan parpol atau gabungan parpol dan sekaligus persyaratannya untuk mengajukan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam Pilkada;
d. Pasal 59 Ayat (3) dihapuskan pada frasa yang berbunyi, ”Partai politik atau gabungan partai politik wajib”, frasa yang berbunyi, ”yang seluasluasnya”, dan frasa yang berbunyi, ”dan selanjutnya memproses bakal calon dimaksud”, sehingga Pasal 59 Ayat (3) akan berbunyi, ”Membuka kesempatan bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 melalui mekanisme yang demokratis dan transparan.” Dengan demikian, terbukalah kesempatan bagi calon perseorangan tanpa lewat parpol atau gabungan parpol;

[3.12] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah telah berpendirian pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak harus melalui jalur partai politik atau gabungan partai politik. Artinya, warga negara termasuk para Pemohon yang memiliki hak memilih dan hak untuk dipilih dapat menyalurkan aspirasinya untuk memilih ataupun mencalonkan diri menjadi bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerahnya melalui jalur perseorangan tanpa harus melalui jalur partai politik maupun gabungan partai politik. Dalam kaitan ini, tata cara perekrutan, mekanisme pencalonan, dan pendaftarannya untuk calon perseorangan telah diatur dalam peraturan perundang-undangan tanpa menghilangkan hak warga negara yang memiliki hak memilih dan dipilih. Oleh karena itu, bagi warga negara Indonesia, termasuk para Pemohon yang merasa memiliki kandidat bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat mendorong kandidatnya tersebut untuk menjadi bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah tanpa harus melalui jalur partai politik maupun gabungan partai politik, melainkan melalui jalur perseorangan (independen) dengan mekanisme yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, para Pemohon tidak perlu khawatir lagi bahwa semua bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah harus diusung oleh partai politik maupun gabungan partai politik.

[3.13] Menimbang bahwa berkenaan dengan kewenangan partai politik untuk melakukan rekrutmen bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 29 ayat (1) huruf c UU 2/2011 merupakan bentuk pengejawantahan tujuan dan fungsi partai politik. Dalam kaitan ini, tujuan khusus partai politik adalah meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan [vide Pasal 10 ayat (2) huruf a UU 2/2008]. Selain tujuan khusus tersebut, proses rekrutmen oleh partai politik ini juga merupakan bagian dari pelaksanaan fungsi partai politik yakni sebagai sarana rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender [vide Pasal 11 ayat (1) huruf e UU 2/2008]. Bagaimana proses rekrutmen tersebut harus dilakukan, hal tersebut diserahkan pengaturan sepenuhnya dalam AD atau peraturan dasar partai politik dan ART yang akan menjabarkan lebih lanjut AD partai politik [vide Pasal 1 angka 2 dan angka 3 serta Pasal 2 ayat (4) UU 2/2011].

[3.14] Menimbang bahwa selanjutnya terhadap dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas norma Pasal 29 ayat (1) huruf d yang terkait dengan rekrutmen terhadap warga negara oleh partai politik untuk menjadi bakal calon Presiden dan Wakil Presiden, penting pula bagi Mahkamah untuk menegaskan kembali Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-VI/2008 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 17 Februari 2009, pada Sub-paragraf [3.15.3] angka 4, dan angka 7, Paragraf [3.16] angka 2, huruf a dan huruf b, Paragraf [3.17] dan Paragraf [3.18], yang telah mempertimbangkan mengenai pencalonan Presiden dan Wakil Presiden harus melalui partai politik atau gabungan Partai politik yang pada pokoknya sebagai berikut:
A. Paragraf [3.15.3]:
4. Bahwa frasa “partai politik atau gabungan partai politik”, dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 secara tegas bermakna bahwa hanya partai politik atau gabungan partai politiklah yang dapat mengusulkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dalam pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden. Dengan demikian, frasa dimaksud tidak memberi peluang adanya interpretasi lain, seperti menafsirkannya dengan kata-kata diusulkan oleh perseorangan (independen) apalagi pada saat pembicaraannya di MPR telah muncul wacana adanya Calon Presiden secara independen atau calon yang tidak diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik, tetapi tidak disetujui oleh MPR. Kehendak awal (original intent) dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 jelas menggambarkan bahwa hanya partai politik atau gabungan partai politik sajalah yang dapat mengusulkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dalam pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden (vide Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Buku IV “Kekuasaan Pemerintahan Negara” Jilid 1, halaman 165 – 360);
7. Bahwa jika Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, yang menjadi sumber rumusan pasalpasal yang diuji dari UU 42/2008, dapat ditafsirkan lain dan lebih luas sehingga 33 menampung Calon Presiden dan Wakil Presiden perseorangan, maka hal itu merupakan perubahan makna dari yang dimaksudkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, artinya jika membatalkan pasal a quo, Mahkamah telah melakukan perubahan UUD 1945, yang berarti bertentangan dengan kewenangan Mahkamah dalam Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 serta Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto Pasal 12 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman;

B. Paragraf [3.16]:
a. Kehendak awal (original intent) pembuat UUD 1945 tentang Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 sudah jelas bahwa “Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Berdasarkan original intent tersebut, UUD 1945 hanya mengenal adanya Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum, ...;
b. ... Dengan perkataan lain, konstruksi yang dibangun dalam konstitusi, bahwa pengusulan Pasangan Calon oleh partai politik atau gabungan partai politik mencerminkan bahwa sistem politik yang dibangun mengacu pada sistem komunal/kolegial, bukan berlandaskan pada sistem individual (perseorangan);

C. Paragraf [3.17]:
... Dalam pelaksanaan Pemilu maka setiap orang mempunyai hak dan dijamin untuk melaksanakan kedaulatannya tersebut untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, namun demikian untuk dipilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden terdapat syarat-syarat yang dimuat dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945,...

D. Paragraf [3.18]:
Menimbang bahwa berkait dengan calon perseorangan dalam pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah dalam Putusan Nomor 007/PUUII/2004 tanggal 23 Juli 2004, Putusan Nomor 054/PUU-II/2004 tanggal 6 Oktober 2004, dan Putusan Nomor 057/PUU-II/2004 tanggal 6 Oktober 2004, dalam pertimbangan hukumnya (pada pokoknya) telah mengemukakan, bahwa untuk menjadi Presiden atau Wakil Presiden adalah hak setiap warga negara yang dijamin oleh konstitusi sesuai dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 6A Undang-Undang Dasar 1945. Sedangkan dalam melaksanakan hak termaksud Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 menentukan tata caranya yaitu harus diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Diberikannya hak konstitusional untuk mengusulkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden kepada partai politik oleh UUD 1945 bukanlah berarti hilangnya hak konstitusional warga negara, in casu para Pemohon, untuk menjadi Calon Presiden atau Calon Wakil Presiden karena hal itu dijamin oleh UUD 1945, sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 apabila warga negara yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh Pasal 6 dan dilakukan menurut tata cara sebagaimana dimaksud oleh Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, persyaratan mana merupakan prosedur atau mekanisme yang mengikat terhadap setiap orang yang berkeinginan menjadi Calon Presiden Republik Indonesia.

[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut di atas, telah jelas pendirian Mahkamah terhadap pencalonan Presiden dan Wakil Presiden harus melalui partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana telah ditegaskan dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, sehingga dengan demikian yang memiliki otoritas untuk proses rekrutmen calon presiden dan wakil presiden adalah partai politik/gabungan partai politik. Hal ini sejalan dengan fungsi partai politik yang salah satunya adalah melakukan rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik sebagaimana telah dipertimbangkan di atas. Oleh karena esensi pokok dalil para Pemohon ini sama dengan yang telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Paragraf [3.13] di atas maka pertimbangan hukum tersebut mutatis mutandis berlaku juga untuk dalil para Pemohon yang mempersoalkan Pasal 29 ayat (1) huruf d UU 2/2011.

[3.16] Menimbang bahwa selanjutnya terhadap dalil para Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 29 ayat (2) UU 2/2011 karena dianggap tidak demokratis dan terbuka dalam proses rekrutmen warga negara untuk menjadi bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah serta bakal calon presiden dan wakil presiden dengan memohon kepada Mahkamah petitum yang bersifat alternatif. Terhadap dalil para Pemohon a quo, menurut Mahkamah Pasal 29 ayat (2) UU 2/2011 pada prinsipnya menentukan proses rekrutmen bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah serta bakal calon presiden dan wakil presiden dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan AD dan ART serta peraturan perundang-undangan. Frasa “secara demokratis dan terbuka” tersebut mulai muncul pengaturannya pertama kali pada pasal yang sama dalam UU yang lama (UU 2/2008). Dalam kaitan dengan proses yang demokratis dan terbuka tersebut memang tidak diberikan penjelasan lebih lanjut, namun didasarkan pada AD dan ART partai politik. Jika ketentuan ini dikaitkan dengan Pasal 5 UndangUndang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU 8/2015), maka rekrutmen bakal calon sejatinya bukan merupakan bagian dari tahapan dalam pemilihan kepala daerah. Dalam hal ini, tahapan pemilihan kepala daerah mencakup tahapan persiapan dan tahapan penyelenggaraan. Dalam tahapan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, penyelenggara, in casu komisi pemilihan umum daerah, melakukan kegiatan yang dimulai dengan pengumuman pendaftaran pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota, dilanjutkan di antaranya dengan kegiatan pendaftaran [vide. Pasal 5 ayat (3) huruf c dan huruf d UU 8/2015]. Sementara itu, jika dikaitkan dengan Pasal 167 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU 7/2017) juga tidak menentukan rekrutmen bakal calon merupakan bagian dari penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu). Dengan demikian, proses rekrutmen sepenuhnya merupakan ranah otorisasi partai politik sebagaimana pertimbangan di atas.

[3.17] Menimbang bahwa berkaitan dengan makna demokratis sebagaimana ditentukan dalam Pasal 29 ayat (2) UU 2/2011, tidak dapat dilepaskan secara doktriner dari asal katanya yaitu “demos” dan “kratos” yang mengandung arti pemerintahan rakyat atau pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Jika dikaitkan dengan konteks dalil para Pemohon maksudnya memberikan ruang bagi masyarakat pemilih, yang nantinya akan memilih langsung calon-calonnya, untuk ikut serta dalam proses pencarian bakal calon yang memenuhi syarat sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan untuk dikontestasikan oleh partai politik dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah serta pemilihan presiden dan wakil presiden. Proses yang demikian sesungguhnya sejalan dengan fungsi partai politik yakni sebagai sarana rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender [vide Pasal 11 ayat (1) huruf e UU 2/2008]. Pelaksanaan fungsi tersebut merupakan bagian dari tujuan khusus partai politik untuk meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan [vide Pasal 10 ayat (2) huruf a UU 2/2008]. Artinya, dengan terimplementasikannya maksud yang terkandung dari rekrutmen secara demokratis dan terbuka maka akan dihasilkan bakal calon yang sejalan dengan fungsi partai politik. Dalam kaitan ini, tidak ada persoalan konstitusionalitas norma Pasal 29 ayat (2) UU 2/2011 karena telah sejalan dengan amanat konstitusi yang meletakkan dasar demokrasi dalam proses rekrutmen bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah serta bakal calon presiden dan wakil presiden. Untuk mengejawantahkan maksud Pasal 29 ayat (2) UU 2/2011 diserahkan sepenuhnya pada AD/ART masing-masing partai politik. Artinya, AD/ART sebagai aturan main yang menggerakkan roda organisasi partai politik harus benar-benar mengatur proses rekrutmen tersebut yang berpijak pada prinsip demokrasi dan terbuka [vide Pasal 2 ayat (4) huruf g UU 2/2011]. Oleh karena itu, apakah akan digunakan mekanisme pemilihan pendahuluan atau konvensi dalam proses rekrutmen bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah serta bakal calon presiden dan wakil presiden, semua itu menjadi ranah kewenangan partai politik untuk mengaturnya dalam AD/ART masing-masing partai politik. Dengan demikian, AD/ART dari masing-masing partai politik tersebut dalam implementasinya perlu ditinjau atau diperhatikan agar senantiasa selalu berkesesuaian dengan prinsip demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) UU 2/2011. Berkenaan dengan implementasi prinsip tersebut dalam AD/ART dapat menjadi ranah perhatian masyarakat untuk turut menilainya.

[3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, menurut Mahkamah, telah ternyata tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma terhadap Pasal 29 ayat (1) huruf c dan huruf d serta Pasal 29 ayat (2) UU 2/2011. Oleh karena itu, dalil-dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Sedangkan, terhadap dalil dan hal-hal lain tidak dipertimbangkan karena dipandang tidak relevan dan oleh karena itu harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dinyatakan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 52/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 07-07-2022

Dewan Perwakilan Daerah yang diwakili oleh Ir. H. Aa Lanyalla Mahmud mattalitti, Dr. Nono Sampono, M.Si, Dr. H. Mahyudin, S.T., M.M. dan Partai Bulan Bintang yang diwakili oleh Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc. dan Afriansyah Noor, M.Si yang memberikan kuasa kepada Prof. Denny Indrayana, S.H., LL.M, Ph.D, dkk, para advokat dan konsultan hukum yang tergabung dalam Indrayana Centre For Government Constitution, and Society (INTEGRITY) Law Firm, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 222 UU 7/2017

Pasal 1 ayat (2), Pasal 4 ayat (1), Pasal 28J ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 222 UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.12] Menimbang bahwa setelah membaca dan mempelajari secara saksama dalil Pemohon II sebagaimana telah diuraikan pada Paragraf [3.9] di atas, Mahkamah ternyata telah pernah memutus perkara pengujian konstitusionalitas substansi norma Pasal 222 UU 7/2017 yang pada pokoknya mengatur mengenai adanya ambang batas pencalonan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden (presidential threshold) oleh partai politik atau gabungan partai politik yaitu dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 11 Januari 2018, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-XVI/2018 yang diucapkan dalam sidang sidang pleno terbuka untuk umum pada 25 Oktober 2018, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XVI/2018 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 25 Oktober 2018. Oleh karena itu, sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut mengenai pokok permohonan a quo, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan apakah permohonan Pemohon II memenuhi ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK juncto Pasal 78 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021);

[3.13] Menimbang bahwa Pasal 60 UU MK juncto Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan:


Pasal 60 UU MK
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam Undang- Undang yang telah diuji, tidak dapat diajukan pengujian kembali;
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.
Pasal 78 PMK 2/2021
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang atau Perppu yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali;
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda.
Berdasarkan ketentuan tersebut, terhadap pasal yang telah dilakukan pengujian konstitusionalitasnya dan telah diputus oleh Mahkamah hanya dapat dimohonkan pengujian kembali apabila terdapat dasar pengujian dan/atau alasan permohonan yang berbeda. Terhadap hal tersebut, setelah Mahkamah mencermati dengan saksama permohonan Pemohon II, ternyata dasar pengujian yang digunakan dalam permohonan a quo, yaitu Pasal 1 ayat (2), Pasal 4 ayat (1), Pasal 28J ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 belum pernah digunakan sebagai dasar pengujian dalam permohonan yang telah diputus oleh Mahkamah sebagaimana telah disebutkan di atas. Selain itu, terdapat perbedaan alasan permohonan Pemohon II dengan permohonan-permohonan yang telah diputus oleh Mahkamah sebelumnya, antara lain: (i) Pasal 222 UU 7/2017 telah menjadikan pemilu dikontrol oleh oligarki dan penguasa modal, sehingga bukan merupakan hasil kehendak kedaulatan rakyat ataupun pilihan substantif partai politik; (ii) Pasal 222 UU 7/2017 telah menghilangkan partisipasi publik dan hanya mengakomodir kepentingan elit politik; dan (iii) Pasal 222 UU 7/2017 telah menciptakan polarisasi masyarakat. Dengan demikian menurut Mahkamah, terdapat perbedaan dasar pengujian dan alasan yang digunakan dalam permohonan a quo dengan permohonan yang telah diputus sebelumnya oleh Mahkamah sebagaimana ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK juncto Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021, sehingga permohonan a quo dapat diajukan kembali;

[3.14] Menimbang bahwa oleh karena terhadap permohonan a quo dapat diajukan kembali, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan isu konstitusionalitas yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo, yaitu apakah adanya syarat ambang batas minimum pencalonan Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik bertentangan dengan UUD 1945 atau inkonstitusional. Namun faktanya, terhadap isu konstitusionalitas tersebut telah beberapa kali dimohonkan pengujian dan Mahkamah telah berulang kali pula menyatakan pendiriannya terkait adanya syarat ambang batas minimum pencalonan Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana diatur dalam norma Pasal 222 UU 7/2017 yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh Pemohon II adalah konstitusional. Pendirian Mahkamah demikian dapat dilihat dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017, Mahkamah kemudian menguatkan kembali pendiriannya sebagaimana termuat dalam putusan-putusan Mahkamah sebelumnya, khususnya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52- 59/PUU-VI/2008 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 18 Februari 2009 yang kemudian ditegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-XVI/2018, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XVI/2018 serta putusan-putusan berikutnya terkait dengan pengujian konstitusionalitas norma Pasal 222 UU 7/2017. Pertimbangan hukum sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 a quo adalah sebagai berikut:
“Menurut Mahkamah, rumusan ketentuan Pasal 222 UU Pemilu adalah dilandasi oleh semangat demikian. Dengan sejak awal diberlakukannya persyaratan jumlah minimum perolehan suara partai politik atau gabungan partai politik untuk dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden berarti sejak awal pula dua kondisi bagi hadirnya penguatan sistem Presidensial diharapkan terpenuhi, yaitu, pertama, upaya pemenuhan kecukupan dukungan suara partai politik atau gabungan partai politik pendukung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden di DPR dan, kedua, penyederhanaan jumlah partai politik.
Dalam konteks yang pertama, dengan memberlakukan syarat jumlah minimum perolehan suara bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden maka sejak awal pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang bersangkutan telah memiliki cukup gambaran atau estimasi bukan saja perihal suara yang akan mendukungnya di DPR jika terpilih tetapi juga tentang figur-figur yang akan mengisi personalia kabinetnya, yang tentunya sudah dapat dibicarakan sejak sebelum pelaksanaan Pemilu melalui pembicaraan intensif dengan partai-partai pengusungnya, misalnya melalui semacam kontrak politik di antara mereka. Benar bahwa belum tentu partai- partai pendukung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden akan menguasai mayoritas kursi di DPR sehingga pada akhirnya tetap harus dilakukan kompromi-kompromi politik dengan partai-partai peraih kursi di DPR, namun dengan cara demikian setidak-tidaknya kompromi-kompromi politik yang dilakukan itu tidak sampai mengorbankan hal-hal fundamental dalam program-program pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang bersangkutan yang ditawarkan kepada rakyat pemilih dalam kampanyenya. Dengan demikian, fenomena lahirnya “sistem Presidensial rasa Parlementer” dalam penyelenggaraan pemerintahan dapat direduksi.
Sementara itu, dalam konteks yang kedua, yaitu bahwa dengan memberlakukan persyaratan jumlah minimum perolehan suara partai politik atau gabungan partai politik untuk dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden akan mendorong lahirnya penyederhanaan jumlah partai politik, penjelasannya adalah sebagai berikut: dengan sejak awal partai-partai politik bergabung dalam mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden berarti sesungguhnya sejak awal pula telah terjadi pembicaraan ke arah penyamaan visi dan misi partai-partai politik bersangkutan yang bertolak dari platform masing-masing yang kemudian secara simultan akan dirumuskan baik ke dalam program-program kampanye pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusung maupun dalam program-program kampanye partai-partai pengusung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tersebut yang akan ditawarkan kepada rakyat pemilih. Dengan cara demikian, pada saat pelaksanaan Pemilu, rakyat pemilih akan memiliki referensi sekaligus preferensi yang sama ketika memilih pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dan ketika memilih calon anggota DPR dari partai-partai pengusung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden itu sebab Pemilu akan dilaksanakan secara serentak. Artinya, rakyat pemilih telah sejak awal memiliki gambaran bahwa jika memilih pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tertentu karena setuju dengan program-program yang ditawarkannya maka secara rasional juga harus memilih anggota DPR dari partai politik yang akan mendukung tercapainya program-program tersebut yang tidak lain adalah partai-partai politik pengusung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tersebut. Pada perkembangan selanjutnya, apabila partai-partai politik yang bergabung dalam mengusung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tersebut berhasil menjadikan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusungnya itu terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden maka dengan sendirinya partai-partai politik tersebut menjadi partai-partai yang memerintah (the ruling parties) yang secara logika politik telah berada dalam satu kesatuan pandangan dalam tujuan-tujuan politik yang hendak dicapai atau diwujudkan. Pada titik itu sesungguhnya secara etika dan praktik politik partai-partai politik tersebut telah bermetamorfosis menjadi satu partai politik besar sehingga dalam realitas politik telah terwujud penyederhanaan jumlah partai politik kendatipun secara formal mereka tetap memiliki identitas tertentu sebagai pembeda namun hal itu tidak lagi secara mendasar mempengaruhi kerjasama mereka dalam pencapaian tujuan-tujuan mereka yang tercemin dalam program-program dan kinerja pasangan Presiden dan Wakil Presiden yang mereka usung bersama. Sesungguhnya dalam kedua konteks itulah frasa “sebelum pelaksanaan pemilihan umum” dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 didesain dan karenanya dalam kedua konteks itu pula seharusnya diimplementasikan. Dengan kata lain, Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang selengkapnya berbunyi, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum” adalah norma Konstitusi yang memuat desain konstitusional penguatan sistem Presidensial dengan semangat, di satu pihak, mendorong tercapainya keparalelan perolehan suara pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dengan peroleh suara partai-partai politik pendukung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tersebut di DPR serta, di pihak lain, mendorong terwujudnya penyederhanaan partai, di mana kedua hal itu merupakan penopang utama bekerjanya sistem Presidensial dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan negara. Bahwa dalam praktik hingga saat ini keadaan demikian belum terwujud, hal itu bukanlah berarti kelirunya desain konstitusional di atas melainkan terutama karena belum berjalannya fungsi-fungsi partai politik sebagai instrumen pendidikan dan komunikasi politik;”
Berkenaan dengan putusan tersebut di atas, terdapat 2 (dua) orang Hakim Konstitusi yang menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion), yaitu Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi Isra;
[3.15] Menimbang bahwa sebelum berlakunya UU 7/2017, pengaturan mengenai pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam Undang- Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU 42/2008) yang di dalamnya memuat juga norma adanya ambang batas pencalonan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 9 UU 42/2008. Terhadap ketentuan yang mengatur adanya ambang batas pencalonan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, in casu Pasal 9 UU 42/2008 ini pun telah beberapa kali dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya dan Mahkamah tetap pada pendiriannya bahwa ketentuan Pasal 9 UU 42/2008 adalah konstitusional. Sebangun dengan pertimbangan hukum dalam putusan-putusan lainnya sebagaimana diuraikan dalam Paragraf [3.14] di atas, Mahkamah juga mengutip kembali seraya menguatkan pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 dan dalam beberapa putusan terkait pengujian konstitusionalitas Pasal 9 UU 42/2008, khususnya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-VI/2008 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 17 Februari 2009, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-VII/2009 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 14 September 2009, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XI/2013 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 27 Juni 2013, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 23 Januari 2014, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108/PUU-XI/2013 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 20 Maret 2014. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108/PUU- XI/2013, walaupun diajukan dengan menggunakan dasar pengujian yang berbeda dari permohonan-permohonan sebelumnya, namun pada prinsipnya isu konstitusionalitas yang dipersoalkan adalah sama sehingga Mahkamah menolak permohonan a quo dengan pertimbangan selain mengutip pertimbangan hukum dalam putusan-putusan sebelumnya, juga menegaskan kembali sebagai berikut:
“[3.26] Menimbang bahwa Pasal 9 UU 42/2008 menyatakan, “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua pulu persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”. Menurut Mahkamah, Putusan Mahkamah Nomor 14/PUU-XI/2013, bertanggal 23 Januari 2014 maupun Putusan Mahkamah Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, bertanggal 18 Februari 2009 telah menyebutkan secara tegas bahwa ketentuan a quo merupakan kebijakan hukum terbuka atau delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang. Adapun dalil-dalil Pemohon yang selebihnya terkait dengan Pasal 9 UU 42/2008 tidak relevan untuk dipertimbangkan.”
[3.16] Menimbang bahwa setelah Mahkamah mempelajari dalil-dalil atau argumentasi permohonan Pemohon II, Mahkamah menilai, argumentasi Pemohon II didasarkan pada anggapan munculnya berbagai ekses negatif (seperti oligarki dan polarisasi masyarakat) akibat berlakunya ketentuan Pasal 222 UU 7/2017. Terhadap hal tersebut, menurut Mahkamah, argumentasi Pemohon II yang demikian adalah tidak beralasan menurut hukum, karena tidak terdapat jaminan bahwa dengan dihapuskannya syarat ambang batas pencalonan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik maka berbagai ekses sebagaimana didalilkan oleh Pemohon II tidak akan terjadi lagi. Terlebih lagi, setelah membaca semua putusan Mahkamah yang berkaitan dengan isu ambang batas pencalonan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik, pada pokoknya Mahkamah menyatakan syarat ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden adalah konstitusional, sedangkan berkenaan dengan besar atau kecilnya persentase presidential threshold merupakan kebijakan terbuka (open legal policy) dalam ranah pembentuk undang-undang. Pendirian Mahkamah tersebut berpijak pada perlunya penguatan sistem pemerintahan Presidensial berdasarkan UUD 1945 sehingga dapat mewujudkan pemerintahan yang efektif. Dalam pandangan Mahkamah, pemilu Presiden dan Wakil Presiden perlu dirancang untuk mendukung penguatan sistem pemerintahan Presidensial, tidak hanya terkait legitimasi Presiden dan Wakil Presiden terpilih, namun juga dalam hubungannya dengan institusi DPR sehingga akan mendorong efektivitas proses-proses politik di DPR menjadi lebih sederhana dan efisien dalam kerangka checks and balances secara proporsional. Dalam kerangka tersebut, adanya syarat ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik menjadi salah satu cara untuk menyeimbangkan hubungan Presiden dengan DPR secara proporsional dalam sistem pemerintahan presidensial yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi Indonesia serta hak konstitusional warga negara dan hal tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi. Oleh karenanya, meskipun terdapat perbedaan antara dalil permohonan Pemohon II dengan permohonan-permohonan sebelumnya, menurut Mahkamah, dalil Pemohon II a quo berangkat dari isu yang sama, yaitu tentang ambang batas pencalonan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik yang mana Mahkamah telah menyampaikan pendiriannya sebagaimana telah diuraikan di atas;
[3.17] Menimbang bahwa tidak berbeda dengan putusan-putusan sebelumnya, berkaitan dengan konstitusionalitas norma Pasal 222 UU 7/2017, 2 (dua) orang Hakim Konstitusi, yaitu Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi Isra tetap pada pendiriannya sebagaimana pendapat berbeda (dissenting opinion) pada putusan-putusan sebelumnya;
[3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, telah ternyata tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma Pasal 222 UU 7/2017 berkaitan dengan esensi norma Pasal 1 ayat (2), Pasal 4 ayat (1), Pasal 28J ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, sehingga Mahkamah berpendapat, tidak terdapat alasan mendasar yang menyebabkan Mahkamah harus mengubah pendiriannya. Dengan demikian, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon II tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya dan terhadap dalil-dalil serta hal-hal lain, tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena tidak terdapat relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 57/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 07-07-2022

Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) dalam hal ini diwakili oleh Agus Priyono (Ketua Umum Prima) dan Dominggus Oktavianus (Sekretaris Jenderal Prima), yang memberikan kuasa kepada Togu Van Basten Hutapea, S.H., dkk., para Advokat dan konsultan hukum yang tergabung pada Biro Bantuan Hukum Partai Rakyat Adil Makmur (Prima), untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017

Pasal 28D Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 173 Ayat (1) UU 7/2017 sebagaimana telah dimaknai Mahkamah Konstitusi dengan Putusan nomor 55/PUU-XVIII/2020 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.10] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut dalil permohonan Pemohon a quo Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan permohonan Pemohon berkaitan dengan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), sehingga terhadap norma a quo dapat dimohonkan kembali.
Pasal 60 UU MK menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undangundang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.

Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda.

Terhadap persoalan tersebut Mahkamah mempertimbangkan ketentuan Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 pernah diajukan sebelumnya dan telah diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 11 Januari 2018, dengan amar putusan antara lain, “Menyatakan frasa “telah ditetapkan/” dalam Pasal 173 ayat (1) UndangUndang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 4 Mei 2021, dengan amar putusan antara lain, Menyatakan Pasal 173 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) yang menyatakan, “Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang telah lulus verifikasi oleh KPU”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Partai Politik yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 dan lolos/memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold pada Pemilu 2019 tetap diverifikasi secara administrasi namun tidak diverifikasi secara faktual, adapun partai politik yang tidak lolos/tidak memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold, partai politik yang hanya memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan partai politik yang tidak memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, diharuskan dilakukan verifikasi kembali secara administrasi dan secara faktual, hal tersebut sama dengan ketentuan yang berlaku terhadap partai politik baru”, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XIX/2021 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 24 November 2021, dengan amar putusan “Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya”.
Terhadap persoalan tersebut Mahkamah mempertimbangkan ketentuan Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 pernah diajukan sebelumnya dan telah diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 11 Januari 2018, dengan amar putusan antara lain, “Menyatakan frasa “telah ditetapkan/” dalam Pasal 173 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 4 Mei 2021, dengan amar putusan antara lain, Menyatakan Pasal 173 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) yang menyatakan, “Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang telah lulus verifikasi oleh KPU”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Partai Politik yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 dan lolos/memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold pada Pemilu 2019 tetap diverifikasi secara administrasi namun tidak diverifikasi secara faktual, adapun partai politik yang tidak lolos/tidak memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold, partai politik yang hanya memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan partai politik yang tidak memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, diharuskan dilakukan verifikasi kembali secara administrasi dan secara faktual, hal tersebut sama dengan ketentuan yang berlaku terhadap partai politik baru”, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XIX/2021 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 24 November 2021, dengan amar putusan “Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya”.
Selanjutnya, setelah dipelajari secara saksama, telah ternyata Perkara Nomor 53/PUU-XV/2017 menggunakan dasar pengujiannya: Pasal 1 ayat (3), Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E ayat (1), ayat (2), ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), ayat (3), Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, Perkara Nomor 55/PUU-XVIII/2020 dasar pengujiannya adalah Pasal 28I ayat (2), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945, dan Perkara Nomor 48/PUU-XIX/2021 dasar pengujiannya adalah Pasal 1 ayat (2) Juncto Pasal 22E ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945. dan, permohonan Pemohon menggunakan dasar pengujiannya adalah Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Namun demikian, menurut Mahkamah, dasar pengujian yang digunakan dalam Perkara Nomor 53/PUU-XV/2017 dan Perkara Nomor 55/PUU-XVIII/2020 tidak memiliki relevansi terhadap ketentuan Pasal 60 UU MK dan Pasal 78 PMK 2/2021, hal ini dikarenakan norma Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 yang dimohonkan dalam kedua perkara dimaksud bukanlah merupakan norma hukum baru yang telah diberikan pemaknaan oleh Mahkamah. Dengan demikian, Mahkamah akan mempertimbangkan keberlakuan Pasal 60 UU MK dan Pasal 78 PMK 2/2021 terhadap Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 yang telah dimaknai oleh Mahkamah. Selanjutnya, permohonan pengujian Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 setelah dimaknai oleh Mahkamah, telah pernah diuji dalam Perkara Nomor 48/PUU-XIX/2021. Sehingga, Mahkamah akan mengaitkan dasar pengujian permohonan a quo dengan dasar pengujian Perkara Nomor 48/PUU-XIX/2021 yakni Pasal 1 ayat (2) Juncto Pasal 22E ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945;
Sementara itu, berkenaan dengan alasan konstitusional yang digunakan, dalam Perkara Nomor 53/PUU-XV/2017 adalah syarat verifikasi partai politik dianggap bersifat diskriminatif dan standar ganda karena membedakan perlakuan antara partai politik baru dengan partai politik yang telah ikut Pemilu tahun 2014. Kemudian, dalam Perkara Nomor 55/PUU-XVIII/2020 menggunakan alasan syarat verifikasi ulang terhadap partai politik yang telah mengikuti Pemilu adalah sebuah ketidakadilan dan penyederhanaan partai politik dengan verifikasi dianggap tidak efektif. Sementara itu, dalam Perkara Nomor 48/PUU-XIX/2021 menggunakan alasan syarat verifikasi partai politik menciptakan perlakuan yang berbeda (unequal treatment) antara partai politik yang lolos ambang batas parlemen dengan partai politik peserta Pemilu 2019 yang tidak lolos ambang batas parlemen, baik partai politik yang memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan yang tidak memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota. Sedangkan, alasan konstitusional dalam permohonan a quo adalah syarat verifikasi partai politik menciptakan perlakuan yang berbeda (unequal treatment) antara partai politik peserta Pemilu 2019 yang lolos ambang batas parlemen dan memiliki wakil-wakil di DPR RI dengan partai politik yang sama sekali baru dan belum pernah mengikuti Pemilu;
Berdasarkan uraian di atas, terdapat perbedaan dasar pengujian dalam permohonan Perkara Nomor 48/PUU-XIX/2021 dengan dasar pengujian permohonan a quo, di mana dalam perkara a quo, menggunakan dasar pengujian Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang tidak digunakan sebagai dasar pengujian dalam Perkara Nomor 48/PUU-XIX/2021. Selain itu, terdapat pula perbedaan alasan konstitusional dalam permohonan Perkara Nomor 48/PUU-XIX/2021 dengan alasan konstitusional permohonan a quo. Oleh karena itu, terlepas secara substansial permohonan Pemohon beralasan menurut hukum atau tidak, berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021, permohonan a quo dapat diajukan kembali;

[3.11] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon berdasarkan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021 dapat diajukan kembali, Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon lebih lanjut.

[3.12] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan Pemohon beserta bukti-bukti yang diajukan, terhadap permohonan Pemohon a quo Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.12.1] Bahwa sesungguhnya persoalan inti dari permohonan a quo adalah apakah verifikasi secara administrasi sudah cukup memenuhi kelengkapan yang dibutuhkan daripada verifikasi secara faktual, yang pada akhirnya verifikasi secara faktual tersebut berpotensi merugikan hak konstitusional Pemohon sebagai partai politik baru. Oleh karena itu, menurut Pemohon terdapat perlakuan yang berbeda ihwal verifikasi partai politik antara partai politik yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 dan lolos/memenuhi ketentuan parliamentary threshold pada Pemilu 2019 dengan Pemohon yang dalam hal ini merupakan partai politik baru.

[3.12.2] Bahwa berkaitan dengan perkara a quo Mahkamah telah menyatakan pendiriannyaterkait verifikasi partai politik peserta Pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 yang telah diputus oleh Mahkamah dalam Perkara Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020, yang pada pokoknya sebagai berikut:
[3.13] Menimbang bahwa permohonan Pemohon berkenaan dengan Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 yang menyatakan,“Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang telah ditetapkan/lulus verifikasi oleh KPU”, yang kemudian ketentuan tersebut sepanjang frasa “telah ditetapkan/” telah dinyatakan bertentangan dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017, bertanggal 11 Januari 2018. Dengan demikian bunyi ketentuan Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 tersebut menjadi, ”Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang lulus verifikasi oleh KPU.” Selain itu, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUUXV/2017, Mahkamah juga membatalkan keberlakuan Pasal 173 ayat (3) UU 7/2017 yang menyatakan, ”Partai politik yang telah lulus verifikasi dengan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diverifikasi ulang dan ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu”. Pembatalan keberlakuan Pasal 173 ayat (3) UU 7/2017 berdampak pada penyamarataan terhadap semua partai politik untuk dilakukan verifikasi dalam Pemilu serentak 2019 dan partai politik yang lolos verifikasi memiliki hak konstitusional sebagai peserta Pemilu.
[3.14] Menimbang bahwa dalam perkembangannya pasca Pemilu serentak 2019, Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 ini dimohonkan kembali pengujiannya oleh Pemohon (Partai Garuda) melalui Perkara Nomor 55/PUU-XVIII/2020 yang pada petitumnya Pemohon meminta kepada Mahkamah agar Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 dinyatakan inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) sepanjang tidak dimaknai “Partai yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 tidak diverifikasi kembali untuk Pemilu selanjutnya”. Artinya, Pemohon meminta kepada Mahkamah agar pada Pemilu serentak 2024, terhadap partai politik peserta Pemilu 2019 tidak perlu lagi dilakukan verifikasi ulang.
[3.15] Menimbang bahwa posisi Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012, bertanggal 29 Agustus 2012 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017, bertanggal 11 Januari 2018 terkait dengan verifikasi partai politik sudah sangat jelas, yakni semua partai politik diharuskan mengikuti verifikasi untuk menjadi peserta Pemilu selanjutnya. Hal ini dilakukan untuk menghindari pemberlakuan syarat yang berbeda (unequal treatment) kepada peserta suatu kontestasi (pemilihan umum) yang sama. Posisi dan standing Mahkamah dalam memberlakukan ketentuan terkait kewajiban verifikasi terhadap semua partai politik, baik yang telah lolos ketentuan parliamentary threshold maupun yang tidak lolos ketentuan ini, tetapi telah menjadi peserta Pemilu pada Pemilu sebelumnya dengan partai politik baru yang akan mengikuti Pemilu selanjutnya merupakan upaya untuk menegakkan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) akan tetapi cenderung abai pada penegakan prinsip keadilan karena memandang sama terhadap sesuatu yang seharusnya diperlakukan secara berbeda.
[3.16] Menimbang bahwa pada prinsipnya, verifikasi terhadap partai politik untuk menjadi peserta Pemilu menjadi bagian yang sangat penting dan strategis. Sebab, partai politik merupakan manifestasi perwujudan aspirasi rakyat. Melalui partai politik ini lah rakyat menyalurkan aspirasinya. Hal ini merupakan suatu hal yang wajar dalam sebuah negara yang menganut sistem demokrasi perwakilan seperti hal nya Indonesia. Namun demikian, tidak semua partai politik dapat menjadi peserta Pemilu. Hanya partai politik yang memenuhi syarat lah yang memiliki kesempatan menjadi peserta Pemilu. Di dalam Pasal 173 ayat (2) UU 7/2017, partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai Politik;
b. Memiliki kepengurusan di seluruh provinsi;
c. Memiliki kepengurusan di 75% (tujuh puluh lima persen) jumlah kabupaten/kota di Proivinsi yang bersangkutan;
d. Memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan;
e. Menyertakan paling sedikit 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat;
f. Memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud pada huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota;
g. Mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu;
h. Mengajukan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik kepada KPU; dan
i. Menyerahkan nomor rekening dana Kampanye Pemilu atas nama partai politik kepada KPU.
[3.17] Menimbang bahwa persyaratan untuk menjadi partai politik peserta Pemilu sebagaimana diuraikan di atas, merupakan ujian yang cukup berat. Sebab, partai politik peserta Pemilu merefleksikan aspirasi rakyat dalam skala besar dan bersifat nasional (terkecuali partai politik lokal di Provinsi Aceh). Oleh karena itu, struktur kepengurusan parta politik harus berada di seluruh provinsi (skala nasional), memiliki kepengurusan di 75% jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan, memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan, mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat, provinsi, dan
kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu dan persyaratan lainnya. Tantangannya tidak selesai sampai di situ, setelah menjadi peserta Pemilu pada Pemilu serentak 2019, ada partai politik yang lolos Parliamentary Threshold sehingga memiliki wakil di DPR dan ada pula partai politik yang tidak lolos parliamentary threshold sehingga tidak memiliki wakil di DPR, tetapi boleh jadi memiliki wakil di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan ada pula partai politik peserta Pemilu yang tidak memiliki wakilnya baik di tingkat DPR maupun di tingkat DPRD Prov/Kabupaten/Kota. Melihat dinamika dan perkembangan capaian perolehan suara dan tingkat keterwakilan suatu partai politik pada suatu kontestasi Pemilu, maka pertanyaannya adalah apakah adil ketiga varian capaian perolehan suara dan tingkat keterwakilan suatu partai politik disamakan dengan partai politik baru yang akan menjadi peserta Pemilu pada “verifikasi” kontestasi Pemilu selanjutnya? Dalam perspektif keadilan, hal ini tidak dapat dikatakan adil karena esensi keadilan adala memperlakukan sama terhadap sesuatu yang seharusnya diperlakuka sama dan memperlakukan berbeda terhadap sesuatu yang seharusny diperlakukan berbeda. Memperlakukan verifikasi secara sama terhada semua partai politik peserta Pemilu, baik partai politik peserta Pemil pada Pemilu sebelumnya maupun partai politik baru merupakan suat ketidakadilan. Oleh karena itu, terhadap partai politik yan lolos/memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold tetap diverifikas secara adimistrasi namun tidak diverifikasi secara faktual, adapun partai politik yang tidak lolos/tidak memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold, partai politik yang hanya memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan partai politik yang tidak memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, diharuskan dilakukan verifikasi kembali secara administrasi dan secara faktual hal tersebut sama dengan ketentuan yang berlaku terhadap partai politik baru. Dengan demikian Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 yang menyatakan,”Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang lulus verifikasi oleh KPU” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Partai Politik yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 dan lolos/memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold pada Pemilu 2019 tetap diverifikasi secara administrasi namun tidak diverifikasi secara faktual, adapun partai politik yang tidak lolos/tidak memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold, partai politik yang hanya memiliki keterwakilan di tingkat DPR Provinsi/Kabupaten/Kota dan partai politik yang tidak memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, diharuskan dilakukan verifikasi kembali secara administrasi dan secara faktual, hal tersebut sama dengan ketentuan yang berlaku terhadap partai politik baru”. Dengan demikian berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.

[3.12.3] Bahwa terkait dengan pertimbangan hukum yang dijadikan dasar dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020 sebagaimana diuraikan di atas, terdapat 3 (tiga) orang Hakim Konstitusi yang mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni Hakim Konstitusi Saldi Isra, Hakim Konstitusi Suhartoyo, dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih. Namun demikian, terlepas dari adanya pendapat berbeda dalam Putusan a quo, Mahkamah berpendirian bahwa terhadap Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 yang menyatakan,”Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang lulus verifikasi oleh KPU” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Partai Politik yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 dan lolos/memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold pada Pemilu 2019 tetap diverifikasi secara administrasi namun tidak diverifikasi secara faktual, adapun partai politik yang tidak lolos/tidak memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold, partai politik yang hanya memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan partai politik yang tidak memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, diharuskan dilakukan verifikasi kembali secara administrasi dan secara faktual, hal tersebut sama dengan ketentuan yang berlaku terhadap partai politik baru”.

[3.13] Menimbang bahwa dengan mengutip pertimbangan hukum di atas, oleh karena substansi yang dipersoalkan oleh Pemohon pada hakikatnya sama dengan apa yang telah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020, meskipun dengan dasar pengujian yang berbeda serta alasan konstitusional yang digunakan oleh Pemohon juga berbeda, namun esensi yang dimohonkan dalam perkara a quo adalah sama dengan perkara terdahulu yakni mempersoalkan mengenai verifikasi partai politik, baik secara administrasi maupun secara faktual. Dengan demikian, pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020 mutatis mutandis berlaku pertimbangan hukum permohonan a quo.

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dinyatakan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 29/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIL UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG BADAN PEMERIKSA KEUANGAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-06-2022

Boyamin Bin Saiman dan Marselinus Edwin Hardian, S.H. yang yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Kurniawan Adi Nugroho, S.H. dkk, para Advokat dan Advokat Magang dari Kantor “Boyamin Saiman Law Firm”, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 13 huruf f, huruf i, dan huruf j UU 15/2016

Pasal 23E, Pasal 23F, Pasal 23G, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 31 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 13 huruf f, huruf i, dan huruf j UU 15/2016 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan para Pemohon, Mahkamah terlebih dahulu memeriksa apakah pokok permohonan para Pemohon dapat diajukan pengujian ke Mahkamah berdasarkan Pasal 60 UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), karena sebelumnya Mahkamah sudah pernah memutus pengujian Pasal 13 huruf j UU 15/2006 dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 106/PUUXII/2014, bertanggal 4 November 2015 dengan amar menolak permohonan para Pemohon. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 106/PUU-XII/2014 tersebut, para Pemohon mengajukan pengujian norma Pasal 13 huruf j UU 15/2006 terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945. Adapun dalam permohonan a quo, para Pemohon mengajukan pengujian norma Pasal 13 huruf j UU 15/2006 terhadap Pasal 23E, Pasal 23F, Pasal 23G, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 31 ayat (5) UUD 1945. Sehingga meskipun terdapat kesamaan norma pasal yang diajukan antara Perkara Nomor 106/PUU-XII/2014 dengan permohonan para Pemohon a quo, namun batu uji yang diajukan dalam permohonan a quo berbeda, sehingga menurut Mahkamah pengujian norma Pasal 13 huruf j UU 15/2006 dalam permohonan para Pemohon a quo dapat diajukan kembali ke Mahkamah.
[3.11] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca secara saksama permohonan para Pemohon, memeriksa bukti-bukti yang diajukan, dan mempertimbangkan argumentasi para Pemohon, Mahkamah selanjutnya akan mempertimbangkan pokok permohonan para Pemohon;
[3.12] Menimbang bahwa Pemohon I mendalilkan Pasal 13 huruf f UU 15/2006 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “pintar dan pandai berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi” karena kualitas calon Anggota BPK dapat dinilai berdasarkan pengalaman aktivitas dan pengetahuannya. Terhadap dalil Pemohon I tersebut, Mahkamah berpendapat, syarat pendidikan merupakan salah satu syarat penting yang diperlukan untuk dapat mengukur kompetensi seseorang guna menduduki suatu jabatan tertentu. Sementara itu, penetapan tingkat dan kualifikasi pendidikan formal dimaksudkan pula agar dalam pelaksanaan tugas pada jabatan tertentu dapat dilakukan secara profesional, khususnya dalam upaya penerapan kerangka teori, analisis, maupun metodologi pelaksanaan tugas. Penentuan tingkat dan kualifikasi pendidikan formal dalam suatu jabatan sejatinya telah melewati suatu proses kajian yang mendalam sehingga diharapkan dapat menghasilkan kinerja yang maksimal. Adanya persyaratan pendidikan paling rendah S1 atau yang setara bagi calon Anggota BPK sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 13 huruf f UU 15/2006 merupakan salah satu upaya agar anggota BPK dapat melaksanakan tugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimanahkan dalam Pasal 23E UUD 1945 secara profesional.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, dalil Pemohon I terkait Pasal 13 huruf f UU 15/2006 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “pintar dan pandai berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi” adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.13] Menimbang bahwa Pemohon II mendalilkan Pasal 13 huruf i UU 15/2006 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “dewasa berdasarkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi” dengan alasan kualitas berdasarkan usia bagi calon anggota BPK tidak dapat diukur hanya melalui batasan umur, yang apabila melihat pada rentang usia para terpidana tindak pidana korupsi, pelakunya justru berusia di atas 40 (empat puluh) tahun. Terhadap dalil Pemohon II a quo, Mahkamah berpendapat, penentuan usia sebagai syarat untuk menjadi anggota BPK sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 13 huruf i UU 15/2006 pada dasarnya ditujukan untuk menjamin agar anggota BPK memiliki kematangan emosional atau psikologis, intelektual, dan tanggung jawab selain kemampuan di bidang akademik. Selain itu, anggota BPK diharapkan memiliki pengalaman terlebih dahulu di berbagai bidang yang terkait dengan tugas jabatannya, antara lain, bidang ekonomi, hukum, dan administrasi negara sebelum memangku jabatan sebagai anggota BPK, sehingga yang bersangkutan dapat melaksanakan tugas dalam jabatannya tersebut secara profesional. Terlebih lagi hal ini mengingat tugas dan wewenang BPK sangatlah berat dan luas sebagaimana ketentuan mengenai tugas dan wewenang BPK tersebut diatur dalam Bab III UU 15/2006. Di samping pertimbangan hukum tersebut di atas, berkaitan dengan persoalan penetapan batas usia, Mahkamah telah berkali-kali berpendirian bahwa hal tersebut merupakan kebijakan hukum pembentuk undang-undang (open legal policy). Sehingga dengan mendasarkan pada pertimbangan tersebut, adalah relevan jika pembatasan usia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf i UU 15/2006 dijadikan sebagai salah satu syarat dalam pemilihan anggota BPK.
Berdasarkan uraian pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, dalil Pemohon II terkait Pasal 13 huruf i UU 15/2006 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “dewasa berdasarkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi” adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.14] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan Pasal 13 huruf j UU 15/2006 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “tidak pernah melakukan penyimpangan atau tindak pidana korupsi selama memangku jabatan sebagai Pejabat Pengelola Keuangan Negara” dengan alasan kualitas dari calon BPK tidak dapat dilihat hanya berdasarkan jangka waktu terakhir dia menjabat, tanpa melihat juga rekam jejaknya selama memangku jabatan sebagai pengelola keuangan negara (pihak yang diperiksa). Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah berpendapat, ketentuan Pasal 13 huruf j UU 15/2006 dibentuk dengan tujuan untuk menghindarkan terjadinya potensi konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang yang pernah dimiliki sebelumnya yang dapat dilakukan oleh anggota BPK terpilih bilamana yang bersangkutan berasal dari pejabat pengelola keuangan negara. Hal tersebut dapat menimbulkan kemungkinan terganggunya independensi, integritas, dan profesionalitas sebagai anggota BPK dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Oleh karena itulah perlu ada persyaratan, calon anggota BPK disyaratkan paling singkat telah 2 (dua) tahun meninggalkan jabatan sebagai pejabat di lingkungan pengelola keuangan negara. Hal ini termasuk bertujuan untuk memutus mata rantai terjadinya konflik kepentingan antara pihak-pihak yang terkait yaitu antara yang memeriksa dengan yang diperiksa dan menghindari terjadinya penyalahgunaan wewenang. Sebab, keadaan demikian dimungkinkan terjadi yakni apabila anggota BPK terpilih menggunakan kewenangannya untuk menilai hasil pekerjaannya pada masa lalu sebelum yang bersangkutan menjadi anggota BPK. Oleh karenanya pembatasan waktu kapan seorang pejabat pengelola keuangan negara dapat mengikuti pemilihan anggota BPK menjadi sangat penting.
Adanya ketentuan mengenai jangka waktu ”paling singkat 2 (dua) tahun” dalam Pasal 13 huruf j UU 15/2006 telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 106/PUU-XII/2014, yang menyatakan:
“[3.9.6] … Selain itu, adanya jangka waktu paling singkat 2 (dua) tahun supaya calon yang terpilih sebagai anggota BPK akan dapat melaksanakan tugasnya secara mandiri dan bebas karena dalam hal pertanggungjawaban keuangan maka yang bersangkutan tidak akan pernah memeriksa pengelolaan keuangan yang telah 2 (dua) tahun dilaksanakan. Pemeriksaan keuangan dilakukan terhadap pengelolaan keuangan yang dilakukan 1 (satu) tahun sebelumnya.”
Berdasarkan pertimbangan tersebut, anggota BPK terpilih hanya dapat melakukan pemeriksaan keuangan terhadap pengelolaan keuangan yang dilakukan 1 (satu) tahun sebelumnya. Sehingga menghindarkan anggota BPK untuk memeriksa sendiri hasil pekerjaannya sebagai pejabat pengelola keuangan sebelum yang bersangkutan terpilih menjadi anggota BPK.
Selanjutnya, terkait dengan petitum para Pemohon yang meminta agar Pasal 13 huruf j UU 15/2006 dimaknai “tidak pernah melakukan penyimpangan atau tindak pidana korupsi selama memangku jabatan sebagai Pejabat Pengelola Keuangan Negara”, pada dasarnya telah terakomodir dalam ketentuan Pasal 13 huruf g UU 15/2006 yang menyatakan:
“g. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman 5 (lima) tahun atau lebih.”
Syarat dimaksud tidak hanya melekat kepada calon anggota BPK yang berasal dari pejabat pengelola keuangan negara saja melainkan juga kepada calon anggota BPK yang bukan berasal dari pejabat pengelola keuangan negara. Dengan kata lain, syarat ini melekat pada seluruh calon peserta yang hendak mengikuti pemilihan anggota BPK tanpa terkecuali.
Sementara itu, terhadap dalil para Pemohon mengenai adanya 2 (dua) nama yang seharusnya tidak diloloskan oleh DPR RI untuk dimajukan sebagai calon anggota BPK untuk mengikuti tahap fit and proper test dikarenakan tidak memenuhi syarat sebagaimana ketentuan Pasal 13 huruf j UU 15/2006. Hal tersebut bukanlah merupakan persoalan konstitusionalitas norma melainkan merupakan implementasi norma yang bukan merupakan ranah kewenangan Mahkamah untuk menilainya.
Berdasarkan uraian pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon terkait dengan Pasal 13 huruf j UU 15/2006 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “tidak pernah melakukan penyimpangan atau tindak pidana korupsi selama memangku jabatan sebagai Pejabat Pengelola Keuangan Negara” adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, berkenaan dengan Pasal 13 huruf f, huruf i, dan huruf j UU 15/2006 telah ternyata tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak menghalangi warga negara untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan sehingga tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) serta Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945 dan oleh karenanya dalil-dalil Pemohon I dan Pemohon II tidak beralasan menurut hukum. Adapun terkait dengan hal-hal lain karena tidak relevan maka tidak dipertimbangkan lebih lanjut oleh Mahkamah.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak dan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 100/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN FORMIL DAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2020 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DAN PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-06-2022

Raden Violla Reininda Hafidz, S.H., dkk., yang berjumlah 7 (tujuh) Pemohon, dalam hal ini diwakili oleh Arif Maulana, S.H., M.H., dkk., para Advokat, yang selanjutnya disebut Para Pemohon.

Pasal 15 ayat (2) huruf d dan huruf h, Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 23 ayat (1) huruf c, Pasal 59 ayat (2), Pasal 87 huruf a dan huruf b UU 7/2020 serta Pasal 18 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 19 UU 24/2003

Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 28F UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian formil UU 7/2020 dan materiil Pasal 15 ayat (2) huruf d dan huruf h, Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 23 ayat (1) huruf c, Pasal 59 ayat (2), Pasal 87 huruf a dan huruf b UU 7/2020 serta Pasal 18 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 19 UU 24/2003 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.15] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dan membaca secara saksama permohonan para Pemohon, keterangan DPR, keterangan Presiden, keterangan ahli dan saksi para Pemohon, bukti-bukti surat/tulisan yang diajukan oleh para Pemohon, kesimpulan tertulis para Pemohon, surat Amicus Curiae, sebagaimana selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara, maka Mahkamah selanjutnya akan mempertimbangkan dalil pokok permohonan pengujian formil UU 7/2020;
Bahwa pada pokoknya para Pemohon mendalilkan proses pembentukan UU 7/2020 secara formil telah melanggar asas keterbukaan dan bertentangan dengan ketentuan mengenai tatacara pembentukan undang-undang, khususnya berkenaan dengan tidak adanya partisipasi publik dan proses pembahasannya dilakukan secara tertutup dengan waktu yang sangat terbatas. Terhadap hal tersebut menurut Mahkamah, berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap dalam persidangan, khususnya keterangan DPR dan Presiden, telah ternyata Rancangan Undang-Undang Perubahan UU 24 Tahun 2003 telah masuk dalam daftar Prolegnas 2015-2019, prioritas tahun 2019 [vide. Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 19/DPR RI/I/2018-2019 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2019 dan Perubahan Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Tahun 2015-2019, tanggal 31 Oktober 2018, Lampiran I Keputusan DPR Nomor 22]. Selain itu, DPR dalam persidangan juga menerangkan bahwa dilakukannya perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 merupakan usulan yang masuk dalam daftar kumulatif terbuka dalam rangka menindaklanjuti putusan-putusan Mahkamah Konstitusi di antaranya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-V/2007, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37-39/PUU-VIII/2010, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUUIX/2011, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-XI/2013, serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XIV/2016 sebagaimana hal tersebut diatur dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011) [vide Risalah Persidangan Mahkamah Konstitusi dengan agenda Mendengarkan Keterangan DPR dan Presiden, tanggal 9 Agustus 2021, hlm. 4 dan 5]. Oleh karena itu, terlepas dari norma pasal-pasal yang dimohonkan pengujian secara materiil dianggap terdapat persoalan inkonstitusionalitas, namun menurut Mahkamah tatacara perubahan UU a quo yang mendasarkan pada daftar kumulatif terbuka tersebut sebagai tindak lanjut beberapa putusan Mahkamah Konstitusi, maka tatacara perubahan UU 7/2020 tidak relevan lagi dipersoalkan. Namun demikian, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa usulan rancangan undang-undang jika masuk dalam daftar kumulatif terbuka sesungguhnya dapat dibentuk kapan saja dan tidak terbatas jumlahnya sepanjang memenuhi kriteria yang terdapat dalam Pasal 23 ayat (1) UU 12/2011.
Di samping itu, perubahan undang-undang melalui daftar kumulatif terbuka mempunyai sifat khusus yang tidak dapat sepenuhnya dipersamakan dengan usulan perubahan undang-undang yang bersifat normal, yaitu rancangan undang-undang yang masuk dalam daftar Prolegnas jangka menengah. Sementara itu, dimasukkannya rancangan perubahan UU a quo dalam daftar Prolegnas sebagaimana uraian di atas, bukan berarti perubahan UU tersebut tertutup untuk diusulkan dan dibahas dalam daftar kumulatif terbuka sebab perubahan UU a quo memang memenuhi kriteria daftar kumulatif terbuka sebagaimana pertimbangan di atas.
Dikarenakan perubahan UU a quo dalam rangka menindaklanjuti putusan-putusan Mahkamah Konstitusi maka tidak relevan lagi apabila proses pembahasan rancangan undang-undang tersebut masih dipersyaratkan pembahasan, termasuk dalam hal ini adalah syarat partisipasi publik yang ketat sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, bertanggal 25 November 2021. Hal ini dimaksudkan agar esensi perubahan tersebut sepenuhnya mengadopsi substansi putusan Mahkamah Konstitusi. Dalam hal ini, jika perubahan tersebut dilakukan sebagaimana layaknya rancangan undang-undang di luar daftar kumulatif terbuka, justru berpotensi menilai dan bahkan menegasikan putusan Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil permohonan para Pemohon dalam pengujian formil UU 7/2020 a quo tidak beralasan menurut hukum.

[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian formil, namun tidak memiliki kedudukan hukum dalam mengajukan permohonan pengujian materiil. Sedangkan, pokok permohonan dalam pengujian formil tidak beralasan menurut hukum. Oleh karena itu, pokok permohonan para Pemohon dan hal-hal lain dalam pengujian materiil tidak dipertimbangkan lebih lanjut.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dinyatakan Tidak Dapat Diterima dan Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 39/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN FORMIL DAN MATERILL UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2022 TENTANG IBUKOTA NEGARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-05-2022

Sugeng, S.H (pensiunan PNS), untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 4, pasla 5, Pasal 6, Pasal 22, dan Pasal 24 ayat (1) UU 3/2022

Pasal 26C ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian formil dan materill UU (3/2022) dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.5] Menimbang bahwa meskipun permohonan a quo menjadi kewenangan Mahkamah dan permohonan diajukan masih dalam tenggang waktu pengajuan permohonan, namun sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut mengenai kedudukan hukum Pemohon dan pokok permohonan baik dalam pengujian formil maupun pengujian materiil, Mahkamah perlu terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

[3.5.1] Bahwa Mahkamah telah memeriksa permohonan Pemohon dalam persidangan Pendahuluan pada 12 April 2022, dalam persidangan tersebut, Majelis Panel sesuai dengan kewajibannya yang diatur dalam Pasal 39 ayat (2) UU MK dan Pasal 41 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021) telah memberikan nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki dan memperjelas hal-hal yang berkaitan dengan kedudukan hukum, posita, serta petitum permohonan. Bahwa Panel Hakim telah menasihatkan kepada Pemohon untuk dapat memperjelas permohonan, karena permohonan Pemohon adalah mengenai pengujian undang-undang secara formil dan materiil dan dengan demikian seharusnya permohonan a quo dapat menguraikan secara jelas tentang kedudukan hukum Pemohon dengan secara khusus membedakan antara kedudukan hukum dalam permohonan pengujian formil dengan pengujian materiil. Begitu pula pada bagian posita dan petitum, sehingga permohonan yang diminta pada petitum, baik pada pengujian formil maupun pengujian materiil terdapat alasan yang diuraikan dengan jelas pada bagian posita. Selain itu, Panel Hakim menasihatkan agar Pemohon menyesuaikan format dan syarat-syarat Permohonan sesuai dengan UU MK dan PMK 2/2021 [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 39/PUU-XX/2022, tanggal 12 April 2022].

[3.5.2] Bahwa Pemohon telah melakukan perbaikan permohonannya dan diterima Kepaniteraan Mahkamah pada 22 April 2022 yang kemudian disampaikan pokokpokok perbaikan permohonannya dalam Sidang Pemeriksaan Pendahuluan dengan agenda memeriksa perbaikan permohonan pada 9 Mei 2022. Bahwa setelah mencermati lebih lanjut perbaikan permohonan Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

1. Berkenaan dengan syarat permohonan pengujian undang-undang, Pasal 51 ayat (2) UU MK menyatakan: Uraian mengenai hal yang menjadi dasar Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b untuk perkara Permohonan pengujian undang-undang meliputi:
a. kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian;
b. kedudukan hukum pemohon yang berisi uraian tentang hak dan/atau kewenangan konstitusi pemohon yang dianggap dirugikan dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk dilakukan pengujian; dan
c. alasan Permohonan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b diuraikan dengan jelas dan terperinci. Terhadap hal tersebut, selanjutnya Pasal 10 ayat (2) huruf b PMK 2/2021 menyatakan:
Permohonan yang diajukan oleh Pemohon dan/atau kuasa hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
a. …
b. uraian yang jelas mengenai:
1. kewenangan Mahkamah, yang memuat penjelasan mengenai kewenangan Mahkamah dalam mengadili perkara PUU sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan serta objek permohonan;
2. kedudukan hukum Pemohon, yang memuat penjelasan mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dianggap dirugikan dengan berlakunya undang-undang atau Perppu yang dimohonkan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4; dan
3. alasan permohonan, yang memuat penjelasan mengenai pembentukan undang-undang atau Perppu yang tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang atau Perppu berdasarkan UUD 1945 dan/atau bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang atau Perppu bertentangan dengan UUD 1945.
4. Pemohon pada pokoknya mengajukan permohonan pengujian formil dan materiil terhadap UU 3/2022, namun Mahkamah menemukan fakta hukum yaitu pada bagian kedudukan hukum, Pemohon tidak dapat membedakan secara khusus dan menguraikan dengan jelas persoalan pertautan potensi kerugian Pemohon dengan adanya dugaan persoalan konstitusionalitas UU 3/2022 secara formil. Sedangkan dalam pengujian materiil, uraian pada bagian kedudukan hukum berisi argumentasi yang tidak relevan dengan anggapan kerugian hak konstitusional Pemohon. Oleh karena itu, uraian tersebut tidak dapat menjelaskan adanya kerugian hak konstitusional baik dalam pengujian formil maupun pengujian materiil. Dengan demikian, menurut Mahkamah terdapat ketidakjelasan dalam uraian mengenai kedudukan hukum Pemohon, baik kedudukan hukum dalam pengujian formil maupun dalam pengujian materiil.
5. Pada bagian alasan permohonan (posita) pengujian formil, Pemohon tidak menguraikan dengan jelas persoalan proses pembentukan UU 3/2022 yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Pemohon hanya menguraikan mengenai sejumlah isu yang menurut Pemohon seharusnya dipertimbangkan dalam proses pembentukan UU 3/2022. Hal ini menurut Mahkamah tidak relevan dengan alasan permohonan pengujian formil terhadap UU 3/2022.
6. Pada bagian alasan permohonan (posita) pengujian materiil, Pemohon tidak menguraikan sama sekali mengenai norma pasal yang diajukan untuk diuji serta alasan inkonstitusionalitasnya pasal tersebut. Pemohon hanya menguraikan norma-norma pasal yang diuji tanpa uraian yang jelas kaitannya dengan anggapan inkonstitusionalitas norma yang dimohonkan pengujiannya dengan UUD 1945. Selain menimbulkan ketidakjelasan, uraian permohonan Pemohon juga menimbulkan pertentangan dengan petitum, di mana pasalpasal yang terdapat dalam posita pengujian materiil, tidak termuat dalam petitum, terlebih lagi, Pemohon dalam permohonannya tidak membedakan secara khusus antara petitum pengujian formil dengan petitum pengujian materiil.

Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah permohonan Pemohon tidak jelas pada bagian kedudukan hukum, posita dan petitum baik terhadap permohonan pengujian formil maupun pengujian materiil.
Dengan demikian, secara keseluruhan permohonan Pemohon adalah tidak jelas (kabur).

[3.6] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan permohonan pengujian formil diajukan masih dalam tenggang waktu pengajuan permohonan, namun oleh karena permohonan Pemohon adalah tidak jelas (kabur), maka Mahkamah tidak mempertimbangkan lebih lanjut mengenai kedudukan hukum dan pokok permohonan Pemohon.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 40/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2022 TENTANG IBU KOTA NEGARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-05-2022

Herifuddin Daulay (guru honorer), untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

pengujian materiil terhadap seluruh pasal yang terdapat dalam UU 3/2022 kecuali Pasal 3 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, huruf j, dan huruf k, yaitu ; Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3 huruf a , Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pada 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43 dan Pasal 44.

Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 22A UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian seluruh pasal yang terdapat dalam UU 3/2022 kecuali Pasal 3 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, huruf j, dan huruf k, yaitu ; Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3 huruf a , Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pada 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43 dan Pasal 44 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.5] Menimbang bahwa meskipun permohonan a quo adalah kewenangan Mahkamah dan permohonan pengujian formil diajukan masih dalam tenggang waktu pengajuan permohonan, namun sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut mengenai kedudukan hukum Pemohon dan pokok permohonan baik dalam pengujian formil maupun pengujian materiil, Mahkamah perlu terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

[3.5.1] Bahwa Mahkamah telah memeriksa permohonan Pemohon dalam persidangan Pendahuluan pada 13 April 2022, dalam persidangan tersebut, Majelis Panel sesuai dengan kewajibannya yang diatur dalam Pasal 39 ayat (2) UU MK dan Pasal 41 ayat (3) PMK 2/2021 telah memberikan nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki dan memperjelas hal-hal yang berkaitan dengan kedudukan hukum, posita, serta petitum permohonan.
Bahwa Panel Hakim telah menasihatkan kepada Pemohon untuk dapat memperjelas permohonan, karena permohonan Pemohon adalah mengenai pengujian undang-undang secara formil dan materiil dan dengan demikian seharusnya permohonan a quo dapat menguraikan secara jelas tentang kedudukan hukum Pemohon dengan secara khusus membedakan antara kedudukan hukum dalam permohonan pengujian formil dengan pengujian materiil. Begitu pula terhadap bagian alasan permohonan (posita) dan petitum, sehingga permohonan yang diminta pada petitum, baik dalam permohonan formil maupun materiil terdapat alasan dengan jelas pada bagian posita. Selain itu, Panel Hakim menasihatkan agar Pemohon menyesuaikan format dan syarat-syarat Permohonan sesuai dengan UU MK dan PMK 2/2021 [vide Risalah Sidang Pendahuluan Perkara Nomor 40/PUU XX/2022, tanggal 13 April 2022]

[3.5.2] Bahwa Pemohon telah melakukan perbaikan permohonannya dan diterima Kepaniteraan Mahkamah pada 26 April 2022 yang kemudian disampaikan pokok-pokok perbaikan permohonannya dalam sidang pemeriksaan pendahuluan dengan agenda memeriksa perbaikan permohonan pada 10 Mei 2022.
Bahwa setelah mencermati lebih lanjut perbaikan permohonan Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
1. Berkenaan dengan syarat permohonan pengujian undang-undang, Pasal 51A ayat (2) UU MK menyatakan:
Uraian mengenai hal yang menjadi dasar Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b untuk perkara Permohonan pengujian undang-undang meliputi:
a. kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian;
b. kedudukan hukum pemohon yang berisi uraian tentang hak dan/atau kewenangan konstitusi pemohon yang dianggap dirugikan dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk dilakukan pengujian; dan
c. alasan Permohonan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b diuraikan dengan jelas dan terperinci.
Terhadap hal tersebut, selanjutnya Pasal 10 ayat (2) huruf b PMK 2/2021 menyatakan: Permohonan yang diajukan oleh Pemohon dan/atau kuasa hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat: b. uraian yang jelas mengenai:
1. kewenangan Mahkamah, yang memuat penjelasan mengenai kewenangan Mahkamah dalam mengadili perkara PUU sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan serta objek permohonan;
2. kedudukan hukum Pemohon, yang memuat penjelasan mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dianggap dirugikan dengan berlakunya undang-undang atau Perppu yang dimohonkan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4; dan
3. alasan permohonan, yang memuat penjelasan mengenai pembentukan undang-undang atau Perppu yang tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang atau Perppu berdasarkan UUD 1945 dan/atau bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang atau Perppu bertentangan dengan UUD 1945.
2. Pemohon pada pokoknya mengajukan permohonan pengujian formil dan materiil terhadap UU 3/2022, namun Mahkamah menemukan fakta hukum yaitu pada bagian kedudukan hukum, Pemohon tidak dapat menguraikan dengan jelas persoalan pertautan potensi kerugian Pemohon dengan adanya dugaan persoalan konstitusionalitas dalam proses pembentukan UU 3/2022. Sementara itu, pada bagian kedudukan hukum pengujian materiil, Pemohon menguraikan dugaan pertentangan antara norma yang diajukan dengan norma-norma dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian tanpa dapat menguraikan keterkaitannya dengan potensi kerugian Pemohon. Uraian pada bagian kedudukan hukum berisi sejumlah argumentasi yang tidak relevan dengan anggapan kerugian konstitusional Pemohon. Oleh karena itu, uraian tersebut tidak dapat menjelaskan adanya keterkaitan norma a quo dengan potensi kerugian Pemohon. Dengan demikian, menurut Mahkamah terdapat ketidakjelasan dalam uraian mengenai kedudukan hukum Pemohon, baik kedudukan hukum dalam pengujian formil maupun dalam pengujian materiil.
3. Pada bagian alasan permohonan (posita) pengujian formil, Pemohon tidak menguraikan dengan jelas mengenai persoalan proses pembentukan UU 3/2022 yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Pemohon hanya menguraikan mengenai sejumlah isu yang menurut Pemohon seharusnya dipertimbangkan dalam pembentukan UU 3/2022. Hal ini menurut Mahkamah tidak relevan dengan alasan permohonan pengujian formil terhadap UU 3/2022.
4. Pada bagian alasan permohonan (posita) pengujian formil, Pemohon tidak menguraikan dengan jelas mengenai persoalan proses pembentukan UU 3/2022 yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Pemohon hanya menguraikan mengenai sejumlah isu yang menurut Pemohon seharusnya dipertimbangkan dalam pembentukan UU 3/2022. Hal ini menurut Mahkamah tidak relevan dengan alasan permohonan pengujian formil terhadap UU 3/2022.
Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah permohonan Pemohon tidak jelas pada bagian kedudukan hukum, posita dan petitum, baik terhadap permohonan pengujian formil maupun pengujian materiil. Dengan demikian, secara keseluruhan permohonan Pemohon adalah tidak jelas (kabur).

[3.6]Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan permohonan pengujian formil diajukan masih dalam tenggang waktu pengajuan permohonan, namun oleh karena permohonan Pemohon adalah tidak jelas (kabur), maka Mahkamah tidak mempertimbangkan lebih lanjut mengenai kedudukan hukum dan pokok permohonan Pemohon.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Diterima Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 41/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-05-2022

Sindi Enjelita Sitorus dan Hesti Br. Ginting, untuk selanjutnya disebut Para Pemohon.

Pasal 7 UU 23/2004

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 7 UU 23/2004 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.3.5] Bahwa Mahkamah melihat adanya kerancuan pada bagian petitum yang bersifat kumulatif dan saling bertentangan, karena pada petitum angka 2 para Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 7 UU 23/2004 bertentangan dengan UUD 1945, sedangkan pada petitum angka 3 memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 7 UU 23/2004 sesuai dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally constitutional), yaitu konstitusional sepanjang frasa “Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang” diubah menjadi “Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang, dengan memperhatikan bentuk-bentuk kekerasan psikis: umpatan, penghinaan, pelabelan negatif, atau sikap dan gaya tubuh yang merendahkan, membatasi, atau mengontrol korban agar memenuhi tuntutan pelaku”. Menurut Mahkamah, Petitum demikian justru menyulitkan bagi Mahkamah untuk memahami apa sesungguhnya yang diinginkan oleh para Pemohon. Sebab, pada satu sisi para Pemohon memohon agar Pasal 7 UU 23/2004 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, namun pada sisi lain meminta Mahkamah untuk memberikan pemaknaan terhadap Pasal 7 UU 23/2004 secara bersyarat (conditionally constitutional). Oleh karena itu, berdasarkan fakta hukum tersebut, Mahkamah tidak mungkin mengabulkan dua petitum yang saling bertentangan, kecuali para Pemohon dalam petitum permohonannya memohon secara alternatif;
Terlebih lagi, berkenaan dengan permohonan a quo, para Pemohon juga tidak melampirkan bukti salinan undang-undang yang dimohonkan pengujian dan salinan UUD 1945, padahal berdasarkan Pasal 11 ayat (6) dan Pasal 12 ayat (5) PMK 2/2021 bahwa alat bukti yang diajukan terdiri atas sekurang-kurangnya: a. salinan undang-undang atau Perppu, setidak-tidaknya bagian atau bab yang dimohonkan pengujian termasuk halaman depan dan halaman yang memuat tanggal pengundangan dari salinan undang-undang atau Perppu; b. salinan UUD 1945;
Berdasarkan pertimbangan hukum di atas maka permohonan a quo tidak jelas (kabur).

[3.4] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan para Pemohon, namun oleh karena permohonan para Pemohon tidak jelas (kabur) sehingga tidak memenuhi syarat formil permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 31 ayat (1) UU MK serta Pasal 10 ayat (2) PMK 2/2021, oleh karena itu Mahkamah tidak mempertimbangkan kedudukan hukum dan pokok permohonan para Pemohon lebih lanjut.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 42/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-05-2022

Almizan Ulfa, S.E., M.Sc., Santi Lisana, S.E., MBA, Drs. DB Ali Syarief dan Ir. Petir Amri Wirabumu., MM., untuk selanjutnya disebut Para Pemohon.

Pasal 222 dan Pasal 223 UU Pemilu

Alinea Keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 194 dan Pasal 1 ayat (2), Pasal 6 ayat (1), Pasal 6A ayat (1), Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28F UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU Pemilu dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.6.1] Bahwa berkenaan dengan kualifikasi para Pemohon sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang memiliki hak memilih dalam pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017, Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 74/PUU-XVIII/2020, bertanggal 14 Januari 2021 kemudian ditegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-XIX/2021, bertanggal 24 Februari 2022 dan Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi berikutnya telah mempertimbangkan yang pada pokoknya sebagai berikut:
“[3.6.2] …jelaslah bahwa Mahkamah pernah memberikan kedudukan hukum terhadap perseorangan warga negara yang memiliki hak memilih untuk menguji norma berkenaan dengan ketentuan ambang batas pecalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden. Namun, oleh karena terdapat perbedaan mekanisme dan sistem yang digunakan dalam penentuan ambang batas pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu Tahun 2014 dengan Pemilu Tahun 2019 dan Pemilu berikutnya pada tahun 2024, sehingga terjadi pergeseran sebagaimana yang dipertimbangkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 74/PUU-XVIII/2020 bahwa pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan berkenaan dengan persyaratan ambang batas untuk mengusulkan calon Presiden dan Wakil Presiden (presidential threshold) in casu, Pasal 222 UU 7/2017 adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu.
[3.6.3] Bahwa partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu memiliki hak kerugian konstitusional untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 222 UU 7/2017 sejalan dengan amanat konstitusi yaitu Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menentukan pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden ditentukan oleh partai politik atau gabungan partai politik, bukan oleh perseorangan. Demikian juga sejalan dengan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 yang secara eksplisit menentukan hanya partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya yang dapat mengusulkan dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden untuk dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan. Ketentuan konstitusi tersebut semakin menegaskan Mahkamah bahwa pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017 adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu, bukan perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk memilih.”
[3.6.2] Bahwa selanjutnya, berkenaan dengan anggapan adanya kerugian hak konstitusional para Pemohon sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang 96 memiliki hak untuk memilih dalam Pemilu atas berlakunya norma Pasal 222 UU 7/2017, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 8/PUU-XX/2022, bertanggal 29 Maret 2022 dan Putusan-Putusan Mahkamah berikutnya telah mempertimbangkan sebagai berikut:
“ [3.6.5.2]…, Mahkamah berpendapat adanya aturan main terkait persyaratan ambang batas pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana ditentukan dalam Pasal 222 UU 7/2017 yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh para Pemohon telah diberlakukan sebelum pelaksanaan pemilu tahun 2019 dimana para Pemohon juga telah memiliki hak untuk memilih dan telah mengetahui hasil hak pilihnya dalam pemilu legislatif tahun 2019 yang akan digunakan sebagai persyaratan ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dalam pemilu tahun 2024 mendatang. Dengan analogi demikian, maka anggapan adanya kerugian konstitusional, in casu terhambatnya hak untuk memilih (right to vote) yang dialami oleh para Pemohon menjadi tidak beralasan menurut hukum. Selain itu, terkait anggapan adanya kerugian hak konstitusional para Pemohon karena terhambatnya haknya untuk memilih (right to vote) kandidat calon Presiden dan/atau Wakil Presiden yang memiliki lebih banyak pilihan, menurut Mahkamah, Pasal 222 UU 7/2017 sama sekali tidak membatasi jumlah pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang akan mengikuti pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden. Dengan demikian, selain para Pemohon tidak memiliki kerugian hak konstitusional dengan berlakunya norma Pasal 222 UU 7/2017, tidak terdapat hubungan sebab akibat antara norma a quo dengan anggapan kerugian hak konstitusional para Pemohon untuk memilih (right to vote)”
[3.6.3] Bahwa berkenaan dengan adanya anggapan kerugian hak konstitusional para Pemohon atas berlakunya norma Pasal 222 UU 7/2017 yang disebabkan oleh ketidakpahaman dan ketidakmengertian para Pemohon akibat kurangnya sosialisasi tentang hasil Pemilu anggota DPR 2014 akan digunakan untuk memenuhi persyaratan pengusulan calon presiden dan wakil presiden 2019, menurut Mahkamah hal demikian bukanlah merupakan permasalahan konstitusionalitas norma namun lebih merupakan permasalahan implementasi atas norma a quo yang sebagaimana diakui sendiri oleh para Pemohon, seringkali dipengaruhi oleh suasana kebatinan serta dinamika sosial politik yang berkembang dalam masyarakat. Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 222 UU 7/2017;
[3.6.4] Bahwa terkait dengan pertimbangan hukum yang dijadikan dasar dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-XIX/2021 sebagaimana diuraikan pada Sub-paragraf [3.6.1] di atas, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul berpendapat dalam pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017, Pemohon perseorangan sepanjang dapat menjelaskan atau menguraikan memiliki hak untuk memilih (right to vote) adalah memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan. Sedangkan, dalam pokok permohonan, norma Pasal 222 UU 7/2017 yang mengatur mengenai persyaratan ambang batas pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden adalah konstitusional dan terkait dengan batasan persentase yang ditentukan dalam norma a quo merupakan kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang (open legal policy) sehingga menolak permohonan Pemohon. Sementara itu, Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi Isra berpendapat para Pemohon perseorangan sepanjang dapat menjelaskan atau menguraikan memiliki hak untuk memilih (right to vote) adalah memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017, serta dalam pokok permohonan berpendapat norma Pasal 222 UU 7/2017 adalah inkonstitusional sehingga permohonan beralasan menurut hukum dan seharusnya Mahkamah mengabulkan permohonan para Pemohon sebagaimana pendiriannya dalam putusan-putusan sebelumnya;
[3.7] Menimbang bahwa terhadap pengujian norma Pasal 223 UU 7/2017, sebelum Mahkamah mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon dalam mengajukan permohonan dalam pengujian norma Pasal 223 UU 7/2017 dan pokok permohonan, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
[3.7.1] Bahwa Mahkamah telah memeriksa permohonan Pemohon dalam persidangan Pendahuluan pada Kamis, 14 April 2022 dan dalam persidangan tersebut Majelis Panel Hakim sesuai dengan kewajibannya yang diatur dalam Pasal 39 ayat (2) UU MK dan Pasal 41 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Pengujian Undang-Undang telah memberikan nasihat kepada para Pemohon untuk memperbaiki dan memperjelas hal-hal yang di antaranya berkaitan dengan bagian perihal Permohonan, Posita, dan Petitum Permohonan. Selanjutnya sesuai dengan ketentuan hukum acara, para Pemohon diberi waktu 14 (empat belas) hari untuk memperbaiki permohonan a quo (vide risalah Sidang Perkara Nomor 42/PUU-XX/2022 tanggal 14 April 2022). Terhadap nasihat Majelis Hakim Panel tersebut, para Pemohon telah melakukan perbaikan permohonan yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada 28 April 2022 yang kemudian pada 9 Mei 2022 dilaksanakan pemeriksaan pendahuluan dengan agenda memeriksa perbaikan permohonan;
[3.7.2] Bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan seksama perbaikan permohonan para Pemohon, telah ternyata para Pemohon dalam bagian perihal Permohonan menyebutkan pengujian Pasal 222 dan Pasal 223 UU 7/2017, kemudian pada uraian kedudukan hukum para Pemohon menguraikan kerugian konstitusional para Pemohon atas berlakunya Pasal 222, Pasal 223 ayat (1) dan ayat (3) UU 7/2017, selanjutnya pada bagian alasan pengajuan permohonan (Posita), para Pemohon menyebutkan pokok permasalahan yang dilakukan pengujiannya adalah terhadap Pasal 222 dan Pasal 223 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 7/2017 [vide Perbaikan Permohonan para Pemohon angka 40 halaman 26], namun uraian keseluruhan terkait dengan pengujian Pasal 223 a quo hanya berisikan uraian terkait dengan alasan pengujian terhadap Pasal 223 ayat (1) dan ayat (3) UU 7/2017 saja;
[3.7.3] Bahwa selain ketidakkonsistenan sebagaimana dijelaskan di atas, pada bagian Petitum Permohonan angka 3, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 223 sepanjang frasa “sesuai mekanisme internal partai politik yang bersangkutan” dan frasa “sesuai dengan mekanisme internal Partai Politik dan/atau musyawarah Gabungan Partai Politik” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Para Pemohon tidak menyebutkan secara rinci pada bagian mana (ayat berapa) dari Pasal 223 a quo yang dimintakan pembatalannya, hal demikian menjadikan apa yang dimintakan oleh para Pemohon menjadi tidak jelas dikarenakan ketentuan Pasal 223 a quo terdiri dari 4 (empat) ayat;
[3.7.4] Bahwa para Pemohon juga dalam Petitum angka 4 meminta kepada Mahkamah untuk menyatakan Penjelasan Pasal 223 UU 7/2017 sepanjang frasa “cukup jelas” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dalam permohonan tersebut, para Pemohon tidak menguraikan alasanalasan permohonan untuk membatalkan ketentuan Penjelasan Pasal 223 a quo. Terhadap permohonan para Pemohon tersebut, menurut Mahkamah, fungsi dari Penjelasan adalah sebagai tafsir resmi pembentuk peraturan perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh, sebagaimana tertuang dalam Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menerangkan bahwa Penjelasan dari suatu pasal atau ayat dalam undang-undang merupakan sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh dan tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksudnya. Dituliskannya frasa “Cukup jelas” dalam Penjelasan Pasal 223 UU 7/2017 karena pembentuk undang-undang menganggap rumusan Pasal 223 a quo sudah cukup jelas atau tidak memerlukan penjelasan lagi baik terhadap kata, frasa, kalimat, atau padanan kata maupun istilah yang terdapat dalam ketentuan Pasal 223 a quo. Oleh karena itu, permohonan para Pemohon yang meminta pembatalan terhadap Penjelasan Pasal 223 UU 7/2017 yang oleh pembentuk peraturan perundang-undangan dinyatakan telah cukup jelas tanpa disertai dengan argumentasi mengapa frasa tersebut dimintakan bertentangan dengan UUD 1945, hal demikian menurut Mahkamah adalah permohonan yang tidak jelas atau kabur, terlebih lagi terhadap permohonan para Pemohon tersebut Majelis Hakim Panel telah memberikan nasihat namun para Pemohon tetap pada pendiriannya;
[3.7.5] Bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah, permohonan para Pemohon sepanjang pengujian konstitusionalitas Pasal 223 UU 7/2017 adalah kabur atau tidak jelas. Oleh karena itu, Mahkamah tidak mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon dan pokok permohonan;
[3.8] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, para Pemohon sepanjang pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017 tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo dan permohonan para Pemohon sepanjang pengujian konstitusionalitas Pasal 223 adalah kabur atau tidak jelas; [3.9] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo sepanjang pengujian Pasal 222 UU 7/2017 dan permohonan para Pemohon tidak jelas atau kabur sepanjang pengujian Pasal 223 UU 7/2017, Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan;

INFO JUDICIAL REVIEW KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 45/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-05-2022

Robert Mandala Yasin, yang memberi kuasa kepada Ricky K. Margono, S.H., MH., dkk., pada Firma Hukum Margono-Surya & Patners, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

pengujian Pasal 37 angka 5 UU Cipta Kerja perubahan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan

Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian secara materiil Pasal 37 angka 5 UU Cipta Kerja perubahan Pasal 17 ayat (1) huruf a UU 18/2013 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

c. bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima surat dari Pemohon Nomor 027/MSP/V/2022, bertanggal 9 Mei 2022, perihal Surat Permohonan Pencabutan Permohonan Perkara PUU Nomor 45/PUU-XX/2022, yang diterima oleh Mahkamah pada 9 Mei 2022, pukul 19.58 WIB;
d. bahwa Mahkamah Konstitusi telah menyelenggarakan Sidang Pemeriksaan Pendahuluan untuk mendengarkan perbaikan permohonan Pemohon terhadap permohonan a quo pada 10 Mei 2022. Pada Sidang Panel tersebut, setelah Mahkamah melakukan klarifikasi kepada Pemohon berkaitan dengan surat pencabutan atau penarikan perkara a quo, Pemohon melalui kuasanya membenarkan telah mengajukan pencabutan terhadap Permohonan a quo;
e. bahwa terhadap penarikan kembali permohonan Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa “penarikan kembali mengakibatkan Permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali”;
f. bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf f di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada 11 Mei 2022 berkesimpulan bahwa pencabutan atau penarikan kembali permohonan Perkara Nomor 45/PUU-XX/2022 adalah beralasan menurut hukum dan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo;
g. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf g di atas, memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada Pemohon.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Penarikan Kembali Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dikabulkan Oleh Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-05-2022

Moch. Ojat Sudrajat S, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 4 ayat (1) huruf d UU Administrasi Pemerintahan

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap Ketetapan dalam Pengujian UU Administrasi Pemerintahan, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum pada pokoknya sebagai berikut:

[3.1] …
[3.5] Bahwa pada 20 Mei 2022 Mahkamah menerima Surat Pemohon Nomor 038/Pri-MK/V/2022 perihal Permohonan Pencabutan Perkara Nomor 46/PUU-XX/2022, bertanggal 20 Mei 2022;
[3.6] Bahwa pada 23 Mei 2022 Mahkamah tetap melaksanakan sidang dengan agenda menerima perbaikan permohonan Pemohon dan dalam persidangan tersebut Pemohon menyatakan mencabut atau menarik kembali permohonannya sebagaimana surat Pemohon Nomor 038/Pri-MK/V/2022 yang sebelumnya telah disampaikan kepada Kepaniteraan Mahkamah;
[3.7] Bahwa terhadap penarikan kembali permohonan Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan Permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali;
[3.8] Bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 3.7 di atas, RPH pada 23 Mei 2022 telah menetapkan bahwa pencabutan atau penarikan kembali permohonan Perkara Nomor 46/PUU-XX/2022 adalah beralasan menurut hukum dan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo;
[3.9] Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum pada huruf h di atas, Mahkamah memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada Pemohon.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dinyatakan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 47/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN FORMIL UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2022 TENTANG IBU KOTA NEGARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-05-2022

Ir. Mulak Sihotang, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

-

-

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian formil UU 3/2022 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.4.3.2] Menimbang bahwa Pemohon pada pokoknya mengajukan pengujian formil terhadap UU 3/2022, namun pada bagian kedudukan hukum, Pemohon tidak menguraikan dengan jelas hak konstitusional Pemohon yang dirugikan akibat pembentukan UU 3/2022. Pemohon hanya menyebutkan pasal dalam UUD 1945 yang dianggap merugikan hak konstitusionalnya. Uraian pada bagian kedudukan hukum berisi sejumlah argumentasi yang tidak relevan dengan anggapan kerugian konstitusional Pemohon, sehingga uraian tersebut tidak dapat menjelaskan adanya keterkaitan norma a quo dengan aktual atau potensial kerugian Pemohon.

[3.7.1] Bahwa Pemohon pada bagian alasan permohonan (posita), Pemohon tidak menguraikan dengan jelas dan terperinci mengenai di mana letak persoalan konstitusionalitas proses pembentukan UU 3/2022 yang dianggap tidak memenuhi persyaratan formil pembentukan UU 3/2022. Pemohon hanya menguraikan mengenai hal-hal yang menurut Pemohon seharusnya dipertimbangkan dalam proses pembentukan UU 3/2022. Hal itu menurut Mahkamah, tidak relevan untuk dijadikan argumentasi dalam mempersoalkan proses pembentukan UU 3/2022.

[3.7.2] Bahwa pemohon pada bagian Petitum angka 2 Pemohon memohonkan pengujian formil UU 3/2022 yang bertentangan dengan UUD 1945, namun dalam Petitum angka 3 permohonannya Pemohon justru memohon agar Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat 21 (8), Pasal 4, Pasal 5 ayat (4) UU 3/2022 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 tanpa menguraikan sama sekali anggapan kerugian konstitusionalnya karena berlakunya norma Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (8), Pasal 4, Pasal 5 ayat (4) UU 3/2022. Pada bagian posita, Pemohon juga tidak menguraikan alasan pertentangan norma pasal-pasal a quo dengan UUD 1945.

Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah permohonan Pemohon tidak jelas pada bagian kedudukan hukum, posita, dan petitum. Dengan demikian, secara keseluruhan permohonan Pemohon tidak jelas (kabur).

[3.5] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan permohonan pengujian formil diajukan masih dalam tenggang waktu, namun oleh karena permohonan Pemohon tidak jelas (kabur) maka Mahkamah tidak mempertimbangkan lebih lanjut mengenai kedudukan hukum dan pokok permohonan Pemohon.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dinyatakan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 48/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN FORMIL UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2022 TENTANG IBU KOTA NEGARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-05-2022

H Damai Hari Lubis, S.H., M.H., (pengacara dan aktivis organisasi kemanusian) yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Arvid Martdwisaktyo, S.H., M. Kn, dkk. yang merupakan advokat yang tergabung dalam Tim Advokasi Aliansi Anak Bangsa, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

-

-

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian aspek formil dalam proses pembentukan UU 3/2022 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.4] Menimbang bahwa meskipun permohonan a quo menjadi kewenangan Mahkamah dan permohonan diajukan masih dalam tenggang waktu pengajuan permohonan, namun sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut mengenai kedudukan hukum Pemohon dan pokok permohonan dalam pengujian formil, Mahkamah perlu terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
[3.4.2] Bahwa Pemohon telah melakukan perbaikan permohonannya dan diterima Kepaniteraan Mahkamah pada 9 Mei 2022 yang kemudian disampaikan pokok-pokok perbaikan permohonannya dalam sidang pemeriksaan pendahuluan dengan agenda memeriksa perbaikan permohonan pada 11 Mei 2022.
Bahwa setelah mempelajari secara saksama perbaikan permohonan Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
1. Berkenaan dengan syarat permohonan pengujian undang-undang, Pasal 51A ayat (2) UU MK menyatakan:
Uraian mengenai hal yang menjadi dasar Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b untuk perkara Permohonan pengujian undang-undang meliputi:
a. kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian;
b. kedudukan hukum pemohon yang berisi uraian tentang hak dan/atau kewenangan konstitusi pemohon yang dianggap dirugikan dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk dilakukan pengujian; dan
c. alasan Permohonan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b diuraikan dengan jelas dan terperinci.
Terhadap hal tersebut, selanjutnya Pasal 10 ayat (2) huruf b PMK 2/2021 menyatakan:
Permohonan yang diajukan oleh Pemohon dan/atau kuasa hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
b. uraian yang jelas mengenai:
1. kewenangan Mahkamah, yang memuat penjelasan mengenai kewenangan Mahkamah dalam mengadili perkara PUU sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan serta objek permohonan;
2. kedudukan hukum Pemohon, yang memuat penjelasan mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dianggap dirugikan dengan berlakunya undang-undang atau Perppu yang dimohonkan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4; dan
3. alasan permohonan, yang memuat penjelasan mengenai pembentukan undang-undang atau Perppu yang tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang atau Perppu berdasarkan UUD 1945 dan/atau bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang atau Perppu bertentangan dengan UUD 1945.
2. Pemohon pada bagian kedudukan hukum tidak dapat menguraikan dengan jelas persoalan pertautan potensi kerugian Pemohon dengan adanya dugaan persoalan konstitusionalitas dalam proses pembentukan UU 3/2022. Uraian pada bagian kedudukan hukum hanya menjelaskan mengenai kerugian Pemohon sebagai advokat yang memiliki hak untuk melakukan kontrol/monitoring atas setiap kebijakan publik yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Dengan berpindahnya ibu kota negara yang letak geografisnya sangat jauh dari kehidupan masyarakat perkotaan yang modern sangat dimungkinkan sulitnya mengakses informasi. Oleh karenanya segala kebijakan yang akan diambil dalam mengelola pemerintahan nantinya tidak bersifat terbuka. Kerugian demikian menurut Mahkamah tidaklah relevan dijadikan alasan dalam kaitannya dengan proses pembentukan sebuah undang-undang dalam menjelaskan kedudukan hukumnya. Oleh karena uraian tersebut tidak menjelaskan adanya keterkaitan mengenai kerugian pembentukan undang-undang a quo dengan anggapan kerugian Pemohon baik secara aktual maupun potensial. Dengan demikian, menurut Mahkamah terdapat ketidakjelasan dalam uraian mengenai kedudukan hukum Pemohon.
3. Pada bagian alasan permohonan (posita), Pemohon tidak menguraikan mengenai di mana letak persoalan konstitusionalitas proses pembentukan UU 3/2022 yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Pemohon hanya menguraikan mengenai sejumlah argumentasi yang bersifat umum, yaitu hanya menyebutkan hal-hal yang bersifat pokok tanpa menguraikan secara rinci alasan pertentangannya dengan UUD 1945. Antara lain, misalnya, argumentasi berkenaan dengan pembahasan rancangan UU 3/2022 yang terlalu cepat karena hanya butuh waktu 42 hari, Pemohon di dalam positanya tidak menguraikan lebih lanjut mengenai pada pembahasan tingkat mana yang dianggap cepat dan bagaimana proses yang sudah dilakukan dalam tahapan pembahasan UU 3/2022, sehingga menyimpulkan pembahasan rancangan undang-undang a quo cepat. Kemudian berkenaan dengan argumentasi adanya 13 perintah pendelegasian kewenangan pengaturan dalam peraturan pelaksana UU 3/2022 yang seharusnya menjadi materi muatan undang-undang, Pemohon di dalam positanya juga tidak menyebutkan pasal-pasal mana saja dalam UU 3/2022 yang merupakan perintah pendelegasian yang seharusnya dimuat dalam undang-undang. Selain itu, berkenaan dengan argumentasi minimnya partisipasi masyarakat, Pemohon juga tidak menguraikan lebih lanjut mengenai uraian pihak-pihak yang telah didengar pendapatnya sehingga menyimpulkan bahwa pembentukan rancangan undang-undang a quo minim partisipatif, sehingga menurut Mahkamah, posita yang demikian menjadi tidak relevan bagi Mahkamah untuk menilainya.
Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah permohonan Pemohon tidak jelas pada bagian kedudukan hukum dan pokok permohonan. Dengan demikian, secara keseluruhan permohonan Pemohon adalah tidak jelas (kabur).
[3.5] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan permohonan diajukan masih dalam tenggang waktu pengajuan permohonan, namun oleh karena permohonan Pemohon adalah tidak jelas (kabur), maka Mahkamah tidak mempertimbangkan lebih lanjut mengenai kedudukan hukum dan pokok permohonan Pemohon.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 50/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG MERK DAN INDIKASI GEOGRAFIS TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-05-2022

Djunatan Prambudi, dalam hal ini memberikan kuasa kepada Leonardo Siahaan dan Fransiscus Arian Sinaga, S.H., untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 21 ayat (1) UU 20/2016

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 20/2016 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.3.2] Bahwa dalam Sidang Pemeriksaan Pendahuluan tanggal 26 April 2022 tersebut dihadiri oleh para penerima kuasa yaitu Leonardo Siahaan dan Fransiscus Arian Sinaga, S.H. tanpa dihadiri oleh pemberi kuasa. Dalam persidangan a quo, Majelis Hakim telah menasihati para penerima kuasa untuk memperbaiki surat kuasa dan permohonannya. Sebab, dalam surat kuasa bertanggal 8 Maret 2022 tersebut pemberi kuasa hanya memberikan kuasa kepada penerima kuasa secara terbatas, yaitu hanya memberikan kewenangan untuk membuat permohonan pengujian, memanggil ahli, dan membuat kesimpulan. Sedangkan, pada bagian pokok permohonan Majelis Hakim telah menasihati untuk dilakukan perbaikan, khususnya pada bagian petitum agar dibuat sesuai dengan posita yaitu terbatas pada frasa yang dianggap merugikan hak konstitusional Pemohon sehingga tidak terjadi pertentangan antara posita dengan petitum. [vide bukti P-1 dan risalah sidang Perkara Nomor 50/PUU-XX/2022, tanggal 26 April 2022];
[3.3.3] Bahwa Pemohon menyerahkan perbaikan permohonan bertanggal 8 Maret 2022 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 9 Mei 2022 berdasarkan Tanda Terima Nomor 42-2/PUU/PAN.MK/AP3, namun tidak menyerahkan perbaikan surat kuasa. Selanjutnya, pada Sidang Pemeriksaan Pendahuluan dengan agenda Perbaikan Permohonan, tanggal 17 Mei 2022, yang juga hanya dihadiri oleh para penerima kuasa tanpa dihadiri pemberi kuasa, Mahkamah telah meminta klarifikasi kepada para penerima kuasa berkenaan dengan perbaikan surat kuasa dimaksud. Dalam persidangan tersebut para penerima kuasa menjelaskan, bahwa permohonan sudah diperbaiki termasuk surat kuasanya sebagaimana nasihat Majelis Hakim pada Sidang Pemeriksaan Pendahuluan tanggal 26 April 2022, namun untuk perbaikan surat kuasanya belum diserahkan kepada Mahkamah. Terhadap hal tersebut, Mahkamah meminta kepada para penerima kuasa untuk membacakan dan menunjukkan perbaikan surat kuasa dimaksud dalam persidangan melalui daring. Selanjutnya, setelah para penerima kuasa menunjukkan perbaikan surat kuasa yang dimaksudkan, setelah dicermati ternyata surat kuasa khusus yang dimaksudkan belum dibubuhi meterai dan belum ditandatangani oleh kedua belah pihak, yaitu pemberi kuasa maupun penerima kuasa [vide risalah sidang Perkara Nomor 50/PUU-XX/2022, tanggal 17 Mei 2022].

[3.3.4] Bahwa berdasarkan uraian fakta hukum pada Sub-paragraf [3.3.3] di atas, Mahkamah berpendapat, kehadiran para penerima kuasa pada persidangan di Mahkamah tidak didasarkan pada surat kuasa yang memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan, khususnya yang ditentukan dalam Pasal 7 ayat (2) PMK 2/2021. Sebab, surat kuasa yang ditunjukkan dalam persidangan melalui daring pun belum dibubuhi meterai dan tanda tangan para pihak, yaitu pemberi kuasa dan penerima kuasa sebagai syarat sahnya secara formil surat kuasa. Demikian halnya apabila Mahkamah merujuk pada surat kuasa awal yang belum diperbaiki, yaitu surat kuasa bertanggal 8 Maret 2022, sebagaimana fakta hukum yang ada, telah ternyata surat kuasa awal tersebut pemberi kuasa hanya memberikan kuasa secara terbatas kepada para penerima kuasa yaitu hanya memberikan kewenangan untuk membuat permohonan pengujian, memanggil ahli, dan membuat kesimpulan tanpa memberikan kewenangan lainnya, khususnya untuk menghadiri persidangan dan menyampaikan permohonan Pemohon. Dengan demikian, menurut Mahkamah, para penerima kuasa tidak mempunyai kewenangan untuk mewakili kepentingan pemberi kuasa dalam persidangan untuk Perkara Nomor 50/PUU-XX/2022 a quo.
[3.3.5] Bahwa andaipun para penerima kuasa mempunyai kewenangan untuk mewakili kepentingan pemberi kuasa dalam persidangan untuk Perkara Nomor 50/PUU-XX/2022 tersebut, quod non, setelah Mahkamah mencermati petitum permohonan Pemohon ternyata petitum yang disampaikan dalam perbaikan permohonan terdapat kerancuan yaitu bersifat kumulatif yang saling bertentangan, karena pada petitum angka 2, Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 21 ayat (1) UU 20/2016 bertentangan dengan UUD 1945, sedangkan pada petitum angka 3 Pemohon memohon agar Mahkamah memaknai frasa “Permohonan ditolak jika Merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya” dalam Pasal 21 ayat (1) UU 20/2016 secara bersyarat (conditionally constitutional) menjadi “Permohonan ditolak jika Merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan melihat merek tersebut sebagai satu kesatuan yang utuh dan tidak memandang merek tersebut secara sebagian-sebagian atau memecahkan merek tersebut secara kata demi kata”. Terhadap petitum tersebut, menurut Mahkamah, pada satu sisi Pemohon memohon agar Pasal 21 ayat (1) UU 20/2016 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, namun pada sisi lain memohon kepada Mahkamah untuk memberikan pemaknaan terhadap Pasal 21 ayat (1) UU 20/2016 secara bersyarat (conditionally constitutional). Oleh karena itu, berdasarkan fakta hukum tersebut, Mahkamah tidak mungkin mengabulkan dua petitum yang saling bertentangan dimaksud, kecuali Pemohon dalam petitum permohonannya memohon secara alternatif.
[3.4] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan Pemohon, namun oleh karena para penerima kuasa tidak mempunyai kewenangan untuk mewakili kepentingan pemberi kuasa dalam persidangan untuk Perkara Nomor 50/PUU- XX/2022 a quo dan seandainyapun surat kuasa memenuhi syarat formil, quod non, telah ternyata permohonan Pemohon tidak jelas (kabur), sehingga Mahkamah tidak mempertimbangkan kedudukan hukum dan pokok permohonan Pemohon serta hal- hal lain lebih lanjut.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dinyatakan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 53/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN FORMIL UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2022 TENTANG IBU KOTA NEGARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-05-2022

Anah Mardianah (guru), dalam hal ini memberikan kuasa kepada janses E. Sihaloho, dkk, advokat dan konsultan hukum yang tergabung dalam Sihaloho & Co. Law Firm, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

-

-

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian formil UU 3/2022 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon adalah pengujian formil undang-undang, in casu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6766, selanjutnya disebut UU 3/2022) terhadap UUD 1945, maka Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, dan selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan keterpenuhan tenggang waktu pengujian fomil.

[3.3] Menimbang bahwa terkait dengan tenggang waktu pengajuan permohonan pengujian formil, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
1 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009, bertanggal 16 Juni 2010, Paragraf [3.34] menyatakan:
“Menimbang bahwa terlepas dari putusan dalam pokok permohonan a quo Mahkamah memandang perlu untuk memberikan batasan waktu atau tenggat suatu Undang-Undang dapat diuji secara formil. Pertimbangan pembatasan tenggat ini diperlukan mengingat karakteristik dari pengujian formil berbeda dengan pengujian materiil. Sebuah Undang-Undang yang dibentuk tidak berdasarkan tata cara sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945 akan dapat mudah diketahui dibandingkan dengan Undang-Undang yang substansinya bertentangan dengan UUD 1945. Untuk kepastian hukum, sebuah Undang-Undang perlu dapat lebih cepat diketahui statusnya apakah telah dibuat secara sah atau tidak, sebab pengujian secara formil akan menyebabkan Undang-Undang batal sejak awal. Mahkamah memandang bahwa tenggat 45 (empat puluh lima) hari setelah Undang-Undang dimuat dalam Lembaran Negara sebagai waktu yang cukup untuk mengajukan pengujian formil terhadap Undang-Undang;”

2 Bahwa Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 15/2019) menyatakan:
“Pengundangan adalah penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, atau Berita Daerah.”

3 Bahwa berkenaan dengan hal di atas, berdasarkan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XX/2022, tanggal 20 April 2022, pada Paragraf [3.3] angka 3 sampai dengan angka 5 yang menyatakan pada pokoknya sebagai berikut:
“3. Bahwa merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUUVII/2009 tersebut di atas, yang dimaksud dengan frasa “45 (empat puluh lima) hari setelah Undang-Undang dimuat dalam Lembaran Negara sebagai waktu yang cukup untuk mengajukan pengujian formil terhadap Undang-Undang” kemudian dipertegas dalam Pasal 9 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang adalah “Permohonan pengujian formil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) diajukan dalam jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima) hari sejak undang-undang atau Perppu diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia; 4. Bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan pengujian formil UU 7/2021 ke Mahkamah Konstitusi pada 21 Januari 2022 berdasarkan Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 10/PUU/PAN.MK/ AP3/01/2022 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) pada 26 Januari 2022 dengan Nomor 14/PUUXX/2022; 5. Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut di atas, oleh karena UU 7/2021 diundangkan pada 29 Oktober 2021, maka tenggat 45 hari sejak Undang-Undang a quo diundangkan dalam Lembaran Negara adalah pada 12 Desember 2021. Dengan demikian, permohonan pengujian formil UU 7/2021 yang diajukan oleh Pemohon dalam permohonan bertanggal 21 Januari 2022 diajukan melewati tenggang waktu pengajuan permohonan yang ditentukan sebagaimana ditentukan oleh angka 1 dan angka 3 di atas”.

4 Bahwa berdasarkan fakta hukum sebagaimana diuraikan pada angka 3 terdapat dua peristilahan terkait dengan waktu pengajuan 45 (empat puluh lima) hari pengujian formil yaitu “setelah” dan “sejak” suatu undang-undang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia;

5 Bahwa berkenaan dengan pengajuan permohonan pengujian secara formil yang diajukan “sejak” undang-undang yang dimohonkan pengujian formil diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia menurut Mahkamah untuk memberikan kepastian hukum dalam mengajukan permohonan pengujian formil undang-undang terhadap UUD 1945. Apabila pengajuan permohonan pengujian formil undang-undang terhadap UUD 1945 diajukan “setelah” diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia dapat atau berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab, meskipun makna “setelah” dapat ditafsirkan sebagai sesaat setelah undang-undang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, namun dapat pula ditafsirkan setelah beberapa waktu kemudian. Hal demikian berbeda dengan makna “sejak” yang bersifat lebih pasti dan konkret yaitu penghitungan berlaku sejak saat undang-undang tersebut diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indoensia. Oleh karena itu, Mahkamah berpendirian pengajuan permohonan pengujian formil undang-undang terhadap UUD 1945 diajukan dalam waktu 45 hari “sejak” undang-undang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 9 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XX/2022, tanggal 20 April 2022;

6 Bahwa Pemohon menerangkan telah mengajukan permohonan pengujian formil UU 3/2022 ke Mahkamah Konstitusi pada 31 Maret 2022. Namun, setelah Mahkamah mencermati telah ternyata permohonan Pemohon diajukan ke Mahkamah Konstitusi pada 1 April 2022 sebagaimana Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 48/PUU/PAN.MK/AP3/04/2022 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) pada 7 April 2022 dengan Nomor 53/PUU-XX/2022. Sementara itu, UU 3/2022 diundangkan pada tanggal 15 Februari 2022 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6766, maka dengan demikian permohonan Pemohon diajukan pada hari ke 46 (empat puluh enam) sejak UU 3/2022 diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 41 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6766;

7 Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut di atas, oleh karena itu permohonan Pemohon berkaitan dengan pengujian formil UU 3/2022 terhadap UUD 1945 diajukan telah melewati tenggang waktu 45 (empat puluh lima) hari sejak UU 3/2022 diundangkan. Dengan demikian, permohonan Pemohon adalah tidak memenuhi syarat tenggang waktu dalam pengajuan pengujian formil di Mahkamah Konstitusi.

[3.4] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon diajukan melewati tenggang waktu pengajuan permohonan maka kedudukan hukum dan pokok permohonan Pemohon, serta hal-hal lainnya tidak dipertimbangkan.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Formil Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 54/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN FORMIL UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2022 TENTANG IBU KOTA NEGARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-05-2022

Muhammad Busyro Muqoddas; Dr. Trisno Raharjo, S.H., M.Hum; Yati Dahlia; Dwi Putri Cahyawati; Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang diwakili oleh Rukka Sombolinggi; dan Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) yang diwakili oleh Zenzi Suhadi dan M.Ishlah, yang dalam hal ini memberikan kuasa khusus kepada Ahmad Fauzi, S.H., Alif Fauzi Nurwidiastomo, S.H., Aprillia Lisa Tengker, S.H., dkk, yang merupakan para Advokat dan Pembela Hukum Publik yang tergabung dalam Tim Advokasi UU IKN, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon

-

-

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian formil UU IKN dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.3] Menimbang bahwa terkait dengan tenggang waktu pengajuan permohonan pengujian formil, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009, bertanggal 16 Juni 2010, Paragraf [3.34] menyatakan:
“Menimbang bahwa terlepas dari putusan dalam pokok permohonan a quo Mahkamah memandang perlu untuk memberikan batasan waktu atau tenggat suatu Undang-Undang dapat diuji secara formil. Pertimbangan pembatasan tenggat ini diperlukan mengingat karakteristik dari pengujian formil berbeda dengan pengujian materiil. Sebuah Undang-Undang yang dibentuk tidak berdasarkan tata cara sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945 akan dapat mudah diketahui dibandingkan dengan Undang-Undang yang substansinya bertentangan dengan UUD 1945. Untuk kepastian hukum, sebuah Undang-Undang 41 perlu dapat lebih cepat diketahui statusnya apakah telah dibuat secara sah atau tidak, sebab pengujian secara formil akan menyebabkan Undang-Undang batal sejak awal. Mahkamah memandang bahwa tenggat 45 (empat puluh lima) hari setelah Undang-Undang dimuat dalam Lembaran Negara sebagai waktu yang cukup untuk mengajukan pengujian formil terhadap Undang-Undang;”
2. Bahwa Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 15/2019) menyatakan:
“Pengundangan adalah penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, atau Berita Daerah.”
3. Bahwa berkenaan dengan hal di atas, berdasarkan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XX/2022, tanggal 20 April 2022, pada Paragraf [3.3] angka 3 sampai dengan angka 5 yang menyatakan pada pokoknya sebagai berikut:
“3. Bahwa merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUUVII/2009 tersebut di atas, yang dimaksud dengan frasa “45 (empat puluh lima) hari setelah Undang-Undang dimuat dalam Lembaran Negara sebagai waktu yang cukup untuk mengajukan pengujian formil terhadap Undang-Undang” kemudian dipertegas dalam Pasal 9 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang adalah “Permohonan pengujian formil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) diajukan dalam jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima) hari sejak undang-undang atau Perppu diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia;
4. Bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan pengujian formil UU 7/2021 ke Mahkamah Konstitusi pada 21 Januari 2022 berdasarkan Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 10/PUU/PAN.MK/ AP3/01/2022 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) pada 26 Januari 2022 dengan Nomor 14/PUUXX/2022;
5. Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut di atas, oleh karena UU 7/2021 diundangkan pada 29 Oktober 2021, maka tenggat 45 hari sejak Undang-Undang a quo diundangkan dalam Lembaran Negara adalah pada 12 Desember 2021. Dengan demikian, permohonan pengujian formil UU 7/2021 yang diajukan oleh Pemohon dalam permohonan bertanggal 21 Januari 2022 diajukan melewati tenggang waktu pengajuan permohonan yang ditentukan sebagaimana ditentukan oleh angka 1 dan angka 3 di atas”.
4. Bahwa berdasarkan fakta hukum sebagaimana diuraikan pada angka 3 terdapat dua peristilahan terkait dengan waktu pengajuan 45 (empat puluh lima) hari pengujian formil yaitu “setelah” dan “sejak” suatu undang-undang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia;
5. Bahwa berkenaan dengan pengajuan permohonan pengujian secara formil yang diajukan “sejak” undang-undang yang dimohonkan pengujian formil diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia menurut Mahkamah untuk memberikan kepastian hukum dalam mengajukan permohonan pengujian formil undang-undang terhadap UUD 1945. Apabila pengajuan permohonan pengujian formil undang-undang terhadap UUD 1945 diajukan “setelah” diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia dapat atau berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab, meskipun makna “setelah” dapat ditafsirkan sebagai sesaat setelah undang-undang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, namun dapat pula ditafsirkan setelah beberapa waktu kemudian. Hal demikian berbeda dengan makna “sejak” yang bersifat lebih pasti dan konkret yaitu penghitungan berlaku sejak saat undang-undang tersebut diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, Mahkamah berpendirian pengajuan permohonan pengujian formil undang-undang terhadap UUD 1945 diajukan dalam waktu 45 hari “sejak” undang-undang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 9 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XX/2022, tanggal 20 April 2022;
6. Bahwa dalam Perkara a quo, para Pemohon mengajukan permohonan pengujian formil UU 3/2022 ke Mahkamah Konstitusi pada 1 April 2022 berdasarkan Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 49/PUU/PAN.MK/ AP3/04/2022 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) pada 7 April 2022 dengan Nomor 54/PUU-XX/2022. Sementara itu, 43 UU 3/2022 diundangkan pada tanggal 15 Februari 2022 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6766, maka dengan demikian permohonan para Pemohon diajukan pada hari ke 46 (empat puluh enam) sejak UU 3/2022 diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 41 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6766;
7. Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut di atas, oleh karena itu permohonan para Pemohon berkaitan dengan pengujian formil UU 3/2022 terhadap UUD 1945 diajukan telah melewati tenggang waktu 45 (empat puluh lima) hari sejak UU 3/2022 diundangkan. Dengan demikian, permohonan para Pemohon adalah tidak memenuhi syarat formil pengajuan permohonan pengujian formil di Mahkamah Konstitusi.
[3.4] Menimbang bahwa oleh karena permohonan pengujian formil para Pemohon diajukan melewati tenggang waktu pengajuan permohonan maka kedudukan hukum dan pokok permohonan pengujian formil para Pemohon, serta hal-hal lainnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Penarikan Kembali Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dikabulkan Oleh Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 55/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-05-2022

Perkumpulan Maha Bidik Indonesia yang diwakili oleh Moch Ojat Sudrajat S, Hapid, S.HI., M.H., dan Muhamad Madroni (selaku Ketua, Sekretaris dan Bendahara Perkumpulan Maha Bidik Indonesia), untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 71 ayat (2) UU 10/2016

Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 71 ayat (2) UU 10/2016 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
a. bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan, bertanggal 29 Maret 2022, dari Perkumpulan Maha Bidik Indonesia yang diwakili oleh Moch Ojat Sudrajat S, Hapid, S.Hi., M.H., dan Muhamad Madroni (selaku Ketua, Sekretaris dan Bendahara Perkumpulan Maha Bidik Indonesia), yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada 30 Maret 2022 berdasarkan Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 47/PUU/PAN.MK/AP3/03/2022 dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dengan Nomor 55/PUU-XX/2022 pada 18 April 2022, perihal permohonan pengujian Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK), terhadap Permohonan Nomor 55/PUU-XX/2022 tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1) Ketetapan Mahkamah Konstitusi Nomor 55.55/PUU/ TAP.MK/Panel/04/2022 tentang Pembentukan Panel Hakim Konstitusi Untuk Memeriksa Permohonan Perkara Nomor 55/PUU-XX/2022, bertanggal 18 April 2022;
2) Ketetapan Ketua Panel Hakim Konstitusi Nomor 55.55/ PUU/TAP.MK/HS/04/2022 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama Perkara Nomor 55/PUU-XX/2022, bertanggal 18 April 2022;
3) Ketetapan Ketua Panel Hakim Konstitusi Nomor 55.1.55/ PUU/TAP.MK/HS/05/2022 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama Perkara Nomor 55/PUU-XX/2022, bertanggal 9 Mei 2022;

c. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 34 UU MK Mahkamah telah menyelenggarakan Sidang Panel Pemeriksaan Pendahuluan pada tanggal 10 Mei 2022, namun Pemohon mengirimkan surat permohonan penundaan sidang bertanggal 09 Mei 2022, berdasarkan permohonan tersebut Mahkamah menunda persidangan perkara a quo dan kemudian Mahkamah menjadwalkan kembali Sidang Panel Pemeriksaan Pendahuluan yang diselenggarakan pada tanggal 19 Mei 2022 yang dihadiri oleh kuasa hukumnya, Faturohman, S.H., M.H. (vide surat kuasa bertanggal 18 Mei 2022). Terhadap permohonan a quo melalui Sidang Panel pada 19 Mei 2022 dan sesuai dengan Pasal 39 UU MK dan Pasal 41 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, Panel Hakim telah memberikan nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 55/PUU-XX/2022, tanggal 19 Mei 2022];

d. bahwa dalam tenggang waktu perbaikan permohonan yang diberikan oleh Mahkamah, Pemohon justru menyampaikan surat kepada Mahkamah bertanggal 20 Mei 2022, perihal Permohonan Pencabutan Pengujian Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi UndangUndang (Perkara Nomor 55/PUU-XX/2022);

e. bahwa terhadap penarikan kembali permohonan Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan Permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali;

f. bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf e di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada 23 Mei 2022 telah berkesimpulan pencabutan atau penarikan kembali permohonan Nomor 55/PUU-XX/2022 adalah beralasan menurut hukum dan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali Permohonan a quo. Oleh karena itu, Rapat Permusyawaratan Hakim memerintahkan kepada Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat pencabutan atau penarikan kembali permohonan Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada Pemohon;

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 22/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 1947 TENTANG PERATURAN PERADILAN ULANGAN DI JAWA DAN MADURA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-04-2022

Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, S.H. yang memberikan kuasa kepada Faisal Al Haq Harahap. S.H., Leon Maulana, Mirza Pasha,S.H., Hans Poliman, S.H., Ni Komang Tari Padmawati, Ramadhini Silfi Adisty, S.H., Sherly Angelina Chandra, S.H., Alya Fakhira, Asima Romanian Angelina, dan Dixon Sajaya, S.H., tim pada kantor hukum Leo & Partners,untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 7 ayat (1) UU 20/1947

Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (4) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 7 ayat (1) UU 20/1947 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.10] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca dan memeriksa dengan saksama permohonan Pemohon dan bukti-bukti yang diajukan, permasalahan konstitusionalitas norma yang dimohonkan oleh Pemohon dalam Permohonan a quo adalah berkenaan dengan Pasal 7 ayat (1) UU 20/1947.
Untuk menjawab masalah konstitusional di atas, terlebih dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan sebagai berikut:
Bahwa dalam konteks penegakan hukum ada tiga unsur fundamental yang menjadi titik tolak keberhasilan yaitu kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Terkait dengan kepastian hukum erat hubungan dengan adanya jaminan perlindungan hukum terhadap masyarakat atas tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh negara dalam menjalankan kekuasaannya. Sementara itu berkenaan dengan keadilan adalah adanya nilai keseimbangan atas persamaan hak dan kewajiban di depan hukum. Sedangkan berkaitan dengan kemanfaatan adalah terciptanya manfaat atau kegunaan yang sebesar-besarnya untuk masyarakat yang memberikan rasa tertib, tenteram, dan bahagia atas adanya kepastian hukum dan keadilan. Demikian halnya dalam perspektif putusan badan peradilan, dalam praktik, implementasi ketiga unsur tersebut acapkali masih menimbulkan persoalan sehingga diperlukan adanya upaya hukum guna mendapatkan sebuah putusan badan peradilan yang dapat memenuhi ketiga unsur tersebut di atas.
Bahwa upaya hukum (rechtsmiddel) merupakan upaya yang diberikan oleh hukum, dalam hal ini peraturan perundang-undangan, kepada seseorang dalam suatu hal tertentu untuk melakukan perlawanan terhadap putusan hakim (pengadilan). Secara doktriner dalam ilmu hukum dikenal ada dua upaya hukum yaitu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum biasa adalah hak perlawanan yang meliputi banding atau ulangan dan kasasi, sedangkan upaya hukum luar biasa meliputi peninjauan kembali, kecuali undang-undang secara khusus menentukan upaya hukum secara terbatas. Upaya hukum banding atau ulangan merupakan upaya hukum biasa yang diberikan oleh undang-undang kepada para pihak yang berperkara, termasuk dalam hal ini pihak penggugat atau tergugat maupun pihak turut tergugat, di mana atas putusan hakim yang telah diputuskan oleh pengadilan, salah satu pihak atau kedua belah pihak yang merasa tidak puas dapat menggunakan upaya hukum banding. Artinya, banding merupakan salah satu instrumen upaya hukum yang disediakan bagi para pihak yang tidak menerima atau menolak putusan pengadilan pada tingkat pertama.
Lebih lanjut ketentuan mengenai upaya banding, khusus untuk wilayah Jawa dan Madura diatur dalam UU 20/1947 yang mencabut ketentuan banding yang terdapat pada Herziene Inlandsche Reglement (HIR). Sementara itu, untuk wilayah di luar Jawa dan Madura ketentuan banding diatur dalam Pasal 199 sampai dengan Pasal 205 Rechtsreglement Buitengewesten (RBg). Baik UU 20/1947 maupun Pasal 199 sampai dengan Pasal 205 RBg memberikan ketentuan mengenai upaya hukum banding untuk memberikan kesempatan kepada para pihak yang berperkara mengajukan upaya hukum apabila menganggap terdapat kekeliruan atau kesalahan dalam putusan pengadilan tingkat pertama pada pengadilan tingkat banding (pengadilan ulangan) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

[3.11] Menimbang bahwa setelah Mahkamah menguraikan hal-hal tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil permohonan Pemohon, sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU 20/1947 tidak mengatur tenggang waktu penyerahan dan pengajuan berkas memori banding dan kontra memori banding pada pengadilan tingkat banding sehingga menimbulkan adanya ketidakpastian hukum dan menciderai perlindungan yang dijamin oleh negara melalui ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan bahwa secara normatif ketentuan norma Pasal 7 ayat (1) UU 20/1947 yang menyatakan “Permintaan untuk pemeriksaan ulangan harus disampaikan dengan surat atau dengan lisan oleh peminta atau wakilnya, yang sengaja dikuasakan untuk memajukan permintaan itu, kepada Panitera Pengadilan Negeri, yang menjatuhkan putusan, dalam empat belas hari, terhitung mulai hari berikutnya hari pengumuman putusan kepada yang berkepentingan”, hanya memberikan batas waktu kepada pemohon banding untuk mengajukan permohonan pemeriksaan ulangan (banding) dalam waktu 14 (empat belas) hari terhitung mulai hari berikutnya setelah putusan diucapkan/diberitahukan kepada para pihak. Tenggang waktu tersebut diberikan agar ada kepastian hukum bagi pemohon banding, baik itu penggugat maupun tergugat/turut tergugat. Demikian halnya ketentuan Pasal 17 ayat (1) UU 20/1947 dihubungkan dengan Pasal 233 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Pasal 123 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, sebagaimana terakhir kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, juga hanya mengatur berkenaan dengan batas waktu pengajuan permohonan pemeriksaan banding atau ulangan. Artinya, apabila putusan pengadilan tingkat pertama setelah diucapkan atau diberitahukan tidak ada permintaan untuk dilakukan pemeriksaan banding atau ulangan, maka putusan pengadilan tingkat pertama tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Bahwa berkenaan dengan proses pengajuan permohonan banding yang dipersoalkan oleh Pemohon harus dipersyaratkan adanya pembatasan waktu dalam mengajukan memori banding bagi pemohon banding dan kontra memori banding bagi termohon banding hal tersebut tidak dapat dipisahkan dengan karakteristik perkara banding yang esensinya perkara yang masih dapat dinilai oleh pengadilan tinggi atau pengadilan ulangan dari aspek fakta-fakta hukum maupun dalam tataran praktik termasuk penerapan hukumnya. Artinya pengadilan tinggi sebagai pengadilan ulangan mempunyai kewenangan untuk menilai fakta-fakta hukum maupun penerapan hukum tanpa tergantung dari materi keberatan atas putusan pengadilan tingkat pertama dari pemohon banding. Dengan demikian, karena pengadilan tinggi atau pengadilan ulangan masih mempunyai kewenangan sebagaimana pengadilan tingkat pertama (sebagai judex factie), maka hal ini merupakan alasan filosofis dan ratio legis bahwa memori banding dan kontra memori banding tidak dijadikan syarat formil dalam pengajuan permohonan banding. Dengan kata lain, pengadilan tinggi sebagai pengadilan ulangan baik ada maupun tidak ada memori dan kontra memori banding memiliki kewenangan untuk menilai fakta-fakta hukum yang ada untuk memutus perkara banding yang diajukan. Lebih dari itu, kewenangan untuk menilai fakta-fakta hukum diberikan kepada pengadilan tinggi atau pengadilan ulangan adalah bentuk pengejawantahan dari sistem peradilan di Indonesia yang menganut stelsel berjenjang, yang di dalamnya terkandung fungsi pengawasan, atas putusan pengadilan yang lebih tinggi terhadap putusan pengadilan di bawahnya.
[3.11.2] Bahwa dengan memperhatikan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, apabila dalam mengajukan permohonan banding diberlakukan syarat adanya pembatasan tenggang waktu penyerahan memori banding dan kontra memori banding sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon, maka hal tersebut dapat berakibat hukum memori banding dan kontra memori banding berubah menjadi syarat formil yang harus dipenuhi oleh pemohon banding maupun termohon banding. Sebab, pembatasan waktu demikian tidak dapat dipisahkan dari implikasi yuridis terhadap perkara yang dimohonkan pengajuan banding dipandang belum memenuhi syarat formil dikarenakan tergantung ada atau tidak ada memori banding dan kontra memori banding. Lebih dari itu, pembatasan waktu mengajukan memori banding dan kontra memori banding tanpa adanya sanksi apabila melewati tenggang waktu yang ditentukan maka hal tersebut justru dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Di samping itu, menjadikan memori banding dan kontra memori banding seolah-olah menjadi syarat formil dalam mengajukan permohonan banding dapat menggeser kewenangan pengadilan tinggi atau pengadilan ulangan menjadi kehilangan karakter sebagai pengadilan judex factie dan hal tersebut jelas bertentangan dengan aspek filosofis dan ratio legis sebagaimana dipertimbangkan pada Sub-paragraf [3.11.1] tersebut di atas.
[3.12] Menimbang bahwa Pemohon juga mendalilkan adanya ketidakjelasan rumusan dalam Pasal 7 ayat (1) UU 20/1947 yang secara nyata menunjukkan bahwa negara telah merampas serta mengabaikan hak asasi pemohon banding (pembanding) dan termohon banding (terbanding) dalam menyerahkan memori banding dan kontra memori banding sehingga bertentangan dengan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945.
Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan bahwa esensi dari Pasal a quo adalah penegasan jika pengajuan permohonan banding tidak wajib disertakan memori banding dan kontra memori banding, akan tetapi hakikat yang sesungguhnya adalah Pasal a quo mengatur tentang tenggang waktu untuk mengajukan permintaan banding atau pemeriksaan ulangan. Oleh karena itu, pasal tersebut dalam memberikan batas tenggang waktu dimaksud, Mahkamah berpendapat, telah memberikan kepastian hukum, termasuk di dalamnya memberikan pengakuan, pemenuhan, dan perlindungan terhadap hak asasi manusia serta hak konstitusional warga negara, sebagaimana tertuang dalam Pasal 28I ayat (4) UUD 1945.
Sementara itu, terhadap dalil Pemohon mengenai ketiadaan jangka waktu upaya hukum banding, dalam hal ini penyerahan kontra memori banding, menunjukkan kelemahan hukum acara perdata saat ini yang sudah tidak mampu lagi mengikuti kebutuhan dan perkembangan zaman sehingga bertentangan dengan asas peradilan cepat dan sederhana. Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat, upaya hukum banding tanpa adanya syarat formil yang harus disertai dengan memori banding dan kontra memori banding justru akan mempercepat penyelesaian proses pengajuan permohonan banding kepada pengadilan tinggi atau pengadilan ulangan. Sebab, pengajuan permohonan banding berkas perkaranya dapat segera dikirim oleh pengadilan tingkat pertama kepada pengadilan tingkat banding atau pengadilan ulangan tanpa tergantung syarat ada atau tidak adanya memori banding dan kontra memori banding. Dengan demikian, hal ini justru mengaktualisasikan terwujudnya asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman karena dimulainya pemeriksaan di tingkat banding tidak tergantung ada atau tidak adanya memori banding dan kontra memori banding. Dengan demikian, jika pemeriksaan banding telah berjalan, kemudian pengadilan tinggi menerima memori banding dan/atau kontra memori banding maka memori banding dan/atau kontra memori banding tersebut turut dipertimbangkan, sepanjang permohonan pemeriksaan banding belum diputus. Sedangkan, persoalan yang dialami oleh Pemohon dan menjadi bagian dari dalil Pemohon, yaitu adanya penyerahan kontra memori banding dari terbanding setelah 3 (tiga) bulan dari pembanding mengajukan permohonan banding maka tanpa bermaksud menilai kasus konkret yang dialami oleh Pemohon, menurut Mahkamah, kontra memori banding tersebut menjadi kewenangan pengadilan tinggi di mana permohonan banding (pemeriksaan ulangan) diajukan untuk menilainya atau mempertimbangkannya. Namun demikian, apapun penilaian pengadilan tinggi terhadap penyerahan kontra memori banding setelah 3 (tiga) bulan dari pembanding mengajukan permohonan banding, sebagaimana yang dipersoalkan oleh Pemohon, hal tersebut adalah persoalan implementasi norma dan bukan berkaitan dengan persoalan inkonstitusionalitas norma Pasal 7 ayat (1) UU 20/1947.
[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat Pasal 7 ayat (1) UU 20/1947 telah ternyata memberikan kepastian hukum, pengakuan, pemenuhan, dan perlindungan terhadap hak asasi manusia serta hak konstitusional warga negara, sebagaimana tertuang dalam Pasal 28I ayat (4) UUD 1945. Dengan demikian, dalil-dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 21/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-04-2022

Ajbar, Muhammad J, Wartabone, Eni, Sumarni, M. Syukur, Abdul Rachman Thata, S.H, M.H, yang memberikan kuasa kepada Dr. Ahmad Yani, S.H., M.H., Nora Yosse Novia, S.H., M.H., Irlan Superi, S.H., M.H., Drs. H. Darsono E.K., S.H., M.H., Dedy Setyawan, S.H., dan Bera Madina, S.H, advokat dan kinsultan hukum dalam SAY & Partners Law Firm, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 222 UU Pemilu

Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 222 UU Pemilu dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.6] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara saksama uraian para Pemohon dalam menjelaskan kerugian hak konstitusionalnya, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.5] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.6.1] Bahwa berkenaan dengan kualifikasi para Pemohon sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang memiliki hak untuk memilih dalam pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017, Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 74/PUU-XVIII/2020, bertanggal 14 Januari 2021 kemudian ditegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-XIX/2021, bertanggal 24 Februari 2022 telah mempertimbangkan yang pada pokoknya sebagai berikut:
“[3.6.2] ... jelaslah bahwa Mahkamah pernah memberikan kedudukan hukum terhadap perseorangan warga negara yang memiliki hak memilih untuk menguji norma berkenaan dengan ketentuan ambang batas pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden. Namun, oleh karena terdapat perbedaan mekanisme dan sistem yang digunakan dalam penentuan ambang batas pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu Tahun 2014 dengan Pemilu Tahun 2019 dan Pemilu berikutnya pada tahun 2024, sehingga terjadi pergeseran sebagaimana yang dipertimbangkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 74/PUU-XVIII/2020 bahwa pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan berkenaan dengan persyaratan ambang batas untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden (presidential threshold) in casu, Pasal 222 UU 7/2017 adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu.
[3.6.3] Bahwa partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu memiliki kerugian hak konstitusional untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 222 UU 7/2017 sejalan dengan amanat konstitusi yaitu Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menentukan pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden ditentukan oleh partai politik atau gabungan partai politik, bukan oleh perseorangan. Demikian juga sejalan dengan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 yang secara eksplisit menentukan hanya partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya yang dapat mengusulkan dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden untuk dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan. Ketentuan konstitusi tersebut semakin menegaskan Mahkamah bahwa pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017 adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu, bukan perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk memilih.”
[3.6.2] Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum dalam putusan tersebut, berkenaan dengan anggapan adanya kerugian hak konstitusional yang dialami oleh perseorangan yang memiliki hak untuk memilih dalam pemilu, Mahkamah berpendapat adanya aturan main terkait persyaratan ambang batas pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana ditentukan dalam Pasal 222 UU 7/2017 yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh para Pemohon telah diberlakukan sebelum pelaksanaan pemilu tahun 2019 dimana para Pemohon juga telah memiliki hak untuk memilih dan telah mengetahui hasil hak pilihnya dalam pemilu legislatif tahun 2019 yang akan digunakan sebagai persyaratan ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dalam pemilu tahun 2024 mendatang. Dengan analogi demikian, maka anggapan adanya kerugian konstitusional, in casu terhambatnya hak untuk memilih (right to vote) yang dialami oleh para Pemohon menjadi tidak beralasan menurut hukum. Selain itu, terkait anggapan adanya kerugian hak konstitusional para Pemohon karena terhambatnya haknya untuk memilih (right to vote) kandidat calon Presiden dan/atau Wakil Presiden yang memiliki lebih banyak pilihan, menurut Mahkamah, Pasal 222 UU 7/2017 sama sekali tidak membatasi jumlah pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang akan mengikuti pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden. Dengan demikian, selain para Pemohon tidak memiliki kerugian hak konstitusional dengan berlakunya norma Pasal 222 UU 7/2017, tidak terdapat hubungan sebab akibat antara norma a quo dengan anggapan kerugian hak konstitusional para Pemohon untuk memilih (right to vote);
[3.6.3] Bahwa berkenaan dengan kualifikasi para Pemohon sebagai anggota DPD, Mahkamah tidak menemukan adanya kerugian konstitusional para Pemohon dan tidak ada hubungan sebab akibat dengan pelaksanaan tugas dan kewenangan para Pemohon dalam menyerap aspirasi masyarakat daerah, karena pemberlakuan norma Pasal 222 UU 7/2017 tidak mengurangi kesempatan putra-putri terbaik daerah untuk menjadi calon Presiden atau Wakil Presiden sepanjang memenuhi persyaratan dan diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu. Para Pemohon juga tidak memenuhi kualifikasi perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk dipilih sehingga dapat dianggap memiliki kerugian hak konstitusional dengan berlakunya ketentuan norma Pasal 222 UU 7/2017, karena tidak terdapat bukti adanya dukungan bagi para Pemohon untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dari partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu atau setidak-tidaknya menyertakan partai politik pendukung untuk mengajukan permohonan bersama dengan para Pemohon.
Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.
[3.6.4] Bahwa terkait dengan pertimbangan hukum yang dijadikan dasar dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-XIX/2021 sebagaimana diuraikan pada Sub-paragraf [3.6.1] di atas, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul berpendapat dalam pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017, Pemohon perseorangan sepanjang dapat menjelaskan atau menguraikan memiliki hak untuk memilih (right to vote) adalah memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan. Dalam pokok permohonan, norma Pasal 222 UU 7/2017 yang mengatur mengenai persyaratan ambang batas pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden adalah konstitusional dan terkait dengan batasan persentase yang ditentukan dalam norma a quo merupakan kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang (open legal policy) sehingga menolak permohonan Pemohon. Sementara itu, Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi Isra berpendapat para Pemohon perseorangan sepanjang dapat menjelaskan atau menguraikan memiliki hak untuk memilih (right to vote) adalah memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017, serta dalam pokok permohonan berpendapat norma Pasal 222 UU 7/2017 adalah inkonstitusional sehingga permohonan beralasan menurut hukum dan seharusnya Mahkamah mengabulkan permohonan para Pemohon sebagaimana pendiriannya dalam putusan-putusan sebelumnya;
[3.7] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dinyatakan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 20/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-04-2022

Adang Suhardjo, Marwan Batubara, Ali Ridhok, dan Bennie Akbar Fatah yang memberikan kuasa kepada Dr. Herman Kadir S.H., M.Hum., dkk, advokat pada Tim Advokat Judicial Review Presidential Threshold Adang, Marwan, Ali Ridhok, dan Bennie A. Fatah, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 222 UU 7/2017

Pasal 1 Ayat (2), Pasal 6 Ayat (2), Pasal 6A Ayat (1), Pasal 6A Ayat (2), Pasal 6A Ayat (3), Pasal 6A Ayat (4), Pasal 6A Ayat (5), Pasal 22E Ayat (1), Pasal 28C Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28D Ayat (2), Pasal 28D Ayat (3), Pasal 28J Ayat (1), dan Pasal 28J Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 222 UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.6] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara saksama uraian para Pemohon dalam menjelaskan kerugian hak konstitusionalnya selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.6.1] Bahwa berkenaan dengan kualifikasi para Pemohon sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang memiliki hak untuk memilih dalam pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017, Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 74/PUU-XVIII/2020, bertanggal 14 Januari 2021 kemudian ditegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUUXIX/2021, bertanggal 24 Februari 2022 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 8/PUU-XX/2022, bertanggal 29 Maret 2022 telah mempertimbangkan yang pada pokoknya sebagai berikut:
“[3.6.2] ... jelaslah bahwa Mahkamah pernah memberikan kedudukan hukum terhadap perseorangan warga negara yang memiliki hak memilih untuk menguji norma berkenaan dengan ketentuan ambang batas pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden. Namun, oleh karena terdapat perbedaan mekanisme dan sistem yang digunakan dalam penentuan ambang batas pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu Tahun 2014 dengan Pemilu Tahun 2019 dan Pemilu berikutnya pada tahun 2024, sehingga terjadi pergeseran sebagaimana yang dipertimbangkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 74/PUUXVIII/2020 bahwa pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan berkenaan dengan persyaratan ambang batas untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden (presidential threshold) in casu, Pasal 222 UU 7/2017 adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu.

[3.6.3] Bahwa partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu memiliki kerugian hak konstitusional untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 222 UU 7/2017 sejalan dengan amanat konstitusi yaitu Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menentukan pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden ditentukan oleh partai politik atau gabungan partai politik, bukan oleh perseorangan. Demikian juga sejalan dengan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 yang secara eksplisit menentukan hanya partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya yang dapat mengusulkan dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden untuk dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan. Ketentuan konstitusi tersebut semakin menegaskan Mahkamah bahwa pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017 adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu, bukan perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk memilih.”

[3.6.2] Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum dalam putusan tersebut, berkenaan dengan anggapan adanya kerugian hak konstitusional yang dialami oleh perseorangan yang memiliki hak untuk memilih dalam pemilu, Mahkamah berpendapat adanya aturan main terkait persyaratan ambang batas pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana ditentukan dalam Pasal 222 UU 7/2017 yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh para Pemohon telah diberlakukan sebelum pelaksanaan pemilu tahun 2019 di mana para Pemohon juga telah memiliki hak untuk memilih dan telah mengetahui hasil hak pilihnya dalam pemilu legislatif tahun 2019 yang akan digunakan sebagai persyaratan ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dalam pemilu tahun 2024 mendatang. Dengan analogi demikian, maka anggapan adanya kerugian konstitusional, in casu terhambatnya hak untuk memilih (right to vote) yang dialami oleh para Pemohon menjadi tidak beralasan menurut hukum. Selain itu argumentasi para Pemohon bahwa persoalan ambang batas tidak hanya terkait dengan eksistensi partai politik karena para Pemohon sebagai warga negara yang akan menerima manfaat utama dari penyelenggaraan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden adalah tidak relevan dengan anggapan kerugian konstitusional para Pemohon, karena norma Pasal 222 UU 7/2017 tersebut sama sekali tidak membatasi atau menghalangi hak para Pemohon untuk memilih atau memberikan suara dalam pemilihan umum Presiden dan Wakil presiden.

[3.6.3] Bahwa berkenaan alasan kedudukan hukum Pemohon, khususnya Pemohon I, di mana Pemohon mengaitkan hak mengajukan pengujian Pasal 222 UU 7/2017 dengan hak konstitusional Pemohon untuk ikut serta dalam usaha pembelaan negara yang menurut Pemohon dijamin dalam Pasal 30 ayat (1) UUD 1945 adalah tidak tepat, karena rumusan Pasal 30 ayat (1) UUD 1945 yang benar adalah “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.”, bukan “...ikut serta dalam usaha pembelaan negara” sebagaimana diuraikan Pemohon. Oleh karena itu, norma konstitusi tersebut menjadi tidak relevan dengan alasan kedudukan hukum Pemohon a quo. Jikapun yang dimaksud Pemohon adalah hak untuk ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara sebagaimana dijamin dalam Pasal 30 ayat (1) UUD 1945 a quo, Mahkamah tidak menemukan adanya hubungan sebab akibat antara norma yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya dengan anggapan kerugian hak konstitusional Pemohon a quo baik secara aktual maupun potensial. Berdasarkan rangkaian pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo;

[3.6.4] Bahwa terkait dengan pertimbangan hukum yang dijadikan dasar dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-XIX/2021 sebagaimana diuraikan pada Sub-paragraf [3.6.1] di atas, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul berpendapat dalam pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017, Pemohon perseorangan sepanjang dapat menjelaskan atau menguraikan memiliki hak untuk memilih (right to vote) adalah memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan. Dalam pokok permohonan, norma Pasal 222 UU 7/2017 yang mengatur mengenai persyaratan ambang batas pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden adalah konstitusional dan terkait dengan batasan persentase yang ditentukan dalam norma a quo merupakan kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang (open legal policy) sehingga menolak permohonan Pemohon. Sementara itu, Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi Isra berpendapat para Pemohon perseorangan sepanjang dapat menjelaskan atau menguraikan memiliki hak untuk memilih (right to vote) adalah memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017, serta dalam pokok permohonan berpendapat norma Pasal 222 UU 7/2017 adalah inkonstitusional sehingga permohonan beralasan menurut hukum dan seharusnya Mahkamah mengabulkan permohonan para Pemohon sebagaimana pendiriannya dalam putusan-putusan sebelumnya;

[3.7] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 18/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-04-2022

Ir. Frans Manery dan Muchlis Tapi-Tapi, S.Ag, dalam hal ini memberikan kuasa kepada Erasmus D. Kulape, S.H., M.H dan Ramli Antula, S.H., untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 201 ayat (7) UU 10/2016

Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 10/2016 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan para Pemohon beserta bukti-bukti yang diajukan oleh para Pemohon, pokok permohonan para Pemohon adalah mengenai pemotongan atau pengurangan masa jabatan kepala daerah yang tidak lagi selama 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 201 ayat (7) UU 10/2016, sehingga mengakibatkan kepala daerah hasil pemilihan kepala daerah serentak pada 2020 diperlakukan tidak proporsional dan tidak adil serta tidak mendapatkan kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Oleh karenanya menurut para Pemohon Pasal 201 ayat (7) UU 10/2016 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945. Terhadap pokok permohonan para Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.10.1] Bahwa waktu penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati dan walikota serentak nasional pada awalnya diatur dalam Pasal 201 ayat (7) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU 8/2015) yang menyatakan, “Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada tahun 2027.” Waktu penyelenggaraan tersebut kemudian diubah dengan ketentuan Pasal 201 ayat (8) UU 10/2016 yang menyatakan, “Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.” Perubahan waktu penyelenggaraan tersebut diikuti dengan perubahan waktu penyelenggaraan pemilihan serentak bertahap yang dimulai pada 2015, 2017, 2018, dan terakhir pada 2020, sehingga berakibat gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota hasil pemilihan pada 2020 hanya menjabat sampai dengan tahun 2024 [vide Pasal 201 ayat (7) UU 10/2016];
[3.10.2] Bahwa keberadaan ayat (7) yang dipersoalkan para Pemohon tidak dapat dipisahkan dari ayat-ayat lainnya dalam Pasal 201 UU 10/2016 yang secara keseluruhan merupakan ketentuan peralihan agar penyelenggaraan kebijakan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota dapat terselenggara secara serentak nasional di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia pada November 2024 [vide Pasal 201 ayat (8) UU 10/2016]. Untuk itu, pada ayat-ayat sebelumnya termasuk yang dipersoalkan para Pemohon ditentukan waktu pelaksanaan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota serentak yang dilakukan secara bertahap pada 2015, 2017, dan 2018 serta 2020 sesuai berakhirnya masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota [vide Pasal 201 ayat (1) sampai dengan ayat (7) UU 10/2016]. Dengan pengaturan tersebut tidak dapat dihindarkan akan terdapat provinsi dan kabupaten/kota yang mengalami kekosongan jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota yang berakhir masa jabatannya pada 2022 dan 2023, yakni yang menyelenggarakan pemilihan pada 2017 dan 2018, sehingga akan diisi oleh penjabat yang berasal dari aparatur sipil negara yang memegang jabatan pimpinan tinggi madya bagi penjabat gubernur dan jabatan pimpinan tinggi pratama bagi penjabat bupati/walikota [vide Pasal 201 ayat (9) sampai dengan ayat (11) UU 10/2016]. Adapun bagi provinsi dan kabupaten/kota yang gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota hasil pemilihan pada 2020 dan dilantik pada 2021 yang seharusnya berakhir masa jabatannya pada 2026 terkena pemotongan (cut off) masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota sehingga tidak sampai 5 (lima) tahun, akan tetapi harus berakhir masa jabatannya pada 2024. Berdasarkan ketentuan peralihan tersebut, pemilihan gubernur, bupati, dan walikota yang diselenggarakan secara serentak nasional dalam rangka untuk meminimalkan biaya baik sosial, politik maupun ekonomi dan diharapkan lebih efisien dari segi waktu dapat terselenggara pada 2024. Dengan demikian, semua provinsi dan kabupaten/kota (kecuali Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) akan mengadakan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota bersamaan waktunya pada November 2024 dan untuk pemilihan seterusnya setiap 5 (lima) tahun sekali secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 ayat (1) UU 10/2016.
Mengenai keserentakan waktu penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menurut Mahkamah tidak hanya merujuk pada waktu pemungutan suara (voting time) melainkan juga waktu pelantikan (inauguration time) yang juga perlu diatur dan disinkronkan keserentakannya. Karena, keserentakan tersebut merupakan langkah awal bagi gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota terpilih untuk mensinergikan kebijakan pemerintah daerah dengan pemerintah pusat serta mensinkronkan tata kelola pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. Dengan disinkronkannya waktu penyelenggaraan baik pemungutan suara maupun pelantikan pasangan calon terpilih maka diharapkan tercipta efektivitas dan efisiensi kebijakan pembangunan antara daerah dan pusat.
[3.10.3] Bahwa berkenaan dengan kebijakan memformulasikan penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota termasuk pemotongan atau pengurangan masa jabatan kepala daerah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 201 UU 10/2016 adalah bersifat transisional atau sementara dan sekali terjadi (einmalig) demi terselenggaranya pemilihan serentak nasional pada 2024, sehingga di pemilihan- pemilihan berikutnya berakhirnya masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota bersamaan dengan periodesasi pemilihan gubernur, bupati, dan walikota yakni setiap 5 (lima) tahun sekali secara serentak nasional.
Bahwa selain merupakan ranah kebijakan pembentuk undang-undang, pemotongan masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati, dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota hasil pemilihan gubernur, bupati, dan walikota pada 2020 sebagaimana dimaksud Pasal 201 ayat (7) UU 10/2016 menurut Mahkamah tidak bertentangan dengan konsepsi hak asasi manusia. Sebagai hak politik maka hak tersebut terkategori sebagai hak yang dapat dikurangi (derogable right) yang berarti hak tersebut boleh dikurangi dan dibatasi pemenuhannya oleh negara berdasarkan alasan-alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, yakni (a) dilakukan dengan undang-undang; (b) untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain; dan (c) untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Menurut Mahkamah, hak untuk memeroleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, in casu masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota karena keadaan atau alasan tertentu dapat dikurangi, termasuk dalam hal ini dalam rangka memenuhi kebijakan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota serentak nasional. Selain itu, pemotongan atau pengurangan masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota juga telah dilakukan melalui undang-undang yakni dalam Pasal 201 ayat (7) UU 10/2016 yang bersifat transisional dan berlaku untuk semua gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota hasil pemilihan gubernur, bupati, dan walikota pada 2020, sehingga oleh karenanya juga tidak bersifat diskriminatif.
[3.10.4] Bahwa mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-VII/2009 bertanggal 17 November 2011 yang dijadikan alasan permohonan para Pemohon bahwa masa jabatan kepala daerah adalah 5 (lima) tahun menurut Mahkamah tidaklah tepat. Karena, putusan tersebut sebenarnya berkaitan dengan dan menegaskan penghitungan satu periode masa jabatan kepala daerah baik yang dipilih melalui pemilihan langsung maupun tidak langsung (melalui lembaga perwakilan), yakni apabila telah dijalani setengah atau lebih dari setengah masa jabatan. Berdasarkan putusan tersebut justru masa jabatan para Pemohon telah memenuhi hitungan satu periode karena jika dihitung sejak para Pemohon dilantik pada 9 Juli 2021 [vide risalah sidang Perkara Nomor 18/PUU-XX/2022 tanggal 8 Maret 2022 hlm.3] sampai dengan November 2024 maka masa jabatan para Pemohon adalah 3 tahun 4 bulan atau telah menjalani lebih setengah masa jabatan sebagai bupati dan wakil bupati.
[3.10.5] Bahwa sebagai ketentuan peralihan, sebagaimana juga telah dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021 bertanggal 20 April 2022 yang diucapkan sebelumnya, Pasal 201 UU 10/2016 dimaksudkan untuk menghindari kekosongan hukum dan menjamin kepastian hukum serta bersifat transisional dalam rangka penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota serentak nasional pada 2024, sehingga menurut Mahkamah telah memenuhi pemuatan ketentuan peralihan sebagaimana ditentukan dalam Butir 127 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011). Menurut Butir 127 Lampiran II UU 12/2011 ketentuan peralihan memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang lama terhadap Peraturan Perundang-undangan yang baru, yang bertujuan untuk: a. menghindari terjadinya kekosongan hukum; b. menjamin kepastian hukum; c. memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan d. mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara. Khusus mengenai kepastian hukum, adanya pengaturan bahwa masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota yang terpilih berdasarkan hasil pemilihan gubernur, bupati, dan walikota serentak pada 2020 akan berakhir pada penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota serentak nasional pada 2024 telah diatur secara eksplisit dalam Pasal 201 ayat (7) UU 10/2016. Dalam batas penalaran yang wajar ketentuan dimaksud sudah pasti diketahui oleh semua pasangan calon yang ikut berkontestasi dalam pemilihan gubernur, bupati, dan walikota serentak pada 2020. Artinya, pengurangan atau pemotongan waktu masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota sudah diketahui secara pasti oleh masing- masing pasangan calon.
Berkenaan dengan hal di atas, dalam sistem pembentukan peraturan perundang-undangan dikenal adanya fiksi hukum (presumptio iures de iure) yang dijelaskan dengan diundangkannya peraturan perundang-undangan dalam lembaran resmi maka setiap orang dianggap telah mengetahuinya [vide Penjelasan Pasal 81 UU 12/2011]. Menurut Mahkamah para Pemohon telah mengetahui masa jabatan pemilihan bupati dan wakil bupati yang diikuti para Pemohon pada 2020 tidak sampai 5 (lima) tahun, bahkan sebelum mencalonkan diri sebagai pasangan calon, sehingga menjadi tidak relevan untuk dipersoalkan setelah para Pemohon terpilih dan dilantik sebagai Bupati dan Wakil Bupati Halmahera Utara. Terlebih lagi, masa jabatan tidak sampai 5 (lima) tahun juga dialami oleh seluruh gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota hasil pemilihan gubernur, bupati, dan walikota pada 2020, jadi bukan hanya para Pemohon. Mahkamah juga tidak menemukan bukti ketentuan pemotongan atau pengurangan masa jabatan yang dialami para Pemohon sebagai bupati dan wakil bupati hasil pemilihan gubernur, bupati, dan walikota pada 2020 menyebabkan para Pemohon tidak dapat menjalankan visi dan misinya. Terkait dengan hal ini, visi dan misi yang dijanjikan calon kepala daerah yang nantinya akan dijabarkan dalam rencana pembangunan daerah dan alokasi anggaran seharusnya disesuaikan juga dengan masa jabatan yang telah diketahui sebelum penyusunan visi dan misi.
Sementara itu, berkenaan dengan perlindungan hukum sebagai akibat dari tidak terpenuhi masa jabatan sampai dengan 5 (lima) tahun, undang-undang pun telah mengantisipasi secara jelas. Dalam hal ini, pihak yang terkena dampak dari berkurangnya masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah (gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota), menurut Mahkamah bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada kepala daerah dan wakil kepala daerah yang masa jabatannya tidak sampai 5 (lima) tahun, diberikan kompensasi. Berkenaan dengan hal ini, jauh sebelum penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota serentak nasional pada 2024, yaitu sejak pemilihan gubernur, bupati, dan walikota serentak pada 2018, kompensasi yang diterima gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota yang terkurangi masa jabatannya telah diatur dalam Pasal 202 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU 1/2015). Bentuk kompensasi yang akan diperoleh oleh kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2018 berupa diberikan uang sebesar gaji pokok dikalikan jumlah bulan yang tersisa serta mendapatkan hak pensiun untuk satu periode. Selanjutnya, untuk penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota serentak nasional pada 2024, kompensasi yang diterima oleh kepala daerah dan wakil kepala daerah yang terkurangi masa jabatannya mengikuti ketentuan Pasal 202 UU 8/2015 yang menyatakan, “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang tidak sampai satu periode akibat ketentuan Pasal 201 diberi kompensasi uang sebesar gaji pokok dikalikan jumlah bulan yang tersisa serta mendapatkan hak pensiun untuk satu periode”.
[3.11] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana telah diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat Pasal 201 ayat (7) UU 10/2016 yang menentukan masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota hasil pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024, tidak bertentangan dengan asas kepastian hukum dan keadilan serta tidak menghalangi kesempatan yang sama dalam pemerintahan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945. Dengan demikian, permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dinyatakan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 15/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-04-2022

Dr. (Can.) Dewi Nadya Maharani, S.H., M.H., Suzie Alancy Firman, S.H., Moch Sidik, Rahmatulloh, S.Pd., M.Si., Mohammad Syaiful Jihad, dan Nian Syarifudin yang memberikan kuasa kepada Dr. Sulistyowwati, S.H., M.H., dkk, Para Advokat/Konsultan Hukum yang tergabung dalam Sulistyowati & Partners Law Office, untuk selanjutnya disebut sebagai para Pemohon.

Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016

Pasal 1 Ayat (2), Pasal 18 Ayat (4), Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.11] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut dalil-dalil permohonan para Pemohon, oleh karena norma Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016 yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon saling berkaitan erat dan esensinya tidak berbeda yakni mengenai penunjukan penjabat dalam jabatan ASN sebagai penjabat gubernur/bupati/walikota untuk menggantikan kepala daerah yang habis masa jabatannya dan tidak diisi dengan kepala daerah hasil pemilihan maka Mahkamah akan mempertimbangkan secara bersamaan norma Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016 a quo.

[3.12] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan mengenai konstitusionalitas norma Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016 yang dipermasalahkan oleh para Pemohon, Mahkamah akan mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pilkada) merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota berdasarkan UU 10/2016 sebagai penjabaran Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan, “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala daerah provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis”, serta pelaksanaannya berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU 32/2004) dan selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan walikota menjadi Undang-Undang (UU 1/2015) dan telah diubah terakhir kali dengan UU 10/2016 pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan agar dapat menguatkan kedaulatan rakyat dan demokrasi.

[3.12.2] Bahwa berdasarkan UU 1/2015, politik hukum penyelenggaraan Pilkada dilakukan secara serentak. Pelaksanaan Pilkada secara langsung yang dilakukan serentak tersebut dimaksudkan untuk mengefisienkan biaya dan waktu serta upaya meminimalkan kemungkinan potensi konflik. Oleh karena itu, pada awalnya, Pelaksanaan Pilkada serentak didesain secara bergelombang, di mana untuk pertama diselenggarakan pada 9 Desember 2015, yaitu berdasarkan UndangUndang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU 8/2015). Kemudian, berdasarkan UU 10/2016, penyelenggaraan Pilkada serentak dilanjutkan pada tahun 2017 dan tahun 2018. Tidak hanya itu, UU 10/2016 secara tegas telah mengatur, penyelenggaraan Pilkada serentak secara menyeluruh akan dilaksanakan pada tahun 2024.

[3.12.3] Bahwa jika dirunut dari perjalanan pengaturan Pilkada serentak, telah diatur sejak UU 1/2015 yang kemudian telah diubah oleh UU 8/2015, desain pengaturan pilkada serentak nasional yang dimaksud dalam UU 8/2015 adalah:
1. Pemungutan suara serentak untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir tahun 2015 dan Januari sampai dengan Juni tahun 2016 dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Desember tahun 2015;
2. Pemungutan suara serentak untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada bulan Juli sampai dengan bulan Desember tahun 2016 dan yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2017, dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Februari tahun 2017;
3. Pemungutan suara serentak untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2018 dan tahun 2019 dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Juni tahun 2018;
4. Pemungutan suara serentak kepala daerah, hasil pemilihan tahun 2015 dilaksanakan pada tahun 2020;
5. Pemungutan suara serentak kepala daerah hasil pemilihan tahun 2017 dilaksanakan pada tahun 2022;
6. Pemungutan suara serentak kepala daerah hasil pemilihan tahun 2018 dilaksanakan pada tahun 2023; dan
7. Pemungutan suara serentak nasional Pilkada di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada tahun 2027 [vide. Pasal 201 UU 8/2015].
Selanjutnya, agar lebih sederhana rentang waktu penyelenggaraannya, desain keserentakan nasional yang diatur dalam UU 8/2015 ditata kembali dalam Pasal 201 UU 10/2016 sebagai berikut:
1. Pemungutan suara serentak untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2015 dan bulan Januari sampai dengan bulan Juni tahun 2016 dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Desember tahun 2015;
2. Pemungutan suara serentak untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada bulan Juli sampai dengan bulan Desember tahun 2016 dan yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2017 dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Februari tahun 2017;
3. Kepala daerah hasil Pemilihan tahun 2017 menjabat sampai dengan tahun 2022;
4. Pemungutan suara serentak untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2018 dan tahun 2019 dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Juni tahun 2018;
5. Kepala daerah hasil Pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023;
6. Pemungutan suara serentak kepala daerah hasil pemilihan tahun 2015 dilaksanakan pada bulan September tahun 2020;
7. Kepala daerah hasil Pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024; dan
8. Pemungutan suara serentak nasional kepala daerah di seluruh wilayah Negara Kesatua Republik Indonesia (NKRI) dilaksanakan pada bulan November 2024 [vide Pasal 201 UU 10/2016].

[3.12.4] Bahwa berkenaan dengan ketentuan Pilkada serentak nasional yang akan dilaksanakan pada tahun 2024 telah ternyata berimplikasi pula pada penundaan pelaksanaan Pilkada yang seharusnya dilaksanakan pada tahun 2022 dan 2023, sehingga masa jabatan kepala daerah yang selesai pada tahun 2022 dan 2023 tersebut harus diisi oleh penjabat yaitu orang yang secara sementara waktu menduduki jabatan gubernur/bupati/walikota, agar tidak terjadi kekosongan jabatan kepala daerah yang akan berdampak pada ketidakberlangsungan penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Oleh karena itu, ditentukan pengangkatan penjabat kepala daerah di masing-masing daerah tersebut sampai dengan terpilihnya kepala daerah (gubernur/bupati/walikota) definitif berdasarkan hasil Pilkada serentak nasional tahun 2024. Pengaturan mengenai kekosongan jabatan ini sejatinya telah didesain sejak tahun 2015 melalui UU 1/2015, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 201 ayat (6) dan ayat (7) UU 1/2015 yang pada pokoknya menyatakan:
(6) Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang berakhir masa jabatan tahun 2016 dan tahun 2017 diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur, Bupati, dan Walikota yang definitif pada tahun 2018.
(7) Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang berakhir masa jabatan tahun 2019, diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur, Bupati, dan Walikota yang definitif pada tahun 2020.
Ketentuan tersebut tidak menyebutkan secara spesifik pejabat yang akan diangkat sebagai penjabat kepala daerah. Baru, dalam perubahan UU 1/2015 melalui UU 8/2015 yang kemudian diubah lagi melalui UU 10/2016 ditentukan kategori siapa yang dapat diangkat sebagai penjabat gubernur dan penjabat bupati/walikota sebagaimana diatur dalam Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) yang esensinya mengatur mengenai pengisian kekosongan jabatan gubernur dengan mengangkat penjabat gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sedangkan untuk pengisian kekosongan jabatan bupati/walikota diangkat penjabat bupati/walikota dari jabatan pimpinan tinggi pratama sampai dengan pelantikan gubernur/bupati/walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Ketentuan dalam UU 8/2015 diatur kembali dalam Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016.

[3.13] Menimbang bahwa setelah menguraikan hal-hal tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil-dalil para Pemohon yang pada pokoknya mempersoalkan pengangkatan penjabat kepala daerah dalam norma Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016 yang menurut para Pemohon bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat dan pilkada yang demokratis, persamaan kedudukan dan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dalam Pasal 1 ayat (2), Pasal 18 ayat (4), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Berkenaan dengan dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.13.1] Bahwa dalam menjelaskan persoalan konstitusional norma yang didalilkan para Pemohon, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan terlebih dahulu mengenai pasal yang dimohonkan pengujian tersebut merupakan bagian dari “Ketentuan Peralihan” yang telah mengalami tiga kali perubahan, semula diatur dalam UU 1/2015 diubah dengan UU 8/2015 dan terakhir diubah dengan UU 10/2016. Dengan merujuk pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011), dinyatakan dalam Lampiran II ihwal “Ketentuan Peralihan” sebagaimana dimaktubkan pada angka 127 bahwa:
“Ketentuan Peralihan memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan Peraturan Perundangundangan yang lama terhadap Peraturan Perundang-undangan yang baru, yang bertujuan untuk:
a. menghindari terjadinya kekosongan hukum;
b. menjamin kepastian hukum;
c. memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan
d. mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara.
Artinya, sejalan dengan tujuan “Ketentuan Peralihan” tersebut, keberadaan Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016 pada prinsipnya dimaksudkan untuk menuju pada kebijakan hukum Pilkada serentak nasional tahun 2024 karena telah ternyata masa jabatan kepala daerah tidak berakhir pada waktu yang sama sehingga perlu desain konstitusional yang dituangkan dalam materi muatan ketentuan peralihan agar dapat menghantarkan pada tujuan yang dimaksud. Oleh karenanya, berlakunya ketentuan peralihan tidak untuk selamanya namun bersifat transisional atau sementara dan sekali saja serta dengan memberi perlindungan hukum bagi pihak yang terdampak karena berlakunya kebijakan hukum pilkada serentak nasional tahun 2024. Jika masa jabatan kepala daerah tidak sampai 5 (lima) tahun sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 162 UU 10/2016 maka kepala daerah yang bersangkutan sebagai kepala daerah yang terdampak memeroleh kompensasi. Oleh karena itu pula jika masa jabatan kepala daerah tersebut pada akhirnya berkurang maka harus pula oleh ketentuan peralihan ditentukan pengaturan yang dapat menjamin tidak terjadinya kekosongan hukum.
[3.13.2] Bahwa berkenaan dengan hak konstitusional para Pemohon dalam menentukan pilihan kepala daerah sesungguhnya telah diimplementasikan pada waktu penyelenggaraan Pilkada di masing-masing daerah sejalan dengan asasasas pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam rangka mengaktualisasikan prinsip kedaulatan rakyat dan demokrasi. Namun, tidak dilaksanakannya Pilkada berikut setelah masa jabatan kepala daerah berakhir untuk Pilkada tahun 2022 dan 2023 sesuai dengan agenda menuju kenormalan karena adanya kebijakan hukum Pilkada serentak nasional 2024, di mana hal demikian tidaklah melanggar hak konstitusional para Pemilih. Terlebih, Mahkamah telah pula menyatakan Pilkada serentak nasional adalah konstitusional sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019, bertanggal 26 Februari 2020 pada Paragraf [3.18]. Oleh karena itu, bagi kepala daerah yang telah dipilih oleh para Pemohon dan berakhir masa jabatannya pada tahun 2022 dan tahun 2023 dan tidak diangkat sebagai penjabat kepala daerah untuk mengisi kekosongan hukum jabatan kepala daerah hingga Pilkada serentak nasional 2024 sebagaimana dalil para Pemohon, bukanlah merupakan persoalan konstitusionalitas norma. Hal ini disebabkan sejatinya masa jabatan kepala daerah terpilih tersebut telah berakhir. Terlebih lagi, kepala daerah yang berakhir masa jabatan pada 2022 dan tahun 2023 dan para pemilih telah mengetahui sedari awal desain pilkada serentak nasional sebagaimana ditentukan dalam ketentuan peralihan mulai dari UU 1/2015 yang diubah dengan UU 8/2015 dan terakhir diubah dengan UU 10/2016. Sebagai ketentuan peralihan yang sifatnya transisional atau sementara, apabila ketentuan peralihan tersebut telah dilaksanakan maka untuk Pilkada selanjutnya kembali menerapkan keseluruhan ketentuan umum penyelenggaraan Pilkada, termasuk di dalamnya penentuan masa jabatan yang kembali pada ketentuan Pasal 162 UU 10/2016, yakni 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. Demikian pula halnya jika terjadi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah berhalangan sehingga terjadi kekosongan jabatan telah pula ditentukan mekanisme normal pengisian jabatan yang kosong tersebut tidak lagi menggunakan ketentuan peralihan [vide Pasal 173, Pasal 174, Pasal 175, dan Pasal 176 UU 1/2015 yang diubah dengan UU 8/2015 dan terakhir diubah dengan UU 10/2016].
[3.13.3] Bahwa berkenaan dengan dalil para Pemohon yang memohon kepada Mahkamah agar pengisian jabatan kepala daerah yang berakhir tahun 2022 dan tahun 2023 diisi oleh kepala daerah terpilih yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 dan tahun 2023 menjadi penjabat kepala daerah agar kebijakan di daerah dapat terus dilaksanakan sesuai dengan RPJP daerah dan penjabat yang bersangkutan dapat mempersiapkan pilkada serentak 2024, sehingga hak konstitusional para Pemohon tetap dijamin karena jabatan tersebut diisi oleh kepala daerah hasil pemilihan sebelumnya. Terkait dengan dalil para Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah menegaskan bahwa pengisian penjabat kepala daerah dalam masa transisi menuju pilkada serentak nasional 2024 oleh pejabat pimpinan tinggi madya untuk jabatan gubernur [vide Pasal 201 ayat (10) UU 10/2016] dan oleh pejabat pimpinan tinggi pratama untuk jabatan bupati/walikota [vide Pasal 201 ayat (11) UU 10/2016] merupakan kebijakan pembentuk undang-undang. Mahkamah dapat memahami kebijakan dimaksud karena pada prinsipnya masa jabatan kepala daerah terpilih telah berakhir sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Namun demikian, dalam kaitan dengan pengangkatan pejabat pimpinan tinggi madya untuk jabatan gubernur dan pejabat pimpinan tinggi pratama untuk jabatan bupati/walikota, Mahkamah perlu terlebih dahulu merujuk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU 5/2014), yang menentukan jabatan pimpinan tinggi madya dan pimpinan tinggi pratama dimaksud adalah bagian dari jabatan pimpinan tinggi yang termaktub dalam ketentuan Bab V UU 5/2014 yang mengatur mengenai jabatan ASN [vide Pasal 19 ayat (1) UU 5/2014]. Dalam kaitan ini pula Mahkamah dapat memahami istilah yang para Pemohon gunakan dalam menguraikan alasan-alasan permohonan (posita) dengan menggunakan istilah “pejabat ASN”, padahal yang dimaksud adalah jabatan ASN. Lebih lanjut, UU 5/2014 menyatakan “Jabatan ASN diisi dari Pegawai ASN dan Jabatan ASN tertentu dapat diisi dari prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Pengisian Jabatan ASN tertentu yang berasal dari prajurit TNI dan anggota Polri dilaksanakan pada Instansi Pusat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU 34/2004) dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU 2/2002) [vide Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UU 5/2014]. Jika merujuk pada ketentuan Pasal 47 UU 34/2004 ditentukan pada pokoknya prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Sementara itu, prajurit TNI aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung. Dalam hal prajurit aktif tersebut akan menduduki jabatan-jabatan tersebut harus didasarkan atas permintaan pimpinan kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian serta tunduk pada ketentuan administrasi yang berlaku dalam lingkungan departemen (kementerian) dan lembaga pemerintah nondepartemen dimaksud. Sedangkan, dalam ketentuan Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 ditentukan anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. “Jabatan di luar kepolisian" dimaksud adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari Kepala Polri.
Ketentuan ini sejalan dengan UU 5/2014 yang membuka peluang bagi kalangan non-PNS untuk mengisi jabatan pimpinan tinggi madya tertentu sepanjang dengan persetujuan Presiden dan pengisiannya dilakukan secara terbuka dan kompetitif serta ditetapkan dalam Keputusan Presiden [vide Pasal 109 ayat (1) UU 5/2014]. Selain yang telah ditentukan di atas, UU 5/2014 juga membuka peluang pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi yang dapat diisi oleh prajurit TNI dan anggota Polri setelah mengundurkan diri dari dinas aktif apabila dibutuhkan dan sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan melalui proses secara terbuka dan kompetitif [vide Pasal 109 ayat (2) UU 5/2014]. Jabatan pimpinan tinggi dimaksud dapat pimpinan tinggi utama, pimpinan tinggi madya dan pimpinan tinggi pratama [vide Pasal 19 ayat (1) UU 5/2014]. Artinya, sepanjang seseorang sedang menjabat sebagai pimpinan tinggi madya atau pimpinan tinggi pratama, yang bersangkutan dapat diangkat sebagai penjabat kepala daerah.
Berkenaan dengan jabatan pimpinan tinggi tersebut, UU 5/2014 juga telah menentukan fungsinya yaitu: 1) memimpin dan memotivasi setiap pegawai ASN pada instansi pemerintah melalui kepeloporan dalam bidang keahlian profesional, analisis dan rekomendasi kebijakan, dan kepemimpinan manajemen; 2) pengembangan kerja sama dengan instansi lain; dan 3) keteladanan dalam mengamalkan nilai dasar ASN dan melaksanakan kode etik dan kode perilaku ASN [vide Pasal 19 ayat (2) UU 5/2014]. Artinya, pejabat pimpinan tinggi madya yang diangkat sebagai penjabat gubernur dan pejabat pimpinan tinggi pratama yang diangkat sebagai penjabat bupati/walikota harus dapat menjalankan amanat fungsi tersebut dalam lingkup jabatannya, termasuk ketika diangkat sebagai penjabat gubernur/bupati/walikota, agar roda penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat berjalan sebagaimana mestinya. Selain itu, penjabat gubernur/bupati/walikota sebagai bagian dari jabatan ASN terikat pada asas-asas ASN dalam menjalankan fungsinya yang salah satunya adalah asas netralitas yakni setiap pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun dan menjadi tanggung jawab penjabat kepala daerah untuk menjamin terjaganya netralitas ASN tersebut.
Bahwa dari semua hal tersebut di atas hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam pengangkatan penjabat kepala daerah yang akan mengisi kekosongan posisi gubernur/bupati/walikota adalah tidak boleh mengangkat penjabat yang tidak memiliki pemahaman utuh terhadap ideologi Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta pemahaman terhadap politik nasional yang baik. Selain itu, yang bersangkutan juga harus memiliki kompetensi manajerial pemerintahan yang baik, sehingga dalam melaksanakan tugasnya sebagai pimpinan daerah sementara dapat memenuhi harapan dan keinginan masyarakat di daerahnya masing-masing sehingga masyarakat dapat mengapresiasi kepemimpinan penjabat tersebut meskipun kepemimpinannya hanya sementara. Terlebih lagi, penjabat gubernur/bupati/walikota harus dapat bekerjasama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, dalam proses mengangkat penjabat kepala daerah sebagaimana dimaksud oleh Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016 pemerintah terlebih dahulu harus membuat pemetaan kondisi riil masing-masing daerah dan kebutuhan penjabat kepala daerah yang memenuhi syarat sebagai penjabat kepala daerah dan memerhatikan kepentingan daerah dan dapat dievaluasi setiap waktu secara berkala oleh pejabat yang berwenang. Sehingga, dengan demikian akan menghasilkan para Penjabat Daerah yang berkualitas dalam memimpin daerahnya masing-masing untuk waktu sementara sampai adanya kepala daerah dan wakil kepala daerah definitif berdasarkan hasil Pilkada serentak nasional tahun 2024. Hal demikian juga telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Sub-paragraf [3.14.3] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021, bertanggal 20 April 2022 yang telah diucapkan sebelumnya, antara lain mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.14.3] Bahwa terkait dengan pengisian penjabat kepala daerah untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa proses pengisian kekosongan jabatan kepala daerah juga masih dalam ruang lingkup pemaknaan “secara demokratis” sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Oleh karenanya, perlu menjadi pertimbangan dan perhatian bagi pemerintah untuk menerbitkan peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut Pasal 201 UU 10/2016, sehingga tersedia mekanisme dan persyaratan yang terukur dan jelas bahwa pengisian penjabat tersebut tidak mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi dan sekaligus memberikan jaminan bagi masyarakat bahwa mekanisme pengisian penjabat berlangsung terbuka, transparan, dan akuntabel untuk menghasilkan pemimpin yang kompeten, berintegritas, sesuai dengan aspirasi daerah serta bekerja dengan tulus untuk rakyat dan kemajuan daerah. Selain itu, dengan peran sentral yang dimiliki oleh kepala daerah dan wakil kepala daerah serta dengan mempertimbangkan lamanya daerah dipimpin oleh penjabat kepala daerah maka perlu dipertimbangkan pemberian kewenangan penjabat kepala daerah dalam masa transisi menuju Pilkada serentak secara nasional yang sama dengan kepala daerah definitif. Sebab, dengan kewenangan penuh yang dimiliki penjabat kepala daerah yang ditunjuk maka akselerasi perkembangan pembangunan daerah tetap dapat diwujudkan tanpa ada perbedaan antara daerah yang dipimpin oleh penjabat kepala daerah maupun yang definitif.
[3.13.4] Bahwa berkaitan dengan dalil para Pemohon yang pada pokoknya menyatakan para Penjabat kepala daerah yang ditunjuk menggantikan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang habis masa jabatannya diragukan dalam membuat rencana pembangunan daerah yakni apakah telah sesuai atau tidak dengan visi misi RPJP daerah dan juga sesuai dengan kebutuhan daerah. Menurut Mahkamah, kekhawatiran para Pemohon tersebut dapat dipahami sehingga dalam penunjukkan penjabat kepala daerah harus dipertimbangkan secara cermat bahwa penjabat dimaksud mampu menjalankan rencana pembangunan daerah yang bersangkutan sesuai dengan visi misi RPJP daerah dimaksud. Terlebih lagi, penjabat kepala daerah yang diangkat tersebut mempunyai kewenangan yang sama dengan kepala daerah definitif. Oleh karena itu, menurut Mahkamah kepemimpinan penjabat kepala daerah sesuai dengan ketentuan peralihan tersebut tetap berupaya mencapai agenda pembangunan di daerah yang bersangkutan. Berdasarkan pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas, menurut Mahkamah, dalil-dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, telah ternyata Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016 sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat, pilkada yang demokratis, persamaan kedudukan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh UUD 1945. Dengan demikian, permohonan para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dinyatakan Tidak Dapat Diterima dan Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN FORMIL UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2021 TENTANG HARMONISASI PERATURAN PERPAJAKAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-04-2022

Dr. Ir. Priyanto, S.H., M.H., M.M. yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Oktavia Sastray A., S.H., MT., dkk, advokat pada Kantor Hukum Pro Humania, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

-

-

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian formil UU 7/21 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon adalah pengujian formil undang-undang, in casu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736,
selanjutnya disebut UU 7/2021) terhadap UUD 1945 maka Mahkamah berwenang
mengadili permohonan a quo.

Tenggang Waktu Pengujian Formil

[3.3] Menimbang bahwa terkait dengan tenggang waktu pengajuan permohonan pengujian formil, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009, bertanggal 16 Juni 2010, Paragraf [3.34] menyatakan:
“Menimbang bahwa terlepas dari putusan dalam pokok permohonan a quo Mahkamah memandang perlu untuk memberikan batasan waktu atau tenggat suatu Undang-Undang dapat diuji secara formil. Pertimbangan pembatasan tenggat ini diperlukan mengingat karakteristik dari pengujian formil berbeda dengan pengujian materiil. Sebuah Undang-Undang yang dibentuk tidak berdasarkan tata cara sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945 akan dapat mudah diketahui dibandingkan dengan Undang-Undang yang substansinya bertentangan dengan UUD 1945. Untuk kepastian hukum, sebuah Undang-Undang perlu dapat lebih cepat diketahui statusnya apakah telah dibuat secara sah atau tidak, sebab pengujian secara formil akan menyebabkan Undang-Undang batal sejak awal. Mahkamah memandang bahwa tenggat 45 (empat puluh lima) hari setelah Undang-Undang dimuat dalam Lembaran Negara sebagai waktu yang cukup untuk mengajukan pengujian formil terhadap Undang-Undang;”
2. Bahwa Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 15/2019) menyatakan:
“Pengundangan adalah penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, atau Berita Daerah.”
3. Bahwa merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009 tersebut di atas, yang dimaksud dengan frasa “45 (empat puluh lima) hari setelah Undang-Undang dimuat dalam Lembaran Negara sebagai waktu yang cukup untuk mengajukan pengujian formil terhadap Undang-Undang” kemudian dipertegas dalam Pasal 9 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang adalah “Permohonan pengujian formil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) diajukan dalam jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima) hari sejak undang-undang atau Perppu diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia”;
4. Bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan pengujian formil UU 7/2021 ke Mahkamah Konstitusi pada 21 Januari 2022 berdasarkan Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 10/PUU/PAN.MK/AP3/01/2022 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) pada 26 Januari 2022 dengan Nomor 14/PUU-XX/2022;
5. Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut di atas, oleh karena UU 7/2021 diundangkan pada 29 Oktober 2021, maka tenggat 45 hari sejak UndangUndang a quo diundangkan dalam Lembaran Negara adalah pada 12 Desember 2021. Dengan demikian, permohonan pengujian formil UU 7/2021 yang diajukan oleh Pemohon dalam permohonan bertanggal 21 Januari 2022 diajukan melewati tenggang waktu pengajuan permohonan yang ditentukan sebagaimana ditentukan oleh angka 1 dan angka 3 di atas.
[3.4] Menimbang bahwa oleh karena permohonan pengujian formil Pemohon diajukan melewati tenggang waktu pengajuan permohonan maka kedudukan hukum dan pokok permohonan pengujian formil Pemohon, serta hal-hal lainnya tidak dipertimbangkan

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-04-2022

Syafril Sjofyan, Tito Roesbandi, dkk, untuk selanjutnya disebut Para Pemohon.

Pasal 222 UU 7/2017

Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.6] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara saksama uraian dari para Pemohon dalam menjelaskan kerugian hak konstitusionalnya, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.5] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.6.1] Bahwa berkenaan dengan kualifikasi para Pemohon sebagai perorangan warga negara Indonesia yang memiliki hak untuk memilih dalam pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017, Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 74/PUU-XVIII/2020, bertanggal 14 Januari 2021 kemudian ditegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-XIX/2021, bertanggal 24 Februari 2022 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 8/PUUXX/2022, bertanggal 29 Maret 2022 telah mempertimbangkan yang pada pokoknya sebagai berikut:
“[3.6.2] ... jelaslah bahwa Mahkamah pernah memberikan kedudukan hukum terhadap perseorangan warga negara yang memiliki hak memilih untuk menguji norma berkenaan dengan ketentuan ambang batas pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden. Namun, oleh karena terdapat perbedaan mekanisme dan sistem yang digunakan dalam penentuan ambang batas pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu Tahun 2014 dengan Pemilu Tahun 2019 dan Pemilu berikutnya pada tahun 2024, sehingga terjadi pergeseran sebagaimana yang dipertimbangkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 74/PUUXVIII/2020 bahwa pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan berkenaan dengan persyaratan ambang batas untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden (presidential threshold) in casu, Pasal 222 UU 7/2017 adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu.
[3.6.3] Bahwa partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu memiliki kerugian hak konstitusional untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 222 UU 7/2017 sejalan dengan amanat konstitusi yaitu Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menentukan pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden ditentukan oleh partai politik atau gabungan partai politik, bukan oleh perseorangan. Demikian juga sejalan dengan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 yang secara eksplisit menentukan hanya partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya yang dapat mengusulkan dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden untuk dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan. Ketentuan konstitusi tersebut semakin menegaskan Mahkamah bahwa pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017 adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu, bukan perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk memilih.”
[3.6.2] Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum dalam putusan tersebut, berkenaan dengan anggapan adanya kerugian hak konstitusional yang dialami oleh perseorangan yang memiliki hak untuk memilih dalam Pemilu, Mahkamah berpendapat adanya aturan main terkait persyaratan ambang batas pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana ditentukan dalam Pasal 222 UU 7/2017 yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh para Pemohon telah diberlakukan sebelum pelaksanaan Pemilu Tahun 2019 di mana para Pemohon juga telah memiliki hak untuk memilih dan telah mengetahui hasil hak pilihnya dalam Pemilu Legislatif Tahun 2019 yang akan digunakan sebagai persyaratan ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dalam Pemilu Tahun 2024 mendatang. Dengan analogi demikian, maka anggapan adanya kerugian konstitusional, in casu terhambatnya hak untuk memilih (right to vote) yang dialami oleh para Pemohon menjadi tidak beralasan menurut hukum. Selain itu, terkait dengan anggapan adanya kerugian hak konstitusional para Pemohon karena terhambatnya haknya untuk memilih (right to vote) kandidat calon Presiden dan/atau Wakil Presiden yang memiliki lebih banyak pilihan, menurut Mahkamah, Pasal 222 UU 7/2017 sama sekali tidak membatasi jumlah pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang akan mengikuti pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden. Permasalahan berapa pasangan calon yang memenuhi syarat untuk mengikuti pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tidaklah ditentukan oleh norma yang diajukan para Pemohon, sehingga hal demikian bukanlah permasalahan norma melainkan permasalahan implementasi atas norma dimaksud yang sangat tergantung pada dinamika sosial dan politik yang berkembang dalam masyarakat yang termanifestasikan dalam keinginan partai politik. Terlebih lagi, norma yang diajukan oleh para Pemohon tidak menghalangi para Pemohon untuk bebas memberikan suaranya kepada pasangan calon presiden dan wakil presiden manapun yang telah memenuhi syarat. Dengan demikian, anggapan potensi kerugian yang diuraikan oleh para Pemohon tersebut, menurut Mahkamah para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo;
[3.6.3] Bahwa terkait dengan pertimbangan hukum yang dijadikan dasar dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-XIX/2021 sebagaimana diuraikan pada Sub-paragraf [3.6.1] di atas, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul berpendapat dalam pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017, Pemohon perseorangan sepanjang dapat menjelaskan atau menguraikan memiliki hak untuk memilih (right to vote) adalah memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan. Dalam pokok permohonan, norma Pasal 222 UU 7/2017 yang mengatur mengenai persyaratan ambang batas pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden adalah konstitusional dan terkait dengan batasan persentase yang ditentukan dalam norma a quo merupakan kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang (open legal policy) sehingga menolak permohonan Pemohon. Sementara itu, Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi Isra berpendapat para Pemohon perseorangan sepanjang dapat menjelaskan atau menguraikan memiliki hak untuk memilih (right to vote) adalah memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017, serta dalam pokok permohonan berpendapat norma Pasal 222 UU 7/2017 adalah inkonstitusional sehingga permohonan beralasan menurut hukum dan seharusnya Mahkamah mengabulkan permohonan para Pemohon sebagaimana pendiriannya dalam putusan-putusan sebelumnya;
[3.7] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dinyatakan Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 4/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-04-2022

Anita Natalia Manafe, S.H. yang memberikan kuasa kepada Alvin Lim, S.H., M.Sc, dkk, advokat pada Law Firm LQ Indonesia, untuk selanjutnya disebut Pemohon

Pasal 5 ayat 1 huruf (a) KUHAP

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 5 ayat 1 huruf (a) KUHAP dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum pada pokoknya sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan Pemohon, oleh karena terhadap pengujian konstitusionalitas norma Pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP pernah diajukan permohonan pengujian, maka Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan apakah permohonan a quo memenuhi ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), sehingga terhadap norma a quo dapat dilakukan pengujian kembali.
[3.10.1] Bahwa terkait dengan pertimbangan pada Paragraf [3.10] di atas, Pasal 60 UU MK menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.
Kemudian Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang atau Perppu yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda.
[3.10.2] Bahwa Mahkamah pernah memutus pengujian norma Pasal 5 KUHAP, yaitu dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 126/PUU-XIII/2015, bertanggal 22 Maret 2016. Dasar pengujian yang digunakan adalah Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G, dan Pasal 28H UUD 1945, sedangkan Pemohon dalam perkara a quo menggunakan dasar pengujian Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Bahwa Pemohon dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 126/PUU-XIII/2015 berargumentasi Pasal 5 KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 karena adanya penggunaan laporan yang telah dicabut/dibatalkan/tidak berlaku masih digunakan sebagai dasar bagi kepolisian untuk melakukan penyidikan, sedangkan Pemohon dalam perkara a quo berargumentasi Pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 karena ketiadaan frasa “tidak mengadakan penghentian penyelidikan“ tidak memberikan kepastian hukum bagi Pemohon dalam memperjuangkan haknya untuk mendapat keadilan.
[3.10.3] Bahwa walaupun objek permohonan yang diajukan oleh Pemohon a quo sama dengan Perkara Nomor 126/PUU-XIII/2015, namun perkara a quo memiliki dasar pengujian yang berbeda yaitu Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 dan juga memiliki alasan yang berbeda, yaitu agar penghentian penyelidikan ditambahkan ke dalam norma Pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP. Oleh karena itu, dengan adanya perbedaan sebagaimana telah diuraikan pada Sub-paragraf [3.10.2] di atas, terlepas secara substansial permohonan a quo beralasan menurut hukum atau tidak maka secara formal permohonan a quo berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 PMK 2/2021 dapat diajukan kembali;
[3.11] Menimbang bahwa setelah membaca dan memeriksa secara saksama permohonan Pemohon dan memperhatikan alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan, maka isu konstitusional yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah apakah penghentian penyelidikan oleh penyelidik apabila tidak ditambahkan sebagai kewenangan penyelidik yang “tidak mengadakan penghentian penyelidikan“ dalam norma Pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP bertentangan dengan UUD 1945. Terhadap isu konstitusional tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa terkait dengan isu konstitusional yang didalilkan oleh Pemohon dalam permohonan a quo tidak dapat dipisahkan dengan isu konstitusionalitas yang didalilkan dalam permohonan-permohonan sebelumnya, yaitu Permohonan Nomor 9/PUU-XVII/2019 dan Nomor 53/PUU-XIX/2021. Oleh karena itu, terlebih dahulu Mahkamah perlu menegaskan kembali pendirian Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 9/PUU-XVII/2019 yang kemudian dikutip atau ditegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XIX/2021, khususnya dalam Paragraf [3.14] yang pada pokoknya sebagai berikut:
[3.14] ……pada tahap penyelidikan belum ada kepastian ditemukannya peristiwa pidana yang dapat ditindaklanjuti dengan penyidikan, karena hal tersebut sangat tergantung pada ditemukannya bukti yang cukup bahwa suatu perbuatan adalah peristiwa atau perbuatan pidana. Karena belum ditemukan adanya peristiwa pidana maka tidak ada proses yang menindaklanjuti dalam bentuk penegakan hukum (pro justitia) yang di dalamnya dapat melekat kewenangan pada penyidik yang menindaklanjuti penyelidikan tersebut, baik berupa upaya paksa yang dapat berimplikasi pada perampasan kemerdekaan orang atau benda/barang, sehingga esensi untuk melakukan pengawasan terhadap aparat penegak hukum agar tidak melakukan tindakan sewenang-wenang belum beralasan untuk diterapkan, mengingat salah satu instrumen hukum untuk dapat dijadikan sebagai alat kontrol atau pengawasan adalah lembaga praperadilan yang belum dapat “bekerja” dikarenakan dalam tahap penyelidikan belum ada upaya-upaya paksa yang dapat berakibat adanya bentuk perampasan kemerdekaan baik orang maupun benda/barang. Sementara itu, dalam tahap penyidikan telah dimulai adanya penegakan hukum yang berdampak adanya upaya-upaya paksa berupa perampasan kemerdekaan terhadap orang atau benda/barang dan sejak pada tahap itulah sesungguhnya perlindungan hukum atas hak asasi manusia sudah relevan diberikan.
Pertimbangan Mahkamah a quo semakin menegaskan definisi dari Penyelidikan yang diatur dalam Pasal 1 angka 5 KUHAP dan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyatakan:
“Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.”
Oleh karena itu, dengan mencermati arti sesungguhnya dari penyelidikan dapat diperoleh kesimpulan bahwa proses penyelidikan adalah suatu rangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana untuk dapat atau tidaknya ditindaklanjuti dengan penyidikan. Dengan demikian, meskipun dalam proses penyelidikan tidak dikenal secara tegas adanya penghentian penyelidikan, namun dengan adanya bagian proses penyelidikan yang memberikan kewenangan kepada penyelidik untuk menentukan serangkaian tindakan penyelidik dapat atau tidaknya ditindaklanjuti dengan proses penyidikan, hal tersebut menunjukkan bahwa penyelidik diberi kewenangan untuk membuat keputusan dapat atau tidaknya penyelidikan tersebut ditingkatkan ke dalam tahap penyidikan. Sehingga, meskipun tidak dicantumkannya penghentian penyelidikan dalam norma Pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP, hal tersebut bukan berarti tidak ada kewenangan bagi penyelidik untuk menghentikan penyelidikan. Justru terhadap proses penyelidikan yang tidak memenuhi syarat-syarat normatif dan tidak dilakukan penghentian penyelidikan maka hal tersebut dapat menimbulkan adanya ketidakpastian hukum.
[3.11.2] Bahwa adalah benar Pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP tidak mengatur mengenai penghentian penyelidikan, namun apabila kemudian terjadi tindakan penghentian penyelidikan karena peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana ternyata tidak memenuhi unsur-unsur adanya peristiwa pidana, maka hal tersebut tidak serta merta menjadi bertentangan dengan UUD 1945 khususnya kepastian hukum yang adil.
Hak konstitusional yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 di antaranya adalah menjamin adanya kepastian hukum yang adil, sehingga menurut Mahkamah, penghentian penyelidikan terhadap peristiwa yang bukan merupakan tindak pidana justru memberi kepastian hukum. Hal itu dengan mendasarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 9/PUU-XVII/2019 khususnya Sub-paragraf [3.13.1] hlm. 22 yang menyatakan:
“… Lebih lanjut apabila dicermati dari seluruh unsur agar dapat terpenuhinya tindakan penyelidikan sebagaimana dimaksudkan pada uraian di atas maka secara sederhana sebenarnya dapat dipahami bahwa serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyelidik yang menjadi batasan ruang lingkup tugas dan kewenangannya adalah terbatas pada tindakan yang dilakukan untuk memastikan bahwa adanya laporan atau pengaduan yang diterima benar-benar memenuhi unsur adanya dugaan tindak pidana. Oleh karenanya yang terjadi sesungguhnya adalah tindakan penyelidik yang berupa tindakan permulaan yang pada dasarnya hanyalah mencari dan mengumpulkan keterangan orang dan barang bukti untuk mendapatkan kesimpulan bahwa suatu peristiwa adalah tindak pidana. Dari batasan tugas dan kewenangan penyelidik tersebut di atas dapat diukur bentangan rangkaian yang menjadi titik batasan kewenangan penyelidik apabila dikaitkan dengan status adanya sebuah peristiwa, apakah sudah mengandung adanya unsur-unsur peristiwa yang dapat dikatakan adanya peristiwa pidana ataukah belum. Batasan-batasan tersebut diperlukan guna memastikan bahwa sebuah peristiwa adalah peristiwa pidana dan oleh karenanya terhadap peristiwa tersebut sudah dapat dilekatkan adanya tindakan upaya paksa yang dibenarkan oleh undang-undang. Dengan kata lain, apabila oleh penyelidik suatu peristiwa telah dipastikan adalah peristiwa pidana maka proses yang harus dilanjutkan adalah dengan tindakan penyidikan. Namun demikian, apabila yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu ternyata melalui tindakan penyelidikan tersebut tidak dapat ditemukan adanya dugaan peristiwa pidana maka penyelidik dapat menghentikan penyelidikannya. Meskipun secara formal tentang penghentian penyelidikan tidak dikenal dalam KUHAP, namun sesungguhnya hal tersebut tidak serta-merta menjadikan laporan atau pengaduan yang telah ditindaklanjuti dengan penyelidikan tersebut tidak dapat dibuka kembali. Hal ini karena secara substansial sepanjang pada perkembangan selanjutnya apabila terhadap laporan atau pengaduan tersebut ditemukan bukti baru maka hal itu dapat menjadi alasan bahwa penyelidikan tersebut dapat dilanjutkan kembali.”
Dengan berdasarkan pertimbangan Mahkamah tersebut di atas, maka tindakan penghentian penyelidikan oleh penyelidik meskipun tidak secara tegas diamanatkan dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP adalah tidak bertentangan dengan UUD 1945. Terlebih setiap laporan adanya dugaan tindak pidana setelah dilakukan penyelidikan tidak terdapat cukup bukti untuk ditindaklanjuti ke dalam tahap penyidikan. Demikian pula terhadap proses penyelidikan yang sudah dilakukan penghentian penyelidikan tidak tertutup kemungkinan dapat dilakukan penyelidikan kembali sepanjang terhadap laporan adanya dugaan tindak pidana yang bersangkutan ditemukan alat bukti baru. Dengan demikian, penghentian penyelidikan yang tidak diatur secara khusus ke dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP tidak menghalangi hak konstitusional Pemohon sebagai Pelapor untuk mendapatkan keadilan.
Bahwa secara doktriner dan apabila dikaitkan dengan prinsip hukum administrasi negara, in casu meskipun terhadap penghentian penyelidikan tidak dikenal atau tidak diatur di dalam KUHAP, namun hal tersebut tetap memberikan diskresi (asas freies ermerssen) kepada pejabat tata usaha negara dalam hal ini adalah Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), yaitu menggunakan kebijakannya untuk mengatur hal-hal yang belum diatur dalam peraturan perundangan dengan tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku. Terlebih, terkait dengan penghentian penyelidikan, Kapolri sebagai Pejabat Tata Usaha Negara, misalnya telah menerbitkan Surat Edaran Kapolri Nomor SE/7/VII/2018 tentang Penghentian Penyelidikan. Oleh karena itu, tanpa bermaksud menilai legalitas Surat Edaran Kapolri sebagaimana tersebut di atas telah ternyata di dalam Surat Edaran Kapolri tersebut telah mengatur tentang tata cara dan tahapan dalam penghentian penyelidikan.
[3.12] Menimbang bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Mahkamah berpendapat, meskipun norma Pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP tidak ditambah dengan frasa “tidak mengadakan penghentian penyelidikan” sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon ternyata norma a quo telah memberikan kepastian hukum yang adil sehingga tidak bertentangan dengan UUD 1945.
[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, dalil-dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 3/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-04-2022

Endang Kusnandar, Asyriqin Syarif Wahadi, Kahono Wibowo, Mohamad Abdurrahman, Yusran, Pipit Haryanti, S. EI., dan Rusmanto, yang memberikan kuasa kepada Deny Syahrial Simorangkir, S.H., M.H., dkk., para advokat pada Kantor LBH Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Republik Indonesia (LPM RI) untuk selanjutnya disebut Para Pemohon.

Pasal 25, Pasal 39 ayat (1), dan Pasal 48 UU 6/2014

Pasal 18 ayat (2), 18 ayat (6), dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 25, Pasal 39 ayat (1), dan Pasal 48 UU 6/2014 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.9] Menimbang bahwa oleh karena permohonan a quo telah jelas maka dengan bersandar pada Pasal 54 UU MK, Mahkamah berpendapat tidak terdapat urgensi dan relevansinya untuk mendengar keterangan pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 UU MK dimaksud;

[3.11] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan mengenai konstitusionalitas norma yang dipermasalahkan oleh para Pemohon, penting bagi Mahkamah untuk terlebih dahulu mempertimbangkan halhal sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa UU 6/2014 merupakan pengganti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU 32/2004) yang menyatukan pengaturan desa dengan pemerintahan daerah. Untuk menguatkan keberadaan desa dan sejalan dengan maksud Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”, maka desa yang memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, perlu diatur dalam undang-undang tersendiri. Adanya pengaturan tersebut akan memberikan landasan yang kuat terhadap keberadaan desa termasuk desa adat karena selama ini kesatuan masyarakat hukum adat menjadi bagian dari wilayah desa, sehingga tidak dapat secara maksimal melaksanakan hak-hak asal usulnya, terutama terkait dengan pelestarian sosial desa adat, pengaturan dan pengurusan wilayah adat, sidang perdamaian adat, pemeliharaan ketentraman dan ketertiban masyarakat hukum adat, serta pengaturan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli. Dengan dipertegasnya keberadaan desa adat maka untuk pengaturan pengangkatan kepala desa dan masa jabatannya ditentukan sendiri oleh masyarakat desa adat. Hal inilah yang membedakan antara penyelenggaraan pemerintahan desa adat dengan penyelenggaraan pemerintahan desa. Walaupun antara desa dan desa adat melakukan tugas yang hampir sama, namun untuk pengaturan mengenai pengangkatan dan masa jabatan kepala desa dilakukan sesuai dengan UU 6/2014 [vide Bab V tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Penjelasan Umum, dan Pasal 109 UU 6/2014].
[3.11.2] Bahwa salah satu tujuan dibentuknya UU 6/2014 adalah untuk memberikan pengakuan dan penghormatan atas desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat desa. Adanya pengakuan dan penghormatan tersebut harus dilandasi oleh asas keberagaman sesuai dengan sistem nilai yang berlaku di masyarakat desa, dengan tetap mengindahkan sistem nilai bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hal ini, UU 6/2014 memberikan penekanan yang kuat terhadap keberagaman dengan menyatakan “desa atau yang disebut dengan nama lain”. Oleh karena itu, dalam Pasal 6 UU 6/2014 dinyatakan penyebutan desa atau desa adat dapat disesuaikan dengan penyebutan yang berlaku di daerah setempat. Selanjutnya, dijelaskan dalam Pasal 6 UU 6/2014, adanya pengaturan desa dan desa adat tersebut adalah untuk mencegah terjadinya tumpang tindih wilayah, kewenangan, duplikasi kelembagaan antara desa dan desa adat dalam 1 (satu) wilayah sehingga dalam 1 (satu) wilayah hanya terdapat desa atau desa adat.

[3.12] Menimbang bahwa berkenaan dengan dalil Pemohon I sampai dengan Pemohon VI yang mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 25 UU 6/2014 yang menentukan penyebutan “Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain” telah menimbulkan ketidakpastian sehingga Pemohon I sampai dengan Pemohon VI mengalami diskriminasi perlakuan akibat adanya penyebutan kepala desa, misalnya dengan sebutan Kuwu atau Petinggi sebagaimana Surat Keputusan Pengangkatannya oleh Bupati.
Terhadap dalil Pemohon I sampai dengan Pemohon VI tersebut, penting bagi Mahkamah menegaskan esensi Pasal 25 UU 6/2014 yang pada pokoknya penyebutan kepala desa pada suatu desa tidak harus “kepala desa” tetapi dapat digunakan sebutan lain sesuai dengan kondisi masing-masing daerah. Sebagaimana halnya juga penyebutan desa dapat digunakan dengan penyebutan nama lain. Penggunaan nama lain tersebut diakomodasi dalam UU 6/2014 sejalan dengan amanah dan semangat yang melatarbelakangi perumusan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Hal tersebut juga menjadi dasar pemikiran yang melandasi pembentukan UU 6/2014 bahwa:
Desa atau yang disebut dengan nama lain telah ada sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk. Sebagai bukti keberadaannya, Penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum perubahan) menyebutkan bahwa “Dalam territori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 “Zelfbesturende landschappen” dan “Volksgemeenschappen”, seperti desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, dan sebagainya. Daerahdaerah itu mempunyai susunan Asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hakhak asal usul daerah tersebut”. Oleh sebab itu, keberadaannya wajib tetap diakui dan diberikan jaminan keberlangsungan hidupnya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. [vide Penjelasan Umum UU 6/2014]
Bertolak dari pemikiran tersebut, desa atau yang disebut dengan nama lain tersebut tidak datang secara tiba-tiba tetapi penyebutan tersebut sudah ada sejak sebelum Indonesia merdeka yang kemudian dilestarikan sebagai wujud asas rekognisi terhadap hak asal usul desa. Namun, dalam hal penyelenggaraan pemerintahan desa mempunyai karakteristik yang berlaku umum untuk seluruh Indonesia sehingga berlaku sepenuhnya UU 6/2014. Sedangkan, untuk Desa Adat atau yang disebut dengan nama lain mempunyai karakteristik yang berbeda dari Desa pada umumnya, terutama karena kuatnya pengaruh adat terhadap sistem pemerintahan lokal, pengelolaan sumber daya lokal, dan kehidupan sosial budaya masyarakat desa. Berkenaan dengan adanya frasa “dengan nama lain”, pilihan demikian menunjukkan fleksibilitas dalam pengaturan yang dalam praktik dapat disesuaikan dengan keberagaman dalam pengelolaan pemerintahan desa di Indonesia.
Berkenaan dengan dalil Pemohon I sampai dengan Pemohon VI yang beranggapan bahwa adanya penyebutan lain dari Kepala Desa telah menimbulkan ketidakpastian dan pada faktanya sering kali menimbulkan kesulitan administrasi karena sebutan tersebut harus tertera dalam kop surat maupun stempel, di mana tidak setiap instansi memahami sebutan di luar penyebutan kepala desa yang sudah umum digunakan, menurut Mahkamah, persoalan tersebut sesungguhnya merupakan bagian dari penerapan norma yang mengharuskan kepala desa atau yang disebut dengan nama lain beserta perangkatnya melakukan, misalnya sosialisasi atas sebutan lain dari kepala desa tersebut sesuai dengan Surat Keputusan pengangkatannya. Dengan kata lain, tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma dalam Pasal 25 UU 6/2014.

[3.13] Menimbang bahwa selanjutnya Pemohon I sampai dengan Pemohon VI mendalilkan juga ketentuan masa jabatan kepala desa 6 (enam) tahun dalam norma Pasal 39 ayat (1) UU 6/2014 bertentangan dengan prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18 ayat (2) dan ayat (6) UUD 1945 karena adanya pembatasan masa jabatan tersebut tidak mencukupi bagi kepala desa dalam melaksanakan visi dan misinya sehingga seharusnya menurut Pemohon I sampai dengan Pemohon VI, masa jabatan kepala desa ditentukan sendiri oleh desa sesuai dengan adat istiadat desa.
Terhadap dalil Pemohon I sampai dengan Pemohon VI a quo, penting bagi Mahkamah untuk terlebih dahulu menjelaskan secara utuh ketentuan mengenai masa jabatan kepala desa dalam UU 6/2014. Pasal 39 ayat (1) UU 6/2014 menyatakan, “Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan”. Selanjutnya, dalam ayat (2) menyatakan, “Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut”. Sementara itu, terkait dengan Penjelasan kedua ayat tersebut pada alinea pertama menjelaskan, “Yang dimaksud dengan ‘terhitung sejak tanggal pelantikan’ adalah seseorang yang telah dilantik sebagai Kepala Desa maka apabila yang bersangkutan mengundurkan diri sebelum habis masa jabatannya dianggap telah menjabat satu periode masa jabatan 6 (enam) tahun”. Selanjutnya berkenaan dengan Penjelasan alinea kedua, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUUXIX/2021, bertanggal 20 September 2021, telah dinyatakan konstitusional bersyarat yang amar putusannya menyatakan sebagai berikut:
“Kepala desa yang sudah menjabat 1 (satu) periode, baik berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa maupun berdasarkan undang-undang sebelumnya masih diberi kesempatan untuk menjabat 2 (dua) periode. Begitu pula, bagi kepala desa yang sudah menjabat 2 (dua) periode, baik berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa maupun berdasarkan undangundang sebelumnya masih diberi kesempatan untuk menjabat 1 (satu) periode”.
Berkaitan dengan uraian di atas, UU 6/2014 telah terang benderang menghendaki masa jabatan kepala desa adalah 6 (enam) tahun dan apabila terpilih kembali maka yang bersangkutan dapat menduduki jabatannya hingga 3 (tiga) periode atau sama dengan maksimal 18 (delapan belas) tahun baik berturut-turut maupun tidak berturut-turut. Hal ini yang membedakannya dengan kepala desa dari Desa Adat di mana masa jabatan kepala desanya tidak mengikuti ketentuan Pasal 39 UU 6/2014 melainkan berdasarkan ketentuan Pasal 109 UU 6/2014 yang menyatakan, “Susunan kelembagaan, pengisian jabatan, dan masa jabatan Kepala Desa Adat berdasarkan hukum adat ditetapkan dalam peraturan daerah Provinsi”. Dalam hal ini, dijelaskan untuk pengisian jabatan dan masa jabatan Kepala Desa Adat berlaku ketentuan hukum adat di Desa Adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah [vide Penjelasan Umum UU 6/2014]. Oleh karena itu, dalil Pemohon I sampai dengan Pemohon VI yang menginginkan agar masa jabatan kepala desa ditentukan oleh desa itu sendiri justru akan menimbulkan tumpang tindih dengan pengaturan bagi Desa Adat di mana sepanjang memenuhi persyaratan ketentuan Pasal 97 UU 6/2014, desa adat dapat mengatur sendiri masa jabatan kepala desanya yang dapat tidak mengikuti ketentuan periodesasi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 39 UU 6/2014. Sementara, yang dimohonkan oleh Pemohon I sampai dengan Pemohon VI adalah masa jabatan Kepala Desa yang bukan Desa Adat di mana kepala desanya dipilih secara langsung oleh dan dari penduduk desa yang memenuhi persyaratan sehingga bagi Kepala Desa tersebut berlaku periodesasi sebagaimana ketentuan Pasal 39 UU 6/2014 yang Penjelasan alinea keduanya telah diberikan pemaknaan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUUXIX/2021. Jika hal ini dihilangkan dan diatur sendiri oleh masyarakat desa, justru akan menimbulkan ketidakjelasan perbedaan antara desa dan desa adat. Oleh karenanya, persoalan ketidakcukupan waktu bagi kepala desa dalam menjalankan visi dan misinya selama periode masa jabatan 6 (enam) tahun sebagaimana dalil Pemohon I sampai dengan Pemohon VI bukan merupakan persoalan konstitusionalitas norma. Terlebih, jika dibandingkan dengan masa jabatan pejabat publik lain yang juga dipilih secara langsung, yakni ditentukan hanya 5 (lima) tahun dan dapat dipilih lagi untuk sekali masa jabatan sehingga jika menjabat 2 (dua) kali masa jabatan menjadi maksimal 10 (sepuluh) tahun. Sementara, masa jabatan Kepala Desa dapat maksimal hingga 18 (delapan belas) tahun sehingga seharusnya Kepala Desa tersebut dapat memaksimalkan pelaksanaan visi dan misinya jika yang bersangkutan terpilih kembali. Dengan demikian, persoalan stabilitas politik yang didalilkan Pemohon I sampai dengan Pemohon VI karena Kepala Desa yang telah menjabat tersebut harus berkompetisi kembali untuk masa jabatan berikutnya sesungguhnya merupakan ekspresi dari kekhawatiran Pemohon I sampai dengan Pemohon VI yang tidak berkaitan dengan persoalan konstitusionalitas norma Pasal 39 ayat (1) UU 6/2014.

[3.14] Menimbang bahwa terkait dengan dalil Pemohon VII yang mempersoalkan norma Pasal 48 UU 6/2014 yang menyeragamkan penyebutan Perangkat Desa sehingga bertentangan dengan otonomi desa dan menimbulkan multitafsir sebagaimana dijamin oleh Pasal 18 ayat (2) dan ayat (6) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena masyarakat tidak mengenal istilah Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat (Kaur Kesra) dan Sekretaris sebagai bagian dari perangkat desa, tetapi lebih mengenal sebutan misalnya Pamong Desa atau Modin, Bayan, Jogoboyo, Ulu-ulu, Lebe, Raksa Bumi, Juru Tulis, Carik, Kebayan, Ladu, Kamituwo, Petengan, Bekel. Oleh karena itu, menurut Pemohon VII dalam proses seleksi Perangkat Desa, banyak calon Perangkat Desa yang tidak mengetahui tugas dan kewajiban atas jabatan yang akan dilamar karena perubahan penyebutan Perangkat Desa yang tidak sesuai dengan kearifan lokal. Berkenaan dengan dalil Pemohon VII a quo, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa esensi Pasal 48 UU a quo yang mengatur khusus mengenai Perangkat Desa yang merupakan unsur staf dengan tugas membantu kepala desa dalam penyusunan kebijakan dan koordinasi yang diwadahi dalam sekretariat desa, dan unsur pendukung tugas “kepala desa” dalam pelaksanaan kebijakan yang diwadahi dalam bentuk pelaksana teknis dan unsur kewilayahan. Oleh karena itu, unsur Perangkat Desa terdiri atas sekretariat Desa, pelaksana kewilayahan, dan pelaksana teknis. Untuk pengangkatan Perangkat Desa, “Kepala Desa” harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan camat yang bertindak atas nama Bupati/Walikota. Namun demikian, dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya sebagai Perangkat Desa bertanggung jawab kepada “Kepala Desa”.
Selanjutnya berkenaan dengan persoalan penyebutan Perangkat Desa yang menurut Pemohon VII tidak sesuai dengan kearifan lokal karena diseragamkan, sebagaimana pertimbangan Mahkamah pada Paragraf [3.11] di atas, sesungguhnya penyebutan desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain didasarkan pada hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia [vide Pasal 1 UU 6/2014]. Bahkan, untuk pengaturan perangkat desa diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah sesuai dengan prinsip otonomi daerah sebagaimana yang Pemohon VII dalilkan. Hal ini sejalan dengan tujuan dibentuknya UU 6/2014 yang menyatakan salah satunya adalah untuk memberikan pengakuan dan penghormatan atas desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian, UU 6/2014 tidak melakukan upaya penyeragaman penyebutan. Bahkan, desa dapat menggunakan sebutan lain yang didasarkan pada hak asal usul desa yang sudah sejak lama dikenal oleh masyarakat desa. Dengan demikian, desa dapat lebih mudah melakukan kewajibannya untuk mengembangkan pemberdayaan masyarakat desa, dan memberikan serta meningkatkan pelayanan kepada masyarakat desa [vide Pasal 67 ayat (2) huruf d dan huruf e UU 6/2014]. Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma dalam Pasal 48 UU 6/2014. Sementara itu, berkaitan dengan dalil Pemohon VII mengenai ketidaktahuan calon Perangkat Desa terkait tugas dan kewajiban yang akan dijabat karena adanya penyeragaman penyebutan Perangkat Desa, hal tersebut bukanlah persoalan konstitusionalitas norma melainkan merupakan implementasi norma.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 67/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-04-2022

Bartolomeus Mirip dan Makbul Mubarak, yang memberikan kuasa kepada Ahmad Irawan S.H., dan Zain Maulana Husein, S.H., M.Kn, advokat pada kantor hukum Ahmad Irawan & Associates, untuk selanjutnya disebut sebagai para Pemohon.

Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU 10/2016

Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU 10/2016 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum pada pokoknya sebagai berikut:
[3.11] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut dalil permohonan para Pemohon, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan mengenai pengaturan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pilkada) dalam UUD 1945 sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, maka kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih secara demokratis. Secara historis, momentum reformasi menjadikan semangat aspirasi rakyat untuk melakukan evaluasi atas Pilkada yang sebelumnya dilaksanakan secara tidak langsung, di mana rakyat memilih wakilnya dalam legislatif di tingkat daerah dan kemudian para legislator yang memiliki hak dan kewenangan untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah. Diskursus mengenai desain penyelenggaraan Pilkada tersebut juga disampaikan pada pembahasan Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR yang mempersiapkan perubahan UUD 1945 tahun 2000. Selanjutnya hasil kesepakatan yang menjadi keputusan MPR dalam perubahan kedua UUD 1945 adalah dengan menggunakan frasa “dipilih secara demokratis” yang merupakan jalan tengah antara pendapat yang menyerukan dipilih secara langsung atau tidak langsung. Terkait dengan pengertian “dipilih secara demokratis” tersebut, Mahkamah perlu mengutip kembali pertimbangan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073/PUU-II/2004, bertanggal 22 Maret 2005 sebagai berikut:
Bahwa untuk memberi pengertian dipilih secara langsung sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, Mahkamah juga mengaitkan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dengan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945, yang sebagaimana halnya dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 adalah hasil perubahan ke dua UUD 1945 Tahun 2000. Pasal 18B ayat (1) berbunyi: “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.” Dengan dirumuskan “dipilih secara demokratis“ maka ketentuan Pilkada juga mempertimbangkan pelaksanaan pemilihan kepala daerah di daerah-daerah yang bersifat khusus dan istimewa sebagaimana dimaksud Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 tersebut di atas.

Bahwa untuk melaksanakan Pasal 18 UUD 1945 diperlukan Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang substansinya antara lain memuat ketentuan tentang Pilkada. Dalam hubungan itu, Mahkamah berpendapat bahwa untuk melaksanakan ketentuan tersebut adalah kewenangan pembuat undang-undang untuk memilih cara pemilihan langsung atau cara-cara demokratis lainnya. Karena UUD 1945 telah menetapkan Pilkada secara demokratis maka baik pemilihan langsung maupun cara lain tersebut harus berpedoman pada asas-asas pemilu yang berlaku secara umum.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, maka yang dimaksud dengan “dipilih secara demokratis” dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073/PUU-II/2004 adalah tidak hanya terbatas pada model pemilihan secara langsung atau tidak langsung, melainkan mencakup juga model pemilihan yang lain dalam rangka menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus dan istimewa sesuai dengan amanat Pasal 18B ayat (1) UUD 1945;
[3.11.2] Bahwa selain terkait dengan model pemilihan, konstitusi ternyata tidak secara eksplisit menentukan hal-hal lain terkait dengan Pilkada, seperti berapa lama masa jabatan kepala daerah, kapan waktu penyelenggaraan hingga siapakah badan yang menyelesaikan perselisihan hasil Pilkada. Melalui Pasal 18 ayat (7) UUD 1945, konstitusi kemudian mendelegasikan kewenangan untuk menentukan lebih lanjut pengaturannya dalam undang-undang yang meliputi seluruh aspek rancang bangun sistem Pilkada yang akan digunakan, mulai dari model pemilihan sampai terkait teknis waktu penyelenggaraannya. Namun demikian, ruang pengaturan yang sangat luas tersebut bukan berarti tanpa batas, kata “demokratis” menjadi arah sekaligus tolok ukur rancang bangun penyelenggaraan Pilkada yang diatur dalam peraturan teknis di bawah UUD. Oleh karenanya, menurut Mahkamah, kewenangan pembentuk Undang-Undang untuk mengatur rancang bangun penyelenggaraan Pilkada, selain harus berpedoman pada asas-asas pemilu yang berlaku secara umum, juga harus memperhatikan aspirasi masyarakat di daerah, khususnya mengenai prinsip kontestasi (contestation) dan partisipasi (participation), karena keduanya merupakan indikator yang digunakan untuk mengukur peningkatan kualitas demokrasi elektoral. Dengan demikian, kualitas demokrasi penyelenggaraan Pilkada serentak nasional akan ditentukan antara lain oleh kontestan (the contesting candidates), baik yang dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik maupun perseorangan, dan sekaligus oleh partisipasi rakyat atau pemilih secara inklusif, bebas (free) dan jujur (fair);
[3.12] Menimbang bahwa setelah menguraikan hal-hal sebagaimana dimaksud pada Paragraf [3.11] tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU 10/2016 bertentangan dengan UUD 1945 karena telah membuat para Pemohon tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih dan dipilih secara tetap dan sesuai dengan siklus jadwal pemilihan 5 (lima) tahun sekali, secara khusus Pemohon I harus menunggu lagi selama 2 (dua) tahun karena diundurkannya waktu pemilihan. Terhadap dalil para Pemohon demikian, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa pengaturan norma mengenai Pilkada dalam BAB VI tentang Pemerintahan Daerah di luar Bab VIIB tentang Pemilihan Umum dalam UUD 1945 memiliki beberapa implikasi. Salah satunya adalah perbedaan terkait waktu penyelenggaraan pemilihan, di mana siklus 5 (lima) tahun sekali yang telah ditentukan oleh konstitusi adalah untuk pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam norma Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 serta untuk pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana ditentukan dalam norma Pasal 18 ayat (3) juncto Pasal 22E ayat (2) UUD 1945. Sedangkan, terkait dengan Pilkada, penetapan waktu pemilihan sepenuhnya diatur dengan undang-undang yang selanjutnya diaktualisasikan dalam UU 10/2016 yang menentukan penyelenggaraan Pilkada secara nasional dilaksanakan secara serentak pada bulan November 2024. Norma a quo merupakan bagian dari ketentuan peralihan (transitional provision) yang memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan peraturan perundang-undangan yang lama, in casu pengaturan mengenai jadwal penyelenggaraan Pilkada serentak nasional yang semula ditetapkan pada tahun 2027 berdasarkan Pasal 201 ayat (7) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU 8/2015) diubah menjadi tahun 2024. Pengaturan norma dalam ketentuan peralihan demikian telah sesuai dengan butir 127 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
[3.12.2] Bahwa dalam rangka penyesuaian tahapan penyelenggaraan Pilkada serentak secara nasional terdapat beberapa daerah yang waktu penyelenggaraan Pilkadanya diundur dan terdapat pula beberapa daerah yang waktu penyelenggaraan Pilkadanya dimajukan. Dalam konteks masa peralihan yang demikian, tidak dapat dihindari dampak adanya penundaan atas pemenuhan hak warga negara untuk memilih (right to vote) dan hak untuk dipilih (right to be candidate) dalam Pilkada. Namun demikian, Mahkamah menilai penundaan atas pemenuhan hak warga negara dimaksud tidak berarti menghilangkan hak warga negara tersebut dan telah sesuai dengan konsep pembatasan hak yang telah diatur dalam ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Sebab, hak warga negara untuk memilih dan dipilih pada hakikatnya merupakan hak yang pemenuhannya dapat dibatasi oleh negara melalui undang-undang. Berkenaan dengan hal tersebut Mahkamah dalam beberapa putusan telah mempertimbangkan terkait konstitusionalitas pembatasan pemenuhan atas hak konstitusional warga negara berdasarkan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 dan ukuran yang selalu digunakan oleh Mahkamah dalam menilai konstitusionalitas pembatasan hak warga negara adalah keseimbangan (balancing) antara pembatasan hak individu warga negara dengan tujuan yang ingin dicapai oleh negara. Dalam konteks demikian, Mahkamah menilai, penundaan atas pemenuhan hak warga negara untuk memilih (right to vote) dan hak untuk dipilih (right to be candidate) pada sebagian Pilkada dalam rangka menuju pelaksanaan Pilkada serentak secara nasional tahun 2024 adalah masih dalam kerangka pembatasan hak konstitusional warga negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Terlebih, setiap warga negara yang telah memenuhi persyaratan untuk mengikuti kontestasi Pilkada, baik sebagai pemilih maupun sebagai calon kepala daerah atau wakil kepala daerah, tetap terakomodir hak konstitusionalnya dalam Pilkada serentak tahun 2024 mendatang.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas dalil para Pemohon yang menyatakan norma Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU 10/2016 bertentangan dengan UUD 1945 karena telah membuat para Pemohon tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih dan dipilih secara tetap dan sesuai dengan siklus jadwal pemilihan 5 (lima) tahun sekali adalah tidak beralasan menurut hukum;

[3.13] Menimbang bahwa selanjutnya para Pemohon mendalilkan Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU 10/2016 bertentangan dengan UUD 1945 karena desain penyelenggaraan pemilu yang diatur tidak sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi dan menurut penalaran yang wajar membuat para Pemohon tidak mendapatkan pemilu yang berkualitas. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.13.1] Bahwa pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 bertanggal 23 Januari 2014 yang memerintahkan penyelenggaraan pemilu legislatif (Anggota DPR, DPD dan DPRD) serta eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden) dilaksanakan secara serentak mulai tahun 2019 telah mendorong pembentuk undang-undang untuk mendesain ulang penyelenggaraan pemilu, termasuk pula Pilkada. Selanjutnya, melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, pemerintah menyatakan bahwa pembentukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah secara tidak langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah telah mendapatkan penolakan yang luas oleh rakyat karena proses pengambilan keputusannya tidak mencerminkan prinsip demokrasi [vide Alinea ke-3 Penjelasan Umum UU 1/2015] yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang melalui UU 1/2015. Lebih lanjut Pasal 3 ayat (1) UU 1/2015 menentukan bahwa “Pemilihan dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Oleh karena itulah sejak saat itu Pilkada serentak secara nasional beserta segala aspek penyelenggaraannya mulai ditetapkan secara bertahap dari yang awalnya akan dilaksanakan pada tahun 2027 kemudian berdasarkan UU 10/2016 diubah menjadi bulan November tahun 2024;
[3.13.2] Bahwa dalam perkembangannya terkait dengan desain keserentakan penyelenggaraan pemilihan umum, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019, bertanggal 26 Februari 2020 telah memberikan sejumlah pilihan model keserentakan pemilihan umum yang tetap dapat dinilai konstitusional, sebagaimana tertuang dalam pertimbangan hukum Paragraf [3.16] Putusan a quo, sebagai berikut:
1 Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan anggota DPRD;
2 Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, Gubernur, dan Bupati/Walikota;
3 Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, anggota DPRD, Gubernur, dan Bupati/Walikota;
4 Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak lokal untuk memilih anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, pemilihan Gubernur, dan Bupati/Walikota;
5 Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak provinsi untuk memilih anggota DPRD Provinsi dan memilih gubernur; dan kemudian beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum serentak kabupaten/kota untuk memilih anggota DPRD Kabupaten/Kota dan memilih Bupati dan Walikota; dan
6 Pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden.
Bahwa dengan tersedianya berbagai kemungkinan pelaksanaan pemilihan umum serentak sebagaimana dikemukakan di atas, penentuan model yang dipilih menjadi wilayah bagi pembentuk undang-undang untuk memutuskannya. Namun demikian, dalam memutuskan pilihan model atas keserentakan penyelenggaraan pemilihan umum, pembentuk undang-undang perlu mempertimbangkan beberapa hal, antara lain, yaitu: (1) pemilihan model yang berimplikasi terhadap perubahan undang-undang dilakukan dengan partisipasi semua kalangan yang memiliki perhatian atas penyelenggaraan pemilihan umum; (2) kemungkinan perubahan undang-undang terhadap pilihan model-model tersebut dilakukan lebih awal sehingga tersedia waktu untuk dilakukan simulasi sebelum perubahan tersebut benar-benar efektif dilaksanakan; (3) pembentuk undang-undang memperhitungkan dengan cermat semua implikasi teknis atas pilihan model yang tersedia sehingga pelaksanaannya tetap berada dalam batas penalaran yang wajar terutama untuk mewujudkan pemilihan umum yang berkualitas; (4) pilihan model selalu memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih dalam melaksanakan hak untuk memilih sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat; dan (5) tidak acap-kali mengubah model pemilihan langsung yang diselenggarakan secara serentak sehingga terbangun kepastian dan kemapanan pelaksanaan pemilihan umum.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah telah mempertimbangkan bahwa dengan tersedianya berbagai kemungkinan model pemilihan umum serentak sebagaimana dikemukakan di atas, penentuan model yang dipilih menjadi wilayah kewenangan pembentuk undang-undang untuk memutuskannya. Pertimbangan pandangan Mahkamah terhadap penentuan model keserentakan yang dipilih merupakan domain pembentuk Undang-Undang tersebut juga kembali ditegaskan dalam pertimbangan hukum putusan Mahkamah terkait pilihan model keserentakan secara nasional dan lokal sebagaimana pertimbangan hukum Paragraf [3.18] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XIX/2021, bertanggal 24 November 2021, sebagai berikut:
Dalam konteks demikian, keinginan para Pemohon untuk lebih memfokuskan kepada salah satu model tersebut tidak lagi berada dalam kewenangan Mahkamah, tetapi telah diserahkan menjadi kewenangan pembentuk undang-undang. Dengan pendirian demikian, jikalau Mahkamah menentukan salah satu model dari pilihan model yang ditawarkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019, secara implisit, Mahkamah akan terperangkap untuk menyatakan model lain yang tidak dipilih sebagai sesuatu yang bertentangan dengan UUD 1945 (inkonstitusional). Oleh karena itu, sebagaimana dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019, penentuan model yang dipilih menjadi wilayah bagi pembentuk undang-undang untuk memutuskannya. Berkenaan dengan hal tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan, semua pilihan yang dikemukakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 merupakan gagasan yang muncul (original intent) selama perubahan UUD 1945. Sebagai the sole interpreter of the constitution, sekalipun bukan satu-satunya penafsiran yang dipakai untuk menentukan pilihan model atau desain keserentakan pemilihan umum, Mahkamah tidak dapat sepenuhnya melepaskan diri dari penafsiran original intent sebagai salah satu metode untuk memahami konstitusi.
Dengan demikian, menjadi jelas pendirian Mahkamah bahwa pembentuk Undang-Undang memiliki kewenangan untuk menentukan rancang bangun penyelenggaraan pemilu serentak, termasuk juga penyelenggaraan Pilkada serentak secara nasional sesuai dengan batas-batas konstitusional (constitutional boundary) yang telah diatur dan ditetapkan sebagaimana dijelaskan pada Sub-paragraf [3.11.2] di atas;
[3.13.3] Bahwa dalam rangka mewujudkan Pilkada serentak secara nasional, sebenarnya telah disusun desain penyelenggaraan transisi yang terdiri atas 4 (empat) gelombang, yaitu pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2015, tahun 2017, tahun 2018, tahun 2020, dan November 2024. Oleh karena itu, sepanjang Pikada serentak tetap dipertahankan, desain penyelenggaraan Pilkada transisi demikian merupakan proses integrasi jadwal penyelenggaraan Pilkada yang waktunya saling terpisah satu sama lain menuju penyelenggaraan Pilkada serentak secara nasional setiap 5 (lima) tahun yang akan dimulai pada tahun 2024 dan seterusnya. Berdasarkan tahapan transisi tersebut, maka desain pemilihan umum serentak secara nasional yang dipilih oleh pembentuk Undang-Undang pada tahun 2024 adalah pemilu serentak dalam 2 (dua) tahap, yaitu: (i) pemilihan umum serentak untuk memilih Anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan Anggota DPRD serta (ii) beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pilkada serentak secara nasional. Dengan mengacu pada pilihan model keserentakan pemilihan umum sebagaimana dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 tersebut di atas, maka pilihan model pemilihan umum serentak yang ditentukan tersebut termasuk dalam kategori pilihan keenam, yaitu “Pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden”, sehingga pilihan keserentakan tersebut adalah telah sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi dan tentunya tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas dalil para Pemohon yang menyatakan norma Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU 10/2016 bertentangan dengan UUD 1945 karena desain penyelenggaraan pemilu yang diatur tidak sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi dan menurut penalaran yang wajar membuat para Pemohon tidak mendapatkan pemilu yang berkualitas adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.14] Menimbang bahwa selanjutnya para Pemohon juga mendalilkan Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU 10/2016 bertentangan dengan UUD 1945 karena dengan adanya pengunduran waktu pemilihan menyebabkan adanya jabatan kepala daerah yang kosong dan diisi oleh penjabat yang tidak memiliki legitimasi politik untuk memimpin suatu daerah. Terhadap dalil para Pemohon demikian, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.14.1] Bahwa pengaturan adanya penjabat gubernur/bupati/walikota untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah yang pemilihannya ditunda sampai dengan pelaksanaan Pilkada serentak secara nasional pada tahun 2024 telah diatur dalam Pasal 201 ayat (9) sampai dengan ayat (11) UU 10/2016. Berdasarkan norma a quo, maka untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang telah berakhir masa jabatannya pada tahun 2022 dan tahun 2023, akan diangkat penjabat gubernur/bupati/walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota berdasarkan hasil Pilkada serentak secara nasional pada tahun 2024. Untuk itu telah ditentukan pengisian Penjabat Gubernur berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya, sedangkan Penjabat Bupati atau Walikota berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama;
[3.14.2] Bahwa di era otonomi daerah saat ini, kewenangan yang dimiliki oleh kepala daerah sangat besar dalam mengambil keputusan pemerintahan sehingga kepala daerah memegang peran dan posisi sentral dalam memajukan daerahnya. Kepemimpinan kepala daerah dalam birokrasi memegang peran penting untuk menciptakan governance yang kuat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosial. Oleh karenanya, keberhasilan suatu pemerintah daerah di dalam menjalankan tugas-tugasnya sangat ditentukan oleh pemimpinnya. Dalam doktrin universal hukum ketatanegaraan, pengisian jabatan negara merupakan salah satu unsur penting dalam hukum tata negara dan administrasi negara. Tanpa adanya pejabat yang mengisi jabatan, maka fungsi dari jabatan tersebut tidak dapat dijalankan. Berdasarkan hal tersebut, maka pengisian jabatan kepala daerah yang kosong merupakan sebuah keniscayaan dalam rangka menjamin tetap terpenuhinya pelayanan publik dan tercapainya kesejahteraan masyarakat di daerah. Berbagai instrumen hukum juga telah mengakomodir adanya pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang kosong, mulai dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah hingga Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, Dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Perangkat hukum tersebut juga telah diaplikasikan dalam praktik pengisian kekosongan jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah selama ini. Justru dengan adanya pengisian jabatan kepala daerah yang kosong tersebut, hak warga negara untuk mendapatkan layanan publik akan tetap terakomodir serta stabilitas politik dan keamanan daerah akan tetap terjaga. Sementara itu, terkait dengan kekhawatiran para Pemohon terhadap penjabat kepala daerah tidak memiliki legitimasi politik untuk memimpin suatu daerah, Mahkamah mempertimbangkan bahwa legitimasi dalam konteks penjabat kepala daerah diturunkan dari amanat atau perintah undang-undang [vide Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016]. Oleh karena itu, meskipun secara terbatas makna legitimasi artinya memperoleh dukungan langsung dari pemilih, namun dalam perspektif yang luas, legitimasi dapat diperoleh dari undang-undang yang dibentuk oleh wakil rakyat yang merupakan representasi rakyat. Dengan demikian, dalam hal untuk mengisi penjabat kepala daerah yang merupakan keniscayaan untuk mengisi jabatan pada masa transisional dan sepanjang penjabat yang ditunjuk adalah yang memenuhi kualifikasi oleh undang-undang serta kinerjanya dapat dievaluasi oleh pejabat yang berwenang setiap waktu dan bahkan mungkin dapat dilakukan penggantian apabila dipandang tidak mempunyai kapabilitas untuk memberikan pelayanan publik, maka Mahkamah berpendapat pengisian penjabat kepala daerah tersebut dapat dibenarkan;
[3.14.3] Bahwa terkait dengan pengisian penjabat kepala daerah untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa proses pengisian kekosongan jabatan kepala daerah juga masih dalam ruang lingkup pemaknaan “secara demokratis” sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Oleh karenanya, perlu menjadi pertimbangan dan perhatian bagi pemerintah untuk menerbitkan peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut Pasal 201 UU 10/2016, sehingga tersedia mekanisme dan persyaratan yang terukur dan jelas bahwa pengisian penjabat tersebut tidak mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi dan sekaligus memberikan jaminan bagi masyarakat bahwa mekanisme pengisian penjabat berlangsung terbuka, transparan, dan akuntabel untuk menghasilkan pemimpin yang kompeten, berintegritas, sesuai dengan aspirasi daerah serta bekerja dengan tulus untuk rakyat dan kemajuan daerah. Selain itu, dengan peran sentral yang dimiliki oleh kepala daerah dan wakil kepala daerah serta dengan mempertimbangkan lamanya daerah dipimpin oleh penjabat kepala daerah maka perlu dipertimbangkan pemberian kewenangan penjabat kepala daerah dalam masa transisi menuju Pilkada serentak secara nasional yang sama dengan kepala daerah definitif. Sebab, dengan kewenangan penuh yang dimiliki penjabat kepala daerah yang ditunjuk maka akselerasi perkembangan pembangunan daerah tetap dapat diwujudkan tanpa ada perbedaan antara daerah yang dipimpin oleh penjabat kepala daerah maupun yang definitif.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas dalil para Pemohon yang menyatakan norma Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU 10/2016 bertentangan dengan UUD 1945 karena dengan adanya pengunduran waktu pemilihan menyebabkan adanya jabatan kepala daerah yang kosong dan diisi oleh penjabat yang tidak memiliki legitimasi politik untuk memimpin suatu daerah adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.15] Menimbang bahwa para Pemohon juga mendalilkan Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU 10/2016 bertentangan dengan UUD 1945 karena mengakibatkan para Pemohon, dalam hal ini Pemohon II, diperlakukan secara diskriminatif karena nilai dari pilihannya dinilai secara berbeda dengan daerah lainnya yang kepala daerah hasil pemilihan memiliki masa jabatan 5 (lima) tahun, sedangkan pilihannya dalam Pilkada 2020 hanya akan menjabat paling lama 4 (empat) tahun. Terhadap dalil para Pemohon demikian, menurut Mahkamah, adanya perbedaan lamanya masa jabatan kepala daerah dalam masa transisi menuju Pilkada serentak secara nasional tahun 2024 bukanlah merupakan bentuk diskriminasi terhadap hasil pilihan para pemilih dalam setiap tahapan atau gelombang penyelenggaraan Pilkada. Mahkamah menilai, pembatasan terhadap masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah tersebut adalah dalam kerangka mencapai tujuan yang akan dicapai oleh negara, yaitu penyelenggaraan pemilihan umum serentak secara nasional sebagai desain baru proses pemilihan kepala daerah. Lagipula, pada tataran praktis, masyarakat yang telah menggunakan hak pilihnya dalam Pilkada tahun 2020 telah mengetahui bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah yang terpilih nantinya akan menjabat sampai dengan tahun 2024 sebagaimana ketentuan Pasal 201 ayat (7) UU 10/2016 yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh para Pemohon. Pembatasan masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah pada masa transisi tersebut juga tidak sama sekali mengurangi hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan publik yang baik dan memperoleh kesempatan yang sama pula dalam menikmati perkembangan pembangunan daerahnya.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas dalil para Pemohon yang menyatakan norma Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU 10/2016 bertentangan dengan UUD 1945 karena para Pemohon, khususnya Pemohon II telah diperlakukan diskriminatif adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana telah diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat ketentuan norma Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU 10/2016 telah ternyata memberikan kepastian hukum, tidak diskriminatif dan tidak bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, permohonan para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 27/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2021 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-04-2022

Fentje Eyfert Loway, S.H., M.H., T.R. Silalahi, S.H., M.H., Dra. Renny Ariyanny, S.H., M.H., LL.M., Dra. Martini, S.H., Fahriani Suyuti, S.H., M.H yang dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya Abdul Rohman, S.H., dkk yang tergabung dalam kantor hukum RBT Law Firm, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 12 huruf c dan Pasal 40A UU 11/2021

Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 11/2021 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.7] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan para Pemohon, Mahkamah perlu mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut:
[3.7.1] Bahwa Mahkamah telah memeriksa permohonan para Pemohon dalam persidangan Pendahuluan pada 17 Maret 2021, dalam persidangan tersebut, Majelis Panel sesuai dengan kewajibannya yang diatur dalam Pasal 39 ayat (2) UU MK telah memberikan nasihat kepada para Pemohon untuk memperbaiki dan memperjelas hal-hal yang berkaitan dengan kedudukan hukum, pokok permohonan, serta petitum.
Bahwa Panel Hakim telah menasihatkan kepada para Pemohon untuk mempertimbangkan petitum seperti apa yang tepat bagi permohonan para Pemohon, karena petitum permohonan para Pemohon kontradiktif antara petitum yang satu dengan yang lainnya. Pada satu sisi para Pemohon meminta agar pasal yang diajukan pengujian dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Namun, di sisi lain para Pemohon meminta pula agar pasal yang diajukan pengujiannya tersebut dinyatakan konstitusional bersyarat atau inkonstitusional bersyarat [vide perbaikan permohonan perkara Nomor 27/PUU-XX/2022, petitum permohonan angka 2, angka 3, angka 4, dan angka 5, hlm. 38-39, serta Risalah Sidang Perkara Nomor 27/PUU-XX/2022, tanggal 17 Maret 2022, hlm. 14].
[3.7.2] Bahwa para Pemohon telah melakukan perbaikan permohonannya dan diterima Kepaniteraan Mahkamah pada 30 Maret 2022 yang kemudian disampaikan pokok-pokok perbaikan permohonannya dalam sidang pemeriksaan pendahuluan dengan agenda memeriksa perbaikan permohonan pada 7 April 2022.
Bahwa setelah dicermati lebih lanjut perbaikan permohonan para Pemohon, di dalam posita, para Pemohon menguraikan mengenai alasan mengapa ketentuan Pasal 12 huruf c dan Pasal 40A UU 11/2021 harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan meminta Mahkamah untuk memberikan tafsir terhadap pasal yang diajukan pengujian [vide perbaikan permohonan perkara Nomor 27/PUU-XX/2022, hlm. 29-30]. Demikian juga dengan petitum permohonan para Pemohon, walaupun telah diberikan nasihat oleh Panel Hakim pada sidang pendahuluan agar mempertimbangkan petitum yang tepat, akan tetapi para Pemohon tetap pada pendiriannya. Dalam hal ini, para Pemohon memohon kepada Mahkamah agar ketentuan Pasal 12 huruf c dan Pasal 40A UU 11/2021 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan juga meminta Mahkamah untuk memberikan tafsir terhadap pasal yang diajukan pengujian. Terhadap petitum ini telah dikonfirmasi kembali kepada para Pemohon pada saat sidang pemeriksaan pendahuluan dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan, dan para Pemohon melalui kuasanya menyatakan bahwa petitum yang diinginkan para Pemohon adalah Petitum yang tercantum di dalam perbaikan permohon yang dibacakan di dalam Persidangan [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 27/PUU-XX/2022, tanggal 07 April 2022, hlm. 8-9].
Bahwa terhadap petitum sebagaimana yang tercantum di dalam perbaikan permohonan para Pemohon yaitu Petitum angka 2, angka 3, angka 4 dan angka 5, menurut Mahkamah, petitum demikian bersifat kumulatif sehingga permintaan demikian menyebabkan kerancuan dan ketidakjelasan terkait apa sesungguhnya yang diminta oleh para Pemohon. Sebab, di satu sisi para Pemohon memohon Mahkamah untuk menyatakan Pasal 12 huruf c dan Pasal 40A UU 11/2021 bertentangan dengan UUD 1945 (inkonstitusional), sementara di sisi lain para Pemohon memohon Mahkamah untuk menyatakan Pasal 12 huruf c dan Pasal 40A UU 11/2021 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (inkonstitusional bersyarat). Berdasarkan fakta hukum tersebut, Mahkamah tidak mungkin mengabulkan dua petitum yang saling bertentangan, kecuali para Pemohon dalam petitum permohonannya memohon secara alternatif, quod non. Oleh karena itu, jika petitum sebagaimana yang dimohonkan para Pemohon dikabulkan, dalam batas penalaran yang wajar akan menimbulkan kerancuan norma sehingga dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum.
Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, permohonan para Pemohon menimbulkan ketidakjelasan. Oleh karena itu, Mahkamah sulit untuk memahami maksud permohonan a quo. Dengan demikian, permohonan para Pemohon adalah kabur.
[3.8] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, namun oleh karena permohonan para Pemohon adalah kabur, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan para Pemohon.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 23/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-04-2022

Zico Leonard Djagardo Simanjuntak yang memberikan kuasa kepada Leon Maulana Mirza Pasha, S.H., dkk, advokat, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 18 ayat (1) UU 8/1999

Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 18 ayat (1) UU 8/1999 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum pada pokoknya sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca secara saksama permohonan Pemohon, memeriksa bukti-bukti yang diajukan, dan mempertimbangkan argumentasi Pemohon, maka isu konstitusionalitas yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah apakah ketiadaan pelarangan pilihan forum penyelesaian (choice of forum) dalam perjanjian baku bertentangan dengan UUD 1945? Sebelum menjawab isu konstitusionalitas tersebut, Mahkamah terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
[3.10.1] Bahwa alinea keempat Pembukaan UUD 1945 dengan tegas menyebutkan salah satu tujuan didirikannya negara Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Oleh karena itu, negara dituntut untuk memperluas tanggung jawab dalam urusan perekonomian dan kesejahteraan rakyatnya. Dalam alur berpikir yang demikian, negara harus berperan secara aktif dalam berbagai masalah sosial dan ekonomi untuk menjamin terciptanya kesejahteraan bersama dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Masyarakat dalam konteks perekonomian, secara sederhana, terdiri atas masyarakat konsumen dan produsen atau pelaku usaha yang sama-sama berhak menikmati dan memperjuangkan hak-haknya masing-masing. Oleh karena itu, peranan aktif yang dilakukan negara adalah dalam rangka menjaga keseimbangan antara kepentingan konsumen dengan kepentingan pelaku usaha sehingga akan mendorong terbentuknya iklim berusaha yang sehat dalam rangka mewujudkan perekonomian yang kokoh sebagai jalan untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;
[3.10.2] Bahwa upaya negara untuk berperanan secara aktif dalam bidang perekonomian tersebut, salah satunya dilakukan dengan memberikan landasan hukum atas perlindungan konsumen di Indonesia. Perlindungan hukum kepada konsumen ini menjadi hal yang penting mengingat semakin luasnya ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa dalam melintasi batas-batas wilayah suatu negara. Kondisi demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen. Di sisi lain, kondisi dan fenomena tersebut di atas dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang di mana konsumen berada pada posisi yang lemah karena semakin banyaknya arus informasi yang disebarkan sebagai bagian dari strategi pelaku usaha untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal. Hal ini sangat berpotensi menjadikan konsumen sebagai objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen [vide Penjelasan Umum UU 8/1999]. Di sinilah negara wajib mengambil peran secara aktif dengan menetapkan aturan main yang dapat mendorong perkembangan dunia bisnis sebagai motor perekonomian negara tanpa harus merugikan hak-hak yang dimiliki konsumen. Artinya, fokus perlindungan adalah tetap ditujukan kepada konsumen. Atas dasar kondisi tersebut, negara kemudian melakukan upaya pemberdayaan konsumen dengan memberlakukan UU 8/1999 sebagai undang-undang payung yang diharapkan dapat melindungi kepentingan konsumen secara integratif dan komprehensif sekaligus mendorong iklim berusaha yang sehat, jujur dan kompetitif;
[3.11] Menimbang bahwa setelah menguraikan hal-hal tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan apakah ketiadaan pelarangan pilihan forum penyelesaian (choice of forum) dalam perjanjian baku bertentangan dengan UUD 1945 sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa aktivitas perekonomian, khususnya yang melibatkan produsen dan konsumen, berkaitan erat dengan sebuah perjanjian, baik secara lisan maupun secara tertulis. Perkembangan dunia bisnis modern kemudian menciptakan bentuk kontrak baru sebagai bagian untuk menstabilkan hubungan pasar yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dikenal dengan perjanjian baku dengan klausula baku di dalamnya. Dalam konteks perlindungan konsumen, bagi para pelaku usaha hal tersebut merupakan cara mencapai tujuan ekonomi yang efisien dan praktis, namun bagi konsumen, perjanjian baku ini semakin melemahkan posisi tawar (bargaining position) konsumen dan rentan terhadap penyalahgunaan yang bersifat kontraktual dalam hubungannya dengan produsen atau pelaku usaha. Oleh karena itu, UU 8/1999 secara tegas melarang penggunaan klausula baku pada setiap perjanjian yang memuat klausul tentang pengalihan tanggung jawab pelaku usaha, mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen, penghilangan atau pengurangan hak konsumen dan lain sebagainya sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 18 UU 8/1999;
[3.11.2] Bahwa dalam rezim hukum tentang perikatan, segala bentuk perjanjian harus tunduk pada asas-asas umum perjanjian sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), seperti asas konsensualisme sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata dan asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Berdasarkan asas konsesualisme, maka perjanjian telah sah dan memiliki akibat hukum sejak konsesus tercapai antara para pihak mengenai hal pokok (esensialia) dalam perjanjian. Sedangkan berdasarkan asas kebebasan berkontrak, maka sejatinya setiap orang boleh membuat perjanjian dalam bentuk dan berisi apapun sepanjang tidak dilarang atau tidak bertentangan dengan undang-undang (hukum), kesusilaan atau ketertiban umum sesuai dengan Pasal 1337 KUH Perdata. Dalam perjanjian yang didasarkan pada asas kebebasan berkontrak, para pihak akan merumuskan ketentuan mengenai hak dan kewajiban mereka secara timbal balik. Oleh karenanya, selama masing-masing pihak menjalankan hak dan kewajiban masing-masing sesuai dengan perjanjian maka tidak akan menjadi masalah. Masalah baru akan timbul, manakala salah satu pihak gagal menjalankan kewajibannya, dan pihak lain merasa telah dirugikan. Pihak yang merasa telah dirugikan tersebut dapat mengajukan gugatan sesuai dengan forum penyelesaian sengketa yang telah disepakati dalam perjanjian, baik di dalam maupun di luar pengadilan;
[3.11.3] Bahwa pilihan forum penyelesaian (choice of forum) dalam suatu perjanjian juga berlandaskan pada kebebasan berkontrak. Artinya, masing-masing pihak yang terlibat dalam sebuah perjanjian memiliki kebebasan untuk menentukan institusi yang akan menyelesaikan permasalahan apabila terjadi sengketa. Keadaan demikian hampir tidak menimbulkan masalah ketika masing-masing pihak memiliki daya tawar yang relatif seimbang. Namun, dalam perjanjian baku, sebagaimana telah dijelaskan di atas, dimungkinkan terjadi ketidakseimbangan posisi tawar antara pelaku usaha dan konsumen. Terhadap hal demikian, secara teoritis ada yang berpandangan bahwa penggunaan klausula baku memang telah menghilangkan adanya forum negosiasi antar pihak yang terlibat dalam sebuah perjanjian. Akan tetapi, ketiadaan forum negosiasi antar pihak tersebut tidak secara serta-merta menghilangkan kebebasan dan kesepakatan para pihak yang menjadi dasar penyusunan sebuah perjanjian, terlebih lagi secara otomatis merugikan pihak konsumen;
[3.11.4] Bahwa kebebasan yang diberikan kepada pelaku usaha untuk menentukan forum penyelesaian sengketa dalam perjanjian baku, menurut Mahkamah merupakan konsekuensi logis dari perkembangan bisnis modern di tengah pesatnya pekembangan teknologi dan informasi berbasis digital melalui transaksi digital. Johannes Gunawan dan Bernadette M. Waluyo dalam bukunya berjudul “Perjanjian Baku: Masalah dan Soliusi”, memberikan ciri-ciri transaksi digital yang dilaksanakan melalui internet dan dilakukan dengan menggunakan perjanjian baku digital (digital contracts), yaitu: (i) melampaui batas negara (borderless), (ii) lintas yurisdiksi (multiple jurisdiction), (iii) nir tatap muka (faceless nature); (iv) tanpa kertas (paperless); (v) tanpa tanda tangan manual (digital signatures); serta (vi) tanpa uang kartal (cashless). Penggunaan transaksi digital yang memuat klausula baku tersebut ditujukan untuk mempermudah terjadinya transaksi, justru akan menyulitkan apabila pelaku usaha harus membuat dan menegosiasikan kontrak baru untuk setiap transaksi yang terjadi dengan konsumen, apalagi ketika kedua belah pihak terpisah antara satu negara dengan negara lain. Dengan tawaran yang melampaui batas negara, maka terdapat kemungkinan bahwa transaksi terjadi di antara dua pihak yang berdomisili dan memiliki kewarganegaraan yang berbeda, sehingga harus ditentukan pilihan hukum yang berlaku serta pilihan forum penyelesaian sengketa seandainya terjadi sengketa;
[3.11.5] Bahwa selanjutnya ketentuan Pasal 18 ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU 11/2008) yang pada pokoknya telah menentukan bahwa para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum dan menetapkan forum penyelesaian sengketa sesuai dengan kesepakatan para pihak berdasarkan transaksi elektronik internasional yang dibuatnya. Berdasarkan hal tersebut, di manakah letak kebebasan konsumen dalam menentukan pilihan forum penyelesaian sengketa dalam sebuah perjanjian baku? Menurut Mahkamah, dalam perjanjian baku, konsumen memiliki kebebasan untuk membuat perjanjian atau tidak membuat perjanjian serta kebebasan untuk memilih dengan pihak mana akan membuat perjanjian. Pada saat konsumen telah menyepakati untuk masuk dalam sebuah perjanjian baku, maka konsumen dianggap secara sukarela telah menyepakati keseluruhan isi perjanjian baku tersebut. Kesukarelaan sebagai bagian dari asas kebebasan berkontrak, secara doktriner dipahami, perjanjian baku dapat diterima sebagai perjanjian berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan (fictie van wil en vertrouwen) sehingga menambah rasa percaya para pihak untuk mengikatkan dirinya pada perjanjian itu. Dalam hal ini, jika konsumen menerima dokumen perjanjian, berarti secara sukarela setuju pada isi perjanjian. Dengan demikian, pilihan untuk menentukan forum penyelesaian sengketa yang dipilih dalam sebuah perjanjian baku merupakan bagian dari kebebasan pelaku usaha dalam membuat perjanjian, sedangkan konsumen memiliki kebebasan untuk masuk atau tidak dalam perjanjian baku tersebut. Dalam hal konsumen telah menyepakati masuk dalam sebuah perjanjian baku yang menentukan forum penyelesaian sengketa (pilihan domisili), maka kesepakatan tersebut mengikat kepada para pihak untuk mentaati dan melaksanakannya. Akan tetapi, berdasarkan hukum acara perdata yang berlaku, kesepakatan pilihan domisili tersebut tidak bersifat absolut, melainkan bersifat relatif. Pihak konsumen sebagai penggugat jika menghendaki, dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan (forum penyelesaian sengketa) yang telah disepakati [vide Pasal 118 ayat (4) Herziene Inlandsche Reglement (HIR)/Pasal 142 ayat (4) Rechtsreglement Buitengewesten (RBg)], atau penggugat juga dapat mengajukan gugatan berdasarkan asas actor sequitor forum rei, yakni diajukan ke pengadilan di tempat mana tergugat bertempat tinggal [vide Pasal 118 ayat (1) HIR/Pasal 142 ayat (1) RBg]. Dengan demikian, penggugat bebas memilih kompetensi relatif berdasarkan domisili pilihan atau berdasarkan tempat tinggal tergugat;
[3.11.6] Bahwa setelah mempelajari dengan saksama dalil-dalil yang diuraikan Pemohon dalam permohonannya, Mahkamah menilai permasalahan yang diajukan oleh Pemohon lebih merupakan permasalahan implementasi norma yang dialami oleh Pemohon dalam hubungan Pemohon sebagai konsumen layanan jasa transportasi online yang terikat pada perjanjian baku yang telah ditentukan oleh pelaku usaha (Grab Indonesia). Apabila dikaitkan dalam konteks hukum perlindungan konsumen, menurut Mahkamah, sebagaimana telah dikenal sebagai doktrin let the buyer beware, yang berarti dalam suatu hubungan jual beli, konsumen/pembeli wajib untuk berhati-hati dalam setiap transaksi jual-beli yang dilakukan. Dalam konteks choice of law dan choice of forum, konsumen dapat memilih apakah tunduk pada forum penyelesaian dalam perjanjian baku atau mengajukan gugatan di pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal tergugat. Penyelesaian sengketa konsumen di antara pihak berdasarkan perjanjian biasa maupun perjanjian baku diperbolehkan melakukan pilihan forum secara sukarela sebagaimana diatur oleh ketentuan Pasal 45 ayat (2) UU 8/1999, sehingga permohonan Pemohon kontradiktif dengan Pasal a quo dan oleh karenanya apabila Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon, justru dapat menimbulkan ketidakpastian hukum;
[3.12] Menimbang bahwa terlebih lagi setelah Mahkamah mempelajari dengan saksama petitum yang dimohonkan Pemohon dengan menambah norma “i. menetapkan dan/atau mengatur upaya penyelesaian sengketa konsumen secara sepihak tanpa persetujuan dan kesepakatan konsumen” dalam Pasal 18 ayat (1) UU 8/1999. Hal demikian menurut Mahkamah, bukanlah merupakan pemaknaan atas suatu norma, karena norma yang berhubungan dengan penyelesaian sengketa konsumen tidak terdapat dalam norma dasar Pasal 18 ayat (1) UU 8/1999. Petitum Pemohon tersebut berarti meminta Mahkamah untuk menambahkan norma baru padahal kewenangan Mahkamah adalah menafsirkan atau memaknai norma dalam suatu undang-undang dalam rangka menegakkan supremasi konstitusi. Sedangkan perubahan norma seperti permohonan Pemohon merupakan kewenangan yang dimiliki oleh pembentuk Undang-Undang. Oleh karena itu, meskipun objek permohonan yang dimohonkan pengujian konstitusionalitas oleh Pemohon adalah undang-undang, in casu Pasal 18 ayat (1) UU 8/1999 yang merupakan kewenangan Mahkamah untuk mengadilinya, namun keinginan Pemohon agar Mahkamah menambahkan sebuah norma baru dalam rumusan Pasal 18 ayat (1) UU 8/1999 adalah tidak beralasan menurut hukum;
[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana telah diuraikan di atas, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

← Sebelumnya 1 2 3 4 5 6 Selanjutnya →